Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

• Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan payung


hukum dan pedoman bagi para hakim peradilan agama
dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
ekonomi syariah (UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama)
• KHES ini menjadi sesuatu yang penting karena mayoritas
penduduk Indonesia menganut agama Islam yang tentunya
sangat membutuhkan dasar hukum bagi setiap kegiatan
ekonomi yang dilakukannya.
• Upaya Mahkamah Agung melahirkan KHES ini layak
diapresiasi, dan disambut dengan baik, hal ini dikarenakan
juga bahwa dengan adanya KHES yang dapat membantu
dan/atau menunjang kinerja hakim Pengadilan Agama
dalam menangani masalah sengketa ekonomi syariah
Sistematika
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
• Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, diantaranya:
a. Perkawinan f. Zakat
b. Waris g. Infaq
c. Wasiat h. Shadaqah; dan
d. Hibah i. Ekonomi Syariah
e. Wakaf
• Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mempunyai fungsi yang sama
dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu bukan merupakan sumber hukum
formil (seperti UUD 45, UU, PERPU, PERDA, dan sebagainya),
namun KHES dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara hukum ekonomis Syariah (spesifik) alias berperan sebagai sumber hukum.
Sistematika
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
• Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdiri atas empat buku dan 790 pasal.
• Buku I mengatur tentang Subjek Hukum Dan Anwal.
• Buku II mengatur tentang Akad mulai dari asas-asas akad, akad yang dikenal dalam
fiqh sampai akad multi jasa dan pembiayaan rekening koran syariah.
• Buku III mengatur tentang Zakat Dan Hibah.
• Buku IV mengatur Akuntansi Syariah diantaranya akuntansi piutang, akuntansi
pembiayaan, investasi dan akuntansi ekuitas.
• Meskipun masih banyak kekurangannya, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
dianggap cukup memadai sebagai hukum materiil (terapan) untuk mengantisipasi
sengketa ekonomi syariah yang diajukan ke Pengadilan Agama, baik orang
perseorangan, persekutuan, atau badan usaha (badan hukum/non hukum).
Sistematika
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
• Buku I terdiri dari 3 bab dan 19 pasal (mulai dari
pasal I sampai dengan pasal 19).
• Buku II terdiri dari 29 bab dan 648 pasal (mulai dari
pasal 20 sampai dengan pasal 667).
• Buku III terdiri dari 4 bab dan 60 pasal (mulai dari
pasal 668 sampai dengan pasal 727).
• Buku IV terdiri dari 7 bab dan 63 pasal (mulai dari
pasal 728 sampai dengan pasal 790)
Substansi
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Keterangan:
a. Buku I Subjek Hukum dan Amwal sebanyak 2%
b. Buku II Asas Akad Dan Rukun Akad, Aib, dan Penafsiran
Akad Serta Jenis-Jenis Akad sebanyak 82%
c. Buku III Zakat dan Hibah sebanyak 8%
d. Buku IV Akuntansi Syariah sebanyak 8%
Sistematika
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
• Jika melihat dari sistematika dari Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, jelas terlihat bahwa hampir 80% atau sekitar 658 Pasal
dalam 790 Pasal (Pasal 20-Pasal 667) membahas norma berkaitan
dengan akad.
• Dari ketentuan norma-norma dalam KHES tersebut, ketentuan
fatwa-fatwa DSN MUI menjadi salah satu norma yang banyak
diadopsi, disamping menggali hukum pada sumber hukum Islam
yang banyak dikaji para ulama.
• Adopsi ketentuan fatwa DSN-MUI dalam KHES pada prinsipnya
merupakan suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan jika melihat
keberadaan MUI sebagai representasi dari para ulama di Indonesia
dan pasca diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, legitimasi produk MUI lebih diakui oleh negara.
 KHES merupakan produk pemikiran fikih yang
mencakup Empat Unsur, yaitu:
1. Berisi tentang hukum Islam (Syariat)
2. Hukum tersebut tentang perbuatan mukallaf yang
bersifat konkrit
3. Bahwa hukum tersebut digali dengan menggunakan
metode ijtihad dan istidlâl
4. Hukum praktis itu digali dari sumber-sumbernya, yaitu
Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan rasio (ra‟yu).
Kritik #1
Terhadap Materi KHES
• Bahwa dari segi sistematika dan metodologi KHES, dirasa sudah cukup memadai tetapi dari segi
substansi perlu disempurnakan lagi, terutama yang berhubungan dengan wanprestasi (cidera janji),
perbuatan melawan hukum, ganti rugi dan overmacht. Selain itu, hal-hal yang menyangkut sanksi
dan pidana supaya dihapus karena menjadi kewenangan legislatif.
• Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan
kewajiban. Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik
benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis.
Dari pengertian tersebut, maka memiliki keterkaitan antara subyek hukum dengan penguasaan hak
atas seseorang dan/atau yang dikategorikan ke dalam subyek hukum itu sendiri.
• Bahwa dalam BAB XVI mengenai Gashb (perampasan) dan Itlaf (perusakan) dari pasal 430
sampai dengan pasal 451 tidak mempunyai korelasi atau hubungan sama sekali dengan akad.
Karena Akad sesuai pasal 29 ayat 1 adalah kesepakatan antara dua pihak. Maka dalam hal ini
sebaiknya pasal tersebut dipisahkan dalam baku II tentang akad dan agar tidak terjadi
penumpukan pembahasan yang ada dalam satu buku II
Analisis Dalam Sistematika
Buku II Bab XVI KHES
• Bahwa dalam BAB XVI mengenai Gashb
(perampasan) dan Itlaf (perusakan) dari pasal 430
sampai dengan pasal 451 tidak mempunyai korelasi
atau hubungan sama sekali dengan akad. Karena
Akad sesuai pasal 29 ayat 1 adalah kesepakatan antara
dua pihak. Maka dalam hal ini sebaiknya pasal
tersebut dipisahkan dalam baku II tentang akad dan
agar tidak terjadi penumpukan pembahasan yang ada
dalam satu buku II
Sistematika KHES
( B u k u I I Pa s a l 5 4 8 )

❖ Pasal 548 disebutkan : akad yang digunakan pada ta’min dan i’adah ta’min
adalah
a. Wakalah bil Ujrah
b. Mudharabah
c. Tabaru’
❖ Pasal 548 tidak disebutkan akad Mudharabah Musyarakah tetapi di
Pasal 544-549 terdapat ketentuan mengenai akad Mudharabah
Musyarakah
Sistematika KHES
( B u k u I I Pa s a l 5 5 8 )

❖ Di dalam Pasal 558 “Apabila terjadi kerugian maka Lembaga


Keuangan Syariah sebagai Musytarik menanggung kerugian sesuai
dengan porsi modal yang disertakan

❖ “Musytarik menanggung kerugian dengan porsi modal yang


disertakan”

❖ Tidak Menjelaskan siapa yang menyebabkan kerugian


Sistematika KHES
(Pasal 4 Ayat 2 UU Perbankan Syariah – KHES
Buku III)

a. Bab II Asas, Tujuan dan Fungsi - Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah menjelaskan bahwa:
❖ “Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.”
➢ Dalam KHES: Tidak disebutkan penjelasan mengenai fungsi sosial yang dimaksud UU Perbankan
Syariah di atas, namun hanya menjelaskan pengenaan Zakat kepada produk lembaga keuangan
syari’ah, baik bank maupun non-bank yang ketentuannya disesuaikan menurut akad masing-masing
produk.

❖ Artinya apabila akad dalam produk bank yang dimaksud (syariah), maka kewajiban dalam pengelolaan
dana zakat tersebut seyogyanya mengikuti UU Perbankan Syariah dimaksud karena sebagaimana hierarki
ketentuan perundang-undangan KHES bersifat tidak mengikat kecuali pada hal yang bersifat syariah dan telah
ditentukan sebelumnya
BU K U III
ZAKAT

KHES UU Perbankan Syariah


Tidak menyebutkan frasa mengenai fungsi Disebutkan dengan jelas Bab II Asas, Tujuan
sosial yang dimaksud UU Perbankan dan Fungsi
Syariah, artinya produk pada lembaga
keuangan syariah tidak dikenakan
Pasal 4 ayat 2 menyebutkan bahwa “Bank Syariah dan
kewajiban dalam hal pemenuhan fungsi
Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi
sosial tersebut, yakni sebagai baitul mal.
sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima
dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau
dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
organisasi pengelola zakat.”
Sistematika KHES
( B u k u I I I Pa s a l 7 0 3 )

b. Fatwa DSN MUI Tentang Hadiah Dalam Penghimpunan Dana Lembaga Keuangan Syariah (LKS) No. 86/DSN-
MUI/XII/2012 menyebutkan bahwa hadiah (hadiyah) adalah pemberian yang bersifat tidak mengikat dan bertujuan agar
nasabah loyal kepada LKS.
❖ Bagian MEMUTUSKAN poin Ketiga butir 5 Fatwa DSN MUI No. 86/DSN-MUI/XII/2012 tersebut menjelaskan
bahwa:
❖ “Dalam hal akad penyimpanan dana adalah akad wadi'ah, maka hadiah promosi diberikan oleh LKS sebelum
terjadinya akad wadi'ah”.
➢ Pengertian akad wadi’ah (titipan) sendiri adalah akad titipan sesuatu yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak
lain untuk dijaga dan dikembalikan ketika diminta kembali (Fatwa DSN MUI No. 86/DSN-MUI/XII/2012 poin Pertama
butir 5).

❖ Bila dihubungkan dengan KHES Pasal 703, bahwa “Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus sudah ada
pada saat akad hibah.” Artinya garis hukum yang telah dijelaskan di atas bahwa LKS perlu mendapatkan akadnya terlebih
dahulu karena kedudukan KHES setara atau bahkan bisa menjadi rujukan Fatwa DSN itu sendiri. Jadi sebagaimana Pasal
703 KHES yang mengharuskan adanya akad tersebut, dan tidak disebutkan spesifik jenis akadnya apa.
BU K U III
H IBA H

KHES UU Perbankan Syariah


Tidak menyebutkan frasa Dijelaskan akad wadi’ah (jelas),
detail mengenai akad apa yang sehingga LKS dalam melakukan
diperjanjikan dalam hal penyimpanan dana, maka hadiah
persyaratan harta hibah promosi diberikannya harus
dimaksud dalam Pasal 704 terdapat akad wadi’ah sebelum
terjadinya perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai