Scribd 3
Scribd 3
Pendahuluan
peraturan dibuat tanpa pertimbangan moral atau nilai yang ada di dalam masyarakat
akan sewenang-wenang, sebaliknya jika hukum dibentuk atas dasar nilai yang hidup
keharmonisan kultur. “an enduring source of repressive law is the demand for cultural
itu sendiri. Masyarakat hukum adat melihat pembagian moral ini sebagai nilai yang
hidup padanya, memberikan dukungan dan kepaduan sosial dan serta merupakan
sumber bagi penanganan tata tertib yang efektif, bersama dengan fungsional aparat
Mungkin melihat tanah Indonesia yang subur, tidak menafikan bahwa bagi
moralisme ini merupakan permasalahan umum, yaitu moralitas yang digali untuk
tidak bermoral apabila terdapat perbuatan yang dianggap masyarakat melanggar hak
orang lain atau setidaknya bisa merugikan orang lain. Di lain sisi, peran pemerintah
dalam menegakkan suatu aturan memang tak boleh lepas dari moral yang hidup di
masyarakat sebagaimana yang disebutkan di muka. Oleh karena itu, penulis mengkaji
sebuah fenomena masyarakat yang cukup hangat dibahas dewasa ini sebut saja
1
Adanya kritik secara liberal moralisme legal sudah meniadakan keraguan pada signifikansi kesadaran
umum, bagi kepaduan masyarakat modern. Lebih baik difahami ketika nilai kebebasan harus mengambil
alih contoh atas harmoni sosial bahkan jika tempat tatanan yang berisiko.
mengkaji untuk melihat dari sisi politik hukum yang timbul darinya, hubungan moralitas
hukum (legal moralism) yang ada, serta sudut pandang hukum Islam yang ada karena
tidak bisa dilepaskan bahwa Islam juga mengatur kebolehan aborsi tentunya dengan
Aborsi menjadi beberapa permasalahan atau diskursus para ahli, dan menjadi
suatu perdebatan hangat yang tentunya berkaitan dengan isu moral yang berdimensi
sosial serta hukum, Setiap perspektif memiliki argumen atau opini yang berbeda satu
dengan yang lain. Bagi kaum yang mendukung moral dan kehidupan memiliki
pandangan untuk memberikan kehidupan secara mutlak bahwa bayi atau janin sama
halnya dengan sang ibu hak untuk hidup. Sementara, kaum sosial berargumen bahwa
Di Indonesia, memang aborsi dianggap tabu atau tidak biasa sehingga timbur
stereotype yang melabelkan bahwa aborsi itu tidak baik bagi sebagian besar
pandangan masyarakat Indonesia dan aborsi pula secara hukum dilarang dengan
Dalam kasus putusan aborsi (abortus provocatus), hakim seharusnya tidak hanya
menggunakan argumen atau penafsiran hukum saja, melainkan melihat dasar nilai
pengecualian yang disebutkan sebelumnya sehingga aborsi hingga saat ini memang
memasukkan unsur nilai kebiasaan yang hidup di masyarakat. Hukum pidana hadir
pelanggaran dan pengkhianatan baik amoral dan perbuatan kriminal lainnya, diambil
Moralisme hukum (legal moralism) sangat difahami dengan sangat baik sebagai
mengatur dan melindungan kaum perempuan sebut saja “KOMNAS HAM serta
peduli akan kelayakan dan keamana hidup seorang perempuan. Pola-pola serupa
muncul dalam konteks lain menurut yang umum dan khusus terjadi. Misalnya, ketika
menegakkan hukum dan menumbuhkan model dari apa yang seharusnya (das sein)
dengan yang senyatanya (das sollen). Dalam ilmu hukum filsafat, memang hukum
timbul bisa dari pendekatan empirik dengan situasi bahwa yang difahami hanyalah
benar adanya bukan benar apanya. Sehingga hukum muncul akibat dari perbuatan
yang manusia berikan dan ciptakan, dengan aturan yang dikodifikasikan menjadi
sebuah aturan formal yang disebut aturan positivisme hukum. Aliran ini memang
bertolak belakang dengan aliran natural law. Sehingga aturan moral memang perlu
2
Satya Arinanto, Constitutional Law and Democratization in Indonesia (Jakarta: Publishing House Faculty Of Law
University of Indonesia, First Publication in the academic year of 1997-1998)
diperhatikan disamping aturan positif yang mengaturnya, dalam artian harus
diperhatikan hak-hak yang melekat lainnya baik dari sang ibu maupun bayi/janinnya.
terdapat praktik seperti ini di dunia pengadilan Indonesia, padahal bila menilik dari
kasus aborsi tersebut selalu menarik perhatian public karena memang sudut
pandangan legalnya selalu berbenturan dengan pertimbangan moral dan sosial. Apa
yang diterima secara legal, belum tentu diterima secara moral. Dalam kasus
dalam putusan ini, pertimbangan moral meskipun tidak menjadi pertimbangan utama
dan dominan seharusnya dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan
perkara-perkara aborsi.
seseorang harus berusaha untuk menentukan apa yang dituntut moralitas darinya dan
seseorang yang tidak perlu ditempatkan di atas hukum. Karakter ini bisa mengarah ke
memperkuat moralitas. Seorang hakim dalam memutuskan suatu harus melihat nilai
yang ada, tidak perlu sampai mengorbankan hukum dan jatuh sepenuhnya ke dalam
moralisme melainkan yang perlu dilakukan serta diperhatikan ialah seorang hakim
Dengan demikian pertimbangan hukum pun benar secara moral dan hati nurani.
Dalam kehidupan sosial ‘conscience’ dan hakim dapat sejalan karena masyarakat
meskipun berasal dari titik tolak yang beragam menyepakati standar-standar perilaku
yang secara hukum dan moral dapat diterima. Ada banyak fungsi sentral yang
dikenakan pada moralitas, yakni agar orang menggunakan pertimbangan moral (moral
reasoning) untuk memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan, mungkin masuk
akal untuk melakukan sesuatu yang lain dan bahwa mendukung hukum dan tatanan
tanpa kompromi tidak dianggap sebagai sesuatu yang ambigu atau keliru.
Dalam pandangan lain disebutkan, Leslie Green (2011:7) bahwa hubungan antara
berhenti pada dirinya sendiri melainkan memiliki tujuan intensional moral di luar
Persoalan moral dan aborsi memang tidak dapat dipisahkan. Dalam Undang-
pembahasan/perdebatan yang ada adalah karena yang dilakukan tidak dengan alasan
1. Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. Alasan Pendidikan, artinya perlu
3. Belum siap baik secara mental maupun ekonomi untuk menikah dan mempunyai
anak, dan lain sebagainya. Masih banyak yang terjadi karena alasan-alasan
tertentu.
1. Pendarahan,
3. Risiko-risiko medis lainnya yang tentunya bisa merenggut nyawa sang ibu maupun
bayi/janin.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 299, Pasal 346, Pasal
348, Pasal 349 seyogyanya sudah mengatur bahwa abortus provocatus criminalis itu
perbuatannya dan orang yang melakukannya, yaitu semua orang baik pelaku maupun
pengecualian bagi larangan aborsi dengan alasan medis yang dikenal dengan abortus
provocatus medicalis.
Hal ini sebenarnya sejalan dengan Hukum Islam, jika melihat dari berbagai literatur
fikih terdapat perbedaan pendapat mengenai aborsi ini. Dalam Bahasa Arab, aborsi
diartikan sebagai al-ijhad, yang merupakan bentuk jamak dari kata ajhada, yang
artinya lahirnya janin karena dipaksa atau lahir dengan sendirinya sebelum tiba
Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi (selanjutnya disebut Fatwa MUI
4/2005). Fatwa ini dikeluarkan atas pertimbangan bahwa dewasa ini semakin banyak
tuntunan agama. Memang kekuatan hukum/sumber hukum dari Fatwa MUI digunakan
bagi kepentingan umat Muslim (sebagian), namun menurut pendapat penulis bahwa
Fatwa MUI bisa dikatakan kuat apabila terjadi kekosongan hukum yang tidak
mengaturnya sehingga asas legalitas muncul darinya apabila telah dibuatkan aturan
tertulis darinya.
Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada Al-Qur’an, hadits dan kaidah fikih
lainnya MUI telah berunding dan bermusyawarah tentunya atas dasar keilmuan
menyatakan bahwa:
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim
ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur (alasan syar’i), baik yang bersifat darurat
ataupun hajat.
1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut,
TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus
aborsi adalah:
1) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang jika lahir
yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter dan ulama
3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.
Dengan demikian Fatwa MUI 4/2005 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya MUI sepakat dengan ulama klasik maupun komtemporer yang ada, bahwa
aborsi qabla nafkh al-ruh diharamkan dan MUI sangat ketat, sebagaimana
pendapatnya al-Ghazali bahwa aborsi qabla nafkh al-ruh dilarang sejak terjadinya
bersifat darurat maupun hajat. Pengecualian ini dibatasi sampai janin berusia 40 hari,
tentu ini sama dengan pendapat yang disampaikan banyak ulama mayorita (jumhur
ulama), seperti ahli fuqaha’ syafi’iyah, sebagian besar pula fuqaha’ Hanabilah dan
sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyyah. Sementara aborsi akibat perzinahan, maka MUI
E. Perbandingan
Isu tentang praktik aborsi yang kontroversial memang cukup hangat, dengan
Kesehatan). Isu ini secara tidak langsung dapat dikatakan ‘melegalkan’ aborsi, dengan
menganggap aborsi, dengan alasan apa pun, sebagai aib sosial dan dosa berat karena
aborsi merupakan bentuk lain dari pembunuhan yang keji atas nyawa yang tak
berdosa.
1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
Ketentuan tentang hukum aborsi di dalam hukum pidana positif Indonesia diatur
dalam hukum umum (lex generalis) berupa KUHP dan hukum khusus dalam bentuk
Undang-Undang Kesehatan (lex spesialis). Menurut Supriyadi (2001: 2), KUHP tidak
membolehkan aborsi dengan alasan apapun juga dan oleh siapapun juga bahkan oleh
dokter sekalipun. Bagi seorang dokter, jika ia melakukan aborsi, ia malah dikenai
pemberatan pidana. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535, dan Kitab Undang-Undang Hukum
kasus aborsi tetap banyak terjadi bahkan cenderung meningkat dalam realitas
sebelumnya oleh penulis, yang paling banyak dijumpai adalah adanya kehamilan di
luar nikah dan kehamilan yang tidak direncanakan. Berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan, 40% responden mengakui bahwa aborsi dilakukan karena mereka
tidak menginginkan kehamilan karena sudah memiliki anak. Anehnya, tidak ada
responden yang mengakui bahwa aborsi dilakukan karena kehamilan akibat tindakan
kriminal. Maka aborsi dilakukan sebagai salah satu pilihan dalam keluarga. Mungkin,
karena maraknya aborsi yang dilakukan praktik aborsi dianggap sebagai suatu yang
lumrah di tengah masyarakat. Dengan latar belakang itu, kita bisa memahami
mengapa produk hukum ‘melegalkan’ aborsi meskipun dengan pengecualian-
pengecualian.
aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dituangkan dalam Pasal 75, Pasal 76, dan
Pasal 77. Tentunya hal ini bisa bersinggungan dengan Hukum Islam yang disebutkan
sebelumnya, banyak pendapat para ulama yang mengharamkan, dan banyak juga
yang membolehkan dengan udzur syar’I yang telah dijelaskan sebelumnya baik
karena keadaan darurat maupun hajat. Namun yang jelas mutlak haram hukumnya,
apabila hamil di luar nikah (karena perkawinan tidak sah/resmi/zina) dan niat untuk
F. Penutup
dengan citra tetap tatanan sosiaL Dalam proses itu, tata tertib sosial dilekatkan dari
etika harmoni menjadi tujuan dengan sendirinya, dan fungsi ideal dipenuhi atau
bahkan ditinggalkan. Jika tata tertib moral diatur dengan aspirasi maka kewajiban-
kewajiban spesifik akan dianalisa sebagai sarana bagi sasaran yang lebih besar dan
kewajiban spesifik, tata tertib moral mudah diyakini saat ketika terancam. Karena
aturan-aturan berkembang luas, resiko-resiko pelanggaran code menjadi berlipat kali
proses legal. Hukum purnitif bersifat tidak acak; diberikan sedikit pertimbangan bagi
konteks tertentu pelanggaran atau nilai praktis dari sanksi-sanksi alternatif. Kejahatan
ketidakpatuhan demikian.
kejahatan.3 Biaya - biaya ini sangat bervisi dimana konsensus moral menjadj lemah
dan oralitas yang berlaku bertubrukkan dengan sensibilitas (daya rasa) minoritas yang
pengasingan dan ketidakpatuhan. Jika konsensus moral itu kuat, maka moralisme
legal kurang cenderung dialami sebagai represif. “Moralitas superego" muncul yang
Moralitas superego mungkin mahal, karena menjadi keluhan yang bersifat tunduk,
alam yang lebih pribadi dari pengalaman yang intim.5 Menurut model Freud, moralitas
3
Hart, Hukum Kebebasan dan Moralitas; Herbert L Pecker, “Tarif Kejahatan”.
4
Dari sudut pandang kontrol insting atau moralitas, mungkin dikatakan mengenai total non-moral dari ego
yang berupaya menjadi moral dan superego yang dapat menjadi super moral dan kemudian menjadi kejam.
Tapi bahkan moralitas normal biasa memiliki kualitas yang melarang secara kejam.
5
Kebudayaan melindungi Otonomi tersendiri tidak difahami dengan baik
perkembangan psikologL Di luar penekanan id, Freud melihatnya potensi dan
perjuangan, bagi moderasi superego dan bagi kemunculan dari ego yang otonom dan
yang rasional.
elemen kesamaran model yang dicari untuk disampaikan tidak pernah sepenuhnya
terucap di luar aturan-aturan kaku. Sebagian aspek krusial dari ideal tetap implisit, dan
institusi harus mempertahankan otorita untuk mendorong standar yang lebih umum,
“sikap yang menjadi aparat" atau "menjadi anak baik". Kombinasi instruksi dan
kesamaran adalah karakteristik umum dari moralisme legal dalam penegakkan adat
meskipun secara moral masih bisa diperdebatkan, tetapi secara umum, terutama dari
pandangan agamawan dan pemikir-pemikir moral aliran konservatif, aborsi tidak dapat
nyawa sang ibu atau untuk menyelamatkan masa depan calon bayi atau janin karena
mengalami kelainan yang serius. Dalam memutuskan perkara yang kontroversial dan
pertimbangan lain seperti pertimbangan moral seperti yang dipaparkan di atas untuk
memperkaya dan memperkuat suatu putusan hukum dan menguatkan putusan hakim
yang fundamental. Hukum terus berubah atau bersifat dinamis, maka diharapkan
putusan hakim pula harus sejalan dengan keadaan dan kondisi masyarakat dewasa
ini dengan tetap melihat moral dan nurani yang hidup pada masyarakat itu sendiri
sehingga hukum dapat dipandang sebagai penegak keadilan yang seutuhnya dan
dengan sebenar-benarnya.
Pada titik ini, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa hukum tidak bisa
moralitas hampa dan moralitas tanpa hukum mubazir. Pertimbangan moral tetap
diperlukan bagi pertimbangan hukum. Penulis menutup dengan kalimat atau adagium
yang cukup berkesan bagi penulis maupun kalangan mahasiswa hukum lainnya,
muncul sebagai penengah para penegak, pembuat dan para penguasa dalam
menentukan kebijakannya yang relevan dan dapat diterapkan sesuai keadaan kondisi
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
1. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa
4. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan
ke-3, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2011.
B. Jurnal/Diskusi Ilmiah
2. Makalah dalam Diskusi Ilmiah, “Aborsi Dari Kajian Ilmu Politik Hukum”, Hukum
3. Salman Luthan, Jurnal Hukum, Hubungan Hukum dan Kekuasaan, No. 2 Vol. 14
C. Internet
1. https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/185
2. https://www.hukumonline.com/klinik/a/aborsi-dalam-perspektif-hukum-positif-dan-
hukum-islam-lt5f0839117647b
3. https://media.neliti.com/media/publications/97436-ID-hubungan-hukum-dan-
kekuasaan.pdf