Anda di halaman 1dari 15

A.

Pendahuluan

Moralitas menjadi peranan penting dalam pembentukan suatu peraturan karena

peraturan dibuat tanpa pertimbangan moral atau nilai yang ada di dalam masyarakat

akan sewenang-wenang, sebaliknya jika hukum dibentuk atas dasar nilai yang hidup

di masyarakat maka hukum tersebut dapat dikatakan telah sesuai dengan

keharmonisan kultur. “an enduring source of repressive law is the demand for cultural

conformity”, sumber hukum represif merupakan permintaan akan keharmonisan kultur

itu sendiri. Masyarakat hukum adat melihat pembagian moral ini sebagai nilai yang

hidup padanya, memberikan dukungan dan kepaduan sosial dan serta merupakan

sumber bagi penanganan tata tertib yang efektif, bersama dengan fungsional aparat

adat yang ada.1

Mungkin melihat tanah Indonesia yang subur, tidak menafikan bahwa bagi

moralisme ini merupakan permasalahan umum, yaitu moralitas yang digali untuk

mempertahankan “komunitas pengamatan”, dan ketidakpatuhan muncul seperti

penghianatan sebuah pelanggaran yang menentang komunitas. Moralitas dikatakan

tidak bermoral apabila terdapat perbuatan yang dianggap masyarakat melanggar hak

orang lain atau setidaknya bisa merugikan orang lain. Di lain sisi, peran pemerintah

dalam menegakkan suatu aturan memang tak boleh lepas dari moral yang hidup di

masyarakat sebagaimana yang disebutkan di muka. Oleh karena itu, penulis mengkaji

sebuah fenomena masyarakat yang cukup hangat dibahas dewasa ini sebut saja

“perbuatan aborsi” atau istilah lainnya dinamakan abortus provocatus. Penulis

1
Adanya kritik secara liberal moralisme legal sudah meniadakan keraguan pada signifikansi kesadaran
umum, bagi kepaduan masyarakat modern. Lebih baik difahami ketika nilai kebebasan harus mengambil
alih contoh atas harmoni sosial bahkan jika tempat tatanan yang berisiko.
mengkaji untuk melihat dari sisi politik hukum yang timbul darinya, hubungan moralitas

hukum (legal moralism) yang ada, serta sudut pandang hukum Islam yang ada karena

tidak bisa dilepaskan bahwa Islam juga mengatur kebolehan aborsi tentunya dengan

syarat-syarat yang diatur di dalamnya.

Aborsi menjadi beberapa permasalahan atau diskursus para ahli, dan menjadi

suatu perdebatan hangat yang tentunya berkaitan dengan isu moral yang berdimensi

sosial serta hukum, Setiap perspektif memiliki argumen atau opini yang berbeda satu

dengan yang lain. Bagi kaum yang mendukung moral dan kehidupan memiliki

pandangan untuk memberikan kehidupan secara mutlak bahwa bayi atau janin sama

halnya dengan sang ibu hak untuk hidup. Sementara, kaum sosial berargumen bahwa

perempuan memiliki haknya pula untuk mengontrol tubuhnya termasuk kehamilannya.

Di Indonesia, memang aborsi dianggap tabu atau tidak biasa sehingga timbur

stereotype yang melabelkan bahwa aborsi itu tidak baik bagi sebagian besar

pandangan masyarakat Indonesia dan aborsi pula secara hukum dilarang dengan

beberapa pengecualian dalam hukum positif di Indonesia.

B. Politik Hukum dan Aspek Hukum Tentang Aborsi di Indonesia

Dalam kasus putusan aborsi (abortus provocatus), hakim seharusnya tidak hanya

menggunakan argumen atau penafsiran hukum saja, melainkan melihat dasar nilai

yang melatarbelakangi perbuatan tersebut terjadi, mungkin adanya pengecualian-

pengecualian yang disebutkan sebelumnya sehingga aborsi hingga saat ini memang

masih penuh perdebatan atau diskursus khusus.


Pada dasar yang menggarisbawahi kepedulian negara bagi “penegakan moral

konstitusi”2 merupakan tanggung jawab yang dilakukan bagi perdamaian dan

memasukkan unsur nilai kebiasaan yang hidup di masyarakat. Hukum pidana hadir

mengambil beban yang ada, dengan tambahan di luar penekanan terhadap

pelanggaran dan pengkhianatan baik amoral dan perbuatan kriminal lainnya, diambil

penekanan serangan terhadap kesadaran umum.

Moralisme hukum (legal moralism) sangat difahami dengan sangat baik sebagai

penyakit alam bagi institusionalisme. Dalam praktiknya, memang lembaga yang

mengatur dan melindungan kaum perempuan sebut saja “KOMNAS HAM serta

Lembaga Kementerian lainnya”, hal tersebut sudah mengindikasikan bahwa negara

peduli akan kelayakan dan keamana hidup seorang perempuan. Pola-pola serupa

muncul dalam konteks lain menurut yang umum dan khusus terjadi. Misalnya, ketika

institusi-institusi berupaya menciptakan mempertahankan etos khas dalam

menegakkan hukum dan menumbuhkan model dari apa yang seharusnya (das sein)

dengan yang senyatanya (das sollen). Dalam ilmu hukum filsafat, memang hukum

timbul bisa dari pendekatan empirik dengan situasi bahwa yang difahami hanyalah

benar adanya bukan benar apanya. Sehingga hukum muncul akibat dari perbuatan

yang manusia berikan dan ciptakan, dengan aturan yang dikodifikasikan menjadi

sebuah aturan formal yang disebut aturan positivisme hukum. Aliran ini memang

bertolak belakang dengan aliran natural law. Sehingga aturan moral memang perlu

2
Satya Arinanto, Constitutional Law and Democratization in Indonesia (Jakarta: Publishing House Faculty Of Law
University of Indonesia, First Publication in the academic year of 1997-1998)
diperhatikan disamping aturan positif yang mengaturnya, dalam artian harus

diperhatikan hak-hak yang melekat lainnya baik dari sang ibu maupun bayi/janinnya.

C. Hubungan Hukum dan Moralitas dikaitkan dengan Kasus Aborsi

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor

377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT, bahwa pertimbangan hakim bernuansa sepenuhnya

murni legal tanpa menyertakan sedikitpun pertimbangan moral. Memang masih

terdapat praktik seperti ini di dunia pengadilan Indonesia, padahal bila menilik dari

kasus aborsi tersebut selalu menarik perhatian public karena memang sudut

pandangan legalnya selalu berbenturan dengan pertimbangan moral dan sosial. Apa

yang diterima secara legal, belum tentu diterima secara moral. Dalam kasus

dalam putusan ini, pertimbangan moral meskipun tidak menjadi pertimbangan utama

dan dominan seharusnya dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan

perkara-perkara aborsi.

Menurut Nicholas Unwin (2011:542), berhadapan dengan suatu putusan,

seseorang harus berusaha untuk menentukan apa yang dituntut moralitas darinya dan

berusaha untuk melakukan ‘apa yang seharusnya’ ia lakukan berdasarkan tuntutan

moralitas tersebut. Namun banyak pendapat ahli hukum tentang ‘conscience’

seseorang yang tidak perlu ditempatkan di atas hukum. Karakter ini bisa mengarah ke

pembangkangan atau ketidaktaatan sipil.

Perlu dibedakan juga antara sikap mendukung moralisme atau sekadar

memperkuat moralitas. Seorang hakim dalam memutuskan suatu harus melihat nilai

yang ada, tidak perlu sampai mengorbankan hukum dan jatuh sepenuhnya ke dalam
moralisme melainkan yang perlu dilakukan serta diperhatikan ialah seorang hakim

harus memperkuat moralitas sebagai dasar pertimbangan hukumnya.

Dengan demikian pertimbangan hukum pun benar secara moral dan hati nurani.

Dalam kehidupan sosial ‘conscience’ dan hakim dapat sejalan karena masyarakat

meskipun berasal dari titik tolak yang beragam menyepakati standar-standar perilaku

yang secara hukum dan moral dapat diterima. Ada banyak fungsi sentral yang

dikenakan pada moralitas, yakni agar orang menggunakan pertimbangan moral (moral

reasoning) untuk memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan, mungkin masuk

akal untuk melakukan sesuatu yang lain dan bahwa mendukung hukum dan tatanan

tanpa kompromi tidak dianggap sebagai sesuatu yang ambigu atau keliru.

Dalam pandangan lain disebutkan, Leslie Green (2011:7) bahwa hubungan antara

hukum dan moralitas, ialah kebenaran pertimbangan hukum sebagai kebenaran

signifikan sedangkan kebenaran pertimbangan moral sebagai kebenaran mutlak

(necessary). Lainnya (Gardner, 2011:1) menyebutkan pula, bahwa hukum tidak

berhenti pada dirinya sendiri melainkan memiliki tujuan intensional moral di luar

dirinya, yakni demi kebaikan umum (common good).

D. Hukum dan Aborsi

Persoalan moral dan aborsi memang tidak dapat dipisahkan. Dalam Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU

Kesehatan) mengatur tentang masalah aborsi ini. Dirkursus yang menjadi

pembahasan/perdebatan yang ada adalah karena yang dilakukan tidak dengan alasan

pengecualian (aborsi) sebagaimana yang disyaratkan dalam UU Kesehatan tersebut.


Berikut ini adalah alasan-alasan yang umumnya dipakai masyarakat untuk melakukan

aborsi di luar rekomendasi penyelamatan medis (alasan yang merupakan

pengecualian), antara lain:

1. Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. Alasan Pendidikan, artinya perlu

dipikirkan kembali permasalahan ini.

2. Malu pada lingkungan sosial dan sekitarnya.

3. Belum siap baik secara mental maupun ekonomi untuk menikah dan mempunyai

anak, dan lain sebagainya. Masih banyak yang terjadi karena alasan-alasan

tertentu.

Sehingga timbul akibat dari perbuatan atau tindakan aborsi, diantaranya:

1. Pendarahan,

2. Infeksi alat reproduksi, dan

3. Risiko-risiko medis lainnya yang tentunya bisa merenggut nyawa sang ibu maupun

bayi/janin.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 299, Pasal 346, Pasal

348, Pasal 349 seyogyanya sudah mengatur bahwa abortus provocatus criminalis itu

dilarang dan diancam hukuman pidana tanpa memandang latar belakang

perbuatannya dan orang yang melakukannya, yaitu semua orang baik pelaku maupun

penolong aborsi, seperti dokter atau bidan. Sedangkan UU Kesehatan memberikan

pengecualian bagi larangan aborsi dengan alasan medis yang dikenal dengan abortus

provocatus medicalis.
Hal ini sebenarnya sejalan dengan Hukum Islam, jika melihat dari berbagai literatur

fikih terdapat perbedaan pendapat mengenai aborsi ini. Dalam Bahasa Arab, aborsi

diartikan sebagai al-ijhad, yang merupakan bentuk jamak dari kata ajhada, yang

artinya lahirnya janin karena dipaksa atau lahir dengan sendirinya sebelum tiba

saatnya sebagaimana dijelaskan dalam Buku Masailul Fiqhiyah karya Mahjuddin.

Islam memandang aborsi dengan pengecualian-pengecualian yang ada. Majelis

Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi (selanjutnya disebut Fatwa MUI

4/2005). Fatwa ini dikeluarkan atas pertimbangan bahwa dewasa ini semakin banyak

terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan

tuntunan agama. Memang kekuatan hukum/sumber hukum dari Fatwa MUI digunakan

bagi kepentingan umat Muslim (sebagian), namun menurut pendapat penulis bahwa

Fatwa MUI bisa dikatakan kuat apabila terjadi kekosongan hukum yang tidak

mengaturnya sehingga asas legalitas muncul darinya apabila telah dibuatkan aturan

tertulis darinya.

Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada Al-Qur’an, hadits dan kaidah fikih

lainnya MUI telah berunding dan bermusyawarah tentunya atas dasar keilmuan

masing-masing pihaknya (MUI), sehingga bisa dapat dipertanggungjawabkan, serta

adanya pendapat para ulama-ulama klasik yang memberikan andil di dalamnya

menyatakan bahwa:

1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim

ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur (alasan syar’i), baik yang bersifat darurat

ataupun hajat.

a. Keadaan darurat dimaksud tentunya berkaitan dengan kehamilan yang

membolehkan aborsi adalah:

1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut,

TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus

ditetapkan oleh tim dokter/medis.

2) Dalam keadaan dimana kehamilan mengancam nyawa di ibu.

b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan

aborsi adalah:

1) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang jika lahir

kelak sulit disembuhkan

2) Kehamilan akibat pemerkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang

yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter dan ulama

c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf (b) di atas, harus dilakukan

sebelum janin berusia 40 hari.

3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

Dengan demikian Fatwa MUI 4/2005 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya MUI sepakat dengan ulama klasik maupun komtemporer yang ada, bahwa

aborsi qabla nafkh al-ruh diharamkan dan MUI sangat ketat, sebagaimana

pendapatnya al-Ghazali bahwa aborsi qabla nafkh al-ruh dilarang sejak terjadinya

implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).


Meskipun demikian, MUI memberikan pengecualian aborsi jika ada indikasi yang

bersifat darurat maupun hajat. Pengecualian ini dibatasi sampai janin berusia 40 hari,

tentu ini sama dengan pendapat yang disampaikan banyak ulama mayorita (jumhur

ulama), seperti ahli fuqaha’ syafi’iyah, sebagian besar pula fuqaha’ Hanabilah dan

sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyyah. Sementara aborsi akibat perzinahan, maka MUI

secara mutlak mengharamkannya.

E. Perbandingan

Isu tentang praktik aborsi yang kontroversial memang cukup hangat, dengan

disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU

Kesehatan). Isu ini secara tidak langsung dapat dikatakan ‘melegalkan’ aborsi, dengan

pengecualian-pengecualian, nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang mengakar kuat

dalam keyakinan masyarakat serta stereotype yang disebutkan di awal tetap

menganggap aborsi, dengan alasan apa pun, sebagai aib sosial dan dosa berat karena

aborsi merupakan bentuk lain dari pembunuhan yang keji atas nyawa yang tak

berdosa.

Pasal 75 dan Pasal 76 UU Kesehatan menegaskan larangan praktik aborsi (Pasal

75 ayat [1]), tetapi praktik aborsi dimungkinkan (pengecualian) apabila ada:

1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang

mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat

dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan

bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau


2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan truma psikologis bagi

korban perkosaan (Pasal 72 ayat [2]).

Ketentuan tentang hukum aborsi di dalam hukum pidana positif Indonesia diatur

dalam hukum umum (lex generalis) berupa KUHP dan hukum khusus dalam bentuk

Undang-Undang Kesehatan (lex spesialis). Menurut Supriyadi (2001: 2), KUHP tidak

membolehkan aborsi dengan alasan apapun juga dan oleh siapapun juga bahkan oleh

dokter sekalipun. Bagi seorang dokter, jika ia melakukan aborsi, ia malah dikenai

pemberatan pidana. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535, dan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Pasal 2 dan 1363.

Walaupun aborsi di Indonesia jelas-jelas dilarang oleh ketentuan undang-undang,

kasus aborsi tetap banyak terjadi bahkan cenderung meningkat dalam realitas

kehidupan sehari-hari. Terdapat berbagai alasan mengapa aborsi dilakukan di

kalangan masyarakat. Di antara alasan-alasan tersebut yang telah dikemukakan

sebelumnya oleh penulis, yang paling banyak dijumpai adalah adanya kehamilan di

luar nikah dan kehamilan yang tidak direncanakan. Berdasarkan penelitian yang

pernah dilakukan, 40% responden mengakui bahwa aborsi dilakukan karena mereka

tidak menginginkan kehamilan karena sudah memiliki anak. Anehnya, tidak ada

responden yang mengakui bahwa aborsi dilakukan karena kehamilan akibat tindakan

kriminal. Maka aborsi dilakukan sebagai salah satu pilihan dalam keluarga. Mungkin,

karena maraknya aborsi yang dilakukan praktik aborsi dianggap sebagai suatu yang

lumrah di tengah masyarakat. Dengan latar belakang itu, kita bisa memahami
mengapa produk hukum ‘melegalkan’ aborsi meskipun dengan pengecualian-

pengecualian.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan

UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 menegaskan dan ‘melegitimasi’ praktik aborsi.

Dikatakan ‘melegitimasi’ karena meskipun undang-undang melarang praktik aborsi,

‘dalam keadaan tertentu’ dapat diperbolehkan. Ketentuan yang mengatur praktik

aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dituangkan dalam Pasal 75, Pasal 76, dan

Pasal 77. Tentunya hal ini bisa bersinggungan dengan Hukum Islam yang disebutkan

sebelumnya, banyak pendapat para ulama yang mengharamkan, dan banyak juga

yang membolehkan dengan udzur syar’I yang telah dijelaskan sebelumnya baik

karena keadaan darurat maupun hajat. Namun yang jelas mutlak haram hukumnya,

apabila hamil di luar nikah (karena perkawinan tidak sah/resmi/zina) dan niat untuk

aborsi menurut MUI.

F. Penutup

Jadi moralitas "dilegalisasikan" sebagai ideal kultur menjadi terindentifikasi

dengan citra tetap tatanan sosiaL Dalam proses itu, tata tertib sosial dilekatkan dari

etika harmoni menjadi tujuan dengan sendirinya, dan fungsi ideal dipenuhi atau

bahkan ditinggalkan. Jika tata tertib moral diatur dengan aspirasi maka kewajiban-

kewajiban spesifik akan dianalisa sebagai sarana bagi sasaran yang lebih besar dan

otorita akan selalu bermasaIah.

Ketika nilai-nilai fundamental diindentifikasikan dengan performa kewajiban-

kewajiban spesifik, tata tertib moral mudah diyakini saat ketika terancam. Karena
aturan-aturan berkembang luas, resiko-resiko pelanggaran code menjadi berlipat kali

bahkan pelanggaran kecil menjadi tanda potensial bagi otorita lemah.

Jadi moralisme legal membuat hukum penegas, yaitu membangun ke dalam

proses legal. Hukum purnitif bersifat tidak acak; diberikan sedikit pertimbangan bagi

konteks tertentu pelanggaran atau nilai praktis dari sanksi-sanksi alternatif. Kejahatan

paradigmatis bukanlah pelanggaran atas kewajiban spesifik bahkan tindakan

ketidakpatuhan demikian.

Penegakkan moral adalah sumber luas kerancuan dalam pemerintahan keadilan

kejahatan.3 Biaya - biaya ini sangat bervisi dimana konsensus moral menjadj lemah

dan oralitas yang berlaku bertubrukkan dengan sensibilitas (daya rasa) minoritas yang

substansia. Penegasan diperburuk ketika tata tertib moral dipengaruhi dengan

pengasingan dan ketidakpatuhan. Jika konsensus moral itu kuat, maka moralisme

legal kurang cenderung dialami sebagai represif. “Moralitas superego" muncul yang

membawahi orang pada permintaan tata tertib sosial.

Moralitas superego mungkin mahal, karena menjadi keluhan yang bersifat tunduk,

pembatasan perasaan, penurunan kesadaran.4 Pengaruh-pengaruh dasar ini rnungkin

ditengahi ketika kebudayaan membatasi diri sendiri untuk melangsungkan atau

mempertahankan public decorum saat mempertahankan otonomi substansial dalam

alam yang lebih pribadi dari pengalaman yang intim.5 Menurut model Freud, moralitas

superego merepresentasikan hanya tahap awal perkembangan moral dan

3
Hart, Hukum Kebebasan dan Moralitas; Herbert L Pecker, “Tarif Kejahatan”.
4
Dari sudut pandang kontrol insting atau moralitas, mungkin dikatakan mengenai total non-moral dari ego
yang berupaya menjadi moral dan superego yang dapat menjadi super moral dan kemudian menjadi kejam.
Tapi bahkan moralitas normal biasa memiliki kualitas yang melarang secara kejam.
5
Kebudayaan melindungi Otonomi tersendiri tidak difahami dengan baik
perkembangan psikologL Di luar penekanan id, Freud melihatnya potensi dan

perjuangan, bagi moderasi superego dan bagi kemunculan dari ego yang otonom dan

yang rasional.

Bagaimanapun juga rincinya sebuah image/citra mungkin mempertahankan

elemen kesamaran model yang dicari untuk disampaikan tidak pernah sepenuhnya

terucap di luar aturan-aturan kaku. Sebagian aspek krusial dari ideal tetap implisit, dan

institusi harus mempertahankan otorita untuk mendorong standar yang lebih umum,

“sikap yang menjadi aparat" atau "menjadi anak baik". Kombinasi instruksi dan

kesamaran adalah karakteristik umum dari moralisme legal dalam penegakkan adat

istiadat sosial (pelarangan terhadap pencabulan) serta etiket institusional.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa aborsi menjadi problematika

karena meskipun dilarang, aborsi sekaligus juga diizinkan meskipun dengan

pengecualian-pengecualian. Dapat dikatakan bahwa aborsi secara hukum legal,

meskipun secara moral masih bisa diperdebatkan, tetapi secara umum, terutama dari

pandangan agamawan dan pemikir-pemikir moral aliran konservatif, aborsi tidak dapat

dibenarkan secara moral dengan alasan apapun, maupun untuk menyelamatkan

nyawa sang ibu atau untuk menyelamatkan masa depan calon bayi atau janin karena

mengalami kelainan yang serius. Dalam memutuskan perkara yang kontroversial dan

problematika seperti aborsi ini, hakim seharusnya dapat mengemukakan

pertimbangan lain seperti pertimbangan moral seperti yang dipaparkan di atas untuk

memperkaya dan memperkuat suatu putusan hukum dan menguatkan putusan hakim

terdahulu (yurisprudensi) karena moralitas seharusnya menjadi dasar bagi hukum

yang fundamental. Hukum terus berubah atau bersifat dinamis, maka diharapkan
putusan hakim pula harus sejalan dengan keadaan dan kondisi masyarakat dewasa

ini dengan tetap melihat moral dan nurani yang hidup pada masyarakat itu sendiri

sehingga hukum dapat dipandang sebagai penegak keadilan yang seutuhnya dan

dengan sebenar-benarnya.

Pada titik ini, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa hukum tidak bisa

dilepaskan dari moralitas karena keduanya saling melengkapi. Hukum tanpa

moralitas hampa dan moralitas tanpa hukum mubazir. Pertimbangan moral tetap

diperlukan bagi pertimbangan hukum. Penulis menutup dengan kalimat atau adagium

yang cukup berkesan bagi penulis maupun kalangan mahasiswa hukum lainnya,

bahwa “Karakteristik hubungan hukum dan kekuasaan, khususnya dalam hal

legalisasi kekuasaan dan penegakan hukum, dijelaskan oleh Mochtar

Kusumaatmadja dalam satu ungkapkan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-

angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Sehingga moralitas

muncul sebagai penengah para penegak, pembuat dan para penguasa dalam

menentukan kebijakannya yang relevan dan dapat diterapkan sesuai keadaan kondisi

masyarakat saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

1. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa

Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2005.

2. Politik Hukum 2, Legal Moralism and Punitive Law, Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama.


3. Satya Arinanto, Constitutional Law and Democratization in Indonesia (Jakarta:

Publishing House Faculty Of Law University of Indonesia, First Publication in the

academic year of 1997-1998).

4. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan

ke-3, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2011.

5. Supriyadi, Politik Hukum Kesehatan Terhadap Pengguguran Kandungan,

Yogyakarta: Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, 2002.

B. Jurnal/Diskusi Ilmiah

1. Jurnal Yudisial, Simulacra Keadilan, Vol-IV/No-03/Desember/2011.

2. Makalah dalam Diskusi Ilmiah, “Aborsi Dari Kajian Ilmu Politik Hukum”, Hukum

Kesehatan dan Hukum Pidana, FH-UAJY, Tanggal 2 Juli 2002.

3. Salman Luthan, Jurnal Hukum, Hubungan Hukum dan Kekuasaan, No. 2 Vol. 14

April : 166 -184, FH UII Yogyakarta, 2007.

C. Internet

1. https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/185

2. https://www.hukumonline.com/klinik/a/aborsi-dalam-perspektif-hukum-positif-dan-

hukum-islam-lt5f0839117647b

3. https://media.neliti.com/media/publications/97436-ID-hubungan-hukum-dan-

kekuasaan.pdf

Anda mungkin juga menyukai