Anda di halaman 1dari 24

LABORATORIUM ILMU JURNAL

KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN MARET 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

THE MANAJEMENT OF SEBORRHEIC DERMATITIS


2020 :AN UPDATE

Oleh :
Rizki Aji Nugroho S.Ked
K1B1 21064

Pembimbing:
dr. Siti Andayani, M.Kes, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
The management of seborrheic dermatitis 2020: An update
Sandra Widaty1 , Kusmarinah Bramono1 , Muhammad Yulianto Listiawan2 ,
Ariyati Yosi3 ,
Eliza Miranda1 , Githa Rahmayunita1 , Herwinda Brahmanti4 , Henry W Lim5
1
Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine Universitas
Indonesia,
Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia
2
Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine Universitas
Airlangga,
Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesia
3
Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine Universitas
Sumatera Utara,
H. Adam Malik General Hospital, Medan, Indonesia
4
Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine Universitas
Brawijaya,
Dr. Saiful Anwar General Hospital, Malang, Indonesia
5
Department of Dermatology, Henry Ford Hospital, Detroit, Michigan, USA
Abstrak
Latar Belakang: Dermatitis seboroik (SD) adalah dermatitis kekambuhan kronis
yang bermanifestasi di daerah seboroik, menyerang bayi atau orang dewasa. Di
Indonesia, prevalensi SD adalah 0,99-5,8% dari semua kasus dermatologi dari
tahun 2013 hingga tahun 2015. SD telah dikenal sebagai manifestasi yang
menonjol di antara pasien HIV, tetapi ada peningkatan tren pada populasi umum.
Oleh karena itu, pada tahun 2017 Perhimpunan Dermatologi dan Kelamin
Indonesia mengusulkan konsensus untuk pengelolaan SD di Indonesia
berdasarkan diskusi dari 12 dermatologis pusat. Bersamaan dengan
pengembangan obat baru, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan
mengembangkan pedoman untuk pengobatan dermatitis seboroik di Indonesia
memperbarui pedoman sebelumnya pada tahun 2017. Metode: Tinjauan sistematis
didasarkan pada metode berbasis bukti, dan bukti ilmiah diperoleh melalui
pencarian sistematis. Analisis bukti sudah sesuai dengan tingkat bukti. yang
tersedia bukti dievaluasi, dan kesimpulan didasarkan pada tingkat rekomendasi.
Penilaian kritis adalah dilakukan oleh para ahli dermatologi dan venereologi.
Hasil: Tingkat keparahan SD dapat ditentukan dengan menggunakan Indeks
Keparahan Area Dermatitis Seboroik. Itu prinsip manajemen SD kulit kepala
adalah mengendalikan kondisi kulit kepala dengan cara yang hemat biaya untuk
membuat pasien nyaman. Rekomendasi untuk pengobatan SD dewasa adalah agen
topikal, seperti antijamur, agen antiinflamasi nonsteroid dengan sifat antijamur,
kortikosteroid, dan inhibitor kalsineurin. Kesimpulan: Kami telah memperbarui
dan menambahkan agen baru untuk pengobatan SD. Pendekatan dibagi menjadi
kulit kepala atau non kulit kepala dan juga SD dewasa atau infantil.

Kata kunci: dermatitis seboroik, pendekatan manajemen, diagnosis, Keparahan


Area Dermatitis Seboroik Indeks, pedoman

Latar belakang

Dermatitis seboroik (SD) adalah dermatitis kambuhan kronis yang

bermanifestasi di daerah seboroik. Manifestasi klinis berkisar dari patch

eritematosa yang tidak berbatas tegas hingga plak dengan sisik putih atau kuning

bersisik. SD dapat terjadi pada bayi atau orang dewasa dengan dominasi laki-laki

pada dekade ketiga hingga keempat kehidupan.

Di Indonesia, prevalensi SD adalah 0,99-5,8% dari seluruh kasus

dermatologi pada tahun 2013-2015. Di sisi lain, prevalensi infeksi human

immunodeficiency virus (HIV) di Indonesia terus meningkat, mengakibatkan

peningkatan prevalensi SD secara keseluruhan dan lebih banyak kasus bandel.

Penatalaksanaan SD ditargetkan untuk mengurangi atau menghilangkan

tanda dan gejala klinis, terutama skala dan pruritus, dan juga untuk

mempertahankan remisi Cheong dkk. telah mengembangkan pedoman untuk

pengobatan SD pada populasi Asia. Pengobatan awal untuk SD dapat dilakukan

oleh dokter umum, dokter kulit, atau kolaborasi keduanya karena SD ringan dapat

ditangani oleh dokter sebelumnya

Pada tahun 2017, Perhimpunan Dermatologi dan Kelamin Indonesia telah

menerbitkan Pedoman Praktik Klinis Nasional Pengobatan SD di Indonesia. Kami


mengusulkan pembaruan untuk pedoman ini karena meningkatnya insiden SD dan

ketersediaan obat di Indonesia.

Metode

Tinjauan ini didasarkan pada data tinjauan sistematis 2016-2017 dan

tinjauan tambahan dari Juli 2019 hingga Desember 2019. Tinjauan pustaka

dilakukan berdasarkan prinsip metode berbasis bukti, dan bukti ilmiah diperoleh

melalui pencarian sistematis. Tiga database yang digunakan: Cochrane Library,

Google Scholar, dan PubMed. Kata kunci yang digunakan adalah dermatitis

seboroik, eksim seboroik, ukuran hasil, kualitas hidup, manajemen, dan terapi

Tingkat bukti (LoE) ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan oleh

Pusat Oxford untuk Kedokteran Berbasis Bukti (Tabel 1).3 Dalam penelitian ini,

modifikasi dilakukan jika tidak ada bukti tingkat tinggi yang dicatat. Berdasarkan

LoE, rekomendasi dapat dibuat (Tabel 2)

Tingkat keparahan SD dapat ditentukan dengan menggunakan Indeks

Keparahan Area Dermatitis Seboroik (SDASI), seperti pada gambar di bawah ini.

 Penentuan skor area lokal pada setiap area, yang merupakan persentase

gejala SD pada area yang terkena dibandingkan dengan area sekitarnya

1 : 10%

2: 11%–30%

3: 31%–50%

4: 51%–70%

5: >70%
 Penilaian derajat eritema (E), papula (P), dan sisik (S ) pada setiap area:

0: Tidak ada

1: Ringan

2: Sedang

3: Berat

 Perhitungan skor SDASI setiap area (E+P+S) × Skor Area Lokal

 Kuantifikasi ketiga skor SDASI

 Klasifikasi keparahan SD menurut skor SDASI

Ringan : 0–7,9

Sedang : 8–15.9

Parah : >16

Level Deskripsi
1 Meta analisis atau tinjauan
sistematis uji coba terkontrol secara
acak (RCCT) RCT individu
2 Tinjauan nonsistematis dari RCT
Tinjauan sistematis dari studi
kohort
Studi kohort individu
3 Studi non RCT
Tinjauan sistematis studi kasus-
kontrol
Studi kasus kontrol individu
4 Kasus serial dan studin kohort dan
studi kasus kontrol dengan validasi
rendah
5 Pendapat ahli tampa penilaian kritis
yang terdefinisi dengan baik atau
hanya berdasarkan fisiologi

Tabel 1. Level of evidence based berdasarkan oxford center for evidence


based
Kelas Definisi LoE
A Sangat Tingkat 1
direkomendasikan untuk
diterapkan
B Direkomendasikan untuk Level 2,3 atau
diterapkan ekstrapolasi level 1
C Dapat diaplikasikan Level 4 atau
ekstrapolasi level 2,3
D Tidak disarankan untuk Level 5 atau studi lain
diterapkan yang tidak termasuk
dalam level 1-4

Tabel 2. kelas rekomendasi berdasarkan level of evidence

Manajemen

Prinsip pengelolaan SD kulit kepala adalah mengendalikan kondisi kulit

kepala dengan biaya yang efektif untuk membuat pasien nyaman. Obat untuk SD

harus diterima secara estetis, artinya dapat digunakan dengan produk perawatan

rambut sehari-hari, yang mengarah pada peningkatan kepatuhan dan manajemen

yang sukses. Beberapa faktor yang dipertimbangkan sebelum menentukan

pengobatan untuk SD adalah usia, penyakit penyerta, potensi agen, kemanjuran

agen topikal, kenyamanan dan kepatuhan, dan keamanan obat. Pasien juga harus

disarankan untuk menghindari faktor predisposisi (penggunaan AC, kelembaban

rendah, menggaruk, agen iritasi, makanan tinggi lemak)

Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan mengenai pengelolaan

penyakit di fasilitas pelayanan primer. SD ringan tanpa penyakit penyerta dapat

dirawat di layanan primer, sedangkan SD sedang hingga berat dengan dan tanpa
penyakit penyerta disebut sebagai fasilitas perawatan sekunder atau tersier. Oleh

karena itu, kami mengembangkan algoritme untuk SD ringan dan sedang hingga

berat. Agen yang berbeda digunakan untuk SD kulit kepala dan non-kulit kepala.

Gambar 1 dan 2 menunjukkan algoritma untuk pengelolaan SD. Tabel 3, 4 dan 5,

di sisi lain, menunjukkan rekomendasi untuk manajemen

Penilaian berat SD pada area bukan scalp

ringan Sedang/berat

Agent antifungal
Lanjutkan kortikosteroid
topical atau nsaid
sedang potent untuk 1-2
dengan antifungal
minggu dan nsaid
dengan antifungal atau
agent antifungal topical
perbaikan Tampa perbaikan

perbaikan Tampa perbaikan


Lanjutkan Kombinasi
treatment dengan agen
sampai aforemention Lanjutkan Tambahkan
remisi treatment agent
selama 2 antifungal
minggu sistemic

perbaikan Tampa perbaikan


Tampa perbaikan

Lanjutkan Ganti ke
Ganti ke calcineurin
kortikosteroid calcineurin inhibitor
topikal selama inhibitor topical
2 minggu topical
Tampa perbaikan

Lakukan tes lainnya


dan konsultasi untuk
identifikasi komorbid
Gambar 1. Algoritma manajemen dermatitis seboroic pada area bukan scalp

Penilaian berat sd di scalp/ buksan kulit


globrous

ringan Sedang/ berat

Sampo antifungal Kombinasi antifungal atau


atau nsaid dengan nsaid dengan antifungal
antifungal sampo sampo dan kortikosteroid
atau selenium potent ringan atau sedang
slfide /zinc (class i-ii) untuk 4 minggu
pyrition/sampo tar

perbaikan Tidak perbaikan perbaikan Tidak perbaikan

Berhentikan
Tambahkan kortikosteroid Berhentikan Lanjutkan
perlahan
potent ringan atau sedang perlahan antifungal atau
treatment
(class i-ii) untuk 4 minggu treatment nsaid dengan
sampai remisi
sampai remisi antifungal
sampo dan
tambahkan
poten atau
Tidak perbaikan supperpotent
kortikosteroid
sampo (class
Lakukan tes lainnya ii-iv) dua kali
dan konsultasi untuk perminggu
identifikasi komorbid untuk 2 minggu

Tidak perbaikan
Tambahkan agent
Tidak perbaikan
antifungal
sistemic
Gambar 2. Algoritma manajemen dermatitis seboroik pada scalp dan bukan
globorous
Tabel 3. Manajemen bukan scalp pada derattis seboroik

Product Formula Dosis LoE GoR


Ringan SD
Agent antifungal topical Ketoconazole kream 2 kali perhari selama 4 1 A
2% minggu
Terbinafine cream
AIAFp (nonsteroidal Piroctone olamine/ 1 A
antiinflamatory agent algycera atau bisabolol 1 A
dengan antifungal) kream
Kortikosteroid topical Hydrocortisone cream 1 A
1% dengan ointment
Topical calcineurin Pimecrolimus 1% 1 A
inhibitor kream 1 A
Tacrolimus 0,1%
ointment
Sedang sampai berat sd
Kortikosteroid topical Aclometasone 0,05% 2 kali shari dalam 4
( kelas2) ointment minggu
Desonide 0,05% kream
Agent antingal sistemic 1. Itraconazole 100 1. Bulan pertama: 1 A
mg capsule 200 mg / hari 1 A
2. Terbinafine 250 selama 1 1 A
mg kapsule minggulanjutkan
3. Fluconazole 50 dengn 2 hari/
mg capsule Bulan hingga 11
bulan
2. Cutaneus
regimen250
mg/hari untuk 4-
6 minggu
3. 50 mg/ hari
untuk 2 mingu
atau 200-300
mg/minggu
untk2-4 minggu
Lain lain Fototerapi Narrowband 4 C

Tabel 4. Manajemen dermatitis seboroik pada scalp


Medikasi Sediaan Dosis Lo Go
E R
Ringan sd
Agent Ketoconazole 1%- 2-3 x perminggu 1 A
antifungal 2% shampoo
topical
AIAFp Piroctone olamine/ 2-3 x perminggu 1 A
(nonsteroidal bisabolol/
antiinflamator glycirretinic acid/
y agent dengan lactoferin shampoo
antifungal)
Keratolityc Asam salisilat 3% Asama salisilat 1-3x 1 A
dan tar tar 1%2% dan perminggu
kombinasi
Agent lain Selenium sulfide 2-3 x perminggu 1 A
2,5% shampoo
Zinc pyrothione 1%-
2% shampoo
Topikal
kortikosteroid
kelas 1 Hidrokortisone 1% 1X Perhari selama 4 1 A
kream minggu
Kelas 2 Aclometasone 1 A
0,05% ointment
Desonide 0,05%
kream
Sedang sampai
berat sd
Topical
kortikosteroid
kelas 1 Hydrocortisone 1% 1x /hari selam 4 minggu 1 A
kream
Kelas 2 Aclometasone 1 A
0,05% ointment
Desonidde 0,05%
cream
Kortikosteroid
topikal
kelas 3 Mometasone 0,1%
solution atau kream
Kelas 4 Clobetasol
propionate 0,05%
shampoo
Agent 1. Intraconazol 1. Bulan 1 A
antifungal e capsule pertama;200 1 A
sistemik 100 mg mg/hariselanjutny 1 A
2. Terbinafin a 2hari/bulan
capsule 250 selama 11 bulan
mg 2. Lanjutkan
3. Fluconazole rejiment 250
capsule 50 mg/hari untuk 4-6
mg minggu
3. 50 mg/hari untuk
2 minggu atau 200
-300mg/minggu
untuk 2- 4 minggu

Tabel 5. Manajemen dermatitis seboroik infantile


Medikasi Sediaan Dosis catatan Lo Go
E R
Daerah scalp
dan rambut
Agent Ketoconazole 2% 2x/ AA
antifungal shampoo minggu
topical untuk 4
minggu
Emollient petrolatum putih Setiap 1 A
ointment hari
AIAFp Piroctone Setiap 12 1 A
damine/algycera/bisabo jam
lol kream
Nonscalp
area
Agent Ketoconazole 2% 1x/hari Bisa 1 A
antifungal kream tiap 7 digunakan
topical hari sendiri atau
dengan
kombinasi
kortikosteroi
d topikal
area terbatas
Kortikosteroi Hidrokortisone 1% 1x/hari 1 A
d topikal kream tiap 7
hari

Agent antifungal

Agen antijamur sistemik adalah pengobatan pilihan untuk mikosis dalam

(mikosis subkutan dan mikosis sistemik) dan beberapa mikosis superfisial.

Pemilihan agen ditentukan oleh beberapa pertimbangan, seperti jenis jamur,

tingkat kesembuhan, analisis biaya-manfaat, efek samping, interaksi obat,

kenyamanan, usia, kondisi umum, dan riwayat kesehatan pasien. Beberapa hal

yang dapat menyebabkan interaksi obat, efek samping akibat fungsi organ yang

tidak mencukupi, dan efek samping teratogenik harus diperhitungkan sebelum

pemberian obat

a) Azoles

Azoles diklasifikasikan menjadi imidazol dan triazol berdasarkan

jumlah atom nitrogen pada rantai azol. Ketoconazole adalah contoh

imidazol, sedangkan itrakonazol, flukonazol, vorikonazol, dan

posakonazol adalah contoh triazol. Mekanisme kerjanya adalah

penghambatan lanosterol 14α-demethylase, dan sitokrom P450 (CYP450),

yang menyebabkan gangguan sintesis ergosterol, menyebabkan

ketidakstabilan dan hiperpermeabilitas membran sel, yang mengganggu

pertumbuhan jamur dan kelangsungan hidup. Efek samping yang paling

umum adalah gangguan gastrointestinal, sedangkan efek samping yang

kurang umum adalah gangguan fungsi hati, toksisitas jantung,

hipertrigliseridemia, edema, urtikaria, anafilaksis, neuropati, hipertensi,

impotensi, dan leukopenia. Azole berinteraksi dengan CYP3A4, sehingga


penggunaan azol dengan obat yang dimetabolisme oleh enzim ini dapat

menyebabkan perubahan konsentrasi plasma kedua obat. Penyerapan azol

juga terganggu jika dikonsumsi dengan antasida, penghambat H2, dan

penghambat pompa proton.

b) Allylamines

Mekanisme aksi Allylamines adalah penghambatan squalene

epoxidase, non-cytochrome P450 enzim, yang menyebabkan gangguan

biosintesis ergosterol. Kelas ini memiliki aktivitas fungisida dan

fungistatik. Aktivitas fungisida diperoleh melalui akumulasi squalene yang

melemahkan membran sel jamur, sedangkan aktivitas fungistatik diperoleh

melalui defisiensi ergosterol yang menyebabkan terganggunya fungsi

membran pada pertumbuhan jamur. Efek samping yang paling umum

adalah gangguan gastrointestinal, sedangkan efek samping yang kurang

umum adalah sakit kepala, erupsi eksantematosa, psoriasis pustular, nyeri

dada, malaise, kelelahan, gangguan hati, dan nekrolisis epidermal toksik.

Kelas ini dimetabolisme oleh CYP450, sehingga obat yang menginduksi

atau menghambat enzim ini dapat mengganggu pembersihan allylamines.

Interaksi lain juga dilaporkan dengan penggunaan siklosporin, warfarin,

dan obat-obatan yang dimetabolisme oleh CYP2D6. Terbinafine adalah

allylamine sistemik. atau menghambat enzim ini dapat mengganggu

pembersihan allylamines. Interaksi lain juga dilaporkan dengan

penggunaan siklosporin, warfarin, dan obat-obatan yang dimetabolisme

oleh CYP2D6. Terbinafine adalah allylamine sistemik


c) Terbinafine

Terbinafine diserap di saluran pencernaan. Sediaan berupa tablet

dan granul. Ini bersifat lipofilik dan keratofilik, sehingga tersebar luas di

kulit, kuku, dan lemak. Bioavailabilitas terbinafine adalah 40%, dengan

waktu paruh 22 jam. Metabolisme terjadi di hati melalui oksidasi oleh

CYP2D6. Eliminasi terjadi terutama melalui urin (80%) dan feses.

Rifampisin meningkatkan klirens terbinafine, sedangkan cimetidine

menurunkan klirens terbinafine. Terbinafine meningkatkan konsentrasi

plasma dari beberapa obat, seperti antidepresan trisiklik, beta blocker,

inhibitor reuptake serotonin selektif, dan inhibitor monoamine oksidase

tipe B.

Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal dengan potensi rendah hingga sedang diindikasikan

pada SD berat. Agen ini dapat digunakan sendiri atau dengan agen antijamur

untuk mengelola peradangan, terutama eritema dan pruritus. Penggunaan jangka

panjang tidak disarankan karena potensi efek samping, seperti hipertrikosis, atrofi

kulit, telangiektasia, dermatitis perioral, dll. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa monoterapi dengan kortikosteroid topikal tidak lebih unggul daripada agen

antijamur topikal. Oleh karena itu, agen antijamur masih dianggap sebagai

pengobatan lini pertama untuk SD ringan, tetapi kortikosteroid topikal adalah

pengobatan lini pertama untuk SD sedang hingga berat.

Topical AIAFP (nonsteroidal antiinflamasi agent dengan antifungal)

a) Piroctone olamine
Piroctone olamine adalah garam ethanolamine yang berasal dari

asam hidroksamat. Ini memiliki sifat antijamur dan dapat ditemukan dalam

produk kosmetik dengan konsentrasi 0,5% atau 1%. Mekanisme kerjanya

adalah dengan menembus membran sel, mengikat ion besi dan membuat

kompleks, dan kemudian menghambat metabolisme energi di mitokondria

protein. Agen ini sering dikombinasikan dengan climbazole, agen

antijamur yang mengikat jamur P-450, yang mengarah pada

penghambatan efek yang dimediasi P-450. Beberapa penelitian tentang

aplikasi krim dan sampo climbazole/piroctone olamine menunjukkan

efektivitas dalam mengurangi eritema dan sebum pada wajah dan kulit

kepala.

b) Bisabolol

Bisabolol adalah alkohol seskuiterpen monosiklik dengan sifat

antioksidan dan anti-inflamasi. Mekanisme kerjanya adalah dengan

menurunkan regulasi neutrofil polimorfonuklear dan melepaskan spesies

oksigen reaktif. Hal ini ditemukan untuk menjadi pelindung epitel

lambung dari oksida nitrat dan prostaglandin. Efek ini diperkirakan juga

diterapkan pada kulit karena kesamaan antara epitel kulit dan lambung.

Untuk SD, bisabolol terbukti efektif, tetapi harus digunakan dalam

kombinasi dengan agen lain, seperti piroctone olamine, alglycera, dan

temsteine.

c) Glicyrrhetinic
Itu berasal dari licorice hitam. Ini memiliki sifat anti-inflamasi,

anti-iritasi, anti-alergi, dan antivirus. Mekanisme aksinya adalah dengan

menghambat 11-β-hyroxysteroid hydroxygenase, yang mengarah pada

penghambatan konversi hidrokortison dalam metabolisme steroid,

mengerahkan sifat anti-inflamasinya. Sebuah studi komparatif secara acak

menunjukkan bahwa sampo yang mengandung 18β- asam glycyrrhetinic

dalam ciclopirox olamine dan zinc pyrithione memiliki perbaikan klinis

yang signifikan, ditandai dengan penurunan eritema, ketombe, dan jumlah

Malassezia spp. di permukaan kulit 2 minggu pasca terapi.

d) Lactoferin

Mekanisme kerjanya dihipotesiskan oleh modulasi fungsi,

pematangan, dan migrasi sel imun, serta pengikatan dan interaksi besi

dengan senyawa lain. Sebuah studi sebelumnya mengukur efek dari gel

topikal yang mengandung laktoferin, ciclopirox olamine, lidah buaya, dan

gliserol-fosfoinositol menunjukkan bahwa hal itu menyebabkan

pengurangan yang signifikan dari eritema, gatal, dan deskuamasi.

e) Promise

Promiseb adalah kombinasi asam lycyrrhetinic dan krim piroctone

olamine dengan sifat antijamur dan antiinflamasi. Telah terbukti sama

efektifnya dengan krim desonide dalam mengurangi tanda dan gejala SD.

Ini efektif dalam mengendalikan flare dengan kemungkinan kambuh yang

lebih kecil tanpa potensi efek samping yang serius

Topical cacineurin inhibitor (TCIs)


Mekanisme kerja inhibitor kalsineurin adalah dengan menghambat sekresi

sitokin yang diinduksi sel T, yang akan menyebabkan penurunan inflamasi. TCI

jarang dikaitkan dengan efek samping. Namun, penggunaan jangka panjang tidak

disarankan karena laporan keganasan pada pasien yang menggunakan inhibitor

kalsineurin topikal untuk penggunaan jangka panjang. Beberapa penelitian yang

membandingkan krim pimekrolimus dan kortikosteroid topikal (krim betametason

17-valerat 0,1% atau krim hidrokortison asetat 1%) telah menunjukkan bahwa

keduanya sama efektifnya pada SD. Krim pimekrolimus juga ditemukan

menunjukkan kekambuhan yang lebih ringan dan durasi remisi yang lebih lama.

Untuk salep tacrolimus, terbukti memiliki kemanjuran yang lebih baik daripada

kortikosteroid topikal tetapi tidak lebih unggul dari sampo zinc pyrithione.

Aplikasi salep tacrolimus umumnya tidak diterima dengan baik oleh pasien karena

sifatnya yang berminyak.

Tar keratolitics

a) Coal tar

Agen ini memiliki sifat keratoplastik, yang berguna dalam SD. Penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak tar batubara 8,75%

dalam deterjen cair setiap hari sebelum keramas dan dua kali seminggu

selama 3 minggu ditemukan memperbaiki tanda dan gejala SD pada

86,4% subjek.

b) Salicylic acid/lipohydrosy acid (LHA)

c) LHA ditemukan menginduksi stimulasi re-epitelisasi dan deskuamasi dan

memiliki sifat antimikroba terhadap Malassezia ovalis. Penelitian


sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan sampo yang mengandung

LHA 0,1% dan asam salisilat 1,3% terbukti mengurangi eritema, skala,

pruritus, dan kekeringan setelah aplikasi topikal setiap 2 hari selama 4

minggu.

d) K301

K301 atau Kaprolac adalah campuran asam laktat, urea, propilen glikol,

dan sedikit air dan gliserol. Ini memiliki sifat keratolitik, menghidrasi,

pengelupasan, dan antijamur. Perbaikan klinis yang signifikan dapat

dilihat setelah 2 minggu pengobatan. Efek samping yang mungkin terjadi

adalah eritema, ruam, pruritus, sensasi terbakar, eksim, dan ulserasi

Selenium sulfide

Agen topikal ini memiliki sifat antijamur dengan mempromosikan

pelepasan stratum korneum di tempat yang terinfeksi. Shampo selenium sulfida

2,5% terbukti efektif dalam mengobati ketombe sedang hingga berat, terutama

dalam mengurangi pruritus dan iritasi. Sayangnya, ini kurang ditoleransi daripada

sampo ketoconazole karena bau sisa dan perubahan warna rambut

Fototerapi

Ultraviolet telah terbukti menghambat pertumbuhan Malassezia pada kulit.

Ultraviolet B (UVB) dapat dipertimbangkan untuk SD yang parah atau bandel.

Studi sebelumnya menunjukkan peningkatan pada pasien yang diobati dengan

NB-UVB tiga kali seminggu selama 2 bulan. Namun, kambuh terjadi dalam 2-6

minggu setelah penghentian terapi. Di sisi lain, studi tentang psoralen plus
ultraviolet A (PUVA) masih kontradiktif. Belum lagi, risiko besar efek

karsinogenik pada individu berkulit putih dicatat

Agent lain

1) Anethum graveolens

Ini adalah tanaman dari keluarga Apiceae atau Umbeliferae. Berdasarkan

studi komparatif acak tersamar ganda pada 115 pasien DS pada kulit

wajah, penggunaan Anethum graveolens dapat mencegah kekambuhan.

Setelah penggunaan 8 minggu, tingkat kekambuhan (21%) lebih rendah

pada kelompok kontrol (40%), yang dapat dijelaskan oleh efek regulasi

reseptor seperti tol (TLR).

2) Minyak emu

Minyak emu berasal dari jaringan lemak burung emu (Dromaius

novohollandiae) dengan sifat antioksidan dan anti inflamasi. Sebuah studi

acak terkontrol pada 126 pasien SD pada kulit wajah menunjukkan

pengurangan pruritus dan eritema sebanyak 20%. Namun, efektivitasnya

lebih rendah daripada klotrimazol 1% dan hidrokortison 1%.

3) Asam hialuronat

Asam hialuronat adalah glikosaminoglikan anionik non-sulfat, berlimpah

di jaringan ikat, epitel, dan saraf. Sebuah studi prospektif yang

memberikan gel garam natrium asam hialuronat 0,2% pada pasien SD

pada kulit wajah dua kali sehari setelah mencuci wajah melaporkan

pengurangan sisik (76%), eritema (64%), dan pruritus (50%)

4) Lithium gluconate
Ini adalah kation monovalen dengan dugaan sifat anti-inflamasi.

Berdasarkan multicenter, studi acak pada 290 pasien DS, efektivitas salep

lithium glukonat 8% (52%) lebih tinggi daripada krim ketoconazole 2%

(30,1%). Keamanan kedua obat ini serupa. Sebuah studi acak

menunjukkan remisi 90,9% pada kelompok yang menggunakan salep

lithium glukonat 8% dibandingkan dengan kelompok kontrol (54,7%).

5) Nicotinamide

Nicotinamide adalah amida yang larut dalam air, yang juga larut dalam

asam nikotinat. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sekresi

sebosit dan sifat anti-inflamasi dengan cara yang bergantung pada dosis.

Dalam studi acak label terbuka dari 48 pasien SD yang diberikan krim

nikotinamida 4%, pengurangan 75% dari skor total ditunjukkan

6) Propylene glycol

Ini adalah zat non-aromatik, bertindak sebagai humektan dengan

higroskopis dan daya serap properti. Ini telah digunakan sebagai alternatif

dari kortikosteroid dalam pengobatan SD kulit kepala. Dia juga dapat

secara signifikan mengurangi koloni Pityrosporum orbiculare.

7) Quassia amara

Ini adalah zat yang kaya triterpenoid quassinoids dengan sifat antimikroba,

antijamur, dan antiinflamasi. Dalam label dekat, acak, studi banding,


Quassia ekstrak 4% gel terbukti efektif dan aman dan dapat ditoleransi

untuk wajah SD

8) Minyak tea tree

Ini berasal dari Melaleuca alternifolia dengan sifat antimikroba dan anti-

inflamasi. Sebuah studi acak berlabel dekat pada SD kulit kepala pasien

menunjukkan bahwa agen ini dapat bekerja lebih baik perbaikan klinis dari

plasebo. Namun, penggunaan minyak pohon teh dibatasi karena

kemungkinan estrogenik dan anti-androgenik efek.

9) Agent alami lainnya

Agen alami lainnya, seperti Allantoin, Aloe vera, Borrago officinalis,

Arctium lappa, Echinacea purpurea, Dupa, Laktoferin, Tawas kalium,

Retinil palmitat, salisilat asam, Tarassaco, dan vitamin E dapat digunakan

dalam pengelolaan SD atau kondisi serupa melalui perannya sebagai

pelembab, keratolitik, anti-inflamasi, antioksidan, imunologi, antimikroba,

antijamur, sebum dan gatal modulator. Namun, studi tentang mereka

khasiat dan mekanisme aksi belum telah dilakukan.

Kesimpulan

Prinsip-prinsip manajemen di SD adalah menghilangkan atau

memperbaiki tanda-tanda klinis dan gejala, mempertahankan remisi, dan

menghindari faktor predisposisi dan faktor pencetus. Itu rekomendasi untuk SD

dewasa non-kulit kepala ringan adalah agen topikal, seperti antijamur, non-

steroid, obat antiinflamasi (NSAID) dengan antijamur properti, kortikosteroid

kelas I, dan kalsineurin inhibitor. (LoE 1A), sedangkan rekomendasi untuk SD


dewasa nonscalp sedang/berat adalah kelas II kortikosteroid dan antijamur

sistemik (LoE 1A). Selain itu, fototerapi mungkin direkomendasikan (LoE 4C).

Untuk SD kulit kepala dewasa ringan, rekomendasinya sama dengan nonscalp

daerah, dengan penambahan kortikosteroid kelas II dan formulasi lain dengan sifat

keratolitik, atau antijamur ringan. (LoE 1A). Untuk sedang/berat SD kulit kepala

dewasa, rekomendasinya sama sebagai area non-kulit kepala, dengan tambahan

kortikosteroid mulai dari kelas I sampai IV (LoE 1A). Tidak ada rekomendasi

untuk fototerapi. Itu rekomendasi untuk SD kulit kepala infantil adalah sampo

antijamur dan NSAID dengan antijamur properti, dengan penambahan petrolatum

putih ke kemudahan penskalaan (LoE 1A), sedangkan rekomendasi untuk SD

nonscalp infantil adalah krim antijamur dan kortikosteroid kelas I (LoE 1A).

Review ini merupakan update dari National 2017 Pedoman

Penatalaksanaan Seboroik Dermatitis di Indonesia. Sebagai pembaruan, beberapa

agen baru telah terbukti efektif untuk pengelolaan SD berdasarkan saat ini sastra.
3

DAFTAR PUSTAKA

1) Widaty S, Bramono K, Kariosentono H, et al. Pedoman nasional

pelayanan kedokteran tata laksana dermatitis seboroik [in Indonesian].

Jakarta: Central Communications; 2017. p.1- 29.

2) Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, et al. Treatment of seborrhoeic

dermatitis in Asia: A consensus guide. Skin Appendage Disord.

2016;1:187-96.

3) Centers for Evidence-Based Medicine University of Oxford. Critical

appraisal tools. 2019 [Accessed on 2019 December 31]. Available from:

https://www.cebm.ox.ac.uk/ resources/ebm-tools/critical-appraisal-tools.

4) Centers for Evidence-Based Medicine University of Oxford. Levels of

evidence. 2019 [Accessed on 2019 December 31]. Available from:

https://www.cebm.ox.ac.uk/resources/ levels-of-evidence.
5) Widaty S. Obat antijamur untuk mikosis profunda. In: Siswati A, Adriani

A, Miranda E, et al., editors. Mikosis subkutan: Pedoman untuk dokter dan

mahasiswa kedokteran [in Indonesian]. Surabaya: Airlangga University

Press; 2019. p.141-58.

6) Mokos Z. B, Kralj M, Basta-Juzbasic A, Jukic I. L. Seborrheic dermatitis:

An update. Acta Dermatovenerol Croat. 2012;20:98-104.

7) Borda LJ, Perper M, Keri JE. Treatment of seborrheic dermatitis: A

comprehensive review. J Dermatolog Treat. 2019;30:158-69.

8) Gary G. Optimizing treatment approaches in seborrheic dermatitis. J Clin

Aesthet Dermatol. 2013;6:44-9.

9) Widaty S, Marina A. Pilihan pengobatan jangka panjang pada dermatitis

seboroik [in Indonesian]. MDVI. 2016;43:153-9.

Anda mungkin juga menyukai