Anda di halaman 1dari 58

Pustaka Bumi Sukadana

Edisi II

Sebuah Catatan, Serta Pengungkapan


Atas Kajian Analisis Penelusuran Sejarah Desa Sukadana

Disusun Atas Hasil Penelusuran Tim


Gabungan Pelajar Remaja dan Mahasiswa Sukadana
(THE NEW GAPERMAS)

DESA SUKADANA KECAMATAN SUKADANA’


KABUPATEN CIAMIS
2022
Pustaka Bumi Sukadana
Edisi II

Sebuah Catatan, Serta Pengungkapan


Atas Kajian Analisis Penelusuran Sejarah Desa Sukadana

Catatan Ini Kami Persembahkan Bagi Masyarakat Desa Sukadana


Sebagai Wujud Penghargaan Kami Kepada Leluhur,
Perhatian Kami Pada Kebudayaan, Serta
Kecintaan Kami Pada Desa Sukadana

Cetakan Pertama :
2009

Cetakan Kedua :
2022

Tim Penyusun :
Iwang Rusniawan Aditya, S.E.
Muhammad Fardiansyah
Maman Sutriaman
Hendrik
Uus Sutadi
Dodi Setiadi
Ara Kuswara
Rendi Dwi Kurniawan
Ahmad Rizky Fauzi
Yudi Fauzan

THE NEW GAPERMAS :


Jln. Raya Cisena No. 25 Sukadana, Ciamis Pos 46272
Telp. 0265 575 9339
Asmarandana

Nu awit di gurit

Nu di anggit carita baheula

Nurun tina kitab kahot

Nu diturun tina lagu

Nu di pamrih rea nu suka

Ari anu dicatur

Aya sahiji nagara Sukadana

Nagara gede teh teuing

Murah pikeun kahirupan


Catatan ini merupakan sebuah pengungkapan realitas
berbagai hal, yang dianggap bersejarah mengenai Desa Sukadana. serta nilai-
nilai budaya yang sudah selayaknya diketahui secara umum, dengan
memaparkan dinamika kehidupan masyarakat di bumi Sukadana, sejak desa ini
bernama Desa Tjigaroegoej kemudian menjadi Salakaria Wetan, bergabung
menjadi Desa Salakaria pada tahun 1921, memisahkan diri menjadi Desa
Sukadana pada tahun 1979, hingga pemerintahan sekarang.
Selama perjalanan panjang tersebut, banyak peristiwa sejarah yang
terjadi, mulai dari proses awal terbentuknya sebuah Desa, penerapan sistem
tanam paksa, penerapan sistem demokarasi modern pada pemilhan Kepala
Desa langsung oleh masyarakat pertama pada tahun 1921, keresahan rakyat
pada zaman gorombolan DI/TII, kedatangan Menteri Lingkungan Hidup, Emil
Salim, Juara Desa Swakarya, serta peristiwa lain yang menarik dan unik, yang
diungkapkan secara ekslusif, objekif, dan dipaparkan berdasarkan penelusuran
sejarah, wawancara, serta dianalisis hingga memperoleh kesimpulan yang lebih
terarah. Karena itu sayang jika tidak membaca catatan ini.
Dengan hadirnya buku ini, diharapkan masyarakat Desa Sukadana
terutama generasi muda tidak lagi “poek pereumeun obor” akan peristiwa-
peristiwa bersejarah yang dialami para orang tua serta pendahulunya, sehingga
hal ini dapat meningkatkan kecintaan serta kebanggaan kita sebagai “urang
Sukadana”.

The New Gapermas


Asal-Usul Sukadana

Gambar : Peta Wilayah Desa Sukadana

Kondisi Geografis Desa Sukadana


Desa Sukadana merupakan salah satu desa yang berada di wilayah
Kecamatan Sukadana Kabupaten Ciamis, dengan luas wilayah 762,620 Ha.
dengan bataas desa terdiri dari:
1. Sebelah barat : Desa Salakaria
2. Sebelah timur : Desa Margaharja
3. Sebelah utara : Desa Margajaya
4. Sebelah selatan : Desa Bunter dan Desa Salakaria
Secara keseluruhan keadaan alam Desa Sukadana cukup potensial,
dengan komposisi tata guna lahan terdiri dari:
➢ Daerah pemukiman : 34,77 Ha.
➢ Daerah perkebunan/ladang/huma : 62 Ha.
➢ Daerah Persawahan : 136 Ha.
➢ Daerah kolam/ empang : 42 Ha.
➢ Daerah kehutanan : 81 Ha.
Jumlah penduduk Desa Sukadana sebanyak 3.734 jiwa yang terdiri dari:
Laki-laki : 1.816 Jiwa
Perempuan : 1.918 Jiwa
Jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 1.381 KK yang terdiri dari
Laki-laki : 1.243 KK
Perempuan : 138 KK
Wilayah Desa Sukadana terbagi dalam 8 dusun, 19 RW, dan 40 RT yang
terdiri dari
1. Dusun Desa : terdiri dari 2 RW / 5 RT
2. Dusun Pabrik : terdiri dari 3 RW / 6 RT
3. Dusun Ciilat : terdiri dari 2 RW / 4 RT
4. Dusun Cariu : terdiri dari 3 RW / 7 RT
5. Dusun Kedung : terdiri dari 2 RW / 4 RT
6. Dusun Sukamaju : terdiri dari 3 RW / 6 RT
7. Dusun Sukamulya : terdiri dari 2 RW / 4 RT
8. Dusun Sukamanah : terdiri dari 2 RW / 4 RT
Secara geografis Desa Sukadana terletak pada sekitar 500 m diatas
permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1.500 mm
Sarana dan sarana peribadatan terdiri dari:
1. Mesjid Jamie : 9 buah
2. Mesjid langgar : 20 buah
3. Madrasah : 12 buah
Sarana dan prasarana pendidikan umum:
1. TK/RA/PAUD : 2 Buah
2. SD Negeri : 2 Buah
3. SMP Negeri : 1 Buah
Desa Sukadana yang memiliki luas wilayah 762,620 Ha merupakan salah
satu desa di Kecamatan sukadana memiliki data infrastruktus sebagai berikut:
1. Jalan :
➢ Panjang jalan Aspal : 2,08 Km
➢ Panjang jalan tanah : 0,8 Km
➢ Panjang jalan makadam : 16,175 Km
2. Jembatan
➢ Jembatan beton : 3 buah
➢ Jembatan kayu : 5 buah
➢ Jembatan : 15 buah
3. Saluran Irigasi
➢ Panjang : 11 Km
➢ Areal yang diairi : 136,164 Ha

Tinjauan Etimologis
Kata Sukadana apabila dilihat dari arti bahasa secara sepintas seolah-
olah siapapun akan dengan mudah mengartikannya, namun sebetulnya kata
Sukadana mengandung nilai yang mendalam, baik dari makna maupun nilai
filosofis, maka dengan pengungkapan sejarah ini tentunya diharapkan bisa
membuka mata masyarakat Sukadana mengenai makna yang sesungguhnya.
Sukadana terdiri dari dua kata yang disatukan yaitu “suka” dan “dana”, secara
sepintas terkadang orang salah menilai bahwa kata suka diartikan keinginan
dan kata dana diartikan sebagai suatu bentuk materi atau yang berhubungan
dengan finansial, sehingga arti tersebut mengarahkan pendapat ke arah yang
menyatakan bahwa kata Sukadana cenderung bersifat materialistis.
Dengan adanya anggapan sebagian orang atas hal itu perlu diluruskan
bahwa dalam kata Sukadana, makna kata suka berarti kemauan atau
keinginan, dan kata dana berarti jaminan hidup secara luas baik kehidupan
duniawi maupun kepentingan hidup ukhrowi. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa arti kata Sukadana adalah kemauan untuk memperoleh jaminan hidup
baik kehidupan dunia maupun akhirat, yang sifatnya berupa fisik material
maupun spiritual yang pada pangkalnya adalah untuk menuju pembangunan
manusia seutuhnya.
Kata Sukadana itu sendiri pada diambil dari salah satu blok persil 190
yang pada tahun 1979 terletak di dusun Pabrik yang sekarang blok tersebut
berada di wilayah dusun Sukamaju, yaitu di sekitar sungai Cisadap, yang
menurut kepercayaan sebagian masyarakat adalah bekas sebuah pusat
kerajaan kono bernama Sukadana, namun kepercayaan itu tidak dapat
dibuktikan secara pasti, meskipun kemungkinan itu ada mengingat teori sejarah
secara umum bahwa kehidupan masyarakat dahulu selalu berada di sekitar
aliran sungai.
Selain dari itu istilah Sukadana juga terungkap dalam sebuah syair pupuh
Asmarandana yang sudah dikenal masyarakat sebelum desa Sukadana
terbentuk (masih Salakaria) yang syairnya sebagai berikut:
Nu awit di gurit
Nu di anggit carita baheula
Nurun tina kitab kahot
Nu diturun tina lagu
Nu di pamrih rea nu suka
Ari anu dicatur
Aya sahiji nagara Sukadana
Nagara gede teh teuing
Murah pikeun kahirupan
Dilihat dari bait syairnya pupuh Asmarandana tersebut menyiratkan
gambaran mengenai negara Sukadana yang dikatakan sebagai negara besar
yang kehidupannya sejahtera, seperti halnya kepercayaan masyarakat
mengenai Kerajaan Sukadana.
Namun untuk melihat makna suatu syair perlu penelaahan lebih
mendalam, mengingat syair adalah suatu ungkapan seni dengan gaya bahasa
pengarangnya yang berbeda-beda, sehingga yang membaca syair tersebut
akan menerka berbagai kemungkinan tentang maksud dari syair tersebut.
Ungkapan baris ke 7 syair tersebut: “aya sahiji Nagara Sukadana” (ada sebuah
Negara Sukadana) selain diartikan sebagai sebuah kerajaan bisa saja diartikan
sebagai suatu lingkungan masyarakat yang memiliki struktural pemerintahan,
sehingga mungkin saja bentuknya seperti halnya sebuah desa pada masa
sekarang atau mungkin juga suatu suku (mungkin seperti salah satu suku yang
berada di Kampung Kuta di Rancah) yang dipimpin oleh seorang pemimpin
yang membuat daerah itu besar dan sejahtera, seperti terungkap dalam baris
ke 8 dan 9: “Nagara gede teh teuing (negara yang sangat besar) murah pikeun
kahirupan (mudah bagi kehidupan).
Namun apabila kita berpijak pada penelitian secara ilmiah yang
berdasarkan bukti-bukti peninggalan sejarah, keberadaan negara Sukadana
dalam syair tersebut sulit dibuktikan mengingat syair itupun syair yang beredar
dari mulut ke mulut, selain itu tidak ada fakta sejarah yang dapat membuktikan
keberadaanya, baik itu berpa prasasti maupun naskah, meskipun pada baris
ke-3 dikatakan “nurun tina kitab kahot” (mencontoh/melihat dari kitab lama/tua)
hal ini belum dapat meyakinkan, karena kitab yang dimaksud tidak dapat
diketahui.
Selain itu dari kumpulan naskah kuno yang dianggap paling lengkap
menerangkan tentang kerajaan-kerajaan di Jawa Barat yang berjudul Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang dibuat oleh Panitia Wangsakerta, tidak
terdapat keterangan mengenai negara Sukadana, sehingga dapat disimpulkan
bahwa kepercayan adanya sebuah negara yang bernama Sukadana tersebut
hanya kepercayaan fiktif (tidak benar), yang mungkin hanya didasarkan atas
mitos yang beredar di masyarakat, karena itu asumsi yang paling wajar adalah
kemungkinan adanya sebuah lingkungan masyarakat yang memiliki struktur
tradisional.
Masa Sebelum Berdiri Sebuah Desa

ANALISIS AWAL DAERAH SUKADANA DIHUNI


Dari data dan fakta yang diperoleh Desa Sukadana Mulai berdiri pada
tanggal 25 Maret 1979, namun rasanya kita perlu menggali lebih jauh sejarah
Sukadana sebelum menjadi sebuah desa yang bernama Sukadana, baik saat
masih bernama Desa Salakaria maupun sebelum itu, termasuk awal kehidupan
manusia di wilayah yang menjadi Desa Sukadana sekarang.
Dari sejarah yang mengungkap mengenai Galuh, baik sejak jaman
kerajaan Galuh, hingga Kabupaten Ciamis, dapat dipastikan bahwa wilayah
yang sekarang menjadi Desa Sukadana merupakan bagian dari Kerajaan
Galuh, yang kemudian seiring waktu menjadi Kabupaten Imbanagara,
Kabupaten Galuh hingga sekarang menjadi Kabupaten Ciamis. Namun tidak
ada fakta yang konkret yang dapat menunjukkan sejak kapan Sukadana
(wilayah Sukadana sekarang) mulai dihuni oleh kehidupan manusia, namun
dilihat dari beberapa makam yang dianggap keramat oleh masyarakat, salah
satunya makam Panghayaman, terlihat terdapat makam yang posisinya tidak
seperti makam islam biasanya. Biasanya makam seorang muslim membujur
dari utara ke selatan (ngaler) sedangkan salah satu makam yang terdapat di
sekitar kompleks tabet makam Panghayaman Landeuh dan di Leuweung Kolot
membujur dari barat ke timur, sehingga kuat dugaan bahwa itu bukan makam
seorang muslim, sehingga ada kemungkinan wilayah Sukadana sudah mulai
ditempati manusia sejak sebelum masuknya agama islam.
Sebagai perbandingan dalam Buku “Sejarah Ciamis”, diungkapkan bahwa
islam pertama kali masuk, sekitar akhir abad ke-16 pada saat Kerajaan Galuh
dipimpin oleh Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh, Islam masuk ke Galuh atas
usaha Sunan Gunung Jati dan diterima dengan sukarela oleh masyarakat
Kerajaan Galuh. Untuk membendung masuknya islam, Maharaja Sanghyang
Cipta Di Galuh mengangkat anaknya yaitu Prabu Di Galuh Cipta Permana
untuk menggantikan dirinya, namun justeru Prabu Di Galuh Cipta Permana
sendiri kemudian memeluk agama Islam dan menjadikan Islam sebagai agama
negara. Pada akhir abad ke-16 pula tepatnya tahun 1595, salah satu kerajaan
islam yang sedang bangkit yaitu Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh
Panembahan Senapati mulai menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Galuh.
Pada saat itu batas Kerajaan Galuh yaitu: Sebelah timur adalah Sungai
Citanduy, Sebelah barat yaitu Gunung Galunggung dan Sukapura (sekarang
Tasikmalaya), di sebelah utara Kerajaan Sumedanglarang dan Cirebon, dan
sebelah selatan Sungai Cijulang.
Dilihat dari ungkapan yang terdapat dalam buku “Sejarah Ciamis”
tersebut, letak wilayah yang sekarang menjadi Desa Sukadana jelas termasuk
ke dalam wilayah Kerajaan Galuh, namun apakah saat itu, yakni sekitar abad
ke 16 sudah ada kehidupan manusia di wilayah Sukadana atau belum, masih
sulit untuk dibuktikan secara konkret, karena dalam sejarah Ciamis, pada
masa-masa itu (abad ke 16) hingga sekitar akhir abad ke 18 wilayah Sukadana
atau Salakaria tidak pernah terungkap, entah karena wilayah itu masih belum
berpenghuni ataupun penghuninya masih sedikit. Namun adanya manusia yang
menghuni wilayah yang menjadi Sukadana sekarang dan sekitarnya
kemungkinannya tetap ada, bahkan mungkin sudah ada sejak sekitar abad ke
16 ataupun sebelumnya, dan apabila mengingat kondisi geografisnya di sekitar
wilayah ini terdapat beberapa sungai, diantaranya sungai Cisadap, Cikerta
hingga yang lebih besar yaitu Sungai Cirende dan Cimuntur, dan apabila
melihat ciri manusia masa lampau adalah kehidupannya berada di sekitar aliran
sungai.
Pada kesimpulannya kita tidak dapat mengungkap secara pasti kapan di
daerah Sukadana ini mulai dihuni oleh manusia, namun sebagai pertimbangan
rasanya kita perlu tahu mitos mengenai kehidupan masa lampau yang
berkaitan dengan beberapa tempat yang kini dianggap keramat atau diakui
sebagai makam leluhur masyarakat Sukadana. Hal ini bukan bermaksud untuk
mengkultuskan atau menganggap sebuah kebenaran atas kesimpangsiuran
mitos yang terjadi, namun ini sebagai pembanding yang perlu dipertimbangkan
sebagai upaya menambah wawasan budaya di Sukadana, berikut ini adalah
beberapa mitos tersebut:
Mitos Tentang Panghayaman Landeuh (Dalem Panghayaman)
Makam Panghayaman Landeuh berada di wilayah Dusun Desa, diantara
beberapa makam yang dikeramatkan masyarakat Desa Sukadana, tim
penyusun menduga Makam Panghayaman Landeuh merupakan makam paling
tua, hal ini diasumsikan berdasarkan hasil pengamatan, bentuk makam (tabet)
yang ditandai dengan batu-batu, terdapat makam yang posisinya membujur dari
barat ke timur (letaknya berada di luar pagar tabet) hal ini tidak sesuai dengan
makam-makam islam lainnya, yang membujur dari utara ke selatan. Meskipun
secara umum letak makam dalam tabet membujur dari utara ke selatan (ngaler)
namun dari hal ini kami menduga bahwa terdapat tokoh yang dimakamkan di
Makam Keramat Panghayaman Landeuh bukan seorang muslim, dengan kata
lain kami menduga tokoh tersebut meninggal sebelum adanya islam di wilayah
ini, sebagai perbandingan, islam masuk di Kerajaan Galuh mulai sekitar tahun
1559 M.
Dari mitos yang beredar di masyarakat, terdapat dua versi, yang
terkadang simpang siur. Versi yang pertama adalah di situ merupakan makam
seorang pertapa yang bernama Dalem Panghayaman, yang merupakan
seorang yang gemar ngadu hayam ayam (menyabung ayam) sehingga ia
dijuluki dengan sebutan Dalem Panghayaman. Dalam mitos yang beredar di
masyarakat tersebut tidak jelas siapa nama asli dari Dalem Panghayaman.
Namun menilik sebutan Dalem pada namanya, pada masa kerajaan, istilah
dalem biasanya disematkan kepada seorang pemimpin setingkat Bupati. Konon
Dalem Panghayaman adalah pejabat kerajaan Galuh yang melarikan diri dari
Pusat Kerajaan yaitu dari Karangkamulyan.
Sedangkan versi yang kedua, tempat tersebut merupakan salah satu
tempat menyabung ayam pada masa Kerajaan Galuh, bahkan konon Ciung
Wanara (dalam sejarah Ciamis adalah Sang Manarah raja Kerajaan Galuh)
sempat ikut menyabung ayam di tempat ini ketika dalam perjalanan dari Geger
Sunten (sekitar Rancah) ke pusat Kerajaan Galuh (di Karangkamulyan).
Dari pengamatan di lapangan, dari dua versi mitos mengenai
Panghayaman Landeuh, rasanya yang lebih mendekati kebenaran adalah versi
yang pertama mengingat di lokasi tabet (situs) Makam Panghayaman landeuh
terdapat beberapa makam yang bernisan batu, sehingga dimungkinkan ini
adalah makam seorang tokoh masyarakat, Dalem Panghayaman beserta
pengikutnya. Namun kebenaran versi kedua pun sangat mungkin karena di
kompleks ini terdapat sebuah batu yang konon dipercaya sebagai bekas tempat
menyabung ayam, dan mungkin nama Panghayaman masih berkaitan dengan
menyabung ayam yang pada masa itu merupakan kegemaran sebagian
masyarakat Kerajaan Galuh.
Di sekitar ini pula, tepatnya disebelah barat kompleks tabet makam
Panghayaman Landeuh terdapat pula tempat yang dikeramatkan, tempat ini di
sebut Leuweung Kolot, menurut mitos di masyarakat, di tempat ini diyakini
adalah bekas tempat pertapaan seorang yang dianggap sakti yang bernama Ki
Ragatapa, yang konon di tempat ini Ki Ragatapa tilem dan ngahiyang
(meninggal dan menghilang saat bertapa).
Dari hasil pengamatan tim penyusun, di Leuweung kolot ini terdapat tiga
buah batu dua diantaranya berdampingan dan sebuah batu lagi berada di sudut
rumpun bambu, dan menurut masyarakat batu ini pun berdampingan dengan
sebuah batu lagi namun batu yang satunya tersebut tertutup oleh akar bambu.
Dari hal ini penyusun lebih cenderung menduga bahwa tempat tersebut juga
merupakan dua buah makam kuno, namun kedua makam tersebut membujur
dari barat ke timur yang juga dimungkinkan bahwa ini bukan merupakan
makam seorang yang beragama islam, sehingga kemungkinan masih ada
kaitan dengan makam Panghayaman Landeuh yang masih berada di
sekitarnya.
Mitos Tentang Panghayaman Tonggoh (Kyai Jaksa)
Makam panghayaman tonggoh masih berada di Dusun Desa serta sekitar
komplek Panghayaman, dikatakan Panghayaman Tonggoh karen letaknya
berada diatas (tonggoh), sedangkan Panghayaman Landeuh berada di bawah
(landeuh).
Di pemakaman ini terdapat komplek pemakaman yang dianggap keramat
yang menurut kepercayaan masyarakat disini dimakamkan seorang tokoh
bernama Ki Jaksa Malangdewa. Dilihat dari pemakamannya diduga pada masa
itu sudah memeluk agama islam, hal ini terlihat dari beberapa makam yang
diduga adalah makam Ki Jaksa Malangdewa, isterinya serta para pengikutnya
semuanya berposisi sebagaimana makam islam pada umumnya.
Tidak jelas siapa sosok Ki Jaksa atau Kyai Jaksa, dari namanya sebagian
meninterpretasikan sebagai seorang Kyai atau penyebar agama islam,
sedangkan nama Jaksa dikaitkan dengan sebutan untuk seorang yang
menegakkan keadilan. namun kemudian nama Jaksa cenderung dianggap
sebagai sebuah nama belaka tidak ada kaitannya dengan istilah Jaksa yang
umum dipakai pada masa sekarang.
Namun apabila dilihat dari bentuk makamnya tim penyusun menduga
bahwa sosok Ki Jaksa Malangdewa beserta para pengikutnya adalah seorang
muslim, walaupun ada nama Malangdewa dibelakang namanya, dugaan lebih
mengarah bahwa itu adalah sebutan biasa mengingat masa itu adalah masa
peralihan budaya dan agama dari Hindu ke Islam.
Selain terdapat makam Kyai Jaksa Malangdewa, di kompleks
Panghayaman Tonggoh juga terdapat beberapa makam tokoh yang berkaitan
dengan sejarah Desa Sukadana, diantaranya makam Buyut Amsa yaitu tokoh
yang ngababadak Desa dan Kepala Desa yang pertama di Salakaria Wetan
(sekarang wilayah Desa Sukadana), dan makam Mintaredja atau dikenal
dengan sebutan Kuwu Bintang yaitu Kepala Desa pertama hasil pemilihan
langsung oleh masyarakat dan Kepala Desa Pertama di Desa Salakaria
(wilayahnya sekarang meliputi Desa Sukadana dan Salakaria). Letak
makamnya tidak jauh dari sekitar tabet makam Ki Jaksa Malangdewa.
Mitos Tentang Lengkong (Prabu Cakradita) dan Bujangga (Buyut Demang)
Situs makam Lengkong terletak di dusun Ciilat tepatnya sebelah tenggara
dusun Ciilat. Menurut keterangan tokoh masyarakat, makam tersebut diyakini
adalah makam Prabu Cakradita. Prabu Cakradita adalah salah satu putra dari
Prabu Borosngora dari Panjalu, Prabu Borosngora sendiri merupakan raja yang
pertama kali menganut islam di Kerajaan Panjalu. Prabu Cakradita pergi dari
Panjalu dan datang ke daerah Ciilat dikarenakan ia berselisih dengan
saudaranya yaitu Prabu Aruman. Adapun saudara Prabu Cakradita yang lain
yang mengikutinya adalah Prabu Kertaduta yang dimakamkan di daerah Ciisri
Desa Margaharja. Dari hal tersebut nama Lengkong kemungkinan dikaitkan
dengan nama Situ Lengkong yang terletak di Panjalu.
Adapun di daerah Bujangga masih di Dusun Ciilat terdapat sebuah batu
yang berbentuk seperti makam yang diyakini sebagai tempat tilem atau
ngahiyangnya seorang pertapa. Pertapa tersebut adalah seorang bujangga
atau pujangga yang oleh masyarakat disebut Buyut Demang. Sehingga
kemudian daerah ini disebut Pasir Bujangga.
Mitos Tentang Gunung Cariu (Prabu Sirnaraja)
Di sebelah selatan Desa Sukadana terdapat sebuah bukit yang
dinamakan Gunung Cariu. Meskipun sekarang termasuk ke wilayah dusun
Sukarasa, namun sangat erat hubungannya dengan kepercayaan masyarakat
Dusun Cariu Desa Sukadana, hingga namanya pun disebut Gunung Cariu.
Di puncak bukit Gunung Cariu terdapat sebuah batu pamangkonan yang
menurut tokoh masyarakat, diyakini sebagai bekas peninggalan Prabu
Sirnaraja, tempat itu kabarnya biasa digunakan oleh Prabu Sirnaraja sebagai
tepat peristirahatan, Prabu Sirnaraja dipercaya sebagai seorang raja di sebuah
kerajaan kecil di Rajadesa, kemungkinan tempat ini digunakan sebagai tempat
beristirahatnya terutama apabila Prabu Sirnaraja pulang dari ibukota Kerajaan
Galuh di Karangkamulyan. Makam Prabu Sirnaraja sendiri dimakamkan di
daerah Samida Rajadesa.
Menurut kepercayaan Prabu Sirnaraja adalah tokoh yang membuka lahan
(ngababadak) di wilayah sekitar Dusun Cariu. Keberadaannya berkaitan erat
dengan kesenian, sehingga dusun Cariu dikenal sebagai dusun yang banyak
melahirkan grup kesenian, diantaranya Ronggeng Ibing, Sandiwara, Reog dll.
Hal ini karena Prabu Sirnaraja sangat menyukai kesenian terutama senii
Ronggeng/ Ibing. Namun satu kesenian yang paling tidak disukai oleh Prabu
Sirnaraja adalah wayang, sehingga sampai sekarang pun ada pantangan di
Dusun Cariu tidak boleh mempertunjukkan kesenian wayang, baik wayang
golek maupun wayang kulit, namun apabila wayang catur masih diperbolehkan.
Hingga saat ini masyarakat Dusun Cariu tidak pernah berani
menampilkan kesenian Wayang di Dusun Cariu, karena masyarakat meyakini
apabila melanggar konsekuensinya adalah kematian dan perceraian. Hal ini
diprekuat dengan adanya suatu peristiwa ada seseorang yang menampilkan
hiburan Wayang Golek ternyata beberapa hari kemudian orang tersebut
meninggal dunia. Selain itu ada juga yang melakukan ruwatan dengan
menampilkan hiburan Wayang Golek pada malam hari dan ternyata keesokan
paginya keluarga tersebut bercerai.
Adapun nama dusun Cariu masih berkaitan dengan keberadaan Prabu
Sirnaraja, konon Prabu Sirnaraja menemukan sebuah pohon merambat (areuy)
yang dinamakan pohon Cariu yang berukuran sangat panjang yaitu tumbuh di
puncak Gunung Cariu hingga merambat sampai ke Sungai Cisadap yang ada di
kaki bukit Gunung Cariu. Sehingga kemudian Prabu Sirnaraja menamakan
daerah tersebut dengan nama Cariu

Mitos Tentang Kyai Bagus Mas Sacawijaya dan Kyai Bagus Mas
Mertawijaya
Di Dusun Kedungwatu terdapat dua buah makam yang dianggap keramat
oleh masyarakat Dusun Kedung, makam tersebut adalah makam Kyai Bagus
Mas Sacawijaya dan makam Kyai Bagus Mas Mertawijaya.
Pada dasarnya kedua tokoh kakak beradik tersebut tidak diketahui asal
usulnya, karena pada awalnya kedua makam tersebut ditemukan oleh seorang
Tukang ahli bangunan yang bernama Bah Karto. Untuk mengetahui asal-usul
kedua makam tersebut, Bah Karto melakukan ritual hingga dapat mengetahui
bahwa kedua makam tersebut adalah makam Kyai Bagus Mas Sacawijaya dan
adiknya Kyai Bagus Mas Mertawijaya.
Meskipun masyarakat tidak mengetahui asal-usul kedua tokoh tersebut
secara pasti, namun masyarakat meyakini keberadaan kedua makam tersebut
memberikan manfaat dan perlindungan bagi masyarakat dusun Kedungwatu,
sehingga sudah selayaknya masyarakat menghargai kedua tokoh tersebut.
Nama Kedungwatu sebetulnya kata aslinya adalah Kedungbatu, yang
berasal dari kata kedung yang berarti leuwi dan kata batu. Sehingga kedung
batu berarti leuwi yang berbatu.
Sebagai analisis lebih jauh, untuk mengungkap sejak kapan di wilayah ini
mulai dihuni hal ini kami mencoba mengubungkannya dengan beberapa mitos
mengenai beberapa tempat keramat di Sukadana. Ini bukan bermasud untuk
membenarkan kesimpangsiuran mitos yang beredar di masyarakat, namun
sebagai bahan perbandingan dengan fakta sejarah, yang barangkali saja itu
merupakan cerita yang sebenarnya dan dapat dicocokkan dengan fakta sejarah
sehingga diharapkan dapat mengungkap kebenaran sejarah itu sendiri.
Apabila kita mengamati makam panghayaman yang dipercaya sebagai
makam Dalem Panghayaman yang berasal dari Karangkamulyan dan tempat
peninggalan Prabu Sirnaraja di Gunung Cariu yang berasal dari Rajadesa,
kemungkinan besar wilayah ini sudah mulai dihuni sejak masa Kerajaan Galuh
yaitu sekitar abad ke-15 sampai abad ke-16.
Selain itu adanya beberapa tokoh seperti Kyai Jaksa (panghayaman
tonggoh), Prabu Cakradita (di lengkong), Kyai Bagus Mas Sacawijaya dan Kyai
Bagus Mas Mertawijaya (Kedungwatu), kemungkinan besar mereka adalah
tokoh-tokoh yang mulai menghuni di wilayah ini kemudian seiring waktu
perperan dalam proses penyebaran agama islam. Prabu Cakradita yang
diyakini sebagai putra Prabu Borosngora dari Panjalu adalah tokoh yang
dipastikan beragama islam, pada awal-awal masuknya islam di wilayah Ciamis,
begitu pula sebutan Kyai pada tokoh lainnya menunjukkan bahwa mereka
kemungkinan adalah tokoh agama. Sisipan nama ”Bagus” pada nama Kyai
Bagus Mas Sacawijaya dan Kyai Bagus Mas Mertawijaya seolah mengingatkan
kita pada nama-nama tokoh yang berasal dari Kerajaan Mataram. Pada saat itu
Kerajaan Mataram menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Galuh di pimpin oleh
Panembahan Senapati, dan pada masa itulah pada masa awal masuknya Islam
pada akhir abad ke-16 tepatnya tahun 1595.
Dari hal itu dengan merujuk pada mitos yang beredar dari mulut ke mulut
di masyarakat kemungkinan besar di wilayah ini sudah mulai dihuni oleh
manusia pada sekitar masa peralihan agama dari Hindu dan Budha ke agama
Islam, yang terjadi pada antara sekitar abad ke-16 sampai awal abad ke-17.
Tjigaroegoej dan Salakaria Wetan
Sebagai Desa Wiwitan

Jika sebelumnya kita sulit mengungkap fakta sejak kapan wilayah ini
mulai berpenghuni, karena kesimpangsiuran cerita masyarakat yang
dihubungkan dengan mitos, selanjutnya kita bisa menganalisis dan
mengungkap sejarah secara lebih konkret dan terarah mengenai masa awal
berdirinya sebuah desa yang dinamakan Desa Salakaria Wetan yang
wilayahnya meliputi wilayah yang sekarang menjadi Desa Sukadana, sehingga
ungkapan ini dapat lebih dipercaya sebagai suatu fakta sejarah.
Berikut ini diungkapkan secara rinci berdasarkan perkembangan dan
masa kepemimpinan Kepala Desa yang memimpinnya.

AWAL BERDIRINYA DESA (AWAL ABAD KE-19)


➢ Analisa Berdasarkan Peta Desa
Pada tahun 1830-an di Kabupaten Galuh terdapat 4 distrik, yaitu Ciamis,
Kawali, Panjalu dan Keppel. Pada tahun 1841, distrik Keppel berubah nama
menjadi distrik Rancah. Dilihat dari Peta pembagian wilayah di Kabupaten
Galuh, letak wilayah yang menjadi Sukadana sekarang termasuk ke dalam
distrik Rancah, dan wilayahnya terdapat pada perbatasan antara distrik
Rancah, Ciamis dan Kawali. Sementara itu pada tahun 1837 jumlah desa di
Kabupaten Galuh menacapai 91 desa, dan pada tahun 1855 jumlah desa di
Kabupaten Galuh meningkat menjadi 238 desa.
Dari data tertua yang kami temukan yaitu sebuah peta Desa Slakaria
(dalam peta bukan Salakaria) pada masa kepemimpinan Kuwu Bintang yang
mencantumkan tahun 1927, dan pada judul peta tercantum “ Regentchap
Tjiamis, Districk Rantja, Desa Slakaria No 117.”
Dihubungkan dengan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa
wilayah Desa Slakaria (sekarang Sukadana) termasuk ke dalam distrik Rancah,
dan dilihat dari nomor urut desa yaitu nomor 117, dapat diartikan bahwa
Slakaria adalah desa ke 117 yang ada di Kabupaten Ciamis, sehingga
termasuk salah satu desa dari 238 desa yang ada di Kabupaten Galuh tahun
1955. dengan demikian bararti desa Slakaria atau nama lain dari desa Slakaria
sebelumnya sudah menjadi sebuah Desa sebelum tahun 1855. Namun karena
pada tahun 1837 terdapat 96 desa, kemungkinan berdirinya desa setelah tahun
1937, dengan demikian dapat disimpulkan di wilayah ini mulai berdiri sebuah
desa antara tahun 1938 sampai tahun 1955
➢ Analisa Berdasarkan Keterangan Adanya Pabrik Nila/ Indigo
Dari hasil penelitian dan wawancara, diketahui bahwa di wilayah sekitar
RT 01 (tepatnya kompleks kolam depan rumah Kepala Desa Sujud H), dulu
pernah ada sebuah pabrik pengolahan nila (Indigo). Hal ini ditunjukan dengan
banyaknya serpihan-serpihan batu bata zaman dulu yang berukuran besar
bekas serpihan bangunan pabrik nila di beberapa kolam milik masyarakat. Nila
atau pemerintah Hindia Belanda menamakannya Indigo adalah salah satu
bahan pewarna kain. Dengan adanya keterangan mengenai adanya pabrik
indigo, ternyata sesuai dengan keterangan dalam Buku Sejarah Ciamis yang
mengungkapkan bahwa antara tahun 1830 sampai dengan tahun 1851 wilayah
Kabupaten Galuh menjadi salah satu daerah yang diwajibkan ditanamai Indigo.
Pada tahun 1829, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den
Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda mengenai sistem Cultuurstelses
(Sistem Tanam Paksa), yang kemudian disetujui oleh Raja Belanda. Sistem
Tanam Paksa tersebut berlaku juga di Pulau Jawa, di Pulau Jawa selain kopi
yang sebelumnya sudah banyak ditanam oleh masyarakat, komoditas ekspor
lainnya adalah indigo dan tebu. Selain itu komoditas lainnya adalah teh,
tembakau, lada dan kayu manis. Untuk tanaman indigo dan tebu tidak dapat
langsung dipasarkan, tetapi harus diolah dulu di pabrik sampai menghasilkan
komoditas yang diinginkan, yaitu indogo dijadikan bahan pewarna sedangkan
tebu dijadikan gula, komoditas tersebut merupakan komoditas yang sedang
laku di pasar Eropa pada waktu itu.
Di Kabupaten Galuh, Pemerintah Hindia Belanda memerintahkan kepada
R.A. Adikusuma (Bupati Galuh) untuk menanam pohon Tarum yang merupakan
bahan dasar indigo di Kabupaten Galuh, dan pelaksanaannya dijalankan mulai
tahun 1830. Pada tahun 1833 sistem industri indigo di Kabupaten Galuh
menjalankan pola industri yang dikembangkan oleh B.J Elias (Residen
Cirebon). Konsep itu adalah indigo diproduksi di pabrik-pabrik kecil yang
didirikan di desa-desa oleh penduduk dengan menggunakan teknik sederhana
dan hasilnya dibeli oleh pemerintah. Penanaman tanaman indigo dilakukan di
tanah sawah yang tidak dipakai untuk menanam pangan oleh penduduk yang
letaknya jauh dari perkampungan.
Tanaman indigo yang dibudidayakan di Kabupaten Galuh diambil dari
jenis Tarum Kembang yang sudah dikenal oleh masyarakat pribumi, dan
sebelumnya sudah banyak ditemukan di daerah Priangan., masyarakat
priangan menyebutnya Tarum Siki. Alasan dipilihnya Tarum Kembang selain
sudah dikenal kemungkinan karena jenis ini pertumbuhannya cepat, pohonnya
kuat, dan hasilnya lebih banyak. Areal penanaman Tarum Kembang, disiapkan
di empat distrik yaitu, Distrik Ciamis, Kawali Keppel (Rancah) dan Panjalu. Di
Kabupaten Galuh penanaman Tarum Kembang setiap tahunnya mengalami
peningkatan hingga puncaknya pada tahun 1940, hingga areal penanamannya
mencapai 1.563 bau (1.109,2 ha) dan desa yang terlibat berjumlah 59 desa.
Sampai tahun 1833 di Kabupaten Galuh terdapat enam pabrik. Pada
tahun 1837 mencapai 19 pabrik, meningkat menjadi 49 pabrik pada tahun 1938
dan menjadi 51 pabrik pada tahun 1940. setelah tahun 1840 produksi indigo
semakin menurun hingga pada tahun 1851 di Distrik Rancah menghapus
kebijakan penanaman Tarum Kembang.
Dilihat dari uraian tersebut, kemungkinan adanya pabrik nila atau indigo di
wilayah yang sekarang termasuk Sukadana, berkisar antara sekitar tahun 1833
sampai tahun 1840. dan pabrik ini beroperasi hingga sekitar tahun 1851.
Kemungkinan besar antara tahun 1833-1840 di wilayah ini sudah ada sebuah
desa, karena secara operasional tanggung jawab produksi dari penanaman
hingga pengolahan di pabrik salah satunya dibebankan kepada Kepala Desa
yang menjadi bawahan Bupati. Sehingga tentunya di sekitar pabrik sudah
berdiri sebuah desa. Pabrik indigo ini kemungkinan memproduksi Tarum
Kembang yang ditanamai di areal persawahan disekitarnya yang cukup luas
yaitu persawahan sekitar sungai Cisadap yang dimulai sekitar Batu Gajah,
Sukadana, Panghayaman, Cilengkeng, hingga Bojongkapol.
Pabrik nila (indigo) inilah yang kemudian dijadikan sebagai nama salah
satu kampung yaitu “Kampung Pabrik”. Dan wilayah sekitar itupun yang
sekarang menjadi Dusun Desa dulunya termasuk wilayah Kampung Pabrik.
Kesimpulan mengenai awal keberadaan sebuah desa, bila dianalisis dari
keterangan atas dasar nomor urut desa dalam peta yaitu berdiri setelah 1938,
dan sebelum 1955, serta didukung keterangan berikutnya berdasarkan
keberadaan pabrik nila atau indigo berdirinya sebuah sebuah desa terjadi
antara 1833 sampai dengan tahun 1840, jika kita gabungkan dapat disimpulkan
bahwa di wilayah yang sekarang menjadi Desa Sukadana, maka
kesimpulannya semakin mngerucut bahwa keberadaan desa atau berdirinya
sebuah desa terjadi antara tahun 1838 – 1840. Namun hal yang belum dapat
terungkap saat ini adalah nama desa yang digunakan, hanya saja kemungkinan
namanya adalah Desa Tjigaroegoej (dibaca Cigaruguy), karena menurut
beberapa tokoh masyarakat, nama Desa pertama kali di wilayah ini adalah
Desa Tjigaroegoej, yang wilayahnya meliputi wilayah Desa Salakaria dan Desa
Sukadana sekarang.

MASA KEPEMIMPINAN BUYUT AMSA


(DESA TJIGAROEGOEJ – AWAL S/D PERTENGAHAN ABAD KE-19 )
Kesimpulan mengenai kemungkinan adanya desa yang pertama kali,
diperkuat dengan keterangan-keterangan dari masyarakat. Dari hasil penelitian
dan wawancara, kehidupan bermasyarakat sudah ada sejak awal abad ke 19,
yaitu dengan adanya sosok yang disebut masyarakat dengan sebutan Buyut
Amsa. Buyut Amsa adalah seorang pemimpin masyarakat, yang diangkat
sebagai pimpinan oleh masyarakat karena berhasil membuat dua buah saluran
irigasi yang bersumber dari sungai Cisadap. Kedua saluran ini hanya dibuat
oleh Buyut Amsa dan dibantu oleh seorang pembantunya. Aliran irigasi ini yang
kemudian sekarang dikenal dengan aliran Cisadap 1 dan Cisadap 2. Dengan
adanya saluran air ini areal persawahan dan lahan yang berada di sekitar
sungai Cisadap dapat teraliri air lebih lancar dan ini sangat berpengaruh bagi
masyarakat. Dengan keberhasilan Buyut Amsa membuat dua buah saluran air
ini membuatnya menjadi seorang yang dianggap memiliki kelebihan atau
mungkin kekuatan yang lebih tinggi dari masyarakat lainnya, hingga diangkat
penjadi pimpinan masyarakat, namun mungkin saat itu masih belum menjadi
sebuah desa, sehingga pola masyarakatnya hanya lingkungan kemasyarakatan
biasa yang mungkin lebih mirip sebuah suku (seperti halnya suku yang terdapat
di kampung Kuta di daerah Rancah). Sehingga kepemimpinan Buyut Amsa
lebih cenderung sebagai kokolot di masyarakat.
Dari fakta sejarah tersebut apabila kita rangkai dengan keterangan awal
bahwa pernah terdapat pabrik nila milik pemerintah Hindia Belanda, ada dua
kemungkinan kesimpulan, yang pertama adalah proses pembuatan dua
saluran air yang berasal dari sungai Cisadap, untuk mengairi lahan di
sepanjang sungai Cisadap yang dilakukan Buyut Amsa menjadikan Buyut
Amsa diangkat sebagai pemimpin masyarakat, kemudian lahan tersebut
dijadikan tempat penanaman Tarum Kembang, dan didirikan Pabrik Indigo dan
tanggungjawab pengawasan diserahkan kepada Kepala Desa, dan kemudian
masyarakat mengangkat Buyut Amsa sebagai Kepala Desa atas dasar
kepemimpinannya.
Kemungkinan yang kedua adalah pembuatan saluran air tersebut justru
dilakukan untuk penanaman Tarum Kembang sesuai aturan Pemerintah Hindia
Belanda, dan keberhasilan Buyut Amsa membuat dua saluran air tersebut
membuat Pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya sebagai Kepala Desa.
Namun disamping itu masih ada kemungkinan lain yang mungkin terjadi.
Meskipun demikian satu kesimpulan dari analisis tersebut adalah bahwa
kemungkinan besar Buyut Amsa adalah Kepala Desa yang pertama di wilayah
ini yang pada masa itu bernama Desa Tjigaroegoej (dibaca Cigaruguy), yang
didirikan sekitar tahun 1838-1840. Adapun letak balai desa terletak di sekitar
sungai Cigaruguy (sekitar Desa Kolot sekarang)
Apabila dibandingkan dengan kondisi di Kabupaten Galuh saat itu,
lahirnya sebuah desa dan kepemimpinan Buyut Amsa sebagai Kepala Desa
yaitu saat akhir Pemerintahan Kabupaten Galuh dipimpin oleh Bupati Raden
Adipati Adikusuma, yang menjadi Bupati di Kabupaten Galuh sejak tahun 1819
sampai tahun 1839, atau bisa saja peristiwa tersebut terjadi pada awal
pemerintahan Bupati R.A. Aria Kusumadiningrat atau yang dikenal dengan
sebutan Kanjeng Prebu, yang diangkat menggantikan R.A. Adikusuma.
R.A. Aria Kusumadiningrat sendiri merupakan Bupati paling terkemuka,
karena relaif berhasil melaksanakan pembangunan,. R.A. Aria Kusumadiningrat
memerintah sebagai Bupati Kabupaten Galuh Sejak tahun 1839 sampai tahun
1886. beberapa pembangunan yang dilakukan oleh R.A. Aria Kusumadiningrat
diantaranya adalah pada antara tahun 1859 – 1870 membangun beberapa
gedung di Ciamis, Ibukota Kabupaten Galuh yaitu pembangunan Gedung
Kabupaten (sekarang digunakan menjadi Gedung DPRD), Gedung untuk
Asisten Residen Galuh (sekarang menjadi Gedung Negara atau Gedung
Kabupaten), Tangsi Muliter, Bangunan Penjara, Masjid Agung, Gedung untuk
Kontrolir, dan Kantor Telepon.
Selain melakukan pembangunan gedung-gedung di Ciamis, R.A. Aria
Kusumadiningrat juga membangun beberapa saluran air dan dam-dam untuk
mengairi daerah pesawahan. Pada awal pemerintahannya R.A. Aria
Kusumadiningrat membangun saluran Gandawangi, kemudian kembali
membangun saluran air Cikatomas pada tahun 1842, membangun dam
Tawangmanggu (kemudian berubah nama menjadi Nagawiru) pada tahun
1843, serta saluran air Wangundireja pada tahun 1862. pada masa itu pula ia
juga banyak membuka areal persawahan baru dan areal perkebunan kelapa.
Melihat hal itu ada kemungkinan pembangunan saluran air dan dam yang
dilakukan oleh R.A. Aria Kusumadiningrat atau Kanjeng Prebu adalah
pembangunan yang cukup populer atau yang banyak dilakukan pada masa-
masa itu, termasuk oleh sebagian masyarakat dalam membuka lahan sehingga
Buyut Amsa pun melakukan hal yang sama di daerahnya, dengan membuat
dua saluran air yang berasal dari sungai Cisadap, hal ini tampaknya dilakukan
sebagai upaya pembukaan lahan persawahan di sekitar sungai Cisadap
(seperti yang dilakukan Ma Eroh di Tasikmalaya)
Kemudian yang menggantikan Buyut Amsa adalah anaknya yang
bernama Hardjasasmita, kemungkinan pergantian ini dilakukan setelah Buyut
Amsa wafat dan dimakamkan di sekitar kompleks pemakaman Panghayaman
Tonggoh tidak jauh dari tabet makam Ki Jaksa Malangdewa.
Tidak diketahui kapan Buyut Amsa meninggal, dari hasil pengamatan
pada nisan makam Buyut Amsa tidak ditemukan tahun wafatnya, hanya pada
nisan isterinya yang letaknya bersebalahan tertulis bahwa isterinya wafat pada
tahun 1327 Hijriah atau sekitar tahun ± 1909.

MASA KEPEMIMPINAN KUWU HARDJASASMITA / KUWU ARGA


(DESA SALAKARIA WETAN – PERTENGAHAN S/D AKHIR ABAD KE-19)
Dari hasil pengamatan dan wawancara, Hardjasasmita saat itu sudah
dikenall dengan panggilan Kuwu, dan beberapa keturunannya menyebutnya aki
kuwu atau uyut kuwu. Sebagian masyarakat juga ada yang menyebutnya
dengan sebutan Kuwu Arga, nama Arga ini mungkin adalah nama beliau
sebelum menjadi Kepala Desa. Dari sebutan Kuwu pada masa Hardjasasmita,
semakin pasti di wilayah ini sudah terdapat struktur pemerintahan desa yang
jelas.
Dari penelaahan sejarah, kemungkinan nama desa sudah berubah
menjadi Desa Salakaria Wetan, setelah Desa Tjigaroegoej dipisahkan menjadi
dua Desa yaitu Desa Salakaria Wetan dan Desa Salakaria Kulon. Desa
Salakaria Wetan meliputi wilayah Desa Sukadana sekarang, sedangkan Desa
Salakaria Kulon meliputi wilayah Desa Salakaria sekarang.
Kemungkinan kedua nama desa ini mulai digunakan hampir bersamaan
dengan desa-desa yang berada di sekitarnya, yaitu Desa Bangkelung
(sekarang menjadi Margaharja) dan Desa Cikaso (sekarang menjadi Desa
Margajaya). Sehingga kemungkinan berdirinya desa-desa tersebut terjadi
sebelum tahun 1870, karena dalam buku “Sejarah Ciamis” diungapkan bahwa
pada masa Kabupaten Galuh dipimpin oleh R.A.A. Kusumadiningrat, atau yang
dikenal dengan panggilan Kanjeng Prebu (1839-1886), ketika Undang-undang
Agraria diberlakukan pada tahun 1870, di Kabupaten Galuh banyak dibuka
perkebunan swasta seperti di Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung,
Panawangan, Darmacaang, dan Sindangrasa.
Hal itu menununjukkan bahwa (Desa) Bangkelung sudah berdiri dan
bahkan salah satu wilayah kehutanan di Cikangkareng kemungkinan mulai
dibuka pada masa itu pula. Dari hal itu kemungkinan besar nama Salakaria
Wetan sudah digunakan sebagai nama desa di wilayah distrik Rancah bersama
desa-desa sekitarnya yaitu Salakaria Kulon, Bangkelung dan Cikaso. Saat itu
Kabupaten Galuh dipimpin oleh R.A.A. Kusumadiningrat (Kanjeng Prebu) dan
termasuk kedalam Keresidenan Cirebon.
Pada masa kepemimpinan Kuwu Hardjasasmita di Desa Salakaria Wetan
bila dibandingkan dengan pemerintahan di Kabupaten Galuh, kemungkinan
berlangsung sekitar pada akhir masa pemerintahan R.A.A. Kusumadiningrat
hingga awal masa kepemimpinan Bupati R.A.A. Kusumasubrata (anak Kanjeng
Prebu). R.A.A Kusumasubrata menjadi Bupati Kabupaten Galuh sejak tahun
1886 sampai tahun 1914. Pada Masa Pemerintahan Bupati R.A.A.
Kusumasubrata, kedudukan kuwu (Kepala Desa) dianggap sebagai salah satu
kedudukan yang tinggi, seingga para kuwu selain selalu dikutsertakan dalam
upacara-upacara kenegaraan, juga diundang hadir dalam pesta keluarga Bupati
dan Pesta Raja (Peringatan hari lahir Raja/Ratu Belanda). Dalam setiap pesta
atau hajatan selalu terjadi iring-iringan pelaku pesta termasuk bangsa priyayi
dan para kuwu yang menggunakan kuda pilihan.
Pada masa itu kemungkinan sistem pergantian kepemimpinan di Desa
Salakaria Wetan masih turun temurun, karena Kuwu Hardjasasmita kemudian
digantikan oleh anaknya yaitu Mas Wiriasasmita. Menurut sebuah sumber
wafatnya Kuwu Hardjasasmita bersamaan dengan menikahnya Ratu Belanda
yaitu Ratu Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau. Setelah
ditelusuri pernikahan Ratu Juliana yaitu pada tanggal 7 Januari 1937, Informasi
pernikahan Ratu Juliana di Belanda sangat wajar diketahui oleh masyarakat di
Indonesia termasuk di Desa Salakaria Wetan karena selain saat itu Indonesia
sedang dikuasai oleh Belanda, pernikahan Ratu Juliana juga merpakan berita
besar di dunia saat itu. Kuwu Hardjasasmita kemudian dimakamkan di
pemakaman keluarga di sekitar komplek Panghayaman Landeuh.
MASA KEPEMIMPINAN KUWU MAS WIRIASASMITA / KUWU HORMAT
(SALAKARIA WETAN S/D 1921)
Pada masa pemerintahan Kuwu Hardjasasmita tampaknya belum ada
istilah pemilihan kepala desa, kemungkinan regenerasi kepemimpinan berjalan
secara turun temurun, meskipun tentunya atas persetujuan pihak pemerintah
yang pada masa itu adalah pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sehingga
jabatan Kuwu Hardjasasmita kemudian diturunkan kepada salah satu anaknya,
hal itu dilakukan mungkin karena Hardjasasmita sudah berusia lanjut. Dari
beberapa orang anak Kuwu Hardjasasmita yang lain, Parma Wiriasasmita
dipercaya menerima jabatan sebagai Kepala Desa Salakaria Wetan.
Pada masanya kepeminpinan Kepala Desa Parma Wiriasasmita atau
kemudian disebut juga Mas Wiriasasmita, (nama Parma kemungkinan adalah
nama beliau sebelum menjadi Kepala Desa) pusat pemerintahannya berada di
daerah Desa Kolot, dengan letak Balai Desa berada di sekitar Sungai
Cigaruguy. Pada masa kepemimpinannya Mas Wiriasasmita dikenal dengan
pelaksanaan administrasi pemerintahan yang rapi.
Pada masa itu di wilayah Desa Salakaria Wetan, penduduknya masih
sedikit sehingga masih banyak terdapat lahan kosong yang belum
dimanfaatkan baik sebagai ladang atau sawah, bahkan terdapat banyak lahan
kosong yang tidak dimiliki oleh siapapun, sehingga masyarakat termasuk juga
Mas Wiriasasmita, kerap membuka lahan untuk digunakan sebagai lahan
pertanian yang kemudian dimiliki oleh pembuka lahan tersebut.
Bagi masyarakat Desa Salakaria Wetan, Mas Wiriasasmita dikenal
dengan sebutan Kuwu Hormat, menurut keterangan, sebutan Kuwu Hormat
tersebut karena Mas Wiriasasmita berhenti atas dasar permintaan sendiri
sehingga dianggap berhenti secara terhormat, namun sebagian keterangan
menyebutkan bahwa julukan tersebut didasarkan atas kacakapannya dalam
pengelolaan administrasi pemerintahan sehingga Mas Wiriasasmita selain
dihormati masyarakat juga dihormati oleh pemerintah. Masa pemerintahannya
berakhir pada tahun 1921.
➢ Profil Singkat
Tidak diketahui secara pasti kapan lahirnya Mas Wiriasasmita. Mas
Wiriasasmita adalah anak pertama Hardjasasmita. Saudaranya yang seibu dan
seayah adalah Parmi, saudaranya yang lain yang se-ibu diantaranya adalah
Mas Garhawa Andasasmita (Juru Tulis pada masa Kepala Desa M.
Djajapermana) dan Arilah.
Salah satu kegiatan yang merupakan kegemaran Kuwu Mas Wiriasasmita
adalah berburu, pada saat itu diperkirakan di wilayah Desa Salakaria Wetan
dan sekitarnya banyak terdapat binatang buruan seperti rusa, kijang, babi
hutan, dll. Sebagai bukti buruannya hingga saat ini masih terdapat beberapa
tanduk rusa hasil tangkapan Mas Wiriasasmita yang tersimpan menjadi hiasan
di beberapa keturunannya.
Dari isteri pertamanya Kuwu Hormat memiliki seorang anak yang
bernama Junah Wiriasasmita, setelah isteri pertamanya meninggal kemudian
menikah lagi dengan istrinya yang kedua yaitu Raden Eneng dan memperoleh
beberapa anak yaitu Juhwa Wiriasasmita, Sutiah Wiriasasmita, Komar
Wirasutisna, Junaedi Wiriasasmita, Kurnia Tresnasih Wiriasasmita, dan Etje
Kosim Wiriasasmita. Setelah isteri keduanya meninggal pada tahun 1928,
kemudian beliau menikah lagi dengan Omoh Salmah, selanjutnya memiliki anak
lagi yaitu Hanah Wiriasasmita, Suwarto Heryadi Wiriasasmita dan Rochmat
Wiriasasmita.
Kuwu Hormat meninggal pada hari Sabtu tanggal 30 September 1972 dan
dimakamkan di pemakaman keluarga di Sada Pasir dusun Sukamanah.
Sedangkan isterinya yaitu Omoh Salmah meninggal pada tanggal 24 Juli 1999.
Desa Salakaria (1921-1979)

MASA KEPEMIMPINAN MINTAREDJA / KUWU BINTANG (1921 S/D 1941)


Seiring berakhirna masa kepemimpinan Kuwu Hormat, berakhir pula
eksistensii Desa Salakaria Wetan, karena pada tahun 1921 dua Desa yang
menggunakan nama Salakaria yaitu Salakaria Wetan dan Salakaria Kulon
(sekarang wilayah Desa Salakaria) digabungkan menjadi sebuah desa yang
bernama Desa Salakaria yang wilayahnya meliputi bekas wilayah Desa
Tjigaroegoej. Tidak diketahui secara jelas apa alasan penggabungan dua desa
tersebut, namun apabila melihat nama “Salakaria” dari kedua desa yaitu
Salakaria Wetan dan Salakaria Kulon, tampaknya ada suatu latar belakang
yang sama dalam kaitannya dengan keberadaan dua desa tersebut selain
karena memang pada awalnya pun desa ini tergabung dalam satu desa
bernama Desa Tjigaroegoej.
Satu hal yang menarik setelah penggabungan dua desa tersebut, hal itu
adalah adanya pemilihan Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat,
meskipun hanya perangkat desa dan masyarakat yang memiliki pajak saja yang
ikut memilih namun itu sudah menunjukkan adanya sistem pemerintahan
modern, dimana proses pemilihan pemimpin dilakukan dengan sebuah sistem
demokrasi. Dalam pemilihan kepala Desa di Salakaria yang saat itu
dilaksanakan di Balai Desa (Sekarang Balai Desa Salakaria), terdapat 4 orang
calon, salah satunya bernama Mintaredja (sebagian temannya menyebutnya
dengan nama Gali). Salah satu pendukung Mintaredja adalah mantan kepala
desa yaitu Mas Wiriasasmita (Kuwu Hormat).
Menurut seorang pendukung Mintaredja yang bernama Adhapi, pada
awalnya Gali merasa pesimis bahkan saat proses pemilihan Gali berpakaian
menggunakan kain sarung, dan diantara masyarakat yang lain ia duduk
dibelakang, namun setelah dilaksanakannya pemilihan ternyata ia memperoleh
suara terbanyak dalam pemilihan Kepala Desa tersebut.
Akhirnya Gali atau Mintaredja kemudian menjadi Kepala Desa di
Salakaraia. Nama Gali kemungkinan merupakan nama Beliau sebelum menjadi
Kepala Desa.
➢ Proses Memperoleh Bintang
Selama memimpin Desa Salakaria, Minterdja merupakan seorang Kepala
Desa yang dianggap banyak mengadakan pembangunan dan taat pada
pemerintah yang saat itu adalah Pemerintah Hindia Belanda, sehingga
Minteredja banyak mendapatkan Bintang Penghargaan dari pemerintah.
Bintang-bintang penghargaan tersebut diantaranya diperoleh dari
pembangunannya membuat Jalan Potongan yaitu jalan yang menghubungkan
dusun Pabrik ke arah Margaharja (Sekarang jalan Dusun Pabrik-Sukamaju),
jalan tersebut disebut Jalan Potongan karena pertama, memotong jalur jalan ke
arah Desa Margaharja (Margajaya sekarang), dan kedua memotong saluran air
(saluran Cisadap 1), bahkan konon sebagai bentuk syukuran keberhasilan
pembuatan jalan tersebut dilakukan pemotongan kerbau. Selain membuat jalan,
Mintredja juga melakukan penataan di pinggiran jalan.
Selain dari pembangunan jalan, bintang penghargaan yang diperoleh
Mintaredja adalah dari keberhasilan pemerintah Desa Salakaria dalam
kelancaran pembayaran seba (Pajak) dari masyarakat kepada pemerintah,
pada saat itu pembayaran dilakukan ke Rancah sebagai pusat Distrik Rancah.
Dari peta tahun 1927 yang ditemukan, terungkap jelas bahwa Desa Slakaria
(dalam peta tertera Slakaria bukan Salakaria) termasuk ke dalam Distrik
Rancah (dalam peta tertera Rantja), Regentschap (Kabupaten) Ciamis.
Keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh Mintaredja sebagai kepala
desa yang mendapatkan banyak bintang penghargaan dari pemerintah Hindia
Belanda menjadikan Mintaredja lebih dikenal masyarakat dengan sebutan
“Kuwu Bintang”.
Selama pemerintahan Kuwu Bintang, pembangunan lain yang dilakukan
diantaranya meluruskan aliran Sungai Cisadap. Semula aliran Cisadap dari
sekitar kompleks sawah panghayaman hingga Karang Gantungan (saat itu
namanya kompleks Gantoeng) bentuknya berkelok-kelok, sebagai ilustrasi
sekarang, dulu Sungai Cisadap melewati sekitar pinggiraan makam
panghayaman, sumur pemandian (Dusun Desa), mengarah ke sekitar antara
Balai Desa dan mesjid, kemudian belakang Balai Desa sekarang, dan
berkelaok-kelok. Hingga kemudian pada masa kepemimpinan Kuwu Bintang,
Sungai Cisadap diluruskan seperti halnya sekarang. Hal ini ditujukan agar areal
persawahan menjadi lebih luas dan tidak terganggu oleh berbelit-belitnya
bentuk Sungai Cisadap.
Pada masa kepemempinan Kuwu Bintang juga dilakukan pemindahan
Balai Desa yang semula berada di daerah Desa Kolot (sekitar sungai
Cigaruguy) ke sekitar kompleks BPP sekarang. Di sekitar Balai Desa juga
dibangun mesjid. Pada akhir pemerintahannya sekitar tahun 1940-an Kuwu
Bintang sempat mengadakan acara Khitanan dan Gusaran massal yang diikuti
oleh 14 orang anak-anak yang sebagian diantaranya masih kerabat Kuwu
Bintang.
Masa kepemimpinan Kuwu Bintang dibantu oleh beberapa perangkat
desa. Perangkat desa yang dapat kami ketahui diantaranya adalah Djajapoera
sebagai Lebe, Altawijaya sebagai Ngabihi (Polisi Desa). Altawidjaja kemudian
digantikan oleh saudaranya yaitu Kertawidjaja. Sedangkan diantara kepala
dusunnya yang dapat diketahui adalah War’i sebagai kepala kampung Pabrik,
Secadinata kepala kampung Cariu dan Marhali sebagai kepala kampung Ciilat,
yang kemudian Mashali digantikan olej Jaya.
Kepemimpinan Kuwu Bintang berakhir tahun 1941. kemungkinan Kuwu
Bintang berhenti dari jabatannya sebagai Kepala Desa karena beliau meninggal
dunia pada tanggal 26 Maret 1941.
Hal tersebut diketahui dari hasil penelitian, dari nisan makam Kuwu
Bintang, tertulis kalimat:
Poepoesna Koewoe Bintang 26 – 4 – 1941 M / 28 – 3 – 1369 H
Kuwu bintang dimakamkan di komplek makam Panghayaman Tonggoh,
posisi makamnya terletak hanya beberapa mater dari makam Buyut Amsa.

MASA KEPEMIMPINAN MAS DJAIAPERMANA ( 1941 s/d 1971)


Sepeninggal Kuwu Bintang, pada tahun 1941 kembali diadakan pemilihan
Kepala Desa. Pada saat itu calonnya adalah Mas Djaiapermana, Djajapoera
yang saat itu menjabat sebagai Lebe di Salakaria dan Puradisastra. Hasil dari
pemilihan tersebut dimenangkan oleh Mas Djaiapermana, menurut keterangan
selisih kemenangannya hanya 1 biting atau 1 suara dari Djajapoera. (Ayah Eyo
Soeria)
Akhirnya Mas Djaiapermana menjadi Kepala Desa Salakaria
menggantikan Kuwu Bintang. Sebetulnya Mas Djaiapermana sebelumnya
sempat menjadi Kepala Desa di Daerah Ciakar Kawali (di Ciakar dikenal
sebagai Kuwu Wardi), namun beliau pergi ke Salakaria karena berselisih dan
menentang Pemerintah Hindia Belanda yang bekedudukan di Distrik Kawali.
Masa pemerintahan Mas Djaiapermana di Desa Salakaria berlangsung
selama sekitar 30 tahun yaitu sejak tahun 1941 sampai tahun 1971. selama
pemerintahannya Mas Djaiapermana dibantu beberapa perangkat desa,
diantaranya Mas Garhawa Andasasmita sebagai Juru Tulis 1, Kartadisastra
sebagai Juru tulis 2, Iwa Kartasasmita sebagai Ngabihi (Polisi Desa), Yaman
sebagai Ngabihi, serta Sahroni sebagai Amil. Sedangkan beberapa kepala
dusun yang dapat diketahui diantaranya adalah Usi sebagai kepala kampung
Desa yang kemudian digantikan oleh Mar’i, Usman Apandi sebagai kepala
kampung Pabrik, dan Puradisastra sebagai kepala kampung Ciilat
Pembangunan yang dilakukan oleh Mas Djaiapermana diantaranya
adalah, pembangunan Talang saluran air di Kampung Pabrik, yang semula
jalannya cukup menanjak kemudian ditugar dan dibangun talang saluran air
diatasnya, dengan menggunakan galugu kawung (pohon enau), selain itu
dibangun pula bendungan Cisadap I, rehab Balai Desa, serta pembangunan
jembatan Cikerta dan Cisadap, pada setiap jembatan diatasnya menggunakan
atap (saung balagbag) dan disediakan pula sebuah kursi untuk duduk Kepala
Desa M. Djaiapermana.
Selain banyaknya pembangunan yang dilakukan, Pada masa
kepemimpinannya di Salakaria mengalami beberapa peristiwa penting yang
berkaitan dengan sejarah diantaranya:
➢ Masa Sebelum Kemerdekaan
Pada masa sebelum kemerdekaan, di Desa Salakaria terdapat markas
tentara Belanda yang berada di sekitar perempatan Ciilat. Tempat tersebut
pada awalnya adalah sebuah toko milik seorang keturunan tionghoa bernama A
Soey atau dikenal dengan sebutan Babah A Soey. Para tentara tersebut
membawa pesenjataan lengkap termasuk tanker perang.
Selama itu tidak pernah terjadi pertempuran di Salakaria, bahkan diantara
tentara Belanda banyak yang berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat,
diantaranya dengan sering melakukan pertandingan sepak bola yang bisanya
dilakukan di lapangan Bungursari Margaharja dan juga membuka tempat
pelayanan kesehatan, diantara tenaga medisnya ialah seorang Belanda
bernama Tonny.
Meskipun demikian kehadiran tentara Belanda di Salakaria, tak pelak
menimbulkan keresahan bagi masyarakat termasuk Kepala Desa beserta
perangkatnya. Karena itu Kepala Desa bersama perangkatnya serta
keluarganya termasuk sebagian masyarakat seringkali mengungsi ke tempat
yang lebih aman, diantaranya adalah ke daerah Ranca Jungjang dan
Panyomean.
Pada masa penjajahan Jepang, tidak terasa langsung oleh masyarakat
karena Jepang tidak masuk sampai Salakaria. Meskipun demikian ada
beberapa pemuda yang sempat mengikuti pelatihan perang yang
diselenggarakan oleh Tentara Jepang. Diantara pemuda tersebut salah satunya
adalah Tisna.
➢ Salakaria Sebagai Pusat Ciamis Timur
Pada tahun 1946 Bupati Ciamis Mas Ardiwinangun digantikan oleh Raden
Veter Dendakusuma. Ia berasal dari Panjalu. Dalam menjabat tugasnya
sebagai Bupati ia didampingi oleh Patih Dendadipura. Pada masa itu adalah
masa gencar-gencarnya agresi Belanda terhadap pemerintah Republik
sehingga Bupati pun diungsikan bersama rakyat Ciamis ke Gunung Syawal dan
daerah Desa Salakaria. Pada saat itu kemudian wilayah Kabupaten Ciamis
dibagi menjadi 2 wilayah dengan batas jalan Kawali, yaitu, Ciamis Barat
berpusat di Nasol di pimpin oleh Bupati Raden Veter Dendakusuma, dan
Ciamis Timur berpusat di Desa Salakaria dipimpin oleh Patih Dendadipura.
Walaupun dalam keadaan demikian Bupati Veter Dendakusuma
menyempatkan membangun sebuah pasar di sekitar daerah Salakaria yaitu
Pasar Dongkal.
➢ Pemberontakan DI/TII
Bedasarkan hasil perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal
17 Januari 1948, mengharuskan Tentara Republik Indonesia yang berada di
wilayah Jawa Barat untuk hijrah ke Yogyakarta. Meskipun demikian sebagian
anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang bersembunyi di Gunung Syawal,
Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung, merasa kecewa dengan hasil
Perjanjian Renville tersebut sehingga mereka menolak untuk ikut hijrah dan
tidak mau menyerahkan senjatanya kepada Tentara Republik. Pada
perkembangan selanjutnya mereka bergabung menjadi Tentara Islam
Indonesia yang dibentuk oleh Sukarmadji Maridjan Kartosuwiryo pada
Februarai 1948, sebagai kekuatan militer Darul Islam (DI)
Sejak dibentuk, kedudukan TII selalu berpindah-pindah, pada tanggal 15
Februari 1948 kedudukan TII berada di Cihaur, di kaki Gunung Cupu, kemudian
pindah ke Bodjonggaok, lalu pindah lagi ke Cidolog dan akhir Februari 1948
pindah ke Kadupugur. Ketika Pasukan Siliwangi melakukan Long March dari
Yogyakarta kembali ke Jawa Barat, sebagai akibat terjadinya Agresi Militer
Belanda II pada 19 Desember 1948, TII langsung melakukan serangan kepada
Pasukan Siliwangi saat memasuki perbatasan daerah Jawa Barat, sehingga
pasukan Siliwangi harus menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu pasukan
Belanda dan pasukan TII. Setelah sempat bertempur melawan Belanda di
sepanjang kali Cijolang, Rancah, Lemah Neundeut, kemudian di daerah
Panjalu harus berhadapan dengan pasukan TII.
Pemberontakan DI/TII di Ciamis terjadi di beberapa tempat, Bahkan
pada tahun 1950 sebagian pasukan TII memasuki daerah Salakaria setelah
sebelumnya melewati daerah Cikangkareng. TII yang oleh masyarakat lebih
dikenal dengan sebutan gorombolan itu dipimpin oleh Amir Fatah. Kehadiran
gorombolan TII tak pelak menimbulkan keresahan masyarakat Salakaria,
bahkan sebagian masyarakat mulai mecari tempat yang aman untuk
mengungsi, bahkan Kepala Desa Mas Djaiapermana dan juru tulis 1, Mas
Gahara Andasasmita beserta keluarganya juga sebagian masyarakat
mengungsi ke daerah Panyairan (sekitar bunter) masa pengungsian itu
berlangsung hingga kurang lebih 1 bulan.
Pada awalnya para pemberontak DI/TII berusaha menarik simpati
masyarakat dengan mengaku sebagai tentara Hizbullah yang tidak ikut hijrah
bersama tentara Siliwangi ke Yogyakarta, bahkan menurut salah satu sumber,
diantarnya mereka melontarkan beberapa pantun sunda yang diantaranya
berbunyi:
Lain panci lain baskom, Udara ngapung kaluhur
Sanes DI sanes garong, Tentara anu kapungkur
Itulah diantaranya usaha para pemberontak DI/TII untuk mempengaruhi
masyarakat agar mendukung perjuangan mereka, yang sebenarnya melakukan
beberapa pemberontakan di beberapa tempat termasuk di daerah Salakaria.
Untuk mengatasi pemberontakan, pihak TKR menurunkan pasukan ke
daerah-daerah yang disusupi DI/TII. Salah satu pasukan TKR yang bertugas
menumpas pemberontakan DI/TII di Salakaria adalah pasukan Siliwangi yang
dipimpin oleh Mayor Nasuhi. Pasukan tersebut bermarkas di sekitar rumah
Kepala Desa Mas Djaiapermana dan rumah Juru Tulis M.G Andasasmita. Salah
satu bentuk pemberontakan yang dilakukan TII menyebabkan terjadinya
pertempuran antara TII yang dipimpin oleh Amir Fatah dan TKR yang dipimpin
oleh Mayor Nasuhi di daerah Kampung Kedungwatu (sekarang sekitar Sumur
Karet) sekitar tahun 1950. dalam pertempuran itu salah satu anggota TKR
Pasukan Siliwangi yang bernama Talele gugur dan rumah seorang warga yaitu
Sanusi dibakar oleh gorombolan DI.
Pertempuran lebih besar antara TII yang dipimpin oleh Amir Fatah dan
TKR Pasukan Siliwangi yang dipimpin oleh Mayor Nasuhi terjadi di Kampung
Desa (sekarang Sukamulya) di sekitar sungai Cikerta, pada tahun 1951,
bahkan gorombolan TII sempat membakar bangunan Sekolah Rakyat (SR) 2
Salakaria. Dalam pertempuran kali ini Supiadi seorang anggota pasukan
Siliwangi gugur dengan tubuh dicacag (dimutilasi) dan dimakamkan di Salakaria
namun kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan..
Selain penumpasan dilakukan oleh anggota pasukan Siliwangi, sebagian
pemuda Salakaria juga sempat ikut berjaga-jaga untuk menghindari terjadinya
pemberontakan lain yang dilakukan oleh DI/TII, dengan mendirikan OKD
(Organisasi Keamanan Desa) diantaranya pemuda yang tergabung dalam OKD
terdapat beberapa mantan pejuang kemerdekaan, seperti Komar Wirasutisna,
Tisna, Etje Kosim Wiriasasmita (Mantan Komandan Tentara Pelajar Kompi
Ciamis), K. Sunaryo, Tar’i, Kosasih, Sudirman, selain itu adapula perkumpulan
pemuda yang dipimpin oleh Kartono yang anggotanya diantaranya Sastra,
Karto, Kaleto, Karyo, Ajum, dll. Para pemuda ini dilatih oleh seorang mantan
Seinendan yang pernah dilatih oleh tentara Jepang yaitu Tisna
Selain itu dalam penumpasan pemberontakan DI/TII sebagian
masyarakat juga bersatu dengan pasukan TKR Pasukan Siliwangi tak
terkecuali masyarakat Desa Salakaria dengan melakukan penjagaan di sekitar
hutan Cikangkareng, Paneureusan, Leuweung Gandok dan Cigaru agar para
gorombolan tidak kembali lagi penjagaan ini disebut Pager Desa (PD), semula
sebagian masyarakat juga akan ikut dalam Pager Bitis (Pagar Betis) di wilayah
kaki Gunung Syawal, namun pihak pemerintah desa melalui Kepala Desa
melarang masyarakat untuk ikut pagar betis sehingga masyarakat lebih
difokuskan untuk melaksanakan pager desa. Pada akhirnya pemberontakan
DI/TII berhasil ditumpas dan dihentikan setelah S.M. Kertosuwiryo ditangkap
dan kemudian dihukum mati pada tahun 1962.
➢ Peristiwa G30S/PKI
Pergolakan politik nasional yang semakin memanas, berimbas pada
segenap elemen masyarakat, masyarakat yang belum begitu terbiasa
menghadapi perbedaan paham politik merasa resah dengan kondisi perbedaan
paham yang sangat mencolok, tak terkecuali dialami oleh masyarakat
Salakaria, Tiga partai besar saat itu yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI),
Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi tiga partai yang seolah-
olah bertolak belakang dalam pandangan masyarakat, apalagi PKI merupakan
salah satu partai yang dianggap negatif oleh masyarakat Salakaria secara
umum, kesan radikal dan pemberontak menjadi citra yang melekat pada PKI
termasuk para kader-kader partainya.
Tidak sedikit masyarakat Salakaria yang menjadi kader PKI saat itu, dari
data yang terdaftar di Kantor Desa terdapat 387 orang kader PKI, kebanyakan
dari mereka tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) yaitu organisasi
dibawah PKI. Diantara pimpinan kader PKI tersebut seringkali melakukan
kampanye terbuka di wilayah Salakaria dan sekitarnya, merebaknya kader-
kader PKI di Salakaria merupakan hal yang wajar mengingat di wilayah
Kabupaten Ciamis pada saat itu terdapat beberapa basis-basis PKI yang cukup
kuat sejak tahun 1926-an, diantaranya di daerah Bojong.
Pertentangan masyarakat umum terhadap para kader dan pengikut PKI
semakin besar pada sekitar tahun 1965-an, hingga berita peristiwa G 30 S/PKI
atau sebagian masyatakat menyebut juga GESTAPU (Gerakan September
Tigapuluh) mulai merebak di masyarakat, para pengikut PKI semakin dijauhi
oleh masyarakat, hal ini karena masyarakat merasa resah dan takut, hingga
pada akhir tahun 1965 banyak para kader PKI yang ditangkap oleh aparat
pemerintah, termasuk beberapa kader PKI di Salakaria, kemudian dipenjara
dan sebagian dibuang ke Pulau Buru di Maluku.
Tidak sampai disitu saja, pandangan negatif masyarakat terhadap
pengikut PKI memunculkan tindakan diskriminatif masyarakat umum terhadap
para mantan anggota PKI termasuk keluarga dan anak-anaknya. Tindakan
diskriminatif itu masih saja terjadi meskipun PKI telah dibubarkan pemerintah,
bahkan perlakuan masyarakat umum tehadap keluarga mantan anggota PKI
terkesan berbeda, maskipun pada dasarnya keluarga tersebut sebetulnya tidak
pernah terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal, hal ini terjadi karena memang
pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru menerapkan aturan yang
mencekal dan membatasi gerak kehidupan mantan anggota PKI dan
keluarganya termasuk anak-anaknya.

Itulah sebagian peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Desa Salakaria


antara tahun 1941 sampai tahun 1971, yang pada saat itu kondisi negara tidak
begitu stabil, dan terjadi banyak perubahan dan pergerakkan masyarakat, serta
pergolakan politik, dan masyarakat Desa Salakaria yang pada masa itu
dipimpin oleh Mas Djaiapermana merasakan betul dinamika tersebut, namun
hal tersebut tidak menyurutkan kehidupan warga Salakaria dalam hal
kehidupan bermasyarakat serta Pemerintahan Desa untuk membangun,
terbukti selama masa itu terdapat beberapa hasil pembangunan yang secara
signifikan berpengaruh pada kehidupan masyarakat.
➢ Profil Singkat Mas Djaiapermana
Diantara bebarapa Kepala Desa yang pernah menjabat di Salakaria, Mas
Djaiapermana merupakan salah satu kepala desa yang paling dihormati oleh
masyarakat, 30 tahun masa pemerintahannya menunjukkan bahwa Mas
Djaiapermana sudah dianggap menjadi panutan bagi masyarakat di Salakaria,
bahkan bagi sebagaian masyarakat Sukadana saat ini terutama bagi
masyarakat yang berusia lanjut yaitu masyarakat yang sempat mengalami
masa kepemimpinan Mas Djaiapermana, ternyata masa itu masih menyimpan
kesan tersendiri bagi masyarakat.
Tidak diketahui kapan Mas Djaiapermana dilahirkan, namun sebelum
menjadi kepala desa di Salakaria, beliau sempat menjadi Kepala Desa di
daerah Ciakar Kawali. Beliau menikah dengan Sudarsih dan memiliki beberapa
orang anak diantaranya, Wasilah, Suryanah, Andang Eman Djaiapermana, Euis
Sukaryah, Tjetjep Suwaryo Djaiapermana, Sujud Herjana Djaiapermana, dan
Yayu Wahyu Djaiapermana.
Mas Djaiapermana meninggal pada 12 Maret 1976 atau 12 Rabiul Awal
1396, beliau kemudian dimakamkan di makam keluarga di Dusun Desa yang
letak pemakamannya berada di sebelah barat dari komplek pemakaman
panghayaman landeuh.

MASA PEMERINTAHAN KEPALA DESA KAPTEN POLISI EYO SOERIA


(1977 - PEMEKARAN DESA 1979)
Setelah Mas Djaiapemana berhenti dari jabatannya sebagai kepala desa
Salakaria, kembali diadakan Pemilihan Kepala Desa yang diikuti oleh banyak
calon kepala desa, calon-calon kepala desa tersebut diantaranya, Kapten Polisi
Eyo Soeria, Andang Djaiapermana (Putra M. Djaiapermana), Etje Kosim
Wiriasasmita (Putra M. Wiriasasmita) M.S Andasasmita (Putra M.G.
Andasasmita), Sudirman, dan Suminta Atmadja (Lurah Dursal).
Diantara 6 orang calon tersebut 5 diantaranya berasal dari Salakaria
sebelah timur (wilayah bekas Desa Salakaria Wetan), hanya Eyo Soeria yang
berasal dari Salakaria sebelah barat (wilayah bekas Desa Salakaria Kulon),
sehingga secara hitung-hitungan pun dapat ditebak, dukungan masyarakat
Salakaria sebelah timur (Salakaria Wetan) suaranya akan terpecah pada 5
orang calon, yang bahkan diantara kelimanya masih ada hubungan keluarga.
Sedangkan suara dari masyarakat Salakaria Barat (Salakaria Kulon), suaranya
lebih banyak kepada Eyo Soeria sehingga pada akhirnya pun Eyo Soeria Eyo
Soeria yang lahir pada tanggal 1 Januari 1927 terpilih menjadi Kepala Desa
Salakaria.
Karena Eyo Soeria berdomisili di Salakaria sebelah barat (bekas wilayah
Desa Salakaria Kulon), maka balai desa yang digunakan oleh Kepala Desa dan
perangkatnya bukan lagi balai desa yang sebelumnya digunakan pada masa
Kepala Desa M. Djaiapermana yang terletak di sekitar Kantor BPP sekarang,
tetapi bekas balai desa Salakaria Kulon yang terletak di Salakaria sebelah barat
(sekarang Balai Desa Salakaria). Namun meskipun demikian sejak tahun 1976,
yaitu sejak mencuatnya keinginan masyarakat untuk memekarkan Desa
Salakaria menjadi 2 desa, balai desa sebelumnya yang berada di Salakaria
sebelah timur (sekitar komplek BPP sekarang) mulai digunakan kembali untuk
kantor pelayanan masyarakat dengan menempatkan Juru Tulis 1 yaitu M.S.
Andasasmita.
Pada tahun 1977 setelah ada kesepakatan pemekaran desa, balai desa
yang berada di Salakaria sebelah timur kemudian dipindahkan, dan dibangun
kembali di lokasi yang sekarang menjadi Balai Desa Sukadana. Balai desa ini
dipersiapkan untuk menjadi balai desa Sukadana. Balai desa tersebut mulai
dibangun pada tanggal 20 Agustus 1977, dengan pelaksananya dipimpin oleh
Tar’i K, yang pada saat itu menjabat sebagai Polisi Desa. Setelah balai desa
tersebut selesai kemudian diresmikan oleh Kepala Desa Eyo Soeria pada
tanggal 10 November 1978.
Setelah Desa Salakaria resmi dimekarkan menjadi dua desa yaitu Desa
Salakaria dan Desa Sukadana, pada tahun 1979, Eyo Soeria masih menjadi
Kepala Desa di Desa Salakaria yang dianggap sebagai Desa Induk, dan
setelah masa jabatannya habis pada tahun 1979, ia kembali mencalonkan
sebagai Kepala Desa di Desa Salakaria dan kemudian beliau kembali terpilih
untuk menjadi Kepala Desa Salakaria pasca pemekaran hingga tahun 1991.
Lahirnya Desa Sukadana

PROSES PEMEKARAN SALAKARIA


Pada masa Desa Salakaria dipimpin oleh Eyo Soeria (1971-1979) ,
tepatnya pada hari sabtu kliwon tanggal 15 Mei 1976 bertempat di SD Negeri 3
Salakaria, diadakan rapat yang dihadiri oleh Camat Rajadesa Subagio, B.A,
Kepala Desa Salakaria Eyo Soeria, Juru Tulis 1. M.S Andasasmita, para kepala
kampung se Desa Salakaria diantaranya: Parjo (kepala kampung Desa), Ijo
(Kepala Kampung Pabrik), Karjo (Kepala Kampung Ciilat) Parma (Kepala
Kampung Cariu) Sukarna (Kepala Kampung Kedung) Apandi (Kepala Kampung
Ciparay), Edi (Kepala Kampung Karang Tengah), Anda (Kepala Kampung Hilir),
Darsim (Kepala Kampung Girang) dan Hadimi (Kepala Kampung Pasirnagara)
serta beberapa tokoh masyarakat seperti, Tisnaiskandar, Etje Kosim
Wiriasasmita, Sudirman, Suminta, Suryo, Sahwan, Saryadimadja, dll. Rapat
tersebut membahas mengenai keinginan memekarkan wilayah desa Salakaria
dengan batas wilayah Sungai Cikerta dan Sungai Cisadap.
Adapun alasan pemekaran kedua wilayah tersebut adalah karena pada
asalnya memang wilayah Desa Salakaria saat itu, berdiri atas penggabungan
dua desa yaitu Salakaria Wetan dan Salakaria Kulon yang saling berbatasan
dan dibatasi Sungai Cikerta dan Cisadap yang disatukan menjadi sebuah Desa
Salakaria pada tahun 1921. dengan latar belakang dua desa tersebut
(Salakaria Wetan dan Salakaria Kulon) tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa
perbedaan adat istiadat maupun budaya, sehingga jalinan sebagian
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang berasal dari Salakaria Wetan
dan Salakaria Kulon kadang-kadang kurang harmonis, sehingga perlu ada
suatu langkah untuk mencegah ketidakharmonisan itu agar tidak sampai terjadi
perpecahan.
Selain itu salah satu alasan lainnya adalah karena Desa Salakaria
asalnya merupakan gabungan dari dua wilayah sehingga Desa Salakaria
memiliki wilayah yang terlalu luas sedangkan bantuan sumbangan dari pusat
untuk tiap desa jumlahnya sama, karena itu ada keinginan agar Desa Salakaria
dimekarkan menjadi dua desa agar bantuan pemerintah pusat lebih besar.
Dalam proses penentuan nama desa, ternyata tidak dapat dikembalikan
seperti semula sebelum tahun 1921 yaitu Desa Salakaria Wetan dan Desa
Salakaria Kulon, karena kebijakan pemerintah tidak memperbolehkan ada
istilah kulon dan wetan untuk penamaan desa, sedangkan tokoh masyarakat
wilayah Desa Salakaria sebelah barat keukeuh mempertahankan nama Desa
Salakaria, sehingga wilayah Desa Salakaria sebelah timur harus memiliki nama
sendiri yang berbeda.
Atas dasar itu tercetuslah nama Sukadana yang diambil dari salah satu
nama blok persil nomor 190 yang terletak di Kampung Pabrik (sekarang masuk
wilayah Dusun Sukamaju) yang kemudia dituangkan didalam Letter E. Desa
Salakaria tanggal 15 Mei 1976, dengan wilayahnya meliputi Kampung Desa,
Kampung Pabrik, Kampung Ciilat, Kampung Cariu, dan Kampung Kedung,
yang selanjutnya hasil keputusan rapat tersebut diajukan kepada Bupati
Kabupaten Ciamis yang pada waktu itu Bupatinya adalah Kolonel Hudli
Bambang Aruman (9 November 1973-20 November 1978).
Selama menunggu proses pemekaran yang berjalan hingga hampir 3
tahun, pada tanggal 7 Maret dilantik sebagai pejabat sementara kepala desa
Sukadana yaitu Maman Suparman Andasasmita, yang sebelumnya menjadi
Juru Tulis 1 di Desa Salakaria. Akhirnya pemekaran Desa Salakaria menjadi
dua desa dan terbentuknya Desa Sukadana resmi menjadi salah satu desa di
Kabupaten Ciamis tang berada di wilayah Kecamatan Rajadesa, yang
dinyatakan dalam SK Bupati Kabupaten Ciamis tertanggal 25 Maret 1979 N0.
34/II/Huk/Sk/1976, perihal pemekaran desa dalam wilayah Kabupaten Ciamis,
pada saat itu yaitu tahun 1979 yang menjadi Bupati Ciamis adalah Drs. H.
Soeyoed (20 November 1978-7 November 1983).
Setelah turunnya SK dari Bupati Kabupaten Ciamis selanjutnya pada
tanggal 5 April 1979. secara simbolis Desa Sukadana diresmikan sebagai desa
baru oleh Wedana Penghubung Bupati Wilayah III Kawali, Usronatawijaya,
dengan diberi nomor desa No 208, sekaligus juga melantik para pamong desa
dibawah Kepala Desa yang acaranya diselenggarakan di Balai Desa Sukadana.
Dengan demikian Sukadana resmi menjadi sbuah desa dengan batas
wilayah yaitu, sebelah barat adalah sungai Cikerta dan Sungai Cisadap,
sebelah timur, jalan raya jalur Cisaga-Kawali, sebelah utara desa Margajaya,
dan sebelah selatan desa Salakaria dan Desa Bunter (waktu itu masih
kecamatan Cisaga)
Sejak peresmian desa dan pemerintahan desa terbentuk meskipun masih
pejabat sementara, pada tanggal 2 Mei 1979 diadakan “Rembug Desa” yaitu
musyawarah desa untuk menyusun anggaran belanja desa.
Pada tanggal 13 Maret 1980 diadakan suatu pesta demokrasi bagi
masyarakat desa Sukadana setelah pemekaran yaitu Pemilihan Kepala Desa
Sukadana. Pemilihan kepala Desa Sukadana tersebut dikuti oleh 2 orang calon
yaitu Maman Suparman Andasasmita yang saat itu menjadi pejabat sementara
Kepala Desa Sukadana dan Tar’i. K mantan Polisi Desa Salakaria pada masa
Kepala Desa Eyo Soeria. Sebelumnya terdapat 3 orang calon kepala desa
tetapi salah satu calon lainnya yaitu Sujud Djajapermana tidak lolos tes di
Kabupaten. Dan hasil pemilihan Kepala Desa tersebut dimenangkan oleh
Maman Suparman Andasasmita.
Pemerintahan Setelah Desa Sukadana Berdiri

MASA PEMERINTAHAN KEPALA DESA M.S. ANDASASMITA (1979-1989).


Setelah resmi menjadi sebuah desa baru langkah awal yang harus
dilengkapi adalah struktur pemerintahan, sejak berdirinya desa Sukadana M.S
Andasasmita yang sebelumnya menjadi Juru Tulis 1 di Desa Salakaria diangkat
menjadi Pejabat Sementara Kepala Desa Sukadana hingga tahun 1989,
meskipun pada tanggal 13 Maret 1980 telah diadakan Pemilihan Kepala Desa
yang dimenangkan oleh M.S Andasasmita sendiri.
M.S Andasasmita baru dilantik sebagai Kepala Desa pada tahun 1981.
Selain kepala desa dilantik pula beberapa staf desa yang lainnya diantaranya
adalah: Umar sebagai Juru Tulis, Surdi sebagai Pamong Tani Desa (PTD),
Waryo sebagai Polisi Desa, Dasuki sebagai Amil, serta para kepala kampung
yang juga sebelumnya telah menjadi kepala kampung sejak masih bergabung
dengan Desa Salakaria mereka diantaranya, Parjo sebagai Kepala Kampung
Desa, Ijo sebagai Kepala Kampung Pabrik, Karjo sebagai kepala kamping
Ciilat, Parma sebagai Kepala Kampung Cariu, dan Sukarna sebagai kepala
kampung Kedung. Untuk lebih mendukung jalannya administrasi Kepala Desa
juga mempekerjakan Wawan sebagai Pembantu Administrasi. Selanjutnya
pada tahun 1980 staf desa bertambah dengan diangkatnya Kamil Hakimin
sebagai Juru Tulis 2.
Selama pemerintah Desa Sukadana dipimpin oleh M.S Andasasmita
sebagai Kepala Desa Sukadana terdapat beberapa peristiwa penting yang
terjadi. Pada bulan Juni 1980 meskipun baru satu tahun menjadi sebuah desa,
Desa Sukadana menjadi perwakilan Kabupaten Ciamis untuk Penilaian Lomba
Desa Swadaya tingkat Propinsi Jawa Barat, setelah sebelumnya menjadi juara
1 lomba Desa Swadaya tingkat Kabupaten, dan hasilnya Desa Sukadana
menjadi juara 3 Lomba Desa Swadaya tingkat Propinsi.
Pada tahun 1982, karena terdapat beberapa kampung yang wilayahnya
terlalu luas, salah satu kampung yaitu Kampung Pabrik dimekarkan menjadi
dua kampung, yaitu menjadi Kampung Pabrik dan Kampung Sukamaju. Yang
kemudian menjadi kepala kampung pabrik yaitu Suhyo mengingat kepala
Kampung Pabrik sebelumnya yaitu Ijo meninggal dunia beberapa waktu
sebelum pemekaran, sedangkan Kepala Kampung Sukamaju adalah Abas
yang kemudian menjadi Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan di Desa
Sukadana selanjutnya setelah menjadi kepala Kampung selama 2 tahun, pada
tahun 1984 Abas digantikan oleh Marka..
Satu tahun berikutnya pada tahun 1983, kembali diadakan pemekaran
kampung, yaitu pemekaran Kampung Desa menjadi Kampung Desa dan
Kampung Sukamulya, Kepala Kampung Desa masih tetap dipegang oleh Parjo
sedangkan yang menjadi Kepala Kampung Sukamulya adalah Sardi.
Demi meningkatkan pelayanan pada masyarakat agar lebih optimal,
Pemerintah Desa Sukadana pada tahun 1986 kembali memekarkan salah satu
kampung yang dianggap memliki wilayah yang terlalu luas, yaitu Kampung
Ciilat. Kampung Ciilat dibagi menjadi dua Kampung yaitu Kampung Ciilat dan
Kampung Sukamanah. Kampung Ciilat tetap dipimpin oleh Karjo sebagai
Kepala Kampungnya dan yang menjadi Kepala Kampung Sukamanah adalah
Iwa. Dengan demikian sejak tahun 1986 hingga sekarang, kampung yang ada
di Desa Sukadana berjumlah 8 kampung.
Selain adanya pemekaran kampung, terjadi pula beberapa pergantian
Kepala Kampung diantaranya Kepala Kampung Cariu yaitu Parma digantikan
oleh Nahdi pada tahun 1987, dan Kepala Kampung Kedung yaitu Sukarna
digantikan oleh Nasapraja kemudian diganti kembali oleh Ahdi pada tahun
1989.
Beberapa pergantian juga dilakukan terhadap staf desa lainnya,
diantaranya Surdi sebagai PTD digantikan oleh A. Jana, yang kemudian istilah
PTD berubah menjadi Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan (Kaur
Ekbang). Untuk posisi sebagai Amil juga terjadi pergantian, pada tahun 1987
Dasuki meninggal kemudian digantikan oleh A.Jana, dan posisi Kaur Ekbang
yang ditinggalkan oleh A. Jana digantikan oleh Abas yang sebelumnya menjadi
Kepala Kampung Sukamaju. Istilah Amil dalam pemerintah desa juga berubah
menjadi Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra).
Suatu peristiwa yang menjadi kebanggaan besar bagi masyarakat Desa
Sukadana adalah adanya kunjungan Menteri Lingkungan Hidup Republik
Indonesia Emil Salim pada tahun 1984, tokoh nasional tersebut mengunjungi
Desa Sukadana untuk mengadakan penelitian, untuk menjadikan Desa
Sukadana sebagai Percontohan Pilot Projek mengenai Lingkungan Hidup, pada
saat itu di lahan di Desa Sukadana banyak ditanami oleh rumput santaria. Pada
lain kesempatan penelitian mengenai lingkungan hidup juga dilakukan oleh
Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1986, selain masalah penelitian
lingkungan hidup, Desa Sukadana juga sempat dikunjungi oleh Ading Gunadi,
yaitu sebagai Assisten Menteri Pertanian dalam rangka penelitian dalam bidang
pertanian.
Selain dari pihak dalam negeri, Desa Sukadana sempat dikunjungi oleh
beberapa utusan dari World Health Organzation (WHO) salah satu lembaga
PBB yang bergerak dalam bidang kesehatan, dan juga International Labour
Organization (ILO) juga merupakan lembaga PBB dalam bidang perburuhan
dunia untuk meneliti kondisi perburuhan di Desa Sukadana. Perwakilan dari ILO
tersebut diantaranya, James Steam, Athold Killgord, dan lain-lain.
Selain peristiwa-peristiwa penting tersebut ada satu peristiwa menarik
yang selalu diingat oleh sebagian masyarakat yang melihat peristiwa tersebut,
peristiwa itu adalah adanya Terjun Payung yang di adakan oleh Federasi
Airsport Seluruh Indonesia (FASI) pada tahun 1982. landasan penerjunan
dilakukan di lapangan SD Salakaria 4 (Sekarang SD 1 Sukadana). Dalam acara
Terjun Payung, diikuti juga dengan pendaratan Helikopter di lapangan tersebut,
yang kemudian masyarakat diperbolehkan menumpang helikopter tersebut dan
berkeliling di udara di sekitar Desa Sukadana dengan membayar uang sebesar
Rp 5.000,-. Selain itu masyarakat juga dipungut biaya tiket untuk menonton
peristiwa tersebut, dan hasil dari pendapatan tiket tersebut digunakan untuk
pembangunan mesjid desa (sekarang Mesjid Al-Kautsar).

MASA PEMERINTAHAN KEPALA DESA YOYO WAHYO (1989-1999)


Yoyo wahyo menjdi kepala Desa Sukadana setelah berhasil unggul dalam
pemilihan Kepala Desa pada tahun 1989, pada saat pemilihan tersebut terdapat
2 orang calon kepala desa, yaitu M.S Andasasmita dan Yoyo Wahyo,
sebetulnya awalnya ada 3 orang calon, namun salah satu calon yang lain yaitu
Tar’i. K, tidak lolos tes di Kabupaten.
Pada masa kepemimpinan Yoyo Wahyo sebagai Kepala Desa,
pembangunan lebih mengarah hanya pada program-program pemerintah
daerah atau kabupaten, pembangunan yang dilaksanakan diantaranya
beberapa perbaikan sarana masyarakat seperti Bendungan Cisadap 2,
Pembuatan Bendungan Cisadap 4 (Dusun Kedungwatu), Rehabiltasi Mesjid
dan Rehabilitasi Balai Desa Sukadana.
Selama masa kepemimpinan Yoyo Wahyo yang juga seorang Kapten
Polisi, terjadi beberapa pergantian Kepala Dusun atau kepala kampung pada
waktu itu istilah kampung dalam pemerintahan diganti dengan Dusun.
Pergantian Kepala Dusun tersebut diantaranya adalah pergantian Kepala
Dusun Desa yaitu Parjo digantikan oleh Tiswa pada tahun 1991, Kepala Dusun
Ciilat yaitu Karjo digantikan oleh M. Abdul Syukur pada tahun 1994, kemudian
Kepala Dusun Pabrik yaitu Suhyo yang meninggal dunia digantikan oleh Etom
pada tahun 1996. pada saat itu pemilihan kepala dusun di dusun pabrik diikuti
oleh 2 orang calon yaitu Etom dan Tarwan (atau lebih dikenal dengan penggilan
Oben), proses pemilihan dilakukan dengan sistem formatur, dimana tim
formatur akhirnya, memilih Etom menjadi kepala dusun Pabrik.
Di Sukamaju terjadi beberapa pergantian bahkan di Dusun Sukamaju
tercatat sebagai dusun yang paling sering terjadi pergantian kepala dusun,
Kepala Dusun Sukamaju yaitu Marka, digantikan oleh Sarja yang kemudian
diganti lagi oleh Rukanda. Di Sukamulya juga terjadi pergantian, Kepala Dusun
Sukamulya yaitu Sardi digantikan oleh Anen yang kemudian diganti lagi oleh
Sali.
Yoyo Wahyo memimpin Desa Sukadana selama 8 tahun, akan tetapi
setelah habis masa jabatannya pada tahun 1997, kembali menjadi pejabat
sementara selama 2 tahun hingga diadakan pemilihan Kepala Desa Sukadana
yang baru pada tahun 1999.

MASA PEMERINTAHAN KEPALA DESA ELON SAHLAN SAPUTRA


(1999-2007)
Pada Tahun 1999, pesta demokrasi yang telah turun temurun di Desa
Sukadana kembali tejadi, pemilhan Kepala Desa Sukadana kembali
diselenggarakan dengan diikuti oleh 4 orang calon Kepala Desa, keempat calon
tersebut adalah H. Umar yang pada saat itu sebagai Sekretaris Desa, Karyo
Ahdi yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Dusun Kedungwatu, Elon
Sahlan Saputra, dan Kardiman. Dari hasil pemilihan tersebut Elon Sahlan
Saputra terpilih menjadi Kepala Desa Sukadana.
Pemilihan Kepala Desa tersebut seharusnya dilakukan pada tahun 1998
namun karena kondisi Negara tidak stabil, karena terjadi krisis moneter dan
aksi menuntut reformasi, maka pemilihan kepala desa ditunda hingga tahun
1999.
Selain ketidak stabilan perekonomian, pada masa ini pula di Indonesia
terjadi beberapa kali pergantian presiden serta kabinet, mulai dari B.J Habibie,
Abdurahman Wahid (1999) Megawati (2001) dan Susilo Bambang Yudhoyono
(2004).
Pada masa itu Kepala Desa E. Sahlan Saputra seringkali menghadiri
pertemuan-pertemuan kepala desa di beberapa daerah diantaranya di
Kabupaten Garut untuk memperjuangkan adanya Dana Perimbangan bagi
Desa.
Beberapa pembangunan yang dilakukan diantaranya adalah rehab mesjid
desa, perbaikan-perbaikan jalan desa, rehab balai desa dll.
Struktur Pemerintahan lainnya pada stap desa masa kepemimpinan Elon
Sahlan yaitu
Sekretaris Desa : Kamil
Kaur Pemerintahan : M. Fardiansyah
Kaur Kesra : A. Jana (kemudian digantikan oleh Yaya Heryana)
Kaur Umum : Waryo
Kaur Keuangan : Yaya Heryana (kemudian digantikan oleh Atin
Rustini)
Kaur Ekbang : Abas
Kepala Dusun :
Dusun Desa : Tiswa kemudian digantikan oleh Mimin
Dusun Pabrik : Etom
Dusun Ciillat : Sutarman
Dusun Cariu : Nahdi
Dusun Kedung : Ahdi
Dusun Sukamaju : Kalsum kemudian digantikan oleh Umar
Dusun Sukamulya : Sali
Dusun Sukamanah : Warto
Pada masa ini, berdasarkan undang-undang dibentuk Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yang menjadi Ketua BPD yang pertama kali
adalah Sujuh H Djajapermana, namun kemudian mengundurkan diri dan diganti
oleh Nandi Sukmayadi. Adapun anggotanya berjumlah 2 orang dari tiap dusun.

MASA PEMERINTAHAN KEPALA DESA SUJUD HERJANA


DJAJAPERMANA
Pada tanggal 9 Agustus 2007, di Desa Sukadana kembali diadakan
pemiliha Kepala Desa, berikut ini adalah calon Kepala Desa yang mencalonkan
pada pemilhan Kepala Desa tersebut.

Nomor Urut Calon Kepala Desa Jumlah Perolehan Suara


1 Kusnara 450
2 Sujud Herjana 762
3 Aas Wida 138
4 Etom 718
5 Abdul Syukur 282

Akhirnya pada pemilihan kepala desa tanggal 9 Agustus 2007, Sujud


Herjana Djajapermana yang merupakan putra dari mantan Kepala Desa
Salakaria M. Djaiapermana terpilih untuk menjadi Kepala Desa Sukadana
periode 2007-2013.
Hingga saat ini, beberapa pembangunan yang dilakukan pemerintah
Desa Sukadana diantaranya, perehaban Saluran Air, perbaikan jalan raya,
Perehaban Jembatan Cisadap, Pembangunan Kantor Desa, Pembangunan
Talang Air, dll.
Adapun yang menjabat sebagai staf desa diantaranya adalah:
Sekretaris Desa : Kamil
Kaur Pemerintahan : M. Fardiansyah
Kaur Kesra : Maman Sutriaman
Kaur Umum : Deni Nurjaman
Kaur Keuangan : Atin Rustini
Kaur Ekbang : Tatang Koswara
Kepala Dusun :
Dusun Desa : Mimin S
Dusun Pabrik : Maman Badruzaman
Dusun Ciillat : Sutarman
Dusun Cariu : Eli
Dusun Kedung : Sunarlis
Dusun Sukamaju : Umar
Dusun Sukamulya : Sali
Dusun Sukamanah : I. Carli
Pada masa ini yang menjabat sebagai ketua BPD adalah Nandi
Sukmayadi, dengan jumlah anggota 7 orang.
Perkembangan Sosial Masyarakat

DESA SUKADANA SEBAGAI IBUKOTA KECAMATAN SUKADANA


Sebelum tahun 1992, Desa Sukadana atau Desa Salakaria termasuk
salah satu desa di wilayah Kecamatan Rajadesa, karena lokasinya jauh dari
Kecamatan Rajadesa, maka pada tahun 1983 di Sukadana terdapat kantor
perwakilan Kecamatan (biasa disebut Kamantren). Kantor Perwakilan
Kecamatan tersebut dipimpin oleh Kepala Perwakilan Kecamatan (Kapermat),
adapun yang menjadi Kapermat di Kamantren Sukadana yang pertama adalah
Oyon, kemudian digantikan oleh Iing Syam Arifin (sekarang Wakil Bupati
Ciamis), selanjutnya digantikan oleh Suparno, dan kemudian digantikan oleh T.
Tjakradipura,
Pada sekitar tahun 1989 mulai ada rencana pemekaran kecamatan,
proses ini berjalan cukup alot, terutama mengenai penetapan nama kecamatan
dan lokasi kantor kecamatan. Namun dari perdebatan yang terjadi pada
akhirnya ditentukan nama kecamatannya adalah Kecamatan Sukadana dengan
lokasi Kantor Kecamatan terletak di Lapang Cisena di Desa Sukadana. Dengan
demikian sejak itu Desa Sukadana merupakan Ibukota Kecamatan Sukadana.
Pada tanggal 7 Februari 1992, Gubernur Jawa Barat H.R Yogie S.M , di
Tangerang meresmikan berdirinya Kecamatan Sukadana sebagai salah satu
Kecamatan di Kabupaten Ciamis. Kemudian yang menjadi Camat pertama
adalah Dede Hadori Jauhari, BA yang mulai diangkat pada tanggal 20 Februari
1992.
Seiring waktu di Kecamatan terjadi beberapa kali pergantian Camat.
Berikut ini nama-nama Camat yang pernah memimpin Kecamatan Sukadana:
1. Dede Hadori Jauhari BA (Tanggal 20 Februari 1992 s/d 12 November
1997)
2. Drs. Herdiat (13 November 1997 s/d September 1999)
3. Odang R. Wijaya S.H (September 1999 s/d 2 Maret 2001)
4. Drs. Nanan Sunandar ( 3 Maret 2001 s/d 26 Februari 2002)
5. Drs Agus Marcusi (27 Februari 2002 s/d 26 November 2002)
6. Sudiana S.H (27 November 2002 s/d 10 Oktober 2004)
7. Rida Nirwana K S.Sos (11 Oktober 2004 s/d 7 Januari 2007)
8. Drs Dadang Hidayat (8 Januari 2007 s/d 5 Februari 2009)
9. Drs Yoyo Suryana (6 Februari 2009 s/d sekarang)

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN KEPEMUDAAN


➢ Perkembangan SR dan SD
Pada sekitar tahun1950-an di Desa Salakaria terdapat 3 buah Sekolah
Rakyat.(SR). Dilihat dari wilayahnya ketiga Sekolah Rakyat tersebut pada saat
itu berada di wilayah yang sekarang menjadi Desa Sukadana. Adanya Sekolah
Rakyat pertama kali berdiri pada tahun 1946 yaitu SR 1 yang berlokasi di
Dusun Desa (Sekarang sekitar SD 1 Sukadana), Kepala Sekolah yang pertama
kali memimpin SR 1 adalah Wiyadhi. Kemudian pada tahun 1950-an berdiri
Sekolah Rakyat 2 Salakaria, lokasinya berada di daerah Dusun Sukamulya
(Sekitar perempatan Sukamulya) namun SR 2 mengalami kerusakan akibat
dibakar oleh gorombolan DI/TII pada tahun 1951, setelah terjadinya peristiwa
tersebut SR 2 Salakaria kembali dibangun pada tahun 1951. Kepala Sekolah
yang pertama di SR 2 adalah Karta.
Pada tahun 1954 kembali dibangun Sekolah Rakyat yaitu, SR 3
Salakaria (dekat sungai Cikerta), yang terletak masih berdekatan dengan SR 2
Salakaria, kepala sekolahnya yang pertama adalah Dion. Pada awal tahun
1960-an sempat akan dibangun kembali SR 4 Salakaria, awalnya akan di
bangun di Dusun Desa (Sekarang lokasi SMP) namun kemudian lahan untuk
pembangunan SR diserahkan untuk digunakan untuk areal pembangunan SMP
sehingga kemudian pembangunan SR 4 Salakaria dibangun di sekitar SR 1
Salakaria.
Selanjutnya istilah SR berubah menjadi Sekolah Dasar (SD), dan di
Salakaria terdapat 5 SD setelah di Pasirnagara terbentuk SD 5 Salakaria, SD
Salakaria 1 yang berlokasi di Kampung Desa kemudian berpindah ke daerah
Kampung Kedungwatu, dan SD Salakaria 4 berada di lokasi bekas SD
Salakaria 1. Sementara itu SD Salakaria 2 dipindahkan ke Kampung Cariu
(Sekarang termasuk wilayah Dusun Sukarasa Desa Salakaria) dan SD
Salakaria 3 dipindahkan ke Kampung Girang (Sekarang Mekarjaya Desa
Salakaria).
Setelah terjadinya pemekaran Desa menjadi Slakaria dan Sukadana, di
Sukadana hanya terdapat 2 buah SD yaitu SD Salakaria 1 dan SD Salakaria 4.
Tapi kemudian berdiri lagi sebuah SD Negeri yang bernama SD Sukadana,
yang sebagian masyarakat menyebutnya SD Inpres, yang tempatnya
berdampingan dengan SDN Salakaria 4. Sehingga kemudian di Sukadana
terdapat 3 Buah SD.
Namun pada tahun 2002, atas kebijakan pemerintah SDN Salakaria 4
dan SDN Sukadana dimergerkan menjadi satu SD yang kemudian bernama
SDN Sukadana 1, sedangkan SDN Salakaria 1 menjadi SDN Sukadana 2.
➢ Pendirian SMP (1959)
Pada akhir tahun 1950 an, semangat pendidikan di Salakaria cukup
bergelora, hal ini ditunjukkan oleh beberapa tokoh pendidikan Desa Salakaria
yang menginginkan adanya SMP di Salakaria. Hal ini karena saat itu banyak
pelajar dari Desa Salakaria yang melanjutkan pendidikan ke SMP di Ciamis
bahkan di luar kabupaten Ciamis. Karena hal tersebut beberapa tokoh mulai
memperjuangkan berdirinya SMP di Desa Salakaria, mereka diantaranya,
Suminta Pura, Endang Kartamihardja, Etje K Wiriasasmita, Iwa Sutisna, Uwan
Sutarwan dll, mereka tentunya didukung pula oleh Kepala Desa M.
Djaiapermana.
Hasil perjuangan mereka terwujud setelah pada tanggal 1 Desember
1959 keluar SK No: 159/IX/59, yang ditandatangani ketua PGRI yaitu M.E.
Subiadinata, tentang berdirinya Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama
PGRI Cabang Buniseuri. di Desa Salakaria. Selanjutnya sempat menjadi kelas
jauh SMP Negeri 1 Ciamis pada tanggal 8 November 1963. hal ini kemudian
diperkuat SK Dinas Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No 2992/A23/63,
tertanggal 1 Desember 1963 yang ditandatangani oleh Yoyo Wiramihardja,
yang menyatakan bahwa SMP Negeri Salakaria merupakan Fill dari SMP
Rajadesa yang pengaturannya diserahkan pada SMP Negeri 1 Ciamis. Pada
masa itu yang menjabat sebagai Kepala Sekolah adalah Kepala SMP Negeri 1
Ciamis yaitu Dodo Natapura.
Selanjutnya pada tanggal 3 September 1965, SMP yang berada di
Salakaria, dipisahkan dari SMP Negeri Ciamis, dan dilakukan serah terima
Kepala Sekolah dari Dodo Natapura kepada Suminta Pura. Hal ini diperkuat
juga dengan keluarnya SK Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI No:
101/SK/B/III/65-66, tertanggal 6 September 1965, tentang penetapan SMP
Negeri di Indonesia.
Sebuah kebanggaan besar bagi masyarakat Salakaria, karena selain
telah berdiri SMP, juga karena SMP Negeri Salakaria adalah SMP Negeri
pertama di Indonesia yang berkedudukan di Desa. Karena pada saat itu SMP
Negeri biasanya hanya ada di wilayah yang lingkupnya Kecamatan, sedangkan
SMP Negeri Salakaria lingkupnya adalah Desa Salakaria. Dengan hal tersebut
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, kemudian memberikan
penghargaan kepada Kepala Desa Sukadana.
SMP Negeri Salakaria pada perjalanannya sempat beberapa kali berganti
nama, diantaranya setelah adanya pemekaran Desa dan Berdiri Kecamatan
Sukadana, namanya berubah menjadi SLTP Negeri 1 Sukadana, hingga
kemudian menjadi SMP Negeri 1 Sukadana, hingga sekarang.
➢ Awal Gapermas (Gabungan Pelajar Remaja dan Mahasiswa Salakaria)
1962
Pada awal tahun 1960-an, kegiatan-kegiatan olahraga menjadi kegiatan
yang menjadi primadona di Desa Salakaria, namun kegiatan olahraga yang
banyak melibatkan para orang tua tersebut, seolah kurang memberikan
kesempatan pada kaum muda dan remaja saat itu. Kaum muda terkesan
termarginalkan dari aktivitas para orang tua dalam kegiatan olahraga. Hal itu
menjadi perhatian dua orang pemuda bersaudara putra mantan Kepala Desa,
M Wiriasasmita (Kuwu Hormat) yaitu Suwarto Haryadi Wiriasasmita dan
Rochmat Wiriasasmita untuk mengembangkan gelora semangat olahraga kaum
remaja yang termarginalkan. Kemudian bersama-sama dengan rekan-rekannya
yang lain mereka mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan Persatuan
Olahraga Pelajar Mahasiswa Salakaria yang disingkat menjadi POPMAS, dan
Suwarto Heryadi Wiriasasmita diangkat menjadi ketuanya. Sesuai dengan
nama dan latar belakangnya organisasi pemuda ini menitikberatkan
kegiatannya pada bidang olahraga.
Sistem pengkaderan yang dilakukan organisasi ini mereka namakan
“sistem sel”. Hal ini dimaksudkan pergerakannya seperti perkembangan sel
yang membeleh diri sehingga setiap anggota dituntut untuk mengajak dua
orang baik kawan ataupun saudaranya untuk bergabung. Karena sebagian
besar anggota POPMAS melakukan pendidikan di luar Salakaria bahkan luar
Kabupaten Ciamis, sehingga waktu yang mereka gunakan untuk kegiatan
baisanya pada saat libur sekolah, yaitu saat mereka pulang kampung ke
Salakaria. Termasuk Suwarto Heryadi Wiriasasmita yang berada di Bandung
dan Rochmat Wiriasasmita di Garut. Namun dari tiap kota tempat
melaksanakan pendidikan terdapat komisariat kota sebagai koordinator
anggota di setiap kota tempat mereka menuntut ilmu, biasanya masing-masing
anggota merancang konsep kegiatan yang kemudian disampaikan untuk
dilaksanakan pada saat libur.
Pada tanggal 18 Juni 1965, karena mengalami sakit, Suwarto Heryadi
Wiriasasmita meninggal dunia di Bandung dalam usia muda yaitu 26 tahun, dan
kemudian atas kesepakatan para anggota POPMAS, Rochmat Wiriasasmita
yang pulang dari Garut, ditunjuk untuk menggantikan kakaknya sebagai Ketua
POPMAS. Pada perkembangan selanjutnya, setelah melihat apresiasi anggota,
kemudian pada tahun 1967 nama POPMAS berubah menjadi GAPERMAS
yang merupakan kependekan dari Gabungan Pelajar Remaja dana Mahasiswa
Salakaria. Hal ini bertujuan agar kegiatan organisasi tidak hanya bergerak
seputar olahraga saja tetapi juga kegiatan seni dan kegiatan lainnya. Pada
masa keemasannya organisasi ini ternyata tidak hanya diikuti oleh para pelajar
dari Desa Salakaria saja, namun ada juga pelajar yang berasal dari desa
tetangga yaitu dari Desa Margaharja.
Melihat geliat perkembangan organisasi Gapermas di Desa Salakaria,
ternyata membuat beberapa pemuda dari daerah lain tertarik sehingga mereka
termotivasi untuk mendirikan organisasi serupa di Desanya, diantaranya adalah
di Desa Sidamulya pada tahun 1967 didirikan IPAMKAS, dan kemudian di Desa
Bunter didirikan PAPERBU, bahkan anggota Gapermas yang berasal dari Desa
Margaharja kemudian mendirikan organisasi pemuda di Desanya di Margaharja
yang bernama HIPERMA.
Perkembangan Gapermas berjalan hingga sekitar tahun 1979-an. Pada
akhir perjalanannya GAPERMAS mengalami kevakuman akibat situasi dan
kondisi yang menyebabkan banyak kesibukan dari para anggotanya, bahkan
sebagian anggota mulai aktif di Partai Politik. Kondisi tersebut menjadi semakin
vakum setelah adanya pemekaran desa, dimana Desa Salakaria dimekarkan
menjadi Desa Salakaria dan Sukadana.
Satu hal yang membuat bangga para anggotanya adalah bahwa
kemudian efektifitas keberhasilan organisasi diikuti oleh keberhasilan para
anggotanya, dimana tidak ada mantan anggota Gapermas yang menganggur,
bahkan saat ini tercatat banyak anggotanya yang menjadi tokoh masyarakat,
salah satu anggota Gapermas tersebut diantaranya Sujud H Djajapermana
yang kini menjadi Kepala Desa Sukadana.

PERKEMBANGAN SENI DAN BUDAYA


Dalam bidang Kesenian, di Sukadana pada sekitar tahun 1960 hingga
tahun 180 an, terdapat banyak grup seni tradisional, diantaranya terdapat Grup
Kesenian Ronggeng pimpinan Sanhuri, kesenian Sandiwara pimpinan Sanhuri,
Reog Ma Eteh pimpinan Suharno, Wayang Golek pimpinan Elon Sahlan
Saputra, Persatuan Gotong Singa (Pergosi) Singa Lugay pimpinan U. Junaedi
Wiriasasmita, Sandiwara Sinar Balebat Pimpinan Suryo T, dll.
Rombongan-rombongan kesenian tersebut pada masa keemasannya
tidak hanya sering tampil di wilayah Kabupaten Ciamis, namun sering pula
tampil di luar Kabupaten Ciamis.
Perkembangan seni budaya tradisional tersebut mulai menurun pada
tahun 1990 an, hal ini terjadi karena mungkin kurang adanya regenerasi dari
personil kesenian, dan mungkin juga karena selera seni masyarakat mulai
beralih pada kesenian modern, hingga kesenian tradisional mulai kurang
digemari. Namun meski demikian masih terdapat beberapa kesenian yang
masih eksis hingga sekarang walaupun sedikit-demi sedikit mulai meredup.
Unik Unik
Hubungan antara dua desa yaitu
Kemungkinan nama-nama tokoh
Sukadana dan Salakaria, dalam
pemimpin desa dahulu di wilayah
sejarahnya diwarnai dengan dinamika
Desa Sukadana sekarang akan
hubungan yang putus-nyambung, putus-
diganti dengan nama baru ketika
nyambung.
beliau menjabat sebagai Kepala
Pada awalnya keduanya ini berada dalam
Desa di wilayah ini, contohnya:
satu desa bernama Desa Tjigaroegoej,
Arga menjadi Hardjasasmita
kemudian berpisah menjadi Desa
Parma menjadi Mas Wiriasasmita
Salakaria Wetan dan Salakaria Kulon,
Gali menjadi Mintaredja
selanjutnya bersatu lagi menjadi Desa
Wardi menjadi Mas Djajapermana
Salakaria dan sekarang berpisah kembali
menjadi dua desa yaitu Desa Salakaria
dan Desa Sukadana.

Unik

Di Desa Sukadana terdapat 40 RT namun


kenyataannya ada RT 41 dan RT 42,
mengapa demikian?
Karena di sukadana tidak ada RT 06 dan
RT 07. hal ini karena di dusun Desa yang
tadinya terdapat 7 RT dari RT 01 s/d RT 07
diubah menjadi 5 RT, sehingga susunannya
dari Dusun Desa, RT 01 s/d RT 05 dan di
Dusun Pabrik langsung RT 08 s/d RT 13. ini
terjadi karena tidak mungkin merubah semua
RT (misalnya RT 08 menjadi 06, RT 09
menjadi RT 07 dll) karena mungkin
masyarakat pun banyak yang harus
mengganti KTP karena alamat RT nya
berubah.
DAFTAR PUSTAKA

• Wildan, Dadan.2010.Sejarah Ciamis.Humaniora:Bandung

• Sukarja, Jaja.2007.Naratas Sejarah Galuh-Ciamis.SGBS:Ciamis

• Pemdes Sukadana.2007.RPJMDes Desa Sukadana 2007-2013.Sukadana

• Atja.1987.Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara.Depdikbud RI:Bandung

Anda mungkin juga menyukai