Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH FILSAFAT PENJAS DAN

OLAHRAGA
HALAMAN JUDUL

Oleh :

Indo Pramudya Ambara


20601244031
PJKR-D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Istilah “filsafat” ini sebenarnya berasal dari Bahasa Yunani, yakni


“philosophia”, yang mana merupakan gabungan dari kata “philo” dan “sophia”.
Philo berarti ‘cinta dalam arti yang luas’, sementara sophia berarti ‘kebijakan atau
pandai’. Jadi, dapat disebut bahwa filsafat ini adalah keinginan untuk mencapai
cita pada kebijakan
Filsafat pertama sekali juga diperkenalkan oleh orang Yunani, dengan
alam sebagai pokok bahasan. Tokohnya Thales (625-545 SM), berkata alam
berasal dari air, Anaximandros (610-547 SM), yang menyebutkan alam ini terjadi
dari apeiron (sesuatu yang tidak ada bentuk dan rupa serta tidak bisa dirupakan)
dan Anaximenes (585-582 SM), berkesimpulan alam ini berasal dari angin. Ketiga
mereka disebut dengan filsafat alam atau filsafat pra Sokrates. Pada masa ini
definisi filsafat belum ditemukan tetapi kerja lebih banyak ketimbang berpikir.
Kemudian filsafat terus berkembang ke filsafat Herakleitos (540-480 SM), yang
berpandangan bahwa semua materi itu terjadi dari api.
Kata “Filsafat” untuk sekarang mungkin kedengarannya sudah tidak asing
lagi. Hal ini karena sering digunakan dalam berbagai konteks, misalnya Filsafat
Umum, Filsafat Pendidikan, Filsafat Islam, Filsafat Yunani, Fakultas Filsafat dan
sebagainya. Namun demikian, bagi mereka yang mendengar kata tersebut akan
mempunyai asosiasi yang bermacam-macam.
Filsafat tidaklah hanya mengandung pengertian-pengertian yang abstrak
tetapi juga kongkrit, tidak hanya teoritik tetapi juga praktik. Tidak hanya dalam
angan-angan tetapi juga berhubungan dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Misalnya, masalah baik buruk dibicarakan oleh cabang filsafat yang dinamakan
etika, masalah indah tidak indah dibicarakan oleh estetika, masalah manusia
dibicarakan oleh filsafat manusia, masalah kemasyarakatan dibicarakan oleh
filsafat sosial dan lain-lain.
PEMBAHASAN

1. Kajian teori tentang:


a. Hakikat Pendidikan
Hakikat pendidikan itu sendiri lebih berorientasi kepada
terbentuknya karakter (kepribadian/jatidiri) seseorang. Setiap tahapan
pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan saksama sehingga menjadi
jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan
dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar
dari karakter ada dalam cara berpikir dan cara merasa seseorang.
Sebagaimana diketahui, manusia terdiri dari tiga unsur pembangun, yaitu
hatinya (bagaimana ia merasa), pikirannya (bagaimana ia berpikir), dan
fisiknya (bagaimana ia bersikap dan bertindak). Oleh karena itu, langkah-
langkah untuk membentuk atau merubah karakter melalui pendidikan juga
harus dilakukan dengan menyentuh dan melibatkan unsur-unsur
pembangun tersebut.
Pendidikan pada hakikatnya mencakup kegiatan mendidik,
mengajar dan melatih. Oleh karena itu pendidikan erat kaitannya dengan
pengajaran dan pelatihan, dengan uraian sebagai berikut: (a) Pendidikan =
kegiatan mengolah hati anak didik. (b) Pengajaran = kegiatan mengolah
otak anak didik. (c) Pelatihan = kegiatan mengolah lidah dan tangan anak
didik. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai usaha
mentransformasikan nilai-nilai, yaitu mencakup nilai-nilai religi, budaya,
pengetahuan, teknologi dan keterampilan.
Ki Hadjar Dewantara, menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelek dan tubuh anak). Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) No.20 Tahun 2003 Bab I, pasal 1,
mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, msyarakat, bangsa dan negara.
MJ. Langeveld, menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan/
pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang
tumbuhuntuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup
cakap melaksanakan tugas hidupnya sehingga tidak perlu bimbingan lagi
b. Hakikat Penjas
Terdapat beberapa pengertian pendidikan jasmani, antara lain
menurut Dini Rosdiani (2015: 1) menyatakan pendidikan jasmani
adalah proses pendidikan melalui penyediaan pengalaman belajar
kepada siswa berupa aktivitas jasmani, bermain dan berolahraga
yang direncanakan secara sistematik guna merangsang pertumbuhan
dan perkembangan fisik, keterampilan motorik, keterampilan berfikir,
emosional, sosial, dan moral. Lebih lanjut, Agung Widodo & M. Thariq
Azis (2018: 49) berpendapat bahwa pendidikan jasmani pada
hakekatnya adalah pendidikan untuk jasmani dan juga pendidikan
melalui aktivitas jasmani.Berdasarkan pendapat tersebut, dapat
dipahami bahwa pendidikan jasmani adalah proses pendidikan melalui
penyediaan pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani guna
mencapai tujuan pendidikan yang menyeluruh. Hal ini, sebagaimana
dinyatakan oleh Dini Rosdiani (2014: 138) bahwa pendidikan jasmani
adalah proses pendidikan melalui aktivitas jasmani, permainan atau
olahraga yang terpilih untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena
itu, sebagaimana sering dipahami bersama bahwa pendidikan jasmani
merupakan bagian integral dari pendidikan nasional sehingga
pendidikan kurang lengkap tanpa kehadiran pendidikan jasmani itu
sendiri.
c. Tujuan dan Manfaat Pendidikan
Dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional tidak lain
adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut pendapat Horton dan
Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifest)
yakni mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah,
mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi
kepentingan masyarakat, melestarikan kebudayaan. (PBB) melalui
lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural
Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa
sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to
do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Kurikulum dan
pembelajaran dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan
pendidikan, yakni mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat hidup
di masyarakat (Wina Sanjaya, 2008: 10). Maka kurikulum dibentuk untuk
mengarahkan segala bentuk aktivitas pembelajaran demi tercapainya
tujuan pendidikan.
d. Tujuan dan Manfaat Penjas
Tujuan pendidikan jasmani bukan aktivitas jasmani itu sendiri,
tetapi untuk mengembangkan potensi siswa melalui aktivitas jasmani.
Hal tersebut, sejalan sebagaimana yang dijelaskan oleh Dini Rosdiani
(2015: 2) bahwa tidak ada pendidikan yang tidak mempunyai sasaran
pedagogis, dan tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa adanya
pendidikan jasmani, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar
bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara
alamiah berkembang kearah perkembangan zaman. Berdasarkan
penjelasan tersebut, pendidikan jasmani memiliki misi untuk
menghasilkan insan yang terdidik jasmaniahnya. Artinya, melalui
Pendidikan jasmani selayaknya mampu mengembangkan potensi siswa
secara menyeluruh meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dilihat dari tujuannya tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan jasmani
berbeda dengan pendidikan olahraga yang lebih menekankan pada
penguasaan keterampilan olahraga. Menurut Depdiknas (2003) Pendidikan
Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan,
bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan
gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran,
stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan
pengerahan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan
kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pada ruang lingkup olahraga menurut UU No 3 tahun 2005 tentang
SKN poin 1 dijelaskan bahwa olahraga pendidikan adalah pendidikan
jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan
yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan,
kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani. Dalam
memberikan gambaran pada perbedaan tujuan pendidikan jasmani dan
tujuan olahraga, maka sesuai dalam rincian Abdul Kadir Ateng dijelaskan
bahwa pendidikan jasmani memilos tujuan untuk pendidikan secara
keseluruhan, kepribadian dan emosional, sedangkan tujuan olahraga lebih
spesifik pada tujuan untuk mengembangkan kinerja motorik (motor
performance/kinerja gerak untuk prestasi). Lebih lanjut yang dikuatkan
oleh Syarifudin, dalam bulletin pusat perbukuan, tujuan pendidikan
jasmani adalah program yang dikembangkan sebagai sarana untuk teknik
pertumbuhan dan perkembangan totalitas subjek, sedangkan pada tujuan
pendidikan olahraga lebih fokus tujuannnya pada program yang
dikembangkan sebagai sarana untuk mencapai prestasi optimal.
e. Dampak Pendidikan Terhadap Karakter Manusia
Perkembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan
di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peseta didik agar menjadi manusia yag
beriman,dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia,sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan Pendidikan Nasional merupakan rumusan mengenai
kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan
Pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan Pendidikan Nasional menjadi
dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.Untuk
mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter
bangsa perlu dikemukakkan pengertian istilah budaya, karakter bangsa,
dan pendidikan. Tujuan Pendidikan Pendidikan Karakter Bangsa
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan
Warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
2) Mengembangkan Kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji
dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya dan karakter
bangsa
3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa
4) Mengembangkan kemampuan pesrta didik menjadi manusia yang
mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan
5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman,jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa merupakan Nilai-
nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa
dan diidentifikasi dari sumbersumber Agama, karena masyarakat
Indonesia adalah masyarakat beragama, maka kehidupan individu,
masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan
kepercayaan. Secara politis, kehidupan kenegaraan didasari pada nilai
yang berasal dari agama.Dan sumber yang kedua adalah Pancasila,
Pancasila : Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas
prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut dengan
Pancasila.Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan
lebih lanjut lagi dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD
1945.Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-
nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan,
budaya dan seni.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi Warga Negara yang lebih baik,
yaitu Warga Negara yang memiliki kemampuan, kemauan,dan
menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sebagai Warga
Negara.Budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang
hidup bermasyarakat yang tidak disadari oleh nilai-nilai budaya yang
diakui masyarakat tersebut.Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar
dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi
antaranggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
2. Hakikat Nilai-Nilai Sosial Manusia
Bentuk-bentuk penerapan dari berbagai nilai sosial itu bisa dalam banyak
bidang kehidupan antara lainsebagai berikut ini.
1. Penerapan nilai-nilai sosial dalam interaksi sosial merupakan bentuk
hubungan dan pengaruh timbal balik antarmanusia, baik secara individual
maupun secara kelompok. Dalam melaksanakan interaksi social sebagai
perwujudan nilai social yang dimiliki harus didasarkan pada nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, penerapan nilai
social dalam interaksi sosial perlu dilakukan karena adanya bentuk bentuk
nyata dari interaksi sosial berikut ini.
a. Interaksi di dalam keluarga harus memperhatikan norma-norma
keluarga dan kekerabatan.
b. Interaksi dalam lingkungan masyarakat berpedoman pada adat dan
istiadat dan sistemnorma yang berlaku.
c. Interaksi dalam lingkungan kedinasan (bagi para pegawai/karyawan)
harus memperhatikan norma-norma hukumyang berlaku.
d. Interaksi social dalam masyarakat luas juga harus memperhatikan
system tata kelakuan dan hubungan yang berlaku dalam kalangan
masyarakat luas tersebut. Penerapan nilai sosial tentang interaksi dan
peran sosial dapat membantu keberhasilan seseorang menjalankan
peran sosialnya berhubungan dengan anggota masyarakat yang lain.
Misalnya, seseorang yang memperhatikan kaidah atau norma yang
menjadi aturan ditempat kerjanya, maka ia akan diterima baik sebagai
anggota dari mereka yang berada di lingkungan kerja tersebut.
2. Penerapan nilai sosial dalam proses sosialisasi dan pembentukan
kepribadian. Sebagaimana diketahui bahwa proses sosialisasi itu
berlangsung sepanjang hidup dan akan terus berpengaruh terhadap corak
kepribadian individu. Bertolak dari hal tersebut, maka sebaiknya proses
sosialisasi bagi seorang anak harus diperhatikan secara baik agar tidak
menyerap nilai-nilai perilaku yang menyimpang dalam proses sosialisasi
yang dilakukannya. Ini berarti bahwa tindakan antisipasi dalam proses
sosialisasi mutlak diperlukan bagiorang tua maupun pendidik untuk
mengawasi perkembangan kepribadian bagi anak/anak didiknya.
Penerapan nilai sosial tentang proses sosialisasi dan pembentukan
kepribadian membantu seseorang untuk memahami bagaimana ia harus
bersosialisasi dalam masyarakat agar mempunyai kepribadian yang baik.
3. Penerapan nilaisosial dalam norma sosial. Nilai dan norma pada dasarnya
merupakan perangkat pengatur aktivitas individu dalam masyarakat. Tiap-
tiap masyarakat yang memiliki struktur budaya tertentu akan memiliki
sistem nilai dan norma yang berbeda pula. Dengan demikian, nilai dan
norma dari suatu masyarakat tidak dapat dipaksakan untuk diberlakukan
pada daerah lain yang mempunyai struktur budaya yang berbeda.
Misalnya, kebiasaan bersalaman dan mencium tangan orang yang lebih tua
di masyarakat Jawa akan menjadikan anak tersebut sebagai anak yang tahu
bertata krama. Penerapan pengetahuan sosiologi tentang nilai dan norma
sosial dapat membantu keberhasilan seseorang dalam kedudukannya
sebagai anggota masyarakat dalam strukturs osial dimana ia berada.
4. Penerapan nilai sosial dalam konteks perilaku menyimpang dan
pengendalian sosial. Perilaku menyimpang merupakan fenomena sosial
yang selalu terjadi di masyarakat. Apabila prilaku menyimpang terjadi
dalam jumlah dan skala yang besar maka keamanan dan ketertiban
masyarakat dapat terganggu. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah
sosial. Langkah-langkah tersebut dinamakan pengendalian sosial.
Pengendalian sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,
sesuai dengan tingkat dan jenis penyimpangan perilaku yang dilakukan.
Penerapan nilai sosial berkaitan dengan munculnya perilaku menyimpang
yang dapat mengganggu keteraturan sosial akan memberikan pengetahuan
tentang upaya pengendalian sosial. Upaya pengendalian social diciptakan
agar keteraturan social dapat dibangun dan terus terjaga didalam
masyarakat. Misalnya, banyaknya penyalahgunaan narkotika dikalangan
remaja. Akibat yang ditimbulkan dari tindakan ini yaitu ketidakstabilan
fisik dan mental, bahkan gangguan ketenangan umum. Oleh karena itu,
dapat diupayakan pengendalian sosial dengan cara memberikan
penyuluhan dan meningkatkan kesigapan aparat penegak hukum dalam
mewujudkan keteraturan social.
5. Peranan nilai sosial dalam penyesuaian terhadap perubahan sosial.
Perubahan sosial adalah sesuatu yang pasti terjadi pada setiap masyarakat,
tidak ada satu masyarakat pun yang berhenti dari perubahan dan dinamika.
Namun, harus dimengerti bahwa tidak selamanya perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat itu mengarah pada perbaikan dan
penyempurnaan kualitas hidup. Adakalanya justru sebaliknya. Pada setiap
perubahan social pasti ada pihak-pihak yang diuntungkan dan ada pihak-
pihak yang dirugikan. Untuk menerapkan pengetahuan tentang perubahan
sosial dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.
a. Apabila seseorang berkedudukan sebagai pemimpin atau sebagai agen
perubahan sosial, yaitu pihak yang menghendaki perubahan, maka
setiap kali merencanakan suatu perubahan harus mempertimbangkan
matang-matang hasil atau pengaruh perubahan tersebut. Sedapat
mungkin, perubahan yang terjadi dapat memperbaiki suasana serta
lebih banyak menguntungkan masyarakat luas daripada justru
memunculkan kegelisahan dan penderitaan.
b. Apabila bertindak sebagai pihak yang dikenal proses perubahan, maka
seseorang harus berhati-hati untuk menentukan sikap apakah seseorang
mengikuti perubahan atau menentang arus perubahan. Apabila
perubahan yang terjadi itu menguntungkan, maka sebaiknya mengikuti
arus perubahan itu dengan baik sehingga tidak menjadi bagian dari
pihak yang dirugikan. Sebaliknya, apabila perubahan itu bersifat tidak
menguntungkan, maka sebaiknya orang berada pada posisi defensif,
artinya lebih bersifat melihat dan menunggu, mencari peluang-peluang
yang lebih baik untuk menghindari perubahan itu.
3. Hakikat Dimensi Sosial Manusia

Prayitno (2008) menyampaikan pendapat bahwa hakikat manusia dapat


ditinjau dari dimensi-dimensi manusia yang meliputi dimensi keindividualan,
dimensi sosial, dimensi kesusilaan dan dimensi keberagaman. Manusia itu
pada dasarnya adalah mahluk yang mampu bermasyarakat, memiliki
kecenderungan untuk bekerja sama, bergotong- royong, dan saling tolong-
menolong. Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) setiap manusia dilahirkan
telah dikaruniai potensi untuk hidup bersama dengan orang lain.

Manusia dilahirkan memiliki potensi sebagai makhluk sosial. Menurut


Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara
manusia. Hidup bersama dan berada di antara manusia lain, akan
memungkinkan seseorang dapat mengembangkan kemanusiaannya. Sebagai
makhluk sosial, manusia saling berinteraksi. Hanya dalam berinteraksi dengan
sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan
menghayati kemanusiaannya.
Dimensi sosial ini mambuat manusia tidak dapat hidup seorang diri.
Manusia senantiasa membutuhkan sesamanya. Kehadiran sesama dalam hidup
manusia semakin membuat manusia menyadari dirinya. Oleh karena itu,
manusia selalu hidup pada suatu kelompok sosial tertentu, dimana ia dapat
belajar tentang nilai-nilai budaya yang diciptakan oleh generasi sebelumnya.
Kondisi ini akan membuat manusia bertindak secara khas sebagai manusia.
Kehadiran sesama bagi manusia juga membuat hidupnya semakin memiliki
arti (Sneijders, 2004).

Hidup bersama dengan sesama membuat hidup manusia selalu terkait


dalam relasi dengan sesamanya. Terkait dengan itu, Bertens (1990) mengutip
pendapat Martin Buber bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis relasi
yang mendasar. Relasi tersebut ialah relasi aku- objek (I-it) serta relasi aku-
engkau (I-thou). Relasi aku-objek (I-it) berarti manusia dapat mempergunakan
serta menguasai objek dengan sesuka hatinya.
KESIMPULAN

Pendidikan pada hakikatnya mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan


melatih. Oleh karena itu pendidikan erat kaitannya dengan pengajaran dan
pelatihan, dengan uraian sebagai berikut: (a) Pendidikan = kegiatan mengolah hati
anak didik. (b) Pengajaran = kegiatan mengolah otak anak didik. (c) Pelatihan =
kegiatan mengolah lidah dan tangan anak didik. Pendidikan jasmani merupakan
bagian integral dari pendidikan nasional sehingga pendidikan kurang lengkap
tanpa kehadiran pendidikan jasmani itu sendiri. Dalam undang-undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, bahwa tujuan
pendidikan nasional tidak lain adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Manusia merupakan makhluk
sosial hal ii dibuktikan bahwa manusia selalu hidup pada suatu kelompok sosial
tertentu, dimana ia dapat belajar tentang nilai-nilai budaya yang diciptakan oleh
generasi sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA

Widodo, A. (2018). Makna dan Peran pendidikan jasmani dalam pembentukan


insan yang melek jasmaniah/ter-literasi jasmaniahnya. Motion: Jurnal
Riset Physical Education, 9(1), 53-60.
Depdiknas (2003) Standar Kompetensi Mata pelajaran Pendidikan Jasmani.
Depdiknas. Jakarta.

Sugiyanto, S. (2012). Dimensi Kajian Ilmu Keolahragan. Indonesian Journal of


Sports Science, 1(1), 218343.

Rachman, M. (2013, June). Pengembangan pendidikan karakter berwawasan


konservasi nilai-nilai sosial. In Forum ilmu sosial (Vol. 40, No. 1).

Omeri, N. (2015). Pentingnya pendidikan karakter dalam dunia


pendidikan. Manajer Pendidikan, 9(3)

Anda mungkin juga menyukai