Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH FILSAFAT PENJAS DAN

OLAHRAGA
HALAMAN JUDUL

Oleh :

Indo Pramudya Ambara


20601244031
PJKR-D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Puji syukur yang dalam penyusun sampaikan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaiakan
makalah ini sesuai yang diharapkan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Rasulallah SAW, yang telah membawa kita dari jalan kegelapan menuju jalan
yang terang benderang.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Filsafat
Penjas Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Universitas Yogyakarta
Pembuatan makalah ini diperlukan supaya penulis dan pembaca dapat memahami dan
mengkaji tentang Objek, Landasan dan jenis pemikiran dalam filsafat penjas.

Penyusun sadar bahwa dirinya hanya manusia biasa yang pasti mempunyai
banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang
bersifat membangun demi pengembangn makalah ini selanjutnya. Demikian makalah ini
kami buat semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................4
C. Tujuan Masalah........................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
A. Objek Filsafat Ilmu..................................................................................................5
B. Landasan Pemikiran Filsafat Penjas.........................................................................6
C. Ciri-Ciri Pemikiran Filsafat....................................................................................11
KESIMPULAN...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kelahiran filsafat di Yunani
menunjukkan pola pemikiran bangsa Yunani dari pandangan mitologi akhirnya
lenyap dan pada gilirannya rasiolah yang dominan. Dengan filsafat, pola pikir yang
selalu tergantung kepada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.
Perubahan dari pola pikir mite-mite ke rasio membawa implikasi yang tidak kecil.
Alam dengan segala gejalanya, yang selama itu ditakuti kemudian didekati dan
bahkan bisa dikuasai. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum
alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik alam
semesta maupun pada manusia sendiri.
Manusia dikenal sebagai makhluk berpikir. Hal inilah yang menjadikan manusia
istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar
manusialah yang mneyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan. Dia
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang
buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai
pilihan. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada pengetahuan.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama,
yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua,
kemampuan berpikir menurut suatu kerangka berpikir tertentu. Kedua faktor diatas
sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk
mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin
dikomunikasikannya. Hal ini salah satunya dikarenakan oleh tidak terstrukturnya
kerangka pikir. Kerangka pikir akan terstruktur ketika objek dari apa yang ingin
dikomunikasikan jelas. Begitu pula ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah objek pemikiran filsafat penjas?
2. Apakah landasan pemikiran filsafat penjas?
3. Apa saja jenis pemikiran dalam filsafat penjas?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui objek pemikiran filsafat penjas.
2. Untuk mengetahui landasan pemikiran filsafat penjas.
3. Untuk mengetahui jenis pemikiran dalam filsafat penjas.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Objek Filsafat Ilmu


Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang menjadi lapangan
penyelidikan atau lapangan studinya. Objek ini diperoleh melalui pendekatan
atau cara pandang, metode, dan sistem tertentu. Adanya objek menjadikan setiap
ilmu pengetahuan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Objek filsafat ilmu
menurut Surajiyo (2007:5) adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu
penelitian atau pembentukan pengetahuan. Menurut Muhadjir (2011:9) objek
studi filsafat ilmu dibagi menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
Objek material filsafat ilmu overlap dengan semua ilmu, yaitu membahas
fakta dan kebenaran semua disiplin ilmu, serta konfirmasi dan logika yang
digunakan semua disiplin ilmu. Sedangkan menurut Rohman, Rukiyati dan
Andriani (2011:22) objek material suatu bahan yang berupa benda, barang,
keadaan atau hal yang dikaji. Menurut Surajiyo (2007:5), objek material adalah
suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan
itu. Objek material juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh
suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal kongkret
ataupun hal yang abstrak.
Menurut Riyanto (2011:20), objek materi adalah sasaran material suatu
penyelidikan, pemikiran, atau penelitian keilmuan. Ia bisa berupa apa saja baik
apakah benda-benda material atau benda-benda non material. Ia tidak terbatas
pada apakah hanya di dalam kenyataan kongkret seperti manusia ataupun alam
semesta ataukah hanya di dalam realitas abstrak seperti Tuhan atau sesuatu yang
bersifat ilahiah lainnya.
Endraswara (2015:29) menyebutkan bahwa objek material adalah objek
yang dijadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari
oleh ilmu itu. Muhadjir (2011:9) berpendapat bahwa objek material filsafat ilmu
adalah (1) Fakta dan (2) Kebenaran dalam semua disiplin ilmu. Objek material
filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah
disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.
Objek formal filsafat ilmu adalah telaah filsafat tentang fakta dan
kebenaran, serta telaah filsafat tentang konfirmasi dan logika. Fakta dan
kebenaran menjadi objek formil substantif, sedangkan konfirmasi dan logika
menjadi objek formil instrumentatif dalam studi filsafat ilmu.
Menurut Endraswara (2015:29), objek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap
problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan,
bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi
5
manusia. Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu
pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Sedangkan menurut Rohman, Rukiyati dan Andriani (2011:22) objek
formal adalah sosok objek material yang dilihat dan didekati dengan sudut
pandang dan perspektif tertentu atau dalam istilah lain kemampuan berpikir
manusia dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Sementara objek formal
menurut Riyanto (2011:20) adalah cara pandang tertentu, atau sudut pandang
tertentu yang dimiliki serta yang menentukan satu macam ilmu. Menurut
Surajiyo (2007:7), objek formal filsafat ilmu adalah sudut pandang yang
ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau
sudut dari mana objek material itu disorot. Dalam pandangan The Liang Gie
(2010:139), obyek formal adalah pusat perhatian dalam penelaah ilmuwan
terhadap fenomena itu. Penggabungan antara objek material dan objek formal
sehingga merupakan pokok soal tertentu yang dibahas dalam pengetahuan
ilmiah merupakan objek yang sebenarnya dari cabang ilmu yang bersangkutan.
Dari penjelasan di atas, Ibda (2014) menyimpulkan bahwa ada perbedaan
antara objek material dan objek formal filsafat ilmu, antara lain:
Objek material filsafat merupakan suatu bahan yang menjadi tinjauan
penelitian atau pembentukan pengetahuan itu atau hal yang diselidiki, dipandang
atau disorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik hal-hal yang
kongkret ataupun yang abstrak.  Sedangkan objek formal filsafat ilmu tidak
terbatas pada apa yang mampu diindrawi saja, melainkan seluruh hakikat sesuatu
baik yang nyata maupun yang abstrak.
Objek material filsafat ilmu itu bersifat universal (umum), yaitu segala
sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek formal filsafat ilmu (pengetahuan
ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Objek material mempelajari secara
langsung pekerjaan akal dan mengevaluasi hasil-hasil dari objek formal ilmu itu
dan mengujinya dengan realisasi praktis yang sebenarnya.  Sedangkan objek
formal filsafat ilmu menyelidiki segala sesuatu itu guna mengerti sedalam
dalamnya, atau mengerti objek material itu secara hakiki, mengerti kodrat segala
sesuatu itu secara mendalam (to know the nature of everything). Objek formal
inilah sudut pandangan yang membedakan watak filsafat dengan pengetahuan,
karena filsafat berusaha mengerti sesuatu sedalam dalamnya.

B. Landasan Pemikiran Filsafat Penjas


Menurut Suriasumantri (2013:234), setiap pengetahuan mempunyai tiga dasar
yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Berikut akan dijabarkan lebih lanjut
tentang ketiga landasan tersebut.
1. Ontologis
Endraswara (2015:91) mengemukakan ontologi merupakan salah satu di
antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal
pemikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang
ontologi. Dalam ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah

6
kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang
dihadapkan pada persoalan materi (kebenaran) dan kedua, pada
kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Menurut Endraswara (2015:90), ontologi adalah cabang filsafat
ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Muhadjir
(2011:63) menjelaskan bahwa ontologi itu ilmu yang membicarakan
tentang the being. Yang dibahas ontologi adalah hakikat realitas.
Sependapat dengan ini, Suriasumantri (2013:234) juga memaparkan
ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari
objek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan.
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang
berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara
terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai yang
ada (The theory of being qua being). (Zilullah, 2013)
Endraswara (2015:100) juga menjabarkan di dalam pemahaman
ontologi terdapat beberapa pandangan-pandangan pokok pemikiran
diantaranya:
a. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari
kenyataan adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber asal, baik berupa materi maupun
rohani. Paham ini terbagi ke dalam dua aliran:
1) Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal
itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut
dengan naturalisme. Sulaiman & Munasir (2009)
menambahkan, alasan mengapa aliran ini berkembang
sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat
adalah:
 Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang
dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
 Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di
luar ruang yang abstrak.
 Penemuan-penemuan menunjukan betapa
bergantungnya jiwa pada badan.
2) Idealisme. Sebagai lawan dari materialisme dinamakan juga
spiritualisme. Idealisme berasal dari kata “Ideal”, yaitu suatu
yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh
(sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang. Sulaiman & Munasir (2009)
menambahkan, alasan aliran ini yang menyatakan bahwa
hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
 Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi
nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu
7
dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga
materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
 Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia
luar dirinya.
 Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang.
Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
 Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada
ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada
idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam
nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang
menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
b. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara
dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan
idealisme. Endraswara (2015:101) menjelaskan aliran dualisme
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda
dan ruh, jasad dan spirit.
Sulaiman & Munasir (2009) menuturkan, menurut aliran
dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat.
Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul
bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan
menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi
dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka
badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa
seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya
badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang
tersebut.
c. Pluralisme
Endraswara (2015:101) mengemukakan paham ini beranggapan
bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam
bentuk itu semuanya nyata. Tokoh aliran ini pada masa Yunani
Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
d. Nihilisme
Sulaiman & Munasir (2009) memaparkan bahwa
nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak
ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif
positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich Nietzsche

8
(1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga
pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah
Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak
merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa
sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi
tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan
demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan
menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.
Menurut Endraswara (2015:101), doktrin tentang nihilism
sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yaitu pada
pandangan Grogias (483-360SM) yang memberikan tiga proporsi
tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis.
Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia
tidak dapat diketahui, ini disebabkan oleh pengindraan itu tidak
dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. Ketiga, sekalipun
realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan
kepada orang lain.
e. Agnotisisme
Sulaiman & Munasir (2009) menjelaskan, agnotitisme
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin
mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak
mungkin mengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab
menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak
mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh
inderanya maupun oleh pikirannya.
Endraswara (2015:101) menuturkan, paham ini
mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat
benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata
agnoticisme berasal dari bahasa Grick. Ignotos yang berarti
Unknow artinya not, Gno artinya know. Timbul aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu
menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang
berdiri sendiri dan dapat dikenal.
Sulaiman & Munasir (2009) menambahkan, aliran ini
dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak
yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat
eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar,
Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855)
yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang
lain.

9
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau
penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat
benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme
yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya
mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.

2. Epistemologis
Menurut Suriasumantri (2013:234), epistemologi membahas cara
untuk mendapatkan pengetahuan; yang dalam kegiatan kelimuan disebut
metode ilmiah. Endraswara (2015:110-111) memaparkan bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat umum yang membicarakan teori
pengetahuan; berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengendalian-pengendalian, dan dasar-dasarnya; melacak pengertian
mengenai pengetahuan yang dimiliki mula-mula manusia percaya bahwa
dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana
adanya.
Endraswara mengemukakan bahwa epistemologi merupakan
langkah, proses dan upaya menengarai masalah-masalah filsufi yang
mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi
dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan
relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum (objek). Atau dengan kata
lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi
dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi
penentu penting dalam menetukan sebuah model filsafat. Dengan
demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang
mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolak
ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan
pengetahuan manusia. Melalui epistemologi manusia akan memahami
bagaimana ilmu pengetahuan itu ada secara ilmiah.
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan
mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya
mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita
pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi
antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud
dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model
epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau
rasinalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai
variasinya.

3. Aksiologis
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan
epistemologi berbicara tentang bagaimana yang ada itu bisa diperoleh
(cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan manfaat dari

10
pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-
kaidah moral.
Suriasumantri (2013:234) mengartikan aksiologi sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Sependapat dengan Suriasumantri, Endraswara (2015:136) juga
menjelaskan bahwa aksiologi memberikan jawaban untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Aksiologi atau etika
adalah studi tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari penilaian
terhadap perilaku manusia. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu
yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani, yaitu:
axios yang berarti sesuai atau wajar, dan logos yang berarti ilmu.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Jadi aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan
sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
serta di jalan yang baik pula.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu
secara transparan. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap
tertentu kadang ilmu harus disesuaikan denga nila-nilai budaya dan
moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan
bersama, bukan sebaliknya malah menimbulkan bencana.
Menurut Bramel (dalam Endraswara, 2015), aksiologi terbagi tiga
bagian, yaitu:
1) Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan
disiplin khusus yaitu etika.
2) Esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini
melahirkan keindahan.
3) Socio-policitcal life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan
melahirkan filsafat sosial politik.

C. Ciri-Ciri Pemikiran Filsafat


Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap
usaha manusia di dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya,
melakukan tugasnya dengan bertitik tolah pada beberapa ciri pemikiran, yaitu:
1. Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir.
Meskipun demikian, tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir
dimaksud dapat dikategorikan sebagai berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat
pertama-tama harus bersifat rasional, bukan perasaan subyektif, khayalan,
11
atau imajinasi belakah. Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik
kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran filsafat itu sendiri harus dapat
diterima secara akal sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah common sense
(pikiran umum). Ciri pemikiran filsafat yang rasional itu membuat filsafat
disebut sebagai pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.
2. Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis.
Menurut Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang
tidak ingin terbelenggu dalam sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas
kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali, determinasi, dan pembusukan
budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk melakukan
penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis
(penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang
cenderung mendistorsi akal sehat manusia.
3. Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin
menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk
menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke
permukaan. Melalui cara pemikiran yang demikian itu, diperoleh suatu hasil
berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah pertanggunganjawaban
yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran
keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang
tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum
menemukan hakikat kebenarannya secara fundamental, dan dengan
demikian, ia tidak muda terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru
atau kejahatan. Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah
proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi
bagi pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau
tantangan (ujian) zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.
4. kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang
melanggengkan atau memandegkan dirinya di dalam berbagai
keterkungkungan dogma atau ideologi yang beku dan statis. Justru, ia selalu
berusaha membangun kejataman budi untuk mampu mengeluarkan diri
kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan,

12
dan mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan
penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih
brilian, terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta
kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran
ide maupun moral. Ciri pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah
kekuatan transformasi dan seni “mengolah budi” (kecerdasan) guna mampu
melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan
terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.
5. Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir
logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar).
Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide,
penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan (sporadis). Justru,
pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau menggolong-
golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta
menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya
dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi)
melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat
selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran
(pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna
secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau
langkah berpikir yang tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan
secara teratur.
6. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-
gagasan pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua
tempat. Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah
kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos mencari dan menemukan
gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran
umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-
bagian yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan
ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah bagian yang utuh dan universal,
sebagai sebuah kenyataan eksistensisal yang khas manusiawi.

13
7. Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat
menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih
bermakna daripada bagian-perbagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh,
tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit.
Cara berpikir filsafat yang demikian perlu dikembangkan mengingat hakikat
pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang
luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya
masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh.
8. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep
atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan
taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta
fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkuan indera manusia untuk
menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral
(terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui bentuk
–bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah
fakta fisik selalu terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut
sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat dilihat, didengar, atau
diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada taraf-taraf
berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan
menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu
memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya
aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun
secara sistematis. Pemikiran abstraktif, berusaha membebaskan orang dari
cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan” untuk makin
mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan
“menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada
tataran kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi
secara utuh dan terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan
segala fenomenanya secara detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap
dan sempurna.
9. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri
berpikir abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman

14
faktawi ketaraf pemahaman dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya
berhenti pada informasi sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi
lebih meningkat pada taraf membangun pemikiran dan pemahaman tentang
mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai dimensi bentuk
pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan
adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas
tentang aneka kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang
spekulatif dimaksud, orang tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan
(kebenaran) secara informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap
kritis, dan penuh imajinasi untuk memahami (verstending) dan
mengembangkannya secara luas dalam berbagai khasana pemikiran yang
beraneka. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung
pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum yang
ada. Berpikir secar filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa
yang ada pada alam semesta secara utuh sehingga orang dimungkinkan
untuk mengembangkannyadalam berbagai aspek pemikiran dan bidang
keilmuan yang khas.
10. Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan penuh
pertimbangan dan penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh
dan mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan
bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung membenarkan diri, tetapi selalu
terbuka membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara berulang-ulang
dan makin mendalam, untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran
dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh dengan inti
kehidupan manusia yang luas dan problematis. Berpikir reflektif
memungkinkan proses internalisasi (pembathinan) setiap pemikiran
filosofis, sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu mencerminkan isi
otak, tetapi isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang
khas.
11. Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak letakkan hakikat
pemikiran itu pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai
titik orientasi, pengembangan, dan pengendalian pemikiran itu sendiri.

15
Maksudnya, pemikiran dan segala anak pinaknya, baik dalam bentuk
pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat menunjukkan sebuah
pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata. Bagi
filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia,
bahkan pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri
pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber dan tanggungjawab
kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat pada
manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggungjawab
manusiawi. Inti kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual
bagi proses berpikir maupun penerapan hasil pikiran itu sendiri.
12. Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak menunjukkan bahwa pikiran
bukan sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan
konteksnya yang nyata dan jelas. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat,
selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks hidup manusia secara
nyata. Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari cara berpikir dan
cara bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati dan memecahkan
masalah-masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran kontekstual
mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam membangun sebuah
struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah pemikiran
yang fungsional dalam menyiasati serta membangun tanggungjawab budaya
maupun sosial kemasyarakatannya.
13. Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini bermaksud menunjukkan
bahwa pikiran itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran
selalu mengandaikan harapan, kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan
aneka kepentingan manusia sebagai sebuah manifestasi eksistensial. Pikiran
itu sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau fenomena eksistensi,
dengan pikirannya, manusia membudayakan diri dan memenuhi kodrat
eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat. Berpikir eksistensial,
mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas, yang bukan saja berpikir
dalam kerangka keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam rangka
pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.

16
14. Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk
menajamkan kepekaan diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal
kekuatan dan kelemahan, dan kesadaran otodidik dalam diri. Melalui
pemikiran kontemplatif dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau ilmuwan
mampu menasihati dan membimbing diri (menangani diri) dengan penuh
kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif
mampu membimbing para subyek (pemikir) sedemikian rupa, sehingga
mampu melalukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas segala cara
berpikir maupun hasil pemikiran itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam
keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran diri menjadi “kekuatan serba
oke”, yang secara buta mentukangi aneka kebohongan dan kejahatan.
Berpikir kontemplatif membimbing orang untuk makin memiliki sebuah
jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi
(personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab dan
bermartabat.

17
KESIMPULAN
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan
segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang studi filsafat
yang objek materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis dan
perwujudannya. Jadi meliputi semua lingkup ilmu pengetahuan.

Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang menjadi lapangan


penyelidikan atau lapangan studinya. Objek studi filsafat ilmu dibagi menjadi dua, yaitu
objek material dan objek formal. Objek material adalah suatu bahan yang menjadi
tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material filsafat ilmu
adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis
dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara umum. Sedangkan objek formal adalah kemampuan berpikir manusia dalam
memperoleh pengetahuan yang benar. Objek formal filsafat ilmu adalah telaah filsafat
tentang fakta dan kebenaran, serta telaah filsafat tentang konfirmasi dan logika.

Setiap pengetahuan mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan


aksiologi. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek
yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan. Epistemologi adalah suatu cabang dari
filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolak
ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya serta di jalan yang
baik pula.

18
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2015. Filsafat Ilmu (Edisi Revisi) Konsep, Sejarah, dan
Pengembangan Metode Ilmiah. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic
Publishing Service).

Ibda, Hamidulloh. 2014. Pengertian Objek Formal dan Material Serta Kedudukan
Filsafat Ilmu Dalam Sistematika Filsafat. [online] tersedia: http://histudycentre.
blogspot.co.id/ 2014/05/pengertian-objek-formal-material-serta.html [9 oktober
2022].

Noeng Muhadjir. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Riyanto, Waryani Fajar. 2011.  Filsafat Ilmu Topik-topik Estimologi. Yogyakarta:


Integrasi Interrkoneksi Press.

Rohman, A., Rukiyati, dan L. Andriani. 2011. Mengenal Epistimologi dan Logika


Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulaiman, Husnan dan Munasir. 2009. Makalah Landasan Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Dalam FIlsafat Ilmu. [online] tersedia:
http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/makalah-landasan-ontologi
epistemologi.html [9 oktober 2022].

Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun. 2013. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan.

Zilullah, Zainab. 2013. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi sebagai Landasan


Penelaahan Ilmu. [online] tersedia: https://zainabzilullah.wordpress.com/2013/
01/20/ontologi-epistemologi-dan-aksiologi-sebagai-landasan-penelaahan-ilmu/
comment-page-1/ [9 oktober 2022].

19

Anda mungkin juga menyukai