Anda di halaman 1dari 2

Jakarta - Kita banyak menyaksikan orang-orang yang berhasil melakukan pembebasan diri dengan

pendidikan. Orang-orang miskin, dari desa terpencil. Mereka lahir dan tumbuh besar dari keluarga yang
tidak berpendidikan. Keluarga rakyat kecil, bukan priyayi. Orang-orang ini dengan segala
keterbatasannya berjuang dalam menempuh pendidikan. Hasilnya, ia mendapat pengetahuan dan
keterampilan, yang kemudian menjadi bekal baginya untuk bekerja. Ia bekerja lebih baik dari orang
tuanya, mendapat penghasilan yang lebih baik pula. Ia membebaskan dirinya dari kemiskinan dan
keterbelakangan.

Orang-orang seperti itu, tidak hanya membebaskan dirinya sendiri. Ia kemudian memberi inspirasi,
sekaligus membiayai adik, keponakan, atau bahkan orang lain yang sama sekali tak ada hubungan darah
dengannya. Ia membebaskan lebih banyak lagi orang.

Tapi kita juga mendengar banyak cerita, tentang orang-orang yang mendapat kesempatan untuk
menempuh pendidikan, tapi gagal membebaskan dirinya. Ada yang gagal selama sekolah. Ia tak mampu
menyelesaikan sekolahnya. Ada pula yang sekolah sampai selesai, tapi pendidikan yang ia tempuh tak
membuatnya bisa hidup lebih baik.

Kita cukup sering mendengar kisah-kisah tragis, tentang orang tua yang berharap anaknya "naik kelas"
dari kelas rakyat kecil, menjadi priyayi, dengan menyekolahkan mereka. Ada yang sampai menjual
sawah, untuk membiayai kuliah anaknya. Di akhir cerita, anaknya gagal menyelesaikan sekolah, atau ia
lulus tapi kemudian menganggur. Atau ia bekerja di sektor-sektor informal, tanpa terlihat bekas bahwa
ia pernah sekolah tinggi.

Apa yang terjadi pada orang-orang itu? Mereka adalah orang-orang yang gagal melakukan hal yang
paling dasar dalam proses pendidikan, yaitu belajar. Mereka gagal mendapatkan kompetensi yang paling
dasar, yang harus diperoleh oleh orang yang telah menempuh pendidikan, yaitu kemampuan belajar.

Ya, ada begitu banyak orang yang sekolah tapi tidak belajar. Mereka hanya menghafal sejumlah dalil dari
buku-buku pelajaran, tanpa memahaminya. Hafalan itu hanya menjadi serpihan mozaik yang tak
terhubung satu sama lain. Lebih penting lagi, serpihan-serpihan itu tidak memberi petunjuk tentang
bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan di ruang kehidupan. Orang-orang ini tidak akan pernah
mampu bekerja. Bekerja adalah menyelesaikan persoalan. Baik itu persoalan diri sendiri, maupun
persoalan orang lain yang membayar kita. Dari sekolahnya mereka tak belajar untuk menjadi penyelesai
masalah (problem solver).

Sekolah seharusnya membentuk pola pikir, sebelum memenuhi benak pelajar-pelajarnya dengan
pengetahuan. Pola pikir itu membangun struktur pemahaman, dan dengan struktur itu akan semakin
mudah bagi pelajar untuk belajar lebih lanjut. Ibaratnya, seperti menyiapkan rak-rak dalam "lemari
pikiran", tempat di mana pengetahuan dan informasi kelak akan diletakkan. Pola pikir itu juga akan
menentukan bagaimana informasi dan pengetahuan diolah untuk suatu keperluan.

Sekolah juga seharusnya membangun kebiasaan-kebiasaan positif, baik kebiasaan mental maupun fisik.
Kebiasaan mental adalah reaksi seseorang terhadap situasi yang ia hadapi. Kebiasaan mental yang
positif adalah reaksi-reaksi positif, seperti optimisme, komitmen, tanggap, tidak mudah menyerah, dan
sebagainya. Adapun kebiasaan fisik meliputi hal-hal seperti disiplin,

Di atas itu semua, sekolah seharusnya memberi bekal bagi pelajar-pelajarnya untuk menyelesaikan
masalah. Dengan pola pikir yang baik, kebiasaan-kebiasan yang baik, pelajar dibimbing untuk mencari
solusi terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi. Tidak hanya itu. Bila saat menghadapi suatu
persoalan pengetahuan yang mereka miliki ternyata belum memadai, mereka punya kemampuan untuk
belajar sendiri pengetahuan itu. Mereka tahu di mana harus mencari informasi, dan bagaimana
memperolehnya.

Orang-orang yang gagal membebaskan diri tadi adalah orang-orang yang tidak berhasil mendapatkan
tiga hal tersebut. Mereka gagal karena gagal memaknai proses belajar. Kegagalan itu bisa karena
kesalahannya sendiri. Ia gagal menangkap substansi. Ia mengira sekolah, khususnya perguruan tinggi,
adalah kotak ajaib yang bisa membuat siapa saja yang melaluinya akan menjadi orang pintar.

Dalam pengamatan saya, sekolah-sekolah kita sekarang cenderung berkembang menjadi sekolah-
sekolah yang tak akan sanggup membebaskan. Pelajar sudah dijejali dengan berbagai informasi yang tak
sanggup mereka cerna. Ibaratnya, mereka sudah dijejali dengan sejumlah barang, sebelum mereka
menyiapkan lemari untuk menyimpannya. Mereka dipaksa menghafal hal-hal yang tak mereka pahami.
Lebih mengerikan lagi, kemampuan menghafal dianggap sesuatu yang sangat hebat. Pelajaran
menghafal diberi prioritas tinggi. Padahal menghafal ini adalah cara belajar orang-orang yang belum
memasuki era baca tulis.

Saya khawatir pendidikan kita bergerak menjadi pendidikan yang semakin tak mampu membebaskan.

Anda mungkin juga menyukai