Anda di halaman 1dari 38

MACAM – MACAM TAFSIR DAN SEJARAH

PERKEMBANGANNYA

Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Matakuliah


Al-Quran
Dosen Pengampu : Rahma Safitri Barus, M.Pd.

AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH-D
Kelompok 13:

Muhammad Hafiz Harahap (0201222133)


Andal Batari Harahap (0201222138)
Jefriansyah (0201222103)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSUTAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur pemakalah persembahkan kehadirat Allah


SWT yang telah menganugerahkan nikmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga
pemakalah dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Makalah ini berjudul: “Tafsir Al-Qur’an” untuk memenuhi mata kuliah Al
– qur’an. Diyakini sudah sangat banyak penulis yang mengetahkan kajian tentang
manajemen dan organisasi. Dengan kondisi itu, penulis memberikan apresiasi
yang sangat tinggi dengan adanya motivasi yang tinggi dari para penulis, peneliti
dan ilmuwan untuk mengetengahkan kajian-kajian pemikirannya tentang Al-
qur’an, sekaligus sebagai referensi penulis dalam menyusun dan sebagai bahan
referensi terutama bagi para mahasiswa.
Meyakini banyaknya kajian yang sama, membuat terbangunnya kesadaran
bahwa makalah yang disusun ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini
mengidikasikan adanya kekurangan sebagai kelemahan pemakalah, untuk itu
diharapkan saran dan kritik dari teman-teman untuk penyempurnaannya. Kepada
berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini diucapkan terima
kasih. Semoga bermanfaat dan ridho Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa bersama
kita.

Medan, 12 November 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
A. Pengertian Tafsir, Takwil, dan Terjamah...............................................................5
B. Perbedaan Tafsir dan Takwil..................................................................................9
C. Perbedaan Tafsir dengan Tarjamah......................................................................11
D. Kebebasan dan Keterbatasan dalam Tafsir...........................................................12
E. Macam-Macam Metode Tafsir.............................................................................14
F. Urgensi Mempelajari Ilmu Tafsir Al-Qur’an........................................................18
G. Tafsir dan Mufasir................................................................................................20
H. Corak-corak Tafsir...............................................................................................29
BAB III............................................................................................................................33
KESIMPULAN................................................................................................................33
A. KESIMPULAN....................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tafsir merupakan ilmu syari‟at yang paling agung dan tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obejk pembahasannya dan
tujuannya, serta sangat dibutuhkan bagi umat Islam dalam mengetahui makna dari
Al-Qur‟an sepanjang zaman. Tanpa tafsir seorang muslim tidak dapat menangkap
mutiara-mutiara berharga dari ajaran Ilahi yang kandung dalam Al-Qur‟an,
Tafsir adalah salah satu upaya dalam memahami, menerangkan maksud,
mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an. Upaya ini telah dilakukan sejak
masa Rasulullah SAW, sebagai utusan-Nya yang ditugaskan agar menyampaikan
ayatayat tersebut sekaligus menandainya sebagai mufassir awwal (penafsir
pertama). Sepeninggalan nabi hingga saat ini, tafsir telah mengalami banyak
perkembangan yang sangat bervariatif dengan tidak melepas kategori masanya.
Dan tak lepas keanekaragaman secara metode (manhaj thariqah), corak (laun’)
maupun pendekatan-pendekatan (alwan) yang digunakan merupakan hal yang
tidak dapat dihindari dalam sebuah karya tafsir hasil manusia yang tak pernah
sempurna.
Syaikh Hasan Husain dalam suatu pendapatnya tentang sejarah ilmu tafsir
berkata: “para shahabat dan tabi‟in tidak menaruh perhatian kepada ilmu tafsir,
i’rab dan majaz pada masa permulaan pembukuan tafsir, bahkan metode yang
mereka gunakan sama dengan metode ahli hadits dalam melakukan periwayatan
makna-makna Al-Qur‟an. Kemudian kondisi demikian berubah pada masa
berikutnya (Ulama mutaakhirin) disebabkan semakin bertambah meluasnya
interaksi bangsa Arab dengan non Arab dan hilangnya rasa kebahasaan, maka
para mufasir merasa sangat memerlukan ilmu-ilmu tentang bahasa Arab yang
telah dibukukan, untuk menggambarkan makna-makna dan menjelaskan maksud
dari Al-Qur‟an yang mulia. Sehingga sampailah pada kondisi sebagaimana
sekarang ini. Ilmu tafsir senantiasa akan terus tumbuh berkembang dan bercabang
sejalan dengan perkembangan kualitas keilmuan para mufasir dan ilmu-ilmu
pengetahuan modern.

1
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tentu
memberikan andil yang besar terhadap perkembangan studi Islam, termasuk
dalam studi Al-Qur‟an. Dalam studi Al-Qur‟an Indonesia banyak melahirkan
karya-karya dalam tafsir Al-Qur‟an. Lahirnya suatu tafsir dengan beragam
metodologi dan coraknya mengindikasikan behwa setiap tafsir memiliki
karakteristik yang berbeda-beda.
Corak penafsiran Al-Qur‟an tidak lepas dari perbedaan, kecenderungan,
interest, motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman
(capacity) dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta
perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan
berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang
bermacammacam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Tradisi penulisan karya-karya Islam di Nusantara seperti dalam bidang
sastra, fiqh, hadits dan tafsir bergerak bersamaan dengan di perkenalkannya Islam
kepada penduduk di Nusantara. Tetapi khususnya karya tafsir perkembangannya
tidak seperti bidang ilmu keislaman lainnya. Satu hal yang perlu diketahui dalam
mengkaji perkembangan awal tafsir di Indonesia adalah perlunya upaya
memahami konteks historis pada saat itu. Ada atmosfir intelektual tertentu yang
tengah melingkupi wacana intelektual yang sedikit banyak memberikan pengaruh
pada karakteristik kegiatan penafsiran terhadap Al-Qur‟an. Diantaranya adalah:
pertama doktrin taklid masih mendominasi dunia pemikiran umat Islam dengan
sesuatu pendangan bahwa tidak ada seorapun yang mampu dalam berjihad
sehingga dari doktrin ini menimbulkan keyakinana adanya otoritas pemilik ilmu
masih sangat kuat. Kedua, masih tingginya tingkat penghargaan para tokoh ulama
terhadap ilmu tasawuf sehingga bidang ilmu ini bukan saja mampu mempengaruhi
kegiatan politik kenegaraan sebuah kerajaan namun bisa merambah sehingga
kebidang ilmu yang lain. Ketiga, ajaran tentang diharamkannya menterjemahkan
ayat Al-Qur‟an kedalam bahasa non-Arab masih kuat diyakini oleh para ulama.
Keempat, seperti diakui oleh Drewes masih adanya ketergantungan karya-karya
umat Islam Indonesia terhadap sumber-sumber berbahasa Arab. diatas merupakan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik perkembangan tafsir.

2
Dalam penulisan Al-Qur‟an sebagai bukti awal di Nusantara (Indonesia)
yaitu sebuah naskah MS.Li.6-45 di Cambridge yang memuat tafsir surah al-Kahf
yang ditulis sekitar abad ke-17 M. Tafsir ini berbahasa Melayu dengan
menggunakan aksara Jawi (Arab-Melayu).
Naskah ini muncul dalam manuskrip Melayu di Cambridge sebagai
inventaris seorang pelancoong (turis) bernama Erpenius. Didalamnya teks ayat
surat al-Kahfi ditulis dengan tinta merah yang diikuti dengen terjemah Melayu
dan penafsiran dengan tinta hitam.
Namun secara faktual dan lengkap, aktivitas kajian seputar Al-Qur‟an
diIndonesia dirintis oleh „Abd Rauf Singkel yang menerjemahkan Al-Qur‟an
kedalam bahasa Melayu pada pertengahan abad XVII, berjudul Tarjuman
Mustafid. Tarjuman Mustafid mulanya dianggap sebagai terjemahan atas tafsir
alBaidawi (w.1286 M), “Anwar al-Tanzil wa Asrar al-ta’wil”. Menurut Riddel,
tafsir ini merupakan turunan dari tafsir al-Baidawi dari bahkan merupakan
terjemahan. Klaim ini telah berlangsung sekian lama dan diterima oleh para
sarjana Muslim di Asis tenggara, timur tengah dan Eropa.
Wacana tentang Islam Nusantara banyak menuai banyak perdebatan
intelektual muslim. Wacan islam nusantara bisa saja diperselisihkan, Islam
sebagai substansi ajaran yang turun diMekkah lalu tersebar ke Madinah ke
daeerah-daerah lain, seperti Yaman, Mesir, India, pakistan sampai ke Indonesia.
Islam yang menyebar kemudian bertemu budaya setempat. Pada mulanya, Islam
di Mekkah bertemu dengan budaya Mekkah . akulturasi antara budaya dan agama
kemudian oleh Islam dibagi menjadi tiga. Pertama¸ adakalanya Islam menolak
budaya setempat, kedua, Islam merevisi budaya yang telah ada, ketiga, Islam
hadir untuk menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa
merevisinya.
Islam Nusantara sesungguhnya penyerdehanaan dari tipologi Islam
Indonesia hasil perpaduan Islam dengan kebudayaan. Seyogyanya ini bukan
hanya konsep geografis, lebih jauh dari itu bahwasanya Nusantara adalah
encounter culture (pusat pertemuan budaya) dari seluruh. Mulai dari bahasa Arab,
India, Persia, dan termasuk dari budaya barat. Yang melahirkan budaya dan tata
nilai yang jelas. Oleh karena itu bukan bukan sebuah konsep georafis melain

3
sebuah konsep filosofis dan menjadi perspektif atau wawasan sebuah pola pikir,
tata nilai dan cara pandang dalam menghadapi budaya yang akan datang. Melihat
dari berbagai pertemuan antara ajaran Islam dan budaya Nusantara pada tiap-tiap
bangsa dan negara banyak mempengaruhi para mufasir dalam menafsikan Al-
Qur‟an serta ilmu-ilmu lainnya. Hingga penulis mengambil celah dalam
penelitian pada bidang yang dipengaruhi nuansa lokal daerah setempat. Objek
yang diambil merupakan salah satu tafsir nusantara Indonesia tepatnya Bangilan,
Tuban Jawa timur yaitu tafsir al-Iklil fi Ma’ani at-Tanzil karya K.H. Misbah
Zainal Musthafa. K.H. Misbah Musthafa merupakan salah satu muafasir
Indonesia, dia adalah pengasuh pondok pesantren al-Balad, Bangilan Tuban Jawa
Timur. Ia dilahirkan dipesisir Jawa tengah tepatnya Gang Palem, Rembang tahun
1916 dengan nama Masruh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian Tafsir Al-Qur’an?
2. Bagaimana macam-macam MetodeTafisr dalam Al-Qur’an?
3. Bagaimana Corak-Corak Tafsir dalam Al-Qur’an?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir, Takwil, dan Terjamah


1. .Pengertian Tafsir
Dari sudut pandang kebahasaan bahwa pengertian tafsir adalah al’idhoh
(penjelasan) atau al- tabyin atau alBayan (keterangan/penjelasan). Dalam bahasa
kamus tafsir berarti “al-Ibanah wa Kasyfu Mugtho” (menjelaskan dan membuka
yang tertutup). Kata Tafsir berasal dari akar kata al-fasr, kemudian diubah
menjadi bentuk taf’īl yakni menjadi kata al-tafsir. Kata al-Fasr berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup. Sedangkan kata al-tafsir berarti menyingkap sesuatu makna
atau maksud lafal yang pelik/ sulit . Atau dengan kata lain mengeluarkan makna
yang tersimpan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Menurut al-Raghib al- Ashfahaniy
kata al-fasr dan al-safr adalah dua kata yang maknanya dan lafalnya berdekatan,
Kata al-fasr menunjukan arti menzhahirkan (menampakkan) makna yang abstrak
(ma’qul) sedangkan kata al-safr menunjukan arti secara riil yang langsung tampak
pada penglihatan Secara istilah tafsir adalah menerangkan (maksud) lafal yang
sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada
maksudnya, baik dengan mengungkapkan uraian yang mempunyai petunjuk
padanya melalui jalan dalalah. Zarkasyi juga mendefenisikan bahwa tafsir adalah
“menerangkan al-Qur’an, menjelaskan maknanya serta menjelaskan apa yang
sesungguhnya dikehendaki oleh nash, isyarat maupun rahasiarahasianya yang
terdalam”.
Dengan demikian titik perhatian dalam rumusan inilah lafal yang sulit
dipahami yang terdapat dalam rangkaian ayat-ayat alQur’an, sementara dalam
rumusan Al-Zarkasyi yang dikutip oleh Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad
Ali Hasan adalah fungsi tafsir itu sendiri. Di dalam al-Qur’an kata tafsir diungkap
hanya pada satu surah dan satu ayat yakni pada surah al-Furqan ayat 33.
ِّ ‫ك بِ ْال َح‬
33 ۗ ‫ق َواَحْ َسنَ تَ ْف ِس ْيرًا‬ َ َ‫َواَل يَْأتُوْ ن‬
َ ‫ك بِ َمثَ ٍل اِاَّل ِجْئ ٰن‬
Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan
penjelasan yang paling baik.

5
Dari segi terminologis, bermacam definisi dibuat oleh paranulama. Berikut ini
beberapa diantaranya:
a. Abu Hayyan
Abu Hayyan seperti dikemukan Manna’ al-Qaththan, mengatakan Tafsir
ialah ilmu yang membahas mengenai tatcara penucapan lafal-lafal al-
Qur’an, petunjuk-petujuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun dan maknamakna yang diinginkan atasnya ketika
dalam keadaan tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
b. Badruddin al-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yng diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
c. Muhammad Abdul Adzim al-Zarqaniy
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an alKarim dari segi
dalalahnya (yang berkaitan dengan pemahaman makna menurut yang
dikehendaki oleh Allah sesuai dengan kadar
kemampuan manusia biasa.
2. Pengertian Takwil
Menurut pendapat yang masyhur, kata takwil dari segi bahasa adalah sama
dengan arti kata tafsir, yaitu menerangkan dan atau menjelaskan dengan
pengertian kata takwil dapat mempunyai arti:
a) Al-Ruju’ yang berarti kembali atau mengembalikan, yakni mengembalikan
makna pada proporsi yang sesungguhnya.
b) Al-Sarf yang berarti memalingkan, yakni memalingkan suatu lafal tertentu
yang mempunyai sifat khusus dari makna lahir kemakna batin lafal itu,
karena ada ketetapan dan keserasian dengan maksud yang dituju.
c) Al-Siyasah yang berarti menyiasati, yakni dalam lafal tertentu atau
kalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu
untuk menemukan maksudnya yang setepat-tepatnya.
Jadi, takwil secara istilah adalah mengembalikan suatu pada maksud yang
sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudnya. Dan mentakwilkan al-
Qur’an adalah membelokkan atau memalingkan lafal-lafal atau kalimat-kalimat

6
yang ada dalam al-Qur’an dari makna lahirnya kemakna lainnya, sehinggga
dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan
jiwa ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah SAW.
Secara istilah pengertian takwil menurut beberapa para ‘ulama adalah sebagai
berikut:
a) Ahmad al-Maraghi, takwil ialah ayat yang memiliki kemungkinan
sejumlah makna yang terkandung di dalamnya., maka manakala
dikemukakan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi sangsi
dan bingung mana yang hendak dipilihnya . Karena itu takwil lebih
banyak digunakan”.
b) Muhaamd Ali al-Shabuniy takwil adalah memandang kuat sebagian dari
makna-makna tertentu yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an dari
sekian banyak kemungkinan makna yang ada.
Dengan demikian mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dapat berarti
memalingkan lafal-lafal atau ayat ayat al-Qur’an dari makna yang tersurat kepada
makna yang tersirat dengan maksud mencari makna yang sesuai dengan ruh al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
3. Pengertian Tarjamahan
Kata tarjamah dalam bahasa Arab meliputi berbagai makna, oleh karena
itu pengertian yang dapat dijangkau secara etimologi oleh kata tarjamah antara
lain meliputi:
a) Menyampaikan pembicaraan kepada orang yang belum pernah
menerimanya. Maksudnya adalah menyampaikan dan membumikan ajaran
al-Qur’an kepada manusia yang belum pernah diterimanya.
b) Menjelaskan suatu kalam dengan bahasa kalam itu sendiri. Maka
menafsirkan al-Qur’an dengan menggunaakan bahasa Arab
c) Menjelaskan kalam dengan menggunakan bahasa selain kalam itu. Bawah
menafsirkan atau menjelaskan ajaran alQur’an dalam berbagai bahasa
Arab
d) Mengalihkan bahasa kalam dari satu bahasa kebahasa lain atau
diungkapkan dengan bahasa lain.

7
Terjamah dapat dibagi menjadi dua yakni Tarjamah harfiyah, dan tarjamah
Tafsiriyah. Tarjamah harfiyah adalah memudahkan kata-kata dari suatu bahasa
yang sinonim dengan bahasa yang lain, dimana susunan kata yang
menarjamahkan, demikain juga susunan bahasa yang menarjamahkan. Sedangkan
Tarjamah Tafsiriyah atau tarjamah maknawiyah, menjelaskan maksud kalimat
(pembicaraan) dengan bahasa lain tanpa terikat oleh tartib (susunan) kalimat
(kata-kata) aslinya atau tanpa mempertimbangkan susunannya.
Muhammad Husein al-Dzahabiy yang dikutif Usman menyatakan bahwa
tarjamah tafsiriyah adalah menjelaskan perkataan dan menerangkan maknanya
dengan bahasa yang lain, tanpa memperhatikan tartib dan susunan bahasa aslinya,
serta tanpa terikat sepenuhnya pada semua makna yang dimaksudnya.
Adapun syarat-syarat terjamah harfiyah adalah sebagai berikut:
a) Penarjamah hendaknya memahami benar persoalan yang ada dalam dua
bahasa, baik bahasa pertama (yang ditarjamah) maupun bahasa kedua
(yang digunakan menarjamah);
b) Penarjemah benar-benar tahu tentang gaya bahasa dan pola-pola kalimat
serta ciri khusus dari kedua bahasa;
c) Dalam hasil terjamaah terpenuhi dan tercermin semua makna dan maksud
yang dikehendaki oleh bahasa pertama (yang diterjamah) dengan mantap;
d) Wujud dan bentuk hasil terjamah itu hendaknya benar-benar lepas dari
bahasa pertama, sehingga tidak ada lagi lafal atau kata dalam bahasa
pertama itu yang masih melekat atau mengikat alam bahasa terjamah.
Adapun syarat-syarat terjamah tafsiriyah dan terjamah maknawiyah adalah
sebagai berikut:
a) Terjamah harus dilakukan menurut persyaratan tafsir dengan bersumber
pada hadis-hadis Nabi, ilmu Bahasa Arab dan prinsif-prinsif syariat dalam
Islam;
b) Penarjemah tidak berkecendrungan pada akidah yang justru berlawanan
dengan akidah yang dibawa oleh al-Qur’an;
c) Penerjamah merasakan benar secara mendalam mengenai dzauq (sense)
dari kedua bahasa baik yang diterjamahan dalam hal ini Alqur’an,,

8
maupun bahasa tarjamahannya, memahami rahasia-rahasiannya, mengerti
segi persoalan , bentuk, gaya dan pola serta dadlalah keduannya.
d) Mula-mula dilakukan penulisan terhadap ayat al-Qur’an, setelah itu baru
dilakukan penafsiran, selanjutnya dikemukakan tarjamah tafsiriyahnya,
sehingga tidak muncul dugaan bahwa tarjamah itu sebagai tarjamah
harfiyah al-Qur’an.

B. Perbedaan Tafsir dan Takwil


Perbedaan dalam kontes ini adalah perbedaan dari segi spesifikasinya
masing-masing, dan perbedaan dari segi sifatsifat keduanya. Menurut Abu
Ubaidah tafsir dan takwil memiliki pengertian yang sama, akan tetapi
pendapatnya ditolak oleh sebagian ulama.
Al-Raghib al- Ashfahaniy misalnya sebagaimana yang dikutif oleh Hasby
Ashiddiqiey, tafsir lebih umum daripada takwil. Tafsir lebih banyak
pemakaiannya dalam lafal-lafal dan leksiologi (mufradatnya), sedangkan tafsir
lebih banyak digunakan pada makna-makna dan sususnan-susunan kalimat. Selain
itu tafsir dapat dilakukan terhadap kitab-kitab suci (al-Kutub al-Ilahiyyah) dan
selainnya. Sedangkan takwil biasanya hanya digunakan atau dilakukan terhadap
kitab-kitab suci (al-Kutub al-Ilahiyyah) saja. Selain itu ada juga yang berpendapat
bahwa tafsir adalah sesuatu yang jelas diterangkan dalam kitab Allah atau
diterangkan oleh Rasulullah SAW yang shahih sebab sudah jelas adanya.
Sedangkan takwil ialah sesuatu yang diistimbathkan oleh para ulama, sehingga
tafsir lebih banyak berkaitan dengan riwayat, sedangkan takwil tidak banyak
berkaitan dengan riwayat.
Dalam hal ini sebagian ulama melihat ada perbedaanperbedaan antara
keduanya, yaitu:
1. Tafsir berbeda dengan takwil, perbedaannya adalah pada ayat ayat yang
menyangkut soal umum dan khusus, pengertian tafsir lebih umum dari pada
takwil, karena takwil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-
ayat mutasabihah. Jadi mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang mutasabihah
itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap penafsiran ayat tersebut disebut takwil.

9
2. Tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi takwil dan dalam tafsir sejauh
terdapat dalil-dalil yang dapat menguatkan penafsiran boleh dinyatakan:
“Demikianlah yang dikehendaki oleh Allah,” sedangkan takwil hanya
menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan makna yang
dimiliki ayat (lafal) dan tidak boleh menyatakan: “Demikianlah yang
dikehendaki oleh Allah SWT”.
3. Tafsir menerangkan makna lafal (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan
takwil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berpikir rasional.
4. Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (bil
ibarah), sedangkan takwil adalah dari yang tersirat (bil isyarah).
5. Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafal yang biasa-biasa
saja, sedangkan berhubungan dengan makna-makna yang kudus.
6. Tafsir mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh al-Qur’an sendiri,
sedangkan takwil penjelasan maknanya diperolah melalui istinbath
(penggalian) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya”.
Dengan demikian secara umum perbedaan Tafsir dan Takwil dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tafsir Takwil
Pemakaian banyak dalam lafal-lafal Pemakaiannya lebih banyak pada
mufradat makna-makna dan susunan kalimat
Jelas diteranngkan Al-Qur’an dan Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
Hadits-Hadits Shahih
Banyak berhubungan dengan riwayat- Bayak berhubungan dengan dirayat
riwayat
Digunakan dalam ayat-ayat Mukhtamat Digunakan dalam ayat-ayat
(jelas) mutasyabihat (tidak jelas)
Bersifat menerangkan petunjuk yang Menerangkan hakikat yang dikehendaki
dikehendaki

10
C. Perbedaan Tafsir dengan Tarjamah
Menurut Usman, bahwa terjamah baik secara harfiah aupun tafsiriyah
tidak sama dengan tafsir atau dengan kata lain tidak indentik dengan tafsir.
Menurutk Usman antara keduanya (tafsir dengan tarjamah tafsiriyah) terdapat
unsur persamaan, yakni samasama bertujuan menjelaskan. Tafsir menjelaskan
sesuatu maksud yang sulit dipahami, sedangkan tarjamah adalah menjelaskan
makna dari suatu bahasa yang tidak dipahami melalui bahasa lain yang dapat
dipahami.
Inti perbedaan yang prinsif antara tafsir dengan tarjamah tafsiriyah adalah
sebagai berikut:
1. Bahasa tafsir dalam praktiknya selalu terdapat keterkaitan dengan bahasa
aslinya, Selain itu dalam tafsir tidak terjadi pengalihan bahasa,
sebagaimana lazim dalam terjamah. Dalam tafsir yang sangat penting
ketepatan dalam memberikan penjelasan baik penjelasan menyangkut kosa
kata (mufradat leksiologi) maupun penjelasan dalam susunan kalimat.
Sedangkan pada tarjamah yang dilakukan adalah peralihan bahasa dari
bahasa pertama (bahasa asli) ke bahasa kedua (bahasa tarjamah);
2. Dalam bahasa tafsir yang diutamakan adalah menyampaikan penjelasan
dan pesan dari bahasa aslinya yang pertama. Penjelasan itu biasanya dapat
dikembangkan ke arah pendapat yang beraneka ragam dengan uraian yang
luas dan mendalam dengan melibatkan beragai disiplin ilmu seperti ilmu
bahasa, fiqh ushul fiq, asbabun nuzul dan sebagainya. Sedangkan pada
terjamah tidak terdapat istithrad, yakni memperluas uraian melebihi kadar
mencari padanan kata.Dalam tafsir pada kondisi tertentu tidak hanya
melakukan urian yang luas, tetapi justru urian yang luas itu merupakan
keharusan. Dalam tarjamah harfiah, makna yang diungkap tidak lebih dari
sekedar mengganti bahasa. Konsekwensinya jika terdapat kesalahan dalam
bahasa pertama, maka kesalahan itu sudah barang tentu akan terjadi pada
bahasa kedua atau tarjamahan.
3. Dalam bahasa tafsir yang menjadi pokok perhatian adalah tercapainya
penjelasan tepat sasaran baik secara global maupun secara terinci.

11
Sedangkan terjamah mengandung tuntutan terpenuhinya semua makna
yang dikehendaki oleh bahasa pertama.
4. Dalam dunia penafsiran soal pengakuan sangatlah relatif, tergantung
dengan kualitas tafsir dan kredibilitas mufassirnya. Sedangkan hasil
tarjamah pada lazimnya mengandung tuntutan adanya pengakuan, yakni
semua makna yang dimaksud yang telah dibahasakan ke bahasa kedua
oleh penarjamah adalah maksud yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa
pertama, dan memang itulah yang dikehendaki penutur bahasa.
Menurut Muhammad Husain al-Dzahabiy, dalam Usman perbedaan prinsif
antara tafsir dengan tarjamah tafsiriyah adalah: pertama, perbedaan dari sisi
bahasa/istilah. Istilah tafsir dalam penjelasannya menggunakan bahasa asal dari
teks yang dijelaskan, sedangkan tarjamah tafsiriyah menggunakan bahasa lain
diluar bahasa asal dari teks yang dialih-bahasakan. Kedua, bagi pembaca tafsir
dan orang yang berupaya untuk memahaminya, memungkinkan baginya untuk
kembali memperhatikan susunan bahasa yaitu bahasa aslinya dan dalalahnya. Jika
terjadi kesalahan dalam penafsiran dapat dilakukan teguran atau perbaikan,
perbaikan kesalahan dapat dilakukan pembaca atau pembaca lain. Sedangkan
pembaca tarjamah tidak ada jalan untuk melakukan itu karena ketidaktahuannya
terhadap apa yang dipahami dan diyakininya sendiri.

D. Kebebasan dan Keterbatasan dalam Tafsir


Dalam rangka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara prinsip diperlukan
Ilmu Tafsir.Ilmu yang dimaksud yaitu, secara prinsip pula menerangkan tentang
Nuzulul Ayat, keadaan-keadaannya, kisahkisahnya, Asbabun Nuzulnya, tertib
Makiyah dan Madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihahnya, halal dan haramnya,
wa’ad dan wa’idnya, ‘amar dan nahyunya dan i’tibar dan amtsalnya.
Maka dengan ilmu tafsir, penafsiran ayat-ayat dapat memberikan
“penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan
kemampuan manusia (mufassirin)” dan bahwa “kapasitas arti kosakata atau ayat-
ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya
tertuju kepada kosakata atau ayat-ayat tersebut secara sendiri”. Tuntutan

12
pemahaman ayat-ayat tersebut berlaku sepanjang zaman, dan generasi berikutnya
dituntut pula untuk memahami al-Qur’an sebagai
tuntutan yang pernah ditunjuk kepada masyarakat yang pernah menyaksikan
turunnya al Qur’an.
Kemudian bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang bukan saja
dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu
yang ditekuninya, pengalaman,
penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial politik dan sebagainya, maka tentunya
hasil pemikiran seseorang akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa seseorang tidak dapat dihalangi untuk
merenungkan, memahami, dan menafsirkan alQur’an. Karena hal ini merupakan
perintah al-Qur’an sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang
berbeda dengan yang lainnya, harus ditampung. Hal ini adalah konsekuensi logis
dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara
sadar dan penuh tanggung jawab.
Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-
pembatasan dalam penafsiran al-Qur’an, sebagaimana pembatasan-pembatasan
yang dilakukan dalam berbagai disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut
dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan.
Bahkan dipandang dari eksistensinya yang sangat dekat dengan alQur’an Karim,
maka kedudukan tafsir sangat menonjol, terutama bila disadari bahwa dinamika
dan kebangkitan umat Islam, baik secara individu maupun masyarakat, terletak
pada sejauhmana mereka bergantung dan berpegangan pada hidayah al-Qur’an,
bersandar pada ajaran manusia. Untuk sampainya maksud tersebut dibutuhkan
penjelasan, keterangan terperinci dan penjabaran lebih lanjut, yakni tafsir.
Sesungguhnya manusia (mufassir) bebas melakukan penafsiran. Namun
dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam, menyentuh, dan
menyeluruh ditemukan banyak syarat. Secara umum oleh Muhammad Quraish
Shihab disebutkan :
1. Pengetahuan tentang bahasa Arab dari berbagai bidang.
2. Pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis
Nabi dan ushul fiqih.

13
3. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan.
4. Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan
untuk menafsirkan al-Qur’an. Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, ada dua hal
yang harus digaris bawahi, yaitu :
1. Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan
dengan penafsiran ayat al-Qur’an.
2. Faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain:
a) Subjektivitas mufassir.
b) Kekeliruan dalam menetapkan metode atau kaidah.
c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu atal/bahasa.
d) Kedangkalan dalam menetapkan metode atau kaidah.
e) Tidak memperhatikan konteks, baik Asbabun Nuzul, hubungan antara
ayat, maupun kondisi sosial masyarakat.
f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan
ditunjukan.

E. Macam-Macam Metode Tafsir


Dari segi pola pendekatan memahami al-Qur’an , tafsir dapat dibagi dua
yakni tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al- ra’yi. Tafsir bi-al ma’tsur bisa juga
disebut dengan tafsir riwayah atau tafsir bi al-Manqūl. Tafsir bil Ma’tsur menurut
Manna’ Khalil alQaththan adalah (dianggap sebagai penafsiran yang bersumber
dari Nabi, tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih menurut
urutan yang telah disebutkan di dalam syarat-syarat mufassir, diantaranya
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan al-Sunnah, karena ia
merupakan penjelas bagi kitab Allah atau dengan riwayat-riwayat yang diteri ma
dari para sahabat, sebab mereka telah mengetahui tentang kitab Allah atau dengan
riwayat-riwayat dari para tabi’in besar karena mereka telah menerimanya dari
para sahabat.
Dengan demikian maka tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadits Nabi SAW, penafsiran Al-Qur’an
dengan atsar sahabat, penafsiran Al-Qur’an dengan keterangan tokoh-tokoh

14
dikalangan tabi’in yang pernah berguru kepada Nabi SAW. Dalam hal status
penafsiran al-Qur’an dengan atsar sahabat terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Sehubungan dengan hal itu al-Hakim sebagaimana dikutif oleh Rif’at
Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan mengatakan : “Sesunguhnya penafsiran dari
sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dihukumi sebagai mar’fu (dianggap
sebagai penafsiran dari Nabi SAW”.
Adapun tafsir bi al-Ra’yi disebut juga tafsir bi al-ma’qūl, tafsir bi al-
Dirayah dan atau bi al-ijtihādi. Manna al Qaththan mendefinisikan tafsir bi al-
Ra’yi adalah suatu tafsir dimana mufassir dalam menjelaskan mana ayat
berdasarkan pada pemahaman dan instimbathnya dengan akal semata-mata, bukan
didasarkan pada pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah. Atau tafsir yang
penjelasannya diambil dari ijthad dan pemkiran mufassir setelah mengetahui
bahasa arab serta metodenya, dalil yang ditunjukan , serta problem penafsiran
seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh dan sebagainya.
Kemunculan tafsir bi al-Ra’yi adalah ketika masa kebangkitan ilmu-ilmu
dalam Islam, dimana para mufassir tidak hanya menafsirkan al-Qur’an dengan
ayat atau hadis, melainkan dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Disiplin ilmu yang
dimiliki tersebut digunakan untuk menafsir. Contoh Imam Az-zamakhsyari
menekankan asfek balaghah, Al-Qurtubi menekankan aspek hukum syariat, an-
Nasaiburi dan Imam Nasafi menekankan pada asfek bacaan (qira’ah)”
Selain 2 corak penafsiran di atas, maka ada satu lagi jenis tafsir yakni
Tafsir bil Isyari’ disebut juga tafsir shūfi, yatu model tafsir yang penjelasannya
diambil dari takwil ayat-ayat al-Qur’an yang isinya tidak sesuai dengan teks ayat,
sehingga yang dikutif hanya isyarat atau maksud teks ayat berdasarkan
pengalaman sulukNya. Jenis tafsir ini mempunyai kedudukan yang sama dengan
tafsir bi al-Ra’yi, karena pengaliannya tidak hanya berdasarkan penukilan
penukilan tertentu, melainkan ada faktor penunjang lain, hanya saja tafsir bi al-
Ra’yi lebih menekankan pada fungsi akal pikiran sedangkan tafsir bi al-Isyari
lebih menekankan pada fungsi qolb (hati/perasaan).
Selanjutnya jika dilihat dari metodenya terdapat empat macam, yakni
tahlīli, ijmali, muqorin, dan metode maudhu’i.

15
1. Metode Ijmalii
Adalah metode yang paling awal muncul karena sudah digunakan sejak
Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an tidak
memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmali atau global.
Dengan metode ijmail, seseorang musafir menafsirkan ayatayat al-Qur’an
secara ringkas, global mulai dari ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa
yang populer dan mudah dimengerti.
Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian Ayat-
ayat dengan menggunakan lafal bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafal
bahasa al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak
jauh dari gaya bahasa alQur’an itu sendiri. Metode ini diterapkan agar orang
awam mudah menerima maksud kandungan al-Qur’an dengan mudah tanpa
berbelit-belit.
Penjelasan mufasir dalam metode ini sangat singkat. Kosa kata yang
dianggap sulit dijelaskan dengan mencari padanan katanya, atau dengan
penjelasan singkat maksudnya. Kadangkadang juga dijelaskan kedudukan kata
perkata dalam struktur bahasa Arab (‘irab), mana mubtada, khabar, hal dan
sebagainya. Biasanya ayat yang ditafsirkan diletakkan dalam dua tanda kurung,
setelah kurungpenutup langsung diberi penjelasan ringkas.
2. Metode Tahlili
Metode tahlili adalah metode dimana seorang mufasir berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek
bahasa, asbab an-nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai
dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan
menggunakan sistematika mushaf al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat
demi ayat.
Metode tahlili disebut juga metode Tajzi’i (parsial) yang banyak dilakukan
mufassir salaf, dan metod ini oleh sebagian pengamat dinyatakan sebagai metode
yang gagal, mengingat cara penafsirnnya yang parsial juga tidak dapat
menentukan substansi alQur’an secara integral dan nada kecendrungan masuknya
pendapat mufassir sendiri mengingat pemaknaan ayat tidak dikaitkan dengan ayat
lain yang membahas topik yang sama.

16
Jika mengambil bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur maka sumber penafsiran
metode tahlil ini adalah al-Qur’an, hadits Nabi dan penafsiran para sahabat dan
tabi’in. Akan tetapi jika menggunakan bentuk at-tafsir bi-ar-ra’yi, sumber
penafsiran ditambah dengan ijtihad mufasir sendiri, baik secara orisinal maupun
mengutip pemikiran sumber lain. Hampir semua kitab tafsir yang dikenal
menggunakan metode ini, baik yang bi al-ma’tsur maupun bi-arra’yi. Contoh
kitab-kitab dari kedua dari kedua bentuk itu sudah banyak disebut sebelumnya
sehingga tidak perlu lagi disebutkan pada bagian ini.
3. Metode Muqqarin
Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau
perbandingan. Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan
antara (1) teks ayat-ayat al-Qur’an yang memilik persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu
kasus yang sama; (2) ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits yang ada pada lahirnya
terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan
al-Qur’an.
Kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis
kebahasaan, tetapi juga mencakup kandungan makna dan perbedaan kasus yang
dibicarakan. Dalam membahas perbedaan-perbedaan itu, seorang mufasir harus
meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan, seperti asbab
annuzul yang berbeda, pemakaian kata dan penyusunannya didalam ayat berlainan
dan juga konteks masing-masing ayat serta situasi dan kondisi umat ketika ayat
tersebut turun. Dalam menganalisis perbedaan-perbedaan tersebut, mufasir harus
pula menelaah pendapat yang telah dikemukakan oleh mufassir lainnya.
Kelebihan dari metode ini adalah :
1. Dapat memusatkan pikiran pada penggalian hikmah dibalik variasi redaksi
ayat untuk kasus yang sama dan pemilihan redaksi yang mirip untuk kasus
yang berbeda.
2. Menganitkan hubungan al-Qur’an dengan hadis yang dibandingkan;
3. Mengetahui orisinalitas penafsiran seorang mufassir, sebab dimungkinkan
mufassir pendatang meminjam tafsiran pendahulunya tanpa menyebutkan
sumber kutipannya dan dapat mengungkap kecendrungan mufassir,

17
madzhab apa yang dianut, mengungkap kekeliruan mufassir terdahulu dan
mencari pendapat yang lebih benar dengan jalan tarjih (memilih yang
terbaik dan terkuat), dapat memperoleh pemahaman yang lengkap
mengenai kandungan al-Qur’an.
4. Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode maudhu’i atau tematik. Berbeda
dengan metode ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayatayat al-Qur’an secara
kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka
metode maudhu’i ini membahas ayat-ayat yang terdapat dalam berbagai surat
yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini seorang
mufassir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthalaq
dan yang muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lainnya tampak kontradiktif,
menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu
pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan
terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Adapun keunggulan dari metode ini adalah:
1. Dapat meperoleh pemahaman al-Qur’an lebih utuh dan otentik mengenai
satu topik tertentu, sehingga sulit memasukan ide mufassir;
2. Relevan dengan kebutuhan orang muslim yang perlu penyelesaian kasus
berdasarkan pendekatan tematik ayat al-Qur’an.

F. Urgensi Mempelajari Ilmu Tafsir Al-Qur’an


Al-Qur’an kitab suci umat Islam, kitab terakhir yang diturunkan oleh
Allah kepda rasul (Muhammad SAW) terakhir melalui perantara Jibril AS. Al-
Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia, dalam arti bukan diperuntukan
bagi orang islam saja, namun untuk seluruh umat manusia yang ingin mengambil
petunjuk tersebut.
Di dalamnya terdapat peta jalan menuju surga, jalan menuju kebahagiaan,
penunjuk jalan bagi orang-orang yang tersesat hutan kehidupan yang penuh
dengan onak duri, binatang buas dan hal-hal yang menakutkan dan
membahayakan.
Al-Qur’an menjadi bagi musafir cinta yang kehilangan jejek dipadang
pasir kehidupan yang luas dan panas, menjadi bintang yang menunjukan jalan
pulang bagi para nelayan makrifat ditengah lautan hayat yang penuh dengan
gelombang. Al-Qur’an datang sebagai cahaya bagi manusia yang dinaungi dan

18
dilingkupi kegelapan sehingga ia bisa melihat mana yang harus dijalani dan mana
yang harus dijauhi. Al-Qur’an datang sebagai makanan bagi akal-akal yang
“kelaparan” dan “kehausan”, sehingga akal-akal tersebut kenyang dan segera
mengeluarkan kotoran-kotoran suci yang sangat dibutuhkan seluruh manusia.
Disinilah berlaku kaidah terbalik yaitu dianjurkanya “kekenyangan”. Bila perut
yang kekenyangan dia akan mengeluarkan kotorankotoran najis yang menjijikan,
dan ini (berlebihan ketika makan) diharamkan oleh agama namun bila akal yang
kekenyangan maka ia akan mengeluarkan kototran-kotoran suci yang direbut dan
sangat dibutuhkan dan diidam-idamkan oleh manusia dan ini sangat dianjurkan.
Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai macam ilmu pengetahuan, baik
secara tersirat maupun secara tersurat danberbagai macam informasi yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Dalam surat al-Māidah ayat 15-16,
menginformasikan bahwa “Sesungguhnya telah datang kepadamu informasi dari
Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-
orang mengukuti keridhoan-Nya, dan (dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan
seijin-Nya dan menunjuki mereka kejalan yang lurus” dan masih banyak ayat-ayat
senada lainnya.
Disinilah letak urgensinya tafsir, karena ternyata di dalam alQur’an
terdapat ayat-ayat muhkamat dan mustasyabihat. Sehingga tidak setiap manusia
(orang islam) mampu mengungkapka maknamaknanya hukum-hukum, hikmah-
hikmah yang tersembunyi dibalik ayat-ayat tersebut. Banyak diantara orang-orang
islam tidak mengerti dan tidak memahami ayat-ayat al-Qur’an, sehngga ia merasa
kesulitan mengambil petunjuk hidup (kecuali yang diberikan futuh oleh Allah).
Maka, sebagai akibat dari hal itu adalah dibutuhkannya sesuatu penjelasan dan
keterangan yang dapat membantu manusia (pada umumnya dan umat islam pada
khususnya) dalam memahami ajaran al-Qur’an.
Pada zaman pada kehidupan Rasulullah, para sahabat dengan mudah
mendapatkan penjelasan dan keterangan tentang ayatayat al-Qur’an dari
Rasulullah. Ketika para sahabat menemukan kesulitan atau suatu masalah maka
dia akan segera menyakannya kepada rasulullah salallahualaihi wassalam. Zaman
telah berubah, rasulullah telah tiada, maka umat islam (khususnya) menemukan

19
kesulitan memahami petunjuk ini, ia membutuhkan penjelasan (tafsir) tentang
ayat-ayat al-Qur’an. Maka tidak ada jalan lain sebagai solusi dari permasalahan
tersebut selain merujuk pada hadist-hadist baginda yang masih terjaga sampai saat
ini (tafsir bi Al-Riwayah). Disamping itu juga manusia juga memiliki akal yang
dengannya manusia memikirkan ayat-ayat al-Qur’an (tafsir bi al-Qur’an).
Berbicara tentang tafsir, secara leksikal tafsir berarti penjelasan,
penyingkapan makna suatu kata. Tafsir berusaha untuk mengungkapkan makan
yang terkandung dalam al-Qur’an. Adapun secara terminologinya tafsir
merupakan suatu ilmu yang dengannya kita bisa memahami al-Qur’an,
mengetahui makna-maknanya, hukum-hukum yang terkandung didalamnya, dan
hkimah-hikmah yang terdapat di dalam al-Qur’an. Dalam kitab mabahits fi
ulumul Al-Qur’an, Mana’ al-Qaththan mengutip pendapat Abu Hayan yang
mengedepankan sebuah definisi bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang
tata cara mengucapkan lafal-lafal ayat alQur’an, mengungkapkan makna-
maknanya, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, baik perkata maupun
perrangkaian kata dan kelengkapannya, seperti pengetahuan tentang nasikh
mansukh,
sebab nuzul, dan lain-lain.
Dilihat dari segi ilmu ini, yaitu al-Qur’an, maka dapat disimpulkan betapa
mulianya orang yang mengikhlaskan waktu walau sedikit untuk mengkaji ilmu
ini. Karena al-Qur’an adalah kalam yang paling tinggi kualitasnya dibandingkan
kalam yang lain. Sebaik-baik kalian kata Rasul adalah yang belajar dan mengajar
al-Qur’an”.1

G. Tafsir dan Mufasir


Alquran diturunkan dengan Bahasa Arab. Agar mudah dipelajari dan
dipahami muncullah gagasan untuk menafsirkan, menjelaskan dan menerangkan
isi kandungan Alquran itu ke dalam berbagai bahasa.
Sekarang banyak sekali tafsir Alquran yang telah ditulis oleh para mufasir
atau ulama asli Indonesia. Salah satunya yang sudah kita kenal terjemahan

1
Ajahari, Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Al-qur’an), (Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2018), hal 249-
271.

20
Departemen agama yang disusun oleh sebuah tim khusus yang disebut Dewan
Penerjemah. Tafsir al-Mannar, alQurtubi, al-Azhar yang ditulis oleh H. Abdul
Malik Karim Amarullah (Hamka). Dan ada juga tafsir al-Mishbah yang ditulis
oleh ustad Quraish Shibab. Kesemua ulama ini menyajikan dan menguraikannya
dengan bahasa sederhana dan lugas serta tidak berbelit-belit.
Pernahkah kamu mendengar Tafsir Sya‟rawi? Tafsir ini dikarang oleh
Syaikh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi atau yang dikenal dengan tafsir
Sya‟rawi. Yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu
penerjemahnya adalah yang sedang menyajikan buku ulumul Quran ini yaitu
ustad Zainal Arifin. Sebagai ketua Tim penerjemah Tafsir Sya‟rawi dan salah
seorang jebolan Universitas Al-Azhar, Kairo. Dan sebagai ketua ikatan alumni
Timur Tengah yang disebut Safir al-Azhar Mesir di Medan.
Untuk mengetahui bagaimana seluk beluk tafsir dan ada apa di balik Tafsir
dan syarat-syarat seorang mufasir. Kita ikuti liputan berikut ini. Tidak ditemui di
dunia ini satu ilmu yang dipelajari umat Islam kecuali untuk berkhitmah kepada
Alquran. Sebagai contoh, ilmu Balaghah dipelajari umat Islam untuk mengetahui
sudut mukjizat Alquran di bidang sastra, begitu juga ketika mereka mempelajari
Nahwu, Tauhid, Fikih, Sejarah, Astronomi, Kedokteran dan lainlain.
Bisa dinyatakan bahwa umat Islam belajar ilmu pengetahuan sebagai
usaha Allah dalam menjaga Alquran yang nota-benenya bukan saja dikekalkan
dalam bentuk tulisan dan dibaca di masjid atau dihafal, tetapi juga dikerahkan
Allah sebagian muslim untuk mengkaji apa yang tersirat di dalamnya.
Perpustakaan Islam telah menyimpan jutaan buku monumental yang
menunjukkan hal di atas, tidak saja di negeri Arab, bahkan hal itu juga terjadi di
negara yang mayoritas penduduknya muslim. Ini membuktikan betapa
antusiasnya muslim untuk berkhitmad terhadap kitab suci mereka.
Sebagian muslim bertanya tentang standar akademis atau keilmuan bagi
seorang mufasir. Lebih tepatnya pertanyaan itu berbunyi: Apakah seorang yang
meraih gelar doktor (S3) di bidang Tafsir dan ilmunya bisa dikategorikan sebagai
mufasir? Apakah seorang dosen dan guru yang mengajarkan Tafsir dan ilmunya
bisa dikatakan secara akademis sebagai mufasir? Atau, apakah khatib Jumat di
masjid dan para dai yang aktif mengutip dan menafsirkan

21
Alquran serta penerjemahan tafsir bisa dikatakan mufasir? Dari pertanyaan ini
keluar satu kajian yang berjudul seperti tertera di atas.
Hal ini dibutuhkan setidak-tidaknya bagi Universitas Islam Internasional
yang besar seperti al-Azhar, khususnya bagi fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir
dalam penelitian dan penulisan disertasi dan tesis bagi mahasiswanya. Dengan
standar ini mahasiswa dapat menempatkan judul kajian tokoh tafsir pada tempat
yang benar. Walaupun kaum muslim masih berbeda pendapat tentang kriteria ini,
namun setidak-tidaknya tulisan makalah ini yang dirangkum dari berbagai sumber
di Universitas al-Azhar dapat dijadikan standar bagi mahasiswa mereka, dan dapat
kiranya menjadi perbandingan bagi Institut Agama Islam Negeri di Indonesia dan
jurusan Tafsir Hadis khususnya.
Sebelum membahas lebih lanjut kajian di atas lebih baik diterangkan
terlebih dahulu maksud mufasir akademik. Maksudnya ialah seorang yang telah
mencapai gelar mufasir di tinjau dari segi akademik, dalam arti orang tersebut
telah memenuhi syarat dan kriteria mufasir dari segi akademik walaupun tidak
menduduki bangku akademik secara formal seperti saat ini.
Suatu hal yang menarik bahwa para tokoh Islam yang bergerak di bidang
tafsir sangat berat hati untuk dinobatkan sebagai mufasir, karena keikhlasan
mereka dalam menulis buku tersebut, sebagai contoh: Said Qutub yang menulis
tafsir Alquran dan memberi judul di cover bukunya dengan Fi Zilal Al-Quran,
berikut Imam Sya‟rawi lebih senang jika tafsirnya dinamakan Khawâtir Haula Al-
Quran. Semoga niat para mufasir yang ikhlas ini tidak ternodai dengan dinobatkan
mereka sebagai tokoh mufasir demi pengembangan tafsir dan ajaran Islam itu
sendiri. Sebelum mengkaji kriteria mufasir yang dimaksud ada baiknya dibahas
terlebih dahulu definisi Tafsir dan ragamnya:
a) Tafsir Dan Bentuk-Bentuknya
Tafsir menurut bahasa artinya menerangkan dan menjabarkan. Menurut
istilah ialah menjabarkan Alquran menerangkan maknanya dan menjelaskan apa
yang dikeluarkan dengan cara tekstual ataupun dengan kontekstual. Kata tafsir
diambil dari kata tafsirah yang artinya perkakas yang biasa digunakan dokter
untuk mendiagnosa penyakit pasien. Tujuan dari mempelajari tafsir ialah untuk

22
memahami makna Alquran, hukum-hukum, hikmah-hikmah demi tercapainya
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ilmu Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara menentukan lafaz
(madlul) Alquran baik yang berkaitan dengan kata tunggal, tarkib ataupun makna-
maknanya yang dipertanggung jawabkan berdasarkan susunan, seperti mengetahui
nash mansûkh, sebab nuzul, mubham muhkam dan lainnya yang memiliki
hubungan dengannya baik langsung ataupun tidak langsung. Objek pembicaraan
ilmu tafsir ialah Alquran. Pegangan utama dalam menafsirkan Alquran ialah hadis
dan asar ditambah dengan mengetahui kaidah bahasa Arab dan uslubnya, yang
nantinya akan panjang lebar dibicarakan pada bagian sosok mufasir.
Sejarah perkembangan tafsir dimulai dari zaman Nabi Muhammad. Setiap
ia menerima wahyu langsung disampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan
kata yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah ini ada kalanya berbentuk
sunnah fi‟liyah dan ada kalanya sunnah qauliyah dan taqririyah. Namun
penafsiran yang dilakukan Nabi Muhammad ini sangat sedikit yang menurut
Aisyah hanya beberapa ayat dan semua itu berdasarkan petunjuk Allah yang
disampaikan melalui Jibril. Untuk itu tafsir ini selanjutnya sangat diperlukan dan
para sahabat menyadarinya dengan mempelajari Alquran sebagaimana yang
disampaikan Ibnu Mas‟ud: Apabila para sahabat mempelajari Alquran dari Nabi
Muhammad sepuluh ayat
mereka tidak melanjutkan pelajaran itu sebelum mereka mengamalkan yang
sepuluh ayat itu. Mereka berkata: Kami menukil Alquran dari Nabi Muhammad
ilmu dan amal”
Bentuk-bentuk tafsir jika ditinjau dari sudut sumber inspirasi dibagi
kepada dua bagian yaitu tafsir dengan asar dan tafsir dengan akal. Yang dimaksud
dengan tafsir dengan asar atau tafsir bi alMa‟tsur ialah menafsirkan Alquran
dengan cara mengambil inspirasinya dari hadis Nabi Muhammad atau asar para
sahabat dan tabiin, contoh tafsir dengan tipe demikian ialah Tafsir Ibnu Katsir.
Adapun tafsir dengan akal pikiran ialah tafsir yang sumber inspirasinya dari
ijtihad para mufasir berdasarkan syarat-syarat mufasir yang telah mereka penuhi.
Contoh tafsir dengan akal atau tafsir bil ma‟qul ini ialah Tafsir Sya‟rawi.
Tafsir jika ditinjau dari sudut metodologinya dibagi kepada empat:

23
a. Tafsir at-Tahlily. At-Tahlili berasal dari kata hallala – yuhallilu –tahlil
yang artinya mengurai, menganalisis. Tafsir dengan metode tahlili ini ialah
tafsir yang mengurai, menganalisa dan menyoroti ayat-ayat Alquran
dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam
susunan dan urutan bacaan yang terdapat dalam Alquran. Di bandingkan
dengan metode tafsir lainnya metode ini adalah metode yang paling tua
karena berasal sejak masa para sahabat. Hampir semua para mufasir yang
dinilai sebagai ahli tafsir dari sudut akademik ialah mereka yang memiliki
tafsir dengan metode tahlili ini
b. Tafsir al-Ijmal. Al-Ijmal artinya adalah global, jadi yang dimaksud dengan
tafsir al-Ijmal ialah metode tafsir dengan cara mengemukakan makna
secara global dan garis besarnya saja. Sistematikanya dengan mengikuti
urutan surat Alquran sehingga maknanya diambil dari Alquran itu sendiri
dengan menambah kata atau kalimat penghubung, guna memudahkan
pembaca dalam memahami makna dan kandungan Alquran.
c. Tafsir al-Muqarin, arti al-Muqarin menurut bahasa ialah perbandingan
atau komparasi. Menurut istilah Tafsir al-Muqarin ialah tafsir dengan
metode komparatif baik antar ayat satu dengan ayat yang lain ataupun ayat
Alquran dengan hadis dan dapat juga perbandingan itu dilakukan antara
satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya.
d. Tafsir al-Maudhui, arti al-Maudhui ialah judul, menurut istilah Tafsir al-
Maudhui ialah tafsir yang diuraikan berdasarkan judul atau topik
pembahasan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, dengan
menafsirkan satu judul surat secara menyeluruh, memperkenalkan
maksudnya secara umum dan khusus secara garis besar. Dengan metode
ini surat tersebut memiliki bentuk yang utuh, teratur, serta mudah untuk
dipahami.
b) Syarat Seorang Mufasir
Setelah mengetahui bentuk-bentuk Tafsir dan definisinya di sini penulis
berpendapat bahwa seseorang tidak akan sampai derajat mufasir secara akademis
kecuali setelah melewati dua periode: pertama, periode persiapan; kedua, periode
aplikasi. Periode persiapan merupakan periode bagi calon mufasir untuk belajar,

24
mengkaji dan meneliti. Periode ini merupakan sebab untuk melangkah pada
periode selanjutnya. Periode aplikasi ialah periode yang digunakan calon mufasir
untuk mempraktekkan apa yang telah diterima pada periode pertama lewat kajian
ilmiah dan penulisan tafsir. Periode kedua ini merupakan sebab dari periode
pertama.
Bila calon mufasir telah memenuhi kedua periode ini secara baik, maka
dalam sudut pandang akademis orang tersebut dapat dikatakan sebagai mufasir
dalam epistemologi (istilah). Sebaliknya bila seseorang meremehkan dua periode
ini maka ia tidak bisa dikatakan mufasir dari sudut pandang akademik, walaupun
mereka mungkin dikatakan mufasir dari sudut terminologi (bahasa).
Hal ini sesuai dengan ungkapan Ketua Jurusan Tafsir di Universitas al-
Azhar, Mesir: “Alquran itu bagaikan sungai Nil yang mengalir di dalamnya air
hidayah, bagi semut yang meminum akan puas dengan kapasitas perutnya yang
kecil, begitu juga dengan gajah akan puas dengan kapasitas perutnya yang besar”.
Artinya, orang awam bisa memahami Alquran dengan kapasitas ilmu
pengetahuannya yang awam dan sedikit itu, sedangkan seorang mufasir dapat
mencerna dan memahami kandungan Alquran sesuai dengan keilmuan yang luas
yang dimilikinya.
Dengan demikian pernyataan: “Bahwa syarat untuk memahami Alquran
tidak harus bisa berbahasa Arab –yang merupakan salah satu syarat menjadi
mufasir- adalah benar jika ditinjau dari sudut terminologi mufasir, tapi tidak untuk
epistemologi”. Pernyataan Kajur di atas berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
17 ‫َولَقَ ْد يَسَّرْ نَا ْالقُرْ ٰانَ لِل ِّذ ْك ِر فَهَلْ ِم ْن ُّم َّد ِك ٍر‬
"Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka adakah
orang yang mau mengambil pelajaran?."
Hal ini juga diberlakukan di bidang agama. Tidak semua orang
diperbolehkan untuk mengatakan saya mufasir -berdasarkan keislaman dam niat
baik- lalu iapun menafsirkan Alquran menurut versinya lalu disebarluaskan.
Pelarangan ini bila dilakukan akan berdampak pada timbulnya tanda-tanda
kiamat, sebagaimana pesan Nabi Muhammad Saw:
‫قال رسلو هللا صلى هللا عليه وسلم من اشرا ط السا‬:‫حديثاأنس بن ما لك رضي هللا عنه قال‬
‫عة ان ير فع العلم ويثبت الجهل ويشرب الخمر ويظهرالزنا‬

25
"Diriwayatkan daripada Anas bin Malik katanya: Rasulullah bersabda: Di antara
tanda-tanda hampir Kiamat ialah terhapusnya ilmu Islam, munculnya kejahilan,
ramainya peminum arak dan perzinaan dilakukan secara terang-terangan"
Periode Persiapan
Pada periode ini terdapat empat hal yang perlu dilalui. Pertama, syarat;
kedua, tahapan dasar (tamhidi); ketiga, tahapan spesialisasi (spesialisasi);
keempat, magang.
a. Syarat Utama
Syarat utama untuk menjadi mufasir secara akademis ialah bersih akidah,
taat beribadah dan berakhlak mulia. Artinya, ia bukan seorang atheis, bukan
pencetus bidah, bukan orang yang tidak melaksanakan ajaran dan syariat Islam,
serta tetap memegang teguh akhlak mulia. Di samping tiga aspek tadi, seorang
mufasir harus memiliki niat yang bersih yaitu mencari rida ilahi, bukan
kesenangan dunia. Apabila ini dipenuhi Allah akan membantunya dengan
mengajarkan kepada mereka ilmu laduni.
282 ‫م هّٰللا ُ ۗ َوهّٰللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬¤ُ ‫َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗ َويُ َعلِّ ُم ُك‬
"Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Setelah syarat utama ini dipenuhi, calon mufasir diharapkan memperkaya
diri dengan berbagai disiplin ilmu, terutama yang berkaitan dengan tafsir, dengan
melewati dua tahapan. Tahapan dasar dan spesialis.
b. Tahapan Dasar (Tamhidi)
Pada tahapan ini calon mufasir diharap mampu menguasai tiga ilmu
penting dan satu ilmu secara umum. Ketiga ilmu penting itu ialah: satu, menghafal
Alquran seluruhnya berikut tajwidnya. Kedua, menguasai ilmu Qiraat. Ketiga,
menghafal hadis sahih, khususnya yang berkaitan dengan tafsir Alquran. Tidak
saja sampai di situ, calon mufasir, pada tahapan ini diharap mengusai ilmu
pengetahuan umum, baik agama, bahasa Arab ataupun ilmu kontemporer.
Ilmu Qiraat ialah ilmu yang mempelajari cara mengetahui cara membaca Alquran
yang benar dan mengetahui sebab dari perbedaan ‫دين‬¤‫وم ال‬¤¤‫ك ي‬¤¤‫ مال‬dalam surat al-
Fatihah, yang dibaca dengan dua versi: ‫ مالك‬panjang dan ‫ ملك‬pendek.
c. Tahapan Spesialisasi (Takhassus)

26
Pada tahapan takhassus ini calon mufasir diharap bisa menguasai ilmu-
ilmu Bahasa Arab, yang terdiri dari: ilmu Mufradât, ilmu Nahwu, ilmu Sharaf,
ilmu Balaghah, Figh al-Lugaghah dan Sastra Arab.
Ilmu Mufradât ialah ilmu yang menerangkan kosa kata Alquran berikut
isinya. Hal ini penting dipelajari mengingat satu kosa kata memiliki arti yang
beragam dan berlainan. Calon mufasir diharap mengetahui ilmu Nahwu karena
tujuan utama dari tafsir ialah menjabarkan kata perkata dari Alquran seperti
mengi‟rab yang merupakan bagian dari ilmu Nahwu. Ilmu sharaf juga perlu
dikuasai oleh calon ini, karena dengan ilmu ini seseorang mengetahui bentuk asal
kata dari kata itu (abniyah) juga asal kata itu diambil (isytiqâq). Seperti: al-Masîh
apakah berasal dari kata saha-siyâhah (bertamasya) atau al-mashu (membalsem).
Ilmu Balaghah perlu dipelajari karena keindahan sastra Arab yang terdapat dalam
Alquran tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang menguasai balaghah.
Dari keterangan di atas wajar bila Mujahid berkata: “Tidak dibenarkan
bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, berbicara tentang isi kitab
Allah sedangkan mereka tidak mengetahui bahasa Arab.”
Di samping ilmu Bahasa, calon mufasir juga harus mendalami ilmu-ilmu agama
yang mencakup: ilmu Ushul ad-Dîn, ilmu Fiqh, ilmu Usul Fiqh, ilmu
Perbandingan Agama, ilmu Hadis baik dirayah dan riwayah, dan ilmu tasawuf.
Semua ilmu-ilmu agama ini penting bagi calon mufasir untuk mereka ketahui.
Ilmu Ushul ad-Dîn memiliki hubungan yang erat dengan Alquran,
mengingat sebagian teks-teks Alquran berisikan tentang akidah. Sebagaimana
ilmu Ushul ad-Dîn, dalam Alquran ditemukan juga teks-teks yang berkaitan
dengan fikih, maka mempelajari fikih perlu untuk mengetahui apa yang ada dalam
Alquran berkaitan dengan fikih. Dalam Alquran juga ditemukan pembahasan
tentang perbandingan agama, dan di dalam teks-teks Alquran itu juga dipaparkan
jawaban bagi mereka secara argumentatif. Maka kalau ilmu ini tidak diketahui
maka sangat dimungkinkan mufasir akan mendapat hambatan dan problem besar.
Seperti:
َ‫ُضا ِهـُٔوْ ن‬ َ ِ‫ص َرى ْال َم ِس ْي ُح ابْنُ هّٰللا ِ ٰۗذل‬
َ ‫ ْم ي‬¤ۚ‫ك قَوْ لُهُ ْم بِا َ ْف َوا ِه ِه‬
‫هّٰللا‬
ِ َ‫ت ْاليَهُوْ ُد عُزَ ْي ُر ِۨابْنُ ِ َوقَال‬
ٰ َّ‫ت الن‬ ِ َ‫َوقَال‬
30 َ‫م هّٰللا ُ ۚ اَ ٰنّى يُْؤ فَ ُكوْ ن‬¤ُ ُ‫قَوْ َل الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا ِم ْن قَ ْب ُل ۗقَاتَلَه‬
"Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani
berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka.

27
Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka;
bagaimana mereka sampai berpaling?"(Q.S At-Thaubah: 30)
Ilmu hadis yang dipelajari pada tingkatan tamhidi berbeda dengan takhassush.
Kalau tamhidi, sekedar menghafal hadis yang berhubungan dengan tafsir, maka di
takhassush ini ia diharap bisa memilah hadis menurut kelasnya: mutawatir, ahad
dan dhaif. Ilmu tasawuf perlu dipelajari calon mufasir karena teks-teks Alquran
terkadang berisikan isyarat dan rahasia yang tidak mungkin diketahui kecuali
dengan mempelajari ilmu ini sebelumnya.
Lebih dari itu calon mufasir diharap tahu benar ilmu yang berkaitan
langsung dengan Alquran yang disebut dengan Ulûmul Quran. Di dalam ilmu ini
dipelajari: ilmu Nuzul Alquran, Asbâb anNuzûl, Awal dan Terakhir Turun,
Makkiyah dan Madniyah, Munasabah antar ayat dan surat, Muhkan dan
Mutasyabih, Huruf Muqattaah, Kisah dalam Alquran, Sejarah penulisan Alquran,
Tafsir, Terjemah dan Takwil.
Ulûmul Quran sangat banyak, hal ini diungkapkan Syuyuthi dalam
itqannya: “Ulûmul Quran bagaikan lautan tidak bertepi” ditambahkan: “... yang
tidak menguasai ilmu ini tidak boleh
menafsirkan Alquran, dan kalau menafsirkan hukumnya haram.”
Selain itu mereka juga perlu menelaah tafsir yang sudah dicetak ataupun
masih dalam transkrip, plus mengetahui perkembangan tentang tuduhan manusia
yang dilontarkan terhadap Alquran untuk dicounter.
Serta untuk memperkaya khazanah keilmuan dan meluaskan wawasan seorang
mufasir perlu mempelajari ilmu-ilmu logika yang terdiri dari ilmu mantiq, ilmu-
ilmu filsafat, baik filsafat Islam,
Yunani kuno, ataupun filsafat modern. Ilmu mantiq perlu dipelajari calon mufasir,
karena musuh Islam menggunakannya sebagai alat untuk menggambarkan
kerancuan Alquran guna meragukan umat Islam akan Alquran itu. Dari itu
seorang mufasir perlu mempersenjatai diri dengan senjata yang sama, sehingga
bisa menolak tuduhan-tuduhan mereka. Di samping itu ilmu Mantik
perlu untuk memaparkan alasan-alasan akal yang terdapat pada teksteks Alquran.
Terakhir namun tak kalah pentingnya, mereka juga harus mengetahui ilmu
pengetahuan umum seperti: ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu geografi, astronomi,
geologi, ilmu kedokteran, ilmu tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan ilmu pasti.

28
Seorang mufasir perlu mempelajari itu semua, karena Alquran alKarim
mencakup ilmu agama dan dunia. Alquran mencakup apa saja yang dibutuhkan
oleh makhluk di dunia ini dan di akhirat kelak. Maha Benar Allah yang berfirman:
ْ ‫َما فَر‬
ِ ‫َّطنَا فِى ْال ِك ٰت‬
38 ‫ب ِم ْن َش ْي ٍء‬
"Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab."(Q.S Al-An'am: 38)
d. Magang
Setelah calon mufasir menguasai ilmu Pengetahuan ini secara umum dan
ilmu tafsir secara khusus, maka selanjutnya pada tahapan ketiga ini mereka
diharap dapat memulai tugas lewat magang. Seperti: menyampaikan pelajaran
Tafsir, menulis karya ilmiah seputar tafsir dan menjawab masalah yang
berkembang seputar Alquran dan tafsirnya.2

H. Corak-corak Tafsir
1. Tafsir Sufistik
Sebagai dampak dari kemajuan ilmu perdaban Islam, muncullah Ilmu
Tasawuf. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat dua aliran dalam tasawuf.
Keduanya sangat mewarnai diskursus penafsiran Al-Qur’an, yaitu aliran tasawuf
teoretis dan aliran tasawuf praktis.
a. Aliran tasawuf teoretis
Dari sebagian tokoh-tokoh tasawuf, muncul ulama yang mencurahkan waktunya
untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami AlQur’an dengan sudut
pandang yang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menakwilkan
ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Penjelasan mereka
menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil-
dalil syara’ yang telah terbukti kebenarannya bila dilihat dari sudut pandang
bahasa. Adz-Dzahabi berkata, “Kami belum mendengar seorang pun ulama
tasawuf yang menyusun sebuah kitab tafsir khusus yang menjelaskan ayat per
ayat, seperti dalam tafsir isyari. Yang kami temukan hanyalah penafsiran-
penafsiran Al-Qur’an, secara parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi pada
kitab Al-Futuhat al-Makiyyah dan kitab al-Fushush, keduanya ditulis oleh Ibn
Arabi.
b. Aliran tasawuf praktis
2
Zainal Arifin, Pengantar ‘Ulumul Qur’an, (Medan, Duta Azhar, 2018) ,hal 77-89.

29
Tasawuf praktis adalah cara hidup yang sederhana, zuhud, dan sifat meleburkan
diri dalam ketaatan kepada Allah. Ulama aliran ini menamai karya tafsirnya
dengan tafsir Isyarat, yakni menakwilkan Al-Qur’an dengan penjelasan yang
berbeda dengan kandungan tekstualnya. Yakni berupa isyarat yang hanya dapat
ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju
Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabungkan antar penafsiran
tektual dan penafsiran isyarat itu. Corak (laun) penafsiran ini bukanlah merupakan
sesuatu yang baru, melainkan telah dikenal sejak turunnya Al-Qur’an kepada
Rasulullah Saw. dan itu diisyaratkan sendiri oleh Al-Qur’an. Selain itu, Nabi pun.
memberitahukannya kepada para sahabat. Beliau bersabda:
‫لكل أية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع‬
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-
batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya”.
2. Tafsir Fiqih
Bersamaan dengan lahirnya tafsir bi al-ma’tsur, lain pula tafsir fiqh.
Keduanya dinukil secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan. Tatkala menemukan
kemuskilan dalam memahami Al-Qur’an, para sahabat sebagaimana telah
dijelaskan langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi pun langsung menjawabnya.
Jawaban-jawaban Nabi itu di samping dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur,
juga dikategorikan sebagai tafsir fiqih. Setelah Nabi wafat, para sahabat berijtihad
juga menggali sendiri hukum-hukum syara’ dari Al-Qur’an ketika berhadapan
dengan permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi. Ijtihad para
sahabat pun di samping dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur juga
dikategorikan sebagai tafsir fiqih. Demikian
pula ijtihad para tabi’in,
Tafsir fiqh semakin berkembang dengan majunya intensitas ijtihad. Pada
awalnya, penafsiran fiqih terlepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi
negatif. Ketika menghadapi masalah ini, setiap imam mazhab berijtihad di bawah
naungan Al-Qur’an, sunnah, dan sumber penetapan hukum syariat lainnya.
Mereka lalu menghukum dengan hasil ijtihadnya yang telah dibangun atas
berbagai dalil.

30
Setelah periode ini, muncullah para pengikut imam-imam mazhab. Di
antara. mereka terdapat orang-orang yang fanatik terhadap mazhab yang
dianutnya. Namun, mereka memahami Al-Qur’an dengan pemikiran yang bersih
dari kecenderungan hawa nafsu. Mereka bahkan memahami dan menafsirkannya
atas dasar makna-makna yang mereka yakini kebenarannya.
Setiap mazhab dan golongan tersebut berupaya menakwilkan ayat-ayat Al-
Qur’an sehingga dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya, dan
berupaya menggiring ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga sejalan dengan paham
teologi masing-masing. Tafsir fiqih ini banyak ditemukan kitab-kitab fiqih
karangan imam-imam dari berbagai kalangan madzhab. Di samping itu,
ditemukan pula sebagian ulama yang mengarang kitab tafsir dengan latar
belakang mazhabnya masing-masing.
3. Tafsir Falsafi
Telah diuraikan di muka bahwa di antara pemicu munculnya keragaman
penafsiran adalah perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam.
Bersamaan dengan itu, pada masa khalifah Abbasiyah digalakkan pula
penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Di antara bukubuku yang
diterjemahkan itu adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi
oleh umat Islam. Dalam menyikapi hal ini, umat Islam terbagi dalam golongan
berikut ini:
a. Menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karya para filosof,
karena dianggap bertentangan dengan akidah dan agama.
b. Galongan kedua mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerimanya
selama tidak bertentangan dengan norma-norma Islam.

4. Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan pendekatan
terhadap istilah-istilah ilmu pengetahuan dan dalam memahaminya berdasarkan
filsafat. Dalam hal ini mufassir berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-
Qur’an sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, walaupun terkadang adanya pemaksaan dalam penafsiran

31
tersebut yang diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah
melalui Al-Qur’an.
Pada zaman modern ini, banyak ditemukan karya ulama berupa Tafsir
Ilmu ini. Sikap para ulama kontemporer terhadap Tafsir ilmi terbagi dalam dua
macam, yaitu ada yang menolak dan ada yang menerima. Ulama yang
menolaknya berpendapat bahwa mengaitkan Al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah
merupakan tindakan yang keliru. Alasannya, Allah menurunkan AlQur’an bukan
untuk menjelaskan teori-teori ilmiah, terminologi-terminologi disiplin ilmu, dan
hal ini hanya akan mendorong para pendukungnya untuk menakwilkan Al-Qur’an
agar sesuai dengan teori-teori ilmiah.
5. Tafsir Adabi ijtima’i
Madrasah Tafsir Adabi-Ijtima’i berupaya menyingkap keindahan bahasa
Al-Qur’an dan mukjizat-mukjizatnya; menjelaskan makna dan maksudnya,
persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat
lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan memperhatikan petunjuk-
petunjuk Al-Qur’an yang menuntun jalan bagi kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.95 “Corak” tafsir ini pun berupaya mengkompromikan antara Al-Qur’an
dengan teori-teori pengetahuan yang valid. “Corak” ini mengingatkan manusia
bahwa Al-Qur’an merupakan kitab Allah abadi yang sunggup menyetir
perkembangan zaman dan kemanusiaan. “corak” tafsir ini pun berupaya
menjawab keraguan-keraguan yang dilemparkan musuh menyangkut Al-Qur’an.
“Corak” tafsir ini pun berupaya menghilangkan keraguan mengenai Al-Qur’an
dengan mengemukakan berbagai argumentasi yang kuat.
Siapa pun membaca karya Tafsir Adabi-Ijtima’i, ia akan merasakan puas
dan terdorong untuk merenungi Al-Qur’an. Oleh karena itu, penginterpretsiannya
merupakan unsur imajinasi dan perumpamaan dari pengalaman yang dominan
dalam melihat serta memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Imajinasi itu mencoba
menghadirkan suasana saat turunnya Al-Qur’an dalam kehidupan terkini dengan
maksud untuk menghayatinya supaya Al-Qur’an bisa diamalkan.3

3
Oom Mukarromah, Ulumul qur’an, (Depok, PT RAJA GRAFINDO PERSEDA, 2013), hal 115-
120.

32
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesmpulan bahwa Al-Zarkasyi yang
dikutip oleh Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan adalah fungsi tafsir
itu sendiri. Di dalam al-Qur’an kata tafsir diungkap hanya pada satu surah dan
satu ayat yakni pada surah al-Furqan ayat 33.
ِّ ‫ك بِ ْال َح‬
33 ۗ ‫ق َواَحْ َسنَ تَ ْف ِس ْيرًا‬ َ َ‫َواَل يَْأتُوْ ن‬
َ ‫ك بِ َمثَ ٍل اِاَّل ِجْئ ٰن‬
Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan
penjelasan yang paling baik.
Dengan demikian pernyataan: “Bahwa syarat untuk memahami Alquran
tidak harus bisa berbahasa Arab –yang merupakan salah satu syarat menjadi
mufasir- adalah benar jika ditinjau dari sudut terminologi mufasir, tapi tidak untuk
epistemologi”. Pernyataan Kajur di atas berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
17 ‫َولَقَ ْد يَسَّرْ نَا ْالقُرْ ٰانَ لِل ِّذ ْك ِر فَهَلْ ِم ْن ُّم َّد ِك ٍر‬
"Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka adakah
orang yang mau mengambil pelajaran?."
. Corak (laun) penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru,
melainkan telah dikenal sejak turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah Saw. dan itu
diisyaratkan sendiri oleh Al-Qur’an. Selain itu, Nabi pun. memberitahukannya
kepada para sahabat. Beliau bersabda:
‫لكل أية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع‬
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-
batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya”.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ajahari. (2018). Ulumul Qur'an (Ilmu-Ilmu Al-Qur'an). Yogyakarta: Aswaja


Pressindo.

Arifin, Z. (2018). Pengantar 'Ulumul Qur'an. Medan: Dut Azhar.

Mukarromah, O. (2013). Ulumul Qur'an. Depok: PT RAJA GRAFINDO


PERSEDA.

34

Anda mungkin juga menyukai