Anda di halaman 1dari 18

ARTIKEL

Kontribusi Al-Quran Dalam Pemberantasan Korupsi

DOSEN PEMBIMBING
Abdul Basid S.Th.I, M.Th.I,Ph.D.

Nama Anggota Kelompok : 1. Melia Marisa Salsabila (220211608737)


2. Miftahul Jannah (220211608940)
3. Irhash Burhanudin Ali (220211610256)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS SASTRA
SASTRA INDONESIA
Abstrak

Tulisan ini dilatar belakangi oleh adanya beberapa ayat Al-Qur`an yang
menjelaskan tentang persoalan korupsi. Namun selama ini ayat-ayat tersebut
kurang mendapat tempat dalam aspek dasar hukum maupun dalam lingkup
penelitian. Studi terhadap makna korupsi dalam Al-Qur`an difokuskan pada
pemahaman ayat-ayat Al-Qur`an dengan telaah dan analisis penafsiran kitab-
kitab tafsir. Dalam tulisan ini akan dianalisis pandangan Al-Qur`an dan tentu
saja interpretasi para mufassir terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang terkait dengan
masalah praktik korupsi dengan menggali penafsiran berbagai mufassir dalam
berbagai karya tafsir. Beberapa term dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang mendekati
makna dan praktik korupsi diantaranya adalah perampokan (al-ḣarb), pencurian
(as-sarq), term penghianatan (al-ghulul), dan penyuapan (as-ṣuht).
Tujuan pendidikan islam adalah peningkatan akhlak mulia. Indikator dalam
peningkatan akhlak adalah berkurangnya perilaku buruk, salah satunya adalah perilaku
korup. Penanaman nilai antikorupsi dalam pendidikan islam yang berorientasi kontekstual
dengan mengembangkan kompetensi pendidikan yang bersifat moralitas pribadi dan
moralitas publik adalah tujuan utamanya. Korupsi pada hakikatnya berawal dari kebiasaan-
kebiasaan korup yang dilakukan secara kontinu yang kemudian tanpa disadari menjadi hal
lumrah. Upaya pemberantasan tentunya diimbangi dengan upaya pencegahan. Salah satu
upaya pencegahan itu dengan internalisasi nilai antikorupsi dalam Al-Qur’an sebagai
bagian dari kurikulum pendidikan islam adalah strategi terbaik dalam memerangi korupsi.
Pendidikan antikorupsi secara jelas diarahkan untuk memupuk kesadaran peserta didik
dalam menentang bentuk kemungkaran sosial, kejahatan kemanusiaan yang komunal dan
melibatkan publik. Secara eksplisit lebih diarahkan kepada peningkatan iman dan takwa
dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta penyemaian
nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan aplikatif.

Kata kunci: pendidikan, antikorupsi Abstract


Pendahuluan
Persoalan yang lebih mendasar dalam pemahaman agama adalah bahwa masyarakat
tidak menyadari bahwa mengkomsumsi makanan yang didapat dari mencuri milik orang
lain sama haramnya dengan daging babi atau daging anjing. Tapi masyarakat umumnya
lebih takut mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi sesuatu yang berasal dari babi
dari pada mengkonsumsi makanan yang seluruhnya berasal dari harta korupsi. Keharaman
karena wujudnya ternyata lebih ditakuti dai pada keharaman karena upaya memperolehnya.
Bangsa indonesia tengah menghadapi berbagai permasalahan yang pelik seputar krisis
multi dimensional serta problem lain yang menyangkut tatanan nilai yang sangat menuntut
adanya upaya pemecahan yang sangat mendesak. Problematika yang menyangkut struktur
nilai dalam masyarakat salah satunya adalah korupsi. Semakin akutnya permasalahan
tersebut, sebagian orang menganggap bahaya laten korupsi di Indonesia dikatakan telah
membudaya dan menjadi epidemi yang akut. Akibat dari mengakarnya korupsi selanjutnya
dapat dilihat dengan semakin meluasnya kemiskinan, Korupsi bermetamorfosa menjadi
cara berfikir dan cara hidup masyarakat untuk memperoleh kekayaan dan menjadi jalan
pintas untuk memperkaya diri atau golongan secara cepat.2 Korupsi memang merupakan
problematika yang pelik yang hampir menjamur di seluruh Negara. Bukan hal yang asing
bahwa seruan penolakan korupsi terdengar kencang, masyarakat pun dibuat heran ketika
Departemen Agama yang notabenenya lembaga representatif untuk menjadi uswah dan
penggerak nilai-nilai keagamaan secara normative kolektif malah ikut terlihat dalam kasus
korupsi. Temuan BPK tahun 2002 menegaskan korupsi terbesar dari negeri ini justru terjadi
di Departemen Agama, menyusul kemudian Departemen Pendidikan Nasional yang di
dalamnya penuh dengan orang-orang yang semestinya menjadi teladan moral bagi
masyarakat luas. Bahkan beberapa waktu yang lalu justru menteri agama yang menjadi
tersangka kasus korupsi.
Lantas bagaimana islam memandang kasus korupsi ini? Dalam hukum Islam,
perbuatan korupsi memang tidak dibenarkan. Agama Islam membagi istilah korupsi dalam
beberapa poin, yakni risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al-gasysy atau penipuan
dan pengkhianatan. Ketiga hal tersebut adalah perbuatan tercela dan yang melakukannya
akan mendapatkan dosa besar alias hukumnya haram.

‫اس ِب ۡال ِۡث ِما َواَ ۡنـتُمۡا تَعۡ لَ ُم ۡون‬


‫ل النَّ ِ ا‬ ‫ل َوت ُ ۡدلُ ۡوا ِب َها ٓۡ اِلَى ۡالحُـ َّک ِا‬
‫ام ِلت َۡاکُلُ ۡوا ف َِر ۡيقًا م ۡا‬
‫ِن اَمۡ َوا ِا‬ ‫ل ت َۡاكُلُ ۡ ٓۡوا اَمۡ َوالَـكُمۡا َب ۡينَكُمۡا ِب ۡالبَاطِ ِا‬
‫َ َو َ ا‬

Artinya: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu
dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui."
Kajian Teori

Sebelumnya, ada sebuah video yang menunjukan Rektor salah satu universitas di Indonesia
yang melakukan aksi dugaan suap terkait penerimaan calon mahasiswa baru. Mereka ialah
Rektor Unila periode 2020-2024 Karomani, Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila
Heryandi, Ketua Senat Unila Muhammad Basri, dan pihak swasta bernama Andi Desfiandi.
Menurut KPK, Karomani Cs. meminta besaran anggaran mulai Rp100-350 juta kepada para
orang tua untuk menjamin anaknya bisa lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru Unila.
Atas perbuatannya, Karomani, Heryandi, dan Muhammad Basri selaku penerima suap
disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Andi Desfiandi selaku pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1
huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) langsung bergerak untuk menunjuk Pelaksana
Tugas (Plt) Rektor Unila usai Karomani ditetapkan tersangka.
Mendikbud Nadiem Makarim telah menunjuk Direktur Sumberdaya Ditjen Pendidikan
Tinggi Sofwan Effendi sebagai pengganti Karomani.

Korupsi merupakan satu penyakit akut dan kejahatan dahsyat (extra ordinary crime) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mewabahnya penyakit korupsi telah merusak sendi-
sendi dan tatanan sosial dalam segala aspek kehidupan. Maka tugas pemberantasan korupsi
tidak boleh hanya mengandalkan peran KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian semata. Akan
tetapi, pemberantasan korupsi harus menjadi tanggung jawab kolektif seluruh elemen
warga bangsa.

Pemberantasan korupsi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan,


khususnya di Indonesia. Jika ditinjau dari beberapa penyebab yang ada, maka
pemberantasan dan pencegahannya pun harus dilakukan tindakan yang serius, dan
kerja sama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum dan seluruh
masyarakat untuk bersama-sama memberantas korupsi.
Dalam hal ini, perlu kiranya mencari landasan teologis mengenai Korupsi agar
masyarakat memiliki kesadaran untuk menghindarinya. Meskipun faktanya tidak
sedikit pelaku korupsi adalah orang yang memahami agama.
Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang berkaitan denga korupsi. Salah satunya
yang tercantum di dalam
QS. Ali Imran 161:
‫ن‬ ‫ل يَو َام ٱل ِقيَا َم ِاة ث ُ َّام ت ُ َوفَّىا كُلا نَفسا َّما َك َسبَتا َوهُما ا‬
‫لَ يُظلَ ُمو ا‬ ‫غ َّا‬ ‫َ َو َما كَانَا ِلنَ ِبىا أَنا يَغُ َّال َو َمنا يَغلُ ال يَأ ِا‬
َ ‫ت ِب َما‬
“Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan
perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan membawa
apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang
sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.”
Dalam ayat tersebut ada poin yang dapat diambil; pertama, pentingnya mengetahui
teori tentang korupsi. Banyak membaca, mempelajari Al-Qur’an, mengetahui korupsi
; sebab, akibat maupun jenisnya. Kedua, menanamkan kejujuran dan keadilan. Tidak
menggunakan kekuasaan untuk korupsi.
Ketiga, pembentukan karakter anti korupsi. Segala usaha menjaga diri agar tidak
terjerumus dalam korupsi (Tazkiyah). Keempat, keseimbangan antara balasan dan
perbuatan merupakan aturan ilahi. Kelima, pendidikan dengan hikmah dan terakhir
kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman utama kehidupan.

Dalam ayat lain Allah berfirman:


‫عن ُهما فَلَن يَضُروكَا شَيئا ً َوإِانا َحكَمتَا‬ َ ‫ت فَإِن َجآ ُءوكَا فَٱحكُما بَينَ ُهما أَ او أَع ِرضا‬
َ ‫عن ُهما َوإِن تُع ِرضا‬ ‫ب أَ َّكالُونَا لِلسح ِا‬‫َس َّماعُونَا لِل َك ِذ ِا‬
‫ن‬
‫ٱّلل يُحِ با ٱل ُمقسِطِ ي ا‬ ‫َفَٱحكُما َبينَ ُهما ِبٱلق ا‬
‫ِسطِا ِإنَّا ََّا‬
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram (Seperti uang sogokan dan sebagainya). Jika mereka (orang
Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari
mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika
kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al–suht adalah harta
haram. Ibn Khuzaim Andad, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi, menjelaskan,
bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah bila seseorang makan karena
kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang
meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali
dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya.
Jika kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi
pada konteks kekinian.

Adapun isyarat pendidikan anti korupsi dari ayat tersebut adalah tentang pentingnya
mengetahui indikasi kebohongan yang dilakukan para koruptor untuk mengamankan
perkara mereka. Seperti upaya orang-orang Yahudi dalam mempermainkan hukum
sesuai kepentingan mereka, bahkan memojokkan Rasulullah sebagai hakim
sebagaimana dalam ayat tersebut.

Berikutnya menumbuhkan rasa percaya diri dan keimanan kepada Allah (spiritual
question) kecerdasan spiritual. Meyakini tidak akan hancur dan jatuh apabila
meninggalkan korupsi. Biasanya ketika seseorang sudah merasa ketakutan akan
kehilangan jabatan ataupun pengaruhnya, selalu berusaha menutupinya walaupun
harus menyuap mahal untuk.

Dalam ayat lain Allah Swt juga berfirman dalam Q.S. al-Maidah (5) ayat 38

‫يز َحكِيم‬
‫ع ِز ا‬
َ ‫ٱّلل‬ ‫ط ُع ۤوا أَي ِد َي ُه َما َجزَ آ ًاء ِب َما َك َس َبا نَكَا ا‬
ِ‫لً مِنَا َّا‬
ُ‫ٱّلل َو َّا‬ َ ‫َّارقَةُا فَٱق‬
ِ ‫َّارقُا َوٱلس‬
ِ ‫ٌ َوٱلس‬

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah
bin Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang
mencuri maka datanglah orang yang kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. “Wahai
Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami.”
Maka wanita itu berkata “Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah
tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.”
Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan
kanannya. Kemudian wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku
bertobat?” Jawab Nabi saw, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana
engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah ayat tersebut.
Dari ayat tersebut memberikan pelajaran tentang pentingnya penegakan hukum yang
adil dan tegas. Selain itu juga perlu membangun kekuatan iman sehingga tidak
tergoda dengan limpahan harta untuk mengkhianati hukum tersebut. Rasulullah
bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada
mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah
atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan Engkau
lemah.

Kekuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kekuatan iman, kekuatan dalam
menjaga ketaatan kepada Allah, menjauhi larangannya. Menjaga diri dalam
memperoleh yang halal dan menjauhi haram. Kekuatan iman akan mendorong
seseorang mampu menghadapi godaan nafsu-setan; menahan diri dari berbuat
maksiat; menahan diri dari perbuatan sia-sia; dan menahan diri dari pebuatan yang
merugikan orang lain seperti korupsi.

Kekuatan iman mendorong seseorang mampu membaca situasi dan kondisi dengan
benar. Kekuatan iman membuat pemiliknya mampu membaca tipu-daya musuh-
musuh Allah terhadap umat Islam. Kekuatan iman pula yang menjadikan seseorang
tidak takut kepada siapa pun selain Allah.

Ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya tazkiyatun nafs. Pembersihan diri.
Baik dari sendiri, dengan berani mengakui kesalahan dan menerima hukuman.
Ataupun dari orang lain, ketika hukum telah dilaksanakan dan orang yang
bersangkutan mau bertaubat, maka patut untuk dihargai, sebagaimana Rasulullah
berkata kepada perempuan tersebut : “Engkau kini telah bersih dari dosamu
sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”.

Pesan terakhir ayat ini adalah agar umat Islam menyiapkan generasi berkarakter kuat
(perkasa) dan bijaksana dalam menghadapi segala persoalan. Karena itulah Allah
menutup ayat yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pencuri yang
berusaha menyuap tersebut.
Penyebab marakanya Korupsi dan sanksi hukum terhadap pemberantasa
korupsi di Indonesia.

Penyebaba marakanya Korupsi di Indonesia


Korupsi adalah bentuk penyakit masyarakat yang merupakan produk dari lemahnya
sistem pemerintahan saat ini. Korupsi tidak muncul secara spontan, tetapi lebih banyak
diakibatkan oleh sistem yang salah dalam perekrutan atau pemilihan figur pimpinan atau
pengemban amanah untuk jabatan tertentu. Diantara faktor-faktor yang menyebabkan
maraknya praktek korupsi adalah karena lemahya iman dan penghayatan para pejabat
Negara terhadap ajaran-ajaran agama, serta ketidak mengertian mereka tentang hukum
korupsi ( Rasyid, 2003: 317). Banyak pakar sudah melakukan analisis mengenai hal ini.
Berdasarkan hasil analisis terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi seperti Singh
(1974), Merican (1971) dan Ainan (1982), Erika Evida (2003) menyatakan bahwa sebab-
sebab terjadinya korupsi adalah Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya; Warisan pemerintahan
colonial dan sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal,
tidak ada kesadaran bernegaraserta tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah ( Revida, 2003 : 3).

Faktor lain yang menyebabkan terjadinya korupsi diantaranya faktor politik, dan
ekonomi. Kekuasaan politik merupakan aspek paling dominan bagi tumbuh suburnya
perbuatan korupsi. Negara bisa berubah dari institusi yang melayani masyarakat menjadi
institusi yang dilayani. kekuasaan bisa menjadi sumber kolusi, korupsi, nepotisme yang
menguntungkan orang-orang yang memiliki kedekatan atau sengaja mendekat dengan
kekuasaan. Dari aspek ekonomi, ketika kebutuhan semakin tinggi, sementara uang yang
dimiliki tidak mencukupi kebutuhan tersebut, korupsi akan semakin mudah tumbuh dan
berkembang. Bukan hal yang mengagetkan jika ternyata korupsi bukan hanya dilakukan
oleh para pejabat pemerintahan atau para pengusaha, namun juga dilakukan oleh tukang
parkir sepeda motor, jasa retriribusi, dan lain sebagainya. Selain itu lemahnya penerapan
hukum terhadap kasus korupsi membuat kasus-kasus korupsi berkembang seperti jamur
dimusim hujan. Pemberian hukuman yang ringan bagi koruptor atau bahkan pembebasan
mereka justru membuat pejabat semakin berani melakukan kejahatan ini ( Baidawi, 2009 :
144-145).
Berdasarkan kajian dan pengalaman yang ada, setidaknya ada 8 penyebab terjadinya
korupsi di Indonesia yaitu, sistem penyelenggaraan Negara yang keliru, kompensasi PNS
yang rendah, pejabat yang serakah, law enforence tidak berjalan, hukuman yang ringan
terhadap koruptor, pengawasan yang tidak efektif, tidak ada keteladanan pemimpin, dan
budaya masyarakat yang kondusif KKN. Praktek korupsi terjadi karena adanya motif
pelaku. Beberapa motif di bawah ini biasanya mendasari para pelakunya, antara lain :
keinginan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya ( materialisme, keinginan untuk
memenuhi seluruh kebutuhanyya, takut terhadap kemiskinan, dan ingin cepat kaya dalam
waktu cepat ( Abdur rafi’: 2004: 12-15).

Akar permasalahan korupsi sebenarnya ada dua yakni orangnya dan sistemnya,
dimana keduanya harus ada secara bersamaan. Hanya orang yang amanah yang bisa
menghindarkan diri dari tindak pidana korupsi dan berani menindak orang yang korupsi.
Namun demikian, orang yang amanah saja tidak cukup jika mereka berada di sistem yang
rusak. Sudah banyak contoh dimana orang-orang yang baik yang kemudian menjadi
berakhlak tidak baik karena dipaksa oleh sistem yang buruk ( media umat edisi 91, 2012:
4).

Secara moral korupsi akan mendidik masyarakat untuk bermoral munafik,


memperluas budaya menjilat, memasyarakatkan penipuan, penyuapan dan sebagainya.
Sangat menyedihkan ketika korupsi bukan lagi terjadi dikalangan elit, melainkan sudah
merambah ke tingkatyang lebih rendah bahkan sampai ke pedesaan. Alih-alih menjadikan
masyarakat yang mandiri, kuat, berkepribadian, siap mengahadapi tantangan global, dan
lain-lain, korupsi justru akan menghancurkan masyarakat sehingga menjadi masyarakat
yang lumpuh dan tentu tidak akan mampu bersaing di tingkat global

Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,


ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber
negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing,
ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan tentunya akan sangat berdampak
terhadap kemajuan bangsa Indonesia ( Revida, 2003 : 3).
MENYOROT LEMAHNYA SISTEM SANKSI TERHADAP PEMBERANTASAN
KORUPSI

Sanksi hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia


Sanksi tindak pidana korupsi tercantum dalam pasal 28 UU No. 3 tahun 1971:
“Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud pasal 1 ayat 1 dan ayat 2
UU ini dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20
tahun dan/atau denda setinggi-tingginya tiga puluh juta rupiah.” Pada harian “Berita
Buana” yang terbit pada hari Jum’at tanggal 26 Juli 1991, sdr. Daniel Marshall menulis “
Keampuhan Undang-undang pemberantasan korupsi” yang sebagian dari tulisan tersebut
antara lain: “ kesulitan menjerat tersangkan pelaku tindak pidana korupsi karena gagalnya
jaksa memberikan alat bukti yang meyakinkan hakim, sering mengundang pendapat agar
sistem pembuktian dalam perkara korupsi menggunakan system pembuktian terbalik.
Sering terjadi menurut opini umum, tersangka benar-benar melakukan perbuatan korupsi
yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya yang jauh diatas penghasilan
resminya. Namun, hal ini dapat menjadi sangat lemah mengingat tali temali korupsi sering
begitu ruwet disamping pintarnya terdakwa menghilangkan jejak sehingga jaksa tidak
berhasil meyakinkan hakim akan tuduhannya.

Berdasarkan fakta “ putusan pengadilan negeri/ putusan pengadilan tinggi” dapat


diketahui bahwa terdakwa dibebaskan antaralain disebabkan: surat dakwaan yang salah,
tidak terbukti, penafsiran penuntut umum yang berbeda dengan penafsiran pengadilan
negeri / tinggi mengenai suatu unsur. Harus diakui bahwa pengungkapan tindak pidana
korupsi memang ruwet maka penanganannya memerlukan konsentrasi dan kecermatan
disamping pemahaman yang benar-benar terhadap UU No. 3 tahun 1971 tentang dakwaan
( Marpaung, 1992: 162).

Kasus tersebut diatas hanya sebagian kecil membuktikan bahwa sistem sanksi
dalam konsep memang baik tapi dari pelaksanaannya sangat jauh dari harapan. Korupsi
makin merajalela karena undang-undang dan lembaga hukum telah gagal melaksanakan
tugasnya. Termasuk di dalamnyalemahnya sistem peradilan, karena tidak ada kemauan
untuk memperkuat sistem itu. Bila kita bicara undang-undang anti korupsi, kita tidak
hanyabicara soal hukum pidana dan hukum pembuktian. Ada banyakundang-undang lain
yang berkaitan erat dengan undang-undang anti korupsi. Berbeda dengan tindakan pidana
lainya, tindak pidana korupsibiasanya tidak memiliki korban yang jelas-jelas melapor.
Karena itu bukti-bukti tindak pidana korupsi sangat sulit diperoleh.
Walau demikian bukti-bukti dapat dicari dengan melakukan uji integritas yang
dilakukan oleh petugas khusus. Kemudian pihak-pihak yang diduga telah mclakukan
korupsi didorong untuk memberikan bukti. Sebelum hukum pidana barn diaktifkan
sebaiknya dipastikan
bahwa hukum itu mudah dimengerti dan tidak menimbulkan perdebatan teknis antar
pengacara yang dapat mengagalkan maksud pembuatan undang-undang. Undang-undang
itu tidak mengharuskan penuntut umum membuktikan suatu fakta yang dalam kenyataan
tidak diperlukan. ( Jeremy popy, 2008: 57-58).

Lemahnya sistem sanksi terhadap koruptor juga dipengaruhi oleh praktek korupsi
banyak dilakukan oleh para politisi, juga para pejabat Negara untuk mendapatkan dana
guna membiayai proses-proses politik mereka dalam meraih jabatan politik. Memang
masih ada pejabat public yang dalam meraih jabatannya tidak banyak mengeluarkan dana,
tapi itu hanya satu dua saja. Kebanyakan harus dengan dana besar. Bila itu dilakukan oleh
para pemimpin, bagaimana praktik korupsi ini bisa diberantas?

Ada kcmungkinan sebagian besar orang yang berusaha memberantaskorupsi sudah


patah semangat, tidak percaya pada praktek demokrasi dan kembali mendambakan
pemerintahan yang otoriter. Di pihak lain semangat internasional mungkin juga sudah
mulai luntur, karena kasus korupsi adalah masalah yang sangat kompleks dan
membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya ( media umat edisi 91, 2012: 9).
Sebagai upaya dalam memberantas korupsi hingga ke akarnya di Indonesia, maka
integrasi sistem syariah Islam merupakan salah satu solusi yang bisa di adopsi.

Implementasi Fiqih Anti Korupsi dalam Upaya Pemberantasan


Korupsi di Indonesia

Korupsi merupakan penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan


merusak tatanan hidup bernegara. Korupsi adalah perbuatan untuk mencari keuntungan
pribadi atau golongan dengan merugikan keuangan Negara. Di dalam kaidah ushul fiqih
disebutkan bahwa tiada suatu peristiwa pun di dalam islam, melainkan disitu ada hukum
Allah. Oleh karena itu bentuk-bentuk korupsi apabila ditinjau dari sisi syariat islam dapat
diklasifikasikan dengan nama sebagai berikut: suap menyuap (ar-risywah), pungutan-
pungutan liar secara paksa ( al-ghasbu), penipuan (al-ghurur), penyelewengan ( al-
khiyanah), dan penggelapan uang Negara ( al-ghulul) ( Abdur rafi’, 2006: 1-2).
Dengan mengetahui nama-nama yang telah termaktub dalam sistematika syariat
islam tersebut, maka akan berguna sebagai acuan seorang muslim agar menjauhi sagala
bentuk praktik korupsi yang kotor dan keji. Banyak kaum muslimin yang menganggap dosa
korupsi ini sebagai dosa kecil, buktinya korupsi dinegara kita menduduki peringkat sepuluh
besar di dunia menurut Transparancy International Indonesia, padahal mayoritas
penduduk Indonesia beragama islam dan ternyata koruptor-koruptornya juga yang
beragama islam.

Harapan bebas dari korupsi hanya bisa terjadi jika pemberantasan korupsi dilakukan
menggunakan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor muncul dan
langgengnya korupsi. Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah syariah islam. Hal
itu mengingat : pertama dasar akidah islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh
Allah, kedua sistem politik islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah
tidak mahal, ketiga, politisi, dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak
tergantung oleh parpol, keempat struktur dalam sistem islam semuanya berada dalam satu
kepemimpinan khalifah, kelima, praktek korupsi andai terjadi bisa diberantas dengan
sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tak terjadi, sebab Allah SWT telah menjelaskan
didalam QS. Ali-Imran : 161. “ Barang siapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat
ia akan datang membawa hasil kecurangannya. “. Nabi SAW bersabda: siapa dari kalian
kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu ia menyembunyikannya sebatang jarum atau
lebih maka itu adalah ghulul yang ia bawa pada hari kiamat ( HR. Muslim dan Abu Dawud)
( Al-islam edisi 626, 2012 : 3).

Penerapan sistem syariah telah dibuktikan pada masa pemerintahan khalifah Umar
bin Khattab ra dan disetujui para sahabat sehingga menjadi ijmak sahabat. Harta pejabat
dan pegawai dicatat. Jika ada kelebihan yang tak wajar, maka yang bersangkutan wajib
membuktikan hartanya diperoleh secara legal. Jumlah yang tidak bisa dibuktikan, bisa
disita seluruhnya atau sebagian dan dimasukkan ke kas baitul mal. Islam memandang
bahwa kepribadian (syakshyiah) para pejabat Negara yang melayani kepentingan
masyarakat, mengelola keuangan Negara, menjaga harta kekayaan milik kaum muslimin
dan menjalankan sistem hukum islam ditengah-tengah masyarakat harus qualified. Orang
yang benar-benar muslim tidak akan melakukan korupsi sebab ia amat paham bahwa Allah
senantiasa mengawasi dirinya dan menuntut pertanggung jawaban atas tindakan yang
dilakukannya. Jadi jika seorang pejabat tidak lagi mempunyai sifat takwa, tidak takut
terhadap pengawasan Allah SWT, maka dapat dipastikan ia memiliki sifat zalim dan
menindas rakyat ( Abu fuad, 2003: 140).
Berdasarkan fakta historis, maka untuk memberantas korupsi diperlukan seorang
pemimpin yang amanah dan tegas. Seorang pemimpin yang harus menjadi figur pejabat
paling bersih di negeri ini, dimana jika dia bebas dari korupsi maka pasti akan bisa bersikap
tegas terhadap bawahan dan pemimpin lain untuk tidak melakukan korupsi. Ismail
menjelaskan, harus ada dua dua pembenahan sekaligus bagi negeri ini jika ingin lepas dari
korupsi,yaki pemilihan pemimpin yang amanah dan penerapan system yang baik. Rakyat
butuh keteladanan seorang pemimpin. Namun, pemimpin yang baik pun tidak akan bisa
terbebas dari korupsi jika sistemnya memang memicu dan memacu korupsi. Oleh karena
itu, harus ada ada perubahan system. Sistem yang baik adalah sistem yang datang dari Yang
Maha baik, Allah SWT, yakni sistem syariah islam. Sistem ini dibangun berdasarkan
keimanan, dimana suasana iman melekat dalam setiap orang sehingga ini menjadi kontrol
yang melekat untuk tidak mengkhianati amanat rakyat. Sistem ini memiliki perangkat
hukum yang tegas bagaimana menghukum para koruptor dan menciptakan suasana
keimanan ditengah-tengah aparat Negara sehingga mereka takut berbuat maksiat. ( media
umat edisi 91, 2012: 7 dan 4). Maka Allah bertanya: Apakah hukum jahiliah yang mereka
kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-
orang yang yakin?”. ( Q.S Al-maidah : 50). Oleh karena itu membangun fiqih antikorupsi
merupakan salah satu implementasi solusi sistem syariah islam yang dapat diterapkan di
Indonesia saat ini.

Berbagai upaya untuk memberantas korupsi telah dilakukan oleh beberapa organisasi
Islam di Indonesia seperti Nahdatul ulama dan Muhammadiyah dengan mengadakan
diskusi dan menerbitkan buku-buku yang berisi tentang tawaran untuk pemberantasan
korupsi di Indonesia. Fiqih antikorupsi menjadi salah satu gagasan yang penting
dikemukakan sebagai bagian dari cara ulama islam memandang korupsi. Meskipun
islam tidak mengenal istilah korupsi, namun korupsi memiliki sejumlah persamaan
dengan jenis-jenis kejahatan yan dikenal dalam islam. Istilah-istilah seperti ghulul,
risywah, dan lain sebagainya sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya merupakan
beberapa istilah untuk menyebut kejahatan yang ada kesamaannya dengan korupsi (
Baidowi, 2009: 11).
Dengan melihat adanya kemiripan unsur antara “ghulul”, “risywah”, dan lain-lain
dengan korupsi ini kiranya bisa menjadi contoh mengenai pemberian sanksi pada pelaku
korupsi. Sanksi-sanksi ini khususnya untuk hukuman di dunia yang bisa dijatuhkan kepada
pelaku korupsi mulai yang paling ringan, hingga yang berat bisa berupa teguran peringatan,
masuk daftar orang tercela, pemecatan, hukum cambuk, membayar denda, kurungan,
pengasingan, potong tangan, penyaliban, dan hukum mati.

Dilihat dari jenis-jenis korupsi yang dilakukan, maka hukumannya bisa


dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok jarimah hudud. Bentuk korupsi
yang termasuk dalam kelompok ini adalah pencurian dan perampokan. Dalam kasus
pencurian, al-qur’an menentukan hukum potong tangan untuk pencuri yang telah
memenuhi syarat dihukum dengan hukuman tersebut. Sebagian cendekiawan menafsirkan
hukuman potong tangan sebagai hukuman administrative, seperti dicopot dari jabatannya.
Sebagian yang lain memahami hukum potong tangan sebagai hukuman tertinggi yang bisa
dijatuhkan kepada pelaku pencurian . Dengan kata lain, hukuman yang bisa dijatuhkan
kepada pencuri bisa lebih rendah dari hukuman potong tangan tersebut. Semisal penjara
atau diasingkan. Sementara itu, dalam kasus perampokan hukuman yang bisa diberlakukan
adalah hukuman mati, salib, hukum potong tangan berselang seling atau dibuang ( penjara
seumur hidup) sesuai dengan kadar perampokan yang dilakukan. Tentu saja hukuman ini
bisa dimodifikasi dalam konteks budaya lokal Indonesia.

Kedua, korupsi jarimah ta’zir, dimana jenis hukuman belum ditetapkan


sebagaimana dalam kategori jarimah hudud. Hukuman untuk pelaku jarimah ta’zir ini
menjadi wewenang penuh pemerintah untuk menetapkannya. Beberapa jenis hukuman
yang bisa dijatuhkan adlah hukuman mati, cambuk, penjara, hukuman buang, dicela,
dikucilkan, dipecat dari jabatan, pencabutan hak tertentu seperti hal menjadi pegawai negeri
hak memilih, hak dipilih dan lain-lain. Ketiga, korupsi jarimah mukhalafah, yaitu hukuman
yang diberikan kepada pegawai atau sesorang yang melakukan kekurangdisiplinan atau
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan pemerintah seperti menyimpan rahasia jabatan,
menyimpan surat rahasia, larangan menerima hadiah saat menjabat, dan lain-lain.
Fiqih antikorupsi ini merupakan upaya para ulama islam untuk memandang dan
memberantas korupsi di Indonesia. Ismail Yusanto (2011) mengemukakan ada empat cara
sistem syariah islam dalam memberantas korupsi : pertama, sistem penggajian yang
layak,kedua, larangan menerima suap dan hadiah, tentang suap, Rasulullah SAW bersabda,
“ Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR.Abu dawud). Ketiga,
penghitungan kekayaan, dan keempat, hukuman setimpal.

Berdasarkan pemaparan diatas maka peran fiqih antikorupsi sangat relevan dengan
hal tersebut di lingkungan Indonesia. Walaupun sesungguhnya dalam UU Antikorupsi juga
ada sanksi seperti pada fiqih antikorupsi ini. Akan tetapi yang menjadi nilai plus dalam
fiqih antikorupsi adalah ketika akan diterapkan ada nilai takwa. Sistem islam menanamkan
iman kepada seluruh warga Negara, terutama para pejabat Negara. Dengan iman, setiap
pegawai merasa wajib untuk taat kepada aturan allah swt. Masing- masing sadar akan
konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya, karena tidak ada satu pun
perbuatan didunia yang lepas dari hisab ( perhitungan) Allah SWT.

Dengan iman akan tercipta mekanisme pengendalian diri yang handal. Dengan iman
pula, para birokrat, juga semua rakyat akan berusaha mencari rezki secara halal dan
memanfaatkannya hanya di jalan yang di ridhai Allah. Telah jelas dalam firman Allah SWT
dalam Q.S Al-baqarah : 208: “ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu. “

Dalam UU Tindak Pidana Korupsi No.31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang
termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah “setiap orang yang dikategorikan melawan
hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”. Bermakna bahwa perilaku korupsi merupakan sebuah
perilaku yang memenuhi unsur-unsur kecurangan, penipuan, penyalahgunaan wewenang,
memperkaya diri atau golongan yang merugikan keuangan negara.

Sebab itu, jika menilik unsur-unsur korupsi dalam pengertian di atas, maka
hakikatnya korupsi bukan hanya perilaku yang melanggar aturan perundangan, akan tetapi
juga melenceng dari aturan agama. Maka mencegah korupsi hendaknya bukan saja
menggunakan pendekatan penegakan hukum (law inforcement) semata. Tapi juga
menggunakan pendekatan agama (religion approach). Hemat penulis mencegah perilaku
korupsi menggunakan pendekatan agama, semisal pemahaman, pengamalan, dan
doktrinasi agama; lebih efektif dibandingkan hanya mengandalkan penegakan hukum.
Perilaku koruptif
Meskipun secara konkret terminologi korupsi tidak ditemukan dalam Alquran. Tapi,
jika menilik Alquran secara mendalam (holistic) dan komprehensif (syamil), ditemukan
sejumlah larangan yang mengarah kepada perilaku koruptif di antaranya: Pertama, mencuri
(as-sariqu). Firman Allah Swt, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-
Maidah: 38).

Menurut Ibnu Katsir mencuri merupakan perilaku mengambil harta orang lain
secara sembunyi-sembunyi tanpa kerelaannya. Sedangkan wa sebelum kata as-sariqu
dalam ayat di atas merupakan taukid, yakni sebuah penegasan terhadap perintah potong
tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan.

Jika dikaitkan dalam terminologi korupsi yang berlaku dalam perundangan, maka
korupsi merupakan bagian dari as-sariqu, sebab merugikan keuangan negara. Maka
seseorang yang berperilaku korupsi, bukan hanya layak disebut koruptor, tapi juga pencuri
atau maling. Bahkan, pencuri atau maling uang negara yang mencapai miliaran dan
triliunan itu lebih berbahaya. Sebab, keberadaannya dapat merusak perekonomian secara
terstruktur dan massif. Lazimnya keuangan negara dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pemberdayaan ekonomi rakyat, perbaikan infrastruktur, menambah sarana dan prasarana
pendidikan, membangun proyek monumental yang dapat menyerap tenaga kerja. Tapi,
dirampas dan dicuri oleh oknum-oknum tertentu dengan cara menyalahgunakan wewenang
dan jabatan.

Kedua, berkhianat (ghulul). Firman Allah Swt, “Tidak mungkin seorang Nabi
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam
urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia
kerjakan dengan pembalasan setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran:
161). Para ulama menguraikan bahwa ghulul merupakan sebuah perilaku mengambil harta
di luar hak yang telah ditetapkan atau berkhianat. Dalam konteks ayat di atas yakni tentang
harta rampasan perang (ghanimah). Sebab itu, ghulul merupakan bagian dari perilaku
korupsi yang diancam azab bagi sipelakunya dalam Alquran.

Dari sana juga dapat dipahami bahwa korupsi bukan hanya dilakukan oleh seorang
pejabat negara atau pegawai pemerintahan. Tapi, korupsi bisa saja dilakukan oleh pekerja
zakat (amil) untuk menggelapkan uang zakat, pedagang yang mengurangi timbangan,
penggelapan sedekah dan infak di masjid atau meunasah, dan lainnya. Sebab itu, perilaku
korupsi bukan hanya ada di kantor-kantor pemerintahan, tapi bisa saja perilaku korup
gentayangan di masjid, di lembaga amal dan zakat, di lembaga pendidikan, dan pasar.
Banyak orang merasa tidak berperilaku korupsi karena tidak ditangkap KPK, padahal
mereka sedang berperilaku korup. Korupsi miliaran dan trilunan diawali dari korupsi ribuan
dan puluhan.

Ketiga, memakan harta orang lain secara tidak benar (bathil). Firman Allah Swt,
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan
berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 188). Sebab turunnya (asbabun
nuzul) ayat ini berkenaan dengan Imril Qais yang berkelahi dalam perkara perebutan tanah
dengan bersumpah di depan hakim, padahal tanah itu bukan haknya. Maka ayat ini
diturunkan sebagai larangan untuk merampas (al-hirabah) dan memakan harta orang lain.
Korupsi bagian dari memakan harta rakyat secara tidak benar.

Keempat, suap (risywah). Firman Allah Swt, “Dan sesungguhnya aku akan
mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa
yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan itu sampai kepada
Sulaiman, Sulaiman berkata: Apakah patut kamu menolong aku dengan harta? maka apa
yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu;
tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (QS. an-Naml: 35-36). Risywah merupakan
sebuah pemberian (hadiah) kepada hakim atau orang tertentu yang bertujuan untuk
memenangkan perkara atau putusan dengan cara tidak dibenarkan.
Bahan introspeksi

Rasulullah saw melaknat setiap orang yang terlibat penyuapan, sebagaimana


sabdanya, “Laknat Allah atas pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya yakni orang
yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad). Sebab itu, penyuapan merupakan bagian
dari perilaku korupsi yang mewabah di negeri ini. Konon, peristiwa OTT KPK terhadap
Irwandi Yusuf dkk diduga KPK sebagai kasus penyuapan berupa komitmen fee dalam
proyek dana otsus di Bener Meriah (Salam Serambi, 9/7/2018). Maka peristiwa tersebut
hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi seluruh pemangku kepentingan di Aceh dalam
penggunaan dan belanja keuangan Aceh.
Sebab, korupsi merupakan perilaku merusak, penyakit sosial akut, penyebab
terhambatnya pembangunan, dan perusak tatanan sosial kehidupan berbangsa, bernegara,
dan beragama. Korupsi bukan hanya soal merampas uang negara, tapi korupsi juga perilaku
menipu, curang, khianat, dan mengambil hak orang lain, serta memberikan hadiah yang
bertujuan untuk memenangkan suatu perkara dengan cara yang tidak benar. Artinya,
perilaku koruptif bukan hanya terjadi di kantor, tapi juga di pasar, lembaga pendidikan,
masjid dan meunasah, serta lembaga amal dan zakat. Hanya manusia yang benar-benar
beriman dan merasa dirinya diawasi (muraqabah) oleh Allah Swt yang akan terhindar
perilaku koruptif. Insya Allah!

Hukum Menggunakan Hasil Korupsi

Istilah dari penggunaan mempunyai pengartian yang luas seperti menyantap,


mengeluarkan untuk keperluan ibadah, keperluan sosial dan lain sebagainya.
Menggunakan harta kekayaan dari hasil tindak pidana korupsi sama saja dengan hasil
rampasan, hasil judi, hasil curian dan hasil haram lainnya. Dengan cara meraihnya yang
sama, maka hukum menggunakan hasilnya juga tentunya sama. Ulama fikih dalam urusan
ini juga sepakat jika menggunakan harta yang didapat dengan cara terlarang maka
hukumnya adalah haram karena prinsip harta tersebut bukan menjadi milik yang sah
namun milik orang lain yang didapat dengan cara terlarang.

‫ٱَّلل لَ َعلَّكُ ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬ ۟ ُ‫ض َعفَةً ۖ َوٱتَّق‬


َ َّ ‫وا‬ ْ َ ‫ٱلربَ َٰ َٰٓو ۟ا أ‬
َ َٰ ‫ض َٰ َعفًا ُّم‬ ِ ‫وا‬ ۟ ُ‫َ َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
۟ ُ‫وا ََل ت َأْكُل‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda]
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Referensi : https://tafsirweb.com/1262-surat-ali-imran-ayat-130.html

Pendapat Sahabat dan Tabi’in Mengenai Korupsi


• Ibnu Mas’ud
Ibnu Mas’ud berkata, “Suap itu adalah apabila seorang memiliki keperluan pada yang lain
dan memberinya hadiah dan hadih itu diterima.”
• Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Hadiah pada zaman Nabi adalah hadiah. Pada zaman
sekarang adalah suap.”
Akibat Jika Menggunakan Uang Haram
Ada beberapa akibat yang akan didapat jika seseorang menggunakan uang haram seperti
uang hasil korupsi, mencuri, judi dan sebagainya, yakni:
• Tidak diterima doanya.
• Harta tidak akan menjadi berkah.
• Masyarakat juga akan terkena dampak musibah seperti firman Allah [QS Al
Anfal: 25], “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.”

Anda mungkin juga menyukai