Anda di halaman 1dari 19

EUFEMISME DALAM NOVEL DI TANAH LADA KARYA ZIGGY

ZEZSYAZEOVIENNAZABRIZKIE

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
Siti Nurkamila
200210402088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga proposal penelitian dengan judul “ Eufemisme pada novel Di Tanah Lada
karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie” dapat selesai tepat pada waktunya. Proposal penelitian
ini ditulis untuk memenuhi tugas ujian akhir mata kuliah Penelitian Kualitatif Universitas
Jember.
Penulis menyadari dalam penyusunan proposal penelitian ini masih banyak
kekurangan dan hambatan. Namun, dukungan dari beberapa pihak hambatan tersebut menjadi
lebih ringan. Terima kasih kepada Bapak Dr. Sukatman, M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah Penelitian Kualitatif Universitas Jember yang telah membimbing serta teman – teman
yang selalu memberi dukungan dan semangat.
Penulis berharap proposal penelitian ini dapat menambah wawasan serta ilmu
pengetahuan kepada pembaca dan penulis mengenai Eufemisme. Proposal penelitian ini
masih jauh dari kata sempurna sehingga kritik dan saran dibutuhkan untuk membangun
kemampuan penulis.

Jember, 12 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan landasan penelitian. Adapun hal – hal yang diuraikan, yaitu (1)
latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan , (4) manfaat. Berikut uraian penjelasan dari
masing – masing subbab.

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan suatu hal penting yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia.
Menurut Omar (dalam Khalidi, 2017:89), bahasa yang kita gunakan merupakan lambang dalam
mengaitkan maksud atau pikiran manusia dengan perkara yang konkrit ataupun yang abstrak.
Pengguna Bahasa tentunya harus memiliki pemahaman tentang bagaimana cara berbahasa agar
sesuatu yang sedang dibicarakan dapat dipahami dan dimengerti baik itu dengan siapa kita
berbicara dan dimana tempat berbicara. Pengguna Bahasa tentunya harus memilih perkataan atau
kata kata yang baik ketika berbicara hal ini merupakan salah satu etika ketika berbicara. Banyak
sekali gaya Bahasa yang menjelaskan dan melambangkan kesantunan serta juga etika dalam
berbicara salah satunya ialah eufemisme.
Eufemisme dapat disebut juga dengan penghalusan kata. Menurut Keraf (2016:132),
eufemisme seperti acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang,
atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan ungkapan yang mungkin dirasa kasar,
menghina atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Gaya bahasa yang indah
berfungsi untuk meningkatkan kesan melalui jalan memperkenalkan dan membandingkan suatu
benda atau hal lainnya yang lebih umum (Tarigan, 2013:4)
Fungsi dan bentuk pengguna eufemisme Menurut Allan (dalam Saputri, 2019:199) memiliki
delapan fungsi yaitu (1) menghindari kata-kata yang dapat menimbulkan kepanikan atau
ketakutan, (2) tidak merendahkan seseorang, (3) tidak menyinggung hal-hal yang menyakiti, (4)
bertujuan retoris, (5) menggantikan ungkapan yang dilarang, tabu, dan bercitra negatif, (6)
merahasiakan sesuatu, (7) menghormati atau menghargai orang lain, dan (8) tidak menyindir atau
mengkritik. Dari penjelasan diatas peneliti dapat menyimpulkan jika dilihat dari konteks yang
mengikutinya eufemisme adalah suatu penghalusan kata yang digunakan untuk mengganti
ungkapan kasar atau kurang sopan yang gunanya untuk mencegah menyakiti perasaan orang lain,
menghindari rasa malu atau hal-hal buruk lainnya. Misalnya ketika didalam cerita seorang tokoh
sedang mengalami perselisihan, kegaduhan, menyakitkan, sedih dan marah, penggunaan
eufemisme dapat menjadi solusi agar penulisan ceita lebih baik dan sesuai dengan etika
berbicara.
Penggunaan Eufemisme dalam kehidupan sehari hari banyak digunakan untuk berbagai
tujuan tertentu. Misalnya penyiar acara berita mengucapkan kata Pencuri sebagai
penghalusan dari kata Maling yang berfungsi untuk kenyamanan dan terdengar lebih sopan
serta diterima dikalangan masyarat. Dari hal ini dapat diketahui bahwa eufemisme juga
berperan melatih kecerdasaan masyarakat dalam menginterpretasikan ungkapan yang
didengar. Pada penelitian ini, peneliti mengambil sumber data melalui sebuah karya sastra
yaitu novel.
Secara artistic imajinatif, novel dipandang memberikan peranan penting didalam karya
sastra. Banyak sekali persoalan yang dibahas didalam novel salah satunya ialah tentang
kehidupan, kemanusiaan, percintaan dan masih banyak lagi. Seorang pengarang pun harus
memiliki keterampilan menulis untuk menciptakan sebuah karya sastra yang dapat diterima
oleh pembacanya. Pada novel Di Tanah Lada karya Ziggy Z menceritakan tentang seorang
anak berusia 6 tahun, dimana ia kurang mendapatkan kasih sayang orang tua serta slalu
mendapatkan kekerasan dari ayah kandungnya sendiri, ketika kita membaca novel ini kita
akan merasakan kesedihan serta amarah kepada seorang ayah yang tidak melakukan
kewajibannya dengan baik. Selain itu kita akan mempunyai rasa ingin membantu anak
tersebut karna slalu menerima kekerasan dari ayah kandungnya. Pada penelitian ini, meneliti
bentuk dari kata eufemisme, misalnya pada contoh nama tokoh anak kecil yang diceritakan
pada novel Di Tanah Lada ialah bernama “Salva” akan tetapi ayah kandungnya
memanggilnya dengan kata “Saliva” yang merupakan kategori dari kata eufemisme yang
berarti “Ludah”. Dalam konteks ini kata saliva memiliki manfaat untuk memberi
kenyamanan dalam hal yang tidak menyenangkan. Hal ini dapat mengajarkan pembaca untuk
lebih bijak dalam memilih suatu ungkapan yang akan disampaikan pada orang lain.
Menggunakan eufemisme artinya seseorang dapat menerapkan norma kesantunan dalam
berbicara.
Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk menganalisis kata eufemisme dalam
novel Di Tanah Lada karya Ziggy Z. Alasan mengapa peneliti memilih Novel Di Tanah Lada
untuk diteliti yaitu; pertama, terdapat unsur kata eufemisme dalam novel tersebut karna
penulis ingin menyampaikan pesan secara sopan dan santu kepada pembaca, kedua banyak
sekali amanat yang terkandung didalamnya dan dapat dijadikan sebagai pelajaran hidup bagi
para pembacanya.
Penelitian tentang topik eufemisme perna dilakukan oleh penelitian terdahulu, yaitu: (1)
Soraya, (2021). Perbedaan dengan peneliti saat ini ialah; pertama, Soraya mengkaji tentang
eufemisme pada novel yang berjudul Buku Besar Peminum Kopi Karya Andrea
Hirata,sedangkan peneliti saat ini menggunakan novel yang berjudul Di Tanah Lada Karya
Ziggy Z. (2) Soraya, (2021) menggunakan teknik analisis model Milles dan Huberman yaitu,
reduksi data, penyajian, data, dan penarikan kesimpulan, sedangkan pada peneliti saat ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan menggunakan
teknik baca dan catat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka peneliti memfokuskan pada beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk penggunaan gaya bahasa eufemisme pada novel Di Tanah Lada karya
Ziggy Z?
2. Bagaimana jenis referensi eufemisme pada novel Di Tanah Lada karya Ziggy Z?
3. Bagaimana manfaat penggunaan eufemisme yang terdapat pada novel Di Tanah Lada
karya Ziggy Z ?
1.3 Tujuan

Perumusan tujuan berguna untuk mengetahui maksud peneliti melakukan penelitian.


Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan :

1. Bentuk penggunaan gaya Bahasa eufemisme pada novel Di Tanah Lada karya Ziggy
Z

2. Jenis referensi eufemisme pada novel Di Tanah Lada karya Ziggy Z


3. Manfaat penggunaan eufemisme yang terdapat pada novel Di Tanah Lada karya Ziggy
Z.
1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitiaan ini dibagi menjadi dua yaitu menfaat teoritis dan manfaat
praktis.
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan mengenai kajian analisis sastra di
Indonesia khususnya pada novel dengan menggunakan salah satu kajian stilistika yaitu
eufemisme. Selain itu peneltian ini harapkan pula dapat memberikan pemahaman lebih
mendalam mengenai bentuk dan fungsi eufemisme sebagai bahan pembelajaran.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sarana pengembangan
ilmu pengetahuan dan memperluas pemahaman mengenai kajian eufemisme
serta memberi pengalaman dalam menganalisis suatu objek yang berhubungan
dengan kajian eufemisme
2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan bacaan untuk
guna menambah wawasan terkait kajian stilistika eufemisme
3. Bagi pelajar/mahasiswa, penelitian diharapkan dapat menjadi bahan referensi
untuk melakukan penelitian selanjutnya
BAB II. KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dipaparkan teori –teori yang akan menjadi landasan teori dalam
penelitian ini. Adapun hal – hal yang diuraikan, yaitu (1) penelitian terdahulu, (2) Hakikat
Novel (3) Kajian Stilistika (4) Gaya Bahasa (5) Eufemisme, berikut penjabaran dari masing-
masing subbab.
2.1 Penelitian terdahulu
Penelitian terdahulu memaparkan penelitian – penelitian sebelumnya yang relevan yang
menjadi acuan suatu penelitian. Hal ini dapat menjadi tolak ukur penelitian. Penelitian
terdahulu yang relevan ialah sebagai berikut.

1. Eko Supriyadi (UMS, 2013) dengan judul “Kajian Bahasa Tabu dan Eufemisme
pada Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari.Perbedaan
dengan penelitian saat ini ialah; pertama, Supriyadi mengkaji tabu bahasa dan
eufemisme sedangkan peneliti saat ini hanya mengkaji eufemisme. Kedua, sumber
data Supriyadi berupa kumpulan cerpen yang berjudul Senyum Karyamin Karya
Ahmad Tohari sedangkan peneliti saat ini berupa novel yang berjudul Di Tanah
Lada karya Ziggy Z. Ketiga, data eufemisme yang ditemukan Supriyadi lebih
dominan Bahasa Jawa sedangkan data yang ditemukan peneliti saat ini dominan
Bahasa Indonesia.
2. Soraya, (2021). Perbedaan dengan peneliti saat ini ialah; pertama, Soraya
mengkaji tentang eufemisme pada novel yang berjudul Buku Besar Peminum
Kopi Karya Andrea Hirata,sedangkan peneliti saat ini menggunakan novel yang
berjudul Di Tanah Lada Karya Ziggy Z. (2) Soraya, (2021) menggunakan teknik
analisis model Milles dan Huberman yaitu, reduksi data, penyajian, data, dan
penarikan kesimpulan, sedangkan persamaan pada peneliti saat ini menggunakan
teknik analisis model Milles dan Huberman.
3. Nurjayanti (2022), yang mengangkat judul tesis “Eufemisme Dalam Novel Ketika
Mas Gagah Pergi karya Helvi Tiana Rosa” hasil dari penelitian Nurjayanti adalah
ditemukan 7 bentuk eufemisme yaitu penggunaan singkatan, kata serapan, istilah
asing, metafora, dan perifrasis, ekspresi figuratif, dan satu kata untuk
menggantikan kata yang lainnya. Selain itu, ditemukan juga 5 fungsi dari
penggunaan eufemisme sangat bermanfaat untuk membiasakan berbicara sopan,
tidak sembarang berucap agar terhindar dari malapetaka, menyamarkan makna
dari sesuatu yang tidak pantas didengar secara langsung, mengurangi rasa malu,
dan melaksanakan perintah agama. Perbedaan dengan penelitian kali ini ialah,
Nurjayanti mengkaji tentang eufemisme pada novel yang berjudul Ketika Mas
Gagah Pergi karya Helvi Tiana Rosa sedangkan peneliti saat ini menggunakan
novel yang berjudul Di Tanah Lada karya Ziggy Z

2.2 Hakikat Novel

Kata novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berarti „sebuah barang
baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟. (Abrams
dalam Nurgiyantoro, 2005: 9). Dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan
pula dari kata noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis
lain, novel ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995: 164).
Sudjiman (1998: 53) mengatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan
tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel sebagai karya
imajinatif mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara
halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari
dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan
mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur.
Batos (dalam Tarigan, 1995: 164) menyatakan bahwa novel merupakan sebuah roman,
pelaku-pelaku mulai dengan waktu muda, menjadi tua, bergerak dari sebuah adegan yang lain
dari suatu tempat ke tempat yang lain. Nurgiyantoro (2005: 15) menyatakan, novel merupakan
karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai psikologi yang mendalam, sehingga novel
dapat berkembang dari sejarah, surat-surat, bentuk-bentuk nonfiksi atau dokumen-dokumen,
sedangkan roman atau romansa lebih bersifat puitis. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui
bahwa novel dan romansa berada dalam kedudukan yang berbeda. Jassin (dalam Nurgiyantoro,
2005: 16) membatasi novel sebagai suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda
yang di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan
seseorang dan lebih mengenai sesuatu episode. Mencermati pernyataan tersebut, pada
kenyataannya banyak novel Indonesia yang digarap secara mendalam, baik itu penokohan
maupun unsur-unsur intrinsik lain. Sejalan dengan Nurgiyantoro, Hendy (1993: 225)
mengemukakan bahwa novel merupakan prosa yang terdiri dari serangkaian peristiwa dan latar.
Ia juga menyatakan, novel tidaklah sama dengan roman. Sebagai karya sastra yang termasuk ke
dalam karya sastra modern, penyajian cerita dalam novel dirasa lebih baik.
Novel biasanya memungkinkan adanya penyajian secara meluas (expands) tentang
tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat
selalu menjadi topik utama (Sayuti, 2000: 6-7). Masyarakat tentunya berkaitan dengan dimensi
ruang atau tempat, sedangkan tokoh dalam masyarakat berkembang dalam dimensi waktu semua
itu membutuhkan deskripsi yang mendetail supaya diperoleh suatu keutuhan yang
berkesinambungan. Perkembangan dan perjalanan tokoh untuk menemukan karakternya, akan
membutuhkan waktu yang lama, apalagi jika penulis menceritakan tokoh mulai dari masa kanak-
kanak hingga dewasa. Novel memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail untuk
perkembangkan tokoh dan pendeskripsian ruang.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita
fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan
menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah
imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas atau fenomena yang dilihat dan
dirasakan.
2.3 Kajian Stilistika
Mengkaji stilistika merupakan salah satu cara untuk menikmati karya sastra. Stilistika
merupakan salah satu ilmu yang membahas gaya bahasa dalam suatu karya sastra. Hal ini sesuai
dengan pendapat Zhang (mengutip pendapat Lodge, 1966) bahwa untuk menjembatani apresiasi
karya sastra dengan bahasa, maka diperlukan telaah yang dikenal dengan telaah ilmu gaya
bahasa (Zhang, 2010: 155). Sementara itu, Endraswara (2003: 72) mengatakan penelitian
stilistika berdasarkan asumsi bahwa bahasa sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa sastra
memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra
menjadi hambar. Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan
pengarang dalam memainkan bahasa
Pada umumnya stilistika lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dalam pengertian
yang lebih luas stilistika sebagai ilmu tentang gaya bahasa yang meliputi bagaimana manusia
melakukan berbagai cara dalam kehidupannya (Ratna, 2009: 167). Gaya menyangkut masalah
penggunaan bahasa, dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai sumber data utama dan pada
perkembangan terakhir dalam sastra menunjukkan bahwa gaya dibatasi dalam analisis puisi,
karena dilihat secara umum puisilah yang memiliki penggunaan bahasa yang khas, selain itu
gaya pada dasarnya ada dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara teoretis, telah banyak pakar sastra yang memberikan definisi tentang stilistika.
Beberapa di antaranya seperti diuraikan berikut ini. Verdonk (2002: 4) memandang stilistika,
atau studi tentang gaya, sebagai analisis ekspresi yang khas dalam bahasa untuk mendeskripsikan
tujuan dan efek tertentu. Bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang khas sehingga berbeda
dari bahasa dalam karya-karya nonsastra. Untuk itulah, analisis terhadap bahasa sastra pun
membutuhkan analisis yang khusus. Dalam hal ini dibutuhkan stilistika sebagai teori yang secara
khusus menganalisis bahasa teks sastra (Mills, 1995: 3).
Stilistika adalah studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan
dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk
karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya.
Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda, untuk memperoleh pemahaman tentang ciri
penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan
gagasannya, pengkaji perlu juga memahami (1) gambaran objek atau peristiwa, (2) gagasan, (3)
satuan isi, dan (4) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya (Aminuddin, 1995: 46).
Secara umum lapangan kajian stilistika adalah pemakaian bahasa, sehingga dapat dilihat bahasa
yang digunakan dalam suatu karya sastra. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya bahasa, pilihan kata, dan
penggunaan bahasa. Bahasa hampir selalu memiliki variasi yang disebabkan oleh lingkungan
tertentu. Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memberikan bahasa dan menunjukkan
bagaimana cara kerjanya, sedangkan stilistik merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan
perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, yang walaupun tidak secara eksklusif, terutama
pemakaian bahasa dalam sastra (Turner G.W. dalam Pranawa, 2005: 20).
Hal ini berarti stilistika adalah studi gaya yang menyarankan bentuk suatu ilmu
pengetahuan atau paling sedikit studi yang metodis. Kajian stilistika berpangkal pada bentuk
ekspresi, bentuk bahasa kias dan aspek bunyi. Akan tetapi, istilah stilistika secara umum dikenal
sebagai studi pemakaian bahasa dalam karya sastra. Adapun alasan penggunaan bahasa dalam
karya sastra karena bahasa mampu menghadirkan kekayaan makna, mampu menimbulkan
misteri yang tidak ada habisnya, mampu menimbulkan efek emotif bagi pembaca atau
pendengarnya, citraan serta suasana tertentu. Pengungkapan hal tersebut dilakukan oleh
pengarang untuk menunjukkan sifat kreativitasnya serta pengungkapan gagasan tersebut bersifat
individual, personal yang tidak dapat ditiru dan selalu ada pembaharuan.
2.4 Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan bagian dari aksi yang mempersoalkan cocok tidaknya
pemakaian kata, frase atau kalimat tertentu. Adapun jangkauan gaya bahasa tidak hanya unsur
kalimat yang mengandung corak tertentu, seperti dalam retorik klasik. Menurut Keraf (2008 :
112) gaya bahasa dalam retorika disebut style. Kata style diturunkan dari kata latin stilus,
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kelak pada waktu penekanan dititk beratkan
pada keahlian untuk menulis indah, mempersoalkan pada pemakaian kata, frase atau klausa
tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Gaya
bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu kejujuran, sopan santun dan menarik.
Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar
dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tidak terarah serta penggunaan kalimat yang
berbelit-belit adalah jalan yang mengandung ketidakjujuran. Sopan santun adalah memberi
penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara. Kata hormat bukan berarti memberikan
penghargaan atau menciptakan kenikmatan melalui kata-kata manis sesuai dengan basa-basi
dalam pergaulan masyarakat beradap. Gaya atau style menjadi bagian diksi atau pilihan kata
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frase dan kalimat bahkan mencakup pula
sebuah wacana secara keseluruhan. Menurut (Tarigan 2013: 4),
gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan dan membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau dengan
hal yang lain yang lebih umum. Sedangkan (Siswantoro 2014: 115) menambahkan gaya bahasa
merupakan suatu gerak membelok dari bentuk ekspresiif sehari-hari atau aliran ide-ide yang
biasa untuk menghasilkan suatu efek yang luar biasa. Gaya bahasa dapat memperkaya makna
sehingga dapat menggapai pesan yang diinginkan secara lebih intensif hanya dengan sedikit kata.
Begitu juga, dikemukakan oleh (Kridalaksana 2001: 63) gaya bahasa merupakan pemanfaatan
atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Selain itu bisa diartikan
sebagai pemakaian ragam tertentuuntuk memperoleh efekefek tertentu atau keseluruhan ciri-ciri
bahasa sekelompok penulis sastra. Selain itu, gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi
karena peasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis yang menimbulkan suatu perasaan
tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada
kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan
pikiran pada pembaca (Pradopo: 2009: 63).
Pengertian gaya menurut (Enkvist dalam Aminuddin, 1995: 6) yaitu (a) gaya sebagai
bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya (b) gaya
sebagai pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (c) gaya sebagai kumpulan ciri
pribadi, (d) gaya sebagai bentuk penyimpangan norma atau kaidah, (e) gaya sebagai kumpulan
ciri kolektif, dan (f) gaya sebagai bentuk hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan teks
yang terlebih dahulu dari pada sebuah ayat atau kalimat.

Berdasarkan pandangan yang dikemukakan para ahli tentang gaya bahasa di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada hakikatnya gaya bahasa ialah sorotan terhadap penggunaan bahasa yang
tidak berlaku biasa. Telaah gaya bahasa dilakukan untuk mengetahui bagaimana penutur selaku
pengguna bahasa keluar dari kebiasaan penggunaan bahasa yang berlaku umum. Senada dengan
pendapat di atas, ahli lain membagi jenis-jenis gaya bahasa menjadi empat kelompok, yaitu
sebagai berikut:

 Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dibedakan menjadi gaya bahasa resmi, gaya
bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.
 Gaya bahasa berdasarkan nada terdiri dari gaya sederhana, gaya mulia dan
bertenaga, dan gaya menengah.
 Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, antiklimaks,
paralelisme, antitesis, dan repetisi.
 Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna terdiri dari gaya bahasa
retoris meliputi aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof,
asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, hysteron proteron,
pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma,
koreksio, hiperbol, paradoks, oksimoron; dan gaya bahasa kiasan meliputi
metafora, simile, alegori, personifikasi, alusi, eponimi, epitet, sinekdoke,
metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo,
antifrasis dan pun atau paronomasia (Keraf, 2004: 115-145)

2.5 Eufemisme

Keris Mas (1988) menjelaskan bahawa dalam kiasan Melayu memang sudah ada sejenis
gaya kiasan halus yang biasanya berbentuk ungkapan atau simpulan bahasa yang mengandungi
isi atau pengertian kurang menyenangkan, seperti pengertian tentang kesedihan, kemalangan,
kerugian dan sebagainya. Orang tidak sampai hati untuk menambah rasa sedih dan malang
terhadap yang terlibat lalu diucapkan dengan ungkapan atau ayat-ayat yang halus yang dapat
difahami maknanya. Misalnya, ungkapan atau simpulan bahasa untuk erti mati, dikatakan
meninggal dunia, berpulang ke rahmatullah, telah mendahului kita. Abdul
Chaer (1995) menjelaskan bahawa penghalusan (ufemia) dalam pembicaraan mengenai
perubahan makna yang meluas, menyempit, atau berubah secara total, kita berhadapan dengan
sebuah kata atau bentuk yang tetap. Hanya konsep makna mengenai kata atau bentuk itu yang
berubah. Dalam pembicaraan mengenai penghalusan ini kita berhadapan dengan gejala
ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus,
atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Eufemisme adalah
penggunaan kata-kata tertentu yang tidak tepat untuk menggantikan kata-kata yang dianggap
kasar, keras atau menyakitkan. Perkataan seperti meniduri untuk melakukan hubungan seks,
berbadan dua untuk bunting dan meninggal dunia untuk mati, ialah contoh eufemisme (Rahman
Shaari, 2002). Tujuannya adalah supaya konsep atau hal tertentu sampai kepada pemahaman
pendengar atau pembaca, tetapi tidak menyinggung perasaannya. Peribahasa nyiur ditebuk tupai
yang ditujukan kepada gadis yang kehilangan daranya, sama ada dirogol atau melakukan
hubungan seks atas kerelaan, bukanlah eufemisme kerana dengan peribahasa itu masyarakat
tidak memperhalus peristiwa yang menimpa si gadis. Ayat saya hendak ke belakang ialah
eufemisme bagi maksud hendak ke tandas untuk buang air. Buang air itu sendiri ialah eufemisme
yang membawa maksud kencing (buang air kecil). Istilah lain ialah kiasan halus. Lawan kepada
eufemisme ialah disfemisme. Ariff Mohamad dan Siti Khairiah Mohd
Zubir (2009) dalam buku Kesusasteraan dalam Pengajaran Bahasa Melayu menjelaskan bahawa
kata eufemisme atau eufemismus diturunkan daripada kata Yunani, euphemizen yang bererti
menggunakan kata-kata dengan erti yang baik atau dengan tujuan baik. Sebagai gaya bahasa,
eufemisme adalah seperti acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan
orang, atau ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan
menghina, menyinggung perasaan atau mencadangkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Dapat dikatakan, unsur eufemisme bertentangan dengan
hiperbola, yaitu ungkapan kiasan yang berlebih-lebihan atau dibesar-besarkan untuk memperoleh
kesan tertentu dan tidak bertujuan ditafsirkan secara perkataan demi perkataan. Selain itu, unsur
eufemisme ialah gaya bahasa yang menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud
memperhalus. Eufemisme juga dapat disimpulkan sebagai ungkapan atau kiasan yang diperhalus
supaya lebih manis didengar dan tidak mengandungi makna yang kasar.
Di dalam (Djajasudarma 1993: 78), mengatakan bahwa eufemisme ini termasuk
ke dalam pergeseran makna. Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) dalam bahasa
Indonesia yang disebut dengan eufemisme (melemahkan makna). Caranya dapat dengan
menggantikan simbolnya baik kata maupun frase dengan yang baru dan maknanya bergeser,
biasanya terjadi pada kata-kata yang dianggap memiliki makna yang menyinggung perasaan
orang yang mengalaminya. Misalnya, kata dipecat yang dirasakan terlalu keras diganti dengan
diberhentikan dengan hormat atau dipensiunkan. Sedangkan pendapat (Yandianto 2004: 144)
menyatakan bahwa eufemisme termasuk ke dalam gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa
eufemisme ini disebut juga ungkapan pelembut. Gaya bahasa ini dimaksudkan untuk
memperhalus kata-kata agar terdengar lebih sopan menurut kaidah rasa bahasa. Misalnya,
kelaparan dikatakan dengan kurang makan, gila disebut dengan hilang akal, dan sebagainya.

Bentuk Eufemisme Menurut (Sutarman, 2017: 66), penggunaan eufemisme dapat


dibentuk dengan lima cara yaitu (1) penggunaan singkatan, (2) kata serapan, (3) istilah asing, (4)
metafora, dan (5) perifrasis. Kemudian, (Rubby dan Dardanila, 2008:58) menambahkan 3 bentuk
eufemisme yaitu (1) ekspresi figuratif, dan (2) satu kata untuk menggantikan kata yang lainnya.
Eufemisme berupa satu kata untuk menggantikan kata yang lain merupakan bentuk eufemisme
yang menggantikan satu kata dengan yang lain dalam (Rubby dan Dardanila, 2008: 60).
Penggunaan satu kata dinilai lebih eufemis dibandingkan satu kata yang lain. Hal ini biasanya
menggunakan sinonim kata untuk menghasilkan ungkapan yang jauh lebih halus. b)

Fungsi Eufemisme Penggunaan eufemisme memiliki lima fungsi yaitu, (1) untuk
kesopanan dan kenyamanan, (2) untuk menghindari malapetaka, (3) untuk menyamarkan makna,
(4) untuk mengurangi rasa malu, dan (5) untuk melaksanakan perintah agama (Sutarman
2017:110). Untuk kesopanan dan kenyamanan adalah upaya yang dilakukan agar dinilai positif
orang lain melalui sikap, perbuatan, perkataan, maupun penampilan (Sutarman, 2017:110).
Kesopanan berkembang menjadi sebuah norma yang berlaku di masyarakat. Norma kesopanan
salah satunya dibentuk melalui perkataan yang ditujukan kepada orang lain. Untuk menghindari
malapetaka sebuah kata pada dasarnya adalah sebuah harapan. Kata-kata mempunyai kekuatan
doa yang didengar oleh Tuhan. Keyakinan untuk menghindari perkataan yang tidak baik dengan
tujuan menghindari malapetaka semakin banyak dilakukan. Menurut (Sutarman, 2017:111),
seseorang tidak boleh mengucapkan perkataan yang ada tendensi kesombongan, cacian, makian,
kutukan, sumpah sarapah karena perkataan yang buruk diyakini menjadi kenyataan dan
menimbulkan malapetaka.

Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah bentuk
alternatif (pilihan) terhadap ungkapan yang tidak berkenan dan digunakan untuk menghindari
kehilangan muka (rasa malu). Bentuk ungkapan yang tidak berkenan tersebut adalah tabu,
ketakutan, dan tidak disenangi atau alasan-alasan yang lain yang memilki arti negatif untuk
dipilih/dipakai dalam tujuan komunikasi penutur pada situasi tertentu.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dipaparkan rancangan rencana penelitian beserta teori – teori yang
menjadi landasan penelitian. Adapun hal – hal yang diuraikan, yaitu (1) Jenis penelitian, (2)
data dan sumber data, (3) teknik pengumpulan data, (4) teknik analisis data, (5) instrument
penelitian. Berikut penjelasan dari masing – masing subbab.
3.1 Jenis Penelitian
Pada umumnya penelitian sastra mengenal dua macam penelitian, yaitu penelitian lapangan
dan penelitian kepustakaan. Jenis penelitian yang digunakan pada kajian ini ialah penelitian
kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan
penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan
dengan masalahyang ingin dipecahkan (Nazir:1988). Sementara itu Khatibah (2011)
mengemukakan penelitian kepustakaan sebagai kegiatan yang dilakukan secara sistematis
untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyimpulkan data dengan menggunakan
metode/teknik tertentu guna mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi
melalui penelitian kepustakaan. Adapun teks yang diteliti pada kajian ini berbentuk novel,
yakni Novel “Di Tanah Lada karya Ziggy Z”
3.2 Data dan Sumber data
Data adalah sesuatu yang menjadi bahan penelitian. Adapun data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kata, kalimat, serta wacana yang mengandung unsur eufemisme pada
novel Di Tanah Lada karya Ziggy Z. Data tersebut dapat berupa kata ataupun dialog yang
pengarang tuliskan yang mengandung unsur eufemisme. Sumber data adalah sumber dari
data yang akan diteliti dalam sebuah penelitian. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah novel yang berjudul Di Tanah Lada karya Ziggy Z.
3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dokumen. Dokumen yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah novel Di Tanah Lada karya Ziggy Z. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik lanjut catat. Metode
simak yang dimaksud yaitu, peneliti membaca secara keseluruhan isi cerita pada novel Di
Tanah Lada karya Ziggy Z untuk mencari dan menemukan data berupa ungkapan yang
mengandung gaya bahasa eufemisme. Sedangkan teknik lanjut catat yang dilakukan adalah
mencatat data yang telah ditemukan oleh peneliti. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam
mengumpulkan data yaitu; (1) membaca dan memahami inti keseluruhan novel Di Tanah Lada
karya Ziggy Z. , (2) menandai bagian yang menjadi data penelitian, dan (3) mencatat data
penelitian yang telah ditemukan.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis model Miles and
Huberman dengan menggunakan tiga tahap analisis yang pertama data reduction (reduksi data)
yaitu data yang diperoleh dilapangan yang jumlahnya cukup banyak dicatat secara teliti dan
rinci. Untuk itu perlu dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti
merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Selanjutnya data display (penyajian data), setelah
data direduksi maka langkah selanjutnya adalah mendisplay data. Melalui penyajian data
tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin
mudah dipahami. Langkah terakhir adalah conclusion drawing (verivication) tahap ini
merupakan tahap penarikan kesimpulan awal yang dikemukakan bersifat sementara dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat, yang mendukung pada tahap pengumpulan
data berikutnya (Sugiyono, 2015).

Anda mungkin juga menyukai