Anda di halaman 1dari 3

HKUM4409-2

NASKAH TUGAS MATA KULIAH


UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2022/23.1 (2022.2)

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Kode/Nama MK : HKUM4409/Arbitrase, Mediasi Dan Negosiasi
Tugas :3

No. Soal
1. Sektor Konstruksi Dominasi Kasus Sengketa di BANI

Sengketa bisnis di sektor konstruksi tercatat mendominasi perkara yang diselesaikan oleh arbiter
dibanding sektor usaha lainnya.
Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Palembang Joni Emirzon mengatakan dari 1.300 kasus
bisnis yang ditangani oleh BANI, sekitar 35 persen merupakan kasus di bidang usaha konstruksi.
“Kasus pembangunan konstruksi itu bisa antara swasta dan swasta maupun pemerintah dengan swasta,”
ujarnya saat acara diskusi peran BANI dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia, Sabtu
(23/11/2019).
Menurut Joni, dalam menyelesaikan sengketa, dunia bisnis menginginkan penyelesaian konflik yang
singkat antara sesama pelaku bisnis yang berbeda. Jika menggunakan prosedur peradilan, maka waktu
yang dihabiskan akan cukup lama, bahkan dapat berlangsung bertahun-tahun.
Apalagi, sejumlah regulasi di Indonesia sudah mengarahkan penyelesaian sengketa ke arbitrase. Salah
satunya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Pasal 88 UU 2/2017 menyatakan bahwa tahapan upaya penyelesaian sengketa setelah musyawarah
mufakat, meliputi mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Wakil Ketua BANI Palembang Ahmad Rizal menambahkan kasus sengketa di bidang konstruksi yang
ditangani pihaknya menyangkut banyak objek, mulai dari bangunan, jalan, hingga bandar udara.
“Kebanyakan sengketa umumnya terkait pembayaran, terjadi selisih bayar antara kontraktor dan pemilik,”
ungkapnya.
Menurut Rizal, pelaku usaha cenderung memilih arbitrase ketimbang pengadilan karena dipengaruhi
sejumlah faktor. Salah satunya, penyelesaian di arbitrase lebih cepat dan hemat biaya.
Pihaknya mengukur penyelesaian perkara di arbitrase maksimal 6 bulan. Namun, mayoritas sengketa
dapat selesai dalam kurun 90 hari alias 3 bulan.
“Arbitrase juga bersifat rahasia. Selain itu, adanya kebebasan, kepercayaan, dan keamanan dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase,” lanjutnya.
Selain kasus konstruksi, BANI Palembang juga menyelesaikan kasus sengketa usaha leasing dengan
porsi 11 persen, trading sekitar 21 persen, dan ada pula kasus terkait sektor telekomunikasi.
Sumber : Bisnis.com

Selain BANI sebagai lembaga arbitrase tertua di Indonesia, saat ini mulai banyak lembaga arbitrase yang
berdiri, lalu apa yang membedakan antara BANI dengan lembaga arbitrase? Apakah tidak terjadi tumpang
tindih kewenangan diantara lembaga-lembaga tersebut? Berikan pendapat saudara.

1 dari 3
HKUM4409-2

2. Sektor Konstruksi Dominasi Kasus Sengketa di BANI

Sengketa bisnis di sektor konstruksi tercatat mendominasi perkara yang diselesaikan oleh arbiter
dibanding sektor usaha lainnya.
Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Palembang Joni Emirzon mengatakan dari 1.300 kasus
bisnis yang ditangani oleh BANI, sekitar 35 persen merupakan kasus di bidang usaha konstruksi.
“Kasus pembangunan konstruksi itu bisa antara swasta dan swasta maupun pemerintah dengan swasta,”
ujarnya saat acara diskusi peran BANI dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia, Sabtu
(23/11/2019).
Menurut Joni, dalam menyelesaikan sengketa, dunia bisnis menginginkan penyelesaian konflik yang
singkat antara sesama pelaku bisnis yang berbeda. Jika menggunakan prosedur peradilan, maka waktu
yang dihabiskan akan cukup lama, bahkan dapat berlangsung bertahun-tahun.
Apalagi, sejumlah regulasi di Indonesia sudah mengarahkan penyelesaian sengketa ke arbitrase. Salah
satunya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Pasal 88 UU 2/2017 menyatakan bahwa tahapan upaya penyelesaian sengketa setelah musyawarah
mufakat, meliputi mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Wakil Ketua BANI Palembang Ahmad Rizal menambahkan kasus sengketa di bidang konstruksi yang
ditangani pihaknya menyangkut banyak objek, mulai dari bangunan, jalan, hingga bandar udara.
“Kebanyakan sengketa umumnya terkait pembayaran, terjadi selisih bayar antara kontraktor dan pemilik,”
ungkapnya.
Menurut Rizal, pelaku usaha cenderung memilih arbitrase ketimbang pengadilan karena dipengaruhi
sejumlah faktor. Salah satunya, penyelesaian di arbitrase lebih cepat dan hemat biaya.
Pihaknya mengukur penyelesaian perkara di arbitrase maksimal 6 bulan. Namun, mayoritas sengketa
dapat selesai dalam kurun 90 hari alias 3 bulan.
“Arbitrase juga bersifat rahasia. Selain itu, adanya kebebasan, kepercayaan, dan keamanan dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase,” lanjutnya.
Selain kasus konstruksi, BANI Palembang juga menyelesaikan kasus sengketa usaha leasing dengan
porsi 11 persen, trading sekitar 21 persen, dan ada pula kasus terkait sektor telekomunikasi.
Sumber : Bisnis.com

Apabila dalam klausul arbitrase telah ditentukan lembaga yang akan dipilih dalam menyelesaikan
sengketa, namun pada implementasinya pihak yang bersengketa ingin menyelesaikan sengketa pada
lembaga lain yang tidak tertulis dalam klausul arbitrase tersebut, apakah bisa para pihak mengganti
lembaga penyelesaian sengketanya? Jelaskan.

2 dari 3
HKUM4409-2

3. Sektor Konstruksi Dominasi Kasus Sengketa di BANI

Sengketa bisnis di sektor konstruksi tercatat mendominasi perkara yang diselesaikan oleh arbiter
dibanding sektor usaha lainnya.
Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Palembang Joni Emirzon mengatakan dari 1.300 kasus
bisnis yang ditangani oleh BANI, sekitar 35 persen merupakan kasus di bidang usaha konstruksi.
“Kasus pembangunan konstruksi itu bisa antara swasta dan swasta maupun pemerintah dengan swasta,”
ujarnya saat acara diskusi peran BANI dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia, Sabtu
(23/11/2019).
Menurut Joni, dalam menyelesaikan sengketa, dunia bisnis menginginkan penyelesaian konflik yang
singkat antara sesama pelaku bisnis yang berbeda. Jika menggunakan prosedur peradilan, maka waktu
yang dihabiskan akan cukup lama, bahkan dapat berlangsung bertahun-tahun.
Apalagi, sejumlah regulasi di Indonesia sudah mengarahkan penyelesaian sengketa ke arbitrase. Salah
satunya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Pasal 88 UU 2/2017 menyatakan bahwa tahapan upaya penyelesaian sengketa setelah musyawarah
mufakat, meliputi mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Wakil Ketua BANI Palembang Ahmad Rizal menambahkan kasus sengketa di bidang konstruksi yang
ditangani pihaknya menyangkut banyak objek, mulai dari bangunan, jalan, hingga bandar udara.
“Kebanyakan sengketa umumnya terkait pembayaran, terjadi selisih bayar antara kontraktor dan pemilik,”
ungkapnya.
Menurut Rizal, pelaku usaha cenderung memilih arbitrase ketimbang pengadilan karena dipengaruhi
sejumlah faktor. Salah satunya, penyelesaian di arbitrase lebih cepat dan hemat biaya.
Pihaknya mengukur penyelesaian perkara di arbitrase maksimal 6 bulan. Namun, mayoritas sengketa
dapat selesai dalam kurun 90 hari alias 3 bulan.
“Arbitrase juga bersifat rahasia. Selain itu, adanya kebebasan, kepercayaan, dan keamanan dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase,” lanjutnya.
Selain kasus konstruksi, BANI Palembang juga menyelesaikan kasus sengketa usaha leasing dengan
porsi 11 persen, trading sekitar 21 persen, dan ada pula kasus terkait sektor telekomunikasi.
Sumber : Bisnis.com

Apabila putusan arbitrase tidak dapat memuaskan pihak yang bersengketa, apakah masih dimungkinkan
untuk diajukan kembali sengketa tersebut melalui litigasi atau pengadilan dengan pokok perkara yang
sama? Jelaskan disertai dasar hukumnya.

3 dari 3

Anda mungkin juga menyukai