HALAMAN PENGESAHAN
Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Aspek Usaha Etika
Hukum
Palembang,
Juni 2019
Dosen Pembimbing,
1954053119851008
PERJANJIAN PERDAMAIAN
MAKALAH
Dibuat Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Mata Kuliah Aspek Usaha Etika
Hukum
Oleh :
NIM : 061640111486
Kelas : 6 PJJ A
PALEMBANG
2019
KATA PENGANTAR
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Politeknik Negeri
Sriwijaya. Adapun makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Untuk itu kepada dosen pembimbing dan pembaca, penulis meminta kritik dan
sarannya demi perbaikan pembuatan makalah penulis di masa yang akan datang.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan adanya sengketa dalam bisnis tentunya harus diselesaikan dengan segera,
agar bisnis yang telah berjalan tidak mengalami kerugiaqn besar. Menurut jalur
hukum, ada 2 (dua) kemungkinan/cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya,
yaitu pertama, jalur pengadilan, dan kedua, jalur arbitrase (perwasitan). Namun ada
pula yang menambahkan cara penyelesaian sengketa dengan cara yang ketiga yaitu
melalui jalur negosiasi (perundingan). Kedua jalur hukum ini sudah sering
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, maupun cara negosiasi seperti yang lazim
dipergunakan.
Sedangkan dalam KUHP istilah perjanjian (kontrak) dibahas dalam buku III tentang
perikatan, dalam pasal 1313 merumuskan perjanjian sebagai berikut: “Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lain atau lebih”.
b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum,
meliputi:
1) Suatu hal (objek) tertentu
2) Sesuatu sebab yang halal
Asas kepercayaan
Asas persamaan hak
Asas keseimbangan
Asas moral
Asas kepatutan
Asas kebiasaan
Asas kepastian hukum
yang dibolehkan
yang berlawanan dengan hukum (Abdul R. Saliman: 2004: 14).
2.5. Macam Macam Perjanjian (Kontrak) Dalam Bisnis
Berikut ini beberapa contoh yang terjadi dalam praktek bisnis pada umumnya, antara
lain:
1. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit dibedakan menjadi dua, yaitu:
A. Pengertian
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian
perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH Perata. Perdamaian adalah suatu
persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang[1], kedua belah pihak boleh mengakhiri suatu perkara
yang sedang diperiksa pengadilan untuk mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal
1851 KUH Perdata). Definisi lain dari perdamaian adalah:
“ Persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian
mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya suatu
sengketa.” (Art.1888 NBW)
Jadi, dalam perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan sebagian tuntutan
mereka dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah. Perjanjian ini disebut
perjanjian “formal” dan harus tertulis agar sah dan bersifat mengikat[2] menurut
suatu formalitas tertentu.
Oleh arena itu harus ada timbal balik pada pihak-pihak yang berperkara.
Tidak ada perdamaian apabila salah satu pihak dalam satu perkara mengalah
seluruhnya dan mengakui tuntutan pihak lawan seluruhnya. [3]
Begitu juga tidak ada perdamaian jika kedua belah pihak menyerahkan
penyelesaian perkara pada arbitrase (pemisah) atau tunduk pada nasihat dari pihak ke-
3 (binded advies) .
Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat dalam
KUH Perdata pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut 4 unsur, yaitu :
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak.
Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama “ menyetujui”
dan suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak boleh hanya dari sebelah
pihak atau dari hakim, sehingga berlaku persetujuan yang telah diatur dalam
pasal1320 KUH Perdata :
a. Adanya kata sepakat secara suka rela (toestemming)
b. Kedua belah pihak cukup membuat persetujuan (bekwamheid)
c. Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp)
d. Dengan dasar alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde oorzaah)
Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh ada cacat pada setiap unsur,
seperti :
a. Kekeliruan/kekhilafan (dwaling)
b. Paksaan (dwang)
c. Penipuan (bedrog)
Sedangkan dalam pasal 1859 KUH Perdata perdamaian dapat dibatalkan jika
terjadi kekhilafan:
a. Mengenai orangnya
b. Mengenai pokok yang diperselisihkan.
Kemudian dalam pasal 1860 dikatakan beberapa faktor kesalahpahaman
perdamaian, seperti :
a. Kesalahpahaman tentang duduknya perkara
b. Kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal.
2. Objek perdamaian.
Objek perjanjian perdamaian diatur dalam pasal 1853 KUH Perdata. Objek
perjanjian perdamaian adalah:
a. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari
suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini perdamaian sekali-kali tidak
menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang
bersangkutan.
b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya, sedangkan
pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang
menjadi sebab perdamaian tersebut.
D. Akibat Hukum
1 Mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Jika perdamaian telah diputuskan, maka putusan itu disamakan seperti
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sebagaimana
tercantum dalam pasal 1858 ayat 1 dan pasal 130 ayat 2 KUH Perdata.
2 Tertutup upaya banding dan kasasi.
Akibat hukum yang kedua adalah tertutupnya upaya hukum, baik banding
ataupun kasasi. Suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak
bisa tidak dapat banding atau kasasi. Ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 130 ayat 2
HIR bahwa perdamaian (putusan perdamaian) tidak diizinkan banding tidak diizinkan
banding, yang artinya sejak awal keputusan perdamaian tidak diperoleh mengajukan
permintaan banding. Sebab saat putusan perdamaian terwujud, sudah melekat pada
putusan perdamaian nilai kekuatan hukum seperti putusan yang sudah mendapat
kekuatan hukum tetap.
3 Mempunyai kekuatan eksekusi.
Adapun akibat hukum yang ketiga adalah kekuatan hukum yang mengikat dan
mempunyai kekuatan mengeksekusi. Sehingga jika para pihak ingin membatalkan
perdamaian secara sepihak, maka kedua belah pihak harus menaati dan melaksanakan
sepenuhnya isi yang tercantum dalam putusan perdamaian. Dengan demikian
terhadap putusan perdamaian berlaku ketentuan pasal 1339 dan pasal 1348 KUH
Perdata.
Para pihak harus menaati dan memenuhi isi putusan perdamaian tidak hanya
menurut bunyi rumusnya, tetapi juga dari segi tujuan, segi sifat perdamaian itu sendiri
dan juga menurut kepatutan serta kebiasaan. Sehingga pentaatan putusan perdamaian
harus sesuai dengan yang diputuskan MA tanggal 9 November 1976 No. 1245
k/SIP/1974 yang berbunyi: “pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu
perjanjian tersebut, tetapi juga berdasarkan sifat objek persetujuan serta tujuan yang
telah ditentukan dalam perjanjian ”
Dalam hal ini tidak saja kekuatan hukum mengikat yang melekat pada
peraturan perdamaian, akan tetapi melekat juga di dalamnya kekuatan hukum
eksekutorial, hal ini berarti jika salah satu pihak enggan isi persetujuan perdamaian
“secara suka rela” maka pihak yang lain dapat mengajukan permohonan eksekusi
kepada pengadilan negeri, agar pihak yang ingkar tadi dapat dipaksa memenuhi isi
putusan perdamaian. Dan jika perlu dapat meminta bantuan kekuasaan hukum
(kepolisian
Jelasnya semua ketentuan eksekusi terhadap putusan peradilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap, berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan
perdamaian. Apabila keputusan perdamaian itu mengandung eksekusi riil yang diatur
dalam pasal 200 ayat 11 HIR atau pasal 1033 RV, berlaku sepenuhnya dalam kasus
eksekusi putusan perdamaian. Selanjutnya jika dalam putusan perdamaian berupa
eksekusi pembayaran uang, berlaku sepenuhnya eksekusi yang diatur dalam pasal 195
sampai dengan pasal 200 HIR. Dan apabila eksekusinya mengandung pelaksanaan
suatu perbuatan (untuk melaksanakan sesuatu) berlaku sepenuhnya ketentuan
eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR.
Dengan demikian penataan dan pemenuhan putusan perdamaian sama halnya
dengan penataan dan pemenuhan putusan pengadilan yang sudah memperoleh
kekuatan hukum, yakni:
1) Penataan dan pemenuhannya dapat dilakukan secara suka rela.
2) Penataan dan pemenuhannya dapat dipaksakan melalui eksekusi, jika salah satu
pihak enggan menaati dan memenuhinya secara suka rela.
Jadi pada prinsipnya putusan perdamaian memperpendek dan mempersingkat proses
penyelesaian perselisihan di antara pihak yang berselisih.
Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam
Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH
Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan
dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu
perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari
Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara
sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya
suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata,
mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
Konrak dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif
tersebut.
1. para pihak
2. isi atau rumusan pekerjaan
3. jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
4. tenaga ahli
5. hak dan kewajiban para pihak
6. tata cara pembayaran
7. cidera janji
8. penyelesaian tentang perselisihan
9. pemutusan kontrak kerja konstruksi
10. keadaan memaksa (force majeure)
11. tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12. perlindungan tenaga kerja
13. perlindungan aspek lingkungan.
Formulasi rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan
waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan, yakni
besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi, yakni
prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi; (c)
persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia
jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara
lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga
kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan
pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai
pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia
jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan
adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk
masa pemeliharaan.
Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena
kelalain
Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak,
jadi tidak bersalah.
Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak,
maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi
kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur
tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan,
melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi
ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat
berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan
diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun
penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan
pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan
dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut
merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan
pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.
Dalam hal lain memungkin terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai
dengan isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya
unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam ;
Pidana Korupsi ; persoalannya selama ini cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak
pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang
negara baik itu APBD atau APBN dimana cidera janji selalu dihubungkan dengan
UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2
ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah ;
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal
tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat
dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri
atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan
perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di
UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10
ayat (1) UU BPK yang menyebutkan : BPK menilai dan atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana
sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32 ayat
(1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat
bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum
yang tidak memenuhi unsur tindakpidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat
dan / atau berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya
penuntutan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada
cara penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.
1. Peringatan tertulis
2. Penghentian sementara pekerjaan konstruksi
3. Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi
4. Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi
pengguna jasa.
5. Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi
6. Pencabutan Izin Usaha dan atau Profesi.
1. Risiko
Menurut Soebekti (2001:144), risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika
ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang di
maksudkan dalam kontrak. Disini berarti beban untuk memikul tanggung jawab dari
risiko itu hanyalah kepada salah satu pihak saja.
2. Wanprestasi
Dalam perjanjian (kontrak) terkadang ada perselisihan-perselisihan, perselisihan ini
dikarenakan ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan apa yang diatur dalam
perjanjian (kontrak), dan ini disebut wanprestasi. Bentuk-bentuk wanprestasi:
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian (kontrak) tidak boleh dilakukannya.
Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi,
pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara.
3. Keadaan memaksa
Menurut Soebekti (2001: 144), untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”
bila keadaan itu:
Diluar kekuasaannya
Memaksa; atau
Tidak sapat diketahui sebelumnya.
Adapaun prosedur pembatalan perjanjian adalah dengan cara terlebih dahulu kepada
pihak yang tersangkut dalam perjanjian tersebut diberitahukan, bahwa perjanjian atau
kesepakatan yang telah diikat akan dihentikan (dibatalkan), dalam hal ini harus
diberitahukan alasan pembatalan. Setelah waktu berlalu, maksudnya agar pihak yang
tersangkut dalam perjanjian mempunyai waktu untuk bersiap-siap menghadapi risiko
pembatalan.
a) Jalur Pengadilan
Proses di pengadilan ini pada umumnya akan diselesaikan melalui usaha perdamaian
oleh hakim pengadilan perdata. Perdamaian bias dilakukan di luar pengadilan . jika
hal ini bisa dicapai, maka akibatnya gugatan akan dicabut oleh penggugat dengan
atau tanpa persetujuan tergugat. Tetapi perdamaianpun dapat diselesaikan di muka
pengadilan, kemungkinan ini diadakan atas anjuran hakim. Jika perdamaian telah
disepakati para pihak, maka sewaktu sidang berjalan akan dibuatkan akta perdamaian,
dalam hal ini kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang dibuat.
Akta perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan suatu vonis
hakim. Apabila jalan perdamaian tidak dapat diselesaikan oleh para pihak, proses
penyelesaian selanjutnya akan memakan waktu yang panjang.
b) Jalur Arbitrase
Dasar hukum arbitrase adalah bahwa menurut hukum dianggap wajar apabila dua
orang atau pihak yang terlibat dalam suatu sengketa mengadakan persetujuan dan
mereka menunjuk seorang pihak ketiga yang mereka berikan wewenang untuk
memutus sengketa. Mereka pun berjanji untuk tunduk kepada putusan yang akan
diberikan oleh pihak ketiga tersebut.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa, putusan arbitrase mengikat para pihak dan bersifat final.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbitrase,untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannnya melalui
arbitrase.
Syarat untuk ditetapkan menjadi arbiter:
PENUTUP
Kesimpulan
Kontrak adalah peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berbeda dengan perikatan yang
merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum.
Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan,
sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Mengenai suatu hal tertentu Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal
tertentu yang telah disetujui.
Pelaksanaan perjajian sendiri adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban
yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Sedangkan dalam pembatalan sendiri terjadi karena tidak memenuhi syarat subyektif,
dan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Perjanjian (Kontrak) baik di dunia bisnis maupun non bisnis ialah hal yang sangat
penting untuk diperhatikan karena menyangkut sebuah kepastian, kejujuran,
konsisten terhadap apa yang telah di sepakati dan hasil apa yang telah disepakati
berhubungan dengan rekan/pihak yang berkontrak dengan kita, baik maupun buruk
hasil kontrak terebut.
DAFTAR PUSTAKA
Saliman, Abdul Rasyid. 2005. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan
Contoh Kasus. Jakarta: Prenada Media.
Ibrahim, Johannes & Sewu, Lindawaty. 2003. Hukum Bisnis dalam Persepsi
Manusia Modern. Bandung: Refika Aditama.
Abdullah, Junaidi. 2010. Aspek Hukum dalam Bisnis. Kudus: Nora Media
Enterprise.
http://saifoemk.lecture.ub.ac.id/category/diskusi/aspek-hukum-dalam-pembangunan/