Anda di halaman 1dari 5

Pendidikan Karakter

Ibarat Mengurai Benang Kusut


Solok, Singgalang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasiobal
pasal 3 menjelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
“Masyarakat dan media belum mendukung pembentukan watak dan karakter bangsa,” jelas
Irmatati, Pengawas Pendidikan kepada Singgalang, Jumat (25/3). Masyarakat seperti
membiarkan perusakan karakter peserta didik. Media massa, baik media elektronik maupun
media cetak cenderung ikut merusak melalui pemberitaan dan tayangan sinetron.
Di sekolah, ujar Irmatati, lulusan pascasarjana UNP ini, pendidikan karakter juga sulit
diaplikasikan. Guru yang diharapkan bisa menjadi teladan bagi peserta didik, justru tidak mampu
menjadi pelopor keteladanan tersebut. Mereka mampu memberi banyak contoh kepada peserta
didik, tetapi belum bisa menjadi contoh dalam keseharian. Padahal peserta didik lebih mudah
melihat contoh daripada mendengarkan contoh tersebut. Karena itulah pendidikan karakter masih
sulit diaplikasikan.
“Tidak mudah untuk mengaplikasikan pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional ini,” ujar
Irmatati. Pendidikan tanpa keteladanan tentu omong kosong. Karena itulah, pendidikan karakter
untuk membangun peradaban bangsa dibutuhkan keteladanan. Bukan hanya di sekolah,
keteladanan juga dibutuhkan dari masyarakat, apalagi dari para pemimpin yang memiliki
pengaruh, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Pembentukan karakter, jelas guru berprestasi dari Kota Payakumbuh ini, juga terhalang oleh
tayangan sinetron, yang lebih banyak merusak mental dan etika anak-anak dan remaja. Sejauh
ini, guru dan pemimpin di daerah, tidak mampu untuk mengontrol apalagi menghentikan
tayangan yang merusak mental tersebut. Karena itulah dibutuhkan campur tangan pengambil
kebijakan dalam mengontrol tayangan di televisi ini.
“Keteladanan itu yang sudah hilang sekarang,”jelas Irwan Bay, seorang guru kepada Singgalang
secara terpisah. Guru yang sudah mengajar sekitar 30 tahun ini, melihat kendala utama
pendidikan karakter adalah keteladanan. Menurutnya, saat ini terjadi krisis keteladanan.
Pendidikan karakter itu terkait dengan perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma
agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika semua elemen bisa
melaksanakannya, tentu akan lahir bangsa yang beradab, bangsa yang berkarakter. Karena itulah,
pendidikan karakter diharapkan mampu mengembalikan nilai-nilai tersebut.
“Belum semua guru memahami hakikat pendidikan karakter ini,” kata Jalinus, guru IPA SMP di
Kabupaten Tanah Datar. Hingga sekarang, ia juga belum melihat kurikulum atau program
pendidikan karakter yang akan diaplikasikan di sekolah. Sekalipun pendidikan karakter sering
menjadi pembicaraan, tetapi baru sampai di sana saja, sementara kurikulum atau program yang
bisa diaplikasikan secara langsung belum ada. Guru hanya dianjurkan agar memperhatikan
pendidikan karakter, tetapi bagaimana dalam praktiknya belum ada petunjuk pelaksanaan
maupun petunjuk teknisnya.
“Sinentron di televisi juga ikut mempengaruhi sulitnya mengaplikasikan pendidikan karakter
ini,” tambah mantan Instruktur IPA SMP Sumatra Barat ini. Ia melihat tokoh-tokoh yang
berkarakter dalam sinetron seringkali menderita. Sementara tokoh yang jahat, jauh dari nilai-nilai
kehidupan, moral dan etika justru ditampilkan penuh keberuntungan. Anak-anak dan remaja
belum mampu menyaring dengan baik pesan dari sinetron tersebut. Karena itulah, untuk
membangun pendidikan karakter, guru dan media massa diharapkan memperlihatkan perannya
sesuai dengan posisi masing-masing.
Pendidikan karakter, seperti mengurai benang kusut. Tidak jelas dari mana harus dimulai.
Apakah di sekolah dasar, sekolah menengah, atau justru sejak usia dini? Menurut Jufril Syri,
Kepala Bidang PLS dan Kesiswaan Dinas Pendidikan Kota Padang, pendidikan karakter harus
dimulai sejak usia dini, sejak anak mulai bersosialisasi di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
“Pendidikan karakter harus dimulai sejak PAUD dan dalam keluarga,” jelas Jufril kepada
Singgalang. Pembentukan karakter tidak mungkin hanya diserahkan kepada lembaga pendidikan
formal, keluarga justru memegang peran sangat penting dalam pembentukan karakter ini. Karena
itulah, keluarga maupun masyarakat tidak bisa menyalahkah lembaga pendidikan ketika anak-
anak maupun remaja yang masih duduk di bangku pendidikan kurang berkarakter. Karena itulah
diperlukan kerjasama semua pihak dalam membangun anak didik maupun bangsa yang
berkarakter.
Sementara Endri Joni, Kepala SMP di Pasaman melihat beberapa persoalan sulitnya
mengaplikasikan pendidikan karakter ini. Ia melihat ada tiga persoalan yang mengganjal
pendidikan karakter di sekolah, yakni gurunya belum memperlihatkan karakter sebagai seorang
guru, masyarakat juga belum memberikan keteladanan, dan budaya guru yang cenderung
mengukur kerja dengan imbalan finansial. Padahal guru seharusnya bisa menjadi sosok mulia,
sosok yang bisa digugu dan ditiru, guru yang mengabdi dengan hati dan penuh keikhlasan.
“Guru diharapkan kembali ke khitahnya,” ujar Endri Joni. Guru tetaplah menjadi sosok yang
mulia dan mengabdi karena dilandasi nilai-nilai agama. Di samping itu, agar guru kembali ke
khitahnya maka dalam setiap program pelatihan guru, materi karakter ini perlu dimasukkan.
Begitu juga saat melakukan penilaian terhadap kinerja guru, masalah karakter ini perlu menjadi
salah satu kriteria penilaian agar guru-guru yang berkarakter kembali hadir.
“Pendidikan karakter harus dimulai dari pemimpin,” ujar H. Syamsu Rahim, Bupati Solok
kepada Singgalang. Karena itulah dalam setiap kesempatan, ia berharap pimpinan SKPD, kepala
sekolah dan guru perlu memulainya. Sebagai kepala daerah, pihaknya sudah menginstruksikan
kepala sekolah dan guru untuk menginventarisir berbagai persoalan di sekolah, terutama
menyangkut perilaku menyimpang, yang tidak sesuai lagi dengan karakter seorang pendidik dan
peserta didik.
Inventarisir persoalan pendidikan ini perlu dilakukan, sehingga saat menyelesaikannya tidak
seperti mengurai benang kusut. Semua pihak harus mengetahui tempat berangkat dan akhir dari
penyelesaiannya. Jika akar persoalan sudah diketahui, ia berharap semua SKPD terkait ikut
menemukan solusi yang tepat, sehingga pendidikan karakter, yang dimulai dari bangku
pendidikan ini bisa mengubah peradaban bangsa. Waitlem

DRs. Jufril Syri, M.M., Kabid PLS dan Kesiswaan Dinas Pendidkan Kota Padang, Pendidikan
dmulai sejak usia dini (PUAD) sebagai bahan baku generasi penerus

Irmatati: masyarakat dan media tidak mendukung pembentukan karakter. Masyaakat tidak peduli
degan perilaku generasi muda dan lebih cenderung membiarkannya. Media selalu menayangkan
siaran yang tidak menggambarkan karakter positif dari manusia dewasa termasuk pejabat kita
Disekolah: bagaimana menerapkan pendidikan karakter dalam pembelajaran, dalam kehidupan,
guru diharapkan menjadi model insan yang berkarakter. Pendidikan tanpa keteladanan tentu
omng kosong.
Pendidikan lebih menekankan pada pengajaran sehingga pendidikan terabaikan, bangsa kita
krisis etika, moral dan sebagainya.

Rusli Intan Sati: perlu sosialisasi kepada masyarakat dan pendidik, persiapkan konsep dan
program yang jelas, terencana, terarah,

Jainus: masih banyak guru yang belum memahami pendidikan karakter itu sendiri sehinggga
kurag aplikasinya di sekolah, begitu juga dimasyarakat, di televisi (sinetron) orang yang
berkarakter sering teraniaya

Endri Joni: sulit menerapkan karena gurunya sendiri yang harus dididik karakternya terlebih
dahulu, masyarakat juga harus memberikan keteladanan, budaya guru yang cenderung mengukur
kerja dengan imbalan finansial
Sarana: kembali ke khitah bahwa guru pekerjaan yang mulia apalagi niat karena Allah, setiap
pelatihan guru dimasukkan materi karakter oleh ahlinya (psikolog, ulama), penilaian kinerja guru
masukkan juga masalah karakter

Irwan Bay: pemimpin sulit dijadikan contoh, hanya bisa memberikan contoh

 Karakter adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma agama,
kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika.
 Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik
mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku
sebagai insan kamil.
UUSPN Pasal 3 menyebutkan Pendidikan nasional berfungsi:
 Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
 Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai