Anda di halaman 1dari 80

Pp

PENGKADERAN

Setelah melalui proses identifikasi permasalahan yang panjang dan analisa

kebutuhan pengkaderan yang lebih sistematis pada lembaga kemahasiswaan yang

diadakan ini, dengan harapan lahir dan tumbuhnya kembali kader-kader lembaga

yang berkualitas dan profesional, maka kemudian ditetapkan suatu konsep

pengkaderan yang lebih terarah, sistematis dan berkelanjutan yang tertuang dalam

bentuk konsep Pengkaderan dimana dalam setiap jenjang pengkaderan yang ada

telah memiliki tujuan, dan sasaran yang dapat diukur. Dalam konsep Pengkaderan

terdapat sebuah konsep yang terdiri atas poin-poin yang sangat penting dan menjadi

kerangka acuan yang wajib dijadikan pedoman bagi para pengurus dalam menyusun

dan menjalankan program kerja dari semua aktivitas kelembagaan dalam lingkup.

konsep pengkaderan ini dapat menjadi pedoman atau kerangka kerja

terhadap semua aktivitas pengkaderan karena dalam penyusunannya telah

diidentifikasi dan dievaluasi pokok-pokok masalah serta hal-hal pokok yang harus

diperbaiki dalam rangka mewujudkan suatu pola pengkaderan yang ideal, sistematik,

dan memiliki nilai-nilai universal.

konsep pengkaderan ini menjelaskan tentang latar belakang setiap jenjang

pengkaderan, pergeseran nilai yang terjadi dalam setiap jenjang pengkaderan, follow

up dari setiap jenjang pengkaderan.

konsep pengkaderan juga mengatur tentang nilai yang melandasi setiap

jenjang pengkaderan , tujuan yang ingin dicapai dalam setiap jenjang pengkaderan,

dan sasaran yang diharapkan atas pelaksanaan setiap jenjang pengkaderan dari setiap

jenjang pengkaderan.

konsep pengkaderan dalam rangka tercapainya nilai, tujuan dan sasaran

maka juga diputuskan untuk mengatur materi-materi yang senantiasa harus ada dan
Pp

dibutuhkan terkait dengan nilai,tujuan dan sasaran. Dengan ditetapkannya meteri-

materi dalam kegiatan pengkaderan agar tidak mengalami kesalahan dalam

menurunkan sasaran yang hendak dicapai maka disetiap materi yang ditetapkan

memiliki tujuan instruksional umum dan khusus sebagai pedoman terhadap pengurus

dalam penyampaian materi. Poin-poin yang menjadi kerangka kerja terhadap seleruh

kegiatan pengkaderan yang tertuang dalam konsep pengkaderan semuanya dalam

kerangka tercapainya tujuan dan sebagai keputusan dari adanya Revitalisasi

Pengkaderan

konsep pengkaderan pengkaderan secara terperinci disajikan pada

pembahasan berikut ini;

PROSESI PENGKADERAN AWAL

Latar Belakang Prosesi Pengkaderan Awal

Prosesi pengkaderan awal atau biasa disebut prosesi penerimaan mahasiswa

baru (PMB), diperuntukkan bagi mahasiswa baru yang pertama kali menginjakkan

kakinya di lingkungan kampus setelah melalui proses pengkaderan tingkat fakultas.

Prosesi pengkaderan awal ini merupakan pintu gerbang bagi seorang mahasiswa baru

untuk memantapkan langkahnya terhadap dunia baru yaitu lingkungan kampus yang

tentunya berbeda dengan dunia sebelumnya.

1. Kondisi kekinian pengkaderan

 Telah kehilangan jati diri/terjadi penyimpangan nilai

 Tidak ada pengenalan kampus

 Ketidaksesuaian antara konsep pengkaderan yang telah dirumuskan dengan

teknis pelaksanaan.
Pp

 Terjadi perubahan hegemoni di mana hegemoni fisik yang selama ini menjadi

ciri khas dari pelaksanaan pengkaderan tidak sesuai lagi dengan perkembangan

wacana baik dalam lingkup masyarakat, bangsa, dan negara. Saat ini yang

dibutuhkan adalah hegemoni pemikiran.

2. Nilai, tujuan, dan Sasaran Pengkaderan Awal

1. Nilai-nilai Pengkaderan Awal

Mengingat kegiatan ini sudah menjadi suatu proses jenjang pengkaderan

awal di masing-masing institusi pendidikan tinggi, maka sebaiknya substansi dari

pelaksanaan pengkaderan awal ini perlu kembali dievaluasi agar keberadaannya tidak

menyimpang dari nilai-nilai intelektual yang senantiasa menjadi ciri utama dan

budaya kampus (mahasiswa). Untuk itu dilakukan evaluasi dan analisa kebutuhan

kelembagaan maka prosesi pengkaderan awal harus berlandaskan pada nilai:

 Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan

 Menanamkan nilai nilai kesadaran kritis

 Menanamkan nilai-nilai kepekaan sosial

 Menumbuhkan semangat kebersamaan dan gotong royong

2. Tujuan Pengkaderan Awal

 Memperkenalkan lingkungan internal dan eksternal kampus yang

menunjang kegiatan perkuliahan dan memperkenalkan kultur kampus

 Melakukan upaya dekonstruksi konsep pemikiran mahasiswa baru

3. Sasaran Pengkaderan Awal

 Dikenalnya lingkungan internal dan eksternal kampus yang menunjang

kegiatan perkuliahan dan kultur kampus


Pp

 Tumbuhnya kepekaan terhadap kondisi yang terjadi disekitar

lingkungan mahasiswa, baik pada diri sendiri, masyarakat, bangsa dan

negara.

Komposisi Materi Pengkaderan

Penetapan komposisi materi pada pengkaderan awal dimaksudkan sebagai

materi wajib yang dalam evaluasi dan analisa kebutuhan, materi ini terkait langsung

dengan nilai, tujuan, dan sasaran yang telah ditentukan, dan materi ini relevan paling

tidak beberapa tahun ke depan. Penentuan komposisi materi ini tidak dimaksudkan

untuk membatasi wewenang dan tugas dari steering comitee yang selama ini berperan

dalam penentuan materi-materi pengkaderan. Selain itu steering comitee tetap

berwenang untuk menentukan materi tambahan yang diangggap perlu untuk

dilakukan. Fungsi utama dari steering comitee dan pengurus lembaga nantinya adalah

bagaimana mengawasi pelaksanaan konsep pengkaderan ini dan mempertajam nilai-

nilai pengkaderan berdasarkan kondisi riil mahasiswa yang akan dikader. Berikut

adalah komposisi materi yang harus ada pada kegiatan pengkaderan.

1. Identitas Mahasiswa

2. Quantum Learning

3. Potensi Kecerdasan Manusia

4. Kesadaran Kritis

5. Pengenalan Lingkungan Internal dan Eksternal Kampus

6. Pengenalan “Pejabat” Fakultas

7. Pengenalan Pengurus Lembaga

Penjelasan secara terperinci atas materi-materi tersebut diatas dapat dilihat

pada lampiran materi pengkaderan awal , lengkap dengan hal-hal yang terkait
Pp

langsung dengan penyampaian materi di pengkaderan awal Penyampaian materi

tersebut harus berdasarkan dan mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah ditetapkan.

Identitas mahasiswa

Dalam banyak hal, seseorang senantiasa menetapkan suatu perencanaan

tentang apa yang akan dilakukan nanti, esok, lusa dan seterusnya. Katakan saja setiap

malamnya kita akan memikirkan atau merencanakan apa yang akan kita lakukan esok

hari, ke mana kita akan pergi atau pakaian apa yang akan kita pakai, dan kesemuanya

haruslah disesuaikan dengan tujuan yang kita inginkan. Begitu juga dengan pilihan

menjadi seorang mahasiswa.

Ketika masih duduk dibangku sekolah seorang siswa diperhadapkan dengan

berbagai pilihan untuk menjadi apa saja dan bagaimana mencapai pilihan tersebut.

Keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pun jelaslah bukan

akhir dari pertemuan kita dengan berbagai pilihan. Dengan keputusan menjadi

seorang mahasiswa ternyata makin memperpanjang daftar pilihan yang harus kita

pikirkan baik-baik. Karena dengan begitu artinya status, karakter, dan tanggung jawab

kita pun bertambah, dan tak dapat dipungkiri ini merupakan suatu potensi yang sangat

besar unutk menghadirkan berbagi konflik dalam diri mahasiswa.

Dalam konteks psikologi, masa-masa menjadi mahasiswa adalah waktu di

mana aturan-aturan yang ketat yang kemudian menjadi media penghambat libido dan

hasrat seseorang (dalam psikologi disebut dengan istilah Fiksasi) ini semakin

mengendur atau semakin pudar, dan bukan tidak mungkin ini akan melahirkan efek

yang meledak-ledak atau yang biasa disebut dengan istilah Katarsis. Sebagai contoh,

pada waktu dibangku sekolah, seorang siswa harus menjalani suatu rutinitas yang

secara ketat diatur oleh pihak sekolah, seperti jam masuk, jam pulang dan pakaian

seragam serta berbagai aturan lain yang benar-benar membatasi gerak seorang siswa.
Pp

Belum lagi aturan rumah yang tak kalah ketatnya, akibat anggapan bahwa seorang

siswa belum cukup dewasa untuk menentukan pilihannya sendiri. Inilah yang

dimaksud dengan fiksasi. Dan ketika siswa tersebut masuk ke dalam dunia kampus di

mana tidak ada lagi aturan yang begitu ketatnya maka ini bisa saja menjadi ruang

yang tepat untuk melakukan apa saja yang mungkin dianggap “tabu” ketika masih

duduk di bangku sekolah, baik itu bermanfaat ataupun sebaliknya.

Di sinilah fungsi yang paling utama dari pada sebuah orientasi, yang kemudian

mempertegas kembali apa yang menjadi motif utama kedatangan seseorang ke dalam

dunia kampus.

Dari tinjauan di atas dapat dipahami bahwa latar belakang seseorang menjadi

mahasiswa dapat mempengaruhi langkah yang dianggap paling tepat bagi dirinya,

namun sebaliknya, itu juga dapat memperumit permasalahan yang dihadapi.

Kompleksitas dari identitas mahasiswa yang dimaksudkan, selain berdasarkan UU

Sistem Pendidikan Tinggi (SISDIKTI) yang menjelaskan tentang definisi mahasiswa

dan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjelaskan tentang fungsi mahasiswa yaitu

Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian terhadap masyarakat, identitas mahasiswa

juga dibentuk oleh akumulasi dari aktifitas yang dilakukan oleh mahasiswa yang

dilakukan setiap waktu baik yang berkaitan dengan kegiatan dunia kampus maupun

dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai peran yang dilakoni oleh seorang mahasiswa

pun akan menghadirkan berbagai tanggung jawab yang berbeda pula. Sebagai

individu seorang mahasiswa memiliki keinginan, cita-cita, dan kebebasan untuk

menjadi apa saja yang diinginkan, yang menurutnya ideal. Berbeda pula perannya

sebagai seorang anak yang mempunyai tanggung jawab unutk berbakti pada orang

tuanya, atau membahagiakannya, katakan saja keinginan orang tua untuk melihat
Pp

anaknya cepat merampungkan studinya dan kemudian mendapatkan pekerjaan serta

pendapatan yang layak, untuk hidup lebih layak nantinya.

Berbeda pula tanggung jawab kepada masyarakat, dari sisi intelektualitas,

jelas mahasiswa merupakan manusia yang berada dalam ruang ilmiah dan memiliki

seperangkat pengetahuan tentang mana yang benar dan salah atau adil dan tidak adil

yang selanjutnya digunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat yang

sudah terlampau sering didera ketidakadilan dan penindasan. Selain itu konsekuensi

materil pun menjadi beban mahasiswa terutama yang berada di Perguruan Tinggi

Negeri (PTN), hal ini dikarenakan biaya pendidikan yang tidak sepenuhnya

ditanggung oleh mahasiswa tersebut namun juga dari subsidi pemerintah yang berasal

dari pajak yang dipungut dari “tiap tetes keringat” rakyat Indonesia. Maka sudah

pantaslah membela kepentingan masyarakat pun menjadi prioritas dalam tiap gerak

setiap mahasiswa.

Dari sisi konstruk budaya dan sosiologis, mahasiswa tidak dapat lepas dari

identitas yang dibentuk dari ikon-ikon budaya dominan, jelas ini akan menambah

perbendaharaan masalah yang dihadapi. Mungkin disatu sisi konsep idealisme yang

coba terus dipertahankan kemudiaan akan berbenturan dengan budaya-budaya (yang

dianggap) hedonis, pragmatis, dan lainnya. Sedangkan tren dominan hari ini menuntut

jiwa “muda” mahasiswa untuk terlibat dalam budaya tersebut.

Kemudian bagaimana dengan konsep ideal tentang mahasiswa tersebut?, Soe

Hok Gie yang dikenal sebagai aktifis mahasiswa angkatan 66, dalam buku hariannya,

yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang diberi judul Catatan Seorang

Demonstran (Buku, Pesta, dan Cinta), mencoba menggambarkan tentang komposisi

ideal seorang mahasiswa yang berada dalam kemelut antara kondisi kebangsaan yang

sangat memprihatinkan di mana ketertindasan rakyat merajalela, dan sebagai


Pp

mahasiswa dia aktif dalam kegiatan advokasi dan demonstrasi pada saat itu, namun

selain itu, mahasiswa yang diceritakan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra

dan aktif sebagai mahasiswa pecinta alam (MAPALA) Universitas Indonesia ini pun

menuangkan dalam buku hariannya tersebut tentang cita-cita untuk masa depannya

dan tentang harapan keluarga terhadap dirinya, serta kehidupannya sebagai seorang

anak muda yang selalu ingin menikmati masa kejayaannya tersebut, tidak hanya

sampai disitu dia pun menuliskan tentang kisah cintanya. Sangat kompleks, itulah

ungkapan yang mungkin muncul ketika kita mencoba menelaah secara jujur tentang

identitas mahasiswa hari ini. Rumit memang, namun bukan untuk dipersalahkan

kemudian sejarah mahasiswa tersebut, namun bagaimana kemudian ini menjadi

sebuah semangat untuk memberikan aksesoris-aksesoris yang lebih indah lagi di tiap

dinding kehidupan kita.

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa baru diharapkan mampu memahami secara utuh tentang identitas,

karakteristik, dan tanggung jawab mahasiswa dalam lingkup individu, masyarakat,

bangsa dan negara.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa baru mampu memahami definisi dan fungsi mahasiswa.

2. Mampu menumbuhkan semangat intelektualitas, kreatifitas, kedisiplinan, dan

tanggung jawab pada mahasiswa baru.

3. Mengarahkan orientasi mahasiswa baru dalam menjalani kehidupan kampus

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog


Pp

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi

dihadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi

yang telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi identitas kemahasiswaan. Atau

dapat dikatakan bahwa referensi dari identitas kemahasiswaan ini merupakan materi

pendalaman untuk lebih mendalami dan memahami tentang identitas kemahasiswaan.

Referensi untuk materi identitas kemahasiswaan adalah sebagi berikut:

Gie, Soe Hok, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, Jakarta, 1993

Iqbal, T.M. Dhani, Sabda Dari Persemayaman, Grasindo, Jakarta, 2001

Soemardjan, Selo, Kisah Perjuangan Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, 1999

 Pendamping.

Pendamping disini dimaksudkan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk

melakukan penilaian terhadap kondisi peserta dan pemateri dengan tujuan dapat

melakukan kontrol terhadap nilai,tujuan dan sasaran dari pengkaderan awal serta TIU

dan TIK dari materi.


Pp

QUANTUM LEARNING

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa baru mampu mengenali konsep dan metode-metode quantum dalam

kegiatan berlembaga dan lingkungan akademik

Tujuan Instruksional Khusus

1. Setiap mahasiswa baru mampu mengetahui definisi, teori-teori, dan manfaat

quantum learning.

2. Mahasiswa baru mampu menerapkan metode-metode quantum.

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi

dihadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi

yang telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh nara sumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam

menyampaikan materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi Quantum

Learning Atau dapat dikatakan bahwa referensi dari materi ini merupakan materi
Pp

pendalaman untuk lebih mendalami dan memahami tentang Quantum Learnig

Referensi untuk materi tersebut adalah sebagi berikut:

Potter, Bobby J, Quantum Learning,

 Pendamping.

Pendamping disini dimaksudkan sebagi pihak yang bertanggung jawab untuk

melakukan penilaian terhadap kondisi peserta dan pemateri dengan tujuan dapat

melakukan kontrol terhadap nilai, tujuan, dan sasaran dari pengkaderan awal serta

TIU dan TIK dari materi.

POTENSI KECERDASAN MANUSIA

“Gnothi Teauton” ( Kenalilah dirimu).

(Socrates)

“Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”

(Ali Bin Abi Thalib)

Ketika kepala sekolah di sebuah sekolah menengah sedang membacakan

nama-nama siswa yang tergolong pintar dalam yudisium sekolahnya, seorang siswa

tiba-tiba bertanya, ”Ibu, siapakah yang lebih pintar Albert Einstein atau Mike Tyson?,

Rudi Hartono atau B.J. Habibie?

Ibu kepala sekolah tidak saja kaget , tetapi juga marah. Dengan suara tegas

dan berapi- api, ia berkata di depan pengeras suara.”Mana mungkin Mike Tyson yang

kerjanya memukul orang dibandingkan dengan Einstein yang menemukan hukum

Relativitas. Apalagi membandigkan Habibie yang pembuat pesawat dengan Rudi

Hartono yang kerjanya hanya memukul bola. Si siswa penanya, yang seorang pemain

basket terkenal yang mengharumkan nama sekolahnya, tidak cuma kecewa dengan
Pp

jawaban itu, tetapi merasa sia-sia keterampilannya. Dia tidak pernah dianggap cerdas

dan pantas memperoleh penghargaan kecerdasan dari sekolah. Dia mengalami

kekecewaan serupa yang dialami seorang pemain gitar terkenal di sekolahnya.

Kasus yang merupakan kisah nyata dibeberapa sekolah ini, membuka mata

banyak orang tentang kecerdasan. Apakah yang cerdas hanyalah mereka yang pintar

matematika dan bahasa, yang IQ mereka diatas 100?

Fakta lain membuktikan bahwa sebagian besar siswa yang nilai rapornya

bagus, banyak yang kemudian menganggur. Sementara yang pintar main musik dan

piawai berolah raga diterima dibeberapa bank sebagai karyawan tetap. Kasus lain

terjadi di Fakultas Kedokteran. Diantara dokter yang lulus tetap waktu itu dengan

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) diatas 3,0, merupakan dokter-dokter yang gagal, baik

sebagai kepala puskesmas maupun dokter praktek swasta. Sementara kawan-kawan

mereka yang hampir Droup Out karena terlalu lama sekolah, juga dengan IPK biasa,

justru menjadi dokter-dokter yang berhasil ketika bekerja di lingkungan masyarakat,

diantaranya menjadi dokter teladan.

OTAK

Otak adalah organ yang paling kompleks yang pernah dikenal dalam semesta

ini. Ia adalah satu-satunya bagian tubuh yang paling berkembang dan secara otomatis

dapat mempelajari dirinya sendiri. Otak adalah organ yang bilamana dirawat, dijaga,

dan dipelihara secara serius dan teratur, dapat bertahan sampai lebih dari seratus

tahun. Tidak seperti organ tubuh lain, yang semakin tua semakin rusak, otak justru

makin tua makin menunjukan fungsi yang makin luas dan lebar. Kian tua interkoneksi

antarsel saraf (neuron) karena memang pengalaman hidup yang makin banyak, dan

kian padat dalam otak manusia. Salah satu produk otak adalah pikiran. Manusia boleh

saja mati tetapi pikiran-pikirannya bisa jadi akan tetap hidup. Karena pemikiran-
Pp

pemikiran disebarkan, disosialisasikan, bahkan didiskusikan, seperti Socrates, Marx,

Budha, Nabi Isa, atau Nabi Muhammad SAW, yang telah wafat, tetapi pikiran-pikiran

mereka tidak pernah mati.

Pada manusia yang masih hidup, pikiran pun sedemikian dahsyatnya, tidak

seperti fisik tubuh manusia yang terikat pada ruang dan waktu, pikiran bebas

berkeliaran kemanapun sesuai dengan keinginannya. Seorang boleh saja mencangkul

namun pikirannya sedang berada di bank, pasar atau tempat lainnya. Banyak sekali

terjadi, seorang yang lemah fisik, tetapi memiliki kakuatan dalam berpikir.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa otak manusia terdiri dari bermilyar-

milyar sel aktif, yaitu sekitar 100 milyar sel aktif sejak lahir. Masing- masing sel

dapat membuat jaringan sampai 20.000 sambungan setiap detik. Dengan kemampuan

luar biasa ini otak manusia mampu menghafal seluruh atom yang ada di alam semesta

ini. Kemampuan memori otak kita adalah 10800(10 dengan angka 0 sebanyak 800

dibelakangnya), sedangkan jumlah atom yang ada di alam semesta adalah angka 10100

(10 dengan 0 sebanyak 100 di belakangnya).

Otak manusia terdiri dari otak kanan dan otak kiri. Otak kanan fungsinya

untuk mejawab sesuatu yang acak, holistik, kreatif sedangkan otak kiri untuk sesuatu

yang logis, linier, urut, parsial.

INTELLIGENCE QUOTIENT ( IQ )

Inttelligence quotient atau kecerdasan intelektual pertama kali diperkenalkan

oleh William Stern sekitar 100 tahun yang lalu. Sejak saat itu banyak orang yang

memiliki IQ rendah merasa minder, malu, atau bahkan pesimis dengan masa

depannya. Dan sejak saat itu pula kemampuan matematis merajai dunia. Jarang

penghargaan diberikan kepada para penulis puisi, novelis, olahragawan, dramawan,


Pp

sebagai orang- orang yang cerdas, kecuali pada penghargaan nobel yang memang

mengkhususkan bidang-bidang seni.

Di Indonesia, yang model pendidikannya selalu berubah setiap ganti menteri,

ternyata tidak lepas dari pendewaan terhadap kecerdasan matematis dan IQ, tidak

puas dengan penerapan kecerdasan rapor dipendidikan dasar dan menengah, maka di

perguruan tinggi pun menggunakan kecerdasan rapor. Padahal, kemampuan

menyelesaikan masalah, mendidik bagaimana seorang sarjana menjadi seorang

problem solver, tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan rapor.

Titik berat pendidikan di Indonesia yang hanya memberikan kesempatan

berkembang pada otak kiri, membuat otak kanan terbengkalai. Evaluasi Akhir

Semester atau ujian akhir misalnya hanya sanggup mengukur otak kiri anak didik,

oleh karena itu seyogyanya bukan merupakan indikator kelulusan.

Menurut Robert Copper, kecerdasan rapor atau IQ hanya menyumbangkan

sekitar 4% bagi keberhasilan hidup, sedangkan 90% ditentukan oleh kecerdasan-

kecerdasan lainnya.

EMOTIONAL QUOTIENT (EQ)

Emotional quotient/ kecerdasan emosi dikenal secara luas pada pertengahan

90-an dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman: Emotional Intelligence. Goleman

melakukan riset kecerdasan lebih dari 10 tahun. Di dalam bukunya, dia menjelaskan

kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri, dan

perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan kemampuan mengelola emosi

dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Meskipun IQ tinggi, tetapi bila kecerdasan emosi rendah maka tetap tidak

membantu. Banyak orang cerdas dalam arti terpelajar, tetapi tidak memilki
Pp

kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang IQ nya lebih rendah

tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.

SPIRITUAL QUOTIENT (SQ)

Spiritual quotient/ kecerdasan spiritual petama kali diperkenalkan oleh Danah

Zohar bersama dengan suaminya Ian Marshall, berlandaskan pada temuan- temuan

neurologis tentang GOD SPOT (Titik Tuhan) diramu dengan fisika kuantum dan

kearifan oriental dan psikologi transpersonal.

Temuan Zohar tampak memukau, namun kelemahan konsepnya tampak di

sana-sini. Pertama; argumentasi neurobiologist tentang God Spot, mengingatkan kita

pada paham materialisme maupun Neo Materialisme yang selalu berusaha memberi

penjelasan mengenai hal-hal yang spiritual dari fenomena- fenomena material. Sekitar

dua abad yang lalu seorang filsof mengatakan’ daya intellengence itu sangat

tergantung phosphor, bila tidak ada phosphor maka tidak ada intellenge. Argumentasi

neurobiologis yang digunakan Zohar untuk membuktikan keberadaan SQ, merupakan

hal yang secara filosofis kurang bisa dipertanggungjawabkan, kedua, sistematika buku

SQ karya Zohar dan suaminya Ian Marshall terkesan gado- gado, bahkan gado-gado

yang dicampur rawon. Logikanya meloncat- loncat dari psikologi transpersonal, ke

neurobiologis, ke fisika quantum kemudian keteks-teks suci ajaran-ajaran agama

maupun kebijakan oriental. Memang agak khas gaya pemikir tersebut, tapi lepas dari

banyaknya kelemahan dalam buku Zohar, konsep kecerdasan spiritual memang tidak

dapat disangkal adanya. Karya Zohar sebenarnya lebih mencerminkan upaya Zohar

untuk mengembalikan masyarakat Barat pada nilai- nilai spiritual.

Untuk seorang penganut agama yang baik, mereka pasti dengan mudah

memahami aspek-aspek kecerdasan spiritual seperti yang dipaparkan oleh Danah

Zohar dan Ian Marshall. Kemampuan untuk mentransformasi derita menjadi bahagia,
Pp

adalah hal- hal yang memang dapat dicapai relatif lebih mudah dengan melalui

pengamalan agama yang benar. Dengan itu diharapkan seseorang yang religius lebih

cerdas secara spiritual dari pada orang yang tidak religius. Penyair Sufi RUMI

maupun sufi besar Ibn Arabi yang dikutip oleh Danah Zohar adalah orang-orang yang

amat Religius dalam Ulama kaum Muslim. Dan mereka karya-karya yang

monumental dan kaya secara spiritual dan bisa meningkatkan kecerdasan spiritual

orang- orang yang mentafakuri karya- karyanya.

Seperti yang dikatakan Shandel yang dikutip Ali Syariati dalam bukunya

“haji” bahwa bahaya paling besar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang

bukanlah ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan di dalam

dirinya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta

sekarang ini adalah sebuah ras yang nonmanusiawi. Inilah mesin berbentuk manusia

yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah. Itulah

gambaran Ali Syariati untuk orang-orang yang buta hati atau nurani, bahasa

agamanya, tidak beriman, dalam bahasa modernya, EQ rendah.

MULTI INTELLINGENCE

Sekitar 15 tahun, Gardner, profesor pendidikan Harvard melakukan riset

kecerdasan manusia. Ia mematahkan mitos bahwa iq tetap, tidak berubah, selain itu ia

juga menyatakan, bahwa iq hanya sebagian dari kecerdasan manusia. Kecerdasan

manusia jauh lebih besar dari pada sekedar iq,. Manusia memiliki kecerdasan multi

yang dirumuskan dengan istilah multiple intellingences, yaitu kecerdasan logis mate-

matis, kecerdasan linguinstik-verbal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan musical,

kecerdasan kinestetik, kecerdasan emosianal (interpersonal dan intrapersonal),

kecerdasan naturalist, kecerdasan intuisi, kecerdasan moral, kecerdasan eksistensial,

kecerdasan spiritual, dan lain- lain.


Pp

IQ, dapat kita kembangkan dengan percepatan belajar, misalnya; cara

membaca cepat, menghafal cepat, perpikir kreatif, berhitung cepat, dan lain-lain. EQ

dapat kita kembangkan berdasarkan hasil penelitian Goleman dan kawan- kawan,

yaitu; pertama, menyadari dan menyakini bahwa emosi itu benar- benar ada dan riil,

kedua, mengelola emosi menjadi kekuatan untuk mencapai prestasi terbaik,

sedangakan SQ dapat dikembangkan dengan sering melakukan evaluasi diri atau

perenungan, termasuk sering bertanya dalam diri, siapa yang menciptakan kita,

kenapa kita mesti diciptakan dan kita mau kemana sebagai tanggung jawab

penciptaan itu.

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa baru mampu mengenali dan memahami potensi-potensi kecerdasan dan

bagaimana mengaktualisasikannya.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Setiap mahasiswa baru mampu mengenali potensi kecerdasan yang dimilikinya

masing-masing.

2. Mahasiswa baru mampu memahami:

 IQ menurut William Stern

 EQ menurut Daniel Golemen

 SQ menurut Danah Zohar dan Ian Marshal

 ESQ menurut Ary Ginanjar Agustian

 Potensi Kecerdasan menurut Colin Rose

 SEPIA menurut

3. Mahasiswa baru mampu mengaktualisasikan potensi-potensi kecerdasan tersebut

 Model Penyampaian
Pp

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi

dihadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi

yang telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh nara sumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi Potensi Kecerdasan Manusia

Atau dapat dikatakan bahwa referensi dari Potensi Kecerdasan Manusia ini

merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan memahami tentang Potensi

Kecerdasan Manusia. Referensi untuk materi tersebut adalah sebagi berikut:

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ, Penerbit Arga, Jakarta, 2001

, ESQ Power “Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan,

Penerbit Arga, Jakarta, 2003

Pasiak, Taufik, Revolusi IQ,EQ,SQ “Antara Neurosains Dan AlQuran”, Mizan,

Bandung, 2002

Rose, Colin, Accelerated Learning,

 Pendamping.

Pendamping di sini dimaksudkan sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk

melakukan penilaian terhadap kondisi peserta dan pemateri dengan tujuan dapat
Pp

melakukan kontrol terhadap nilai,tujan dan sasaran dari pengkaderan awal serta TIU

dan TIK dari materi.

KECERDASAN KRITIS

 Tujuan Instruktional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Melatih dan menumbuhkan daya nalar dan daya kritis bagi mahasiswa baru terhadap

permasalahan – permasalahan yang terjadi baik pada diri sendiri, maupun pada

berbagai realitas sosial yang ada disekitarnya.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa baru mampu memahami defenisi, tujuan dan manfaat dari kesadaran

kritis

2. Mahasiwa baru mampu membedakan wilayah-wilayah kesadaran magis, naïf, dan

kritis

3. Mahasiswa baru mampu berpikir objektif, kritis, skeptis dan analitis terhadap

permasalahan yang terjadi

4. Mahasiswa baru mampu mengetahui dampak dari budaya pragmatis, hedon, dan

konsumerisme

5. Menumbuhkan minat mahasiswa baru untuk memperdalam pengetahuan tentang

kesadaran kritis

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi

dihadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi

yang telah disampaikan.


Pp

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh nara sumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi Kesadaran Kritis Atau dapat

dikatakan bahwa referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih

mendalami dan memahami tentang Kesadaran Kritis. Referensi untuk materi tersebut

adalah sebagi berikut:

Budiman, Kris, Semiotika Visual, Buku Baik, Yogyakarta, 2004

Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, Bentang, Jakarta, 1970

Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, Mizan Pustaka, Bandung, 2002

Iqbal, T.M. Dhani, Sabda dari Persemayaman, Grasindo, Jakarta, 2001

Lestari, Dewi, Supernova “Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh”, PT. Trudee Books,

Jakarta, 2001

Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Mizan, Jakarta, 1999

Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Menakutkan, Mizan, Jakarta, 2001

Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Berlari, Grasindo, Jakarta, 2004

Smith, William. A, Conscientizacao Tujuan Pendidikan PAULO FREIRE,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001

Analisa Teks Media

Filsafat Dibalik Headline Berita


Pp

Analisa wacana Kritis

Catatan Chapra

 Pendamping.

Pendamping di sini dimaksudkan sebagi pihak yang bertanggung jawab untuk

melakukan penilaian terhadap kondisi peserta dan pemateri dengan tujuan dapat

melakukan kontrol terhadap nilai, tujuan, dan sasaran dari pengkaderan awal serta

TIU dan TIK dari materi.

PENGENALAN LINGKUNGAN INTERNAL & EKSTERNAL KAMPUS

 Tujuan Instruksional Umum Dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Memberikan gambaran kepada mahasiswa baru tentang lingkungan internal dan

eksternal kampus Universitas Hasanuddin.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa baru mampu mengenali lingkungan internal FIB -UH

2. Mahasiswa baru mampu mengenali lingkungan eksternal FIB-UH yang

berhubungan dengan aktivitas kemahasiswaan.

 Referensi:

Universitas Negeri Makassar, Buku pedoman mahasiswa baru UNM, edisi

terbaru
Pp

FOLLOW UP

Rencana Tindak Lanjut Pengkaderan Awal

Dalam rangka mewujudkan pengkaderan yang ideal tentu membutuhkan

proses yang berkelanjutan dan sistematik. Kelemahan pengkaderan selama ini adalah

kegiatan pengkaderan yang berlangsung secara bertahap (gradual), tidak ada proses

yang sistematik untuk menindaklanjuti kegiatan pengakaderan yang telah dilakukan.

Berangkat dari kondisi ini maka kemudian diambil langkah-langkah untuk

menindaklanjuti kegiatan pengkaderan awal, agar tujuan, nilai, dan sasaran yang

hendak dicapai dalam kegiatan pengkaderan awal tersebut benar-benar dapat

diwujudkan. Apalagi mengingat waktu yang agak terbatas pada pelaksanaan kegiatan

pengakaderan awal tersebut sehingga nilai-nilai yang akan diturunkan tentu menjadi

tidak maksimal. Dengan melakukan follow-up pengkaderan maka materi-materi yang

disampaikan dalam kegiatan pengkaderan awal dapat lebih diperdalam.

Berikut adalah rencana tindak lanjut dari kegiatan pengkaderan awal yang

akan berlangsung secara intensif sampai pada jenjang kegiatan pengkaderan

selanjutnya.

Materi-materi yang disampaikan pada kegiatan follow up adalah materi-materi

yang diturunkan dalam kegiatan pengkaderan awal. Materi ini dapat bersifat

mengulang kembali materi yang telah disampaikan, melanjutkan materi yang belum

diturunkan atau memperluas/memperdalam materi tersebut dengan membahas materi

-materi yang terkait dengan materi pokok (membahas referensi materi yang

dianjurkan).
Pp

 Model penyampaian materi

Bentuk penyampaian materi dari follow up kegiatan pengkaderan awal terdiri atas

berbagai model penyampaian. Model penyamapaian materi follow up pengkaderan

adalah sebagai berikut:

1. Ceramah dan Dialog

Ceramah dan dialog yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-

pokok materi di hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk

mempertajam materi yang telah disampaikan. Urgensi dialog adalah memberikan

kesempatan kepada peserta untuk bertanya mengenai persoalan yang belum jelas,

sharing pendapat mengenai gagasan dalam perspektif yang berbeda dengan apa

yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi suatu persoalan yang dipandang

masih meragukan ataupun memberikan gagasan-gagasan cerdas yang sebenarnya.

2. Pendampingan

Pendampingan dilakukan dengan membentuk suatu kelompok. Dalam

pendampingan ini diharapkan terbentuk suatu forum interaktif antara peserta

kader berdasarkan topik pembahasan tertentu dan didampingi satu atau lebih

panitia sebagai fasilitator. Peran fasilitator adalah bukan pihak pemberi ceramah

tetapi mengelolah forum agar antar peserta bisa tercipta pola interaksi yang

dinamis dan hidup untuk memperbincankan persoalan yang telah ditentukan.

Dengan demikian imajinasi peserta akan berkembang dan pada akhirnya akan

memberikan sesuatu yang baru, gagasan baru, atau pemecahan baru terhadap

suatu persoalan secara mandiri.


Pp

3. Bedah kasus,bedah buku, bedah film,dll.

Bedah kasus merupakan sebuah forum interaksi peserta berdasarkan kasus

tertentu dimasyarakat yang relevan dengan topik atau tema pembicaraan.

Teknisnya sebelum memasuki pokok materi, fasilitator melemparkan sebuah

kasus tertentu, bisa secara lisan langsung atau dengan tulisan mengenai kasus

tersebut, kemudian peserta diberi kesempatan beberapa saat untuk

mendiskusikannya.

Bedah buku merupakan sebuah forum interaksi peserta berdasarkan judul

buku tertentu yang dikupas secara mendalam untuk menemukan dan memahami

makna dan pokok-pokok permasalahan yang disampaikan dalam buku tersebut.

Bedah film merupakan sebuah forum interaksi peserta berdasarkan tema

tertentu yang ada dalam sebuah film. Untuk kegiatan bedah film sebelum

dilakukan interaksi antarpeserta maka terlebih dahulu dilakukan pemutaran film

sesuai dengan tema yang akan diangkat dalam topik diskusi.

4. Simulasi

Simulasi merupakan bentuk pembelajaran mengenai beberapa topik atau

tema tertentu dengan menggunakan metode games/permainan. Jadi tidak berada

dalam kondisi yang formal dan kaku, dengan demikian peserta kader diharapkan

mampu secara langsung merasakan bentuk permainan dengan tetap

berhubungan pengembangan wawasan dan pola pikir. Bentuk simulasi ini dapat

berupa debat, cerdas cermat, dan kegiatan outbond.

5. Absensi

Absensi dimaksudkan sebagai bentuk kontrol dan evaluasi secara langsung

dan mendalam terhadap peserta kader yang telah mengikuti prosesi pengkaderan

awal. Dengan adanya kegiatan absensi ini diharapkan terbangun suatu pola
Pp

hubungan yang intensif antara pengurus dengan mahasiswa baru yang baru

mengikuti prosesi kegiatan pengkaderan awal.

Pada dasarnya metode penyampaian di atas bersifat fleksibel. Karena

itu beberapa metode di atas dapat dilaksanakan secara konfiguratif dengan tetap

mempertimbangkan relevansi atau sinkronisasi diantara masing-masing metode

tersebut. Karenanya setiap pengkader atau narasumber dituntut untuk selalu

kreatif, inovatif, dan mampu melakukan improvisasi yang dinamis dan antisipatif

dalam mengelola sebuah forum, sehingga tujuan dan target materi berhasil

disampaikan secara maksimal dengan melibatkan peserta seefektif mungkin.

PROSESI PENGKADERAN AWAL

BINA AKRAB

Nilai-nilai Pengkaderan Awal

1. Penguatan basis keilmuan

2. Penanaman etika dan moralitas

3. Solidaritas jurusan

4. Urgensi dan sinergitas antar jurusan FIB-UH

Tujuan Pengkaderan Awal

1. Membina keakraban diantara senior dan yunior

2. Terwujudnya hubungan yang harmonis antara sesama keluarga di tingkat jurusan

3. Sebagai studi pengenalan kampus

4. Melakukan identifikasi potensi kader

Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan pengkaderan awal

1. Terbinanya keakraban antara senior dan junior

2. Harmonisnya hubungan antar sesama keluarga ditingkat jurusan

3. Terindentifikasinya potensi kade


Pp

PRALATIHAN KEPEMIMPINAN TINGKAT PERTAMA

Gambaran Umum

Aspek kepemimpinan dalam kegiatan Lembaga Mahasiswa merupakan kunci

utama dalam meningktkan kinerja lembaga kemahasiswaan, baik terhadap kegiatan

pengkaderan maupun terhadap pelayanan terhadap anngota keluarga mahasiswa. Nilai

kepemimpinan yang diharapkan mengkristal pada pengurus lembaga dan keluarga

mahasiswa dari tahun ketahun semakin pudar. Dengan kondisi yang kita hadapi saat

ini kemudian dipikirkan untuk menambah bobot dan kualitas dari kegiatan Latihan

Kepemimpinan yang selama ini sudah ada. Oleh karena itu diputuskan untuk

melakukan pendalaman materi kepemimpinan melalui kegiatan pralatihan

kepemimpinan. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi loncatan materi yang

telalu tinggi antara materi materi yang disampaikan pada kegitan pengkaderan awal.

Untuk kegiatan pengkaderan pralatihan kepemimpinan tingkat dasar ini dapat

berbentuk formal atau nonformal. Bentuk pralatihan kepemimpinan formal berarti

materi materi yang ditetapkan disampaikan dengan cara yang intensif dan dalam

suasana yang formal, waktu yang dibutuhkan untuk bentuk formal ini paling tidak 2-3

hari. Sedangkan bentuk pralatihan kepemimpinan non formal berarti materi materi

disampaikan secara berkala sampai pada jangka waktu dilaksanakannya Latihan

Kepemimpinan Tingkat Pertama. Intesitas waktu yang dibutuhkan untuk kegitan

nonformal paling tidak sekali dalam seminggu. Bentuk kegiatan dari Pralatihan

Kepempinan Tingkat pertama ini sepenuhnya diserahkan pada pihak pengurus untuk

menentukan bentuk mana yang akan digunakan.


Pp

MATERI LK1

Komposisi Materi Pengkaderan Pralatihan Kepemimpinan Tingkat Dasar

Penetapan komposisi materi pada pralatihan kepemimpinan tingkat pertama

dimaksudkan sebagai materi wajib yang dalam evaluasi dan analisa kebutuhan, materi

ini terkait langsung dengan nilai, tujuan, dan sasaran yang telah ditentukan, dan

materi ini relevan paling tidak beberapa tahun ke depan. Berikut adalah komposisi

materi yang harus ada pada kegiatan pengkaderan PRALK I

1. Hakikat dan Urgensi Organisasi

2. Pengantar Filsafat Ilmu

3. Kerangka berpikir Ilmiah

4. Manajemen Konflik

5. Brainstorming

6. Analisis SWOT

7. Creative Problem Solving

HAKIKAT URGEN ORGANISASI


A. Defenisi dan Sejarah Organisasi

Organisasi adalah kumpulan orang-orang yang melakukan suatu kegiatan

untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.

Dalam kehidupan manusia, tentu manusia tidak dapat hidup sendiri di tengah-tengah

masyarakat, artinya selalu berharap adanya bantuan dari pihak lain atau sering disebut

manusia adalah makhluk sosial. Menurut Plato sudah merupakan hakikat hidup

manusia bahwa adanya ketergantungan manusia yang satu dengan manusia yang

lainnya karena manusia bukan hidup sendiri tetapi hidup bermasyarakat. Tentu

diperlukan jiwa sosial sebagai proses dinamika dan keteraturan hidup.


Pp

Dengan hal tersebut, memang organisasi memiliki arti yang sangat strategis

dan peran yang dapat mengelola kehidupan manusia agar lebih mempunyai hakikat

yang bermakna. Hakikat organisasi pada dasarnya berorientasi terhadap aspirasi dari

pihak-pihak yang memilki kepentingan terhadap organisasi. Hakikat organisasi

menjadi pondasi dasar dan asas dalam pengelolaan organisasi untuk mencapai

tujuannya demi terciptanya sistem manajerial yang baik. Dapat dikatakan jika suatu

organisasi kehilangan hakikat maka perlu dipertanyakan kontinuitas dari organisasi

tersebut.

Lahirnya organisasi akibat adanya tujuan yang ingin hendak dicapai oleh

pihak tertentu karena melihat adanya urgensi dari keberadaaan organisasi. Organisasi

tidak hanya dibutuhkan pada lingkup yang kecil tetapi juga pada lingkup yang besar

terlihat dari motif didirikannya organisasi. Organisasi yang kita ketahui bersama juga

memiliki tingkatan tertentu tergantung pada tujuan dan objek dari organisasi tersebut.

Contoh dari organisasi yaitu organisasi rumah tangga, organisasi perusahaan,

organisasi kemasyarakatan, organisasi kelompok tertentu, organisasi kesamaan

keyakinan, organisasi kenegaraan, dan lain-lain.

Oleh karena itu, organisasi memang harus ada di dalam kehidupan manusia

sebagai instrumen yang dapat mempersatukan manusia dalam proses dinamika dan

keteraturan hidup. Dengan lahirnya organisasi Budi Utomo di Indonesia

mengakibatkan lahirnya organisasi-organisasi yang lain yang tentu memiliki tujuan

dan sasaran yang berbeda.

B. Mengapa Manajemen Dibutuhkan

Organisasi-organisasi tanpa manajemen akan menjadi kacau dan bahkan

mungkin gulung tikar. Hal ini terbukti dengan jelas dalam situasi yang tidak normal
Pp

seperti adanya bencana ketika organisasi sedang tidak teratur maka manajemen sangat

dibutuhkan untuk membenahi organisasi agar menjadi lebih baik

Setiap organisasi memiliki keterbatasan akan sumber daya manusia, uang dan

fisik untuk mencapai tujuan organisasi. Keberhasilan mencapai tujuan sebenarnya

tergantung pada tujuan yang akan dicapai dengan cara menggunakan sumber daya

untuk mencapai tujuan tersebut. Manajemen menentukan keefektifan dan efisiensi

ditekankan pada melakukan pekerjaan yang benar.

Efektif mengacu pada pencapaian tujuan efisien mengacu pada penggunaan

sumber daya minimum untuk menghasilkan keluaran yang telah ditentukan. Bagi

manajemen diutamakan efektif lebih dahulu baru efisien. Jadi organisasi

membutuhkan manajemen terutama untuk dua hal yang terpenting yaitu:

1. Pencapaian tujuan secara efektif dan efisensi

2. Menyeimbangkan tujuan-tujuan yang saling bertentangan dan menemukan skala

prioritas

Salah satu wujud dari adanya manajemen dalam suatu organisasi adalah

terlihat adanya struktur organisasi. Struktur organisasi adalah pengaturan pekerjaan

untuk dilaksanakan dalam suatu bisnis. Struktur organisasi dimaksudkan untuk

membantu mewujudkan tujuan bisnis dengan cara mengatur pekerjaan yang harus

dilakukan. Meskipun demikian tidak terdapat satu metode manajemen yang paling

baik untuk mengatur suatu organisasi. Cara mengelola suatu organisasi disesuaikan

dengan kondisi organisasi yang tentu masing-masing organisasi memiliki ciri dan

situasi tertentu.

Penyusunan suatu organisasi formal, yaitu struktur organisasi yang disusun

dan dibentuk oleh manajemen puncak, dimulai dengan merumuskan tujuan dan

rencana organisasi. Manajemen kemudian menentukan aktivitas pekerjaan yang harus


Pp

dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Aktivitas-aktivitas yang sudah ditentukan

tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa unit kerja. Pengelompokan unit kerja

berdasarkan pada kesamaan aktivitas atau k kesamaan proses atau keterampilan yang

diperlukan, yang disebut kesamaan fungsional. Masing-masing unit kerja tersebut

kemudian diberi aktivitas dan wewenang oleh manajemen untuk melaksanakan tugas

masing-masing.

C. Realita Organisasi di Kampus

Organisasi mahasiswa merupakan salah satu jenis organisasi yang ada di

masyarakat. Organisasi mahasiswa merupakan suatu cerminan kepemimpinan yang

terjadi dalam lingkungan kampus. Organisasi ini berdiri karena melihat perlunya

mewujudkan aspirasi dari mahasiswa secara keseluruhan dalam menunjang kegiatan

akademik dari mahasiswa itu sendiri. Dalam menjalankan roda organisasi tentu

terdapat kekurangan di dalamnya sebagai berikut:

1. Kurangnya peran dari ketua himpunan dan senat dalam memainkan tiga peran

yang harus dilakukan yaitu peran interpersonal, peran informasi, dan peran

pengambilan keputusan. Peran interpersonal erat kaitannya dengan hubungan

antara ketua ormaju/senat dan orang-orang di sekitarnya. Peran informasi sebagai

hasil dari interaksi yang dilakukannya dengan pihak lain baik dari dalam maupun

dari luar organisasi untuk memperoleh informasi yang penting. Peran

pengambilan keputusan lebih tertuju pada kemampuan ketua ormaju/senat dalam

mengambil keputusan yang tepat.

2. Kurang mampunya menerapkan fungsi-fungsi manajemen seperti planning,

organizing, actuating, staffing, dan controlling.

3. Kurangnya jiwa intrepreneur dan entrepreneur dalam pengelolaan organisasi baik

di tingkat senat maupun himpunan.


Pp

4. Kurang memahami rencana strategis dalam pengelolaan organisasi terkait dengan

visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, prosedur, aturan, program, dan anggaran.

5. Kurangnya perasaan memiliki terhadap organisasi secara keseluruhan.

6. Kurangnya tanggung jawab dari pengurus dalam mengelola organisasi.

7. Kurangnya kemampuan organisasi dalam melaksanakan program kerja yang telah

direncanakan.

8. Kurangnya kemampuan organisasi dalam membangun informasi dan komunikasi

terhadap warga secara keseluruhan.

9. Adanya sebagian orang menjadikan organisasi sebagai kebutuhan aktualisasi diri.

D. Pentingnya Kaderisasi Dalam Organisasi

Kader adalah orang yang akan dipersiapkan untuk melanjutkan kepengurusan

dalam suatu organisasi di masa kan datang. Kontinuitas organisasi dapat dilihat dari

seberapa besar usaha organisasi untuk menghasilkan kader-kader yang berkualitas.

Dengan adanya kader maka tongkat estafet kepemimpinan dari suatu organisasi dapat

terbina dengan baik . Aset dari suatu organisasi terletak pada kualitas dan kuantitas

kader.

Tidak dapat dipungkiri organisasi mahasiswa bukan berorientasi pada profit

tetapi berorientasi pada nilai-nilai sosial. Artinya orb mahasiswa tidak dapat dijadikan

sebagai mata pencaharian tapi dapat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai

pembelajaran. Hal ini seharusnya sudah ada dari kader dalam organisasi mahasiswa.

Artinya nilai juang dan pemahaman yang tinggi dari kader sangat dibutuhkan

sehingga dimasa pergantian kepemimpinan, kader tersebut tetap memiliki nilai juang

yang tinggi tanpa pamrih.

Nilai-nilai organisasi mahasiswa harus sudah sejak dini ditanamkan kepada

kader sewaktu memasuki dunia kampus sehingga kader dapat tetap meneruskan nilai-
Pp

nilai organisasi tersebut tanpa menghambat kreativitas dari kader. Dengan adanya

nilai-nilai ini akan menjadikan pembentukan pola pikir dalam diri setiap kader bahwa

nilai tersebut merupakan alasan dari keberadaan suatu organisasi

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta dapat memahami fungsi dan urgensi organisasi

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta dapat memahami definisi dan sejarah organisasi.

2. Peserta dapat memahami manfaat dan peran organisasi secara umum dan khusus

3. peserta dapat memahami realitas lembaga kemahasiswaan

4. Peserta dapat memahami pentingnya kaderisasi dalam organisasi

 Model Penyampaian

Panel Forum.

Panel Forum merupakan sebuah metode penyampain materi dengan menghadirkan

lebih dari satu narasumber untuk menyoroti suatu persoalan, dengan harapan mampu
Pp

memberikan perspektif yang lebih luas mengenai persoalan yang dibicarakan.

Disamping itu, panel forum juga dapat berfungsi sebagai media pemegang bagi

penbicara baru di lingkungan Lembaga Mahasiswa

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang hakikat dan Urgensi Organisasi. Referensi untuk materi tersebut

adalah sebagai berikut:

Cohen, William A., Seni Kepemimpinan, PT. Mitra Utama, Jakarta, 1990

Hatta, Mohammad, Karya Lengkap Bung Hatta: Kekuasaan dan Kerakyatan,

LP3ES, Jakarta, 1998

Lowney, Chris, Heroic Leadership. Best Practises From a 450 Year Old Company

That Changed The World, Loyola Press, Amerika Serikat, 2003

Maxwell, John C.,Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda, Bina

Rupa Aksara, Jakarta, 1995

Manajemen Sumber Daya Manusia

Prilaku Organisasi

Pengantar Manajemen
Pp

PENGANTAR FILSAFAT ILMU

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Menerapkan asas-asas filsafat ilmu terhadap peningkatan penalaran, permasalahan

formal, kegiatan keilmuan, yang bertujuan membangun paradigma keilmuan.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta dapat memahami sejarah lahirnya filsafat.

2. Peserta dapat memahami ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

3. Peserta dapat membedakan antara ilmu dan pengetahuan.

4. Peserta dapat memahami perkembangan ilmu pengetahuan.

5. Peserta dapat memahami peran ilmu pengetahuan terhadap peradaban.

6. Peserta dapat memahami jenis-jenis ilmu.

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.


Pp

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Pengantar Filsafat Ilmu. Referensi untuk materi tersebut adalah

sebagai berikut:

Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, Bentang, Jakarta, 1970

Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, Mizan Pustaka, Bandung, 2002

Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, UI Press, Jakarta, 1982

Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1993

Falsafat Tuna

Mengenal Epistemologi

Rasionalitas Pemikiran Islam, Hasan Abu amar

Balada Manusia dan Mesin

Filsafat Hikmah

Seri Tokoh-Tokoh Filsafat


Pp

KBI

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta dapat memahami cara berpikir benar.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta dapat memahami peran dan fungsi akal.

2. Peserta dapat memahami rasionalisme, idealisme, skriptualisme.

3. Peserta dapat memahami jenis-jenis kesalahan berpikir.

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Kerangka Berpikir Ilmiah. Referensi untuk materi tersebut adalah

sebagai berikut:

Mundiri, Logika, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2003


Pp

Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Thomas Kunt

Falsafah Tuna

Rasionalitas Pemikiran Islam

Rekayasa Sosial, Jalaluddin Rahmat

Logika Matematika, Dimitri Mahayana

MANAJEMEN KONFLIK
Adalah fitrah manusia dari Sang Khalik yang terlahir di tengah lingkungan

yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dan juga adalah fitrah manusia yang terlahir

dengan status dan predikat sebagai mahluk sosial dan mahluk individu. Sebagai

mahluk sosial manusia dalam menjalani rutinitas kehidupannya sebagai hamba dari

Sang Khalik senantiasa butuh komunikasi, bantuan, dan kerja sama dengan

sesamanya dan lingkungan alam sekitarnya. Akan tetapi, di tengah-tengah rutinitas

hidup dalam menjalankan statusnya sebagai mahluk sosial, manusia juga memiliki

hak untuk menjalankan statusnya sebagai mahluk individu, dengan tidak terikat pada

keadaan di lingkungan sekitarnya, semata-mata untuk terpenuhinya kebutuhan hidup

pribadi. Tidak dapat dipungkiri manusia sebagai mahluk sosial mempunyai kebutuhan

untuk memikirkan dirinya secara individu, dan hal tersebut sudah merupakan sesuatu

yang lumrah terjadi.

Melekatnya status mahluk sosial dan individu pada diri seorang manusia pada

dasarnya sudah merupakan hukum alam, akan tetapi terkadang dalam perjalanan

hidup seorang manusia timbul berbagai macam masalah akibat dari melekatnya kedua

status ini. Di satu sisi kita sebagai manusia membutuhkan dukungan, kerja sama,

komunikasi dengan lingkungan kita, tetapi di sisi lain kita juga harus memperhatikan

keadaan dan kebutuhan diri kita sebagai mahluk individu.


Pp

Manusia sebagai individu tidak dapat menentukan perilakunya sendiri karena

ia sebagai mahluk sosial membutuhkan orang lain. Setiap individu juga sangat

tergantung dari manusia lain, dan setiap manusia mempunyai aturan yang harus

dipenuhi yakni norma dan nilai yang berlaku dan menjadi pedoman hidup dalam

masyarakat. Interprestasi dan keterikatan manusia baik sebagai mahluk sosial maupun

individu pada nilai dan norma yang berlaku yang sering menimbulkan permasalahan.

Permasalahan yang terjadi biasanya dipicu karena pemahaman dan proporsi

kepentingan yang kurang tepat. Permasalahan ini jika berlarut-larut akan timbul

menjadi suatu konflik.

Ketika perbedaan dipahami sebagai sesuatu yang lumrah dan bahasa

komunikasi tetap terbangun maka tidak menjadi suatu masalah. Namun ketika

perbedaan ini timbul menjadi suatu konflik maka tentu akan mengganggu dinamika

hubungan kerja sama dan komunikasi antarmanusia.

Pemahaman akan konflik menjadi sesuatu yang urgen dalam kondisi di mana

masyarakat adalah komunitas sangat heterogen. Karena pada situasi seperti itulah

biasanya rawan terjadi konflik.

Konflik itu sendiri dapat diartikan sebagi suatu perbedaan yang timbul dan

terjadi akibat adanya ketidaksesuaian pandangan atau pemahaman dari kedua belah

pihak terhadap suatu permasalahan. Konflik pada diri seorang manusia sebenarnya

dapat menguntungkan dan juga dapat merugikan. Konflik dapat menguntungkan

karena secara langsung dan tidak langsung konflik menghadirkan suatu pola

hubungan komunikasi yang sangat dinamis dalam suatu kelompok yang terlibat dalam

konflik Konflik dapat melahirkan dan membangkitkan daya emosi manusia yang

menjadi suatu spirit. Konflik yang terjadi antarsesama bangsa biasanya melahirkan

solidaritas, patriotisme yang melewati dimensi agama, suku, dan ras. Akan tetapi di
Pp

lain pihak, konflik bisa menjadi suatu ancaman terhadap peradaban manusia, konflik

bisa memicu timbulnya permusuhan yang biasanya berujung pada peperangan pada

berbagai skala.

Dalam suatu tatanan masyarakat berbangsa dan benegara pemicu konflik

sangat beragam. Konflik bisa terjadi dalam sebuah tatanan struktur ataupun kultur.

Konflik dalam sebuah tatanan struktur biasanya melibatkan elit pemegang kuasa yang

biasanya dipicu oleh adanya motif kepentingan yang bermain. Konflik struktural

bisanya secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi lingkungan sekitarnya

(masyarakat) dan dapat memperluas konflik pada wilayah kultur. Konflik pada

wilayah kultur umumnya diakibatkan oleh banyak faktor, akan tetapi yang menjadi

dominan yang sering memicu adalah pengaruh SARA (Suku, Agama, Ras). Di lain

pihak konflik juga dapat terjadi secara horizontal dan vertikal, konflik horizontal

adalah konflik yang terjadi antar sesama masyarakat sendiri atau antara negara, dan

konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dengan

pemerintah/penguasa dalam suatu komunitas tertentu. Pada tatanan kehidupan yang

lebih kecil hal-hal yang sering memicu terjadinya konflik adalah perbedaan status

baik sosial, maupun ekonomi yang timbul dari adanya stratifikasi yang mau tidak mau

pasti terjadi didalam sebuah masyarakat. Akan tetapi jika kita coba cermati berbagai

pemicu konflik yang serung terjadi dapat disimpulkan bahwa pemicu utamanya

adalah adanya perbedaan intepretasi atas perbedaan yang ada.

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta dapat memahami dan mengelola konflik baik dalam lingkup individu maupun

dalam kehidupan sosial.


Pp

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta dapat mengetahui pengertian konflik dan jenis-jenis konflik.

2. Peserta mampu mengetahui hal-hal yang sering memicu terjadinya konflik.

3. Peserta dapat mengetahui realitas konflik yang ada disekitarnya.

4. Peserta diharapkan mampu memposisikan diri dalam situasi konflik.

5. Peserta dapat mengetahui metode pengelolaan konflik (peta konflik, pohon

konflik, model kurva).

 Model Penyampaian

Ceramah-dialog, dan simulasi

Ceramah-dialog yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

Bentuk simulasi disini dilakukan dengan cara memberikan sejumlah permasalahan

yang terjadi khususnya yang terkait dengan konflik yang terjadi dalam suatu

komunitas tertentu kemudian dicarikan jalan keluarnya.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan
Pp

memahami tentang Manajemen Konflik. Referensi untuk materi tersebut adalah

sebagai berikut:

Ecip, S.Sinansari, Rusuh Poso Rujuk Malino, Cahaya Timur, 2002

Gaitung, Johan, Studi Perdamaian, Pustaka Zureka, Surabaya, 2003

Purwasito, Andrik, Komunikasi Multikultural, Universitas Muhammadiyah

Surakarta, Surakarta, 2003

Manajemen Pengelolaan Konflik

Perangkat Untuk Pembangunan

Teori Konflik Sosial

BRAINSTORMING

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta diharapkan dapat melakukan Brainstorming dalam upaya pemecahan masalah

agar memperoleh gagasan yang lebih komprehensif.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta dapat memahami definisi brainstorming

2. Peserta dapat mengetahui hambatan pemikiran kreatif, seperti pandangan yang

terlalu sempit dan penilaian yang terlalu dini

3. Peserta dapat mengetahui prosedur brainstorming


Pp

 Model Penyampaian

Ceramah-dialog, dan simulasi

Ceramah-dialog yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

Bentuk simulasi disini dengan cara langsung melibatkan peserta dengan

memberikan topik diskusi kemudian dicarikan solusinya dengan cara Brainstorming

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Brainstorming. Referensi untuk materi tersebut adalah sebagai

berikut:

Dunn, William,N., Analisa Kebijakan Publik, PT.Harindita Graha Widya,

Yogyakarta, 2003
Pp

ANALISIS SWOT

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta dapat melakukan identifikasi berbagi faktor secara sistematis untuk

merumuskan strategi tertentu

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta dapat membuat dan menerapkan analisis SWOT

2. Peserta dapat menganalisis faktor-faktor strategis (SWOT) dalam kondisi tertentu

3. peserta dapat mengindetifikasi problem-problem yang harus dihindari dalam

analisis SWOT

 Model Penyampaian

Ceramah-dialog, dan simulasi

Ceramah-dialog yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

Bentuk simulasi disini dengan cara langsung melibatkan peserta dengan

memberikan topik diskusi kemudian dicarikan solusinya dengan cara analisis SWOT

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa
Pp

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Analisis SWOT. Referensi untuk materi tersebut adalah sebagai

berikut:

Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

CREATIVE PROBLEM SOLVING

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta diharapkan mampu menerapkan berbagai alat analisis untuk memecahkan

masalah secara kreatif

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mampu memetakan masalah

2. Peserta mampu menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah

3. Peserta mampu mengaplikasikan alat-alat analisis dalam pemecahan masalah

 Model Penyampaian

Simulasi

Bentuk simulasi disini dimaksudkan sebagai cara langsung melibatkan peserta

dalam menerapkan metode-metode dari Creative Problem Solving

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Creative Problem Solving. Referensi untuk materi tersebut adalah

sebagai berikut:

Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Pp

LATIHAN KEPEMIMPINAN TINGKAT PERTAMA (LK I)

Nilai-nilai Latihan Kepemimpinan Tingkat Pertama

1. Tanggung Jawab

2. Urgensi kelembagaan

3. Idealitas

Tujuan Latihan Kepemimpinan Tingkat Pertama Ormaju

1. Memperluas wawasan dan wacana peserta.

2. Membangun kemampuan kader dalam pengembangan skill dan karakter

kepemimpinan.

3. Membangun spirit berorganisasi dalam tingkatan ormaju

Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini

1. Terbukanya cakrawala berpikir, wawasan, dan wacana peserta

2. Terbangunnya kemampuan kader dalam pengembangan skill dan karakter

kepemimpinan

3. Terbangunnya spirit berorganisasi dalam tingkatan ormaju

MATERI LK1

Komposisi Materi Latihan Kepemimpinan Tingkat Pertama

Penetapan komposisi materi pada latihan kepemimpinan tingkat pertama

Ormaju dimaksudkan sebagai materi wajib yang dalam evaluasi dan analisa

kebutuhan, materi ini terkait langsung dengan nilai, tujuan, dan sasaran yang telah

ditentukan, dan materi ini relevan paling tidak beberapa tahun ke depan. Berikut

adalah komposisi materi yang harus ada pada kegiatan pengkaderan LK I

1. Kepemimpinan Dan Manajemen Organisasi, yang dititikberatkan pada:

 Teori Pengambilan Keputusan


Pp

 Seni Kepemimpinan

 Konsepsi Penyusunan Program Kerja

 Kesekretariatan

2. Psikologi Komunikasi

3. Analisa Wacana Kritis

Penjelasan secara terperinci atas materi-materi tersebut diatas dapat dilihat

pada lampiran materi latihan kepemimpinan tingkat pertama, lengkap dengan hal-hal

yang terkait langsung dengan penyampaian materi dikegiatan pengkaderan ini..

Penyampain materi tersebut harus berdasarkan dan mengikuti petunjuk-petunjuk yang

telah ditetapkan

KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan memberikan pemahaman serta kemampuan

kepada peserta dalam mengelola organisasi.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mengetahui aspek-aspek dalam kepemimpinan.

2. Peserta mengetahui aspek-aspek dalam manajemen organisasi.

3. Peserta memahami pentingnya konsep kepemimpinan dalam organisasi.

4. Peserta memahami proses pembentukan tim (team building).

5. Peserta mengetahui dan memahami tipe-tipe kepemimpinan.

6. Pesrta mengetahui gaya kepemimpinan beberapa tokoh dunia.

7. Peserta mampu menjadi pemimpin dan bagaimana mengelola organisasi.


Pp

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Kepemimpinan dan Manajemen Organisasi. Referensi untuk

materi tersebut adalah sebagai berikut:

Cohen, William A., Seni Kepemimpinan, PT Mitra Utama, Jakarta, 1990

Lowney, Chris, Heroic Leadership. Best Practices From a 450 Year Old

Company That Changed The World, Loyola Press, Amerika Serikat,

2003

Maxwell, John C., Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda, Bina

Raya Aksara, Jakarta, 1995

Etika Kepemimpinan

Pengantar Manajemen
Pp

Perilaku Organisasi

MTI Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah

PSIKOLOGI KOMUNIKASI

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta dapat memahami aspek psikologi dalam komunikasi sehingga dapat

berkomunikasi dengan baik dalam interksi sosial.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta memahami dan mampu menjelaskan pandangan psikologi arti komunikasi,

karakteristik pendekatan psikologi komunikasi dan penggunaannya.

2. Peserta mampu meningkatkan kualitas komunikasi dalam diri (intrapersonal) dan

komunikasi dengan orang lain (interpersonal).

3. Peserta mampu memahami karakteristik dari sistem komunikasi intrapersonal.

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.


Pp

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Psikologi Komunikasi. Referensi untuk materi tersebut adalah

sebagai berikut:

Mulyana ,Dedi, Nuansa-Nuansa Komunikasi “Menopang Politik dan Budaya

Komunikasi Kontemporer” , Rosda Karya, Bandung, 1999

Purwasito,Andrik, Komunikasi Multikultural, Universitas Muhammadiyah

Surakarta, Surakarta, 2003

Psikologi Komunikasi

Seni Komunikasi

ANALISA WACANA KRITIS

Suatu ketika saya membaca tulisan B Rahmanto, berjudul "Ini Cerita Bikinan

Melulu" (Retorika, edisi Januari-April 2002). Tulisan itu mengisahkan kembali serba

sedikit tentang sebuah roman karya Kwee Tek Hoay yang berjudul Drama di Boven

Digul. Cukup tebal memang karya lama ini. (Diterbitkan kembali oleh Kepustakaan

Populer Gramedia, 2001, dalam buku berseri berjudul Kesusastraan Melayu Tionghoa

dan Kebangsaan Indonesia, jilid 3).Dalam roman tersebut Kwee Tek Hoay menyusuri

sepak terjang tokoh-tokoh PKI yang saat itu sedang megah-megahnya. Edisi asli

roman ini terbit secara berseri di mingguan Panorama dari tahun 1928 hingga awal

1932. Ada tokoh-tokoh antagonis, cinta segi tiga, dendam, cakar-cakaran, kondisi

orang-orang buangan di Digul, alam permai di lereng pegunungan Papua, adat

kebiasaan, bahasa, perilaku ganjil penduduk setempat, agama dan lain-lain.


Pp

Cuma sedikit menyentil, B Rahmanto memakai kata-kata "cerita bikinan"-persis

seperti tanggapan seseorang pembaca Panorama-yang intinya Kwee Tek Hoay

sebagai pengarang telah menyuguhi cerita (entah benar atawa salah) dalam scriptum

tentang Digul. Padahal, ia tidak pernah ke sana, tidak pernah menjadi tahanan, dan-

yang lebih penting lagi-bukan orang politik, jadi kurang sah rasanya kalau berbicara

tentang komunisme. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Pramoedya Ananta Toer

terhadap penulis peranakan tersebut. Pertanyaannya, mengapa perlu ditanyakan lagi

jika cerita adalah bikinan? Adakah cerita yang bukan bikinan? Bukankah semua cerita

bikinan, bahkan yang scientific sekalipun? Sejurus kemudian ingatan saya juga

mengembara ke sebuah catatan kecil di sampul belakang novel Saman (1998) karya

Ayu Utami. Komentatornya Ignas Kleden. Bunyinya begini, "Pada beberapa tempat

yang merupakan puncak pencapaiannya, kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal

". Metafor Kleden saya pikir bukanlah main-main dan tidak dibikin-bikin (dia orang

Flores dengan tradisi berburu, bukan seperti sebagian besar masyarakat agraris kita

yang feodalis, senang memuja-muja). Namun, dapatkah kita bayangkan serangkaian

kata-kata menjelma menjadi kristal, memukau dengan ribuan lentik cahaya dan

warna? Bagi orang yang tidak pernah melihat kristal mungkin tidak akan mengerti

tanggapan ini. Atau ya, cuma omongan biasa. Kedua ilustrasi di atas berangkat dari

masalah tulisan. Tulisan beruntaian menjadi narasi, melahirkan banyak interpretasi,

kekaguman, cemooh, hingga efek insomnia. Banyak orang yang terkadang tak mampu

melanjutkan membaca sebuah kisah, terpaku dengan berbagai pertanyaan. Berhenti di

sebuah tanda atau insight. Era narasi, era semiotika Sulit dielak, era pasca-

modernisme telah menyebabkan manusia menghadapi dilema dalam menyikapi teks.

Begitu banyak teks hadir dengan berbagai pembelaan ilmiah, di tengah krisis
Pp

kemanusiaan yang beragam kerumitannya. Sayang, sebagian besar para intelektual

dan cendekiawan masa kini melarikan diri dan mencari atropin baru, yaitu pemitosan

pengetahuan dan stereotipisasi teks. Yang lebih menggelikan lagi, walaupun tidak

menghasilkan makna apa-apa bagi perubahan sejarah, kita terus saja mengikuti mitos

dan stereotipe dengan saksama. Era modern lebih menyerupai masa primitif, cuma

bedanya sekarang lebih "dingin" dan usang. Banyak mitos ilmiah yang berkeliaran

dijadikan serat untuk mempertahankan diri. Masalah ini telah lama dipandang oleh

kelompok post-strukturalis sebagai ancaman terhadap dinamisme pengetahuan.

Pengetahuan (knowledge, savoir) selama ini telah mengalami proses fermentasi

tingkat tinggi dan terikat kepentingan dengan kuasa. Kelompok post-strukturalis-

hampir semua perintisnya adalah orang Perancis-menyatakan bahwa jawabannya

harus ditemukan melalui pembentukan kreativitas bernarasi. Tidak perlu meributkan

tentang paradigma karena yang dibutuhkan sekarang adalah erotika. Bukanlah

menyematkan sasaran ilmiah dalam theory of everything, kalau kemungkinan

mendapatkan kebenaran (will to truth) mudah disaring dalam pecahan-pecahan tanda

(articulus). Omong kosong kalau orang sekarang membicarakan tentang kesatuan

yang menyeluruh (the wholeness), toh mata air pengetahuan kita juga tidak satu.

Baru-baru ini telah terbit buku Semiotika Negativa (2002) karya St Sunardi, dosen

Universitas Sanata Dharma, lulusan Punctificio Instituto Studia Arabic et Islamica

(PISAI), Roma, yang serius berbicara tentang seorang tokoh post-strukturalisme

bidang semiotika, Roland Barthes. Posisi penting Roland Barthes boleh disejajarkan

dengan tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Jacques Lacan, atau Jacques Derrida.

Walaupun Barthes tidak pernah menerbitkan buku sebanyak dan setebal Foucault,

pendekatan yang dirintisnya telah mampu membelah frigiditas semiotika-positivistik


Pp

atau analisis struktural yang dimiliki Claude Levi-Strauss misalnya, yang selama ini

menjadi rujukan standar penelitian antropologi atau etnografi. Lebih elok kalau

dikatakan Barthes sebagai penafsir ulang seluruh gagasan semiotika Saussurean.

Barthes sebenarnya mengalami sikap gamang yang sama parahnya dengan Saussure,

ketika harus bersikap antara kecemasan kehilangan signified dan/atau berbalik arah

menatap hanya kepada signifier murni. Signifier merupakan penanda yang menjadi

inti atom bahasa untuk memulai mendefinisikan sesuatu. Orang mengerti akan arti

kata cinta/love/amor karena ada bahasa yang dipergunakan untuk mendeskripsikan

tentang sikap atau tindakan tersebut di alam nyata. Kita mengerti tentang kata itu

karena ada bukti yang menyejarah dalam bahasa kita. Namun, sikap Barthes dalam

hal ini jelas bukan sikap yang "biasa". Setiap perajin gagasan Fredinand de Saussure

mempercayai bahwa rumusan untuk mendapatkan signification (makna/buah dari

komunikasi atau dialektika) seseorang harus menyerap signifier dari signified ('materi'

asli yang selalu difotokopi oleh signifier). Tetapi Barthes mengharapkan lain. Ia ingin

hadirnya signifier tidak lagi tergantung pada signified. Kalau bisa fotokopi tidak lagi

perlu dijiplak dari apa pun atau siapa pun. Signifier harus menjadi barang asli yang

membentuk signified baru. Apa jadinya seseorang yang berbicara tentang konsep

tertentu, tetapi tidak pernah meraba, menginderai, mencecapnya? Orang mau

membentuk apa dari sesuatu yang tidak ada? Makanya jika seseorang sedang

mengemukakan sebuah bahasa baru baik tulisan ataupun wicara, ia sudah harus siap

dengan makna, konsep, warna, tanda, dan apa pun yang dapat memadatkan ide dalam

kata/teks. Ia harus asosiatif dengan ruang kultur dan kognitif masyarakat pengguna

bahasa tersebut. Jangan menyebut mantra, karena tidak ada orang yang sudi mengerti!
Pp

Galilah "pleasure!"Hal paling mendasar dari pengaruh tersebut terlihat dari

penggantian epistimologi dengan pleasure (kenikmatan). "The text you write must

prove me that it desires me. This proof is exists; it is writing. Writing is: the science

of various blisses of language, its Kama Sutra (this science has but one treatise:

writing it self" (Barthes, The Pleasure of the Text, 1975). Bagi Barthes, jika sebuah

teks tidak menggetarkan buhul-buhul darah para pembacanya, tidaklah memiliki

meaning apa pun. Ia harus menggelinjang keluar dari bahasa yang dipergunakan-tak

ubahnya seperti seni bercinta Kama Sutra. Bagi Barthes pernyataan "bikinan melulu"

atau "seperti kristal" tidak berarti apa-apa kalau pembaca tidak merasakan

pengalaman yang sama saat mengarungi dahsyatnya teks, terjerambab dalam

belantara imajinasi yang tertetak secara leksikal.Buku Semiotika Negativa

menjelaskan sikap Barthes yang mencoba membantu para penggiat masalah

semiotika, bahwa jika ingin mengaktifkan pleasure kita mesti mengganti meaning

(dalam pengertian Saussurean) hanya dengan kode, signification dengan signifiance,

the will to knowledge dengan will to desire. Barthes menjelaskan secara aforistis dan

metaforis dalam buku The Pleasure of the Text, bahwa pemfokusan ulang perlu

dilakukan agar pleasure menemukan tandanya sendiri melalui teks; hal ini boleh jadi

tak ditemukan sebelumnya karena seluruh beban pengetahuan terkendali oleh struktur.

Strukturlah yang menjadi final dari semua proses komunikasi, signifikasi, dialektika,

dan (secara garis besar) budaya. Strukturalisme menjadi metode membaca masalah-

masalah kemanusiaan, termasuk membaca sebuah teks. Berdasarkan pengertian

seperti ini struktur dikhayalkan tidak akan mengalami kemajalan dan penyimpangan.

Padahal strukturalisme dalam sebagian besar penampakannya hanya menjadi

hegemonisasi pengetahuan atas nama kepastian (exactness).Di dalam buku From

Work to Text (1971) sikap Barthes tentang jouissance/plaisir-mengemuka dalam


Pp

tulisan-tulisan setelahnya-menunjukkan jejak referensial yang otentik. Dalam buku

ini, ia men-de-centering posisi subyek-dengan mengambil beberapa konsepsi yang

dicatat Lacan, Althusser, dan Foucault-bahwa pekerjaan terhadap teks bukanlah

pekerjaan mengonsumsi semata tetapi a work of art yang mencerap aspek-aspek

keutamaan, esensial, bobot yang terkandung dalam teks itu sendiri, di mana seluruh

tindakan selanjutnya adalah mencari inti bacaan, menggeledah, mendiskusikannya

dan lain-lain-disimpulkan dengan istilah rekonsepsionalisasi seluruh teks. Pekerjaan

seperti ini-seperti juga menulis dan wicara (speech)-mungkin akan menghilangkan

beberapa keutamaan awal (dari work) karena langkah berikutnya berhubungan dengan

lapangan interaksi, yang disebut dengan bermain (play/simulacrum). Kesimpulan

akhir dari sikap bermain-main adalah rasa bosan karena kepenuhan diri terhadap

seluruh teks (tulisan). Istilah yang agak garang namun pas untuk maksud di atas

terungkap dalam buku Art in Theory, "bahwa tujuan akhir bermain adalah anti-

hierarkial" (Charles Harrison et al, 1993:941); penegasan bahwa kebenaran tentang

eksistensi the author (pemegang wewenang terhadap writing) tidaklah sedemikian

penting lagi.Barthes mengingatkan poin ini karena banyak hal yang kita anggap baru

dan mempengaruhi ide-ide kerja tidak datang dari internal recasting masing-masing

disiplin pengetahuan di era modern. Modernisme dikenal melalui taksonomi beragam

pengetahuan. Akan tetapi karena keangkuhan the author, pengetahuan yang kita

konsumsi menjadi terasing (terideologisasi). Psikologi, bahasa, antropologi, sosiologi,

atau sejarah melakukan persaingan monolog dengan start dan finish sendiri-sendiri.

Tidak ada ukuran untuk menilai. Baru saja kita mendengar tentang masa depan ilmu

pengetahuan dalam istilah interdiciplinary, yakni pengetahuan yang mengambil

kebajikan utama penelitian dari proses persinggungannya dengan berbagai disiplin

ilmu.
Pp

Interdiciplinary memang menghasilkan banyak teks, muncul bagai cendawan di

musim hujan dalam berbagai bukti tulisan. Tetapi, bisa saja ia berkembang-biak

menjadi kekuatan pemaksa, mungkin melalui sentakan fashion atau berbagai

kepentingan yang tersangkut pada objek dan bahasa-bahasa baru. Gejala ini apabila

tak diantisipasi sejak dini dapat mengarah kepada proses fasisme bahasa-dalam style

dan writing. Langkah yang paling baik menurutnya adalah memperlakukan teks

dengan netral, yaitu merelativisasi hubungan antara penulis (writer), pembaca

(reader), dan pengamat (observer).Dengan tegas ia mengingatkan bahwa teks

bukanlah untaian kata-kata yang siap melepaskan makna "teologis" tunggal semata,

yaitu pesan dari sang penciptanya saja, tetapi berasal dari ruang multidimensi yang

terbaring dalam beragam tulisan "Teks tidak lain sejumput kutipan yang tergambar

dari pusat-pusat budaya yang tak tereja jumlahnya", lanjut Barthes. "We know that a

text is not line of words releasing a single 'theological' meaning (the message of

Author-God) but a multi-dimensional space in which a variety of writing, none of

original, blend and clash. The text is a tissue of quatations drawn from the

innumerable centres of culture" (Barthes, The Death of Author, dalam Image Music

Text, 1977 : 146)."The Death of Author"Pernyataan tentang kematian author menjadi

sentral yang cukup penting dalam pemikiran Barthes berkaitan dengan martabat

sebuah tulisan. Kata author tidaklah mengacu kepada pengertian writer an sich.

Definisi yang lebih memuaskan tentang author adalah kompetensi atau wewenang

yang dimiliki para pihak atau lembaga untuk menentukan makna final atau paling

absah dari sebuah tulisan/teks.Pemikiran ini sendiri mengundang banyak ulasan dari

para semiotisi. Umberto Eco misalnya, dalam tulisan "language, force, and power"

(Eco, Travels in Hiperreality, 1986: 239-255) menyatakan bahwa Barthes sejak awal
Pp

ingin menjadikan semiotika tidak sebagai ilmu terusan tentang tanda semata, tetapi

juga sebagai kekuatan eksentrik budaya modern. Salah satunya adalah dengan

konsepnya tentang the author yang ia sampaikan saat pengukuhan guru besar di

Colleg_ de France.Menurut Eco, Barthes menyadari bahwa kekuasaan modern telah

lahir dengan begitu lembut melalui mekanika sosial dan sangat mungkin masuk dalam

relung-relung kepentingan, tidak hanya negara, kelas, grup, tetapi juga di dalam

fashion, opini publik, hiburan, olahraga, berita, informasi, keluarga dan hubungan

pribadi. Barthes menyebutkan dengan istilah wacana kekuasaan (discource of power)

yang membuat kita merasa bersalah sebagai penerima. Barthes dengan retoris

mengatakan, "You carry out a revolution to destroy power, and it will be reborn,

within the new state of affairs" (Eco : 240). Barthes melihat peran kuasa (power)

dalam wacana dapat berubah menjadi serigala pemangsa yang menghancurkan

kreativitas pembaca saat menerima sebuah informasi atau teks (Barthes juga berbicara

tentang kamar-kamar non-linguistik, seperti foto, menu masakan, atau mode pakaian).

Kuasa tak ubahnya seperti parasit yang terhubung dalam seluruh sejarah manusia,

tidak hanya sejarah politiknya, tetapi juga dimensi historis dari sejarah itu

sendiri.Oleh Karena sejak semula telah berusaha untuk mengurangi peran authority

dari teks, maka teks tidak harus berhenti dalam menemukan aspek signifier barunya.

Teks tidak terpengaruh oleh signifier yang memang dengan sengaja telah

dimunculkan oleh author lama. Arena baru harus menyediakan tempat untuk

"menggantung" suara "Tuhan" (Barthes memakai metafor ini mungkin untuk

mengejek ketakutan dan sikap grogi kita), dan mengganti dengan suara kita sendiri,

suara pembaca. Begitu berada di tangan pembaca yang liar dan agresif, tulisan bisa

terkelupas, meledak, dan tersebar sehingga tidak mampu dikendalikan lagi oleh

penciptanya (St Sunardi, 2002:271). Kini otoritas sebuah tulisan menjadi labil dan
Pp

lemah di tangan author-God, beralih wewenang dalam bahasa itu sendiri. Hidup

matinya author berada di tangan pembaca yang sedang menikmati teks

tersebut.Barthes menekankan analisa tekstual pada kondisi seperti ini. Ruang

demokratis terbuka lebar karena tak ada yang berhak menganggu. Pembaca sedang

belajar mendewasakan diri di hadapan teks untuk menjadi "author" baru. Pembaca

bukanlah lagi pribadi-pribadi nomina, tetapi ia telah menjadi seseorang yang telah

menduduki sebuah wilayah okupasi dengan seluruh jejak yang tertinggal dari tulisan

dalam teks tersebut. Ia merupakan korektor dan pemersatu fungsi teks yang

heterogen. Di sini kita melihat bahwa konsep yang dibangun adalah posisi di sela-sela

(in-betweeness) antara pembaca dan teks.Ia tidak main-main untuk hal tersebut.

Seakan tidak berhenti dengan sebuah penjelasan leksikal semata terhadap ide

kematian author, dengan bersemangat ia menutup frasa tulisan tersebut dengan sebuah

advokasi politis, bahwa cukup lama sudah kita berslogan tentang lahirnya tulisan baru

atas nama humanisme. Tetapi nyatanya dengan sikap hipokrit kita telah berpaling

muka dari hak-hak pembaca. Kritisisme klasik tidak pernah membayar kepentingan

para pembaca. Barthes mengajak semua insan budaya untuk tidak lagi bersikap

bodoh, arogan, saling tuduh-menuduh dan mabuk gelar sebagai masyarakat terhormat,

tetapi masih saja menempatkan pembaca di sudut jauh apresiasi, mengabaikannya,

mencekik hingga muntah, bahkan yang paling kriminal, membunuh pembaca. Masa

depan tulisan harus dibayar dengan sebuah harga yang cukup berimbang "kelahiran

pembaca harus seiring dengan kematian sang author".Post-Writing (?)

Penjelasan serba ringkas yang diurut di atas menjadi bukti bahwa Barthes sama sekali

tidak berhenti dalam tulisan. Capaian terakhir dalam sebuah tulisan juga bukan

tentang tulisan itu sendiri, tetapi adalah apa yang tertinggal sebagai desire, jouissance,

estetika, wacana, atau tulisan baru. Pernah suatu ketika Barthes mengungkapkan
Pp

bahwa ia lebih memilih mati sebagai pembaca yang writerly daripada

readerly.Dengan menempatkan diri di antara sisa-sisa tulisan dan barang daur ulang

yang bermanfaat, pembaca dapat menentukan hubungan sosial, moral, atau ideologis

sesuai kemauan sejarah masa depannya yang lebih bernyali sebagai author. "Tidak

ada yang lebih menggairahkan daripada mendengar suara-suara nyaring yang timbul

dari bahasa (language) dan wacana yang tercampur-baur." Karena bahasa bukan

terminal, maka ia menjadi tempat singgah bagi imajinasi dan ketaktertebakan.

Semiotika negativa Barthes bukanlah obsesi taksonomik atau klasifikasif bahan

bacaan yang hanya berfungsi dalam ranah strukturalisme. Semiotika negativa tidak

menapaki jalan semiotika tingkat pertama yang hubungannya bersifat positivistik,

logis, sekuensial, tetapi hubungan yang muncul merupakan pengalaman kebuntuan,

salah kamar, yang menguras habis seluruh energi faktual dari sebuah tulisan. (St

Sunardi: 311). Akan tetapi ia juga tidak ngoyo untuk berada di pengungsian, dan

menyatakan dapat melepaskan diri dari jeratan semiotika pertama yang bersifat

positivistik seratus persen. Celah yang cukup berwibawa bagi Barthes-yang bisa

dimanfaatkan oleh semua pihak-ada di ruang inkubator signified yang "masih

abstrak". Dia bisa menjadi pejantan yang menyuburkan, memecah kekakuan fakta,

mem-fabricate sesuatu menjadi "fiksi" yang erotik, menyemai butir-butir suara yang

siap menjadi speech, dan terakhir menjadi retorika.Banyak pengalaman para penulis

yang menuruti nasihat ini. Penulis yang baik biasanya tidak akan hanya menjadi

author yang mencoba menghimpun dan merepresentasikan sejumlah teks, tetapi

menjadi penunda dan orang sabar terhadap semua fakta. Diam-diam memperhatikan

lava yang menggugurkan butir besi menyala dari gunung meletus, menimbulkan

suspence, ketegangan, geregetan, horor vacuui. Tak lupa harus punya stamina yang
Pp

cukup baik untuk memecah filosofi absolutisme. Dia juga harus seorang pengembira

dengan munculnya banyak "ide" baru yang tidak ditemukan orang awam. Makanya

bagi Barthes tulisan tidak hanya menghasilkan wacana, tetapi wacana itu sendiri harus

berbakti kepada wacana baru, demikian seterusnyaKita dapat melihat aspek traumatik

terkadang mempengaruhi seseorang untuk menulis. Baiklah disebut satu nama di sini,

Lynne Tillman. Ia menulis dalam pembukaan tulisannya Critical Fiction/Critical Self

(Critical Fiction, 1991:97) sebuah frasa berbunyi sebagai berikut, "What I keep telling

my self is that I want to make this simple, to make things simple; I want to be direct. I

want to say why I write and what I write for, and out of, in as clear a way as possible-

to cut to the chase to the quick, to get to the heart of it. But nothing seems simple and

I'm not certain why I write or in whose name other than my own, which is not really

my name, but my father's, which is made-up Ellis Island name, anyway."

Penulis yang baik akan menghadapi pemberontakan yang sama seperti Tillman. Siapa

pun yang ingin menulis biasanya memulainya dengan nawaitu yang sederhana saja,

sesuatu yang bersahaja saja. Tidak perlu berbelit, potong kompas mungkin lebih baik.

Jangan ikut serta perburuan yang mungkin melelahkan, kalau bisa langsung ke

jantung persoalan. Akan tetapi tentu tak lagi menjadi sederhana ketika kita mulai

bergerak dan menitahkan pena menjadi sebuah teks. Kadangkala kita perlu berhenti

beberapa saat di depan komputer untuk tidak menulis najis dan mencampurnya

dengan kesucian dalam tulisan. Atau sekali waktu perlu memilih diksi yang tepat, atau

menghapus kalimat yang sudah kadung hadir. Barthes bukan hendak bersajak di

hadapan kita manakala mengatakan "setiap teks telah menjadi galaksi yang memadat

dalam berbagai karakter kultural yang begitu banyak jumlahnya". Terlalu banyak

persoalan. Terlalu banyak yang menyenangkan dan menggetarkan (blisses). Apabila


Pp

situasi sungguh begitu complicated, jangan sekali-kali berfikir untuk kembali, karena

hanya akan menjerambabkan kita ke dalam kedangkalan dan warna hitam. Sayang

kalau tulisan harus mati dan tak dihiraukan oleh seorang pembaca pun.

Inilah inti dari seluruh peperangan di wilayah narasi, bahwa yang diperlukan sekarang

adalah membangun fiksi (fictio) bukan fakta. Fakta terlalu sederhana untuk harus

dihadirkan kembali. Perlombaan menuju coloseum fiksi adalah sebuah sikap kritis

terbaik dan sebuah keilmiahan yang cukup penting bagi masa depan tulisan tentu saja.

Tidak mungkin semua teks dalam sebuah tulisan ditelan bulat-bulat oleh pembaca.

Bisa saja terjadi dialektika, orang lain hanya mengambil punctum-nya saja-bekas

cakaran dari proses bercinta dengan teks. Luka menjadi nikmat karenanya. Parutnya

akan kita ingat terus. Setia sampai mati.

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta mengetahui hubungan antara wacana, kepentingan, dan kekuasaan.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mengetahui definisi wacana kritis.

2. Peserta mengetahui dan memahami bahwa tidak ada sesuatu yang bebas nilai.

3. Peserta mengetahui dan memahami model analisa kepentingan dalam suatu

wacana.

4. Peserta mampu melihat wacana dari sudut kekuasaan.

5. Peserta mampu mengidentifikasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu

wacana.

6. Peserta mampu mengkritisi dan melakukan counter hegemoni.


Pp

 Model Penyampaian

Ceramah dan dialog

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Analisa Wacana Kritis. Referensi untuk materi tersebut adalah

sebagai berikut:

Budiman, Kris, Semiotika Visual, Buku Baik, Yogyakarta, 2004

Derrida, Jacques, Dekonstruksi Spiritual. Merayakan Ragam Wajah Spiritual,

Jalasutra, Yogyakarta, 2002

Erianto, Analisa Wacana: Pengantar Analisa Teks Media, LKIS, Yogyakarta,

2001
Pp

Hardiman,Budi F., Heidegger dan Mistik Keseharian, Kepustakaan Populer

Gramedia, Jakarta, 2002

Manan, Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Resist Book, Yogyakarta,

2005

Panuju, Redi, Relasi Kuasa, Pustaka Pelajar, 2002

Piliang,Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Menakutkan, Mizan, Jakarta, 2001

Piliang,Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Mizan, Jakarta, 1999

Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Berlari, Grasindo, Jakarta, 2004

Ricoeur, Paul, Filsafat Wacana. Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa,

Ircisod, Yogyakarta, 2002

Jalan Lain

Analisis Teks Media

Analisa Wacana Kritis

Membongkar Wacana Hegemoni

Berahi

Hermenetika Transendental

Ras dan Sejarah

LATIHAN KEPEMIMPINAN TINGKAT MENENGAH (LK II)

Latar belakang Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah

Mahasiswa yang

Kondisi Kekinian Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah

 Kualitas dari output LK II yang semakin menurun

 Citra yang ditimbulakan dari kegiatan LK II sebagai seminar maraton

 Metode Pelaksanaan LK II yang kaku

 Keikutsertaan peserta kegiatan LK II karena sarana mencari jabatan


Pp

 Kegiatan LK II tidak memiliki tujuan dan follow up yang jelas

Nilai-nilai Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah

1. Loyalitas, integritas,dan kapabilitas

2. Kebangsaan

3. Interkoneksitas

4. Profesionalisme berlembaga

5. Kearifan

Tujuan Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah

1. Menciptakan kader yang siap berkiprah dilembaga kemahasiswaan

2. Pendalaman wacana dan wawasan

3. Menciptakan kader yang mampu menganalisa realitas sosial

4. pengembangan nilai –nilai kepemimpinan

5. Meningkatkan tanggung jawab intelektual yang dimiliki kader

6. Memiliki kemampuan memanejemen konflik wacana

Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini

1. Terciptanya kader yang siap berkiprah di lembaga kemahasiswaan

2. Terciptanya kader yang mampu menganalisa realitas sosial

3. Meningkatanya tanggungjawab intelektual yang dimiliki kader

4. Dimilikinya kemampuan memanajemen konflik wacana

5. Mendalamnya wacana dan wawasan

6. Berkembangnya nilai-nilai kepemimpinan


Pp

MATERI LK2

Komposisi Materi Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah

Penetapan komposisi materi pada latihan kepemimpinan tingkat menengah

dimaksudkan sebagai materi wajib yang dalam evaluasi dan analisa kebutuhan,

materi ini terkait langsung dengan nilai, tujuan, dan sasaran yang telah ditentukan,

dan materi ini relevan paling tidak beberapa tahun ke depan. Berikut adalah

komposisi materi yang harus ada pada kegiatan pengkaderan LK II

1. Materi Alat:

Materi ini merupakan materi alat yang digambarkan secara rinci, akan tetapi

materi ini hanyalah berupa pilihan. Yang diterapkan sesuai dengan tingkat

kebutuhan. Materi alat tersebut terdiri atas:

a. Analisa Konflik

b. Analisa Kebijakan Publik

c. Participatory Rural Appraisal

d. Manajemen Perencanaan Strategis

e. Scenario Planning

2. Arah Baru Pergerakan Mahasiswa

Penjelasan secara terperinci atas materi-materi tersebut diatas dapat dilihat

pada lampiran materi latihan kepemimpinan tingkat menengah, lengkap dengan hal-

hal yang terkait langsung dengan penyampaian materi dikegiatan pengkaderan ini..

Penyampaian materi tersebut harus berdasarkan dan mengikuti petunjuk-petunjuk

yang telah ditetapkan


Pp

ANALISA KONFLIK

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta mampu mengaplikasikan metode analisa konflik dalam upaya menganalisis

dan mencari solusi atas konflik yang terjadi dalam lingkup individu dan kehidupan

sosial.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mampu memahami definisi analisa konflik.

2. peserta mampu menggunakan instrumen analisa konflik, seperti pohon koflik,

bawang bombay, peta konflik, segitiga konflik, piramida konflik, metode pilar.

3. Peserta mampu memilih instrumen analisa konflik yang tepat untuk mengelola

konflik tetentu.

4. Peserta mampu memahami strategi dan tindakan dalam membuat penyelesaian

konflik yang fair (resolusi konflik).

 Model Penyampaian

Ceramah dan simulasi

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya


Pp

. Bentuk simulasi disini dimaksudkan sebagai cara langsung melibatkan peserta

dalam menerapkan metode-metode dari Analisa Konflik.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Analisa Konflik. Referensi untuk materi tersebut adalah sebagai

berikut:

Ecip, S.Sinansari, Rusuh Poso Rujuk Malino, Cahaya Timur, 2002

Galtung,Johan, Studi Perdamaian, Pustaka Zureka, Surabaya, 2003

Purwasito,Andrik, Komunikasi Multikultural, Universitas Muhammadiyah

Surakarta, Surakarta, 2003

Manajemen Konflik, British Council

Manajemen Pengelolaan Konflik

Perangkat Untuk Pembangunan

Teori Konflik Sosial

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Orientasi analisis kebijakan publik adalah sebagai ilmu yang mempelajari

mengenai kebijaksanaan dan prosesnya. Ilmu ini berusaha merangkum ilmu-ilmu

khusus seperti ekonomi, sosiologi, politik, administrasi negara, matematika terapan,

filsafat dan etika, serta menjadikannya sebagai alat untuk memcahkan masalah-

masalah sosial integral. Orientasi analisis kebijakan publik pada problem solving,

maka secara tegas ilmu ini disebut sebagai ilmu social tertentu.
Pp

A. Defenisi Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan

berbagai metode dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi

relevan dan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka

memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Analisis kebijakan diadopsi dari berbagai disiplin dan profesi yang

tujuannya bersifat penandaan (designative), penilaian (evaluative) dan anjuran

(advocative) yang diharapkan dapat menghasilkan informasi dan argumen yang

masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan, yaitu (1). Nilai-nilai yang

pencapaiannya manjadi tolok ukur suatu masalah telah dapat dipecahkan, (2). Fakta-

fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau mempertinggi pencapaian nilai-nilai,

(3). Tindakan-tindakan yang pelaksanaannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-

nilai dan pemecahan maslah-masalah.

B. Kerangka Kerja Analisis Kebijakan

Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal

mengenai tiga tipe pertanyaan, analisis dapat menggunakan satu atau lebih dari tiga

pendekatan, yaitu : empiris, evaluatif, dan normative.

No Pendekatan Pertanyaan pokok Tipe informasi

1. Empiris Apakah sesuatu itu ada? Penandaan

(Fakta-fakta)

2. Evaluatif Berapa nilai sesuatu? Evaluatif

(Nilai-nilai)

3. Normatif Apa yang harus dilakukan? Anjuran

(Tindakan)
Pp

Pada tingkat analisis kebijakan sudah meliputi ketiga tujuan tersebut, analisis

demikian mencukupi keluar dari tujuan disiplin-disiplin ilmu sosial tradisional.

Disiplin-disiplin tersebut cenderung menghindari pendekatan evaluatif dan normatif,

sebagaian karena kepercayaan yang dalam pemisahan antara nilai dan fakta timbul

oleh kesalahpahaman terhadap metodologi dan tujuan analisis kebijakan. Anjuran

kebijakan seringkali dipandang sebagai tuntutan-tuntutan emosional dan penjelasan-

penjelasan ideologis yang berkaitan dengan kegiatan politik praktis, dan bukan

sebagai cara untuk menghasilkan informasi kebijakan dan argumen yang masuk akal

mengenai pemecahan-pemecahan yang mungkin atas sejumlah problem

kebijaksanaan.

Argumen kebijaksanan (policy argument) yang menggambarkan alasan

mengapa antara golongan-golongan yang ada dalam masyarakat tidak sepakat

mengenai arah tindakan yang ditempuh oleh pemerintah, sebagai alat utama dalam

debat isu kebijakan publik. Setiap argumen kebijakan meliputi enam elemen :

1. Informasi yang relevan dengan kebijakan (policy-relevan information)

Informasi yang dihasilkan oleh penggunaan berbagai metode yang digunakan oleh

analis. Informasi mengenai masalah kebijakan, hasil kebijakan, alternatif

kebijakan, tindakan kebijakan, hasil kebijakan, dan pencapaian kebijakan dalam

berbagai bentuk.

2. Tuntutan kebijakan, simpulan dari argumen kebijakan. Misalnya tuntutan yang

bersifat anjuran bahwa pemerintah harus meningkatkan dana untuk mengurangi

kemiskinan di Indonesia.

3. Pembenaran, berisi tentang asumsi-asumsi seperti intuitif, kausal, pragmatis, dan

kritik nilai. Peranan pembenaran membawa informasi yang relevan dengan


Pp

kebijakan dalam keadaan ketidaksepakatan atau bantahan sehingga memberi

alasan bagi penerimaan tuntutan.

4. Dukungan, dapat berupa asumsi-asumsi yang digunakan untuk mendukung

pembenaran.

5. Bantahan, merupakan simpulan atau asumsi yang melatarbelakangi tuntutan

ditolak atau dapat diterima hanya dengan bersyarat.

6. Syarat, seberapa jauh analis yakin dengan tuntutannya.

C. Bentuk-Bentuk Analisis Kebijakan

1. Analisis Prospektif

Analisis membahas tentang penciptaan dan pemindahan (transformasi)

informasi sebelum tindakan kebijakan ditentukan dan dilaksanakan.

2. Analisis Retrospektif

Ada 3 jenis analisis retrospektif ;

1. Analisis yang berorientasi pada disiplin. Kelompok ini sebagian besar diisi

oleh para sosiolog dan sarjana politik, terutama pemerhati pembangunan dan

pengujian teori-teori dasar dalam disiplinnya dan menjelaskan sebab akibat

kebijaksanaan.

2. Analisis yang berorientasi pada masalah. Analisis ini berorientasi pada

masalah yang yang jarang memberikan informasi mengenai tujuan dan sasaran

khusus dari pembuat kebijakan, terutama masalah-masalah praktis yang

bersifat umum, misalnya pengaruh investasi pemerintah dalam pendidikan .

3. Analisis yang berorientasi pada penerapan. Analis terdiri dari para sosiolog,

pekerja sosial maupun profesi, dan peneliti lapangan. Analisis berusaha

menjelaskan sebab akibat dari kebijakan pemerintah dan mengidentifikasi

tujuan dan sasaran dari para pengambil kebijakan dan pelaku kebijakan.
Pp

D.Perumusan Masalah Kebijakan Publik

1. Sifat masalah kebijakan

Informasi mengenai sifat masalah kebijakkan dihasilkan melalui

penerapan prosedur analisis kebijakan perumusan masalah.

2. Karakteristik masalah

i. Saling ketergantungan (interdependensi), dalam arti masalah kebijakan

di suatu bidang sering kali mempengaruhi masalah kebijakan pada

bidang yang lain.

ii. Subjektif, yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah. Masalah

tersebut didefinisikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif.

iii. Buatan. Masalah tidak dapat dipisahkan dengan individu atau kelompok

yang mendefinisikannya, dalam arti bahwa tidak ada keadaan

masyarakat yang secara ”alami” mengangkat dari dalam dirinya masalah

kebijakan.

iv. Dinamis, yaitu upaya untuk mencari kemungkinan terjadinya masalah

dengan cara problem solving.

Beberapa asumsi dalam analisis kebijakan publik;

1. Synectics, adalah metode yang dibuat untuk mengembangkan pengenalan

masalah secara analogis. Synectics didasarkan pada asumsi bahwa

kesadaran mengenai hubungan yang identik diantara masalah-masalah

dalam skala besar akan mengakibatkan peningkatan skala kapasitas

pemecahan masalah dari analis. Dalam perumusan masalah, analis dapat

menghasilkan empat tipe analogy


Pp

a. Analogi personil. Analis berusaha membayangkan dirinya

mengalami situasi problematik seperti yang dialami pelaku-pelaku

kebijakan. Analisis ini berguna agar dapat memasuki dunia

phenomenology dari pengambil keputusan dan memahami proses

kebijakan.

b. Analogi langsung. Analis mencari hubungan yang serupa diantara

dua atau lebih situasi problematis.

c. Analogi simbolik. Analis berusaha menemukan hubungan yang

serupa antara situasi problematik yang ada di dalam proses simbolik.

d. Analogi fantasi. Analis sama sekali bebas mencari kesamaan antara

situasi problematic dan beberapa masalah negara yang bersifat

khayali. Sebagai contoh analis merumuskan masalah pertahanan

keamanan negara dalam menghadapi serangan nuklir.

2. Brainstorming,adalah metode memunculkan ide,tujuan,dan strategi yang

membantu mengidentifikasikan dan mengkonseptualisasikan situasi

problematic.Prosedur brainstorming ialah;

a. Kelompok brainstorming harus disusun menurut situasi problematic

yang ditemukan.

b. Proses pemunculan ide dan evaluasi ide harus dibuat dengan

membentuk kelompokyang intesif mengkritik pebijakan dari para

pengambil keputusan

c. Iklim aktifitas barainstormingharus dijaga agar tetap

terbuka,seleluasa mungkin pada tahap pemunculan ide.

d. Setelah pemunculan ide kemudian ide tersebut di evaluasi.


Pp

e. Memprioritaskan ide dan masalah kemudian dituangkan kedalan

proses konseptualisasi masalah dan pemecahannya.

3. Analisis Asumsi, adalah analisis yang bertujuan menciptakan sintesis yang

kreatif atas asumsi yang bertentangan dengan masalah kebijakan. Tiga

prosedur analisis asumsi

i. Identifikasi pelaku, yaitu penggolongan dan penyusunan prioritas

pelaku didasarkan pada penilaian mengenai tingkat seberapa jauh

mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses kebijakkan.

ii. Pemunculan asumsi ialah daftar asumsi yang didasarkan pada

rekomendasi masalah.

iii. Pembenturan asumsi ialah mengevaluasi rekomendasi masalah dari

asumsi –asumsi yang diberikan,kemudian membandingkan dengan

asumsi-asumsi yang lain.

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta diharapkan mampu menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen

untuk menghasilkan informasi yagn relevan dalam rangka memecahkan masalah

kebijakan publik.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mampu mengetahui defenisi analisa kebijakan publik


Pp

2. Peserta mampu mengetahui kerangka kerja (empiris, evaluatif, dan normatif) dan

bentuk-bentuk analisa kebijakan publik.

3. Peserta mampu menganalisa keberpihakan kebijakan terhadap kepentingn publik.

 Model Penyampaian

Ceramah dan simulasi

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya

. Bentuk simulasi disini dimaksudkan sebagai cara langsung melibatkan peserta

Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Analisa Kebijakan Publik. Referensi untuk materi tersebut adalah

sebagai berikut:

Dunn, William.N, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya,

Yogyakarta,2003

Putra, Fadillah, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2001

Perangkat Untuk Pembangunan


Pp

Analisa Kebijakan Publik. Hessel Nagi Tangkilisan

Masyarakat Transparansi Indonesia Good Governance dan Penguatan Institusi

Daerah

Jembrana Dalam Kebijakan Publik

Ekonomi Publik. Musgrave

Kebijakan Fiskal-Implementasi dan Evaluasi

Reinventing Government. David Osborne

Evaluasi Kebijakan Publik. Hessel Nagi Tnagkilisan

APBD Kota Makassar

Renstra Makassar

PRA

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta mampu mengaplikasikan metode PRA dalam upaya untuk menganalisa dan

mengevaluasi informasi atas permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sosial.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta dapat mengetahui definisi dan tujuan PRA.

2. Peserta mampu merancang kerangka kerja dalam rangka melakukan observasi.

3. Peserta dapat mengetahui metode pengambilan informasi dengan metode

observasi langsung.

4. Peserta dapat menganalisa dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dari

observasi.
Pp

 Model Penyampaian

Ceramah, studi lapangan, dan simulasi

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

Studi lapangan (field study) adalan sebuah forum pembelajaran mengenai topik

atau tema tertentu dengan menggunakan metode turun langsung di lapangan, jadi

tidak berada di dalam ruangan. Karena itu peserta kader diharapkan mampu secara

langsung melihat, mendengar, dan merasakan atau memikirkan persoalan tertentu

berdasarkan data dan fakta dari objek yang menjadi topik pembahasan.

Bentuk simulasi disini dimaksudkan sebagai cara langsung melibatkan peserta

dalam menerapkan metode-metode dari Participatory Rural Appraisal (PRA).

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Participatory Rural Appraisal. Referensi untuk materi tersebut

adalah sebagai berikut:

Dunn, William.N, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya,

Yogyakarta,2003
Pp

Putra, Fadillah, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2001

Perangkat Untuk Pembangunan

Analisa Kebijakan Publik. Hessel Nagi Tangkilisan

Masyarakat Transparansi Indonesia Good Governance dan Penguatan Institusi

Daerah

Jembrana Dalam Kebijakan Publik

Ekonomi Publik. Musgrave

Kebijakan Fiskal-Implementasi dan Evaluasi

Reinventing Government. David Osborne

Evaluasi Kebijakan Publik. Hessel Nagi Tnagkilisan

APBD Kota Makassar

Renstra Makassar

MANAJEMEN PERENCANAAN STRATEGI

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta mampu memahami dan memiliki kapasitas dalam menggunakan alur logis dan

metode-metode MPS guna mencari solusi atas permasalahan yang terjadi.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mengetahui defisini MPS.

2. Peserta mengetahui perkembangan MPS.

3. Peserta mengetahui dan mampu menggunakan alur logis MPS.

4. Peserta mengetahui dan mampu menggunakan metode-metode MPS.

5. Peserta mampu merumuskan solusi atas permasalahan.


Pp

 Model Penyampaian

Ceramah-dialog dan simulasi

Ceramah yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di

hadapan peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang

telah disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

Bentuk simulasi disini dimaksudkan sebagai cara langsung melibatkan peserta

dalam menerapkan metode-metode dari Manajemen Perencanaan Strategis.

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Manajemen Perencenaan Strategis. Referensi untuk materi

tersebut adalah sebagai berikut:

Topatimasang, Roem dkk., Mengubah Kebijakan Publik, Insist Press,

Yogyakarta, 2005
Pp

SCENARIO PLENING

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta mampu mengetahui dan memahami konse dan metodologi scenario planning.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mengetahui definisi scenario planning.

2. Peserta mengetahui dan memahami konsep dan tujuan scenario planning.

3. Peserta mengetahui dan memahami metodologi dan alur scenario planning.

4. Peserta mengetahui deskriptif masalah.

5. Peserta mampu mengimplementasikan scenario planning.

 Model Penyampaian

Ceramah-dialog dan simulasi

Yaitu seorang narasumber menyampaikan pokok-pokok materi di hadapan

peserta, kemudian diteruskan dengan dialog untuk mempertajam materi yang telah

disampaikan.

Urgensi dialog adalah memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya

mengenai persoalan yang belum jelas, sharing pendapat mengenai gagasan dalam

perspektif yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumber, mengkritisi

suatu persoalan yang dipandang masih meragukan ataupun memberikan gagasan-

gagasan cerdas yang sebenarnya.

Bentuk simulasi disini dimaksudkan sebagai cara langsung melibatkan peserta

dalam menerapkan metode-metode dari Scenario Planning.


Pp

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Scenario Planning. Referensi untuk materi tersebut adalah sebagai

berikut:

Indonesia 2010

Scenario Planning

Artikel-artikel di Pak Misero, Pak Hamid, Pak Heriyanto

ARAH BARU PERGERAKAN MAHASISWA

 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus

Tujuan Instruksional Umum

Peserta mampu merumuskan arah pergerakan mahasiswa sesuai dengan kondisi

kekinian.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Peserta mampu mengevaluasi kondisi kekinian pergerakan mahasiswa.

2. Peserta mampu merumuskan strategi yang tepat untuk pergerakan

kemahasiswaan.

3. Peserta mampu mengkonsolidasikan elemen-elemen lembaga kemahasiswaan

pada lingkup Universitas Hasanuddin.

 Model Penyampaian

Panel forum

Panel forum yaitu sebuah metode penyampaian materi dengan menghadirkan lebih

dari satu narasumber untuk menyoroti suatu persoalan, dengan harapan mampu
Pp

memberikan perspektif yang lebih luas mengenai persoalan yang sedang dibicarakan.

Di samping itu, panel forum juga dapat berfungsi sebagai media pemegang bagi

pembicara baru

 Referensi

Referensi dimaksudkan sebagai petunjuk bagi para pemateri dalam menyampaikan

materi diatas dan peserta yang ingin mendalami materi . Atau dapat dikatakan bahwa

referensi dari materi ini merupakan materi pendalaman untuk lebih mendalami dan

memahami tentang Arah Baru Pergerakan Mahasiswa. Referensi untuk materi

tersebut adalah sebagai berikut:

Gie, Soe Hok, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, Jakarta, 1993

Luttawork, Edward, Kudeta. Teori dan Praktik Penggulingan, Yayasan Bentang

Budaya, Yogyakarta, 1999

Politik Huru-Hara 1998

Revolusi Fajar

Arah Pergerakan Mahasiswa, Nirwan Dewanto

Anda mungkin juga menyukai