Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FISIKA STATISTIK

ENTROPI DAN TEMPERATUR


Dosen pengampu : Drs. Aris Doyan, P.hD.

ANGGOTA KELOMPOK 6 :

1. LUTFIAH DINA AULIA (E1Q017031)


2. M. HIDAYAT NURSIDDIEQ (E1Q017032)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan


Semesta Alam. Karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “Entropi dan Temperatur”
dengan baik dan tepat waktu. Tulisan ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Fisika Statistik.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya yang telah disusun dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis memohon
maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan.

Mataram, 2 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Distribusi Energi.............................................................................3
2.2 Entropi dan Temperatur..................................................................5
2.2.1 Perubahan Entropi..................................................................10
2.2.2 Perubahan Energi dan Temperatur.........................................11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.....................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fisika statistik adalah suatu cabang ilmu fisika yang mengkaji
sistem yang terdiri atas banyak partikel dengan menggunakan
pendekatan statistik. Konsep pada fisika statistik dapat digunakan
untuk menganalisis masalah interaksi antar sub unit dengan jumlah
yang sangat besar, sementara interaksi individual antar sub unit itu
sendiri sangat sulit untuk dijelaskan. Pada dasarnya fisika statistik
adalah sama kedudukannya di dalam ilmu fisika. Kedudukan
termodinamika dan fisika statistik ibarat pemahaman yang kontinu
tentang cabang ilmu pengetahuan dimana terdapat hubungan
kekerabatan yang sangat dekat sebab pokok bahasan dari fisika
statistik tidak lain adalah termodinamika lanjut.

Berkenan dengan pemahaman kajian perbedaan


termodinamika dan fisika statistik dimana untuk pemahaman secara
mikroskopik suatu sistem meliputi beberapa ciri khas seperti adanya
pengandaian bahwa sistem terdiri atas sejumlah molekul, dan
kuantitas-kuantitas yang diperinci tidak dapat diukur secara
mikroskopik. Contoh penerapan pandangan mikroskopik untuk
cabang ilmu fisika yaitu dalam fisika statistik. Sehingga, alasan
pengembangan fisika statistik adalah untuk memberi landasan yang
kokoh bagi fenomena termodinamika.

Oleh karena itu, pada fisika statistik hubungan-hubungan


dalam termodinamika ditinjau ulang melalui pendekatan terhadap
partikel-partikel penyusun dengan berbagai sifatnya. Pada fisika

1
statistik juga dilakukan eksplorasi atas informasi mikroskopik dari
sistem fisis dan melakukan formulasi matematis seperti jumlah dan
rapat keadaan. Besaran-besaran konseptual tersebut yang berikutnya
akan dikaitkan dengan besaran dalam termodinamika yang terukur
atau teramati seperti temperatur, entropi, tekanan, dan energi makro.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu distribusi energi?
2. Bagaimakah distribusi energi pada sistem gabungan?
3. Bagaimakah perubahan entropi pada suatu sistem?
4. Bagaimanakah perubahan energi dan temperatur suatu sistem?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai distribusi energi pada materi entropi
dan temperatur.
2. Untuk mengetahui sperti apa distribusi energi pada sistem
gabungan.
3. Untuk mengetahui perubahan entropi pada suatu sistem.
4. Untuk mengetahui seperti apa perubahan energi dan temperatur
pada suatu sistem.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Distribusi Energi


Kita tinjau dua system A dan A’ masing-masing dispesifikasi oleh
energi E, E + δE, Jumlah Keadaan Ω(E); E’, E’ + δE’, jumlah
keadaan Ω’(E’).

Sekarang, kedua system mengalami kontak termal yakni dapat


mengalami transfer energy sedangkan parameter luar tidak berubah.
Misalkan ditulis A˚ dan setelah selang waktu tertentu system
gabungan ini mencapai keadaan.

Setimbang dengan energy total E˚


E˚ = E + E’ ………………………………………………(3.1)
Keadaan system gabungan A˚ dapat dinyatakn sebagai fungsi dari
salah satu energy system, E atau E’. Jumlah keadaan dengan energy
total dan system A berenergi E diberikan oleh :
Ω˚ (E) = Ω(E) Ω’(E’)……………………………………..(3.2)
Karena kedua system dapat mengalami kontak termal maka
memungkinkan terjadinya transfer energy yakni system A
mengeluarkan atau memasukkan energy δE dan sebalikaya untuk
system A’ dengan energy total E˚ tetap. Maka jumlah keadaan A˚
dengan energy total dan system A bernergi dan berenergi diberukan
oleh

3
Ω˚ (E – δE) = Ω (E – δE) Ω’ (E’ + δE)…………………..(3.3)
Dengan demikian jumlah keadaan total system gabungan berenergi
merupakan jumlah dari seluruh jumlah keadaan untuk setiap E dari
system A yang mungkin
Ω˚(E˚) =∑ Ω˚ ( E ) |E˚ = E + E’
E

=∑
E
Ω(E) Ω' (E˚ −E)……………………………(3.4)

Contoh 1
Dua system A dan A’ mempunyai jumlah keadaan sesuai dengan
masing masing energinya dan seperti diagram berikut

Bila kedua system mengalami kontak termal dan energy total E˚= 15ɛ
maka kombinasi yang mungkin diperlihatkan oleh tabel berikut.
Tabel 3.1

E E’ Ω(E) Ω’(E’) Ω˚(E)


4 11 2 40 80
5 10 5 26 130
6 9 10 16 160
7 8 17 8 136
8 7 25 5 125

4
Diagram energy system gabungan

Dari Tabel 3.1 diperoleh


8
Ω˚ (E˚=15ɛ) = ∑ Ω˚ (E)
E=4

= Ω˚(4) + Ω˚(5) + Ω˚(6) + Ω˚(7) + Ω˚(8)


= 80 + 130 + 160 + 136 + 125
= 631

2.2 Entropi dan Temperatur


Probabilitas keadaan sistem gabungan berenergi total E° dan
sistem A berenergi E diberikan oleh :

Ω° ( E ) '
P ( E )= =CΩ ( E ) Ω ( E °− E ) … … … … … … … … … .(2.5)
Ω °( E °)
dengan konstanta C=1/Ω ° ( E °).

Contoh 2.2

5
Perhatikan kembali sistem gabungan pada contoh 2.1. Tentukan
masing-masing probabilitas setiap keadaan sistem A dengan energi
total E°.
Penyelesaian :
Dari tabel 2.1 diperoleh
Ω°( E=4)
P ( E=4 ) =
Ω° (E °=15)
80
¿
361

Lengkapnya P(5) = 130/631, P(6) = 160/631, P(7) = 136/631, dan


P(8) = 125/631.

Persamaan (2.5) menyatakan kebergantungan P(E) terhadap


Ω(E) dan Ω’( E °−E ). Dari uraian terdahulu diperoleh gambaran
umum bahwa makin besar energi suatu sistem maka semakin besar
pula jumlah keadaan sistem tersebut. Karena itu bila Ω(E) naik cepat,
maka sebaliknya Ω’( E °−E ) akan turun cepat.

Gambar 2.5 Pola Distribusi Energi Komponen


Sistem Gabungan

Pola distribusi dua sistem tunggal ini akan memberi pola


distribusi baru yakni distribusi yang menonjol di sekitar nilai energi

6
~
tertentu E bagi sistem gabungan sebagaimana Gambar 2.6 di bawah
ini, dengan ΔE << E.

Gambar 2.6 Distribusi Eenergi Sistem Gabungan

Secara intuitif dapat kita simpulkan bahwa untuk sistem


dengan distribusi (mendekati) kontinyu dan jumlah keadaan
meningkat secara eksponensial maka distribusi energi sistem
gabungan akan makin sempit, ΔE makin kecil. Untuk sistem yang
makin besar dengan demikian juga dengan tingkat energi yang makin
besar maka ΔE semakin mendekati nol. Artinya, fngsi distribusi
energi sistem gabungan akan mendekati fungsi delta Dirac.

7
Gambar 2.7 Distribusi Energi Sistem Besar

Seperti dijelaskan dahulu, Ω meningkat secara eksponensial,


maka untuk mendapatkan variasi yang lebih lambat dan konvergensi
yang lebih cepat diambil logaritma pada kuantitas tersebut.

Logaritma bagi probabilitas (2.5) memberikan

( E' )
ln P ( E )=ln C +ln Ω ( E ) + ln Ω' … … … … … … … … . ( 2.6 )

Probabilitas maksimum terjadi jika

∂P
=0 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … ….. ( 2.7 a )
∂E

atau

∂ ln P ∂P
= =0 … … … … … … … … … … … … … … … … …(2.7 b)
∂E P∂E

Persamaan (2.6) dan (2.7b) memberikan :

∂ ln P ∂ ln Ω ( E ) ∂ ln Ω ( E ) ' '
=0= +
∂E ∂E ∂E

∂ ln Ω ( E ) ∂ ln Ω' ( E ' )
¿ + '
∂E (−∂ E )

∂ ln Ω ( E ) ∂ ln Ω' ( E' )
¿ − '
… … … … … … … …(2.8)
∂E ∂E

Selanjutnya, didefinisikan kuantitas bergantung energi β ≡ β ( E)

∂ ln Ω ( E )
β ( E )= … … … … … … … … … … … … … … … … . ( 2.9 )
∂E

8
maka persamaan (2.8) menyatakan probabilitas maksimum tercapai
jika

β ( E )=β ( E ) … … … … … … … … … … … … … … … … … .. ( 2.10 )
'

Karena P(E) dan Ω merupakan bilangan nirdimensi maka β(E)


berdimensi invers energi. Kemudian, dari hukum ke-nol
termodinamika seperti dijelaskan pada bab pertama bila dua sistem
yang berbeda temperatur berbeda mengalami kontak termal maka
saat setimbang kedua temperatur sistem menjadi sama. Karena itu,
definisikan parameter temperatur T terkait dengan fungsi β(E)
menurut

1
=kT … … … … … … … … … … … … … … … … … … .(2.11)
β( E)

dengan k adalah tetapan yang membuat kT berdimensi energi. Selain


itu, diperoleh juga bahwa bahwa k adalah tetapan Boltzman. Hal
tersebut terlihat jelas bahwa saat maksimum tersebut tercapai maka
akan dipenuhi

T =T ' … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .(2.12)

yakni dari persamaan (2.10) dan (2.11). Selanjutnya, definisikan


kuantitas S menurut

1 ∂S
= … … … … … … … … … … … … … … … … … … … …(2.13)
T ∂E

Persamaan (2.13) dan (2.9) memberi hubungan antara S dan jumlah


keadaan, sehingga ditemukan persamaan :

S=k ln Ω … … … … … … … … … … … … … … … … … … ..(2.14)

9
Dikaitkan dengan persamaan entropi berikut :

dQ
dS= … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .(2.15)
T

Dimana dS dapat didefinisikan sebagai perubahan entropi, dQ adalah


sejumlah kecil kalor yang diterima assembli, dan T adalah suhu
assembli. Dengan demikian, syarat bagi probabilitas maksimum P(E)
adalah :

'
S+ S =maksimum … … … … … … … … … … … … … ..(2.16)

Entropi sistem gabungan maksimum.

Persamaan (2.14) memberi penafsiran fisis yang menarik,


yaitu entropi sebanding dengan jumlah keadaan. Dengan demikian,
keadaan setimbang yang mempunyai entropi maksimum berarti
keadaan tersebut juga memiliki tingkat keacakan yang paling tinggi.

2.2.1 Perubahan Entropi


Uraian di atas memberi hasil bahwa dalam keadaan
setimbang, entropi menjadi maksimum. Hal ini berarti
perubahan entropi terhadap waktu selama menuju proses
setimbang selalu positif. Berikut ini diberikan bukti formal
perubahan ini.
Misalkan kita mempunyai dua sistem masing-masing
dengan temperatur, energi, dan entropi T1, E1, S1 untuk sistem
pertama dan T2, E2, S2 untuk sistem kedua. Lebih lanjut,
misalkan T1 > T2 dan sistem mengalami kontak termal sehingga
mengalami perpindahan energi ä E dari sistem pertama ke
sistem kedua.

10
Gambar 2.8 Perpindahan Energi

Entropi total ketika kedua sistem belum digabung,


S=S 1+ S 2
Begitu kedua sistem digabung segera terjadi perpindahan energi
sampai terjadi kesetimbangan. Perubahan entropi sistem
gabungan, menggunakan persamaan (2.12) sehingga diperoleh :

∂ S1 ∂ S2
δS = δ E1 + δ E2
∂ E1 ∂ E2
∂ S1 ∂ S2
¿ (−δ E1)+ δ E2
∂ E1 ∂ E2

¿ ( −1 1
+
T1 T2 )
δE … … … … … … … … … … … .. ( 2.17 )

( −1 1
+
T1 T2
δE> 0
)
Kita telah menggunakan δ E 1=−δ E 2=−δE . Karena T1>T2,
maka δS selalu bernilai positif.

2.2.2 Perubahan Energi dan Temperatur


Dengan tetap meninjau dua sistem di atas, variasi masing-
masing sistem sampai orde dua yaitu :

2
∂ S1 1 ∂ S1 2
2 (
δ S 1= δ E1 + δ E1 ) +…
∂ E1 2 ∂ E1

11
2
∂ S2 1 ∂ S2 2
2 (
δ S 2= δ E2 + δ E2 ) +… … … … … ..(2.18)
∂ E2 2 ∂ E2

Perubahan entropi total ä S dalam keadaan setimbang dimana


T 1=T 2 yaitu :

δS =δ S1 +δ S 2
2 2
∂ S1 ∂S 1 ∂ S1 1 ∂ S2
¿ δ E1 + 2 δ E 2+ 2 (
δ E 1 ) 2+ ( δ E 2)
2
∂ E1 ∂ E2 2 ∂ E1 2 ∂ E22

( )
2 2

¿ ( −1 1
+
T1 T2
δE + )
1 ∂ S 1 ∂ S2
+
2 ∂ E21 ∂ E22
( δE )2

( )
2 2
1 ∂ S1 ∂ S 2
¿ 0+ + ( δE )2
2 ∂ E1 ∂ E 2
2 2

( )
2 2
1 ∂ S1 ∂ S2
¿ + ( δE )2 … … … … … … … … … .(2.19)
2 ∂ E1 ∂ E2
2 2

Dari persamaan (2.13), didapatkan persamaan :

( )
2
∂ S1 ∂ ∂ S1
2
=
∂E 1
∂ E1 ∂ E1

¿ ( )
∂ 1
∂ E1 T 1

∂ E ∂T ( T )
∂T ∂ 1 1
¿
1 1 1

¿−
1 ∂T 1
2
T 1 ∂ E1 ( )
… … … … … … … … … … … … …..(2.20)

Sehingga,

δS =
(
−1 1 ∂T 1 1 ∂ T 2
+
2 T 21 ∂ E1 T 22 ∂ E 2
( δE )2
)
12
( )
2
( δE ) ∂ T 1 ∂ T 2
¿− 2
+ … … … … … … … … … …(2.21)
2 T ∂ E 1 ∂ E2

Karena dalam keadaan setimbang S bernilai maksimum, maka


δS harus bernilai negatif dan selalu dipenuhi jika

∂ T1 ∂T2
>0 , >0 … … … … … … … … … …(2.22)
∂ E1 ∂ E2

Artinya, jika energinya naik maka temperatur juga akan


naik, begitupun sebaliknya. Jika energinya turun, maka
temperatur juga akan turun.

Gambar 2.9 Kurva Energi Terhadap Temperatur


Suatu Sistem

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

14
DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, Agus. 2007. Fisika Statistik. Yogyakarta : Gava Media.

Abdullah, Mikrajuddin. 2007. Pengantar Fisika Statistik untuk Mahasiswa.


Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Maimunah Ameliyah, “Makalah Fisika Statistik”, diakses dari


https://www.academia.edu/31600155/Makalah_fisika_statistik, pada
tanggal 4 April 2020 pukul 21.54.

15

Anda mungkin juga menyukai