Anda di halaman 1dari 5

KEWARGANEGARAAN

TUGAS KEARIFAN LOKAL

Disusun oleh :

Nama : Valencia Yoanna


NIM : 205090307111012

PROGRAM STUDI S1 FISIKA


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
KEARIFAN LOKAL DAERAH TANGERANG

Kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan
yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Pengetahuan yang ada ini berguna
untuk menjawab berbagai masalah dalam memenuhi kebutuhan kehidupan warga lokal.

Kota Tangerang merupakan kota di mana saya dibesarkan. Sebelum dijelaskan mengenai kearifan
lokal, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai sejarah dari Kota Tangerang.

Sejarah mencatat lahirnya Tangerang bermula dari sebutan kepada sebuah bangunan tugu
berbahan dasar bambu yang didirikan oleh Pangerang Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari
Kesultanan Banten. Tugu tersebut terletak di bagian Barat Sungai Cisadane yang diyakini saat ini
berada di wilayah kampung Gerendeng. Oleh masyarakat sekitar, bangunan tugu tersebut disebut
"tengger" atau "tetengger" yang dalam bahasa sunda berarti tanda atau penanda.

Sesuai dengan julukannya, fungsi dari tugu tersebut memang sebagai penanda pembagian wilayah
antara Kesultanan Banten dengan pihak VOC Belanda. Dimana, wilayah kesultanan Banten berada
di sebelah barat dan wilayah yang di kuasai VOC di sebelah timur sungai Cisadane.

Hingga pada sekitar tahun 1652. Kala itu penguasa Banten mengangkat tiga orang maulana, yang
diberi pangkat Aria. Ketiga maulana tersebut merupakan kerabat jauh Sang Sultan yang berasal
dari Kerajaan Sumedang Larang, bernama Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Ketiganya
diminta dan diutus untuk membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan
perlawanan terhadap VOC yang semakin merugikan Kesultanan Banten dengan sistem monopoli
dagang yang diterapkannya.

Pada perjuangannya ketiga maulana tersebut membangun benteng pertahanan hingga mendirikan
pusat pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah
Tigaraksa. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana gugur satu demi satu. Aria
Santika wafat pada tahun 1717 di Kebon Besar Kec. Batuceper, Aria Yudhanegara wafat pada
tahun 1718 di Cikolol dan pada tahun yang sama Aria Wangsakara menutup usia di Ciledug dan
di makamkan di Lengkong Kiai.
Daerah di sekitar benteng pertahanan yang dibangun oleh ketiga maulana disebut masyarakat
sekitar dengan istilah daerah Benteng. Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang
dikenal dengan sebutan Kota Benteng.

Sekarang akan dibahas mengenai kearifan lokal yang terdapat di Kota Tangerang. Salah satu
kearifan lokal yang sangat terkenal dan selalu ramai akan penonton yaitu “Peh Cun”, yang artinya
mendayung perahu. Perahu yang dimaksud disini yaitu perahu yang berbentuk naga. Peh Cun
diperingati setiap tanggal 5 bulan 5 Imlek oleh warga Tionghoa. Berikut akan dijelaskan
sejarahnya.

Asal-usul Peh Cun ditelusuri dari kisah seorang negarawan bernama Qu Yuan yang merupakan
seorang Menteri dari negara Chu, yang hidup pada Zaman Negara Berperang (Warring States
Period). Qu Yuan merupakan seorang Menteri yang jujur dan setia, namun para pejabat Chu
merupakan orang-orang yang lalim. Mereka suka mabuk dan tidak segan untuk memfitnah. Walau
begitu, mereka sangat cerdik untuk mempenaruhi raja. Bahkan hingga pada suatu hari, para pejabat
lalim itu berhasil menghasut raja untuk mengusir Qu Yuan dari istana. Karena mendengar berita
itu, Qu Yuan menjadi sangat sedih. Ia kecewa karena raja tidak menghargai kesetiannya, dan lebih
suka mendengar fitnal dan kebencian. Dalam pengasingannya, ia menulis banyak ouisi dan
berkelana ke desa-desa. Para warga saat itu sudah mengenal Qu Yuan sebagai sosok yang jujur,
dan mereka turut iba saat mendengar bahwa Qu Yuan diasingkan. Kesedihan Qu Yuan semakin
merana dari hari ke hari. Hingga pada suatu ketika, Qu Yuan merengkuh sebongkah batu besar,
dan menceburkan dirinya ke Sungai Miluo.

Para nelayan pun panik. Mereka mencari-cari tubuh Qu Yuan yang seketika hilang di kedalaman
air. Para nelayan tidak percaya bahwa seorang Menteri yang begitu gagah dan bijaksana telah
bunuh diri. Hari demi hari berganti, dan para nelayan masih menyisir sungai untuk mencari Qu
Yuan. Mereka mencari dengan menaiki perahu naga karena kepercayaan adat bahwa sang naga
bisa membantu pencariannya. Mereka juga melempar bakcang ke sungai agar tubuh Qu Yuan
tidak dimakan binatang buas.

Dari legenda itulah tradisi Peh Cun bermula. Menurut cerita, hari di saat Qu Yuan melakukan
bunuh diri jatuh pada tanggal lima bulan lima kalender Imlek. Hari itulah yang dikenang sebagai
hari kejujuran dan kesetiaan.
Gambar 1. Ilustrasi Qu Yuan

Saat mengadakan festival Peh Cun ini, tidak lupa juga untuk menyediakan bakcang sebagai
santapan di hari itu sebagai santapan yang special dan memiliki kenangan. Setiap sudut piramida
bakcang mempunyai maknanya tersendiri. Sudut puncak melambangkan Tuhan, sementara tiga
sudut bawah melambangkan tiga unsur alam, yakni air, bumi, dan udara. Bakcang apabila dilempar
akan selalu menjulang ke atas, artinya Tuhan akan selamanya paling tinggi, kemudian manusia
sebagai makhluk berjiwa berada di tengah-tengah piramida tersebut.

Seiring waktu, bakcang pun mulai menyebar ke berbagai daerah di Tiongkok. Alhasil, bentuk dan
isi bakcang semakin bervariasi, mengikuti budaya dan filosofi masing-masing tempat. Bakcang
juga kemudian dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Nusantara. Persebaran orang Tionghoa
membuat isi bakcang menjadi beragam di setiap daerah. Tak lupa, tradisi dayung perahu naga juga
dibawa oleh orang Tionghoa. Meskipun sempat dilarang pada zaman Orde Baru, lomba perahu
naga saat ini tetap mengundang banyak pengunjung. Banyak orang dari berbagai kalangan yang
turut berpartisipasi dalam lomba ini. Di masa kini, Peh Cun telah menjadi bagian dari keberagaman
Indonesia. Baik perahu naga dan bakcang berakulturasi dan menjadi tradisi bagi banyak orang.
Hari kepedihan sang menteri kini menjadi peringatan yang abadi.

Gambar 2. Perayaan Peh Cun (Mendayung Perahu Naga)

Anda mungkin juga menyukai