Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota

vol. 32, tidak. 1, halaman. 83-98, April


2021 DOI: 10.5614/jpwk.2021.32.1.6

Tata Kelola Keberlanjutan dan Ketahanan


Perkotaan
: Tinjauan dari Perspektif Adaptasi Perubahan
Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Novi Maulida Ni'mah1,2, Bambang Hari Wibisono1, Muhammad Sani
Roychansyah1
[Diterima: 11 Juni 2020; diterima dalam versi final: 24 Maret 2021]

Abstrak. Keharusan 'membuat kota tangguh dan berkelanjutan' mengharuskan kota untuk
mengembangkan konsep dan praktik adaptasi dalam menanggapi ketidakpastian, perubahan yang
cepat, dan kompleksitas wilayah perkotaan. Sebuah konsep tata kelola baru yang dapat menjawab
tantangan pembangunan perkotaan kontemporer dan memastikan pembangunan berkelanjutan
jangka panjang diperlukan. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerangka umum tata kelola
perkotaan yang adaptif melalui kajian, elaborasi, dan analisis dokumen, dalam hal ini artikel ilmiah
yang membahas tata kelola perkotaan khususnya terkait dengan adaptasi perubahan iklim (CCA)
dan pengurangan risiko bencana (PRB). Hasil kajian ini mencakup gambaran umum pendekatan
tata kelola yang muncul dalam literatur CCA dan PRB, yang diurai menjadi pendekatan adaptif dan
antisipatif. Tata kelola yang adaptif mensyaratkan prinsip fleksibilitas yang diterapkan dalam siklus
manajemen dalam perumusan kebijakan, sedangkan tata kelola antisipatif mensyaratkan prinsip
proaktif dengan penerapan pandangan ke depan dalam perumusan kebijakan. Dimensi tata kelola
terdiri dari proses/mekanisme (manajemen risiko) dan kapasitas (kapasitas teknis, kelembagaan,
keuangan, dan manusia). Beberapa tantangan dalam membangun good governance berdasarkan
pendekatan adaptif adalah mendorong keterlibatan masyarakat, meningkatkan kapasitas pemerintah
daerah, dan membangun integrasi antar aktor, jaringan, dan kolaborasi.

Kata kunci: pendekatan tata kelola; tata kota; pembangunan berkelanjutan; ketangguhan; kerangka
konseptual

[Diterima: 11 Juni 2020; Disetujui dalam bentuk akhir: 24 Maret 2021]

Abstrak. Dalam menjadikan suatu kota tangguh dan berkelanjutan, kota dituntut untuk
mengembangkan konsep dan praktik adaptasi dalam menghadapi tantangan, perubahan yang cepat,
dan kompleksitas di perkotaan. Diperlukan konsep tata kelola baru yang dapat menjawab tantangan
pembangunan kerangka waktu kontemporer dan memastikan pembangunan berkelanjutan jangka
panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerangka umum tata kelola kota adaptif
dengan metode tinjauan, elaborasi, dan analisis dokumen, dalam hal ini artikel ilmiah yang
membahas tentang tata kelola kota secara khusus terkait dengan adaptasi perubahan iklim (CCA)
dan pemulihan risiko bencana (PRB). Hasil penelitian ini meliputi gambaran pendekatan tata kelola
yang muncul dalam literatur CCA dan

1
Program Doktor Arsitektur, Jurusan Arsitektur & Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Indonesia
2
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut
Teknologi Nasional Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia, email: novimaulida@itny.ac.id

ISSN 0853-9847 cetak/ 2442-3866 online © 20XX ITB, ASPI dan IAP
84 Novi Maulida Ni'mah, dkk.
PRB, yang diuraikan menjadi pendekatan adaptif dan antisipatif. Tata kelola adaptif membutuhkan
prinsip fleksibilitas yang diterapkan dalam siklus pengelolaan dalam perumusan kebijakan,
sedangkan tata kelola antisipatif membutuhkan prinsip proaktif dengan penerapan pandangan jauh
ke depan dalam perumusan kebijakan. Dimensi tata kelola terdiri dari proses / mekanisme
(manajemen risiko) dan kapasitas (teknis, kelembagaan, keuangan, dan kapasitas manusia).
Beberapa tantangan dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik berdasarkan pendekatan
adaptif adalah mendorong keterlibatan masyarakat, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, dan
membangun integrasi antar aktor, jaringan, dan kolaborasi.

Kata kunci: pendekatan tata kelola; tata kelola kota; pembangunan berkelanjutan; ketahanan;
kerangka kontekstual.

Pendahuluan

Perubahan iklim dan risiko bencana merupakan isu utama pembangunan berkelanjutan di abad ke-21
(Carter et al., 2015). Mereka masuk dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yang
pengarusutamaannya dilakukan secara global. Pada tujuan ke-11 dan ke-13, perubahan iklim dan
pengurangan risiko bencana menjadi target dan indikator pencapaian SDGs. Kawasan perkotaan
dinilai memiliki tantangan besar terkait adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana
(Carter et al., 2015). Gagasan 'membuat kota tangguh dan berkelanjutan' banyak digunakan sebagai
slogan pembangunan kota dunia. Kerangka Kerja Sendai 2015-2030 untuk Pengurangan Risiko
Bencana menegaskan tanggung jawab negara untuk membangun kota yang tangguh. Dengan
demikian, sebagai bagian dari kontribusi mereka untuk
mencapai SDGs, kota harus memiliki kapasitas untuk mentransfer pengetahuan dalam
mengembangkan konsep dan praktik adaptasi dalam menanggapi perkembangan dan dinamika
perkotaan yang cepat.

Pendekatan tradisional dalam perencanaan dan pembangunan kota dianggap tidak mampu
membangun kota yang adaptif (Carter et al., 2015). Ketidakpastian, perubahan yang cepat, dan
kompleksitas kawasan perkotaan memerlukan konsep tata kelola baru yang dapat menjawab
tantangan pembangunan perkotaan kontemporer dan memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan
jangka panjang dapat diwujudkan (Ioppolo et al., 2016; Crona & Parker, 2012; Voß & Bornemann,
2011). Perubahan perspektif governance diperlukan mengingat governance merupakan kapasitas
dasar dalam transformasi masyarakat dan ruang kota. Dengan demikian, prinsip refleksivitas menjadi
kebutuhan untuk pengembangan pola dan proses tata kelola perkotaan: “ia mengintegrasikan
keragaman perspektif, harapan, dan strategi dalam pemahaman yang kompleks tentang perubahan
masyarakat” (Voß & Bornemann, 2011: 9).

Selama dua dekade terakhir, konsekuensi ekonomi dan politik neoliberal telah menggeser distribusi
kekuasaan dari 'pemerintah' menjadi 'pemerintahan' (Jones et al., 2014). Tata kelola telah menjadi
konsep kunci dalam studi perkotaan sejak akhir 1980-an (McCann, 2017). Dalam beberapa tahun
terakhir, gagasan 'transformasi menuju keberlanjutan' telah menjadi fokus diskusi tentang tata kelola
di kalangan akademisi dan praktisi (Patterson et al., 2017). Tata kelola dan keberlanjutan keduanya
saling terkait, karena tata kelola kota yang baik dianggap sebagai prasyarat untuk mewujudkan
masyarakat yang berkelanjutan (Meyer & Auriacombe, 2019). Kompleksitas kekuatan jaringan dalam
pembangunan kontemporer telah memunculkan pendekatan tata kelola yang berbeda (Jones et al.,
2014), oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerangka umum tata kelola
perkotaan yang adaptif melalui kajian, elaborasi dan analisis dokumen, dalam hal ini, artikel ilmiah
yang membahas tata kelola perkotaan khususnya terkait dengan adaptasi perubahan iklim (CCA) dan
pengurangan risiko bencana (PRB). Manajemen risiko bencana memiliki beberapa tantangan, tetapi
yang paling penting adalah tata kelola dan
kelembagaan
masalah

(Hoang et al., 2018). Premisnya adalah bahwa perubahan iklim dan tata kelola risiko bencana
memiliki hubungan potensial dengan produksi kerentanan (Sandoval & Voss, 2016). Oleh karena itu,
konstruksi berbagai pemikiran tentang topik ini dapat memberikan wawasan tentang pengembangan
pendekatan tata kelola, baik secara konseptual maupun empiris (McCann, 2017). Secara khusus,
temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan diskusi untuk penelitian selanjutnya tentang
ketahanan dan keberlanjutan
kota

. , menciptakan ketahanan perkotaan, dan mencapai keberlanjutan. Pengumpulan data dilakukan


melalui pencarian, penyaringan, penyaringan, dan pemilihan arsip publikasi terindeks SCOPUS.
Pemilihan teknik pengumpulan data mempertimbangkan efektivitas waktu, aksesibilitas data, dan
reliabilitas data (Meyer & Auriacombe, 2019). Untuk pokok bahasan, penulis menggunakan
pendekatan kualitatif untuk mengkonstruksi pemikiran dan membangun kerangka dari fenomena dan
permasalahan yang dihadapi (Meyer & Auriacombe, 2019).

Tahapan pemilihan artikel adalah:


1. Pencarian dilakukan untuk menemukan artikel yang judulnya mengandung kata 'governance'.
2. Dari hasil tahap pertama, pencarian dibatasi dengan mencari kata yang relevan yaitu 'urban',
'climate', 'disaster', 'resilience' dan 'sustainability', artikel yang open-access, dan
dipublikasikan dalam 10 tahun terakhir (adaptasi dari McCann, 2017; Plummer et al., 2012).
Pencarian menghasilkan sekitar 1300 artikel.
3. Artikel kemudian disortir berdasarkan jumlah sitasi. Karena keterbatasan kemampuan dan
waktu untuk menelusuri semua artikel maka pemilihan dibatasi pada artikel dengan jumlah
sitasi > 20 yaitu sekitar 200 artikel. Dari artikel-artikel tersebut kemudian diseleksi dengan
melihat relevansi isi berdasarkan judul, abstrak dan tujuan penelitian. Akhirnya, sekitar 37
artikel dipilih.
4. Pencarian diperluas lagi dengan memperhatikan informasi yang diperoleh dari penelaahan
terhadap 37 artikel. Dengan tetap menggunakan arsip publikasi terindeks SCOPUS secara
total sekitar 45 artikel digunakan dalam melakukan kajian pustaka ini.

Apa itu Pemerintahan Kota?

Secara umum, tata kelola adalah tindakan mengatur baik dalam konteks sektor publik maupun swasta
(Emerson et al., 2012). Tata kelola adalah “organisasi pengambilan keputusan dan pembuatan
kebijakan yang muncul dalam bentuk berbagai eksperimen untuk menjawab dinamika dan
kompleksitas yang berkembang serta potensi krisis” (McCann, 2017: 313). Definisi ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan ideologi neoliberal dan proses globalisasi dan menjadi dasar
bagi para sarjana yang melakukan studi pemerintahan. Dampak dari fenomena tersebut adalah
restrukturisasi bentuk organisasi dan proses kelembagaan dalam perumusan kebijakan pembangunan
(Gambar 1) (McCann, 2017). Dalam proses restrukturisasi, kawasan perkotaan menjadi pusat fungsi
dan ruang karena merupakan media utama untuk mendorong pembangunan yang berorientasi pasar.
86 Novi Maulida Ni'mah, dkk.

Gambar 1. Rasional studi tata kelola perkotaan.


(Analisis dari McCann, 2017)

Isu urbanisasi di era saat ini menjadi titik awal pembahasan tata kelola kota (McCann, 2017).
Munculnya relasi kuasa baru antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta dalam pengelolaan
kawasan perkotaan telah menyebabkan munculnya marjinalisasi masyarakat dan segregasi spasial.
Meskipun penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik jelas merupakan hal mendasar
untuk transformasi dan reformasi bidang di sektor publik, tonggak pencapaian tata kelola yang baik
akan berbeda antara negara global utara dan selatan. Oleh karena itu, untuk mencapai apa yang
disebut sebagai 'tata kelola kota yang baik', tata kelola harus dikembangkan dengan pendekatan
multidimensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup semua masyarakat perkotaan,
termasuk partisipasi dan keterlibatan berbagai aktor, manajemen dan administrasi kota, dan
transparansi dan akuntabilitas publik (Meyer & Auriacombe, 2019).

Berdasarkan temuan kajian tentang governance, bentuk-bentuk governance yang berkembang pada
tahun 1980-an-1990-an dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) kemitraan lembaga publik; (2)
struktur regulasi 'ditingkatkan' oleh institusi supranasional dan 'diturunkan' oleh institusi lokal; (3)
kemitraan dan partisipasi publik dan swasta; dan (4) tata kelola kewirausahaan (McCann, 2017).
Dalam wacana sumber daya alam, studi tata kelola terutama membahas pemanfaatan pengetahuan,
organisasi batas, dan teori pemangku kepentingan (Crona & Parker, 2012). Meskipun perkembangan
awal konsep tata pemerintahan kontemporer sebagian besar dilakukan dalam konteks urbanisasi,
diskusi baru-baru ini membahas pentingnya karya ilmiah yang lebih luas, yaitu konteks urbanisme
(McCann, 2017). Selanjutnya, pertanyaan telah diajukan dalam dua dekade terakhir tentang peran dan
kesesuaian pendekatan tata kelola dalam membentuk transformasi dunia perkotaan menuju
keberlanjutan (Patterson et al., 2017). Kapasitas tata kelola adalah prasyarat dari apa yang bisa
disebut transformasi yang efektif dan dengan demikian menentukan seperangkat kondisi yang
seimbang adalah prasyarat (Koop et al., 2017). Diskusi potensial di masa depan tentang kapasitas tata
kelola dalam konteks perkotaan akan menghadapi masalah pembangunan berkelanjutan dan
ketahanan (Meyer & Auriacombe, 2019), terutama perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.
87
Tata Kelola Keberlanjutan dan Ketahanan Perkotaan: Tinjauan dari Perspektif
Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana

Tata Kelola Perkotaan untuk

Pendekatan Keberlanjutan dan Ketahanan dari Perubahan Iklim dan Isu Bencana

Sejak berlakunya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Kerangka Kerja Sendai dan Perjanjian Paris,
agenda kebijakan global pasca-2015 (Munene et al., 2018) telah menyoroti sifat mendasar dari
membangun keberlanjutan dan ketahanan di lingkungan perkotaan. Visi konsensus global untuk
adaptasi perubahan iklim (CCA) dan pengurangan risiko bencana (PRB) telah diadopsi di berbagai
negara dengan tujuan dan pencapaian yang sama. Namun demikian, ruang lingkup komitmen praktis,
terutama di dalam pemerintah pusat dan daerah, masih samar dan kurang jelas. Pertanyaannya adalah:
Bagaimana cara terbaik untuk mengimplementasikannya? (Munene et al., 2018).

'Mengatur ketahanan kota' dan 'pemikiran ketahanan' (Beilin & Wilkinson, 2015) secara umum
berkontribusi pada keilmuan yang melibatkan gagasan transformasi dan perubahan radikal narasi
perkotaan dalam kompleksitas pembangunan abad ke-21. Berdasarkan akal sehat, tata kelola iklim
dan bencana juga berurusan dengan kompleksitas berbagai elemen dalam siklus peristiwa bencana
(Sandoval & Voss, 2016). Transformasi kota secara bertahap melalui tata kelola yang baik akan
menjadi signifikan dalam mitigasi kerentanan dan risiko bencana. Begitu pula sebaliknya, tata kelola
yang baik yang mempertimbangkan manajemen risiko diharapkan menghasilkan hasil yang
diinginkan dalam ketahanan (Driessen et al., 2018). Dalam hal ini, transformasi dan kompleksitas
sangat kontekstual, baik secara temporal maupun spasial. Oleh karena itu, apa yang disebut
pendekatan tata kelola ketahanan perkotaan 'satu cocok untuk semua' tampaknya tidak praktis dan
diperlukan 'praktik tata kelola yang menghistoriskan dan mengontekstualisasikan' (Sandoval & Voss,
2016). Studi ke arah ini, berbagai konteks tata kelola untuk ketahanan perkotaan, belum dilakukan
(Driessen et al., 2018).

'Pendekatan tata kelola' adalah kata kunci yang paling sering muncul dalam jurnal terkait tata kelola
kota selama 10 tahun terakhir. Dari tinjauan literatur kami, hanya berdasarkan judul artikel, ada dua
pendekatan tata kelola tertentu yang menjadi fokus utama dalam wacana tata kelola, khususnya
terkait perubahan iklim dan mitigasi bencana, yaitu tata kelola adaptif dan tata kelola antisipatif.
Istilah 'adaptif' muncul dalam judul dan kata kunci dari 13 artikel dari makalah terpilih (Booher &
Innes, 2010; Bronen & Chapin, 2013; Chaffin et al., 2014; Crona & Parker, 2012; Djalante, 2012;
Djalante et al., 2011; Eakin et al., 2011; Koop et al., 2017; May & Plummer, 2011; Munene et al.,
2018; Plummer et al., 2012; Plummer & Armitage, 2013; Voß & Bornemann, 2011 ). Sementara itu,
istilah 'antisipatif' ditemukan pada 2 artikel dari makalah terpilih (Boyd et al., 2015; Guston, 2014).
Pendekatan ini tumpang tindih dan bergantung pada konteks, di mana pendekatan adaptif diperlukan
untuk mengatasi ketidakfleksibelan, sedangkan pendekatan antisipatif diperlukan ketika respons
bersifat reaktif (Koop et al., 2017).

Peningkatan peristiwa bahaya membutuhkan tata kelola yang tangguh yang mencakup keterkaitan
tata kelola adaptif, ketahanan, dan PRB (Djalante et al., 2011). Tata kelola adaptif (AG) adalah
“mekanisme untuk secara mendasar mengubah hubungan antara pembangunan dan risiko bencana,
dengan potensi implikasi yang luas untuk ilmu pengetahuan, kebijakan, dan praktik”
(Munene et al., 2018: 1). AG “mencakup dan mengidentifikasi strategi respons adaptif yang terkait
dengan risiko lingkungan yang tidak pasti, dan fitur penting adalah bahwa masyarakat fleksibel
dalam merespons krisis lingkungan” (Boyd et al., 2015: 153). AG mengubah adaptasi paradigma
manajemen risiko konvensional ke konteks perubahan iklim dan mitigasi bencana AG mengubah
paradigma konvensional adaptasi perubahan iklim (CCA) dan pengurangan risiko bencana (PRB)
untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan (Munene et al., 2018; Bronen & Chapin, 2013; Djalante
et al., 2011). Proses transformasi PRB melalui AG diperlukan untuk mencapai ketahanan bencana
dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan
88 Novi Maulida Ni'mah, et al.

arah Kerangka Sendai (Munene et al., 2018). PRB adalah “pendekatan sistematis untuk mengelola
risiko bencana” sedangkan AG adalah “pendekatan alternatif untuk mengatasi masalah yang
kompleks” (Djalante, 2012: 1). AG memanifestasikan dirinya melalui “interaksi antara aktor,
jaringan, organisasi, dan institusi yang muncul dalam mengejar keadaan yang diinginkan untuk
sistem ekologi sosial” (Chaffin et al., 2014: 1). Oleh karena itu, integrasi konsep PRB ke dalam AG
menjadi penting, seiring dengan pertimbangan bahwa bencana merupakan masalah kompleks yang
perlu dikelola. Sarjana dan praktisi menekankan perlunya aplikasi AG “untuk mengoordinasikan
rezim pengelolaan sumber daya dalam menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian yang terkait
dengan perubahan lingkungan yang cepat” (Chaffin et al., 2014: 1). Karakter utama AG, khususnya
dari perspektif ketahanan SES adalah: (1) adanya manajemen yang adaptif; (2) skala peran yang
paling cocok antara sistem sosial dan ekologi; dan (3) polisentrisitas institusional, redundansi, dan
keragaman (Chaffin et al., 2014).

AG adalah mekanisme fundamental untuk sains, kebijakan, dan praktik keterkaitan interdisipliner
untuk pengarusutamaan ketahanan. Dengan demikian, mekanisme inti dalam manajemen kolaboratif
adaptif AG, atau adaptive co-management (ACM) (Plummer et al., 2012). Pengelolaan bersama yang
adaptif adalah “pendekatan tata kelola yang muncul untuk sistem sosial-ekologi yang kompleks yang
menghubungkan fungsi pembelajaran pengelolaan adaptif (eksperimental dan pengalaman) dan
fungsi penghubung (vertikal dan horizontal) dari pengelolaan bersama” (Plummer et al., 2012: 1).
Dengan menggabungkan narasi adaptif dan kolaboratif, ACM memiliki dua prinsip: (1) kolaborasi
multilevel dan aksi kolektif, dan (2) adaptasi sistem sosial-ekologis (SES) (Munene et al., 2018; May
& Plummer, 2011). 'Adaptif' dapat mengacu pada proses belajar sambil melakukan untuk adaptasi
jangka panjang dan pembangunan kapasitas pemerintah, sedangkan 'ko-manajemen' mengacu pada
proses pengaturan hubungan kelembagaan dan jaringan untuk mendukung respon jangka pendek dan
komunitas. peningkatan kapasitas (Plummer et al., 2012). Dengan demikian, ACM mencakup
peningkatan hubungan dan jaringan kelembagaan baik horizontal maupun vertikal, proses
pembelajaran bersama untuk pembangunan jangka pendek hingga jangka panjang, dan peningkatan
kapasitas berbagai pelaku.

Salah satu bentuk prinsip kolaborasi di AG adalah mekanisme multi-stakeholder platform (MSP),
yaitu “sebagai multiplisitas organisasi di berbagai skala tata kelola yang bekerja menuju tindakan
yang lebih terkoordinasi dan terintegrasi dalam PRB” (Djalante, 2012). Mekanisme ini
memungkinkan MSP nasional dan lokal untuk berkolaborasi dengan MSP internasional dan regional
yang memiliki kapasitas sumber daya, keuangan, dan teknis yang lebih baik. Di negara-negara
dengan tata kelola yang lemah, keterlibatan lembaga swadaya masyarakat, lembaga, dan donor
nasional/internasional memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan program kegiatan
berbasis penanggulangan bencana (Jones et al., 2014). Perkembangan kebijakan dan strategi
penanggulangan bencana di tingkat internasional dan regional membuka peluang bagi negara-negara
untuk mengevaluasi dan merevisi model kebijakannya agar dapat berfungsi lebih jangka panjang
(Mysiak et al., 2013; Heintz et al., 2012 ).

Meskipun para sarjana umumnya fokus pada tata kelola adaptif, tata kelola antisipatif tampaknya
menjadi lebih sentral dalam perdebatan kontemporer tentang topik-topik mendesak seperti perubahan
iklim dan peristiwa ekstrem. Ketika pendekatan ini dibahas, antisipasi lebih sering digunakan dalam
berbagai bidang studi dan lebih ditekankan dalam konteks perubahan teknologi yang cepat di era
globalisasi saat ini: “Pemerintahan antisipatif adalah kapasitas berbasis luas yang diperluas melalui
masyarakat yang dapat bertindak pada berbagai input untuk mengelola teknologi berbasis
pengetahuan yang muncul sementara manajemen tersebut masih memungkinkan” (Guston, 2014: 1).
Meskipun demikian, narasi antisipasi dianggap sejalan dengan konsep ketahanan, yang menyoroti
ketidakpastian: “Tata kelola antisipatif adalah konsep baru yang memiliki relevansi signifikan untuk
mengembangkan strategi di bawah masa depan lingkungan yang tidak pasti” (Boyd et al., 2015: 153).
Oleh karena itu,
89
Urban Sustainability and Resilience Governance: Tinjauan dari Perspektif Adaptasi
Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana

diharapkan dapat menginformasikan kondisi yang adaptif dan tangguh bagi lembaga, pengambilan
keputusan, pembentukan strategi, dan masyarakat (Boyd et al. ., 2015).

Tata kelola antisipatif memotivasi kegiatan pengambilan keputusan untuk berubah dari jangka
pendek ke jangka panjang dengan peningkatan kapasitas pandangan jauh ke depan (Boyd et al., 2015;
Guston, 2014). Selain kebutuhan untuk melihat ke depan, kapasitas lain seperti keterlibatan dan
integrasi juga merupakan bagian dari pendekatan antisipatif (Guston, 2014). Penerapan nexus
multiskala, beberapa skenario, strategi pengembangan berbasis risiko, dan teknologi canggih
menandakan kesesuaian pendekatan ini (Boyd et al., 2015). Pendekatan ini umumnya dikaitkan
dengan konteks peramalan atau prediksi dalam pergeseran pemahaman adaptasi dan ketidakpastian
konsep ketahanan (Boyd et al., 2015). Dengan demikian, peran pengetahuan lokal dan memori sosio-
ekologis sangat penting untuk mengelaborasi antisipasi dalam membangun ketahanan (Boyd et al.,
2015). Penerapan pendekatan ini membutuhkan metode dan inovasi teknologi yang berkaitan dengan
antisipasi masa depan, seperti simulasi dan permodelan.

Aspek Kunci Tata Kelola Perkotaan yang Adaptif

Memenuhi tantangan tata kelola memerlukan proses dan kapasitas berulang yang dapat menghasilkan
pendekatan berdasarkan solusi jangka panjang yang dinamis. Aspek-aspek dalam berbagai konteks
tata kelola resiliensi yang dibahas dalam literatur dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Aspek Tata Kelola Dari Sumber Literatur


Aspek Tata Kelola Konteks
(Djalante, 2012) operasi UNISDR berbeda negara Kelola Framework (GCF): (1)
(1) Ideologi, (2) kapasitas 'knowing' (memahami risiko), (2)
pembelajaran, (3) partisipasi, (4) 'ingin' (komitmen untuk mencari
(Jiang et al., 2018) pembiayaan, (5) perencanaan, (6) solusi), dan (3) 'memungkinkan'
implementasi, (6) evaluasi dan (implementasi oleh aktor melalui
mekanisme (mekanisme cukup sumber daya)
pembelajaran peering kota-ke- bahasa kerja umum
kota, mekanisme kelembagaan, PRB
(Hoang et al., 2018)
mekanisme investasi, dan
(Driessen et al., 2018)
mekanisme perencanaan adaptif)
(1) Pendekatan tindakan teknis
dan infrastruktur, (2) Bencana
transformasi kelembagaan dan Penanggulangan
tata kelola
(1) Diversifikasi pendekatan
(Koop et al., 2017) manajemen risiko, (2) integrasi
manajemen risiko dalam aspek
praksis manajemen bencana, (3) Bencana
kolaborasi aktor publik dan pengelolaan
swasta, (4) pengaturan hukum CCA
(Wamsler, 2015)
(1) Kapasitas pendanaan, (2) formal yang pasti dan fleksibel,
jaringan global dan regional (3) (5) kepastian aspek keuangan dan
ketentuan teknis bagi masyarakat sumber daya, (6) adaptasi prinsip
setempat, (4) pemangku normatif dalam mengantisipasi
kepentingan yang lebih luas dampak bencana
keterlibatan, dan (5) sistem Tiga Dimensi Kapasitas Tata
CCA dan perkotaan air pengelolaan Tata kelola berbasis ekosistem
untuk PRB dan CCA
90 Novi Maulida Ni'mah, dkk.

(Beilin & Wilkinson, 2015) untuk perubahan, (4) kepentingan, (3) terstruktur jalur
menggabungkan kearifan lokal komunikasi dari proses tata
dan katalitik kekuatan memori kelola risiko
(Bronen & Chapin, untuk membantu perubahan itu Ketahanan perkotaan
2013) (1) Kepemimpinan lokal, (2) pemerintahan
(Greiving et al., 2012) perencanaan adaptasi berdasarkan
(1) Menemukan tindakan, (2) kesejahteraan sosial dan ekologis
menggunakan skala untuk
menginterogasi dan Tata kelola parametrik: (1) AG dan CCA
memfasilitasi perubahan, (3) berorientasi pada proses
mengakui asimetri hubungan kolaboratif bentuk pengambilan
kekuasaan untuk fokus pada keputusan, (2) dialog dan inklusi
Risiko
keadilan sosial sebagai penting keragaman nilai pemangku
pengelolaan

(Shi, 2012) (1) kepemimpinan menyeluruh, (2) internasional


pelibatan masyarakat sipil, (3) kerjasama Tata kelola risiko

(Djalante et al., 2011) menyesuaikan komunikasi risiko, kondisi, (4) insentif, (5)
(3) mengembangkan kegiatan pengetahuan, (6) kepemimpinan,
(Ikeda & Nagasaka, 2011) kolaboratif untuk pengambilan (7) pembelajaran, (8) jaringan,
keputusan yang terinformasi, (4) (9) interaksi organisasi, (10)
menyebarluaskan skenario risiko kekuatan bersama, (11) tanggung
(Eakin et al., 2011) yang dihasilkan dengan rencana jawab bersama, (12) kepercayaan
aksi kepada warga lainnya AG dan
(Thieken et al., 2016) . Manajemen (NPM): (1) teknis aesilience PRB
dan kapasitas finansial, (2)
memori kelembagaan, (3)
pembelajaran dan pengetahuan,
(Plummer et al., 2012) dan (4) partisipasi dan
(1) Institusi polisentris dan akuntabilitas (1) Integrasi analisis
berlapis-lapis, (2) partisipasi dan risiko bahaya dalam perencanaan CCA
kolaborasi, (3) self-organization tata ruang, (2) tindakan mitigasi
dan jaringan, dan (4) dan kesiapsiagaan di tingkat
pembelajaran dan inovasi. properti, (3) EWS dan koordinasi risiko
(1) Meningkatkan kesadaran akan tanggap bencana, (4) sistem Manajemen
risiko bencana dan isu-isu pertahanan
manajemen dengan berbagi ( 1) Menjembatani organisasi, (2)
informasi risiko, (2) konflik, (3) memungkinkan bersama yang adaptif

Mengacu pada tabel di atas, aspek tata kelola dapat dikategorikan menjadi dua dimensi, yaitu
proses/mekanisme dan sistem kapasitas. Pengelompokan aspek berdasarkan kategori tersebut
ditunjukkan pada Tabel 2.
91
Tata Kelola Keberlanjutan dan Ketahanan Perkotaan: Tinjauan dari Perspektif
Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana

Tabel 2. Dimensi Tata Kelola Berkelanjutan dan Ketahanan untuk Pembangunan Perkotaan
Dimensi Komponen
Proses/mekanisme Manajemen risiko, termasuk analisis bahaya risiko, skenario risiko, risiko
perencanaan berbasis adaptif (rencana tata ruang dan strategis), bencana
manajemen (kesiapsiagaan, respons, mitigasi)
Kapasitas Kapasitas teknis, termasuk teknologi dan infrastruktur Kapasitas kelembagaan,
termasuk organisasi berlapis polisentris, kemitraan dan kolaborasi pemangku kepentingan,
jejaring multiskala, partisipasi masyarakat, kebijakan, dan pengaturan hukum
Kapasitas keuangan, termasuk pendanaan dan investasi
Kapasitas manusia, termasuk nilai, pengetahuan , kepemimpinan, partisipasi

Tantangan Tata Kelola untuk Kota Berkelanjutan dan Tangguh

1. Keterlibatan masyarakat lokal


Adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana memiliki tujuan yang sama terkait
dengan kapasitas mengatasi bahaya akibat iklim. Dalam tata kelola neo-liberal, meskipun tata
kelola CCA dan DRR adalah tanggung jawab pemerintah, dengan perubahan paradigma tata
kelola top-down bottom-up, pemangku kepentingan dan masyarakat memiliki peluang lebih besar
untuk berpartisipasi dalam pengarusutamaan konsep tersebut (Forino et al. , 2015; Jones et al.,
2014). Manajemen risiko yang melibatkan kapasitas koping lokal yang inovatif dalam
mengurangi kerentanan mengarah pada pengembangan kerangka kerja tata kelola risiko bencana
(Ikeda & Nagasaka, 2011).

Sementara itu, pendekatan manajemen bencana yang berpusat pada teknologi dinilai kurang
memadai dalam mengantisipasi perubahan kondisi sosio-ekologis yang cepat (Hoang et al., 2018).
Kompleksitas teknologi harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas tata kelola (Jiang et al.,
2018). Tata kelola dalam konteks keberlanjutan harus diselaraskan dengan situasi lokal dan
kebutuhan masyarakat agar tidak menghasilkan kebijakan dan strategi yang pragmatis (Chanza &
De Wit, 2016). Berbagai kebijakan penanggulangan bencana di semua tingkatan menyatakan
pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun, perbedaan persepsi
pemerintah tentang peran dan fungsi masyarakat dalam manajemen risiko bencana mengakibatkan
rendahnya keterlibatan masyarakat (Wehn et al., 2015). Oleh karena itu, operasionalisasi adaptasi
iklim global dan strategi risiko bencana di tingkat lokal harus didukung oleh tata kelola yang
mendorong budaya keselamatan, keterlibatan aktor dan komunitas lokal, pengetahuan lokal atau
adat (IK), dan pengembangan kapasitas untuk pengurangan risiko bencana (Chanza & De Wit,
2016; Boyd et al., 2015; Botha & van Niekerk, 2013). Untuk membangun resiliensi disarankan
adanya keterkaitan antara IK, pendekatan antisipasi dan resiliensi (Boyd et al., 2015). Melalui
internalisasi pengetahuan tradisional dalam adaptasi perubahan iklim, kolaborasi antara
masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya juga akan meningkat. Penggabungan hal ini
ke dalam penelitian, kebijakan, dan aturan kemitraan harus dikembangkan oleh pemerintah
(Williams & Hardison, 2013).

2. Kapasitas pemerintah
daerah Pemerintah memiliki peran penting – secara politik, ekonomi, budaya dan sosial – dalam
penerapan sistem tata kelola risiko (jaminan sumber daya, dukungan teknis, dan manajemen
risiko) (Shi, 2012). Berdasarkan kerangka manajemen risiko bencana (DRM), kerentanan
memiliki hubungan kausalitas yang erat dengan tata kelola. Tata kelola kebencanaan yang
cenderung terpusat berpotensi menghasilkan kerentanan pascabencana dan kondisi tidak aman
yang lebih besar, yaitu 'erosi kepercayaan pada otoritas' (Sandoval &
92 Novi Maulida Ni'mah, et al.

Voss, 2016). Pemerintah daerah dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengelola risiko
bencana dengan baik, padahal sebagai lembaga yang paling dekat dengan masyarakat, tanggung
jawab mereka untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan merupakan hal mendasar
(Meyer & Auriacombe, 2019). Hal ini karena secara nasional kerangka kebijakan belum
mengakomodir kebutuhan
pengarusutamaan kebijakan berbasis risiko ke dalam praktik tata kelola dan pembangunan daerah
(Bang, 2013). This leads to the implementation of disaster management strategies being carried
out reactively rather than proactively. Accordingly, the importance of decentralization of decision
making is to ensure that the policy delivered is unique, more active, and sufficient to meet the
needs of the community (Meyer & Auriacombe, 2019).
The approach in CAA and DRR is advocated internationally to be integrated into the urban
planning process with appropriate governance patterns through a framework of increasing local
government capacity (Wamsler, 2015). Based on the analysis on the Urban Climate Change
Governance Survey (UCGS), local governments need to improve the integration of adaptation and
mitigation planning as well as the mainstreaming of adaptation planning into other long-term
plans and sectoral plans (Aylett, 2015). As a continuous process, risk management must pay
attention to several things, namely risk drivers, resultant risk, and risk reduction strategies that are
regularly investigated (Thieken et al., 2016). In this case, public sector reform is important so that
longer-term adaptive capacities and short-term efficiency goals can be achieved (Eakin et al.,
2011).

3. Actors, networks, and collaboration


'Problems of interplay', lack of coordination and weak collaboration among stakeholders are cited
as causes of the failure of DRM (Hoang et al., 2018; Greiving et al., 2012). Multiple actors,
multiple arrangements, and multiple mechanisms for DRM at multiple scales of spatial and social
contexts are fundamental for disaster governance (Sandoval & Voss, 2016). The actors who play a
role in CCA and DRR governance consist of state actors, social actors, and economic actors. The
integration of these three is done through co-management, private social partnership, and public-
private partnership (Forino et al., 2015).
Multilevel actor collaboration no longer depends on formal or institutional governmental
assistance but on informal or social networking efforts in local communities (Ikeda & Nagasaka,
2011). The application of this framework is expected to increase self-support and mutual
assistance in the community adaptation process. Here, complex adaptive networks
(CAN), a collaborative heuristics approach, can be a guideline for the development of innovative
governance practices such as “new practices and norms for interactions among the agents, a
distributed structure of information and decision making, a nonlinear planning method, self-
organizing system behavior, and adaptation” (Booher & Innes, 2010). Another perspective on
how to solve the problems of interplay is to enhance the global-local nexus 'glocality' that is
embodied in the form of transnational municipal and regional networks (TMN). This approach
deems to widen the opportunity of “pragmatism, innovation, and typical solution for the nations”
(Bansard et al., 2017).

Discussion

The complexity of contemporary urban development toward sustainability and resilience leads to a
debate on which governance approach is the best and how to implement it. Some scholars have stated
that there is no single best approach in governing risk (Sandoval & Voss, 2016; Koop et al., 2017).
However, in this study the governance approaches appearing in the literature on CCA and DRR could
be parsed down to the adaptive and anticipatory approaches (Figure 2). Both approaches are
considered to be part of the concept of resilience. Initially, the socio
ecological concept of resilience addressed the complexity and uncertainty of the future of the
93
Urban Sustainability and Resilience Governance: Review from the Perspective of
Climate Change Adaptation And Disaster Risk Reduction

social-ecological system (SES), while later on it was adopted into the urban development context.
Both are overlapping but each also has a distinctive way of accommodating the mainstreaming of
sustainable development and urban resilience.

Adaptive governance scholarship, both theoretical and empirical, has developed over the last two
decades. Adaptive governance seeks to meet 'uncertainty' with 'flexibility' of policy and development
strategies. Long-term flexible strategies are expected to solve future issues of urban development.
The term 'adaptive' is widely used in a variety of literature and is often juxtaposed with other terms,
such as 'adaptive approach', 'adaptive system', 'adaptive management', and 'adaptive measure'. The
main characteristics of all the terminology are adaptability and transformability, referring to the
adaptive capacity of the system and its capability to change in response to feedback from previous
conditions. Flexibility itself stresses the structural and operational capacity to proactively react to
ambiguity through shifts in the policy agenda for the target framework. Thus, one of the
characteristics of the prescriptive research agenda in adaptive governance is about how to be prepared
for change (Chaffin et al., 2014). This context is then discussed further by anticipatory governance.

The literature on SES resilience considers anticipation and anticipation itself has a meaningful
consistency with the concept of resilience (Boyd et al., 2015). Unlike adaptivity, anticipation
emphasizes its role in the context of predicting change in understanding uncertainty analysis. Shifts in
CCA and DRR policy perspectives, such as those in the Sendai Framework, emphasize that the
priority of DRR is 'understanding risk', which is then followed by 'risk governance'. The anticipatory
approach is expected to significantly improve the foresight capacity and to propose solutions to
manage resources under extreme events (Boyd et al., 2015). Although the approach is often
mentioned in the resilience literature, most publications are written from a theoretical perspective.
The development of methods and tools for the implementation of the approach is recommended. The
essence of this practice is providing “the most up-to-date information on uncertainty” (Chaffin et al.,
2014).

Most theories on governance related to CCA and DRR construct ideas of what kind of urban
governance capacities are required to adapt to rapid change. Based on the Governance Capacity
Framework (Koop et al., 2017), the structure of the governance approach can be used as a tool to
develop an empirical-based understanding of governance and its potential key enablers and to
formulate strategies to enhance local government capacity. As mentioned above, the dimension of
governance consists of process/mechanism and capacity. Generalizing this idea into the urban
development context, the adaptive approach challenges the traditional perspective of planning, raising
a debate on the governance structures that are best fit to develop effective responses (Carter et al.,
2015). In this matter, adaptive governance considers risk management as a
cyclical approach to predict sudden change due to possible disruption of the urban system, while
recognizing that risk means planning for adaptation and promoting transformation. Meanwhile,
within the capacity aspect, a shared learning process among various multilevel actors is a prerequisite
to building sustainable development. City-to-city peer learning to share and promote good practices
and innovation of CCA and DRR action can enhance actor and government capacity (Jiang et al.,
2018). Building capacity to achieve the global adaptation agenda through cross-sectoral and inter-
organizational action based on a silo approach is crucial (Carter et al., 2015). Particularly for local-
scale stakeholders, achieving effective management thus requires more investment in resources for
social capacity building, communication, and collaboration. The success of the mid- to long-term
adaptation agenda is dependent on the establishment of planning that is integrated across sectors
(Carter et al., 2015) and based on a consistent dialogue among actors (Ioppolo et al., 2016), including
research institutions and
94 Novi Maulida Ni'mah, et al.

businesses that can fill gaps due to the absence of strong spatial planning (Carter et al., 2015).

Governance for sustainability and resilience requires focusing on longer-term transformation and
near-term incrementalism at the same time (Patterson et al., 2017). Initiatives on the sustainable
development agenda should include program-based adaptive planning that builds on experimentation
and reflection by optimizing urban governance capacity (Jiang et al., 2018). From a planning
standpoint, adaptation strategies and spatial planning should be flexible and proactive. Flexibility in
adaptive management provides opportunities for the development of shared learning processes and
feedback loops for decision-makers to reconstruct ideas and development goals (Chaffin et al., 2014).
With the principle of flexibility it becomes possible to change long-term comprehensive development
through incremental plans that follow contemporary conditions. Meanwhile, proactive planning
foresees future stresses or shocks, as well as their consequences, in order to develop appropriate
short- to long-term development strategies. The foresighting practice could lead to the
implementation of a 'sustainability transition' by adopting a long-term perspective for short-term
development and precisely defining 'image sustainability' and possible transition paths (Boyd et al.,
2015).
Gambar 2. The Sustainable and Resilience Governance Framework.

Conclusion

Our review of the literature on governance in the context of CCA and DRR produced an overview of
types of governance towards sustainability and resilience, most notably adaptive governance and
anticipatory governance. Both are overlapping, yet each also emphasizes specific aspects of
governance. Adaptive governance requires application of the principle of
95
Urban Sustainability and Resilience Governance: Review from the Perspective of
Climate Change Adaptation And Disaster Risk Reduction

flexibility in the management cycle in policy formulation. Anticipatory governance requires


application of the principle of proactivity and future foresight in policy formulation. Both consider
and are influenced by governance aspects, both in terms of risk management mechanisms and
capacities (eg technical, institutional, financial, and human capacity). Some challenges in building
good governance based on adaptive approaches are encouraging community involvement, increasing
local government capacities, and building integration between actors, networks and collaboration.
Sustainability and resilience governance emphasizes the importance of local knowledge in the
process of policy formulation so that the management process and foresight will be contextual,
following stakeholder characteristics and spatial scale. Judging from the increasingly significant
expectation of sudden disruption, the advancement of approaches, methods and technological
innovations related to anticipating the future, such as simulations and modeling, are esssential for the
development and spatial planning process.

References

Aylett, A. (2015). Institutionalizing the Urban Governance of climate Change Adaptation: Results of
an international survey. Urban Climate 14 4–16. https://doi.org/10.1016/j.uclim.2015.06.005
Bang, HN (2013). Governance of disaster risk reduction in Cameroon: The need to empower local
government. Jamba: Journal of Disaster Risk Studies 5(2), 1–10.
https://doi.org/10.4102/jamba.v5i2.77
Bansard, JS, PH Pattberg, and O. Widerberg, (2017) Cities to the rescue? Assessing the Performance
of Transnational Municipal Networks in Global Climate Governance. International
Environmental Agreements: Politics, Law and Economics 17(2), 229–246.
https://doi.org/10.1007/s10784-016-9318-9
Beilin, R., and C. Wilkinson, C. (2015) Introduction: Governing for Urban Resilience Urban Studies,
52(7), 1205–1217. https://doi.org/10.1177/0042098015574955
Booher, DE, and JE Innes, (2010) Governance for Resilience: CALFED as a complex adaptive
network for resource management Ecology and Society 15(3). https://doi.org/10.5751/ES-
03404-150335
Botha, D. and D. Van Niekerk, (2013) Views from the frontline: A critical assessment of local risk
governance in South Africa. Jamba: Journal of Disaster Risk Studies 5(2), 1–10.
https://doi.org/10.4102/jamba.v5i2.82
Boyd, E., B. Nykvist, S. Borgström, and IA Stacewicz, (2015) Anticipatory Governance for Social-
Ecological Resilience. Ambio 44(1), 149–161. https://doi.org/10.1007/s13280-014- 0604-x
Bronen, R., and FSChapin, (2013) Adaptive governance and institutional strategies for climate-
induced community relocations in Alaska. Proceedings of the National Academy of Sciences of
the United States of America 110(23), 9320–9325. https://doi.org/10.1073/pnas.1210508110
Carter, JG, G. Cavan, A. Connelly, S. Guy, J. Handley, and A. Kazmierczak, (2015) Climate change
and the city: Building Capacity for Urban Adaptation. Progress in Planning 95, 1– 66.
https://doi.org/10.1016/j.progress.2013.08.001
Chaffin, BC, H. Gosnell, and BA Cosens, (2014). A decade of Adaptive Governance Scholarship
Ecology and Society 19(3), 1–13. https://doi.org/10.5751/ES-06824-190356 Chanza, N., and A. De
Wit, A. (2016) Enhancing Climate Governance Through Indigenous knowledge: Case in
Sustainability Science South African Journal of Science 112(3–4), 1– 7.
https://doi.org/10.17159/sajs.2016/20140286
Crona, BI, and JN Parker, (2012) Learning in Support of Governance: Theories, Methods,
96 Novi Maulida Ni'mah, et al.

and a Framework to Assess How Bridging Organizations Contribute to adaptive Resource


Governance Ecology and Society, 17(1). https://doi.org/10.5751/ES-04534-170132 Djalante, R.
(2012). Review Article: Adaptive Governance and Resilience: The role of Multi Stakeholder
Platforms in Disaster Risk Reduction Natural Hazards and Earth System Science 12(9), 2923–2942.
https://doi.org/10.5194/nhess-12-2923-2012
Djalante, Riyanti, . Holley, and F. Thomalla, (2011) Adaptive Governance and Managing Resilience
to Natural Hazards International Journal of Disaster Risk Science 2(4), 1–14.
https://doi.org/10.1007/s13753-011-0015-6
Driessen, PPJ, DLT Hegger, ZW Kundzewicz, HFMW van Rijswick, A. Crabbé, C. Larrue, P.
Matczak, M. Pettersson, S. Priest, C. Suykens, GT Raadgever, and M. Wiering, (2018)
Governance Strategies for Improving Flood Resilience in the Face of Climate Change Water
(Switzerland) 10(11), 1–16. https://doi.org/10.3390/w10111595
Eakin, H., S. Eriksen, PO Eikeland, and C. Øyen, (2011). Public Sector Reform and Governance for
Adaptation: Implications of New Public Management for adaptive Capacity in Mexico and
Norway Environmental Management 47(3), 338–351. https://doi.org/10.1007/s00267-010-
9605-0
Emerson, K., T. Nabatchi, and S. Balogh, (2012). An Integrative Framework for collaborative
Governance Journal of Public Administration Research and Theory 22(1), 1–29.
https://doi.org/10.1093/jopart/mur011
Forino, G., J. von Meding, and GJ Brewer, (2015). A Conceptual Governance Framework for
Climate Change Adaptation and Disaster Risk Reduction Integration International Journal of
Disaster Risk Science 6(4), 372–384. https://doi.org/10.1007/s13753-015-0076-z
Greiving, S., S. Pratzler-Wanczura, S., K. Sapountzaki, F. Ferri, P. Grifoni, K. Firus, G.
Xanthopoulos, (2012). Linking the actors and policies throughout the disaster management
cycle by “Agreement on Objectives” - A new output-oriented management approach Natural
Hazards and Earth System Science 12(4), 1085–1107. https://doi.org/10.5194/nhess-12-1085-
2012
Guston, DH (2014). Understanding “Anticipatory Governance.” Social Studies of Science, 44(2),
218–242. https://doi.org/10.1177/0306312713508669
Heintz, MD, M. Hagemeier-Klose, and K. Wagner, (2012). Towards a Risk Governance Culture in
Flood Policy-Findings from the Implementation of the “Floods Directive” in Germany. Water
(Switzerland), 4(1), 135–156. https://doi.org/10.3390/w4010135
Hoang, LP, R. Biesbroek, VPD Tri, M. Kummu, MTH van Vliet, R. Leemans, P. Kabat, and F.
Ludwig,(2018). Managing flood risks in the Mekong Delta: How to Address Emerging
Challenges Under Climate Change and Socioeconomic Developments. Ambio, 47(6), 635–649.
https://doi.org/10.1007/s13280-017-1009-4
Ikeda, S., and T. Nagasaka, (2011). An emergent framework of Disaster Risk Governance Towards
Innovating Coping Capability for Reducing Disaster Risks in Local Communities International
Journal of Disaster Risk Science 2(2), 1–9. https://doi.org/10.1007/s13753- 011-0006-7
Ioppolo, G., S. Cucurachi, R. Salomone, G. Saija, and L. Shi, (2016). Sustainable Local Development
and Environmental Governance: A Strategic Planning Experience. Sustainability (Switzerland)
8(2). https://doi.org/10.3390/su8020180
Jiang, Y., C. Zevenbergen, and Y. Ma, (2018). Urban Pluvial Flooding and Stormwater management:
A Contemporary Review of China's challenges and “Sponge Cities” strategy. Environmental
Science and Policy, 80(December 2017), 132–143. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2017.11.016
Jones, S., K. Oven, B. Manyena, and K. Aryal, (2014). Governance Struggles and Policy Processes in
Disaster Risk Reduction: A Case Study from Nepal. Geoforum 57, 78–90.
https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2014.07.011
97
Urban Sustainability and Resilience Governance: Review from the Perspective of
Climate Change Adaptation And Disaster Risk Reduction

Koop, SHA, L. Koetsier, A. Doornhof, O. Reinstra, CJ Van Leeuwen, S. Brouwer, C. Dieperink, and
PPJ Driessen, (2017). Assessing the Governance Capacity of Cities to Address Challenges of
Water, Waste, and Climate Change Water Resources Management 31(11), 3427–3443.
https://doi.org/10.1007/s11269-017-1677-7
May, B., and R. Plummer, (2011). Accommodating the Challenges of Climate Change Adaptation
and Governance in Conventional Risk Management: Adaptive collaborative risk management
(ACRM) Ecology and Society 16(1). https://doi.org/10.5751/ES-03924- 160147
McCann, E. (2017). Governing urbanism: Urban governance studies 1.0, 2.0, and beyond. Urban
Studies 54(2), 312–326. https://doi.org/10.1177/0042098016670046 Meyer, N., and C. Auriacombe,
(2019). Good Urban Governance and City Resilience: An Afrocentric Approach to Sustainable
Development Sustainability (Switzerland) 11(19), 1– 18. https://doi.org/10.3390/su11195514
Munene, MB, AG Swartling, and F. Thomalla, (2018). Adaptive Governance as a Catalyst for
Transforming the Relationship Between Development and Disaster Risk Through the Sendai
Framework? International Journal of Disaster Risk Reduction 28(September 2017), 653–663.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2018.01.021
Mysiak, J., F. Testella, M. Bonaiuto, G. Carrus, S. De Dominicis, UG Cancellieri, K. Firus, and P.
Grifoni, (2013). Flood risk management in Italy: Challenges and opportunities for the implementation
of the EU Floods Directive (2007/60/EC) Natural Hazards and Earth System Sciences 13(11), 2883–
2890. https://doi.org/10.5194/nhess-13-2883-2013
Patterson, J., K. Schulz, J. Vervoort, S. van der Hel, O. Widerberg, C. Adler, M. Hurlbert, K.
Anderton, M. Sethi, and A. Barau, (2017). Exploring the governance and politics of
transformations towards sustainability Environmental Innovation and Societal Transitions 24,
1–16. https://doi.org/10.1016/j.eist.2016.09.001
Plummer, R., DR Armitage, and RC De Loë, (2013). Adaptive Comanagement and its Relationship
to Environmental Governance Ecology and Society 18(1). http://dx.doi.org/10.5751/ES-05383-
180121
Plummer, R., B. Crona, DR Armitage, P. Olsson, M. Tengö, and O. Yudina, (2012). Adaptive
Comanagement: A Systematic Review and Analysis Ecology and Society 17(3).
https://doi.org/10.5751/ES-04952-170311
Sandoval, V., and M. Voss, (2016) Disaster Governance and Vulnerability: The Case of Chile.
Politics and Governance 4(4) Disaster Policies and Governance Promoting
CommunityResilience), 107–116. https://doi.org/10.17645/pag.v4i4.743
Shi, P. (2012). On the role of government in integrated disaster risk governance—Based on practices
in China International Journal of Disaster Risk Science 3(3), 139–146.
https://doi.org/10.1007/s13753-012-0014-2
Thieken, AH, S. Kienzler, H. Kreibich, C. Kuhlicke, M. Kunz, B. Mühr, M. Müller, A. Otto, T.
Petrow, S. Pisi, K. Schröter, AH Thieken, S. Kienzler, H. Kreibich, C. Kuhlicke, M. Kunz, B.
Mühr, M. Müller, A. Otto, and K. Schröter, (2016) Synthesis, Part of a Special Feature on
Toward More Resilient Flood Risk Governance Review of the flood risk management system in
Germany after the major flood in 2013. 21(August 2002). https://doi.org/10.5751/ES-08547-
210251
Voß, JP, and B. Bornemann, (2011) The politics of reflexive governance: Challenges for Designing
Adaptive Management and Transition Management Ecology and Society 16(2).
https://doi.org/10.5751/ES-04051-160209
Wamsler, C. (2015) Mainstreaming Ecosystem-Based Adaptation: Transformation Toward
Sustainability in Urban Governance and Planning Ecology and Society 20(2).
https://doi.org/10.5751/ES-07489-200230
Wehn, U., M. Rusca, J. Evers, and V. Lanfranchi, (2015) Participation in flood risk
98 Novi Maulida Ni'mah, et al.
management and the potential of citizen observatories: A governance analysis. Environmental
Science and Policy 48, 225–236. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2014.12.017
Williams, T., and P. Hardison, (2013) Culture, law, risk, and Governance: Contexts of Traditional
Knowledge in Climate Change Adaptation Climatic Change 120(3), 531–544.
https://doi.org/10.1007/s10584-013-0850-0

Anda mungkin juga menyukai