Anda di halaman 1dari 3

UPACARA ADAT SUMBAWA BARAT NTB :

TURUN TANA
ENSIKLOPEDIA KEBUDAYAAN SUMBAWA

Bagi masyarakat Sumbawa barat, ada salah satu tradisi yang kini nyaris sudah
ditinggalkan, terutama bagi yang tinggal di kota-kota besar, yakni upacara turun tanah. Upacara
khas masyarakat Sumbawa barat , NTB digelar ketika seorang bayi sudah menginjak usia 7
bulan dengan sebutan "turun tanah".

Upacara turun tanah ini adalah rangkaian prosesi adat tradisi daur hidup masyarakat
Sumbawa barat yang mulai jarang dilaksanakan. Turun artinya menapakkan kaki, dan tanah
berarti tanah atau bumi. Secara harfiah turun tanah berarti melangkah di tanah atau bumi bagi
seorang anak untuk pertama kalinya.

Upacara adat yang diperuntukan bagi bayi yang sudah mulai belajar berjalan adalah turin
tana atau arti Harfiahnya turun tana.Merupakan tradisi menyentuhkan kaki sang bayi atau
menginjakkan kakinya pada tanah untuk pertama kalinya.Prosesi upacara melalui tahapan yang
dinaungi nilai islam dengan piranti upacara yang syarat makna.

Upacara ini dimaksudkan agar setiap manusia memiliki kesadaran bahwa ia berasal dari
tanah dan akan kembali pada tanah. Pemilihan tanah masjid wajib untuk disentuhkan pada kaki
sang bayi dimaksudkan setiap manusia agar selalu melaksanakan sholat lima waktu dengan
berjamaah di masjid.upacara turin tana biasanya dirangkaikan dengan upacara yang lain seperti
gunting bulu, beterok,dan lain lain.

Upacara turun tanah ini juga biasanya diadakan saat anakberusia tiga bulan. Si anak
dibawa turun ke tanah melewati tangga-tangga yang menjadi jalan naik menuju rumah
panggung. Saat berada di tanah tersebut, sebuah jaring nelayan - jala dalam istilah masyarakat
Sumbawa Barat, ramang dalam istilah Sumbawa, akan dilemparkan pada si anak yang
didampingi kedua orang tuanya. Maka, yang akan kena jaring tersebut adalah si anak, ayah dan
ibunya. Ini merupakan simbol si anak dan keluarganya diterima dalam lingkungan dan
masyarakat sosialnya. Selain itu, makna jaring ini juga adalah untuk menjaring penyakit agar si
anak terhindar dari sakit yang berbahaya.

Dulu, dalam masyarakat tradisi Samawa, bayi-bayi tidak diperkenankan keluar rumah
sebelum acara Turin Tanak sampai usia tiga bulan. Ia akan tetap berada di rumah dan tidak boleh
keluar rumah. Tampaknya, cara tradisional ini juga sangat melindungi anak-anak karena tentu
saja, selama tiga bulan itu ia akan selaludidampingi oleh ibunya yang tentu saja juga akan
memberikan ASI padanya. Dan dalam masa itu, ia bisa mendapatkan ASI ekslusif. Begitu besar
penghormatan masyarakat dalam tradisi Sumbawa terhadap anak yang dilahirkan. Sejak bayi ia
telah diperlakukan secara mulia.

Bagi kaum bangsawan dahulu, bayi-bayi yang baru lahir dari hari pertama lahir hingga
berusia tujuh hari, tidak diperkenankan tidur di tempat tidur. Tidak diperkenankan bersentuhan
langsung dengan perabotan yang dibuat manusia. Selama tujuh hari, tujuh malam, bayi-bayi ini
selalu tidur dalam gendongan atau ayunan. Orang-orang yang berada di sekitarnyalah yang akan
bergantian menggendongnya selama tujuh hari tujuh malam. Ini merupakan bukti bahwa dalam
masyarakat tradisi Sumbawa, anak yang dilahirkan tersebut benar-benar dijaga dan dilindungi.
Bahwa bayi- bayi yang baru lahir tersebut secara tidak langsung diajarkan beradaptasi dengan
lingkungannya dengan perlahan-lahan, dengan tidak langsung menempatkannya pada tempat
tidur melainkan terlebih dahulu pada gendongan. Upacara adat penyambutan bayi yang lahir
dalam keluarga ini biasanya dilakukan bersamaan juga dengan aqiqah dan pemberian nama.
Upacara adat ini memang tampak sangat sederhana, tetapi di balik itu menyimpan muatan-
muatan nilai yang positif bagi kehidupan manusia ke depannya.
REFERENSI

Bidang kebudayaan – Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa

Naniek I. Taufan. (2011). Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat

Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan

Samparaja Bima. Bima.

Anda mungkin juga menyukai