Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

SISTEMA LUPUS ERITEMATOSUS DENGAN SKLEROTIK SISTEMIK

Pembimbing:
dr. Toumi Shiddiqi, Sp.PD, M.Kes

Disusun oleh:

Novita Putri 21360082


Rivan Nur Rizki 21360197
Sintia Ulandari 21360210

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD MUHAMMADIYAH METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

SISTEMA LUPUS ERITEMATOSUS DENGAN

SKLEROTIK SISTEMIK

oleh:

Novita Putri 21360082


Rivan Nur Rizki 21360197
Sintia Ulandari 21360210

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSUD Jendral Ahmad Yani
Metro.

Metro , September 2022

dr. Toumi Shiddiqi, Sp.PD, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul ” SISTEMA LUPUS ERITEMATOSUS DENGAN SKLEROTIK SISTEMIK”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen bagian ilmu penyakit dalam RSUD Jendral Ahmad Yani Metro.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Toumi Shiddiqi, Sp.PD, M.Kes, selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Metro , September 2022

Tim Penulis

ii
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..............................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................vii
BAB I....................................................................................................................................7
PENDAHULUAN
BAB II...................................................................................................................................8
STATUS PASIEN
2.I Identitas Pasien..........................................................................................................8
Anamnesis....................................................................................................................................8
Pemeriksaan Fisik.....................................................................................................................10
Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................................12
Diagnosis Banding.........................................................................................................16
Diagnosis 16
Tatalaksana...................................................................................................................16
BAB III...............................................................................................................................17
TINJAUAN PUSTAKA
SISTEMA LUPUS ERITEMATOSUS.....................................................................................17
Definisi....................................................................................................................19
Faktor Risiko..........................................................................................................20
Manifestasi Klinis..................................................................................................20
Etiologi....................................................................................................................26
Fatofisiologi............................................................................................................26
Pemeriksaan Diagostik..........................................................................................27
Tatalaksana............................................................................................................29
Congestive Heart Failure..............................................................................................30
Definisi 30
Klasifikasi 30
Diagnosis.................................................................................................................32
Tatalaksana......................................................................................................................33

iv
BAB IV...............................................................................................................................34
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil Laboratorium..........................................................................................12
Tabel 2.2 Kriteria ACR.....................................................................................................28
Tabel 2.3 Algoritma Penatalaksanaan SLE....................................................................29

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hasil EKG............................................................................................15


Gambat 2.2 Kelainan Pada Tubuh Pasien.............................................................16
Gambar 2.3 Hasil Foto Thorax................................................................................17

vii
BAB I
PENDAHULUAN

Sklerosis sistemik (skleroderma atau SSc) adalah penyakit autoimun


multisistem yang dikarakteristikkan dengan cedera vaskular yang luas dan fibrosis
kulit dan organ internal progresif. Penandanya adalah heterogenisitas klinis dengan
bervariasinya tingkat ekspresi penyakit, keterlibatan organ, dan prognosis yang
baik.
Istilah skleroderma digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang
memiliki manifestasi vaskulopathy pembuluh darah kecil, produksi autoantibodi,
dan disfungsi fibroblas sehingga meningkatkan penyimpanan matriks ekstraselular.
Hubungan skleroderma terhadap Fenomena Raynaud pertama kali
dideskripsikan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865 dan adalah sebuah asosiasi
yang diterima baik selama pergantian abad. Pada tahun 1945, Goetz mengusulkan
istilah sklerosis sistemik progresif berdasarkan ulasannya rinci mengenai lesi
viseral. Penerimaan sindrom skleroderma yang terbatas diikuti Winterbauer pada
tahun 1964 deskripsi dari apa yang kemudian disebut 'CREST syndrome'
(Kalsinosis, Fenomena Raynaud, esofagus dismotility, Sklerodactily dan
Telangiektasia).
Manifestasi klinis dan prognosisnya bervariasi, dengan kebanyakan pasien
mengalami penebalan kulit dan beberapa melibatkan organ dalam. Masih belum
ada pengobatan skleroderma ini namun pengobatan yang efektif untuk beberapa
bentuk penyakit sudah ada.

7
BAB II
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 40 tahun
Alamat : G. Agung, Metro Barat
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Tani

Pendidikan Terakhir : SMP


Waktu & Tempat : 30 Agustus 2022 di Ruang Muzdalifah

No. RM 200175

Anamnesis
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 minggu SMRS
b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang rawat inap setelah berobat ke poli penyakit dalam dengan
keluhan Sesak, Sesak dirasakan selama 1 minggu terakhir dan memberat jika
tidur terlentang, dan mereda jika pasien duduk tegak. Berikutnya pasien dirujuk
ke ruang rawat inap penyakit dalam RSMM untuk melakukan pungsi pleura.
Pasien juga mengeluhkan mual, batuk malam hari serta kulit yang terasa
menebal di punggung tangan pasien dan terdapat vitiligo pada seluruh tubuh
awalnya muncul di kedua tangan lalu muka, dada dan kedua kaki dan pasien
juga mengeluhkan bahwa warna kulitnya terlihat gelap dari sebelumnya.

8
c. Riwayat penyakit dahulu

Keluhan serupa : Ada


Riwayat DM : Disangkal
Riwayat HT : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat Acites : Disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : Disangkal
Riwayat Tumor : Disangkal
Riwayat Trauma : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
e. Riwayat pengobatan
Pasien melakukan pengobatan pada tahun 2017 awalnya pasien mengeluhkan panu di
punggungnya dan berobat ke dokter spesialis kulit sebanyak 4x setelah itu muncul
bercak pada bagian pinggang disertai bengkak.
f. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Biaya pengobatan menggunakan BPJS.
Kesan : cukup
g. Riwayat Kebiasaan :
Merokok (-) Konsumsi alkohol (-)

9
Pemeriksaan Fisik
Status
Generalis
Keadaan Umum : Sakit
sedang Kesadaran : Compos
Mentis GCS 15 (E4M6V5)
BB : 47 kg
TB : 160 cm
IMT : 18,8 kg/m2 (normal)
Tanda Vital
Tekanan darah : 129/83 mmHg
Nadi : 107x/menit
Pernapasan : 26x/menit
Suhu : 36,5 C
SpO2: 99%
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Kulit : Terdapat vitiligo di muka, ikterus (-), sianosis (-), turgor kulit normal
Kepala : normocephal, rambut beruban dan tidak mudah
dicabut Mata : konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : simetris , sekret (-), lesi (-) epistaksis (-)
Telinga : normotia, sekret (-), lesi (-)
Mulut : sianosis (-), bibir kering bibir kering pecah pecah (+), stomatitis
angularis (+), atrofi papil lidah (-),
Leher : leher simetris, terdapat vitiligo (+) pembesaran kelenjar tiroid (-),

Pemeriksaan Thoraks
Pulmo
– Inspeksi
Bentuk normochest, simetris, retraksi (-), lesi (-)
– Palpasi
Nyeri tekan lapang paru (-), vocal fremitus normal, krepitasi (-)
– Perkusi

Redup
di
sebelah
10
kanan
ICS 7
– Auskutasi
vesikuler menurun pulmo kanan, normal di paru kiri, Ronkhi halus +/-, Wheezing -/-

11
Cor
– Inspeksi
Ictus cordis tidak terlihat
– Palpasi
Ictus cordis teraba di Linea axillaris anterior ICS VI sinistra
– Perkusi
Batas atas jantung ICS II sinistra
Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung melebar ke ICS VI linea axillaris anterior
– Auskultasi
BJ 1/II murni, reguler

Abdomen
Inspeksi : Datar,
Auskultasi : Bising
Usus(+)
Palpasi :Massa tumor (-), nyeri tekan epigstrium (+), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi :Timpani (+)

Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Superior

-Akral hangat, terdapat vitiligo di kedua tangan dan


sklerosis (+/+) edema dikedua jari tangan (+/+),
CRT <2 detik, Ekstremitas Inferior
- Akral hangat, terdapat vitiligo di kedua tungkai (+/+) edema tungkai -/-, CRT <2
detik, edema (-/-)

12
Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium

Tabel 2.1 Hasil Laboratorium


Tanggal
Pemeriksaan Satuan 29-8-2022
Nilai Normal

Leukosit 5-10 Ribu/ul 4,6


Eritrosit 3,08-5,05 Juta/ul 3,42
Hemoglobin 12-16 g/dl 9,1 (L)
Hematokrit 37-48 % 28,0(L)
Mcv 80-92 Fl 82,1
Mch 27-31 Pg 26,6 (L)
Mchc 32-36 g/dl 32,5
Trombosit 150-450 Ribu/ul 295
Rdw 12,4-14,4 % 16,3 (H)
Mpv 78-100 Fl 82,1
Ureum 15-40 Mg/dl 20
Creatinin 0,6-1,1 Mg/dl 0,5
GDS <140 Mg/dl 143
Basofil <3% % 0
Eusinofil <3% % 0
Neutrofil staff <6% % 0
Neturofil 50-70 % 66
Segmen
Limfosit 20-40 % 18
Monosit <8 % 16
URINE
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Jernih Jernih
Berat jenis 1.010-1.030 1.015
PH 4,5-8,0 6,0
Leukosit <20 Leu/uL 0
Eritrosit <10 Ery/uL 0
Nitrit (-) -

13
Protein <0,3 g/L -
Bilirubin <1,5 umol/L -
Urobilirubin <3,5 umol/L -
Glukosa <0,1 mmol/L -
Keton <2,8 mmol/L -
Sedimen 0-1 LBP 0-1
Eritrosit
Sedimen 0-5 LBP 0-1
Leukosit
Epitel (+) +
Kristal (+/-) -
Silinder (-) -
Asam Urat 2,5-6 mg/dl 6,2
Trigliserida <150 mg/dl 91
LDL <150 mg/dl 55
GDN 70-110 mg/dl 106

14
A. Elektrocardiogram

Gambar 2.1 Hasil EKG


1. Irama sinus
2. HR: 101x/mnt Sinus tachycardia
3. Reguler
4. PR interval : 0,16 detik
5. Kompleks QRS : 0,10 detik
6. LAD
7. Morfologi gelombang
- Terdapat Q patologis di Lead V1, V2, V3,V4, III dan aVF

15
Gambar 2.2 Kelainan Pada Paien

16
B. Rontgen thorax

Gambar 2.3 Hasil Foto Thorax

Gambaran:
- Cor tampak membesar, sinus dan diafragma kanan tumpul
- Pulmo hili kasar dengan corakan paru bertambah
- Tampak perselubungan opak homogen di hemithoraks kanan
Kesan :
Cardiomegali dengan efusi pleura kanan

17
Diagnosis Banding
- SLE
- ITP
- Arthritis gout
- Rheumatoid Arthritis
Diagnosis
Sistema Lupus Eritematosus dengan Sklerotik Sistemik
Efusi pleura dextra
Congestive Heart Failure
Anemia
Tatalaksana

IVFD Nacl 0,9 10 tpm

Inj. Pantoprazole 1x40 mg


Inj. Ondansentron 3x 8 mg
Bisoprolol 1x 10 mg
Antasida Syrup 3x1
As. Tranexamat 3x500mg
MP 2x62,5m

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Lupus eritromatosus sistemik (SLE)

3.1.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem
di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan
kejadian awal yang memicunya masih belum diketahui.
Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu
system mukokutan (malar rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia),
neurology (serebri) dan ginjal (nefritis).
Jenis Lupus inilah yang paling sering dirujuk masyarakat umum sebagai penyakit
Lupus. SLE dapat menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja dengan tingkat
gejala yang ringan sampai parah. Gejala SLE dapat datang dengan tiba-tiba atau
berkembang secara perlahan- lahan atau dapat bertahan lama atau bersifat lebih
sementara sebelum akhirnya kambuh lagi.
Banyak yang hanya merasakan beberapa gejala ringan untuk waktu lama atau
bahkan tidak sama sekali sebelum tiba-tiba mengalami serangan yang parah.
Gejala-gejala ringan SLE, terutama rasa nyeri dan lelah berkepanjangan, dapat
menghambat rutinitas kehidupan. Karena itu para penderita SLE bisa merasa
tertekan, depresi, dan cemas meski hanya mengalami gejala ringan.
SLE belum dapat disembuhkan. Tujuan pengobatannya adalah untuk mendapatkan
remisi panjang, mengurangi tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ pada
penderita SLE serta meningkatnya kesintasan.

Beberapa puluh tahun yang IaIu, SLE dipandang sebagai penyakit terminal yang
berujung kepada kematian. Ketakutan ini disebabkan oleh banyaknya penderita
pada saat itu yang meninggal dunia akibat komplikasi dalam kurun waktu 10tahun
setelah didiagnosis mengidap SLE.
19
Tetapi kondisi pada zaman sekarang sudah jauh lebih baik. Berkat pengobatan SLE
yang terus berkembang, hampir semua penderita SLE saat ini dapat hidup normal
atau setidaknya mendekati tahap normal. Bantuan dan dukungan dari keluarga,
teman, serta staf medis juga berperan penting dalam membantu para penderita SLE

3.1.2 Factor Resiko SLE

Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit inflamasi autoimun


kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki variasi gambaran klinis yang luas,
dan tampilan perjalanan penyakit yang beragam. faktor genetik, imunologik dan
hormonal, serta lingkungan diduga juga berperan dalam perjalanan penyakit.

Faktor risiko penyakit LES adalah:


1. Faktor genetik: diketahui bahwa sekitar 7%* pasien LES memiliki keluarga
dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis LES. Oleh karena
itu, faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko LES. Sejauh ini diketahui
terdapat sekitar 30 variasi gen
yang dikaitkan dengan kejadian SLE.

2. Faktor lingkungan: infeksi, stres, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa


dan penisilin), cahaya ultraviolet (matahari) dan penggunaan obat-obat tertentu,
merokok, paparan kristal silika, merupakan faktor pemicu timbulnya LES.

3. Faktor hormonal: perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan


dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit LES sebelum periode
menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon, khususnya
estrogen menjadi pencetus penyakit LES. Namun, hingga saat ini belum diketahui
secara pasti peran hormon yang menjadi penyebab besarnya prevalensi LES pada
perempuan pada periode tertentu.

3.1.3 Gejala Penyakit Lupus

Gejalanya awal kerap mirip dengan penyakit Iain sehingga sulit untuk didiagnosis.
Gejala Lupus sangat beragam. Ada yang ringan dan ada yang bahkan mengancam
20
jiwa. Gejala Lupus yang paling sering muncul dari semua pasien tanpa memandang
jenis kelamin adalah:
 Keletihan;
 Sakit kepala;
 Nyeri atau bengkak sendi; Demam;
 Anemia (baik karena jumlah sel darah merah/ haemoglobin kurang, atau
karena volume darahnya kurang);
 Nyeri di dada ketika menarik nafas panjang;
 Ruam kemerahan pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-kupu;
 Sensitifterhadap cahaya atau cahaya matahari;
 Rambut rontok sampai kebotakan (alopecia);
 Pendarahan yang tidak biasa;
 Jari-jari berubah pucat atau kebiruan ketika dingin (fenomena Raynaud);
Sariawan di mulut atau koreng di hidung.
Manifestasi Klinis

Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada
suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai
tambahan, perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi
dari ringan ke sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena
perbedaan multisistem dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis
sebagai great imitator .Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan
sampai sedang dengan gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit
secara bertahap atau tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan
peningkatan aktivitas penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang
sangat jarang, pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi
lambat. Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walaupun
SLE dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda
pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut. Banyak penyakit,
khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan gejala dan tanda SLE.

21
1 Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun
penyebab infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi
imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana
peningkatan berat badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid, dapat menjadi
lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah
satu gejala yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat
penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit,
efek samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik
terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. 1,4
Pada kasus ini dijumpakan gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga ditemukan pada pasien
ini. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah
satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut
ditemukan pada kasus ini.

2 Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam
yang telah ada sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan
(exagerrated sunburn), atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar
matahari atausumber cahaya buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat
terjadi pada semua kelompok ras dan etnis, Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas,
yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung yang membagi
lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly rash. Ruam ini
dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat
meradang, bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini
hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit kepala. Lupus kutis akut
dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar
ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang
terpajan sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V di leher) tanpa
pajanan sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo
reticularis, eritema periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula,
22
urtikaria akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis.
Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada
puncak SLE. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi discoid dikepala.

3. Manifestasi kardiovaskular
perikarditis merupakan gejala khas , dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau
dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien
dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia,
atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati
dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.
Endokarditis trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali tidak
menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup
aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan infark
miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang yang
paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,
menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan
arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari,
sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki
sering tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada
sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien SLE
dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien
SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada semua
ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C
dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya
trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.

23
4. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi
dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain
mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru,
pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta
infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan
alveolus difus dapat timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki angka
mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan fibrotik
pada paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif
dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh
perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot pernapasan,
termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren
disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.

5. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak
menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif
yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimal,
termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom nefrotik, dengan
proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan
hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengahipertensi, sedimen eritrosit atau kristal
eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif
dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan
ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria 25,00 mg/dL dan
leucocyte pada urin 25,00 Leu/μL.

6. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik


Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang
merujuk pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki
manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini diagnosis
dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti
24
peningkatan kadar protein, pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada
CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea;
atau bahkan pada biopsi leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran
alternatif lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus
ini, cairan serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal, dan diagnosis
banding dari penyakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk
ditentukan. Masalah lain adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit
kepala sering ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang
berat dan menyerupai migren yang hanya responsif terhadap glukokortikoid
merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat
menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.1 ,5
Pada pasien ini disuspek lupus serebri karena penurunan kesadaran.

7. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas untuk
pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi
abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan
terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat
menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan
kegawatan bedah akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit
atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan
dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis
autoimun melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan
hati dengan peningkatan transaminase ringan.

8. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan
oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin rendah, dan
kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak
langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan
mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan
25
perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan
limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng
dkk menghubungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada
pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia
ringan (100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh
antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin
didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik.
Pada kasus ini deitemukan kelainan atau manifestasi hematologic sesuai dengan
gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan
gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.

9. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada
penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom
Sjögren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik atau
oklusi arteri atau vena retina.

3.1.4 Etiologi SLE


SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-
DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadi

3.1.5 Patofisiologgi SLE


Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai
agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada
manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh
pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam
menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan
cedera jaringan dengan cara pembentukan dan generasi kompleks imun, berikatan
dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor
26
inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi kematian sel
dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak
merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan sistem
imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama
pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk
SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

3.1.6 Diagnosis SLE


Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi
(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR) revisi tahun 1997.7,9 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda
SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE),
maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai
penyakit
lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan
sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting.

27
Table 2.2 Kriteria ACR Diagnosis Lupus Eritromatosus lupus sistemik
Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997. Bila dijumpai 4 atau lebih
kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitiitas 85% dan spesifisitas 95%.
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
diperlukan. Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosi

28
3.1.7 Penatalaksanaan SLE

Tabel 2.3 Algoritma Penatalaksanaan SLE

29
3.2 Congestive heart failure (CHF)

3.2.1 Definisi
Gagal jantung dapat di definisikan sebagai abnormalitas dari struktur
jantung atau fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk
mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh. Secara klinis, gagal jantung merupakan
kumpulan gejala yang kompleks dimana seseorang memiliki tampilan berupa:
gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya bukti obyektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.
Gagal jantung adalah sebuah sindroma klinis yang kompleks yang berasal
dari gangguan structural dan fungsional dari pengisian dan atau pengosongan
ventrikel. Manifestasi cardinal dari gagal jantung adalah sesak nafas dan cepat
lelah, yang bisa membatasi toleransi aktivitas, dan retensi cairan, yang bisa
berujung pada kongesti pulmonal dan/atau splanknik, dan edema perifer. Sebagian
pasien akan memiliki keterbatasan aktivitas yang bermakna tetapi sedikit gejala
retensi cairan, dimana sebagian pasien lainnya akan lebih mengeluhkan gejala
edema, sesak nafas dan cepat lelahnya.

3.2.2 Klasifikasi CHF


New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasikan gagal jantung ke
dalam 4 kelas berdasarkan derajat keparahan gejala dan keterbatasan kapasitas
fungsional/aktivitas penderita. Sistem klaisifikasi NYHA sebagai sistem klasifikasi
gagal jantung yang tertua, pertama kali diterbitkan di tahun 1928 dan mengalami
beberapa kali revisi sampai revisi yang terakhir yaitu revisi ke-9 pada Maret 1994.
Klasifikasi NYHA menekankan pada kapasitas aktivitas yang bisa
dilakukan penderita dan simtomatik dari penyakit gagal jantung itu sendiri. Dari 21
klasifikasi NYHA bisa dinilai derajat keparahan dan prognosis dari penderita gagal
jantung sehingga dianggap sebagai prediktor utama dan independen mengenai
outcome dan mortalitas pasien, Karena menitik beratkan pada derajat keparahan
dan simtomatik penderita, kelas pasien bisa berubah-berubah secara dua arah,
meningkat ke kelas yang lebih baik (dengan terapi) atau justru semakin memburuk,
dalam periode waktu yang relative singkat.

30
Berikut klasifikasi CHF menurut NYHA dan AHA:
a. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA):
1) Stadium A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak
terdapat gangguan structural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda
atau gejala.
2) Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan
perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda dan gejala.
3) Stadium C
Gagal jantung yang simpatomatis berhubungan dengan penyakit
struktural jantung yang mendasari.
4) Stadium D
Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang
sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis
maksimal.

b. Klasifikasi berdasarkan American College Of Cardiology (ACC) and The


American Heart Association (AHA):
1) Kelas I
Pasien dengan penyakit jantung. Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas
fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
2) Kelas II
Pasien dengan penyakit jantung. Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat
keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
3) Kelas III
Pasien dengan penyakit jantung. Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi atau sesak.
4) Kelas IV
Pasien dengan penyakit jantung. Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.

31
3.2.3 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dimana diantaranya adalah
pemeriksaan laboratorium rutin elektrokardiografi, foto toraks,
ekokardiographydoppler, dan pemeriksaan yang lebih baru seperti pemeriksaan
biomarker.
ACC/AHA menyatakan bahwa dalam mendiagnosa gagal jantung tidak ada
satupun uji diagnostik tunggal yang spesifik, selain daripada diagnosis klinis yang
ditetapkan berdasarkan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik.
Berbagai metode dikembangkan oleh para ilmuwan untuk untuk dijadikan
alat bantuan dalam menskrining pasien gagal jantung kongestif berdasarkan
anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik pasien. Beberapa diantaranya
yang sering dipakai adalah Kriteria Framingham, Kriteria Boston, Kriteria Duke,
Skoring KILLIP, dan lain-lain.

Berikut Kriteria Framingham:


Kriteria Mayor
1. Paroksismal Nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru (khasnya ronki basah halus di basal paru)
4. Kardiomegali (lewat hasil radiologi)
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peningkatan tekanan Vena Jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispne d’effprt
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardia (>120/menit)

32
Kriteria Framingham untuk CHF jika:
- Terdapat 2 kriteria mayor, atau
- Terdapat 1 kriteria mayor dan 2 minor
Dan ada penurunan BB >4,5 kg dalam 5 hari selama pengobatan.

3.2.4 Tatalaksana CHF


a. Terapi Farmakologi
1. Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik) Mengurangi kongestif pulmonal
dan edema perifer, mengurangi gejala volume berlebihan seperti ortopnea
dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya
menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan
oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.
2. Antagonis aldosteron Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung
sedang sampai berat.
3. Obat inotropik Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4. Glikosida digitalis Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung
menyebabkan penurunan volume distribusi.
5. Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat) Mengurangi preload dan afterload
yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena menyebabkan berkurangnya
preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena.
6. Inhibitor ACE Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan
mengurangi sekresi aldosteron sehingga menyebabkan penurunan sekresi
natrium dan air. Inhibitor ini juga menurunkan retensi vaskuler vena dan
tekanan darah yg menyebabkan peningkatan curah jantung.
b. Terapi non farmakologi
1. Manajemen Perawatan mandiri
2. Ketaatan pasien berobat
3. Pemantauan berat badan mandiri dan diet
4. Asupan cairan
5. Pengurangan berat badan
6. Latihan fisik

33
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien datang rawat inap setelah berobat ke poli penyakit dalam


dengan keluhan Sesak, Sesak dirasakan selama 1 minggu terakhir dan
memberat jika tidur terlentang, dan mereda jika pasien duduk tegak.
Berikutnya pasien dirujuk ke ruang rawat inap penyakit dalam RSMM
untuk melakukan pungsi pleura. Pasien juga mengeluhkan mual, batuk
malam hari serta kulit yang terasa menebal di punggung tangan pasien dan
terdapat vitiligo pada seluruh tubuh awalnya muncul di kedua tangan lalu
muka, dada dan kedua kaki dan pasien juga mengeluhkan bahwa warna
kulitnya terlihat gelap dari sebelumnya dengan diagnosis Sindrom Lupus
Eritematosus dengan Sklerosis Sistemik dan Congestive Heart Failure.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Lahita RG. The clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In:Lahita RG,
Tsokosth G, Buyon J, Koike T. Editors. Systemic Lupus erythematosus, 5 ed. San Diego.
Elsevier; 2011:
2. Schur P, ed. The clinical management of systemic lupus erythematosus, 2nd ed.
Philadelphia:
3. Petri MA, Systemic lupus erythematosus: Clinical aspects. In: Koopman WJ. Editor.
Arthritis Lippincott-Raven, 1996 and Allied conditions. 15 ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins. 2005: 1473- th
4. Vasudevan AR, Ginzler EM. Clinical features of systemic lupus erythematosus. In:
Hochberg 1474 th MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH. Editors.
Rheumatology 5 ed.
5. Stone JH, Crofford LJ, White PH. Editors. Primer on the rheumatic diseases. 13th ed.
Atlanta:
6. Perki pedoman tatalaksana gagal jantung 2020
7. Hunt SA. ACC/AHA guidelines: A-, B-, C-, and D-based approach to chronic heart
failure therapy. Eur Heart J Suppl. 2006; 8(supp 6):e3-e5.
8. McMurray JJV, Adamopoulos S, Dickstein K, Filippatos G, et al. ESC guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: the Task Force for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 of the European Society
of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA) of
the ESC. Eur Heart J. 2012; 33(14): 1787-1847.
9. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis. Kidney
International.2006;
10. 71. British Society of Rheumatology (BSR). Vaccination in the immunocompromised
person:
11. therapies. BSR; 2002, http://www. rheumatology.org.uk/guidelines/ clinical guidelines
12. vaccination. European Journal of Internal medicine 2009;20:236-241
13. 75. Kelly Zarnke. Canadian Journal of General Internal Medicine.2007;2(4):36-8
14. and 􏰀ludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA 2002, 288:862–
871
15. of disease activity in systemic lupus erythematosus: prospective validation of 3 clinical
16. indices. J Rheumatol 1992;19:1551-8.
17. guidelines for the patient taking immunosuppressants, steroids and the new biologic
18. 72. Millet A, Decaux O, Perlat A, Grosbois B, Jego P. Systemic lupus erythematosus and
19. 73. Rosandich PA., Kelley JT, Conna DL. Perioperative management of patients with
rheumatoid arthritis in the era of biologic response modi􏰀iers. Curr Opin Rheumatol
16:192–198
20. 74. Kuwajerwala NK, Reddy RC. Kanthimathinathan VS, Siddiqui RA. Perioperative
Medication
21. Management. http://emedicine.medscape.com/article/284801-overview access at
22. 76. Coursin DB, Wood KE: Corticosteroid supplementation for adrenal insuf􏰀iciency.
JAMA
23. 77. Annane D, Sebille V, Charpentier C, et al.: Effect of treatment with low doses of
hydrocortisone
24. 78. Kelley JT, Conn DL. Perioperative management of the rheumatic disease patient.
Arthritis
25. Foundation. Bull Rheum Dis 2002, 51.
26. 79. Guzman J, Cardiel MH, Arce-Salinas A, Sanchez-Guerrero J, Alarcon-Sego

Anda mungkin juga menyukai