Anda di halaman 1dari 16

19

BAB II
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN KEUNTUNGAN BAGI
HASIL PEMBIAYAAN MUSYARAKAH

A. Pengertian Pembiayaan Musyarakah


Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak dimana
pihak pertama dan pihak kedua memiliki modal bersama dan mengelola
perusahaan secara bersama-sama sesuai dengan kesepakatan, bagi hasil yang
diperoleh di bagi bersama sedangkan kerugian akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan26. Kerjasama yang dimaksud dalam musyarakah
adalah kerjasama dalam menjalankan usaha secara bersama dengan porsi yang
sama.

Bank Syari’ah Perusahaan / Nasabah Aset


Proyek Value

Mudharib

Bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan


dan kerugian sesuai kontribusi modal

Gambar 2.1

Skema Pembiayaan Musyarakah

Adapun pengertian pembiayaan musyarakah (syirkah atau syarikah


atau serikat atau kongsi) dalam penelitian disini adalah bentuk umum dari
usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan
dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan
dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan

26Wiroso, Produk Perbankan Syari’ah,…295


19
20

menurut proporsi modal. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan


dari calon anggota dan pengurus lembaga keuangan untuk memulai
kerjasama para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang
mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber
daya.
1. Landasan Hukum Pembiayaan Musyarakah
b. Pertimbangan syar’i produk pembiayaan musyarakah
berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadits yaitu :
Menurut Al-Qur’an :
        
       
       
       
  
Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu “
sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain kecuali
27
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh". (QS. Shaad: 24)
Menurut Hadits :

Dalam Hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Huraerah


bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Allah SWT telah berkata: Saya menyertai dua pihak yang


sedang berkongsi selama salah satu dari keduanya tidak
mengkhianati yang lain, seandainya berkhianat maka saya
keluar dari penyertaan tersebut”28

c. Pertimbangan Yuridis

27Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 454.


28Firdaus Ahmad Nakib, 325 Hadits Qudsi Pilihan Jalan ke Surga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1990), 16
21

Landasan hukum pembiayaan musyarakah berdasarkan


Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia,
Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musyarakah29.

Menimbang :

1) Bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan


kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana
dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan
musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk satu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dan dengan ketentuan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
2) Bahwa pembiayaan musyarakah yang memiliki
keunggulan dari segi kebersamaan dan keadilan, baik
dalam berbagi keuntungan atau resiko kerugian, kini
telah dilakukan oleh lembaga keuangan syariah.
3) Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai ajaran islam,
DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang
musyarakah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

2. Rukun Syirkah (kerjasama)

Rukun syirkah yg asas ada 3 perkara yaitu: akad (ijab-qabul) juga


disebut sighah, Dua pihak yang berakad (‘aqidani) harus memiliki
kecakapan melakukan pengelolaan harta, Obyek akad (mahal) juga disebut

29Abdul Ghofur Anshori, Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia(UU di Bidang


Perbankan, Fatwa DSN-MUI dan Peraturan Bank Indonesia), (Yogyakarta: UII Press, 2007), 93-
95
22

ma’qud alaihi dimana terdapat modal atau pekerjaan manakala syarat sah
perkara yang boleh disyirkahkan adalah objek tersebut boleh dikelola
bersama atau diwakilkan.

Adapun mengenai syarat-syarat syirkah menurut hanafiah dibagi


menjadi empat bagian yaitu :

a. Sesuatu yang berhubungan dengan semua bentuk syirkah baik


dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini
terdapat dua syarat yaitu:

1) Yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah


harus dapat diterima sebagai perwakilan.
2) Yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua belah
pihak, misalnya setengah, sepertiga dan yang lainnya.

b. Sesuatu yang berhubungan dengan syirkahmal (harta), dalam


hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu:

1) Bahwa modal yang akan dijadikan objek akad syirkah


adalah dari alat pembayaran, seperti Junaih, Riyal, Rupiah.
2) Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad
syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama atau berbeda.

c. Sesuatu yang behubungan dengan syarikat mufawadhah,


bahwa dalam mufawadhah disyaratkan:

1) Modal dalam syirkah mufawadhah harus sama.


2) Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah
23

3) Bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah


umum, yakni pada semua macam jual beli atau
perdagangan.

d. Prosedur pembiayaan musyarakah30

1) Ketentuan dasar pembiayaan musyarakah

a) Perjanjian ijab-qabul harus dinyatakan oleh para pihak


untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan
hal-hal berikut:

(1) Penerimaan dan penawaran harus secara eksplisit


menujukkan pada tujuan kontrak (akad).
(2) Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat
terjadinya kontrak (akad)
(3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau menggunakan cara komunikasi
modern
b) Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan
memperhatikan hal-hal berikut:
(1) Kompeten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan
(2) Setiap mitra harus menyediakan dana dan
pekerjaan, setiap mitra melaksanakan kerja sebagai
wakil.
(3) Setiap mitra berhak untuk mengatur asset
musyarakah dalam proses bisnis normal.

30 Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syari’ah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM, 2007),
127-132.
24

(4) Setiap mitra memberikan wewenang kepada mitra


yang lain untuk mengelola asset dan masing-
masing dianggap telah diberi wewenang untuk
melakukan aktifitas musyarakah dengan
memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa
melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

e. Mekanisme pembiayaan musyarakah31

1) Pembagian keuntungan dalam Musyarakah

Menurut para ahli fiqh pengikut Hanafi, dalam


syirkah keuntungan yang dibagikan kepada setiap rekanan
harus ditetapkan sesuai total keuntungan, bukan
berdasarkan jumlah uang tertentu. Juga wajib membagi
keuntungan kepada pihak yang memperoleh modal melalui
mudharabah dan kepada pemilik modal ditetapkan dengan
suatu ukuran keuntungan yang sederhana, misalnya:
seperdua, sepertiga atau seperempat.

Sebagaimana dalam perjanjian syirkah, ahli-ahli


fiqh pengikut Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa
keuntungan akan dibagikan sesuai jumlah bagian atas
jumlah-jumlah modal yang diinvestasikan yang secara
tidak langsung menunjukkan bahwa suatu jumlah uang
tertentu sebagai keuntungan tidak dapat dibagi ke pihak
manapun.

f. Manfaat Musyarakah

31 Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syari’ah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM, 2007),
127-132
25

Salah satu prinsip bagi hasil yang banyak dipakai dalam


perbankan syariah adalah musyarakah. Dimana musyarakah
biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana
nasabah dan bank secara bersama-sama menyediakan dana
untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek tersebut
selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati bank.
Adapun manfaat dari pembiayaan musyarakah yaitu
meliputi:32
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah
tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat.
2) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan
Cash Flow atau Arus Kas Usaha Nasabah, sehingga
tidak memberatkan nasabah.
3) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari
usaha yang benar-benar halal, aman, menguntungkan.
Prinsip bagi hasil dalam mudharabah atau musyarakah ini berbeda dengan
prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih pembiayaan (nasabah) satu
jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan
sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.33

B. Bagi Hasil Musyarakah


Bagi hasil menurut istilah adalah suatu sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana 34. Sedang
menurut terminologi asing (Inggris) bagi hasil dikenal dengan profit

32 Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syari’ah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM, 2007),
127-132
33Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syari’ah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM, 2007),
127-132
34Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004).153
26

sharring. Profit sharring dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.


Secaradefinitif profit sharring diartikan: "Distribusi beberapa bagian dari
laba (profit) pada para pegawai dari suatu perusahaan". Lebih lanjut
dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan
yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya,
atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan35.
Bentuk-bentuk pembagian laba yang tidak langsung mencakup
alokasi saham-saham (penyertaan) perusahaan pada para pegawai, dibayar
melalui laba perusahaan, dan memberikan para pegawai opsi untuk membeli
saham-saham sampai pada jumlah tertentu dimana yang akan datang pada
tingkat harga sekarang, sehingga memungkinkan para pegawai memperoleh
keuntungan baik dari pembagian deviden maupun setiap pertumbuhan dalam
nilai saham yang dihasilkan dari peningkatan dalam kemampuan
memperoleh laba. Jika dalam suatu perusahaan, maka perolehan bagian laba
sering dianjurkan untuk meningkatkan tanggung jawab pegawai dan dengan
demikian meningkatkan produktivitas.
Pada mekanisme lembaga keuangan syari'ah atau bagi hasil,
pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk-produk penyertaan, baik
penyertaan menyeluruh maupun sebagian-sebagian, atau bentuk bisnis
korporasi (kerjasama). Pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan bisnis
yang disebut tadi, harus melakukan transparansi dan kemitraan secara baik
dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin untuk kepentingan
pribadi yang menjalankan proyek36.
Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional
antara shahibul maal dengan mudharib. Dengan demikian, semua
pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk
kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya
operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahibul maal dan

35Christopher Pass, et al, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 1997, Cet. Ke-2). 537
36Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari'ah,(Yogyakarta: UII Press, 2001). 23
27

mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara


eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba
sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul maal telah dibayar
kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian
akan dianggap sebagai pembagian keuntungan di muka.
Inti mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya adalah terletak
pada kerjasama yang baik antara shahibul maal dengan mudharib.
Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi
Islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan dalam semua lini kegiatan
ekonomi, yaitu: produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk
kerjasama dalam bisnis atau ekonomi Islam adalah qirad atau mudlarabah.
Qirad atau mudlarabah adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang
dengan pengusaha pemilik keahlian atau ketrampilan atau tenaga dalam
pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui qirad atau
mudlarabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan
bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari
proyek ekonomi yang disepakati bersama37.
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat
dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan profit sharing (bagi laba)

Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi


keuntungan.Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. 38Profit
secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan
(total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil
didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
37Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari'ah,(Yogyakarta: UII Press, 2001). 24
38Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002). 101
28

tersebut39. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah


profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai
pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas
hasil usaha yang telah dilakukan.

2. Pendekatan Revenue Sharing (bagi pendapatan)


Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang
yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang
(goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan
penjualan (sales revenue40).
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada
perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kagiatan produksi
dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba
didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu
pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk
memperoleh pendapatan tersebut.
Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari
Syafi'i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan
harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun
bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian
keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari
harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari
bagian shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan
berdasarkan pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang
mengatakan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah
hanya bila perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya
makan, minum, pakaian dan sebagainya. Hambali mengatakan bahwa

39Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional
Bank Syari’ah, (Jakarta : Djambatan, 2001), 264
40Cristopher Pass , Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi ke-2. (Jakarta: Erlangga, 1994). 583
29

mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik


dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal, tetapi
besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal
(menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.41

C. Keuntungan Bagi Hasil dalam Pembiayaan Musyarakah

Menurut Adiwarman Karim (2004), hal-hal yang berkaitan dengan nisbah


bagi hasil yaitu:

a. Prosentase
Nisbah keuntungan harus didasarkan dalam bentuk prosentase
antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal
rupiah tertentu. Nisbah keuntungan itu misalnya 50:50, 70:30, 60:40,
atau 99:1. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan,
bukan berdasarkan porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak
boleh dinyatakan dalam bentuk nominal rupiah tertentu, misalnya
shahibul maal mendapat Rp 50.000,00 dan mudharib mendapat Rp
50.000,00.
b. Bagi Untung dan Bagi Rugi42
Ketentuan di atas itu merupakan konsekuensi logis dari
karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam
kontrak investasi (naturaluncertainty contracts). Dalam kontrak ini,
return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor
riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian
yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian
yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba

41Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusihasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta, PT. Grasindo,
2005), 118
42 Adiwarman Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004). 32-34.
30

ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal


rupiah tertentu.
Bila dalam akad mudharabah ini mendapatkan kerugian,
pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi
berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alasan mengapa
nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja,
karena nisbah 50:50, atau 99:1 itu hanya diterapkan bila bisnisnya
untung. Bila bisnisnya rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan
porsi masing masing pihak, bukan berdasarkan nisbah. Hal ini karena
ada perbedaan kemampuan untuk mengabsorpsi/menanggung kerugian
di antara kedua belah pihak. Bila untung, tidak ada masalah untuk
menikmati untung. Karena sebesarapa pun keuntungan yang terjadi,
kedua belah pihak akan selalu dapat menikmati keuntungan itu. Lain
halnya kalau bisnisnya merugi. Kemampuan shahibul maal untuk
menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan
mudharib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan
proporsi modal (finansial) shahibul maal dalam kontrak ini adalah
100%, maka kerugian (finansial) ditanggung 100% pula oleh shahibul
maal. Di lain pihak, karena proporsi modal (finansial) mudharib dalam
kontrak ini adalah 0%, andai kata terjadi kerugian, mudharib akan
menanggung kerugian (finansial) sebesar 0% pula.
Apabila bisnis rugi, sesungguhnya mudharib akan menanggung
kerugian hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan
untuk menjalankan bisnis itu. Kedua belah pihak sama-sama
menanggung kerugian, tetapi bentuk kerugian yang ditanggung oleh
keduanya berbeda, sesuai dengan objek mudharabah yang
dikonstribusikannya. Bila yang dikontribusikan adalah uang, risikonya
adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan yang dikontribusikan
adalah kerja, risikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya,
31

sehingga tidak mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya selama


berbisnis.

c. Jaminan43
Ketentuan pembagian kerugian bila kerugian yang terjadi hanya
murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena
risiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian terjadi
karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau
melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka
shahibul maal tidak perlu menanggung kerugian seperti ini."Para
fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh
mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad
syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business risk.
Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya
menjadi wakil dari shahibul maal dalam mengelola dana dengan seizin
shahibul maal, sehingga wajib baginya berlaku amanah. Jika
mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam
merawat dan menjaga dana, yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan,
dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk dalam bisnis
mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang
disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian
mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan
tanggungjawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian
dan perilaku zalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain
yang dipercayakan kepadanya di luar ketentuan yang disepakati.
Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil
bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahibul
maal sehingga shahibul maal dirugikan.

43 Adiwarman Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004). 32-34
32

Pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka


shahibul maal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib.
Jaminan ini akan disita oleh shahibul maal jika ternyata timbul
kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yakni lalai dan
ingkar janji. Kerugian yang timbul disebabkan karena faktor resiko
bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahibul maal. Cara
penyelesaiannya adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
d. Menentukan Besarnya Nisbah44
Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-
masing pihakyang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul
sebagai hasil tawar-menawar antara shahibul maal dengan mudharib.
Dengan demikian, angka nisbah inibervariasi, bisa 50:50, 60:40,
70:30,80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa nisbah
100:0 tidak diperbolehkan.
D. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keuntungan Bagi Hasil
Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil terdiri dari:
a. Faktor langsung
1) Investment rate merupakan presentase aktual dana yang
diinvestasikan dari total dana yang diperoleh LKS. Jika LKS
menentukan investment rate 85%, hal ini berarti 15% dari total dana
adalah sisa dana yang tidak diinvestasikan merupakan dana yang
dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.
2) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah
dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan.
Dana tersebut dapat dihitung menggunakan salah satu metode ini:

44Adiwarman Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004). 32-34
33

a) Rata – rata saldo minimum bulanan


b) Rata – rata saldo harian
Investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk
diinvestasikan, akan menghasilkan jumlah dana aktual yang
digunakan.
3) Nisbah (profit sharing ratio) merupakan rasio yang harus disetujui
dan ditentukan pada awal perjanjian antara pihak nasabah dengan
pihak LKS.
b. Faktor tidak langsung45
1) Penentuan butir – butir pendapatan
a) LKS dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya.
Pendapatan yang “dibagihasilkan” merupakan pendapatan yang
diterima dikurangi dengan biaya-biaya,
b) Jika semua biaya ditanggung LKS, maka hal ini disebut revenue
sharing.
2) Kebijakan akunting (prinsip dan metode).
Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya
aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan kebijakan
akuntansi mengenai pengakuan pendapatan dan biaya46

45 Muhammad Antonio Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (Jakarta:Gema Insani Press
dan Tazkia Cendikia. 2001). 139
46Muhammad Antonio Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (Jakarta:Gema Insani Press
dan Tazkia Cendikia. 2001). 139
34

Anda mungkin juga menyukai