TINGKAT PERGURUAN
TINGGI
Sazili,S.Ag.,M.Si
azzamedia
ISLAMOLOGI TINGKAT PERGURUAN TINGGI
Copyright @sazili_universitas nasional Jakarta
Bismilahirrohmanirrohim
Bismilahirrohmanirrohim
Dengan mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT
penulis dapat menyelesaikan buku ajar Pendidikan Agama Islam dengan judul
Islamologi di Perguruan Tinggi.
Pemilihan judul Islamologi dilatarbelakangi oleh kekuatan cahaya ilmu dalam
agama Islam yang dapat dipelajari oleh seluruh lapisan masyarakat, baik
kalangan muslim maupun non muslim. Hanya saja Islam memberikan tuntunan
kepada mereka yang akan memperlajari ilmu Islam sebaiknya dinaungi oleh
seorang pembimbing (guru).
Buku ini utamanya merupakan buku teks pegangan bagi para mahasiswa
yang mengikuti kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Nasional, yang
ditulis berdasar rencana pembelajaran dikelas dengan dukungan referensi yang
shahih. Namun tidak menutup kemungkinan karya ini akan dikonsumsi oleh para
insan yang “sedang mencari” agama Islam di era globalisasi sekarang.
Penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
mensukseskan terbitnya buku ini. Awalnya kepada Pimpinan Penerbit Kreasi
Permaisindo dan Rektor Universitas Nasional. Kepada para dosen Agama Islam
Hj. Nina Khairina, Lc., Hj. Drs. Wirdawati, M.Si., Ummu Salamah, M.Ag., H.
Qosim Arsyadani, M.Ag., Husna., M.Ag., dan spesialnya tentunya kepada
keluarga, wa bilkhusus kepada orang tua tercinta semoga Allah selalu merahmati
kehidupan mereka di alam barzakh. amien
Penulis berharap buku ini dapat diminati oleh para mahasiswa sesuai
dengan fungsinya buku teks mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Akhirnya penulis mengajak kepada semua pihak para pembaca untuk
memperbaiki dan menyempurnakan buku ini sekiranya terdapat kekurangan dan
kekhilafan di dalamnya. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya
kepada kita semua. Amien ya Mujibassailin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
Bab I
KETUHANAN DALAM ISLAM, 1
Pengertian Tuhan, 1
Tuhan Dalam Pandangan Islam, 8
Pembuktian Wujud Tuhan 12
Keimanan Sebagai Pengakuan kehadiran Tuhan, 18
Proses Terbentuknya Iman, 29
Tanda-Tanda Orang Beriman, 33
Implementasi Iman Dalam Menjawab Problematika Kehidupan Modern, 35
Studi kasus, 42
Bab II
Keberadaan Manusia, 45
Penyebutan Manusia, 48
Potensi Manusia: Fitrah, Potensi Akal, Qalbu dan Nafs, 54
Karakter manusia, 66
Misi dan Fungsi Manusia, 69
Tanggung Jawab Sebagai Khalifah Allah, 70
Studi Kasus, 75
Bab III
HUKUM ISLAM DANSUMBER HUKUM ISLAM, 77
Pengertian hukum Islam, 77
Sumber Hukum Islam, 80
Al Qur’an , 81
Mukjizat Al Qur’an, 86
Sunnah, 93
Otoritas Sunnah Sebagai Sumber Hukum, 98
Ijtihad, 100
Studi Kasus, 106
Bab IV
BAB VI
Bab VII
Pengertian Tuhan
Manusia senantiasa mencari siapa penguasa tertingi (ultimate reality) di
alam ini. Penguasa tertinggi itu kemudian disebutlah Tuhan. Dalam bahasa lain
istilah tuhan disebut ilah, god, hyang, ely, dan sebagainya. Orang komunis,
dengan menggunakan pendekatan dialektika material sampai kepada
kesimpulan bahwa tuhan itu tidak ada. Bukan hanya komunis,banyak lagi orang
di luar itu yang tidak bertuhan (atheis). Akan tetapi Al-Qur’an menegaskan
bahwa semua manusia pasti bertuhan mustahil tidak, paling tidak, ia bertuhan
kepada hawa nafsunya.
Secara bahasa, Ilah (bahasa Arab), Tuhan (Bahasa Indonesia) sinonim
dengan kata God, The Lord God, Almighty God, Deity (bahasa Inggris), Got
(Belanda), Golt (Jerman), Gudd (Swedia, Norwegia), Allon (Phoenicians), Ado
(Canaanites), Adonai, Yahuwa, Elohim, Ekah, Eli (Yahudi)
Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat
berdasarkan penjelasan Al Qur’an adalah sebagai berikut: ”Tuhan(Ilah) ialah
sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya di kuasai olehNya”. Perkataan dipentingkan
hendaknya diartikan secara luas, tercakup didalamnya yang dipuja, dicintai,
diagungkan, diharapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan,
dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.
Di dalam Al-Qur’an tuhan itu adalah Allah SWT, Dia hanya satu, satu
dalam segala hal. Itulah sikap Tauhid (mengesakan tuhan). Selanjutnya Tauhid
dibagi dua, yakni Tauhid Rubbubiyah, dan Uluhiyah. Sikap Tauhid ini merupakan
fondasi beragama dan menjadi dasar nilai dalam semua aktivitas manusia, baik
ibadah (hubungan vertical) maupun mu’amalah (hubungan horizontal). Apabila
tauhid kokoh maka syirik (umumnya dimaknai sikap menduakan tuhan dengan
ciptaaNya) akan lenyap, sebaliknya kemunculan syirik mengindikasikan
lemahnya Tauhid.
“Ketika (Tatkala malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang, ia pun berkata:
”Inilah Tuhanku. [Namun] ”Aku tidak suka kepada segala yang terbenam
[lenyap]”. Kemudian, takkala ia melihat bulan timbul, ia pun berkata: ”Inilah
Tuhanku. [Namun], setelah bulan itu terbenam, ia berkata: ”Sesungguhnya jika
Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-oang
yang sesat”.
Kemudian, takkala ia melihat matahari terbit, ia pun berkata: ”Inilah Tuhanku, ini
lebih besar”. Maka, takkala matahari terbenam, ia pun berkata:”Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian persekutukan.
Sesungguhnya, aku [hanya] menghadapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi yang cenderung kepada agama yang benar,
sedangkan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan)
(QS Al-An’âm [6]:74-79).
Tuhan yang haq dalam konsep Al Quran adalah Allah SWT. Allah adalah
nama yang begitu agung untuk dibaca, indah dan sejuk untuk direnungkan.
Seluruh nabi membawa risalah ketauhidan Allah SWT hingga periode akhir
kenabian Muhammad SAW. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surah 3 (Al
Imron) ayat 64, surah 112 (Al Ikhlas) ayat 1-4, surah 47 (Muhammad) : 16.
Dalam Al Qur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan
kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw adalah Allah SWT. Perhatikan
antara lain surah 11 (Hud) : 84 dan surah 5 (Al Maidah) : 72.
Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat atau panjang-
dimana manusia mengalami keraguan tentang wujudNya, bahkan boleh jadi
keraguan itu mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan
kepercayaannya, tetapi ketika keraguannya akan beralih menjadi kegelisahan,
khususnya pada saat-saat manusia merenung.
Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud Tuhan dengan
pembuktian material. Mereka ingin segera melihatNya di dunia ini. Nabi Musa as
misalkan, suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diriNYa
kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya.
❑ ◆ ☺⬧◆
◆ ☺◆ ◆⬧☺
⬧ → ◆ ⧫⬧
⬧◆ ⧫⬧ ⬧ ⧫⬧
⬧ ⧫ ◼ →
⧫❑⬧ ⧫⧫ ▪⬧⧫
◆ ☺◼⬧ ⧫⬧
▪◆ ⬧➔ ⧫
⬧⬧ ☺◼⬧ ➔ ❑
⬧ →➔ ⬧ ⧫⬧
⧫✓⬧☺ ⧫◆
”Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihatKu, Tetapi lihatlahke bukit itu, jika ia
tetap di tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat
melihatKu”, takkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut
menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata, ”Maha suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu,
dan aku orang yang pertama (dari kelompok) orang beriman (Q.S Al A’raf,.
7:143)
Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah
kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang
nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu
bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang
tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
Peristiwa ini membuktikan bahwa secara lahir (empirik) manusia tidak
mampu memandang zat Allah, termasuk manusia agung pun (Musa as) tidak
berkemampuan untuk melihatNya - paling tidak, dalam kehidupan dunia ini.
Agaknya kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa kita mengakui adanya angin
hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya?
Dalam kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika, kita dapat
menyatakan bahwa tidak ada satu argumen yang dikemukakan oleh para filosof
tentang wujud Tuhan yang tidak dikemukakan Al Qur’an. Hanya bedanya bahwa
kalimat-kalimat yang digunakan Al Qur’an sedemikian sederhana dan mudah
ditangkap, berbeda dengan para filosof yang seringkali berbelit-belit.
Dahulu dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi dan teleologi.
Bukti ontologi menggambarkan bahwa kita mempunyai ide tentang Tuhan, dan
tidak dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dari-Nya. Bukti
kosmologi berdasar pada ide”sebab dan akibat” yakni, tidak mungkin terjadi
sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir pastilah Tuhan. Bukti
teleologi, berdasar pada keseragaman dan keserasian alam, yang tidak dapat
terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu.
Bukti-bukti lain sebagai argumen logika yang dapat membuktikan adanya
Allah dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, diantaranya adalah
pendekatan logika akal sehubungan keberaan alam semesta.
Adanya alam beserta tatanannya yang menakjubkan dan rahasia yang
begitu kompleks, memberikan penjelasan bahwa adanya sesuatu kekuatan yang
telah menciptakannya. Setiap manusia yang normal akan percaya bahwa dirinya
ada, dan percaya pula bahwa alam semesta ini ada. Dengan dasar kepercayaan
tersebut dijalanilah setiap kegiatan ilmiah dan kehidupan ini, yang merupakan
bagian dari sunatullah. Jika percaya tentang keberaan alam, maka secara logika
pula harus percaya tentang adanya sang pencipta alam. Suatu yang ada (materi)
berasal dari yang tiada, pasti ada yang mengadakan, yang menciptakan.
Keteraturan tatanan alam merupakan suatu fakta rasional akan keberadaan sang
pengelola yang begitu sempurna. Bagaimana mungkin mempercayai bahwa
alam yang begitu jelas ada, tanpa pencipta yang mengadakannya?. Alam adalah
tanda atau ayat yang memberitahu identitas Tuhan. Melalui alam, manusia dapat
mengetahui Tuhan. ”Miliknya-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan
mematikan, dan Dia MahaKuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Al Hadid, 57:2)
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan yang jaraknya
dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi, dan
menyelesaikan setiap edar-nya selama 29 hari. Demikian pula bumi yang
terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan
kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang
190.000.000 mil setiap setahun sekali. Disamping bumi terdapat gugus sembilan
planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan
luar biasa.
Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi
yang sempurna, akan berkesimpulan bahwa mustahil semua itu terjadi dengan
sendirinya. Bahkan akan berkesimpulan bahwa di balik itu semua ada kekuatan
yang Maha Besar, yang membuat dan mengendalikan tatanan atau sistem alam
semesta yang luar biasa itu.
⚫◆ ☺ ⧫ ❑⬧
⬧⬧ ⬧⬧
⧫❑→⧫ ☺⧫ ➔ ◆
”Seandainya pada kedua (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah
keduanya binasa.” (Q.S Al Anbiya, 21:22)
Sayidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib
Al Yamani, ”Apakah anda pernah melihat Tuhan?”Beliau menjawab, ”Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
”Bagaimana anda melihatNya?” tanyanya kembali. Syaidina Ali menjawab, ”Dia
(Allah) tidak bisa dilhat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tetapi
dijangkau oleh akal dengan hakikat keimanan.
Yang beliau maksud dengan kata akal pada ungkapan beliau ,”dijangkau
oleh akal dengan hakekat keimanan”. Bukan sebagaimana pemahaman kita
dewasa ini tentang makna akal yang merupakan daya nalar- tetapi akal dalam
pengertian ”gabungan antara daya kalbu dan daya nalar yang menghasilkan
’ikatan’ yang menghalangi manusia melakukan hal-hal negatif”. Ungkapan beliau
itu menunjukan bahwa jangkauan itu bukan jangkuan nalar secara langsung,
tetapi jangkauan nalar dan kalbu berdasar keimanan tentang sesuatu yang tidak
dapat dijangkau.
Berbicara tentang Iman merupakan sebuah konsekuensi ”kehambaan”
seorang manusia atas kebesaran sang Pencipta. Terma ”Iman” berasal dari
bahasa Arab ”amana-yu minu-imanan”, berarti percaya, tunduk atatu taat. Dalam
terminologi Ilmu Ketuhahan (Tauhid), kata ”iman” memilki maknsa sebagai
keyakinan terhadap Tuhan (Yang Maha Ghaib) dengan segala konsekuensinya
(mengikuti perintahnya dan menjahui laranganNya. Iman berarti percaya
menunjuk ”sikap bathin” yang terletak dalam hati. Memang agak sulit mengukur
barometer keimanan jika hanya mengacu pada standar empirik, perilaku sehari-
hari. Karena keimanan adalah bagian rahasia hati setiap yang meyakininya.
Namun pandangan umum dalam masyarakat bersandar pada pengakuan lisan
seseorang dalam mengikrarkan kalimat syahadat, ”aku bersaksi tiada Tuhan
selain Allah, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Sesungguhnya keimanan menuntut adanya keterkaitan (interdependensi)
antara pembenaran (tashdiq) dalam hati, pengakuan (taqrir) dalam lisan, dan
diikuti pelaksanaan dalam bentuk tindakan nyata (af’al). Dengan kata lain, iman
itu merupakan:
1) amalan hati, seperti bertobat dan cinta kepada Allah SWT,
2) amalan lisan, seperti ikrar syahadatain dan zikir; dan,
3) amalan anggota tubuh, seperti sholat, puasa zakat, haji dan segala
perbuatan amal saleh sesama manusia dan lingkungan.
⧫ ☺ ❑⬧ ⧫◆
⬧ ☺⧫◆ ◼
⧫⬧◆
⧫✓☺☺
”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?" (Q.S Al Fushilat, 41:33)
Keimanan yang diakui hati tentu terjadi setelah adanya penerimaan akal
tentang kebenaran-kebenaran ilahiyah, baik melalui dalil naqli (nash Al-Qur’an
dan sunnah) maupun dalil aqli (akal, rasio), hingga benar-benar mencapai
keyakinan yang teguh, tidak luntur oleh perasaan bimbang dan ragu. Suatu
keimanan yang benar adalah keimanan yang bersandar pada pengetahuan yang
benar (ilmu yaqin), yang mendorong pada adanya kepatuhan hati (ainul yaqin),
untuk menuju fase-fase kecintaaan sejati atas perintah Ilahi.
➔◆
⧫ ⬧
❑➔☺⧫◆ ❑⧫◆
❑◆❑⬧◆ ⬧
❑◆❑⬧◆ ⬧
Di dalam bahasa Al-Qur’an, terma ”iman” selalu mengambil bentuk
sebagai prilaku terpuji dan amal yang bermanfaat, ”amanu wa amilus sholehat”,
bahkan interdepedensi keduanya dapat ditemukan berulang-ulang kali di dalam
firman Allah, diantaranya pada surah Al ’Asr ” kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan (amal sholeh) serta saling menasihati untuk
kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Hal ini mempertegas bahwa
keimanan seseorang harus berproduktif secara lahiriah. Dalam pada itu Rasul
Allah SAW menyatakan bahwa iman punya lebih dari 70 tingkat. Tingkatan iman
tertinggi adalah zikr: ”La ilaha illa Allah” (Tiada Tuhan selain Allah), sedangkan
tingkatan terrendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang dapat
mencelakakan) di jalan.
Keberlangsungan iman di dalam hati perlu dipelihara sebaik-baiknya,
dengan pembinaan yang teratur dan terus-menerus (riyadloh). Iman mudah
terjangkit virus bahkan lebih parah jika tanpa diperbaharui dengan kebaikan-
kebaikan (alhasanat). Sejalan dengan pernyataan Nabi SAW:
Perkara apa yang lebih tersembunyi dari rahasia? Para mufassir merasa
perlu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ibnu Abbas (sahabat Rasul SAW)
mengatakan ”perkara yang lebih tersembunyi dari rahasia adalah sesuatu yang
disembunyikan dalam hati dan tidak dibicarakan kepada siapapun, karena
rahasia itu adakalanya hanya rahasia di antara dua manusia”. Adapun perkara
yang disembunyikan seseorang dalam hatinya pasti lebih tersembunyi daripada
rahasia. Qotadah (seorang mufassir) berpendapat ” Yang Allah maksudkan
dengan firmanNya ’Dia (Allah) mengetahui rahasia dan lebih tersembunyi’ adalah
rasa was-was, yang bersumber dari syaitan.
Secara psikologis, iman memiliki peran utama dalam perkembangan
positif kejiwaan seseorang. Mereka yang beriman memiliki kekuatan dan mental
(prepare to struggle) melawan hantaman gelombang hidup dan kehidupan.
Adanya asupan semangat bertahan hidup sehingga tidak mudah putus asa dan
rendah diri. Faktor utama kesiapan dan semangat hidup ini terjalin karena
adanya hubungan bathin secara vertikal dengan Allah. Keimanan memposisikan
jiwa ”berhusno zhon” (positif thinking) dengan segala realitas penciptaan, lebih
dikarenakan ”robbana ma kholakta haza baathila” (Maha suci Allah, tiada kesiaa-
siaan dalam realitas penciptaanNya). Allah selalu merencanakan segala
kebaikan dibalik setiap perintah dan larangan Agama. Hal ini dapat kita teladani
dari pola hidup para sahabat Rasulullah. Para sahabat Rasullulah begitu rindu
untuk selalu berdialog dengan Allah di setiap hembusan nafas mereka,
mengutarakan segala keluh-kesah serta kenikmatan hidup yang
dimanifestasikan dalam bentuk ibadah (zikir). Dalam konteks ini, Abu Hurairoh
meriwayatkan sebuah Hadits Qudsi dari Rasulullah saw yang berbunyi:
”Allah berfirman, ”Aku bersama persangkaan hamba Ku tentang Ku. Aku
bersamanya ketika ia mengingatKu. Jika ia mengingatKu dalam dirinya
sendiri, maka Aku mengingatnya dalam diri Ku sendiri (Aku mengingatnya
dengan pahala dan rahmat secara rahasia). Jika ia mengingatKu dalam
sebuah kelompok, maka Aku mengingatnya dalam sebuah kelompok yang
lebih baik darinya. Jika ia mendekatiKu sejengkal, maka Aku mendekatnya
sedepa. Jika ia mendatangi Ku berjalan, maka Aku mendatanginya
bergegas”. (HR Bukhori Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad bin
Hambal)
Uraian di bawah ini adalah menyangkut Tauhid Rububiyyah ”Segala puji bagi
Allah Tuhan sekalian Alam” (Q.S. Al Fatiah,1 :2)
◆ ☺⬧
✓☺◼➔
Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang memiliki, mendidik dan
memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali
kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin
(semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai
jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-
tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-
alam itu. Uraian Tauhid lebih mendalam berikutnya dapat kita simak di
bawah ini:
Allah adalah Maha Esa hidup (hayah)-Nya. Allah itu Tuhan yang hidup,
Bukan Tuhan jika Tuhan itu mati. Hidupnya Tuhan menunjukkan
kemahaesaan-Nya. Artinya, hidup Tuhan itu tidak seperti makhluk-Nya
yang menunjukkan ketergantungannya kepada makan, minum, tidur dan
istirahat. Hidup Tuhan juga tidak melalui proses kelahiran. Sebab setiap
yang lahir pasti mati. Padahal Tuhan tidak mengenal mati. Firman Allah:
▪☺◆
⬧ ⬧⧫☺
➔ ⬧
➔
“dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan
yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui”. (Q.S Yasin, 36:38)
Kekuasaan atau ketentuan Tuhan itu lazim disebut takdir (Ar. taqdir), atau
qadla (ketetapan) dan qadar (kekuasaan)-Nya, sebagai sesuatu yang
tidak dapat dielakkan. Firman Allah: ”Inna Allâh ’alâ kulli syai’in qadîr”
(Tuhan itu berkuasa atas segala sesuatu). Namun, kekuasaan Tuhan itu
tidaklah sewenang-wenang, melainkan selalu diselaraskan dengan
keadilan dan kasih-sayangnya, sehingga oleh yang mengalaminya
dirasakan sebagai himah.
Allah adalah Maha Esa dalam kehendak (iradah)-Nya. Allah itu Tuhan
yang berkehendak. Bukan Tuhan jika Tuhan itu tidak berkehendak, dan
kehendak Tuhan itu meliputi segenap alam semesta.
”Tiada Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku”. (QS Al-Dzariyât 51:56).
d. Kemahaesaan Allah dalam af’al-Nya, disebut tauhid al-af’al, artinya: Allah itu
adalah satu-satunya yang ciptaan-Nya begitu sempurna, penuh ketelitian,
keteraturan, dan serba pantas, sehingga menunjukkan suatu karya agung,
tiada tara bandingannya, karena diciptakan tidak secara main-main, sehingga
menimbulkan kekaguman para pengamatnya. Dalam beberapa ayat Al-
Qur’an, dijumpai ungkapan: ”Afahasibtum annama khalaqnakum ‘abatsan” (Apa
kalian mengira bahwa Kami mencipta kalian itu main-main?) (QS Al-
Mu’minun 23:115). ”Rabbanâ ma khalaqta hadza bathila” (Tuhan, sungguh apa
yang telah Kauciptakan ini tidaklah sia-sia) (QS Ali ‘Imran [3]:191).
⧫⧫ ⧫
◼⧫◆ ❑➔➔◆ ☺◆
⧫⧫⧫◆ ❑
◆ ◆❑◆
◼ ⧫ ◆◆
⧫ ⬧ ⬧ ⧫
Selanjutnya petikan ayat di bawah ini ”Hanya kepada Engkau kami menyembah dan
hanya kepada Engkau kami memohon”(Q.S Al Fatiah, 1:5)
”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak
cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh
mereka (seraya berfirman),”Bukankah Aku ini Tuahnmu?” Mereka menjawab,
”Betul (Engkau Tuhankami), kami bersaksi,”(Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan”Sesungguhnya ketika itu kami
lengah terhadap ini,” (Q.S Al A’raf,7:172)
”Berbuat baik, berarti engkau patuh kepada Allah, seakan-akan engkau melihatnya. Dan
sekalipun engkau tidak merasa melihatnya, namun Allah senantiasa melihat kepada
Engkau”. (H.R Jamaah)
”Orang-orang beriman yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah (zikir). Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram. (Q.S. Ar Ra’du 13:28)
1. Apakah anda sepakat dengan sikap penolakan diatas dan, bahwa agama
hanya pantas di usia senja?
2. Diskusikan kasus di atas dengan teman anda terkait firman Allah pada surah
Al A’raf ayat 172 yang berintikan bahwa seluruh roh manusia telah meyakini
nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT, kontras dengan
kenyataan ini bahwa diantara manusia ada yang suka berdusta, benci
dengan kebenaran agama, senang dengan perbuatan yang keji. Mengapa hal
itu bisa terjadi?
Kasus II
Astronot Rusia, Titov, pernah menceritakan pengalamanya ketika berada
di luar angkasa mengitari bumi dengan pesawat. Ia melihat fenomena alam
semesta yang mempesona dan menakjubkan, ia berberkata:
”...Tapi yang lebih menarik dari semua itu adalah pemandangan bumi
yang melayang di ruang angkasa dengan pesawat . sebuah pemandangan yang
tidak akan terlupakan dan tidak mungkin hilang dari bayangan orang yang
melihatnya. Ia bagaikan bola yang melayang di ruang angkasa dan tidak ada
yang memikulnya. Semua yang disekitarnya hanyalah ruang kosong”.
”Aku benar-benar terpaku untuk beberapa saat, lalu seketika muncul
pertanyaan pada diri sendiri. Apa gerangan yang membuatnya bertahan
melayang di sana...?
Demikian halnya dengan pesawat yang dikemudikan oleh Titov, juga tidak
ada dengan sendirinya atau ”bim salabim” langsung mengadakan perjalanan
keruang angkasa tanpa rancangan dan pengendalian para ilmuwan terbaik di
bidangnya.
MANUSIA DALAM
PANDANGAN AL QUR’AN
Keberadaan manusia
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang bisa menjadi subyek dan objek
sekaligus. Diantara hal yang menarik minat manusia adalah manusia itu sendiri.
Ada tiga pertanyaan abadi tentang manusia yang selalu tak terjawab tuntas
sepanjang sejarah manusia, yaitu:
➢ Dari mana
➢ Mau kemana; dan
➢ Untuk apa manusia hidup di muka bumi
Pertanyaan pertama dan kedua relatif telah ada jawabannya. Kelompok
agamawan meyakini bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dan akan kembali
kepada Tuhan, sementara kelompok Atheis (anti Tuhan) memandang manusia
sebagai sesuatu yang datang secara alamiah dan akan hilang secara alamiah
pula. Pertanyaan ketiga-lah yang jawabannya mengandung implikasi luas dalam
kehidupan. Oleh karena itu, jawabannya tidak sederhana. Lahirnya filsafat,
psikologi, etika, ekonomi dan politik secara langsung dan tidak langsung
sebenarnya merupakan respon atas pertanyaan ketiga hal tersebut.
Uniknya pertanyaan itu tidak pernah terjawab tuntas, bahkan tidak jarang
kualitas jawabannya mengalami penurunan dibanding jawaban yang telah
diberikan oleh generasi sebelumnya. Rekaman perenungan
tentang manusia misalnya, dapat disimak pada pendapat para ahli filsafat
maupun psikologi. Perdebatan para ahli dapat dirumuskan dalam tiga
pertanyaan sebagai berikut:
1. Karakteristik apa yang membedakan manusia dari binatang?
2. Apakah tabiat manusia pada dasarnya baik atau buruk?
3. Apakah manusia memiliki kebebasan berkehendak atau kehendaknya
ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya?
Pertanyaan pertama dijawab oleh teori psikoanalisis (Freud),
Behaviourisme (Watson Skiner), assosianis (Hume), empirisme (Hobes),
dikatakan manusia itu sama saja dengan binatang, yakni mahluk yang
digerakkan oleh mekanisme asosiasi diantara sensasi-sensasi; yang tunduk
kepada naluri biologis, lingkungan, atau hukum gerak, sehingga manusia
dipandang mesin tanpa jiwa. Teori ini dikritik oleh teori eksistensialis dan
Humanis dan juga New Freudian, dengan mengembalikan jiwa ke dalam
psikologi, yakni bahwa manusia berbeda dengan binatang, karena manusia
memiliki kesadaran dan tanggung jawab serta unik. Manusia bukan hanya
digerakan oleh kekuatan di luarnya, melainkan di dalam dirinya juga ada
kebutuhan untuk aktualisasi diri sampai menjadi mahluk yang ideal.
Jawaban atas pertanyaan kedua juga berpola seperti jawaban pertanyaan
pertama. Kelompok pertama menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu
jahat, sedang yang kedua menyatakan sebaliknya.
Jawaban dari pertanyaan ketiga dapat dipahami dari paham determinisme
(pembatasan kehendak manusia) dan kehendak bebas (free will) atau yang
dalam Ilmu Kalam muncul istilah aliran Jabariah atau aliran Qodariah. Yang
pertama menekankan kekuasaan mutlak Tuhan; manusia tunduk tanpa daya
upaya. Sebaliknya, yang kedua menekankan keadilan Tuhan. Manusia memiliki
ruang untuk menentukan apa yang diinginkan.
Berikutnya adalah persoalan menarik yang masih dibicarakan para
ilmuwan adalah diseputar awal penciptaan manusia, karena ditemukannya
mahluk-mahluk berbentuk mirip manusia sebelum kita yang mereka namai Homo
Sapien. Namun, pandangan Islam adalah bahwa asal-usul materi manusia
adalah tanah. Berapa lama proses penciptaan manusia, bagaimana itu
dilalauinya dan apa saja prose situ hingga akhirnya ia menjadi manusia yang
kemudian ditiupkan Ruh Ilahi, tidak dijelaskan oleh Al Qur’an.kitab suci Al Qur’an
itu hanya menyebut proses pertama yakni tanah dan proses akhir yakni
penghembusan Ruh Ilahi setelah sempurna kejadian fisiknya. Adakah proses
lain dan berapa lama proses penciptaan itu, tidak dijelaskan Al Qur’an. Ini adalah
bidangnya ilmu pengetahuan.
Mahluk yang bernama manusia itu tercipta dari tanah dan Ruh Ilahi.
Karena adanya unsure tanah, maka ia dipengaruhi oleh kekuatan alam, sma
halnya dengan mahluk-mahluk hidup di bumi lainnya. Ia butuh makan, hubungan
seks dan sebagainya. Dengan akal dan ruhnya ia meningkat dari dimensi
kebutuhan tanah itu, meskipun ia tidak dapat dan tidak boleh melepaskannya
karena tanah adalah bagian dari substansi kejadiannya. Ruh pun memiliki
kebutuhan-kebutuhan, agar terus menghiasi manasia. Dengan ruh, manusia
diantar menuju tujuan non materi yang tidak dapat diukur dilaboratorium, tidak
juga dikenal oleh alam materi. Proses peningkatan manusia dari alam materi ke
alam pikir dan jiwa merupakan langkah yang tidak mungkin terlaksana melalui
proses evolusi material. Hal demikian terjadi merupakan kekuatan Sang
Pencipta, Allah SWT, dan itulah yang dirasakan manusia melalui kegiatan
spiritual. Dimensi spiritual inilah yang mengantar manusia cenderung kepada
keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian dan lain-lain.
⧫
◼ ◼◆ ◼
◼☺⬧
“Hai manusia, sesungguhnya engkau bekerja dengan sungguh-sungguh menuju
Tuhanmu, maka pasti engkau akan menemuiNya (Q.S Al Insyqoq, 84:6)
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik dan paling
sempurna di muka bumi ini. Karena manusia oleh Allah telah di bekali dengan
akal yang membedakannya dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lainnya,
dengan akalnya manusia bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil,
antara yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Sebagai mahluk Tuhan, manusia
mempunyai keunikan tersendiri sehingga antara manusia yang satu dengan
yang lainnya tidak pernah ada yang sama ,baik dalam segi fisik ataupun
kejiwaannya. Setiap manusia unik secara fisik sehingga setiap manusia
mempunyai sidik jari yang berbeda dengan yang lainnya. Unik secara mental
dan kejiwaannya, sehingga setiap manusia mempunyai karakter berbeda antara
satu dengan lainnya.
Manusia diciptakan sebagai makhluk berpribadi yang memiliki tiga unsur
padanya, yaitu unsur perasaan, unsur akal (intelektual), dan unsur jasmani.
Ketiga unsur ini berjalan secara seimbang dan saling terkait antara satu unsur
dengan unsur yang lain.
Unsur yang terdapat dalam diri pribadi manusia yaitu rasa, akal, dan
badan harus berjalan seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan
pincang. Sebagai contoh: apabila manusia yang hanya menitik-beratkan pada
memenuhi fungsi perasaannya saja, maka ia akan terjerumus dan tenggelam
dalam kehidupan spritualistis saja, fungsi akal dan kepentingan jasmani menjadi
tidak penting. Apabila manusia hanya menitik-beratkan pada fungsi akal
[intelektual] saja, akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang
rasionalistis, yaitu hanya hal-hal yang dapat diterima oleh akal itulah yang dapat
diterima kebenarannya. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal, merupakan
hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang
irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan [ilusi] semata-mata. Selain
perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani
atau badaniah, cenderung kearah kehidupan yang meterialistis dan positivistis.
Maka keseimbangan semua unsur menjadi penting bagi manusia dalam rangka
menjalani hidup dan kehidupannya.
Penyebutan Manusia
Penyebutan atau istilah manusia merupakan salah satu ciri karakteristik
manusia sebagai mahluk multidimensional. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Murtadho Muttahari yang mengemukakan bahwa manusia adalah mahluk serba
dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hamper sama dengan hewan,
membutuhkan makan dan minum, istirahat, berkembang biak, supaya dapat
tumbuh dan berkembang.dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang
bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian.
Dimensi kedua, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi
ketiga, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi keempat,
manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena ia
dikaruniai akal pikiran dan kehendak bebas, sehingga ia mampu menahan hawa
nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidup. Dimensi kelima,
manusia mampu mengenali dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya,
maka ia akan mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia
diciptakan, dari apa ia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk
apa ia diciptakan. Sejalan dengan hadits Nabi Saw “siapa yang telah mengenal
dirinya maka ia akan mengenal TuhanNya”.
Konsep manusia di dalam Al-Qur’an dipahami dengan memperhatikan
kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia, seperti: (a) basyar, (b)
insan, dan (c) al-nas. Kata lain yang merujuk kepada pengertian manusia adalah
“Bani Adam“ dan “Dzurriyat Adam“. Hanya saja kedua istilah terakhir ini tidak
memiliki makna filosofis yang tinggi dibandingkan dengan ketiga istilah
sebelumnya. Oleh karena itu, penjelasan tentang eksistensi manusia dari segi
agama Islam lebih mengutamakan pemakaian kata “basyar”, ”insan“ dan ”al-
nas”.
1. Basyar
Basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan
manusia lain sebagai satu keseluruhan sehingga seorang Nabi juga disebut
sebagai basyar (Q/18:110) yang memiliki sifat basyariah seperti manusia lainnya.
Allah SWT memakai konsep basyar dalam Al Qur’an sebanyak 37 kali. yang
memberikan pemahaman manusia sebagai makhluk biologis, yaitu satu sosok
tubuh manusia dengan kelengkapan berbagai organnya. Basyar adalah mahluk
yang sekedar ada (being), yang statis seperti hewan. :
Redaksi ayat di atas diperkuat oleh hadis Rasul yang termaktub dalam Hadis
Arbain Imam Nawawi sebagai berikut:
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: ”Telah bersabda
kepada kami Rasulullah saw dan beliaulah yang selalu benar dan yang
dibenarkan: ”Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan di dalam
rahim ibunya dalam empat-puluh hari berupa nuthfah (air mani) kemudian
menjadi segumpal darah selama itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi
segumpal daging selama itu juga, kemudian di utus malaikat kepadanya, lalu
malaikat itu meniupkan roh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat:
Menetapkan rezekinya, ajalnya, celakanya dan keberuntungannya. Maka demi
Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya ada seseorang diantara kamu
melakukan amalan ahli surga dan amal itu mendekatkannya ke surga hingga
kurang satu hasta, karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya, lalu dia
melakukan amalan ahli neraka sehingga ia masuk kedalamnya. Dan
sesungguhnya ada seseorang diantara kamu melalukan amalan ahli neraka dan
amalan itu mendekatkannya ke neraka hingga kurang satu hasta, karena taqdir
yang ditetapkan bagi dirinya, lalu dia melakukan amalan ahli surga sehingga ia
masuk ke dalamnya”. (HR. Bukhori Muslim)
2.. Insan
Kata insan dikemukakan Al-Qur’an tidak kurang dari 65 kali. Kata Insan
terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat
ini , jika dtinjau dari sudut pandang Al Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat
bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang). Kitab
suci Al Qur’an-seperti tulis Bint Al Syathi dalam Al Qur’an wa qodhaya-seringkali
memperhadapkan insan dengan jin, contoh pada surah Az Zariayat ayat 56. Jin
adalah mahluk halus yang tidak nampak, sedang manusia adalah mahluk nyata
(nampak) lagi ramah.
Istilah insan lebih dilihat dari penampilan sempurna manusia sebagai
ciptaaan Allah. Istilah ini dihubungkan dengan sifat psikologi atau spiritual
manusia yang mampu melebihi kapasitas mahluk Allah lainnya. ”Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam penampilan yang sempurna” (Q.S At
Tien: 4). Dalam pengertian pertama ini manusia digambarkan sebagai sosok
makhluk istimewa yang berbeda dengan hewan pada umumnya. Keistimewaan
manusia adalah karena ia telah diberikan seperangkat shoftware berupa ilmu
pengetahuan dan daya nalar yang luar biasa termasuk kekuatan basyiroh (hati
nurani).
Sementara pengertian kedua bertolak belakang, bahwa kata insan biasa
dihubungkan dengan predisposisi negatif. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang menunjukkan sifat-sifat manusia yang cenderung negatif, seperti: zalim,
kufur, bakhil, tergesa-gesa, gelisah, banyak membantah dan mendebat, tidak
berterima kasih, dan meragukan akan adanya hari akhir.
❑➔ ⧫
“Sungguh manusia diciptakan bersifat suka mengeluh” (Q. S. Al Maarij, 70:19)
3. Al-Nash
Kata al-nas lebih mengacu kepada pemahaman bahwa manusia sebagai
makhluk sosial. Kata al-nas dalam Al-Qur’an diungkapkan tidak kurang dari 240
kali. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman manusia sebagai makhluk sosial
jauh lebih penting dan demikian kompleksnya. Namun, secara umum
karakteristik manusia sebagai makhluk sosial dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu:
Qalbu
⬧ ◆ ◆
”(lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci “(Q.S As
Shoffat, 37 :84)
Adapun Al qalbu (kalbu) berasal dari kata qalaba yang berarti berubah,
perpindah atau berbalik. Musa Asyari ra. menyebutkan arti al qalbu dengan dua
pengertian, yang pertama pengertian fisilk, yaitu segumpal daging yang
berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri, yang sering disebut
jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat
ketuhanan dan rohaniah yaitu hakikat manusia yang dapat menangkap segala
pengertian, berpengetahuan dan arif. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam sedangkan
untuk mengingat Tuhan adalah kegiatan yang berpusat pada qalbu. Keduanya
merupakan kesatuan daya rohani untuk dapat memahami kebenaran sehingga
manusia dapat memasuki suatu kesadaran tertinggi yang bersatu dengan
kebenaran ilahi.
Qalbu merupakan bagian dalam jiwa manusia yang bekerja memahami,
mengolah, menampung realitas sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai
dengan potensinya, qalbu merupakan kekuatan yang sangat dinamis, tetapi ia
sangat temperamental, fluktuatif dan pasang surut. Untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya, qalb bekerja dengan jaringan akal. Akal
memilki kapasitas untuk berpikir, memecahkan masalah, dan membedakan yang
baik dari yang buruk. Namun, kondisi qalbu dan akal terkadang tidak optimal
sehingga sangat dimungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh syahwat, atau oleh
motif atas hal-hal yang bersifat negatif. Motif kepada kejahatan (perbuatan
negative) bersumber dari hawa nafsu yang digelitik oleh was-was setan untuk
segera mencari pemuasaanya.
Adapun pembicaraan seputar penggerak kepada kebaikan sebenarnya
merupakan gabungan dari berbagai motif yang diorganisir oleh akal dan qalbu.
Penggerak kepada kebaikan ini kemudian dimaknai adanya kesiapan atau
memiliki dorongan untuk melaksanakan kebaikan sebagaimana yang diajarkan
oleh Al Qur’an.
Dalam beberapa ayat kata qolb(kalbu) yang merupakan wadah itu,
dipahami dalam arti “alat” seperti dalam firmannyaNya: “Mereka mempunyai kalbu,
tetapi tidak digunakan untuk memahami”(Q.S Al A’raf, 7:179). Kalbu dapat menjadi
wadah sekaligus alat untuk meraih ilmu pengetahuan. Dan orang yang kalbunya
hanya menjadi wadah lagi sempit akan cepat tersinggung juga tidak memiliki
pengetahuan kecuali sedikit, dan itupun diperolehnya dari luar. Tak ubahnya
seperti kolam yang harus diisi air dari luar. Ada juga yang kalbunya seperti
sumur. Ia menjadi wadah sekaligus alat meraih pengetahuan. Bukankah sumur
memiliki mata air sekaligus menampung air? Air yang bersumber dari mata air
jauh lebih jernih daripada yang bersumber dari luar. Karenanya untuk memiliki
kalbu yang identik dengan sumur, kalbu perlu dibersihkan dari sifat kedengkian,
keangkuhan dan aneka kedurhakaan, seperti hal penggali sumur mengeluarkan
tanah dan bebatuan sampai dia menemukan mata air yang jernih
Bahasa Arab juga menggunakan kata qalb (kalbu) untuk menunjuk organ
manusia yang menjadi pusat peredaran darah dan terletak di rongga dada
sebelah atas itu. Artinya jika anda memahami kata qolbu di sini dalam pengertian
organ tubuh manusia, maka itu pun tepat, karena memang, jantung mempunyai
peranan yang sangat besar dalam kesehatan manusia. Namun agaknya bukan
itu yang dimaksud Rasul SAW, bahwa beliau lebih memaknai kalbu sebagai
pusat rasa, yakni kepekaan. Seseorang yang hilang kepekaannya, maka dia
tidak segan melakukan segala macam keburukan.
“Rasul bersabda: Sesungguhnya sebagian dari apa yang masih terekam oleh
manusia dari ungkapan kenabian masa lalu adalah: “Bila anda tak malu, maka
lakukanlah apa yang Anda inginkan”. (H.R Bukhori, Abu Daud, melalui Ibn
Mas’ud)
Nafs
Dalam bahasa Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya
adalah jiwa. Oleh karena itu, ilmu jiwa dalam bahasa Arab disebut ilmu nafs.
Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan sejak kurun waktu yang sangat lama. Dan
persoalan nafs telah dibahas dalam kajian filsafat, psikologi dan juga ilmu tasauf.
Dalam fisafat pengertian nafs (jiwa) merupakan substansi yang berjenis
khusus, yang dilawankan dengan substansi materi, sehingga manusia dipandang
memiliki jiwa dan raga. Juga teori dalam filsafat yang menyamakan jiwa dengan
pengertian tingkah laku.
Sedangkan dikalangan ahli tasauf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan
sifat tercela. Imam Al Ghozali misalnya menyebut nafs sebagai pusat potensi
marah dan syahwat pada manusia dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela.
Pendapat ini megacu pada hadits Rasul saw“’A da’a a’duwwika nafsuka allaty baina
janbaika”, Artinya:Musuhmu yang paling berbahaya adalah hawa nafsumu, yang berada
di antara kedua lambungmu”, (H.R Baihaqi.
Nafs diterjemahkan sebagai kekuatan yang mendorong manusia untuk
memenuhi keinginannya. Dorongan-dorongan ini lebih kepada tindakan yang
bersifat bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Dengan nafsu manusia dapat
bergerak dinamis dari suatu keadaan keadaan yang lain. Kecenderungan nafsu
yang bebas tersebut jika tidak terkendali dapat menyebabkan manusia
memasuki kondisi yang membahayakan dirinya.
Al Qur’an mengisyaratkan bahwa nafs sebagai sisi dalam manusia
berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku, sikap dan dengan
tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang nafs dalam Al Qur’an
mencakup (1) makna yang dapat dipahami dari ungkapan nafs, (2) nafs sebagai
penggerak atau dorongan tingkah laku dan (3) hubungan nafs dengan tingkah
laku manusia.
Tulisan dan kajian tentang nafs dari para cendikiawan muslim lebih
banyak bersifat reaksi terhadap pemikiran psikologi Barat yang bertentangan
dengan Islam. Sedangkan pembicaraan nafs dalam literatur klasik Islam
kebanyakan bercorak sufistik. Kecenderungan semacam ini dapat dipahami
karena kaum muslimin pada zaman awal tidak mengalami problem psikologis
seperti yang dialami masyatakat Barat. Para ulama lebih tertarik membahas nafs
muthmainnah dan nafs lawwamah sebagai upaya mencari solusi problem
kejiwaan dibanding membahas nafs sebagai sesuatu yang menggerakan tingkah
laku seperti yang disebut dalam Al Qur’an surah Ar Ra’du ayat 11
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri
yang merubahnya”. Imam Al Ghozali misalnya membahas masalah nafs dalam
Ihya ‘Ulum al Din pada bab ‘Ajaib Al Qulub. Al Ghozali membedakan nafs
dengan al qalbu, aql, dan ruh yang fokus pembahasannya bersifat sufistik.
Secara umum pusat perhatian Psikologi Muslim masih pada upaya
membantah teori psikologi modern menyangkut harkat dan martabat manusia,
dan pada tingkat terapan lebih memfokuskan pada pembicaraan kesehatan
mental, sehingga masih banyak aspek nafs dalam Al Qur’an yang belum
tersentuh oleh kajian mendalam, misalnya tentang hubungan nafs dengan
tingkah laku manusia serta sikap dan motivasi.
Isyarat tentang adanya penggerak tingkah laku manusia dalam system
nafs (nafsu) disebutkan Al Quran dalam surah Yusuf, 12:53, surah Al Baqoroh,
2:30 dan surah An Nash, 114:4-5
⧫ ⧫ ⧫◆
❑ ◆ ▪
◼◆ ◼◆ ◆ ⧫
▪ ❑→
…dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, kerena sesungguhnya nafs itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs yang diberi rahmat oleh Tuhanku (Q.S.
Yusuf (12):53)
Karakter manusia
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan
Allah yang memiliki perbedaan-perbedaan substansial dengan mahluk Tuhan
lainnya. Manusia memiliki karakteristik yang khas. kekhasan inilah yang
menyebabkan manusia diposisikan sebagai mahluk dengan segala
tanggungjawabnya mengemban amanah mengelola alam semesta. Diantara
karakteristik manusia adalah sebagai berikut:
Aspek Kreasi
⧫◆ ⧫ ▪ ⬧⬧◆
◆❑◆
◆◆ ⬧⧫◆
◆⬧◆ ⧫
◼ ☺ ◼⧫
⬧
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan”.(Q.S Al Isro, 17:70)
Apapun yang ada pada tubuh manusia sudah dirakit dalam suatu tatanan
yang terbaik dan sempurna. Hal ini bisa dibandingkan dengan mahluk lain dalam
aspek penciptaannya. Mungkin banyak kesamaaan, tetapi tangan manusia lebih
fungsional dari tangan binatang simpanse, demikian pula organ-organ lainnya.
◆◼ ⬧⬧
❑⬧
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk”.
(Q.S At Tiin, 95:4)
Aspek ilmu
Manusia diberi anugerah ilmu pengetahuan berupa alat-alat kognitif yang
alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi,
eksperimentasi dan rasionalisasi. Dengan pengetahuan pula manusia
menciptakan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang.
◆ ⧫◆ ⧫◆
◼⧫ ⧫ ▪➔
⧫⬧⬧ ⬧◼☺
☺ ❑
⧫✓ →⬧
Aspek Kehendak
Manusia memiliki kehendak yang menyebabkan bisa mengadakan pilihan-
pilihan dalam hidup. Mahluk lain hidup dalam suatu pola yang telah baku dan tak
akan pernah berubah. Manusia diberikan pilihan-pilihan hidup dengan
konsekuensi yang ada. Manusia diberi peluang untuk memilih salah satu dari
dua jalan yang disediakan Tuhan (wahadainahu an najdain, Q. S Al Balad,
90:10) untuk mengantar sampai pada keputusan untuk menentukan pilihannya,
manusia dipengaruhi oleh dua kekuatan, yakni kekuatan kebaikan dan kekuatan
kejahatan. Kekuatan kebaikan dipersonifikasikan dengan malaikat, yakni
malaikat yang membantu manusia menempuh jalan kebenaran (lihat.Q.S Al
Ahzab, 33:43). Sedangkan kekuatan kejahatan dipersonifkasikan dengan setan,
yakni untuk menggiring manusia pada jalan kesesatan seperti yang tersebut
dalam Al Qur’an Surah Al Baqoroh, 2:268)
Pengarahan Akhlak
Desain kejiwaan manusia itu sempurna; memiliki potensi untuk
mengetahui kejahatan dan kebaikan, diperlengkapi akal untuk berpikir, hati unutk
memahami, nurani untuk berintropeksi dan syahwat untuk menggerakkan
tingkah laku. Tingkah laku manusia adakalanya dikendalikan oleh pikirannya;
pada kesempatan lain oleh hatinya, dan lain waktu oleh syahwatnya.
Manusia adalah mahluk yang dapat dibentuk akhlaknya. Pembentukkan
akhlaknya manusia memang dipengaruhi sejauhmana faktor keturunan dan
lingkungan terhadap perilaku tersebut. Faktor mana yang dominan, pendapat
para pakar psikologi berbeda-beda. Ayat Al Qur’an menyebut adanya fitrah
keberagaman yang hanif pada manusia (Q.S Ar Rum, 30:30), tetapi dalam surah
An Nahl 78 disebutkan bahwa manusia dilahirkan dari rahim ibunya dalam
keadaan tidak mengetahui apa-apa (Q/16:78).
Hadits Nabi SAW sebagai penjelas dari firman Allah di atas memberikan
wawasan yang lebih jelas. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra dikatakan
bahwa: “Setiap bayi terlahir keadaan fitrah; kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Hadits ini
mengedepankan kuatnya factor lingkungan. Dalam hal ini, meski ada potensi
fitrah kebergaman Tauhid, tetapi jika kedua orang tua memberikan lingkungan
yang berbeda, seorang anak akan lebih terbentuk oleh lingkungannya. Maka
dalam hal ini pengarahan akhlak menjadi suatu keniscyaan bagi setiap orang
tua. Terutama pendidikan akhlak sebelum lahir, pra natalia education, dengan
menempatkan nilai-nilai spiritualitas dalam hubungan seks, seperti doa dan etika,
sehingga hubungan suami istri itu bermakna sakral bukan sekedar aktualisasi
syahwat semata.
Studi Kasus
Karakteristik manusia yang begitu kompleks mengindikasikan bahwa
manusia sebagai mahluk unik, baik dari segi penciptaan maupun
penampilannya. Manusia dapat dikategorikan sebagai mahluk istimewa
dibanding mahluk-mahluk lainya. Keistimewaan manusia dengan akal dan ruh
menempatkan sebagai khalifah dimuka bumi. Namun manusia adalah mahluk
biologis yang memiliki kemiripan dengan binatang. Karena masing-masing
dianugerahi nafsu, sehingga ia memiliki kecenderungan negatif. Misalkan, ketika
manusia telah menerima karunia berlimpah berupa tempat tinggal, keturunan,
kendaraan, ternyata semua itu masih dianggap belum cukup. Pemenuhan aspek
lahir lebih utama diutamakan ketimbang aspek ruhaniahnya.
Adalah si A merupakan anak manusia dengan pelbagai karunia Allah
yang dimilikinya. Seorang anak dari keluarga menengah. Kedua orang tuanya
menjadi pekerja di sebuah instansi swasta dengan penghasilan yang lebih dari
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya.
Kehidupan perkotaan memaksakan kedua orang tuanya sibuk memenuhi nafkah
lahir si A dan saudara-saudaranya. Sementara mereka mengabaikan pendidikan
bathin (spiritual). Dalam dunia pendidikan si A dapat dikategorikan sebagai anak
yang cerdas sehingga wajarlah baginya untuk menyelesaikan jenjang-jenjang
pendidikannya dengan cepat dan tepat, pun demikian dengan karier yang
sedang ditekuninya, berhasil mencapai puncak jabatan strategis.
Namun ternyata tidak semua kehidupan berjalan sesuai mulus. Ketika si
A berada di puncak karier, ia dihadapkan dengan persoalan kehidupan, salah
satu orang tua menderita penyakit keras dan membutuhkan dana yang sangat
mahal. Pada saat yang bersamaan, Si A mendapat tawaran dari seseorang
teman (dekatnya) untuk bersama-sama mengelapkan keuangan perusahan yang
jumlah sangat fantastis, ratusan milyaran rupiah. Si A tidak mampu menolak
rayuan temannya, ia berhasil memanifulasi data-data keuangan perusahannya,
setelah berhasil melaksanakan aksi kejahatannya. Lalu ia melarikan diri beserta
temannya ke luar negeri. Selanjutnya jadilah si A menjadi tersangka kejahatan
alias daftar orang dicari oleh pihak kepolisian.
Al Qur ‘an
Al Qur’an merupakan sumber ajaran Islam utama dan wahyu Allah yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Wahyu Allah itu diturunkan dalam
bahasa Arab dan secara autentik terhimpun dalam mushaf Al Quran. Al Quran
adalah kitab suci yang demikian masyhur sehingga sulit untuk menemukan satu
definisi yang mencakup keseluruhan Al Quran, karena definisi yang ada masih
bersifat parsial; tergantung kepada jenis kajian yang dilakukan. Kendatipun
demikian salah satu definisi yang memiliki kekhususan dikemukakan disini, yaitu
dari Daud Al Attar (1979). Beliau menyebutkan bahwa Al Quran adalah wahyu
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara lafaz (lisan),
makna serta gaya bahasa (uslub)nya, yang termaktub dalam mushaf yang
dinukil darinya secara mutawatir. Definisi ini memiliki kekhususan sebagai
berikut:
a. Al Quran sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al Qur’an adalah wahyu
Allah, tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi
SAW.
b. Al Quran diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya.
Artinya isi maupun redaksi Al Qur’an bersumber dari Allah.
c. Al Quran terhimpun dalam mushaf, artinya Al Quran tidak mencakup wahyu
Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian
disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
d. Al Quran dinukil secara mutawatir, artinya Al Quran disampaikan kepada
orang lain secara terus menerus oeh sekelompok orang yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-
bedanya tempat tinggal mereka.
Al Qur’an artinya bacaan ( menggunakan bentuk kerja masdar) terambil
dari kata baca (qora’a). Sebagai kitab suci Al Qur’an menuntut setiap umat Islam
untuk membacanya bagi mereka yang pandai maupun awam. Sebuah
keharusan yang bernilai ibadah tidak ternilai, berbeda dengan bacaan-bacaan
lainnya. Membaca Al Qur’an tidak cukup sekali, perlu berulang-ulang. Membaca
Al Qur’an berulang-ulang menimbulkan gairah hidup, pengembangan gagasan
dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan bathin. Tiada bacaan seperti
Al Qur’an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan
kosakatanya, tetapi kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada
kesan yang ditimbulkan. Tidak mengherankan siapa pun yang diperdengarkan
nada-nada Al Quran dengan lantunan indah “tersentak” kagum. Sehingga Al
Qur’an begitu indah dilantunkan dalam kondisi apa pun. Al Qur’an layaknya
sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandang masing-masing.
Semua konsep ini menjadi punya makna, bukan saja karena keunikannya
secara semantik, tapi juga karena kaitannya dengan matriks struktur normatif
dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan Al Qur’an dipahami. Dalam kaitan
ini, konsep-konsep Al Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang
doktrin Islam, dan lebih jauh tentang weltanschuauung (pandangan dunia)-nya.
Termasuk tentang kisah-kisah historis dan amsal (perumpamaan), Al Qur’an
ingin mengajak dilakukan perenungan untuk memperoleh wisdom
(hikmah).melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
historis, juga melalui metafor-matafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia
diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang
berisi ajakan semacam itu, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah
historis atapun menyangkut simbol-sombol. Misalnya simbol tentang rapuhnya
rumah laba-laba (Q.S Al Ankabut,29:41), tentang luruhnya sehelai daun yang tak
lepas dari pengamatan Allah (Q.S Al An’am,6:59), atau tentang kisah para
pemuda ”ashabul kahfi” yang tertidur di goa selama 309 tahun (Q.S AlKahfi,
18:9-19).
Jika dalam bagian konseptual kita diperkenalkan dengan pelbagai ideal-
type tantang konsep-konsep, maka dalam bagian yang berisi kisah-kisah kita
diajak untuk mengenal ache-type tentang kondisi universal, misalnya diceritakan
dalam bentuk kisah tentang kesabaran Nabi Ayub as (Q.S Sad, 38:41-44),
tentang kezaliman Fir’aun la’natullahi alahi (Q.S, Al A’raf,7: 127), atau tentang
pembunuhan hewan unta yang lakukan oleh kaum Tsamud (Q.S Al A’raf, 7:73-
77). Kisah kesabaran Nabi Ayub as misalnya menggambarkan tipe-tipe
kesempurnaan yang paling purba tentang betapa gigihnya kesabaran orang
beriman menghadapi cobaan apa pun. Kisah kezaliman Fir’uan menggambarkan
arce-type mengenai kejahatan tiranik pada masa paling awal yang pernah
dikenal manusia; sementara kisah kaum Tsamud yang membunuh hewan unta
milik Nabi Saleh as lebih menggambarkan arche-type mengenai penghianatan
massal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
Mukjizat Al-Qur’an
Masalah yang dihadapi oleh kitab suci pada umumnya ialah ketidak-
mampuannya mempertahankan diri dalam wujudnya yang asli. Kemurnian
(keotentikannya) sebagai kitab suci telah tercemar oleh intervensi manusia dan
perkembangan zaman. Munculnya pemalsuan-pemalsuan data yang merusak
kaidah bahasa kitab suci sehingga tertelan oleh arus peradaban manusia.
Berbeda dengan dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Al Qur’an tampil sebagai
kitab yang sangat sempurna. Sejak diturunkan pada masa Rasulullah hingga kini
tetap dalam kemurnian, terpelihara dari pemalsuan-pemalsuan manusia. Tentu
jaminan Allah merupakan peran mutlak atas keberadaan dan keberlangsungan
Al Qur’an dimuka bumi
Sejak awal diturunkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, hal ini dapat
dipahami adalah sesuai dengan bahasa kepada siapa wahyu itu diturunkan yakni
masyarakat Arab (QS Ibrahim,14:4). Pesan itu dimaksudkan agar mudah
dipahami pembacanya. Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah
berarti bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.
❑▪ ◆ ⧫◆
✓⧫ ❑⬧
⧫ ⧫ ⬧ ⚫
◆❑➔◆ ⧫ ⧫ ⧫◆
⬧ ➔
“Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa
yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
As Sunnah
❑◆ →◆ ⬧⬧
⧫ ◼⧫ ⧫ →→
→◼⧫ ⧫
▪ ◆ ✓⬧☺
”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”.(Q.S At Taubah,
9:128)
Hukum yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat umum, artinya bahwa
setiap anak berhak mendapat harta waris dan bagian anak laki-laki dua kali
bagain anak perempuan. Ayat ini dikhususkan oleh Sunnah yang berbunyi:
”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi
harta si muslim” (H.R Jamaah)
(C) Al Qur’an menetapkan hukum haram atas binatang yang disembelih tanpa
meyebut nama Allah;
”Diharamkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah. Dan daging babi. Dan
daging hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula)yang disembelih untuk
berhala’ (Q.S. Al Maidah,5:3)
Kemudian Rasulullah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian
kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa. Dalam sabdanya beliau
menyampaikan:
”Dihalalkan bagi kamu 2 (dua) macam bangkai dan 2 (dua) macam darah. Dua
macam bangkai itu ialah ikan air dan belalang. Sedangkan 2 macam darah itu
ialah hati dan limpa’. (HR Ibnu Majah dan AlHakim)
Macam-macam Hadits
Dilihat dari berbagai segi, Hadits dapat dibagi bermacam-macam, yang
masing-masing memiliki ketentuan dan derajatnya sendiri-sendiri, yang berbeda-
beda antara satu dengan lainnya.
Ijtihad
⬧ ☺
→⬧☺◼➔ ◼⧫
❑→ ⧫
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S Al
Fatir,35:28)
Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah derivasi dari kata jahada. Dalam pengertian hukum, Mukti
Ali menyebutkan bahwa ijtihad adalah berusaha sekeras-kerasnya untuk
membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah hukum. Ijtihad
adalah pengerahan kemampuan intelektual (akal) secara optimal dari sejumlah
uli al-amr (ulama) Muslim pada suatu masa untuk mendapatkan suatu solusi
hukum terhadap berbagai permasalahan umat yang terjadi. Dalam bahasa lain,
ijtihad berarti proses penelitian hukum secara ilmiah berdasarkan Al Qur’an dan
An Sunnah.
Pengertian ini tercermin dalam Hadis Nabi SAW ketika Mu’adz ibn Jabal
diutus ke Yaman, yang di dalamnya terdapat ungkapan “ajtahidu bira’yi” (Aku
akan ber-ijtihad dengan pikiranku). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa
ijtihad itu mengacu kepada aktivitas intelektual.
Munculnya penalaran dalam bentuk ijtihad, didasarkan pada kenyataan
bahwa tidak semua problem kehidupan manusia, terutama yang berkaitan
dengan hukum, telah diungkap secara rinci di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ditambah lagi dengan dinamika sosial yang berkembang pesat, sehingga sangat
mungkin muncul peristiwa-pristiwa baru yang tidak ditemukan hukumnya secara
eksplisit maupun implisit di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam kehidupan
dewasa ini banyak ditemukan kasus yang memiliki implikasi hukum, seperti:
penggunaan alat kontrasepsi keluarga berencana (KB), transaksi dagang melalui
perantaraan bank dan pos, asuransi jiwa, reksadana, rekayasa genetika
(kloning) baik terhadap jenis tumbuh-tumbuhan, hewan maupun manusia.
Demikianlah, ijtihad merupakan wacana yang biasa dipakai dalam Ushul Fiqh
dan dalam pemikiran Islam lainnya.
1. Eksistensi ijtihad sebagi salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an
dan Sunnah, merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan, terutama
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW guna mengantarkan manusia
dalam menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin mengglobal.
Karenanya perkembangan zaman yang begitu dinamis dan senantiasa
berubah, maka eksistensi ijtihad harus senantiasa bersifat dinamis dan
senantiasa diperbaharui, seirama dengan tuntutan perkembangan zaman,
selama tidak bertentangan dengan prinsip pokok Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos ke-
jumud-an (baca: kebekuan), memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
dari ajaran Islam, mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah
kehidupan kontemporer, yang menurut Al-Suyuthi, perlu dilakukan setiap
saat oleh seseorang atau sekelompok orang yang mampu berperan
sebagai mujtahid.
Sedangkan untuk menjadi Mujtahid harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya
2. Mengetahui nash-nash al Qur’an perihal hukum-hukum syariat yang
dikandungnya, ayat-ayat hukum, cara-cara mengeluarkan (istimbath)
hukum dari Al Qur’an. Selain itu juga harus mengetahui antara lain
asbabun nuzul (sebab turunya suatu ayat) tafsir dari ayat yang hendak
ditetapkan hukumnya (istimbath).
3. Mengetahui nash-nash hadist yaitu mengetahui hukum syariat yang
didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan (istimbath) hukum
perbuatan orang mukalaf dari padanya. Disamping ia harus mengetahui
derajat dan nilai hadis seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan dan dhaif
juga harus mengetahui keadaan perawinya, mana hadis yang tsiqoh
(terpercaya) hingga dapat digunakan hujjah dan mana yang ghairu tsiqoh
(tidak terpecaya) untuk ditolak hadisnya.
4. Mengetahui maqishidus syariah (tujuan syariah), tingkah laku dan adat
kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan kemudharatan.
Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dinilai valid adalah antara lain:
a. Qiyas (reasoning by analogi) yaitu menerapkan hukum perbuatan tertentu
kepada perbuatan lain yang memiliki kesamaan. Imam Syafii ra.
mengatakan ”setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam
wajib melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada ketentuan hukumnya
yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad,
melalui qiyas”. Contoh qiyas diantaranya adalah Al Qur’an melarang
konsumsi minum-minuman berjenis Al khomr (Q. S. Al Maidah, 5 :90) dan
hukum perbuatan mengkonsumsi minum-minuman yang berefek
memabukkan. Mengacu pada dampak negative yang diakibatkan seperti
gangguan mental organic atau gangguan prilaku bahkan gangguan medis.
b. Istihsan, yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan prinsip-
prinsip umum ajaran Islam, seperti prinsip keadilan dan kasih sayang.
Misalnya seseorang mesti memilih satu dari dua alternatif perbuatan yang
sama-sama buruk. Maka ia mengambil salah satu yang diyakini paling
ringan keburukannya.
c. Masalihul mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan tinjauan
kegunaan atau kemanfaatn sesuai dengan tujuan syariat. Perbedaannya
dengan istihsan adalah jika istihsan menggunakan konsiderasi hukum-
hukum universal dari Al Qur’an dan Sunnah atau menggunakan dalil-dalil
umum dari kedua sumber tersebut, sedangkan masalihul mursalah
menitikberatkan kepada kemanfaatan perbuatan dan kaitannya dengan
tujuan universal syariat Islam.
Lapangan ijtihâd
Kehadiran permasalahan yang kompleks seiring perkembangan zaman
menuntut para ulama. Para ulama dituntut untuk mencari solusi dengan cara
memahami secara baik masalah yang dimaksud, kemudian membahasnya
secara seksama, dengan tetap merujuk kepada jiwa hukum yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian para ulama dituntut untuk mempelajari
dan meninjau kembali masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumnya,
kemudian menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi yang berkembang.
Lapangan Ijtihad dapat dilakukan terhadap segala hal yang menyangkut
berbagai bidang kehidupan muamalah, mulai dari bidang ekonomi, politik, sosial-
budaya, sampai pada masalah-masalah rekayasa manusia (kloning) dalam
bidang ilmu kedokteran, selama belum ada ketentaun yang melarangnya. Bidang
muamalah dalam Al-Qur’an pada umumnya dikemukakan secara global, berupa
prinsip-prinsip dasar, kaedah-kaedah umum, dan bersifat terbuka untuk
menerima berbagai panafsiran, sedikit sekali yang terinci dan yang dinilai qath’i.
Namun, semua itu mengacu kepada prinsip-prinsip dasar yang telah digariskan
Al-Qur’an, seperti: kewajiban menegakkan keadilan, prinsip musyawarah,
memelihara hak-hak seseorang, dan menunaikan amanah.
Dalam menghadapi permasalahan kontemporer, para ulama mempunyai
modal yang cukup. Kaidah-kaidah umum syari’at Islam terbentang luas bagi
siapa yang mau memanfaatkannya. Satu hal yang sangat prinsip dalam
melakukan kajian ini ialah dengan mengorientasikan akal pikiran kepada
maqashid syari’ah (tujuan syariat Islam), yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
Dibolehkan atau dilarangnya suatu perbuatan dalam pandangan Islam
diukur dari sudut mashlahat (mengandung kebaikan) dan mafsadat
(mengandung keburukan atau membahayakan)-nya, baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain. Sesuatu yang maslahahnya lebih dominan dalam pandangan
akal yang sehat dibolehkan selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Sebaliknya, jika unsur mafsadat (bahaya)-nya lebih dominan,
maka otomatis hal itu dilarang. Pelarangan itu ada yang bersifat langsung dan
ada yang bersifat tidak langsung.
Namun, jika berada pada posisi antara perbuatan yang menguntungkan
dan perbuatan yang merugikan kehidupan manusia, misalnya di bidang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi: pada satu sisi rekayasa di bidang ilmu
pengetahuan adalah sah saja, tetapi di sisi lain, jika berdampak negatif kepada
kehidupan manusia, maka hal itu harus dilarang. Dengan demikian, kemajuan
baru dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi tidak dapat dilihat sebagai cabang
ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi harus dilihat juga persentuhannya
dengan masyarakat, budaya dan agama.
Karenanya, untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat itu, tidak
boleh merusak atau melecehkan lima hal dharuri (mutlak) dalam kehidupan
manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seseorang mukhalaf
akan memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya, manakala ia dapat
memelihara kelima hal tersebut. Sebaliknya, ia akan merasakan adanya
mafsadat, manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur dengan baik.
Bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah adalah menjadi kunci
bagi keberhasilan seorang mujtahid dalam ijtihad-nya, khususnya yang
menyangkut bidang muamalah. Dengan landasan maqashid al-syari’ah itulah
setiap persoalan di bidang mu’amalah antara sesama manusia dapat
dikembalikan.
Studi Kasus
BAB 4
“Sayangilah orang-orang di bumi, maka penghuni langit akan menyayangimu”
(Hadits)
AKHLAK KARIMAH
DAN RUANG LINGKUPNYA
Pengertian Akhlak
Dalam bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat,
perangai, kebiasaan, bahkan agama. Istilah akhlak adalah bentuk jama’ dari
“khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai. Imam Al Ghozali (filosouf Islam
terkemuka) memberikan pengertian khuluq sebagai berikut: “khuluq adalah
keadaan jiwa yang tertanam didalam sanubari, yang lahir padanya perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan sikap hati-hati; jika
keadaan jiwa itu melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal dan
syara’ (Al Qur’an dan Sunnah) maka keadaan jiwa itu disebut khuluq yang baik.
Sebaliknya, jika yang terlahir adalah perbuatan buruk maka jiwa yang menjadi
sumbernya itu disebut khuluq yang buruk. Senada dengan Al Ghozali (111 M),
Ibn Maskawaih, seorang tokoh Etika Islam melalui karyanya “Tahzib Al Akhlak”
(Beirut,1966), bahwa khuluq adalah suatu kondisi jiwa yang memberi dorongan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat spontan. Kondisi ini lebih
merupakan fitrah sejak lahir dan dapat pula hasil latihan-latihan membiasakan
diri. Kondisi psikologis yang bergerak secara spontan sebagai dorongan dinamis,
juga sebagai usaha mendidik diri disekitar lingkungan kehidupan sehari-hari.
Membiasakan diri terhadap perbuatan-perbuatan baik, dapat menimbulkan
keadaan jiwa yang baik sehingga hal itu secara spontan akan menghasilkan
perbuatan-perbuatan baik berikutnya.
Meskipun kata akhlak tidak terdapat didalam Al Qur’an. Kebanyakan kata
akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna
akhlak dalam Al Qur’an adalah bentuk tunggal , yaitu al khuluq, tercantum dalam
surah Al Qolam ayat 4: wa innaka la’ala khuluqin adzim, yang artinya:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”.
Sedangkan hadis yang masyhur menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik,
“Innama bu’itsu li utammima makarimal akhlaqi”, yang artinya:” Sesungguhnya
aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan
akhlak mulia”.
Definisi yang dikemukan para ilmuwan tentang akhlak memang dapat
dipahami bahwa definisi akhlak itu netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al
akhlaq al mahmudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlak al mazmumah).
Ketika berbicara tentang nilai baik dan buruk maka muncullah persoalan tentang
konsep baik dan buruk. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep akhlak
dengan etika.
Kata etika berasal dari kata bahasa Yunani “ethos” yang mengandung
pengertian bahwa yang dimaksud dengannya ialah suatu kehendak baik yang
tetap. Ditinjau dari kerangka menyeluruh pemikiran filsafat etika merupakan
salah satu cabang filsafat. Menurut Hamzah Ya’qub, etika adalah ilmu yang
menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Di dalam
Ensiklopedia Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai,
kesusilaan tentang baik dan buruk. Kecuali mempelajari nilai-nilai, etika
merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Sebagai cabang filsafat
yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik
atau buruk, ukuran yang dipergunakan adalah akal pikiran. Akallah yang
menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk.
Etika (ethica) juga berbicara tentang baik dan buruk, tetapi konsep baik
buruk dalam etika bersumber kepada kebudayaan. Sementara konsep baik dan
buruk dalam Ilmu akhlak bertumpu pada konsep wahyu, meskipun akal juga
mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam etika
dikenal ada etika Barat, etika Timur dan sebagainya. Sementara akhlaqul
karimah tidak mengenal konsep regional, meskipun perbedaan pendapat tidak
dapat dihindarkan. Etika juga sering diartikan norma-norma kepantasan (etiket),
yakni apa yang dalam bahasa Arab disebut Adab atau tata krama.
Sedangkan moral meski sering digunakan juga untuk menyebut akhlak
atau etika tetapi titik tekannya pada sikap seseorang terhadap nilai, sehingga
moral sering dihubungkan dengan kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu
masih ada dalam tataran konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan.
Contoh seseorang dianggap bermoral kalau sikap hidupnya sesuai dengan
tradisi yang berlaku dimasyarakat tempat ia berada, dan sebaliknya seseorang
dianggap tidak bermoral jika sikap hidupnya tidak sesuai dengan tradisi yang
berlaku dimasyarakat tersebut. Dan memang menurut ajaran Islam pada
awalnya manusia adalah mahluk yang bemoral yang hidupnya penuh dengan
nilai-nilai atau norma-norma.
Berangkat dari perbedaan pandangan antara akhlak dengan moral (etika).
Namun secara substansial etika, moral dan akhlak memang sama, yakni ajaran
tentang ukuran kebaikan dan keburukan, menyangkut perikehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam dalam arti luas.
Yang membedakan satu dengan yang lainya adalah ukuran kebaikan dan
keburukan itu sendiri. Setiap orang atau setiap budaya boleh jadi tidak
menggunakan tolak ukur yang sama dalam menentukan baik dan buruk. Suatu
perbuatan dapat dipandang baik oleh suatu masyarakat (etnis tertentu), namun
sebaliknya, bagi masyarakat etnis lainnya bisa saja dipandang kurang baik, atau
tidak terpuji.
Melihat akhlak, etika atau moral seseorang, harus dibedakan antara
perbuatan yang bersifat tempramental dengan perbuatan yang bersumber dari
karakter kepribadiannya. Tempramen merupakan corak reaksi seseorang
terhadap berbagai rangsangan yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri
sendiri. Tempramen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang,
oleh karena itu sulit untuk berubah. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan
penilaian baik dan buruk tingkahlaku seseorang didasari oleh bermacam-macam
tolak ukur yang dianut masyarakat. Karakter seseorang terbentuk melalui
perjalanan hidupnya, oleh karena itu ia bisa berubah.
Pendidikan Akhlak
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ahlak
merupakan “buah” pohon Islam yang berakarkan Aqidah dan bercabang Syariah.
Betapa penting kedudukan ahlak dalam Islam. Al Qur’an bukan memuat ayat-
ayat yang secara spesifik berbicara tentang akhlak, lebih kepada setiap ayat
yang berbicara hukum sekalipun, dapat dipastikan bahwa ujung ayat tersebut
selalu dikaitkan dengan akhlak. Sebagai contoh dapat ditemukan pada ayat 183
surah Al Baqoroh firman AllahSWT
❑⧫◆ ⧫ ⧫
◆ →◼⧫
◼⧫ ☺
⧫❑→⬧ ➔⬧ →⬧
:
“Hai orang-orang yang beriman diwaibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Bahwa tujuan yang ditergetkan oleh agama Islam dengan berpuasa
adalah mencapai kualitas pribadi yang berakhlak mulia, atau yang lebih dikenal
dengan sebutan muttaqien (pribadi yang taat terhadap perintah agama dan
menjauhi larangan agama).
Akhlak Islam adalah keadaan melekat pada jiwa manusia. Karena itu
suatu perbuatan baru dapat dikatakan pencerminan akhlak, jika memenuhi
beberapa syarat. Syarat itu antara lain:
1. Dilakukan berulang-ulang. Jika dilakukan sekali saja, atau jarang-jarang,
tidak dapat dikatakan akhlak. Jika seseorang tiba-tiba, misalnya, memberi
uang (derma) kepada orang lain karena alasan tertentu, orang itu tidak
dapat dikatakan berakhlak dermawan.
2. Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir atau ditimbang-timbang
berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya.
Jika suatu pebuatan dilakukan setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang,
apalagi karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah percerminan akhlak
(Ensiklpodedia Islam, jilid I,1993,102). “al khuluqu hai’atun rasikhatun
tashdaru ‘anha al af’al bisuhulatin wa yusrin min ghoiri hajatin ila firkin
waruwiyatin”. Akhlak adalah keadaan bathin yang menjadi sumber
lahirnya perbuatan yang muncul secara spontan tanpa memperhitungkan
untung dan rugi. Makna spontan dalam akhlak menunjukan nilai-nilai
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berakhlak itu telah menjadi
karakter pelakunya, bukan sekedar pengetahuan. Seorang penjahat suatu
ketika boleh jadi terpaksa melakukan perbuatan baik; bukan karena
karakternya yang baik, tetapi karena ia memperhitungkan sebagai bagian
dari upaya memuluskan kejahatannya.
Manusia tidak ada yang secara tiba-tiba menjadi seorang bijak atau tiba-
tiba menjadi penjahat besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat
besar manusia butuh proses yang menghantarkannya pada keadaannya itu.
Proses itu berwujud dinamika kehidupan, bisa keadaan yang menakjubkan, yang
mengecewakan atau yang dirancang untuk membentuk pola-pola perilaku
tertentu. Jadi secara teori, manusia bisa dibentuk untuk menjadi orang baik
sebagaimana juga bisa dibentuk menjadi orang jahat. Karena akhlak adalah
keadaan bathin, maka pendidikan akhlak obyeknya adalah bathin seseorang.
Meski demikian bukan berarti menafikan yang lahir, karena antara lahir dan
bathin ada hubungan saling mempengaruhi. Orang yang ”hatinya” baik, pada
umumnya perilaku lahirnya (sopan santunnya) baik, tetapi tidak semua orang
yang memiliki sopan santun, akhlaknya baik. Penanaman disiplin atau
pembiasaan pola tingkah laku lahir yang baik (sopan santun) pada orang tertentu
dapat menjadi proses pembentukan akhlak yang baik, tapi pada orang lain bisa
juga menumbuhkan sifat munafik (pura-pura baik).
Setiap manusia dapat mencapai kebaikan jika ia mempunyai kemauan
untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. Namun tidak setiap orang mempunyai
kesediaan yang sama untuk menuju kepada tujuan itu. Hal ini disebabkan
adanya faktor pembawaan. Oleh sebab itulah Ibn Maskawai membagi manusia
kedalam tiga tingkatan:
1. Manusia yang baik menurut tabiatnya. Golongan ini merupakan kelompok
minoritas. Manusia yang baik menurut tabiatnya tidak akan berubah
menjadi manusia yang jahat.
2. Manusia yang jahat menurut tabiatnya. Golongan ini merupakan kelompok
mayoritas. Mereka ini tidak akan menjadi baik karena memang tabiatnya
sebagai pembawaan sudah jahat.
3. Manusia yang tidak termasuk golongan pertama dan juga golongan ke
dua. Golongan ini dapat berubah menjadi baik dan menjadi jahat karena
factor pendidikan yang diterima atau karena faktor lingkungan pergaulan.
Dalam konteks pendidikan anak usia dini, tanggung jawab orang tua
mendidik anak dengan sabar dan seksama, serta mengetahui kondisi kebutuhan
penyiapan pendidik yang mampu mengasuh dan membimbing anak usia sejak
lahir sampai 6 tahun merupakan suatu keharusan. Hal ini dikatakan oleh Ali RA
dalam kitabnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Imam Ali ra. berkata : “Ajari dan didiklah anak-anakmu, sedangkan Hasan ra. berkata:
ajaklah mereka untuk taat pada Allah dan ajarilah mereka tentang kebaikan”.
Manusia Berakhlak
⧫⬧ ⧫ ◼ ⬧
⬧ ◼◆ ⧫⬧◆
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),
“dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sholat”. (Q.S Al A’la, 87:14-15)
Manusia berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat hatinya. Manusia
sering kurang menyadari bahwa pribadinya mengalami gangguan kesehatan
mental yang disebabkan kotornya hati. Kalaupun ia menyadari tentang kondisi
dirinya, ia tidak berusaha untuk mengobatinya. Padahal penyakit hati jauh lebih
berbahaya ketimbang penyakit fisik. Seseorang yang sakit secara fisik jika
penyakitnya tidak diobati dan disembuhkan ujungnya hanya kematian. Kematian
bukanlah akhir segala persoalan melainkan pintu yang semua orang akan
memasukinya. Tetapi penyakit hati jika tidak disembuhkan maka akan berakhir
dengan kesengsaran di alam keabadian.
Meskipun kajian akhlak berada pada wilayah yang sangat abstraks
disebagian kalangan pendapat ilmuwan, sehingga sulit untuk menentukan tolak
ukur suatu keberhasilan (kebaikan) akhlak seseorang. Namun dikalangan tokoh-
tokoh Islam terkemuka, bagi mereka Akhak merupakan cerminan pribadi
individu-individu yang bersifat ”empiris bathiniah”, karena menurut Islam setiap
manusia pada awalnya telah dianugerahi sifat-sifat kebaikan ilahiyah (alam
ruhaniyah). Sehingga bagi Imam Al Ghozali indikator manusia berakhlak adalah
tertanamnya iman dalam hatinya, -kembalinya identitas manusia kepada awal
fitrahnya. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlak adalah manusia yang ada
nifaq didalam hatinya -akumulasi resistensi (penolakan) atas kebaikan-kebaikan
dalam dirinya. Nifaq artinya tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Iman bagaikan akar dari tumbuhan. Sebuah pohon tidak akan tumbuh pada akar
yang rusak. Sebaliknya sebuah pohon akan baik tumbuhnya jika memiliki akar
yang baik. Amal akan bermakna jika berpangkal pada iman, tetapi amal tidak
membawa makna apa-apa apabila tidak berpangkal pada iman. Demikian juga
amal tidak bermakna apabila amal tersebut berpangkal pada kemunafikan. Hati
orang yang beriman itu bersih, didalamnya ada pelita yang bersinar dan,
sebaliknya hati orang kafir itu hitam.
Kecuali langkah spiritual yang harus dilakukan juga langkah lahiriah harus
diupayakan. Menurut Ilmu Akhlak kebiasaan yang baik harus diperlihara dan
diperbaharuhi, sementara kebiasaan buruk secara berangsur-angsur perlu
ditinggalkan. Kebiasaan merupakan factor penting dalam upaya pembentukan
karakter manusia menuju perbaikan akhlak. Kebiasaan adalah perbuataan yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga seseorang menjadi mudah
mengerjakannya. Memang diakui adanya tingkat kesulitan bagi mereka untuk
memulai suatu perbuatan baik, namun disinilah manusia perlu memaksakan
dirinya (mujahadah) untuk mengulang-ulang perbuatan baik sehingga menjadi
kebiasaan dan akhirnya terbentuklah akhlak yang baik pada dirinya. Seperti
perbuatan mendirikan sholat. Sholat merupakan metode Islam yang ampuh
dalam proses pembantukan karakter manusia menuju kebaikan lahir dan bathin,
sehingga perintah sholat perlu dibiasakan sejak usia dini dan dikerjakan secara
berkelanjutan. Al Qur’an sendiri mengkui bahwa perintah sholat berat untuk
dikerjakan kecuali bagi mereka yang telah memiliki kedekatan dengan Allah (lihat
Q.S. Al Baqoroh (2) :45), namun Rasul melalui sebuah hadisnya memberikan
solusi yaitu dengan memerintahkan kepada para orang tua untuk membiasakan
kepada anak-anaknya melakukan kewajiban-kewajiban agama.
“Di dalam Musnad sunan Abu Dawud tentang hadis Amr bin syuaib dari ayahnya
dari kakeknya. Bahwa Rasul SAW bersabda : Perintahlah anak-anakmu untuk
melaksanakan shalat pada usia 7 tahun , pukullah mereka jika mereka
membangkang untuk shalat pada usia 10 tahun dan pisahlah tempat tidur
mereka”.
Pada awalnya tasauf dipahami sebagai upaya menekuni ibadah Allah dan
berpaling dari kemewahan duniawi serta berzuhud dari kelezatan, harta dan
pangkat. Penekanan tasauf pada awalnya adalah zuhud, ibadah, faqir, dalam arti
bekerja keras melaksanakan perintah agama dan memelihara hukum-hukum
syariat. Menurut Imam Qusyairi, tanda-tanda seorang sufi yang benar adalah
orang yang bisa menjalani hidup faqir setelah kaya, hidup hina setelah dihormati,
hidup menyendiri setelah termasyhur.
Setelah itu makna tasauf berkembang bersamaan dengan tumbuhnya
ilmu-ilmu syariat, dan kemudian ilmu tasauf berdiri sendiri sebagai ilmu
berhadapan dengan ilmu fiqih. Ketika berhadapan dengan ilmu fiqih, tasauf
disebut sebagai Ilmu Haqiqat atau Ilmu Bathin. Pada tataran ini tasauf dipahami
sebagai akhlak keagamaan dan ruh dari ibadah, yang dimotori oleh iradah atau
kehendak seperti yang dikatakan oleh Ibn Qoyim al Jauziyah (1355 M). Inilah
langkah pertama tasauf menjelma menjadi Ilmu Akhlak Islam – yang berbeda
secara substansial dengan Ilmu Ethics.
Banyak jalan menuju Tuhan, demikian pernyataan Jalaludin Rumi, ulama
sekaligus sufi terkemuka. Dengan tasauf orang akan mendapatkan ketenangan
bathin dan kepuasan spiritual. Sebab dengan tasauf orang akan dituntut
melakukan hal-hal terbaik demi peningkatan kualitas keberagamaannya kepada
Allah. Dengan bertasauf seseorang ”dibentuk” untuk selalu mendirikan
serangkaian perintah agama menuju tangga-tangga perjalanan spiritual secara
komprenhensif. Tentu memang dibutuhkan suatu tekad yang kuat, yang lebih
dikenal dengan istilah mujahadah terhapusnya sifat-sifat tercela, memutuskan
hubungan engan semua urusan dan hanya memperhatikan Allah semata, dalam
rangka menjaga kontuinitas komunikasi dengan Allah. Tasauf merupakan bentuk
muamalah manusia dengan sang Pencipta, dengan konsekuensi menghiasi diri
dengan perbuatan-perbuatan positif. Maka tidak heran, titik-tekan tasauf lebih
kepada pembinaan akhlak mulia, ”takhollaku bi akhlakillah”, yaitu berbudi pekerti
dengan budi pekerti Allah. Atau menghiasi diri dengan berupaya mensifati diri
dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah. Hubungan tasauf dengan akhlak melatih
manusia agar memiliki ketajaman bathin dan kehalusan budi pekerti, sehingga
tumbuhlah akhlak mulia dan bersikap dan berprilaku. Hal itu dapat dimungkinkan
jika seseorang betul-betul mensucikan dirinya secara murni, kemudian
muhasabah (kalkulasi spirituil), menyiapkan diri dan menunggu tajalli Tuhan.
Muncul pertanyaan apakah tasauf merupakan plihan terbaik dalam
pembinaan akhlak yang mulia. Secara obyektif, kita dihadapkan dengan sekian
pendekatan menuju kebaikan keber-agamaan, baik pendekatan fiqhiyah yang
mencakup wilayah hukum-hukum agama, maupun ritual-ritual lainnya, ternyata
manusia membutuhkan aspek asoteris (bathiniah), yang mampu mengajak
manusia lebih ”mengenal” sang Sang Pencipta. ”Man arofa nafsahu faqod arofa
robbahu” (al hadits), tentunya proses pengenalan jati diri merupakan tahapan
utama menuju tahapan ”keakraban” dengan Sang Kholik, Allah SWT. Aspek
bathiniah tasauf ternyata merupakan jantung ajaran agama Islam. Maka aspek
ini tidak boleh diabaikan, karena akan menyebabkan keringnya nilai ajaran
agama. Akan tetapi, ketika tasauf kemudian dimaknai sebagai sesuatu yang
menjauhkan seseorang dari kehidupan masyarakat, mengasingkan dan menjauh
dari kehidupan sosial masyarakat secara fisik, tentu kesempurnaan hidup
sebagai hamba Tuhan tidak akan tercapai. Karena kesempurnaan yang dicapai
dalam tasauf adalah kebaikan yang seimbang secara vertikal (dunia) dan
horisontal (ukhrowi). Perilaku Rasulullah SAW beserta para sahabat beliau,
diantaranya khulafaul ar Rasyiddin, Sayidina Abu bakar, Sayidina Umar bin
Katthab, Sayidina Usman bin Affan, Sayidina Alin bin Abu Tholib radiallahu
anhum, merupakan gambaran sempurna sebagai suri tauladan yang tekun
dalam beribadah kepada Allah juga berprestasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Figur-figur manusia yang inilah yang dilukiskan oleh Al Qur’an
sebagai kelompok Ulul Albab.
◆❑☺
◼◆ ◆
⧫ ◆
⧫
⧫⧫ ⧫
◼⧫◆ ❑➔➔◆ ☺◆
⧫⧫⧫◆ ❑
◆ ◆❑◆
◼ ⧫ ◆◆
⧫ ⬧ ⬧ ⧫
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul Albab),
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memiikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): ”Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-
sia. Maha Suci Engkau, maka perliharalah kami dari siksa api neraka”.(Q.S Al
Imron 4:190-191)
BAB 5
Pengertian Syariah
Kosa kata syariah dalam bahasa arab memiliki arti jalan yang ditempuh.
Dari segi terminologi bermakna pokok-pokok aturan hukum yang digariskan oleh
Allah SWT untuk dipatuhi oleh seorang muslim dalam menjalani segala aktifitas
hidupnya di dunia. Semua aktifitas hidupnya seperti belajar, bekerja, makan,
tidur, berdagang, sholat dan sebagainya, adalah merupakan ibadah sepanjang
diniatkan untuk mencapai ridho Allah SWT.
Konsep Ibadah
Ibadah berasal dari bahasa Arab ‘abada ya budu-‘ibadatan,’ubudatan dan
‘ubudiyatan. Secara etimologi ibadah adalah ‘attaqorrobu ilallah biimtistali awamirihi
wajtinabi nawahii wal amalu bimaa azina bihi al assyaari’u wahiya aammatun wa
khosshoh fal ‘aammatu kullu ‘amailin azina bihi al assyaari’u wal khoossotu ma
haaddahu asy syari’u fiha bijuz’iyyatin wa kayfiaatin makhsuusotin (ibadah ialah
pendekatan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintahNya, menjauhi
laranganNya dan mengerjakan segala sesatu yang diizinkanNya Allah.
Sedangkan makna ibadah yang khusus ialah perbuatan yang telah ditetapkan
Allah perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-cara yang tertentu). Konsep
ibadah di dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 278 kali suatu jumlah yang amat
banyak dibandingkan penyebutan kata-kata lainnya. Kondisi ini dapat dimaknai
bahwa ibadah menempati posisi strategis dalam konteks relasi mahluk terhadap
penciptaNya. Kata ibadah terklasifikasi ke dalam tiga pengertian:
1. kata ibadah atau al abd berarti seorang budak, atau memperhamba diri
kepada sesuatu yang dianggap lebih tinggi (Q.S. As Syuaro (26):22)
☺⬧ ☺➔ ◆
⧫ ⧫ ◼⧫
◆
“dan itulah kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku (sementara) itu
engkau telah memperbudak bani israil”
2. kata ibadah dalam bentuknya yang lain yaitu al ibadatu berarti tunduk,
taat. “Hai orang-orang yang beriman, makanlah rezeki yang Kami (Allah)
berikan kepadamu yang baik. Dan bersyukurlah kepada Allah jika
kepadaNya kamu beribadah. (Q.S. Al Baqoroh (2):172)
⧫
❑➔→ ❑⧫◆
◆ ⧫ ⧫⬧
→ ◆
➔⬧ ◼
Wudhu’
Menurut bahasa wudhu berasal dari kata wadha’ ah yang berarti
kebersihan dan baik. Sedangkan menurut syara (terminologi) adalah
menggunakan air yang suci dan mensucikan pada anggota tubuh yang empat
(yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus
menurut syariat. Bahwa perintah berwudhu datang bersamaan dengan perintah
kewajiban sholat lima waktu, yaitu satu tahun setengah sebelum tahun Hijriah.
Firman Allah:
❑⧫◆ ⧫
❑◼ ◼ ☺➔ ⬧
❑ ❑➔⬧
⧫☺ ◼ ⧫◆
❑⬧◆
✓⧫➔⬧ ◼ →◼◆
⬧ ◆
◼⧫ ◆
⧫◼ ◆
⧫
◼⬧ ◆ ☺⬧
❑☺☺◆⧫⬧ ⧫
❑⬧⬧ ⬧ ➔
◆ →❑❑
➔◆ ⧫
⬧◆ ⚫⧫ →◼⧫
▪◆ ⧫⬧
→➔⬧ ◼⧫ ⧫☺➔
◼
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Q.S Al
Maidah,5:6)
Fardhu wudhu;
1. Niat. Niat qasdu syai’in muqtarinan bi fi’lihi (Menyengaja sesutau
berbarengan dengan perbuatannya). Adalah hendaklah berniat
(menyengaja) mengangkatan hadats atau menyengaja berwudhu’. Lafaz
niat ’nawaitu wudhu’ li rof’il hadatsil ashgor fardhu lillahi taala (saya
berniat menyengaja wudhu mengangkatkan hadast kecil fardhu karena
Allah taala)
2. Membasuh muka. Berlandaskan surah Al Maidah ayat 6 bahwa batas
muka yang wajib dibasuh ialah dari tempat tumbuh rambut kepala atas
sampai kedua tulang dagu sebelah bawah; lintangnnya, dari telinga ke
telinga; seluruh bagian muka yang tersebut wajib dibasuh, tidak boleh
ketinggalan sedikitpun, bahkan wajib dilebihkan sedikit agar kita yakin
terbasuh semuanya.
3. Membasuh dua tangan sampai siku.
4. Menyapu sebagian kepala. Meskipun sebagian kecil sekalipun,
sebaiknya tidak kurang dari selebar ubun-ubun, baik yang disapu itu kulit
kepala atau rambut.
5. Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki.
6. Mentertibkan rukun-rukun di atas. Selain dari niat dan membasuh muka,
keduanya wajib dilakukan bersama-sama dan didahulukan dari yang lain.
Sunnah Wudhu’
“Apa bila seseorang bangun tidur, maka hendaklah membasuh kedua tangannya
tiga kali terlebih dahulu seselum mengambil air wudhu. Karena sesungguhnya ia
tidak tahu kemana tangan tersebut ia letakkan waktu ia tidur”.
Dalam kitab matan al-Ghoyah wat Taqrib karya Imam Al Qodhi Abu Syuja bin Al
Husen Al Asfahani diterangkan bahwa perkara yang dapat membatalkan wudhu
ada enam, yaitu : pertama, Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (kemaluan
depan maupun belakang), kedua Tidur tidak dalam keadaan duduk, ketiga,
Hilangnya akal sebab mabuk atau sakit, keempat Bersentuhan (kulit) pria dan
wanita yang bukan mahram tanpa penghalang, kelima, Menyentuh kemaluan
manusia dengan telapak tangan, Keenam, Menyentuh lubang dubur manusia.
Dalam keterangannya atas enam hal tersebut Imam Muhammad Ibnu Qasim al-
Ghazi dalam Fathul Qaribul Mujib menerangkan dengan rinci enam hal tersebut.
Pertama keluarnya sesuatu yang dari kedua jalan kemaluan depan (qubul)
maupun belakang (dubur), baik itu sesuatu yang suci seperti mani ataupun yang
tidak suci seperti darah dan kentut. Hal ini berdasar pada surat al-maidah ayat 6,
sebagaiman tertera pada bahasan sebelumnya.
Dan sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairoh dan diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dan Muslim;
“ Abu Hurairoh bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda “Allah tidak menerima sholat
kamu sekalian apabila (kamu) dalam keadaan hadats hingga kamu berwudhu”
kemudian seorang Hadramaut bertanya kepada Abu Hurairoh “apakah hadats itu?” Abu
Hurairoh menjawab “kentut (yang tidak bersuara)dan kentut yang bersuara”
Kedua tidur. Tidur dapat membatalkan wudhu kecuali tidur dalam posisi duduk
yang menetap (pantat yang rapat) seperti duduknya orang bersila. Sebagai
dalilnya dapat diperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
diceritakan oleh sahabat Ali ra.:
Rasulullah saw berkata: “pengendali dubur (tempat keluarnya kotoran dari jalan
belakang)adalah kedua mata, oleh karena itu barang siapa tidur hendaklah ia
berwudhu”.
Hadits ini menunjukkan bahwa tidur pada dasarnya membatalkan wudhu, karena
seseorang ketika tidur tidak dapat menjaga duburnya, bahkan ia tidak tahu
apakah dia telah kentut atau malah kencing. Dianalogikan dengan tidak adanya
kendali ketika tidur adalah hilangnya akal atau kesadaran. Ini juga dapat
membatalkan wudhu, karena ketika seseorang tidak sadar, berarti ia tidak tahu
apa yang terjadi dengan dirinya. Baik kesadaran itu hilang karena mabuk,
pingsan maupun gila.
Keempat; Bersentuhan (kulit) pria dan wanita yang bukan mahram tanpa
penghalang (untuk keterangan lebih lengkap lihat rubrik syariah yang telah
berlalu dengan tema (menyentuh istri membatalkan wudhu).
Juga dalam hadits riwayat dari Ibnu Majah berbunyi : dari Ummi Habibah r.a. :
“Barangsiapa yang memegang farj-nya (kemaluannya) maka hendaklah
berwudhu”.
Keistimewaan Wudhu
Menurut bahasa kata sholat berasal dari kata shollaa, yusholli, tashliyatan,
sholatun, yang berarti rahmat dan doa. Makna shalat dalam syariat adalah
peribadatan kepada Allah SWT dengan ucapan dan perbuatan yang telah
diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat
yang khusus dan dengan niat. Syekh Najmuddin Amin Al Kurdi dalam Tanwirul
Qulub-nya menggarisbawahi bahwa kedudukan sholat menempati posisi ibadah
fisik yang paling utama dibanding ibadah-ibadah lainnya.
Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari
sisi agama maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan,
memberi dampak positif dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan
hidup. Di dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di
dalamnya terdapat dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah
subhanahu wa ta’ala, ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat
merupakan induk ibadah badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh).
Pada tataran teori, sholat sebagai bentuk aktifitas ibadah sudah dapat
dipandang sebagai faktor pembentuk tingkah laku, karena ia dilaksanakan
secara berkelanjutan, frekuensinya relatif tinggi dan bersistem. Secara
substantif, shalat mengandung makna spiritual, baik internal orang yang sholat
maupun dalam hubungannnya dengan Tuhan. Akan tetapi pada tataran praktek,
sebagaimana juga ibadah lain, bisa saja sholat tidak bermakna apa-apa. Oleh
karena Al Qur’an bahkan masih menyebut neraka wail sebagai tempat bagi
orang-orang yang menjalankan sholat, yakni sholatnya tidak sistemik. (wayl-ul
li’l-mushallin, Q.S Al Maun, 107:4)
Untuk menemukan pola sholat yang sistemik, sebaiknya kita
merenungkan pernyataan Syekhuna Tuan Guru Abdul Hamid Husen dalam
tulisannya Untaian Zikir dan Do’a; dalam sholat Rasulullah saw, beliau
menegaskan bahwa kita tidak akan dapat melaksanakan sholat dengan
sempurna kecuali jika kita mengikuti manhaj (petunjuk) Rasulullah saw. Untuk
mencapai segala kebaikan sholat sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah
SWT hendaklah kita melaksanakan dengan istiqomah (secara berkelanjutan,
baik fardhu maupun sunnah) dan berupaya menterjemahkannya ke dalam
kehidupan.
Sholat yang utama adalah ketika seseorang berdiri secara sempurna
(menghadap kiblat serta terpenuhinya rukun dan syarat sholat). Inilah aktifitas
berdiri yang bernilai secara lahirilah dan ruhaniah. Karena setiap orang bisa
melakukan sikap berdiri, namun sikap berdiri akan bernilai jika kita sedang
sholat. Dalam sholat kita membaca doa-doa yang lembut yang memberikan
vibrasi kepada perubahan mental dan mengandung kekuatan penyembuhan.
Pembacaan do’a yang berulang-ulang mengadung bunyi potensial yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi perubahan kesadaran. Pengulangan ini memilki
kekuatan untuk mensugesti dan menghipnosa mental yang gelisah dan bingung
atau memasukan pikiran ke dalam ketenangan yang luar biasa, yang sangat
bermanfaat untuk menangkap petunjuk Allah. Maka faktor penguasaan bahasa
komunikasi menjadi faktor penentu, bahwa setiap kita berupaya untuk
mempelajari dan memahami bahasa “komunikasi sholat”. Ketika seseorang
membaca surah Al Fatiah dalam sholatnya, secara bathiniyah sebenarnya ia
berkomunikasi intensif (menyampaikan curahan hatinya) kepada Allah SWT,
sebagaimana firman Allah yang disampaikan melalui Rasulullah saw:
سأ َ َل َفإِ َذا قَا َل ْال َع ْب ُد َ ِي َما ْ صفَي ِْن َو ِل َع ْبد
ْ ِِي نْ ع ْبدَ َصالَة َ بَ ْينِ ْي َوبَيْن َّ س ْمتُ ال َ َق
الر ِحي ِْم َّ من
ِ ْالرح َّ ع ْبدِي َو ِإذَا قَا َل َ ب اْل َعالَ ِميْنَ قَا َل هللاُ ت َ َعالَى َح ِم َدنِي ِ ْال َح ْم ُد ِهللِ َر
الدي ِْن قَا َل َم َّج َد ِني ِ ع ْبدِي َو ِإذَا قَا َل َما ِل ِك َي ْو ِم َ ي َ قَا َل هللاُ ت َ َعالَى أَثْنَى
َّ َعل
َّاك نَ ْست َ ِعي ُْن قَا َل هذَا َ ع ْب ِدي فَإِذَا قَا َل إِي
َ َّاك نَ ْعبُ ُد َوإِي َ يَّ َض إِلَ ع ْبدِي َوقَا َل َم َّرة ً فَ َّو َ
طَ ص َرا ِ ط ْال ُم ْست َ ِقيِم ِ سأ َ َل فَإِذَا قَا َل اِ ْه ِدنَا
َ الص َرا َ ع ْبدِي َو ِلعَ ْبدِي َما َ َبَ ْينِي َوبَيْن
علَ ْي ِه ْم َوالَ الض َِّال ْينَ قَا َل هذا ِل َع ْبدِي َو ِل َع ْبدِي َ بِ ضو ْ غي ِْر ْال َم ْغ
َ علَ ْي ِه ْم
َ ت َ الَّ ِذيْنَ أ َ ْن َع ْم
سأ َ َل
َ َما
”Hamba berkata: (segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam), Allah
berfirman: Hamba-Ku memuji Aku.
Ketika hamba mengucapkan: (Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang), Allah berfirman hamba-Ku menyanjung Aku.
Ketika hamba mengucapkan: (Yang menguasai hari pembalasan), Allah
berfirman: hambaku mengagungkan Aku.
Ketika hamba berkata: (Hanya kepada Engkau kami menyembah dan
hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), Allah berfirman:
inilah antara Aku dengan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia
minta.
Ketika hamba berkata: (Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu orang-
orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka
yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat), Allah berfirman:
semua itu untuk hamba-Ku dan bagi hamba-ku apa yang ia minta.” (Hadis
Qudsi, riwayat Muslim, Abu ’Uwanah dan Malik).
Jawaban sholat istikhoroh dapat diketahui melalui tiga jalan. (1) melalui
isyarat mimpi, yang melambangkan apa yang sebaiknya dipilih, (2) jawaban itu
disampaikan melalui nasihat dan saran banyak orang yang terasa masuk akal
dan menyejukkan, dan (3) melalui ketajaman nurani, dimana hati menjadi sangat
yakin atas pilihannya meski boleh jadi ditentang oleh seluruh penduduk bumi.
Adapun jika seorang muslim mempunyai permintaan khusus kepada
Allah, maka kepadanya dianjurkan untuk mengerjakan sholat sunnah hajat.
Dalam Al Qur’an diisyaratkan bahwa permohonan pertolongan kepada Tuhan
bisa dilakukan dengan sabar dan sholat ( Q.S Al Baqoroh, 2:45.)
Jika orang mengerjakan sholat istikaharoh disebabkan kurang percaya diri
dalam mengambil keputusan, maka sholat hajat dilakukan sehubungan dengan
telah adanya keputusan yang diambil dan langkah yang sudah dimulai. Dalam
keyakinan atas pilihan itulah orang bermohon agar apa yang diyakini telah
diridhoi Allah itu terlaksana dengan baik. Perhatikan kandungan do’a sholat hajat
yang diajarkan Rasul SAW:
Tiada Tuhan Selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Maha Suci
Allah, Pemilik Arsy yang Agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
Aku mohon kepada Mu hal-hal yang mendatangkan (a)rahmat-Mu, (b) ampunan-
Mu, (c) perlindungan-mu dari dosa, (d) peluang meraih segala kebajikan dan (e)
terbebas dari kesalahan. Ya Allah aku mohon kepada Mu, jangan Engkau
biarkan dosaku tanpa Engkau ampuni, dan jangan Engkau biarkan kesulitanku,
tanpa Engkau beri jalan keluar, dan jangan Engkau biarkan hajatku yang telah
Engkau ridhoi, tanpa Engkau kabulkan, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.
ZAKAT
Makna zakat menurut bahasa ialah menambah. Sedangkan menurut
syara ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara yang tertentu
kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.
Dalam upaya menuju ketenangan bathin yang paripurna, Al Qur’an
mengajak kelompok ”be have” untuk berbagi harta kepada mereka yang
dikategorikan ”not be have”. Sebagai agama yang mengusung nilai-nilai
kebersamaan Islam mengatur secara tegas dalam Al Qur’an agar terjadi
perputaran ekonomi yang seimbang (”supaya harta jangan hanya beredar
diantara orang-orang kaya” Q.S Al Hasyr,59:7). Juga pemanfaatan harta secara
baik yang diambil dari harta orang-orang kaya, dengan tujuan agar terjalinnya
hubungan yang harmonis antar mereka.
Jenis infaq
1. Infaq wajib, terdiri atas zakat dan nazar, yang bentuk dan jumlah
pemberiannya telah ditentukan. Nazar adalah sumpah atau janji
melakukan sesuatu di mana yang akan datang. Menurut Syekh Yusuf
Qardhawi, nazar itu adalah sesuatu yang makruh. Namun demikian,
apabila telah diucapkan, maka harus dilakukan sepanjang hal itu untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang yang bernazar” jika saya
lululus ujian, maka saya akan memberikan Rp500.000 kepada fakir
miskin”, maka wajib melaksanakan nazarnya seperti yang telah
diucapkan. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka dia akan terkena
denda/kafarat.
2. Infaq sunnah. Infaq yang dilakukan seorang muslim unutk mencari ridho
Allah, bisa dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk. Misalnya
memberi makanan bagi korban musibah alam.
⧫ ⧫
⧫ ⬧ ❑⧫◆
⧫✓⧫ ❑⬧⬧ ⧫❑▪
⬧ ◆❑ ⧫
◆ ⬧
⬧ ⬧
▪ ❑→
”Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu, yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih;
jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S Al Mujadilah, 58:12)
Tujuan Zakat
Zakat yang mengandung pengertian bersih, suci, berkembang dan
bertambah mempunyai makna yang penting dalam kehidupan manusia baik
sebagai individu maupun masyarakat. Dengan demikian ibadah zakat itu
diwajibkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang yang diinginkan. Yang dimaksud
dengan tujuan dalam hubungan ini adalah sasaran praktisnya. Tujuan tersebut,
selain yang sudah disinggung dalam uraian sebelumnya, antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan
hidup dan penderitaan;
b. Membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para ibnu sabil dan
mustahiq lainnya.
c. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam,
manusia pada umumnya.
d. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri hati orang-orang miskin.
e. Menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin.
f. Mengembangkan rasa tanggungjawab sosial pada diri seseorang terutama
pada mereka yang mempunyai harta kekayaan.
g. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan
hak orang lain yang ada padanya.
h. Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan.
Dari tujuan-tujuan di atas tergambar bahwa zakat merupakan salah satu
ibadah khusus kepada Allah yang mempunyai dampak yang sangat besar bagi
kesejahteraan masyarakat. Dengan terlaksananya zakat dengan baik dan benar
diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dan berkurang. Disamping itu
dengan pengelolaan zakat yang profesional, berbagai permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq yang dapat
dipecahkan.
b. Berkembang.
Kekayaan yang wajib dizakati adalah kekayaan yang dikembangkan atau
mempunyai potensi untuk berkembang. Menurut para fukhoha’ (ulama Fiqh)
berkembang secara harfiah berarti bertambah. Sedangkan menurut istilah
pengertiannya terbagi dua: pertama, berkembang sebagai akibat pembiakan,
perdagangan dan sejenisnya; dan kedua, berkembang dalam arti kekayaan itu
mempunyai potensi untuk berkembang baik ditangannya maupun ditangan orang
lain atas namanya.
1) Cukup senishab. Islam mewajibkan pada zakat yang berkembang dengan
memberi ketentuan tersendiri yakni jumlah tertentu yang dalam ilmu fiqih
disebut nishab. Dengan kata lain nishab adalah jumlah minimal harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya.
2) Melebihi kebutuhan pokok. Yang dimaksud melebihi kebutuhan pokok
adalah lebih dari kebutuhan primer.
3) Bebas dari hutang. Apabila sseorang mempunyai hutang yang
menghabiskan atau mengurangi jumlah senishab dari harta yang ada di
tangannya, yang bersangkutan tidak wajib mengelaurkan zakat. Namun
ada sebahagian ulama berpendapat bahwa hutang tidak menghalangi
kekayaan wajib dikeluarkan khususnya kekayaan yang kelihatan seperti
ternak dan sebagainya.
4) Berlaku satu tahun atau telah sampai haulnya, artinya pemilikan itu
ditangan pemiliknya telah berlalu masanya dua belas bulan Qomariah.
Persyaratan satu tahun ini hanya untuk ternak, uang dan harta
perdagangan. Jenis harta ini dikategorikan dalam istilah ”zakat modal”.
Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan, madu, harta karun dan lain-lain
yang sejenis tidaklah dipersyaratkan satu tahun dan semua itu dapat
dimasukan dalam istilah ”zakat perdagangan”.
Macam-Macam Zakat
Ada dua macam zakat, yaitu zakat fitrah (zakat badan) dan zakat maal (harta)
a) zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir bulan Ramadhan.
Hukumnya wajib atas setiap muslim, kecil atau dewasa, laki-laki atau
perempuan, budak atau merdeka. Pengertian ini sejalan dengan hadits
Rasul saw yang diriwayatkan Imam Bukhori Muslim dalam bab Zakat
kitab Kanzul Roghibin karya Imam Jalaluddin hal.120.
Zakat fitrah diwajibkan pada tahun kedua hijriah yaitu tahun diwajibkan puasa
bulan Ramadhan, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan
perbuatan yang tidak berguna, untuk memberikan makan pada orang-orang
miskin dan mencukupi kebutuhan mereka agar tidak meminta-minta pada hari
Idul Fitri. Zakat fitrah menjadi penyempurna ibadah puasa ramadhan.
Zakat fitrah ini merupakan zakat pribadi-pribadi. Sebagian ulama
menyebutkan zakat fitrah ini sebagai zakat kepala atau zakat badan. Bahwa
diantara syarat wajibnya zakat fitrah adalah bagi mereka yang mempunyai
kelebihan harta dari keperluan makanan untuk dirinya sendiri dan untuk yang
wajib dinafkahi. Bagi mereka yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib mebayar
fitrahnya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah dari Ibnu Umar ra bahwa
Rasululullah SAW mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan sebanyak satu
SHA dari kurma atau satu SHA dari gandum, atas hamba, orang merdeka laki-
laki, perempuan, kecil, dan orang tua dari kalangan orang muslim.
Dari Ibnu Umar katanya: ”Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri bulan Ramadhan
sebanyak satu Sha’ (3,1 liter) tamr atau gandum atas tiap-tiap muslim merdeka
atau hamba, laki-laki atau perempuan”.Riwayat Bukhori Muslim.
Dalam memahami kata satu SHA dan penyebutan bahan makanan yang
terdapat pada hadits diatas terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
1. Mayoritas ulama yang terdiri dari mazhab Imam Maliki, Imam Syafi’i dan
Imam Hambali berpendapat bahwa zakat fitrah itu harus dibayar dengan
bahan makanan pokok, tidak boleh dengan nilainya (uang), sebanyak
satu SHA atau 2751 gram, atau 3,5 liter.
2. Imam Abu Hanifah (mazhan Hanafi) berpendapat zakat fitrah tidak harus
dibayar dengan bahan makanan kebutuhan pokok, tetapi boleh juga
dibayar dengan nilai (uang), sebanyak satu SHA yang sama dengan 3800
gram atau 4,5 liter.
Bahwa ukuran banyaknya zakat fitrah itu adalah ukuran takaran, bukan
ukuran timbangan. Pendapat sebagian mereka yang menentukan banyaknya
zakat dengan timbangan (katian) adalah kurang teliti (kurang tepat), karena berat
beras satu gantang dari beberapa jenis beras, tentu tidak sama, apalagi kalau
dibandingkan dengan segentang jagung atau lain-lainnya, sudah tentu sangat
berjauhan timbangannya meski timbangannya sama.(KH.Sulaiman Rasjid:1987)
Mengenai pendapat yang mengutarakan bahwa apakah kekayaan
berpengaruh terhadap kewajiban mengeluarkan zakat atau tidak, ada 2 (dua)
pendapat. Pertama, mazhab Hanafi memandang bahwa kekayaan memiliki
pengaruh terhadap pengeluaran zakat fitrah. Kekayaan yang mewajibkan zakat
fitrah adalah kekayaan yang mencapai nishab dan melebihi kebutuhan. Kedua,
pendapat jumhur ulama memandang bahwa kekayaan tidak berpengaruh
terhadap kewajiban mengeluarkan zakat fitrah, bahkan orang fakir pun juga
berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah, tapi dengan syarat dia memiliki
kemudahan, yaitu sisa harta yang ia keluarkan untuk kebutuhannya sendiri dan
keluarganya pada hari Raya Idul Fitri.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh pendapat pertama di atas adalah;
Rasulullah bersabda: ”Tidak ada sedekah kecuali dari kekayaan” (H.R
Ahmad). Sedangkan orang fakir tentu tidak memilki kekayaan, maka zakat
pun tidak wajib atas dirinya. Namun dalil ini ada yang membantah, bahwa
hadis ini berlaku untuk zakat harta (maal), sedangkan zakat fitrah itu
berlaku untuk badan dan jiwa.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh pendapat kedua adalah;
Hadis Tsa’labah bin Abi Shu’air dari bapaknya, dia berkata,” Rasulullah
bersabda ”satu sha’ gandum atas tipa-tiap orang kecil atau besar,
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan. Adapun orang kaya dari
kalian, maka dia akan disucikan oleh Allah (dengan zakat fitrah tersebut).
Sedangkan orang yang fakir dari kalian, maka Allah akan memberikannya
jauh lebih banyak daripada apa (zakat fitrah) yang dia berikan”. (H.R Abu
Daud). Hadis sangat jelas menjelaskan tentang kewajiban berzakat fitrah
atas orang fakir, sebagimana orang kaya. Namun dalil di bantah, bahwa
hadis ini berlaku pada masa permulaan Islam, kemudian di nasakh
(diamandemen) dengan hadis lain yang berbunyi ”Tidak ada sedekah
kecuali dengan kekayaan” (H.R Ahmad), atau hukumnya sunah saja, tidak
wajib. (Abdullah Lam bin Ibrahim:2005)
b) Zakat Maal.
Zakat Maal adalah zakat yang meliputi seluruh harta kekayaan, termasuk
uang, emas perak, hasil perdagangan, pertanian, perkebunan, binatang
ternak, barang tambang, dan barang temuan (rikaz). Nishab harta kekayaan
dan perdagangan adalah sebesar 20 dinar atau 12 ½ pound sterling sama
dengan 96 gram emas, atau 200 dirham atau sama dengan 672 gram perak.
Nishab emas dan perak semua ulama sependapat 20 dinar untuk emas dan
200 dirham untuk perak. Sedangkan haulnya masing-masing satu tahun dan
kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ½ % sebagaimana yang
dikemukakan dalam kitab Nail al-Autar karya Al Syaukani pada halaman 156.
b) Perbedaan
1) segi nama
Bahwa zakat secara etimologi berarti suci, berkah, tumbuh dan
berkembang. Dengan kata lain setiap harta yang dilkeluarkan zakatnya
akan bersih, tumbuh, berkah dan berkembang. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam surah Ar Rum ayat 39 dan surah At Taubah ayat 103.
Sedangkan Pajak dalam bahasa Arab dikenal dengan Al-Adharibah. Al
Adhoribah secara etimologi berarti beban. Atau istilah pajak juga disebut
Al Jizyah, yang berarti pajak tanah (upeti), yang diserahkan oleh ahli
zimmah (orang kafir yang tunduk terhadap kebijakan pemerintahan Islam).
2) segi dasar hukum
Zakat ditetapkan berdasarkan ketentuan hukum Al Qur’an dan Sunnah
yang bersifat qoth’i. Sehingga kewajibannya bersifat mutlaq dan berlaku
sepanjang masa. Sedangkan Pajak keberadaannya sangat bergantung
pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang.
3) segi objek dan pemanfaatannya.
Zakat dalam aplikasinya terbatas pada hal yang telah disebut dalam hadis
Nabi SAW, begitu pula kadar minimum (nishab) harta yang dikeluarkan
zakatnya telah ditentukan batasnya. Juga pemanfaatan zakat telah diatur
secara mutlaq kepada mereka yang tergolong delapan asnaf (delapan
golongan yang berhak menerima zakat). Berbeda dengan zakat, Pajak
jenis barang atau sesuatu yang dikenai pajak juga pemanfaatannya
semua tergantung pada kebijakan pemerintah, yang tertuang dalam
undang-undang atau peraturan pemerintah sehingga bersifat temporal.
Puasa
⧫ ⧫
→◼⧫ ❑⧫◆
◼⧫ ☺ ◆
→⬧
⧫❑→⬧ ➔⬧
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, (Q.S Al
Baqoroh, 2: 183)
Arti Puasa menurut bahasa Arab adalah ashaum yang artinya menahan
diri dari segala sesuatu perbuatan yang diinginkan. Sedangkan menurut syariat
puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual mulai
terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat menjalankan perintah
Allah dengan beberapa syarat. Sedangkan puasa secara thoriqoh (tasauf) puasa
dimaknai menahan segala anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan tercela, baik
secara lahir maupun bathin. Karena puasa adalah ibadah yang bersifat sangat
rahasia antara hamba dengan sang kholik. Firman Allah ” Sesungguhnya puasa
adalah untuk Ku (Allah SWT) dan Aku sendiri yang berhak membalasnya”
(Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Ada dua kewajiban yang harus diperhatikan dalam melaksanakan ibadah
puasa, yaitu kewajiban yang bersifat lahiriah dan kewajiban yang bersifat
bathiniah. Adapun kewajiban yang bersifat lahiriah adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui datangnya permulaan datangnya bulan Ramadhan
dengan melihat bulan, dengan mendapat keterangan dari orang yang
adil dalam hal ini tokoh-tokoh agama.
2. Harus menetapkan niat untuk mengerjakan puasa pada malam harinya
3. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa; makan, minum
dan bersetubuh dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
4. Menahan diri dari istima yaitu sengaja mengeluarkan air mani baik
melalui bersetubuh atau lainnya.
Adapun kewajiban yang bersifat bathiniah adalah sebagai berikut:
1. Menahan pandangan, artinya menjaga pandangan mata dari segala
sesuatu yang bersifat tercela dan dibenci sehingga dapat
menyebabkan kelalaian hati dari berzikir kepada Allah.
2. Menahan pendengaran dari mendengar sesuatu yang dibenci atau
diharamkan.
3. Menjaga lidah dari senda gurau yang tidak berguna, berdusta,
mengumpat, mengadu domba, perkataan kotor dan sebagainya.
4. Menahan semua anggota badan dari perbuatan dosa.
5. Tidak terlalu kenyang dalam berbuka karena dapat melalaikan diri
untuk ibadah pada malam harinya.
6. Semata-mata puasa karena Allah dengan penuh harapan agar
mendapat ridho AllahSWT.
Dengan melihat kewajiban-kewajiban tersebut di atas, maka puasa mempunyai
tiga tingkatan. Menurut Imam Ghozali dalam kitab Ihya-nya jilid I tingkatan puasa
adalah sebagai berikut:
1. Puasa awam/umum, yaitu puasa yang hanya sekedar menahan diri
dari hal-hal yang bersifat lahiriah saja. Dalam hal ini puasa tidak
mendapatkan balasan dari Allah. Sejalan dengan sabda Rasul SAW:
”Berapa banyak orang yang berpuasa tidak ada yang diperolehnya
dari puasa itu kecuali lapar dan haus saja” (H.R Nasai dan Ibnu
Majah).
2. Puasa khusus, yaitu puasa yang dilaksanakan disamping menahan diri
dari hal-hal yang bersifat lahiriah juga menahan diri dari hal-hal yang
bersifat bathiniah. Sabda Rasul SAW:
”Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengetahui
batasnya dan menjaga diri dari segala yang patut dijaga, maka
dihapuskan dosanya yang sebelumnya” (H.R Ahmad dan Baihaqi)
3. Puasa khusus di atas khusus, yaitu puasa tingkatan para nabi dan wali
Allah, mereka berpuasa tidak saja meninggalkan hal-hal yang bersifat
lahiriah dan bathiniah, namun juga menahan diri dari perhatian yang
rendah dan pemikiran yang bersifat keduniaan. Mereka berpuasa
dengan keikhlasan semata-mata karena Allah SWT.
Manfaat Puasa
Banyak orang berpandangan puasa mempunyai dampak negatif terhadap
kesehatan. Mereka memandang bahwa tubuh laksana mesin yang tidak mampu
bekerja tanpa bahan bakar. Makan tiga kali sehari bagi mereka suatu keharusan
untuk menjaga kelangsungan hidup. Sebaliknya, meninggalkan makan satu kali
saja dapat membahayakan kesehatan. Bagi mereka manusia harus makan
secara teratur selama hidupnya. Pandangan semacam ini mendorong orang
untuk mengkonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman dalam jumlah besar
pada malam saat berpuasa. Pandangan yang keliru ini tampaknya cukup
menggejala, baik pada tingkat individu maupun masyarakat sebagai akibat
ketidak-tahuan tentang ibadah puasa yang benar menurut Islam. Satu hal
terpenting adalah jika manusia selama hidupnya hanya memikirkan tentang
makan dan makan, maka manusia tidak lebih dari mahluk Tuhan yang bernama
binatang. Binatang adalah mahluk Tuhan yang cenderung ingin melampiaskan
hawa nafsunya, tentu ini sebuah konsekuensi dari kapasitas makanan yang
menjadi target hidupnya.
Allah SWT menginformasikan kita melalui Al Qur’an bahwa puasa
diwajibkan kepada kita dan umat sebelumnya agar kita memperoleh gelar
ketakwaan. Dengan puasa mampu mencegah dari berbagai jenis penyakit, baik
fisik maupun psikis.
Seseorang yang berpuasa (menahan dari perbuatan yang dihalalkan;
makan, minum dan hubungan seksual suami istri), maka secara tidak langsung
ia telah meredam gejolak hawa nafsunya untuk bertindak sesuai aturan syariat.
Bagi kalangan muda puasa merupakan alternatif terbaik dalam mengontrol
segala keinginannya, gaya hidup hedonis dan seks bebas. Karena segala nafsu
manusia sangat dipengaruhi oleh pola makan yang tidak terkontrol. Kehidupan
manusia diibaratkan seperti binatang, ketika manusia cenderung, ingin
memuaskan segala nafsu keinginannya. Hawa nafsu adalah musuh tersembunyi
yang berresiko fatal bagi perjalanan hidup dan kehidupan manusia. Sejalan
dengan sabda Rasul SAW ”Musuh mu yang paling berat adalah nafsu mu, yang
bersarang di antara dua lambungmu” (HR. Baihaqi). Puasa mendidik seseorang
untuk menuju tingkatan hidup berkualitas, yang dimulai dari menahan diri dari
perbuatan yang bersifat mubah (dibolehkan) menuju suatu kebiasaan hidup yang
”bebas” dari berbudakan hawa nafsu. Manusia berada pada posisi kemuliaan
melebihi mahluk malaikat, yang tercipta tanpa hawa nafsu.
Selanjutnya pembicaran puasa memang tidak terlepas dari persoalan
kesehatan. Untuk itu di bawah beberapa pemaparan hasil pandangan ilmuwan
Internasional terkemuka Abdul Basith Muhammad Sayid, ilmuwan International
di bidang Biofisika, Fisika partikel, dan Fisika Medis dalam karya Silsilat Athibi al
Badil (2004), tentang maanfaat puasa dari sudut pandang kesehatan fisik.
a. Puasa dapat meningkatkan kemampuan mekanisme pencernaan dan
penyerapan pada sistem pencernaan dalam melakukan fungsinya
dengan baik, yaitu dengan tidak memasukkan makanan dan minuman
ke dalam makanan yang sedang dicerna. Puasa dapat memberikan
ketenangan fisiologis pada sistem pencernaan dengan tidak
mengkonsumsi makanan dan minuman selama 9-11 jam setelah
penyerapan makanan.
b. Puasa dapat mengaktifkan mekanisme metabolisme asimilasi dalam
rangka pembentukan dan pemusnahan glukosa, lemak dan protein
pada sel agar dapat menjalankan fungsinya dengan sempurna.
c. Puasa dapat mencegah terjadinya penimbunan makanan di dalam
tubuh. Karena penimbunan makanan dapat menimbulkan kelemahan
secara berangsur-angsur pada mekanisme tubuh, yang
memungkinkan rentannya kondisi tubuh terhadap penyakit.
d. Puasa dapat memperbaiki tingkat kesuburan, baik pada laki-laki
maupun perempuan.
e. Rasa dahaga yang diperoleh selama puasa dapat menyuplai energi
pada tubuh dalam upaya kemampuan belajar dan memperoleh daya
ingat.
f. Puasa adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah dengan
harapan akan ganjaran dan pahala SWT. Secara kejiwaan puasa
menimbulkan rasa tenang dalam jiwa yang berpengaruh positif
terhadap metabolisme sehingga berjalan dengan mudah dan baik
yang hasilnya dapat dirasakan tubuh.
Puasa yang Diajarkan Islam
Beberapa studi yang dilakukan mengenai fungsi organ tubuh selama
masa berpuasa secara medis menyebutkan bahwa puasa model Islam terbilang
sangat mudah sesuai dengan firman Allah SWT:
◆ ⧫ →
◆➔ →
◼➔ ❑➔☺◆
⧫ ◼⧫ ◆
◼ →➔⬧◆
”Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan”
(Q.S. Al Baqoroh:2:185)
Muamalah
Kajian muamalah adalah kajian yang begitu luas, mengingat kompleknya
masalah yang di hadapi manusia seiring perperkembangan zaman. Sehingga
pembahasan muamalah pada penulisan ini perlu dibatasi.
Sehubungan dengan pembahasan muamalah munculnya Pertanyaan,
Mengapa dalam kitab-kitab fiqh pembahasan ibadah dipisahkan dengan
pembahasan muamalah?
Menurut Prof. Dr. Moh.Ardhani secara prinsip ada dua macam hukum yang
menyebabkan terjadinya pemisahan tersebut, yaitu:
1. Bentuk hukum yang sudah pasti cara pelaksanaannya dari Allah dan
RasulNya. Bentuk ini pada umumnya di dapat pada ibadah mahdlhoh,
dalam hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Dalam hal ini
hanya hanya Allah dan RasulNya yang berwenang menentukan
bentuk dan cara pelaksanaanya dan kita harus mentaatinya, seperti
sholat, puasa zakat dan haji. Hal tersebut telah diungkapkan pada
pembahasan sebelumnya.
2. Hukum yang kedua yang mengatur antara manusia dengan
sesamanya dan dengan lingkungannya, yang dalam buku-buku fiqh
dikenal dengan bidang Muamalah. Dalam bidang ini pada umumnya Al
Qur’an hanya memberikan pengarahan, membekali dengan prinsip-
prinsip umum, melarang hal-hal yang menimbulkan mudhorat (dampak
negatif), dan mendukung hal-hal yang mendatangkan maslahat
(kebaikan). Penjelasan Rasulullah dalam hal ini bisa dikatakan sangat
terbatas, bila dibandingkan dengan banyaknya persoalan yang muncul
dikalangan umat yang tidak terbatas. Namun ada prinsip yang
memungkinkan hukum bidang ini tidak kaku dan selalu berkembang.
Sebuah kaidah menyebutkan:
”al Ashlu bi muamalat al ibaha maa lam yakun dalilun a’la hadzirih”
Artinya: Pada prinsipnya sesuatu yang menyangkut muamalah adalah
dibolehkan selama belum ada dalil yang melarangnya.
Dalam kaidah di atas dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang
menyangkut muamalah dan tabia’atnya bermanfaat bagi kehidupan manusia
adalah dibolehkan, selama tidak ada dalil yang melarang.
Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah bahwa seluruh aspek
kehidupan seorang mukmin merupakan ibadah. Islam tidak mengenal
pemisahan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat.
Prinsip dalam melaksanakan muamalah adalah sebagai berikut:
a. Segala pemikiran, perbuatan dan kegiatan dalam muamalah harus
dilandasi dengan iman dan ikhlas, diwujudkan menurut jalan yang
dibenarkan Allah untuk mencari ridhonya.
b. Komunikasi antara sesama manusia bertujuan membentuk masyarakat
yang serasi, mewujudkan kedaimaian dan mempertinggi martabat sebagai
khalifah (wakil Tuhan) di bumi.
c. Keluasan yang diberikan Allah kepada manusia tetap harus bersandar
kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul saw. Dalam hal-hal tertentu bila tidak
ditemukan pada Al Qur’an dan Sunnah dapat dilakukan ijtihad di kalangan
para cendikia Islam.
Ditinjau dari aspek hukum, Muamalah terdiri dari atas hal-hal berikut ini:
a. Alqununul Khas atau hukum perdata, meiputi:
1. Al ba’i atau perdagangan
2. Munakaha atau perkawinan
3. Mawarits atau harta waris
4. Wakaf
5. Bank
6. Salam atau pesanan
7. Syirkah atau perseroan
8. Qirodh atau atau pemberian modal usaha
9. Musyaqqoh atau muzaro’ah atau paroan kebun
10. Wahanah atau sewa menyewa
11. Utang piutang
12. Rohnun atau jaminan
13. Hiwalah atau pemindahan hutang
14. Dhoman atau menjamin hutang
15. Ariyah atau pinjam meminjam
16. Hibah atau pemberian, dan lain-lain
d. Hubungan antar Manusia dengan Alam Sekitar atau Alam Semesta, terdiri
dari:
1. Perintah untuk mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan
alam sekitar.
2. Seruan untuk pemanfaatan kekayaan alam semesta untuk kesejahteraan
hidup.
3. Larangan menganggu, merusak, membinasakan alam semesta, tanpa
alasan yang dibenarkan agama.
Ahli Hukum lain ada yang mengklasifikasikan muamalah dilihat dari aspek
hukum dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian, sebagai berikut:
a. Hukum Keluarga (ahwalu syakhsiyah), mengatur tentang hak dan
kewajiban suami, isteri dan anak
b. Hukum Perdata (ahkamul madaniah), yaitu tentang perbuatan usaha
perseorangan antara lain: jual-beli, penggadaian, penanggungan,
penggantian hutang piutang dan perjanjian
c. Hukum Pidana (ahkamul jinaiyah), yaitu yang bertalian dengan tindak
kejahatan dan sanksi-sanksinya
d. Hukum Acara (ahkamul murafaat), yaitu yang berhubungan dengan
peradilan, persaksian, sumpah.
e. Hukum Perundang-Undangan (ahkamul dusturiyah), yaitu hukum yang
berhubungan dengan perundang-undangan yang membatasi hakim
dan terhukum serta menetapkan hak-hak perannya
f. Hukum Kenegaraan (ahkamul dauliyah), yaitu yang berkaitan dengan
wilayah negara di dalam negara dan hubungan antar negara.
g. Hukum Ekonomi dan Keuangan (ahkamul iqtishodiyah dan maaliyah),
yaitu yang berhubungan dengan hak fakir miskindi didalam harta orang
kaya dan hukum yang mengatur sumber-sumber pembelanjaan
negara.
Pernikahan
◆❑
⧫✓⧫◆
⧫⬧⬧☺ ⬧◆
◆
⧫▪❑☺ ◆
⬧◆ ➔◆
❑◆⬧ ⧫⧫ ⬧
◼ ◆ ◆
⧫☺
”Allah telah menciptakan manusia itu cenderung pada memandang yang indah,
cinta kepada wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas perak,
kuda pilihan (kendaraan), binatang ternak dan sawah ladang ” (Q.S. Al Imron,
3;14)
☺⧫ ❑⬧◆
⧫ ⧫✓⬧◆
❑❑⧫ →⧫◆
◆⧫⬧➔
⧫ ◆ ◆ ⬧
”Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya), Maha
Mengetahui”. (Q.S An Nur:32).
Anjuran Rasul saw untuk menikahi calon istri karena empat hal, yaitu
karena kecantikannya, keturunannya, hartanya atau agamanya. Pilihlah yang
beragama (taat beragama), supaya selamat (bahagia) dirinya (H.R Mutafaq
alaih). Perhatikan perbedaan usia, kedudukan sosial, dan pendidikan calon istri.
”Barang siapa menikahi seorang wanita karena hartanya dan rupanya
yang cantik, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya.
Dan barangsiapa yang menikahi wanita karena agamanya, niscaya Allah
akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya”
(hadist)
d. Saksi
Menurut pendapat para ulama bahwa keberadaan saksi-saksi
dalam rangka mengikuti anjuran Nabi saw agar pernikahan
disebar-luaskan.
Syarat saksi:
1. dua orang laki-laki, atau satu oarng laki-laki dan dua orang
wanita.
2. muslim
3. baligh
4. berakal
5. mendengar dan mengerti maksud nikah
Studi Kasus
Banyak kita temukan orang Islam yang memiliki pengetahuan tentang
Islam dengan baik. Berasal dari keluarga yang taat kepada agama, bahkan
sudah bergelar haji. Orang tua merupakan figure masyarakat di tempat
tinggalnya.
Tiba saatnya keluarga ini diamanahkan pada jabatan yang sering orang
sebut jabatan basah karena banyak proyeknya. Proyek mempunyai konsekuensi
pada dana dan anggaran. Pada jabatan pemerintahan yang didukung dana atau
anggaran banyak itulah orang tersebut menyalahgunakan jabatannya dengan
memanifulasi pembiayaan proyek untuk kepentingan pribadinya; hidup berfoya-
foya. Sang anak yang sepantasnya memberikan dukungan moril agar bapaknya
menjalankan amanah dengan baik, sebaliknya selalu memaksakan kehendaknya
agar selalu terpenuhi. Ia tidak lagi memikirkan kondisi bapak dan keluarga. Sang
anak tidak menyadari bahwa perilaku ini dapat mempengaruhi orang tuanya
untuk berbuat di luar aturan, alias korupsi. Anak-anaknya dibiarkan hidup dengan
serba materi. Sehingga kondisi keluarga seakan hidup “terlantar” karena tidak
ada komunikasi. Istri dan anak memiliki kesibukan masing-masing.
BAB 6
Baca ! demikian bunyi perintah Allah pada ayat pertama surah Al Alaq.
Sebuah perintah yang mengandung nilai-nilai unversal bagi kemajuan peradaban
manusia. Dengan ”membaca” manusia dapat mengaktifikasi kecerdasannya.
Sehingga manusia menemukan identitas pribadi sebagai mahluk berakal.
Sebagai agama fitrah, Islam paham betul bahwa derajat kemulian manusia
adalah ketika mereka mempelajari ilmu pengetahuan dalam upaya
pengembangan pribadi yang bermanfaat.
Yang menarik adalah bagi bahwa pada wahyu pertama itu tidak
menjelaskan apa yang harus dibaca. Menurut Quraish Shihab hal tersebut bisa
dipahami karena Al Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja, selama
bacaan tersebut bismi robbika, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqro
berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam,
tanda-tanda zaman. Alhasil objek perintah iqro mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya. Selanjutnya, dari wahyu pertama Al Qur’an diperoleh isyarat
bahwa agama Islam sangat peduli terhadap cara perolehan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dalam rangka menjaga peradaban manusia.
Manusia, menurut Al Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan
mengembangkan pengetahuannya dengan izin Allah. Karena itu bertebaran ayat
yang memerintahkan manusia untuk menempuh berbagai cara untuk
mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al Qur’an menunjukkan betapa tinggi
kedudukan orang yang berpengetahuan ”Allah meninggikan derajat orang-orang
yang beriman dari kalian, dan orang-orang yang diberi ilmu”.
Manusia diciptakan dari substansi serupa gumpalan darah telah
dianugerahi Allah dengan kemampuan analisis untuk mengurai rahasia-rahasia
dibalik fenomena alami. Kompilasi ilmu pengetahuan manusia kemudian
didokumentasikan dan disebarkan dalam bentuk tulisan yang disimbolkan
dengan pena. Pembacaan ayat kauniyah ini melahirkan sains (ilmu
pengetahuan); ada Astronomi, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geologi dan
sebagainya.
Dari segi esensinya, semua sains sudah Islami, sepenuhnya tunduk pada
hukum Allah. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan adalah hukum-hukum
alam yang tunduk pada Sunatullah. Pembuktian teori-teori yang dikembangkan
dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusiawi. Secara
sederhana, sering dikatakan dalam sains kesalahan adalah lumrah karena
keterbatasan daya analisis manusia, tetapi kebohongan adalah bencana.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru yang sering
disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan
dengan prinsip Tauhid. Padahal itu hukum Allah ayng dirumuskan manusia,
bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dan ketiadaan tidak bisa
dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud lain. Hanya Allah
yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah sangat Islami?
Pandangan di atas hanya ingin menegaskan bahwa semua proses alam
di dunia mengikuti Sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tidak
mungkin terwujud. Islamisasi ilmu pengetahuan tidak tepat. Menjadikan ayat-ayat
Al Qur’an sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk Islamisasi
ilmu pengetahuan/sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang
digunakan semestinya dapat diterima semua pihak, tanpa memandang sistem
nilai yang dianutnya. Tidak ada dichotomi (pemisahan) antara sains Islami dan
sains non-Islami. Hal yang tepat adalah pemisahan identitas subjek ilmuwannya
sebagai saintis Islam dan saintis non Islam. Memang tidak mudah mendudukan
perkara tersebut tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin
dalam pemaparan yang populer atau semi ilmiah.
”Bacalah dengan nama Tuhahmu yangmenciptkan”, maka riset saintis
Islami berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta
hanya karenaNya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan yang
menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukuri dengan
ungkapan ” Rabbana ma kholaqta haadza baathilaa, Tuhan kami tidak-lah
engkau ciptakan semua itu sia-sia”. (Q.S Al Maidah, 3:191). Bukan ungkapan
berbangga diri.
Sebagai agama paripurna, Islam secara lengkap menginformasikan
kepada umat manusia untuk memiliki empat ciri agar mencapai tingkat kategori
ulul albab (cendikia) :
”Sesunguhnya dalam penciptaan langit dan bumi (segala fenomena alam) dan
pergantian alam dan siang (segala proses), terdapat tanda-tanda bagi para cendikia,
yaitu:
1. mereka yang senantiasa memikirkan Allah sambil beridiri, duduk, maupun
berbaring (dalam segala aktifitasnya)
2. dan selalu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (tidak berhenti
menelaah) fenomena alam.
3. (bila dijumpainya suatu kekaguman mereka berkata) ”Tuhan kami tiadalah
Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau).”
4. (dan dengan kesadaran bahwa pengembaraan intelektual mungkin sesaat,
mereka senantiasa memohon kepada Allah) ”Dan jauhkan kami dari siksa api
neraka”.
2. Ilmu Fisika
Dalam bidang ilmu fisika dikenal nama Al Hasan Ibn Haytsam (965-1039).
Beliau adalah kelahiran Irak. Pengaruhnya dalam bidang ilmu alam teoritis
menyamai pengaruh Isac Newton dalam ilmu Mekanika. Keahliannya itu
menyebabkan orang-orang menyebutnya sebagai ”Al Muhandis” (insyinyur).
Beliau-lah yang merencanakan pembangunan bendungan yang tinggi (saddu al-
a’ly’) di Aswan (sungai Nil) dan kubah Universitas Al Azhar Kairo. Beliau sangat
produktif dalam menulis. Karangan beliau berjumlah 200 buku, 47 judul
diantaranya tentang Matematika dan Fisika dan 58 judul tenatng Ilmu Tehnik,
sedangkan selebihnya terdiri dari bermcam-macam ilmu pengetahuan.
Dari sekian banyak tulisannya itu, yang paling terkenal dan
melambungkan namanya adalah ”Al Manadhir” dalam bidang ”optika”. Buku yang
berisi tentang penolakan terhadap teori-teori Pythagoras, Arsitoteles, Euclides,
Anphadicles dan Ptolemeus ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
Frederick Reysnar pada tahun 1572 dengan judul ”Opticae Thesaurus”.
Sebelumnya menurut Euclides bahwa ”penglihatan terjadi karena mata kita
memancarkan cahaya dan cahaya itu menganai benda, maka terlihatlah benda
itu”. Teori ini dibantah oleh Ibn Al Hiytsam yang menyatakan bahwa ” benda lah
yang memancarkan cahaya ” atau dengan kata lain ”penglihatan merupakan
hasil pengiriman cahaya yang memantul, kemudian cahaya itu kembali ke mata
sehingga mata dapat melihat benda itu”.
Beliau juga telah meletakkan percobaan berulangkali dengan cermin
cembung dan datar. Dengan cermin itu, beliau dapat memilah cahaya ketika
cahaya itu sampai pada benda pipih untuk memperkirakan ketinggian benda itu
dari tanah. Percobaan itu hampir pada penyingkapan prinsip-prinsip kerja
mikroskop.
3. Ilmu Kimia
a. Jabir ibn Hayyan (760-850)
Beliau sangat rajin beribadah dan melakukan penelitian-penelitian. Di
ruang laboratoriumnya teretak ruang khusus untuk sholat. Di dalam ruangan
laboratoriumnya itu terdapat beberapa alat percobaan seperti tungku untuk
memanaskan logam, timbangan dan sebagainya.
Beliau banyak menulis buku di bidang Kimia secara mendetail, bahkan
ada salah satu bukunya yang terdiri atas 500 bab. Dalam salah satu bukunya
yang berjudul ” Al Ma’rifah fi shifat al Illahiyyah wa al Hikmah wa al Falsafah”
beliau menulis tentang sifat-sifat persenyawaan beberapa zat kimia. Salah satu
kesimpulan hasil percobaannya ialah uangkapan beliau ”Bila air raksa (merkuri)
dan belerang (sulfur) bersenyawa, maka masing-masing unsur akan tetap ada, ia
akan tetap terbagi menjadi unsur-unsur yang sangat halus hingga tidak dapat
dilihat. Yang kelihatan adalah benda yang dihasilkannya. Dan hasil
persenyawaan ini apabila dianalisis akan memilki jumlah dan kualitas yang sama
dengan sebelumnya”.
Apa yang dikemukan Ibn Hayyan ini seribu tahun berikutnya baru
dikemukakan oleh ahli kimia Prancis, Lavoiser (1748-1794) dengan Hukum
Ketetapan Massa. Hukum ini berbunyi ” Jumlah bobot zat yang berreaksi
memiliki massa yang tetap”. Masih banyak hasil percobaan laboralatorium dan
tehnik pembuatan logam dilakukan oleh Ibn Hayyan, seperti bagaimana cara
membuat baja, karbon, timah, belerang, air raksa, nitrogen dan emas dari bahan-
bahan bakunya. Seorang ahli Sejarah Inggris, Sarton, menyebut Ibn Hayyan
sebagai guru Kimia bangsa Eropa, kemashurannya dalam Ilmu Kimia sama
seperti kebesaran Plato dalam filsafat.
4. Kedokteran
a. Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria Al Razi
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al Razi lahir di Ray, suatu kota di dekat
Taheran tahun 863 M, dan wafat pada tahun 925 M. Di dunia Barat dikenal
dengan sebutan Rhazes. Tulisan-tulisannya yang terkenal berbicara tentang
penyakit Cacar dan Campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan di
tahun 1866 masih dicetak untuk ke-empatpuluhnya. Beliau menyusun
ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang bernama Al Hawi (comprhensive
Book) tersusun dari 20 jilid, mengandung ilmu-ilmu kedokteran Yunani, Siria, dan
Arab. Di tahun 1279 Ensiklopdedia ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
seorang Yahudi di Sisilia bernama Faraj ibn Salim, semenjak 1486 M,
Ensiklopedia ini berkali-kali dicetak dan dipakai di Eropa sampai abad XVII M.
Menurut Abu Qosim Sa’id ibn Ahmad Al Andalusi dalam karyanya Tabaqot Al
Umam bahwa Al Razi merupakan dokter umat Islam tiada tandingannya.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, Al Razi
dekat dengan filsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia
sebenarnya ialah ketika kembali kepada Tuhannya dengan meninggalkan alam
materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, roh harus terlebih dahulu disucikan. Dengan
ilmu pengetahuan yang bersumber dari Tuhan serta berpantang mengerjakan
segala larangan agama, roh dapat menemukan kesuciannya (fitrah). Beliau
menganjurkan hidup moderat, untuk tidak hidup secara bersenang-senang,
sebaliknya juga tidak terlalu hidup zahid (mengabaikan dunia). Beliau adalah
figur yang berani mengemukakan pendapat-pendapatnya sungguhpun
bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam pada umumnya.
C. Al Biruni
Nama lengkapnya adalah Abu Raihan Al Biruni. Al Biruni merupakan
matematikawan Persia, Astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia,
pengembara, sejarawan, ahli farmasi dan guru yang banyak menyumbang
kepada bidang matematika, filsafat dan obat-obatan. Al Biruni dilahirkan di
Khawarazm di Asia Tengah yang pada masa itu terletak dalam kekaisaran
Persia. Al biruni adalah sahabat Ibn Sina. Dalam bidang bahasa, Al Biruni
mengetahui bahasa Yunani, Suriah dan bahasa Berber. Dia menulis dalam
bahasa Persia dan Arab. Ketika berusia 17 tahun, dia meneliti garis lintang bagi
Kath, Khawarizm dengan menggunakan altitude maksima matahari. Ketika
berusia 22 tahun, beliau menulis beberapa hasil kerja ringkas termasuk kajian
proyeksi peta Kartografi yang termasuk metodologi untuk membuat proyeksi
belahan bumi pada bidang datar. Ketika berusia 27 tahun, beliau menulis buku
berjudul Kronologi yang merujuk kepada hasil kerja lain yang dihasilkan oleh
beliau (sekarang tiada lagi) termasuk buku tentang astrolab, sebuah buku
tantang sistem desimal, 4 buku tentang pengkajian bintang, 2 buku tentang
sejarah. Beliau menghasilkan 120 buku. Sumbangannya kepada ilmu
matematika adalah:
• Aritmatika teoritis dan praktis
• Penjumlahan seri
• Analisis kombinatorial
• Kaidah angka 3
• Bilangan irasional
• Teori perbandingan
• Definisi al jabar
• Metode pemecahan penjumlahan aljabar
• Geometri
• Teorema Archimedes
Toleransi Agama
Pengertian Toleransi
Wahai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, lalu
Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar saling kenal mengenal
(Q.S AHujurat:13)
Di surat lain Allah menegaskan prinsip yang harus dipegang teguh oleh
seorang muslim, dalam berhubungan dengan orang berlainan agama dengan
mengucapkan kata... untuk kamu amal (ibadah) kamu dan untuk kami amal dan
(ibadah) kami. Tidak ada pertengkaran antara kami dengan kamu. (Q.S 42:15).
Dari kutipan diatas sangat jelas prinsip Islam dalam masalah toleransi
agama. Islam tidak mengenal toleransi akidah. Ini berarti bahwa umat Islam tidak
dibenarkan beribadah selain kepada Allah dan melaksanakan peribadatan itu
menurut cara-cara yang ditentukan dalam agama lain. Penganut agama lain pun
tidak dibenarkan melaksanakan ibadah agamanya menurut ketentuan yang
ditetapkan oleh agama Islam. Toleransi melaksanakan ibadah bersama dengan
pemeluk agama lain tidak dibenarkan oleh agama Islam, karena hal itu akan
merusak kemurniaan kisah masing-masing agama itu. Toleransi agama menurut
agama Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan agama lain beribadat
menurut ketentuan agama yang diyakininya. Isi surat Al Kafirun tersebut di atas
dengan jelas menunjuk prinsip itu. Latar belakang ayat tersebut adalah sebagai
berikut:
”Ketika agama Islam makin dipeluk oleh penduduk makkah, orang Quraish yang
belum beriman kepada agama yang dibawa oleh Rasulullah saw, mendatangi
Rasululah, mereka adalah Walid bin Mughiroh, Al Ashi bin Wail, Aswad bin
Muthalib dan Umayah bin Khalaf, menawarkan toleransi agama. Bentuknya
adalah agar di selenggarakan ibadah bersama ”sembahlah apa yang kami
sembah dan kami pun akan menyembah apa yang kamu sembah, marilah kita
bekerjasama di dalam seluruh persoalan kita”. Mereka berkeinginan bahwa di
tahun pertama Nabi Muhammad ikut serta beribadat dengan orang-orang
Quraisy menurut tata cara menyembah berhala (Tuhan) mereka dan tahun
berikutnya orang-orang Quraisy akan ikut bersama Nabi Muhammad saw
menyembah Allah, menurut agama Islam. ”Allah memerintahkan Nabi menolak
tawaran itu dengan menurunkan surah Al Kafirun”.
Dari isi surat Al Kafirun jelas bahwa mengenai akidah dan pelaksanaan
ibadah tidak ada toleransi, masing-masing penganut agama melaksanakan
ibadahnya menurut ajaran agamanya masing-masing.
Menurut ajaran Islam, ibadah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh setiap muslim untuk dan karena Allah semata-mata dengan cara-cara yang
telah ditentukan secara pasti. Setiap muslim akan mempertanggung-jawabkan
pelaksanaan ibadahnya kelak kepada dan dihadapan Allah.
Dari kandungan surah Al Kafirun itu, para ahli telah mencoba menarik beberapa
garis hukum. Di antaranya adalah:
1. Tidak seorang pun boleh dipaksakan untuk memeluk agama lain dan atau
meninggalkan ajaran agamanya, dan
2. Setiap orang berhak untuk beribadat menurut ketentuan agamanya
masing-masing.
Dalam hubungan itu perlu dikemukakan bahwa menganut ajaran agama
adalah masalah keyakinan. Dan keyakinan itu tidak boleh dipaksakan agar
dianut seseorang. Menurut ajaran Islam, dalam menganut suatu keyakinan
agama orang harus bebas dari paksaan, sebab dengan paksaan itu tidak
mungkin seseorang akan menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya itu
dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa masalah agama
adalah soal kebenaran. Di dalam Al Qur’an telah dijelaskan, sebagaimana yang
telah dikemukakan pada kutipan surat Al Qur’an di atas, mana jalan yang benar
dan mana jalan salah. Orang tidak boleh ragu mengikuti jalan itu. Keyakinan
akan kebenaran ajaran sesuatu agama yang dipeluk adalah motor yang
menggerakkan manusia untuk mengamalkan ajaran agama itu sebaik-baiknya.
Menurut ajaran agama Islam, kaum muslimin yang teraniaya karena
paksaan, baik halus apalagi yang kasar, berkewajiban berbuat sesuatu untuk
mempertahankan kemurnian akidah atau keyakinan agamanya. Dasar untuk
berbuat demikian, disebut di dalam Al Qur’an surah Al Hajj (22) ayat 39 dan 40,
yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut:
❑➔⧫⬧ ⧫ ⧫
◆ ❑☺→
⬧⬧ ⧫ ◼⧫
❑ ⧫
⧫ ⧫
❑⬧◆ ◆ ❑❑→⧫
➔⧫
◆❑ ⧫⚫ ➔⧫
⧫◆ ◆❑◼◆ ◆◆
◼⧫ ⧫ ◆◆⬧◆
⧫ ❑⬧⬧
Bagian akhir dari ayat itu adalah keyakinan yang mendasar tentang
akidah yang harus dipertahankan seseorang. Untuk itu ajaran Islam
membenarkan orang itu berjuang bahkan berperang untuk menegakkan dan
mempertahankan keyakinannya itu.
Di dalam hal-hal yang berkenaan dengan kebaikan hidup bersama di
dunia ini, Islam menganjurkan para pemeluknya untuk mengadakan toleransi
sosial.
4. Tindak- lanjut
a. pemerintah perlu mengatur penyiaran agama
b. penyiaran dilandaskan saling menghargai, hormat-menghormati,
penghormatan hak seseorang memeluk agamanya.
c. Perlu sikap terbuka.
d. Bantuan luar negeri agar bermanfaat selaras dengan fungsi dan tujuan
bantuan.