Anda di halaman 1dari 252

ISLAMOLOGI

TINGKAT PERGURUAN
TINGGI

Sazili,S.Ag.,M.Si

azzamedia
ISLAMOLOGI TINGKAT PERGURUAN TINGGI
Copyright @sazili_universitas nasional Jakarta

Penulis : Sazili, S.Ag.,M.Si.


Cover & Layout : Satucahayapro
Percetakan : Kreasi Permaisindo
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit : Azza Media

Haka cipta dilindungi undang-undang


All rights Reserved
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini
dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan I : September 2014


ISBN : 978-602-19116-6-2

Penerbit Azza Media


Ruko Mega Mall Ciputat Blok C9
Ciputat Tangerang Selatan
Telp.: 021-7497688
KATA SAMBUTAN DARI
REKTOR UNIVERSITAS NASIONAL

Bismilahirrohmanirrohim

Dengan mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah


SWT, kami menyambut gembira diterbitkannya buku teks Pendidikan
Agama Islam bagi mahasiswa dengan judul Islamologi di Perguruan
Tinggi. Sebuah buku panduan pokok dalam mengikuti mata kuliah
Pendidikan Agama Islam.
Kehadiran buku ini diharapkan mampu menjadi oase bagi mereka
yang dahaga atas pengetahuan dan wawasan intelektualitas ke-Islaman.
Meski awalnya merupakan buku diktat kuliah bagi mahasiwa, namun
melihat sajian materi pembahasan yang dituangkan oleh saudara Sazili
begitu komprehensif, karya ini layak dikonsumsi oleh seluruh lapisan
masyarakat, baik kalangan akademisi maupun non akademisi.
Atas nama Rektor Universitas Nasional tentu kami mengucapkan rasa
terima kasih kepada saudara Sazili yang telah berkontribusi secara positif
dalam upaya pengembangan proses belajar dan mengajar di lingkungan
Universitas Nasional.
Kami yakin karya ini mampu menggairahkan para mahasiswa untuk
kembali memahami dan mempelajari ajaran-ajaran Islam secara baik dan
benar, serta mengamalkan nilai-nilai ke-Islaman dalam aktifitas hidup dan
kehidupan bermasyarakat. Di samping itu, sebagai karya ilmiah yang
berbasis studi kepustakaan tentunya karya ini diharapkan akan memotivasi
kepada para dosen untuk selalu “berfastabiqul khoirot” pada bidang
penelitian-penelitian lanjutan sesuai disiplin ilmu yang ditekuninya.
Jakarta, September 2014

Drs. H. El Amry Barmawi Putera, MA


KATA PENGANTAR

Bismilahirrohmanirrohim
Dengan mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT
penulis dapat menyelesaikan buku ajar Pendidikan Agama Islam dengan judul
Islamologi di Perguruan Tinggi.
Pemilihan judul Islamologi dilatarbelakangi oleh kekuatan cahaya ilmu dalam
agama Islam yang dapat dipelajari oleh seluruh lapisan masyarakat, baik
kalangan muslim maupun non muslim. Hanya saja Islam memberikan tuntunan
kepada mereka yang akan memperlajari ilmu Islam sebaiknya dinaungi oleh
seorang pembimbing (guru).
Buku ini utamanya merupakan buku teks pegangan bagi para mahasiswa
yang mengikuti kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Nasional, yang
ditulis berdasar rencana pembelajaran dikelas dengan dukungan referensi yang
shahih. Namun tidak menutup kemungkinan karya ini akan dikonsumsi oleh para
insan yang “sedang mencari” agama Islam di era globalisasi sekarang.
Penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
mensukseskan terbitnya buku ini. Awalnya kepada Pimpinan Penerbit Kreasi
Permaisindo dan Rektor Universitas Nasional. Kepada para dosen Agama Islam
Hj. Nina Khairina, Lc., Hj. Drs. Wirdawati, M.Si., Ummu Salamah, M.Ag., H.
Qosim Arsyadani, M.Ag., Husna., M.Ag., dan spesialnya tentunya kepada
keluarga, wa bilkhusus kepada orang tua tercinta semoga Allah selalu merahmati
kehidupan mereka di alam barzakh. amien
Penulis berharap buku ini dapat diminati oleh para mahasiswa sesuai
dengan fungsinya buku teks mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Akhirnya penulis mengajak kepada semua pihak para pembaca untuk
memperbaiki dan menyempurnakan buku ini sekiranya terdapat kekurangan dan
kekhilafan di dalamnya. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya
kepada kita semua. Amien ya Mujibassailin.
DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN iii

Rektor Universitas Nasional

KATA PENGANTAR v

Bab I
KETUHANAN DALAM ISLAM, 1
Pengertian Tuhan, 1
Tuhan Dalam Pandangan Islam, 8
Pembuktian Wujud Tuhan 12
Keimanan Sebagai Pengakuan kehadiran Tuhan, 18
Proses Terbentuknya Iman, 29
Tanda-Tanda Orang Beriman, 33
Implementasi Iman Dalam Menjawab Problematika Kehidupan Modern, 35
Studi kasus, 42

Bab II

MANUSIA DALAM PANDANGAN AL QUR’AN, 45

Keberadaan Manusia, 45
Penyebutan Manusia, 48
Potensi Manusia: Fitrah, Potensi Akal, Qalbu dan Nafs, 54
Karakter manusia, 66
Misi dan Fungsi Manusia, 69
Tanggung Jawab Sebagai Khalifah Allah, 70
Studi Kasus, 75
Bab III
HUKUM ISLAM DANSUMBER HUKUM ISLAM, 77
Pengertian hukum Islam, 77
Sumber Hukum Islam, 80
Al Qur’an , 81
Mukjizat Al Qur’an, 86
Sunnah, 93
Otoritas Sunnah Sebagai Sumber Hukum, 98
Ijtihad, 100
Studi Kasus, 106

Bab IV

ETIKA MORAL DAN AKHLAK, 107


Pengertian Akhlak,, 107
Manusia Berakhlak 114
Akhlak dan aktualisasinya dalam Kehidupan, 116
Hubungan Akhlak dengan Tasauf 118
Studi Kasus, 122
Bab V

SYARIAH ISLAM : IBADAH DAN MUAMALAH 123

Pengertian Syariah, 123


Konsep Ibadah, 125
Wudhu, 127
Kedudukan Sholat dan makna Sholat dalam Kehidupan, 133
Makna Simbolik dibalik Perintah Sholat, 138
Sholat sebagai Media Komunikasi, 143
Zakat, 151
Hubungan Antara Zakat, Infaq dan Shodaqoh, 155
Zakat dan Pajak, 163
Puasa, 165
Muamalah, 171
Pernikahan , 175
Studi Kasus 189

BAB VI

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN 191

Kedudukan Akal dan Wahyu Dalam Islam, 191


Islam dan Ilmu Pengetahuan, 195
Sekilas Potret Kontribusi Santis Muslim Klasik, 199
Kewajiban Menuntut Ilmu, 207

Bab VII

TOLERANSI AGAMA 213

pengertian Toleransi, 213


Toleransi Sosial DAN Toleransi Agama, 220
Realitas Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia, 225
Makna Jihad dan Implikasinya terhadap Kehidupan
Masyarakat Indonesia, 233
Bab 1
⬧ ▪⬧☺  
◆❑ ⧫◆ ◼⧫
 ◆◼ →➔➔⧫◆
 ⬧    ⬧ 
 ⬧

“Bukankah Dia(Allah) yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam


kesulitan apabila dia berdo’a kepadaNya, dan menghilangkan kesusahan
dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi?
Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat
Allah) yang kamu ingat”. (Q. S An Naml. 27:62)

KETUHANAN DALAM ISLAM

Pengertian Tuhan
Manusia senantiasa mencari siapa penguasa tertingi (ultimate reality) di
alam ini. Penguasa tertinggi itu kemudian disebutlah Tuhan. Dalam bahasa lain
istilah tuhan disebut ilah, god, hyang, ely, dan sebagainya. Orang komunis,
dengan menggunakan pendekatan dialektika material sampai kepada
kesimpulan bahwa tuhan itu tidak ada. Bukan hanya komunis,banyak lagi orang
di luar itu yang tidak bertuhan (atheis). Akan tetapi Al-Qur’an menegaskan
bahwa semua manusia pasti bertuhan mustahil tidak, paling tidak, ia bertuhan
kepada hawa nafsunya.
Secara bahasa, Ilah (bahasa Arab), Tuhan (Bahasa Indonesia) sinonim
dengan kata God, The Lord God, Almighty God, Deity (bahasa Inggris), Got
(Belanda), Golt (Jerman), Gudd (Swedia, Norwegia), Allon (Phoenicians), Ado
(Canaanites), Adonai, Yahuwa, Elohim, Ekah, Eli (Yahudi)

Secara istilah Tuhan adalah segala sesuatu yang paling dicintai.


Apabila seseoranjg lebih mencintai mobil barunya daripada segalanya maka
mobil itu menjadi Tuhan baginya. Apabila jabatan lebih dicintai melebihi
segalanya maka jabatan itu adalah tuhannya. Dengan demikian ada orang yang
menuhankan harta, tahta, wanita, dan sebagainya. Kecenderungan manusia
mencintai tuhan yang berwujud material lebih dikarenakan kekuatan hawa nafsu.
Hawa nafsu menjadi tuhan yang begitu akrab dapat kehidupan. Allah
menegaskan :

⬧ ⧫ ◆⧫⬧


◆ ◆❑ ⬧
◼⧫ ⧫⬧◆  ◼⧫ 
➔◆ ⬧◆ ➔
☺⬧ ◆❑⧫ ◼⧫ ◼⧫
⬧   ➔⧫  ◆
 ⧫⬧
”Maka pernahkah kamu melihat orang menjadikan hawa nafsunya sebagai (Illah) Tuhannya
dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mata
pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang
akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Al Jatsiah 45:23)

Sehubungan dengan pemilihan kata Ilah (Tuhan) pada Surah Al An’am


seputar kisah Ibrahim as, yang diterjemahkan dengan Tuhan, dalam Al Quran
dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan
manusia. Hal ini ditemukan pada Surah Al Jatsiyah diatas.

Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat
berdasarkan penjelasan Al Qur’an adalah sebagai berikut: ”Tuhan(Ilah) ialah
sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya di kuasai olehNya”. Perkataan dipentingkan
hendaknya diartikan secara luas, tercakup didalamnya yang dipuja, dicintai,
diagungkan, diharapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan,
dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.
Di dalam Al-Qur’an tuhan itu adalah Allah SWT, Dia hanya satu, satu
dalam segala hal. Itulah sikap Tauhid (mengesakan tuhan). Selanjutnya Tauhid
dibagi dua, yakni Tauhid Rubbubiyah, dan Uluhiyah. Sikap Tauhid ini merupakan
fondasi beragama dan menjadi dasar nilai dalam semua aktivitas manusia, baik
ibadah (hubungan vertical) maupun mu’amalah (hubungan horizontal). Apabila
tauhid kokoh maka syirik (umumnya dimaknai sikap menduakan tuhan dengan
ciptaaNya) akan lenyap, sebaliknya kemunculan syirik mengindikasikan
lemahnya Tauhid.

Manusia selalu akan menyerahkan dirinya untuk dikuasainya oleh Tuhan


(Ilah), meski Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia.
Artinya pada konteks ini manusia tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Pandangan
tersebut merupakan suatu argumentasi mendasar bahwa keberadaan mereka
yang berpaham Atheis (tidak ber-Tuhan), tentu patut untuk dipertanyakan. Hanya
berdasarkan penegasan Al Quran tersebut, bahwa setiap manusia pasti ada
sesuatu yang diper-Tuhankan, Tuhan yang dipersonifikasikan dalam bentuk
sesuatu yang bersifat material, bisa berbentuk harta, keturunan, pemikiran dan
sebagainya.Dalam pandangan Al-Qur'an, tidak ada manusia pun yang atheis
(tidak bertuhan). semua manusia pasti bertuhan, hanya saja ada manusia yang
mengingkari Allah lantas bertuhan kepada hawa nafsunya. Ini disebut Mulhid
bukan atheis.

 ⧫⬧   ◼⬧


⧫◆ 
⧫✓⬧☺◆ ⬧
◆  ⬧☺◆
⧫⬧⧫ ◼➔⧫
 ◆❑⧫◆
”Maka ketahuilah tiada tuhan (yang patut disembah) selain Allah,dan mohon
ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggal mu” (Q. S
Muhammad,47:19).
Konsep Tuhan dalam Islam adalah kalimat Tauhid ”La ilaha ilallah”. (Tiada
Tuhan selain Allah SWT). Kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yakni
Tiada Tuhan, kemudian baru diikuti dengan penegasan melainkan Allah. ”Maka
ketahuilah tiada tuhan (yang patut disembah) selain Allah” (Q. S Muhammad,
47:19). Hal ini mengindikasikan bahwa konsep Islam tentang Tuhan sangat
sempurna. Kesempurnaan itu dapat dipahami dari realitas hidup manusia yang
akan ”mencari” dan ”bertemu” Tuhan hingga menuju puncak keyakinannya
pada Tuhan Yang Hakiki, Allah SWT. Perlu ditegaskan bahwa memang
keyakinan manusia atas keberadaan Allah SWT, tidak sekedar upaya intelektual
dan bathiniyah semata manusia, melainkan lebih kepada anugerah Hidayah
(petunjuk). Manusia perlu menjemput hidayah dengan kekuatan potensi
basyariah ( hatinurani ) yang dimilikinya. Upaya tersebut merupakan bentuk
mujahadah (kesungguhan) yang merupakan kesadaran bathiniah yang akan
menghantarkan pada titik kedewasaan dalam beragama nantinya.

◆❑⬧  ◆ ⧫◆


◼⬧  ⧫◆  ⧫☺
 ◆◆ ⚫ 
⧫❑⧫ ➔→⧫◆  
❑ ◼⧫ ☺◆
 ⧫☺◆ ☺◆ ☺
☺→  ➔ ◆
➔ ⧫ ⧫
”dan Barangsiapa yang ditunjuki Allah, Dialah yang mendapat petunjuk dan
Barangsiapa yang Dia sesatkan Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat
penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. dan Kami akan mengumpulkan
mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam Keadaan buta, bisu
dan pekak. tempat kediaman mereka adalah neraka Jahannam. tiap-tiap kali
nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya”
(Q.S Al Isro, 17:97)

Hubungan Manusia Dengan Tuhan


Mungkinkah manusia hidup tanpa Tuhan? Demikian mungkin pertanyaan
yang dapat diajukan. Manusia adalah mahluk yang ditercipta, tentu bersandar
pada yang menciptakan. Bahwa kesadaran tertinggi manusia adalah ketika
manusia itu mengenal siapa pelaku sejati alam semesta ini. Tentunya, sebagai
mahluk yang berpikir manusia akan mencari tahu misteri dibalik kejadian yang
dialaminya. Artinya dapat dipahami bahwa pemikiran (konsep) tentang Tuhan
akan selalu ada sepanjang perjalanan hidup manusia. Konsep ketuhanan
merupakan buah hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriyah maupun
batiniah, baik bersifat penelitian rasional maupun pengalaman bathin.
Sebagai mahluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari bahwa
dirinya dihadapkan dengan problem hidup dan kehidupan, yang mengganggu
kejiwaannya. Oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya
mengatasi problem itu. Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang
irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah. Secara
alamiah manusia merindukan kehidupan yang tenang dan sehat, baik jasmani
maupun rohani, kesehatan yang bukan saja menyangkut badan, tetapi juga
kesehatan mental. Kesehatan jasmani dan rohani merupakan cita-cita setiap
manusia. Upaya mencapai kesehatan tersebut dapat dicapai dengan adanya
hubungan vertical terhadap Kekuatan Yang Maha Segalanya, Tuhan. Inilah
gambaran psikologis manusia sebagai mahluk yang diciptakan, adanya
kebutuhan terhadap dimensi spiritual.
Akal manusia yang sempurna senantiasa menuntut kepuasan berpikir.
Oleh karena itu pencarian manusia terhadap kebenaran Yang Maha Mutlak tidak
pernah berakhir. Keterbatasan akal seakan tak mampu menjawab sekian banyak
problematika kehidupan serta dibalik rahasia-rahasia fenomena alam. Sebagai
mahluk yang terpilih, manusia berbeda dengan binatang. Perbedaan yang
mendasar adalah bahwa manusia selalu ingin tahu (rasa penasaran) tentang
kejadian-kejadian disekitarnya. Kekuatan akan rasa ingin tahu memicu manusia
untuk terus berjuang mencari dan mencari tentang sang Penyebab Awal
Kehidupan.
Pendapat bahwa kemunculan alam ini sebagai sebuah proses kebetulan
sangat tidak memuaskan hati manusia dari masa ke masa. Sekian banyak teori
yang berspekulusi tentang keberadaan alam tidak dapat menjawab tuntas
proses-proses kehidupan ini. Manusia dipaksa untuk tunduk dengan kepastian
Sang Aktor Sejati Penguasa tatanan kehidupan. Intelek manusia agaknya lebih
tentram ketika adanya suatu pengakuan kepasrahan terhadap keberadaan Sang
Penciptanya.
 ⧫◆ ◆
▪☺◆ ◆
→◼   ☺⬧◆
☺⬧ ◆ ▪☺
  ◆
◼ →  ⬧◼
 ➔⬧
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan
bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi bersujudlah kepda Allah
yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”. (Q.S Al
Fushilat, 41:37)

Sementara itu, secara biologis manusia memiliki kecenderungan untuk


selalu memenuhi kebutuhan jasmaninya. Bahkan kebutuhan dan keinginannya
seakan tidak ada habis-habisnya, padahal apa yang dibutuhkan itu tidak pernah
benar-benar dapat memuaskan (terbatas). Oleh karena itu selama manusia
masih memburu yang terbatas, maka tidak mungkin ia memperoleh kedamaian,
karena yang terbatas (dunia) tidak dapat memuaskan yang tidak terbatas
(keinginan biologis). Akan tetapi jika yang dikejar manusia itu Tuhan
(spiritualitas), Zat yang tidak terbatas kesempurnaannya, maka dahaganya akan
terpuaskan. Pada konteks ini dipahami upaya pemenuhan segala kebutuhan
manusia yang bersifat materi memposisikan manusia semakin kehilangan
identitasnya sebagai mahluk mulia. Sebaliknya pemenuhan kebutuhan
spiritualitas menggiring manusia pada kepuasan tak ternilai.
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa manusia mendambakan
kekuatan supranatural sebagai penyeimbang kehidupan manusia. Tuhan
sebagai pemilik utama kekuatan supranatural muncul dan terjadi di saat
manusia tidak mampu menggunakan akal untuk memenuhi segala kebutuhan
hidup dan kehidupan. Segala musibah alam yang menimpa manusia adalah
contoh nyata tentang adanya kekuatan lain sebagai pembuat scenario yang
bersifat absolute. Manusia dipaksa untuk mengakui tentang kelemahannya
dihadapan kemisteriusan fenomena alam yang unpredictable.
Daya pikir dan taffakur manusia terhadap fenomena alam semesta
memungkinkan untuk mencari Tuhan. Sementara adanya sikap apriori (ragu dan
tidak peduli) akan seruan Tuhan bukan menyangkut intelegensia dan
kecerdasan, tetapi berkaitan dengan hati yang tertutup dan tidak mau
menghayati realitas pada alam ciptaannya. Atau mungkin pada situasi tertentu
manusia mengingkari adanya Tuhan karena tidak mengetahui adanya Tuhan.
Mereka yang hidup di daerah pedalaman tertentu misalkan, yang hidupnya
terisolasi oleh alam sehingga sekarang masih hidup di zaman batu, dan sama
sekali belum pernah mendengar informasi tentang Tuhan, pengingkaran mereka
tersebut bisa jadi karena ketidak-tahuannya. Meskipun secara naluriah mereka
dapat mengenal Tuhan, tetapi karena lingkungannya tidak kondusif (aman)
dalam mengasah potensi fitrahnya, maka naluri keber-Tuhannya paling tinggi
berwujud dalam bentuk dinamisme, animisme, atau polytheisme, meski tidak
menutup kemungkinan sampai ke tingkat monotheisme.
⧫◆ ⬧◆   ⬧ ⧫
  ⬧  ➔⧫ 
⧫◼ ☺ ⬧  ⬧
 ➔⧫ ◼⧫ →➔⧫ ➔⬧◆
 ❑→⧫ ☺⧫  ⬧
” Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang
lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan
membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan
mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan
itu. (Q.S Al Mu’minun, 23:91)

Walhasil, pemikiran tentang Tuhan akan selalu menarik untuk dikaji.


Bahwa hasil pemikiran manusia akan Tuhan akan berbeda-beda, hal itu terjadi
bisa dipengaruh faktor internal lingkungan. Namun yang pasti adalah kehidupan
spiritual manusia telah terjalin dengan ikatan ke-Tuhanan sejak berada di alam
penciptaan, sehingga pemikiran akan Tuhan akan termanifestasi di alam
kehidupan nyata (realitas) manusia. Hubungan manusia dengan Tuhan adalah
hubungan kasih sayang, sehingga ada sebuah kerinduan mendalam ketika
jalinan tali kasih itu terberai. Adanya kerinduan untuk selalu dekat dengan Zat
Tuhan, meski jalannya berbeda-beda. Sejak awal penciptaan manusia hingga
perjalanan akhir manusia dapat dipastikan bahwa kebutuhan manusia akan
Tuhan merupakan kebutuhan tidak ternilai dengan materi apa pun.
   ⬧◆
 ➔ ◆

“Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat
pertolongan” (Q.S Yasin, 36:74)

Selanjutnya, catatan penting adalah bahwa selaku seorang muslim


tentunya kita perlu mendapatkan informasi akurat bagaimana agama Islam
sebagai agama yang lurus (hanif) menjabarkan pandangannya tentang Tuhan.
Agar kita tidak terjebak dalam pandangan yang bebas. Karena sebagaimana
telah diutarakan sebelumnya bahwa pengetahuan di seputar ketuhanan sangat
beragam. Bisa saja diantara kita memahami keberadaan Tuhan dalam simbol-
simbol logika yang sempit. Atau, Tuhan hanya digambarkan sebatas pemenuhan
kebutuhan nafsu semata.

Tuhan Dalam Pandangan Islam


Jika mempelajari kepercayaan umat manusia, maka akan ditemukan
hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam
semesta. Umumnya manusia mempercayai Allah sebagai Tuhan alam semesta,
namun pada saat yang bersamaan mereka juga mempercayai dan meyakini
Tuhan-Tuhan lainnya. Al Qur’an sebagai pedoman ajaran agama Islam
merupakan rujukan utama, datang untuk meluruskan kekeliruan yang merambah
ke masyarakat tentang penyimpangan seputar keyakinan manusia atas Allah.
Kata ”Allah” dalam Al Qur’an terulang sebanyak 2697 kali. Hal dapat dimaknai
keluasan Al Qur’an dalam mengarahkan umat manusia menuju pada penjelasan
Allah yang secara khusus lebih dikenal dengan pandangan tentang Tauhid (Ke-
Esaan Allah). Firman Allah:
 ◆ ⬧
  ⧫  
  ◼⧫  ⧫⬧⬧
⬧    ⬧
⬧◆ ⬧ 
⧫❑☺◼➔⧫   ◆⬧

”Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetapkan atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan
pada fitrah itu. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (Q.S 30:30)

Dalam pandangan Islam manusia diposisikan sebagai seorang hamba


(’abdun). Sebagai hamba, manusia memiliki karakteristik lemah, kecil dan
terbatas. Secara psikologis, setiap yang lemah membutuhkan perlindungan yang
lebih besar. Oleh karena itu, ketika manusia sebagai mahluk yang kecil dan
lemah berada dalam posisi terancam, tidak ada jalan keluar, maka dalam dirinya
muncul pengharapan akan datangnya Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Ketika
bayi menyadari berada dalam kesendirian, ia akan menangis ketakutan. Begitu
ibunya, atau ayahnya, atau orang dewasa lainnya hadir mendekat, ia merasa
terlindungi, merasa aman, dan berhenti menangis. Demikian juga remaja yang
sedang dalam kondisi gagah jika berkumpul sesama geng remajanya; ketika
tiba-tiba dalam posisi sendirian ditengah kepungan kelompok geng lawan,
secara psikologis, ia berharap datangnya “jagoan” yang dapat menyelamatkan
dirinya. Keadaan jiwa manusia itulah yang lebih dikenal dengan istilah fitrah
(kebutuhan suci). Kebutuhan suci manusia akan kehadiran Yang Maha Kuasa,
yang dapat melindungi, yang dapat dijadikan tempat mengadu, yang ditakuti, dan
yang dirindukan.
Pada hakikatnya jiwa manusia selalu mencari Dia (Tuhan) yang terbesar,
terhebat, terkuat, yang terkasihi. Hanya saja, disamping faktor hidayah Allah
SWT, kapasitas kejiwaan manusia dalam medan pencarian kepada Tuhan Yang
Maha Tinggi berbeda-beda. Al Quran melukiskan pengalaman spiritual menarik
seorang manusia pilihan yang kelak dikenal sebagai Bapak Monotheisme,
Ibrahim as. Pengalaman Nabi Ibrahim dalam menemukan keberadaan Tuhannya
merupakan penegasan adanya Fitrah Tauhid dalam diri manusia. Suatu potensi
suci yang dimiliki oleh manusia untuk mengenal tentang Sang Pencipta,Allah
SWT.
 ⧫ ⧫⬧ ◆ 
◆ ⬧ ◆◆
◆   ◆
 ✓ ◼  ⧫❑⬧◆
⧫ ✓ ◆
◆ ◆❑☺ ❑◼⧫
⧫✓❑☺  ⧫❑◆◆
◆◆  ◼⧫  ☺◼⬧
 ◼◆  ⧫⬧  ❑
  ⧫⬧ ⬧ ☺◼⬧
◆◆ ☺◼⬧  ✓
 ⧫⬧ ⧫ ⧫☺⬧
 ⬧ ⧫⬧ ⬧ ☺◼⬧  ◼◆
 ⬧❑→ ◼◆ ◆
 ⧫ ❑⬧
⧫ ▪☺ ◆◆ ☺◼⬧
 ◼◆  ⧫⬧
⧫⬧ ◼⬧ ☺◼⬧  ⧫
☺ ✓⧫  ❑⬧⧫
→▪◆   ⧫❑➔
⧫⬧⬧  ◆
◆ ◆❑☺
 ⧫ ⧫◆  
 ✓☺
“Dan (ingatlah) pada waktu Ibrahim berkata kepada Bapaknya, Aazar,
“Pantaslah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah. Sesungguhnya aku
melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(Kami yang terdapat) dilangit dan dibumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”

“Ketika (Tatkala malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang, ia pun berkata:
”Inilah Tuhanku. [Namun] ”Aku tidak suka kepada segala yang terbenam
[lenyap]”. Kemudian, takkala ia melihat bulan timbul, ia pun berkata: ”Inilah
Tuhanku. [Namun], setelah bulan itu terbenam, ia berkata: ”Sesungguhnya jika
Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-oang
yang sesat”.

Kemudian, takkala ia melihat matahari terbit, ia pun berkata: ”Inilah Tuhanku, ini
lebih besar”. Maka, takkala matahari terbenam, ia pun berkata:”Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian persekutukan.
Sesungguhnya, aku [hanya] menghadapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi yang cenderung kepada agama yang benar,
sedangkan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan)
(QS Al-An’âm [6]:74-79).

Pengalaman Nabi Ibrahim as diatas dalam pencarian Tuhan merupakan


sebuah pengalaman spiritual yang sangat mendalam. Tentu bukan sebuah
pengalaman yang memakan waktu satu hari, melainkan merupakan perjalanan
bathin yang membutuhkan perenungan waktu yang berlangsung lama.
Kemampuan seseorang menemukan kesimpulan dari perjalanan pencariannya
berbeda-beda, ada yang hanya membutuhkan waktu sebentar, ada yang lama,
dan bahkan ada yang seumur hidup pencariannya tetapi tak kunjung bertemu.
Kesimpulan akhir dari pencariannya pun ada yang benar, ada pula yang tersesat
karena keliru persepsi. Hal ini sudah barang tentu berhubungan dengan hidayah
Tuhan.

Tampaknya memang hubungan manusia dengan Tuhan sulit dimengerti


tanpa adanya berbagai misteri dan paradoks dalam penalaran manusia. Al
Qur’an sendiri menyuruh manusia untuk merenungkan kehebatan Tuhan dan
karya-karyaNya, tetapi ketika dipikirkan ternyata dihadapkan pada misteri dan
paradoks yang mengasyikan untuk direnungi sekaligus juga membingungkan.
Karena memang konsep Tauhid lebih kepada suatu keyakinan yang
menggunakan pendekatan mata hati, tidak dengan menggunakan pemikiran
rasional semata.

Doktrin Islam tentang ketuhanan secara eksplisit diajarkan melalui


RasulNya, Muhamad saw adalah Doktrin Tauhid Uluhiyyah, yaitu kepercayaan
dan sikap untuk mengesakan obyek pengabdian, yaitu Allah SWT serta
menafikan segala bentuk kebendaan duniawi. Oleh para mufassir, kata ”Allah”
disebut sebagai ism al jalalah, yaitu nama yang menunjukan kebesaran Tuhan.

Tuhan yang haq dalam konsep Al Quran adalah Allah SWT. Allah adalah
nama yang begitu agung untuk dibaca, indah dan sejuk untuk direnungkan.
Seluruh nabi membawa risalah ketauhidan Allah SWT hingga periode akhir
kenabian Muhammad SAW. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surah 3 (Al
Imron) ayat 64, surah 112 (Al Ikhlas) ayat 1-4, surah 47 (Muhammad) : 16.
Dalam Al Qur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan
kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw adalah Allah SWT. Perhatikan
antara lain surah 11 (Hud) : 84 dan surah 5 (Al Maidah) : 72.

⧫ ⧫ ➔


☺ ◼ ❑⬧➔⬧
◆⧫◆ ◆⧫ ◆❑
➔ ◆   ➔⧫ 
⧫ ◆  
⧫ ➔⧫ ◆→➔⧫
❑◆❑⬧ ⬧    
  ❑❑→⬧
 ❑☺
”Katakanlah (Muhammad), ”Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu
kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak
menyembah selain Allah, dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.
Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka) ”saksikanlah, bahwa
kami adalah orang Muslim.” (Q.S Al Imron, 3:64)

Pembuktian Wujud (Keberadaan) Tuhan


Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al Qur’an hampir tidak
ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh Abdul Halim
Mahmud dalam bukunya ”al Islam wa al Aql” sebagaimana dikutip oleh Quraish
Shihab dalam Membumikan Al Qur’an, menegaskan bahwa, ”Jangankan Al
Qur’an, Kitab Taurat, Injil dalam bentuk yang sekarangpun (Perjanjian Lama dan
Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan”. Kenyataan ini menurut Quraish
Shihab disebabkan karena wujud-Nya sedemikan jelas, dan ”terasa” sehingga
tidak perlu dijelaskan. Bukankah wujud (keberadaan) manusia sebagai mahluk
(ciptaan) diantara bukti bahwa Allah itu wujud (ada)?
Al Qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam setiap
manusia, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak awal
kejadiannya. Firman Allah SWT:
⧫  ◆ ⬧ ◆
❑→  ⧫◆
◼⧫ ➔◆ ⧫☺➔
 ◼⧫ →⬧ →
  ⧫  ◼⧫ ❑⬧
☺◆ ⧫❑⧫ ❑❑→⬧
⧫  ⧫ → 

”Dan Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
tulang sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman),”Bukankah Aku Tuhanmu?” Mereka menjawab: Betul (Engkau
Tuhan Kami), Kami menyaksikan”.(Q.S Al A’raf,7:172)
 ◆⧫◆ 
→ ◆ ⬧
 ⬧ ⧫✓⧫⧫ 
⧫ ⬧◆  ⧫
 ◼⧫  ◼⧫
  
” Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Q.S Fussilat, 41:53)

Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat atau panjang-
dimana manusia mengalami keraguan tentang wujudNya, bahkan boleh jadi
keraguan itu mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan
kepercayaannya, tetapi ketika keraguannya akan beralih menjadi kegelisahan,
khususnya pada saat-saat manusia merenung.
Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud Tuhan dengan
pembuktian material. Mereka ingin segera melihatNya di dunia ini. Nabi Musa as
misalkan, suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diriNYa
kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya.
❑ ◆ ☺⬧◆
◆ ☺◆ ◆⬧☺
⬧ →  ◆ ⧫⬧
⬧◆ ⧫⬧ ⬧ ⧫⬧ 
⬧ ⧫ ◼ →
⧫❑⬧ ⧫⧫ ▪⬧⧫
◆  ☺◼⬧  ⧫⬧
▪◆  ⬧➔ ⧫
⬧⬧ ☺◼⬧  ➔ ❑
⬧ →➔ ⬧ ⧫⬧
⧫✓⬧☺  ⧫◆

”Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihatKu, Tetapi lihatlahke bukit itu, jika ia
tetap di tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat
melihatKu”, takkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut
menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata, ”Maha suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu,
dan aku orang yang pertama (dari kelompok) orang beriman (Q.S Al A’raf,.
7:143)

Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah
kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang
nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu
bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang
tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
Peristiwa ini membuktikan bahwa secara lahir (empirik) manusia tidak
mampu memandang zat Allah, termasuk manusia agung pun (Musa as) tidak
berkemampuan untuk melihatNya - paling tidak, dalam kehidupan dunia ini.
Agaknya kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa kita mengakui adanya angin
hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya?
Dalam kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika, kita dapat
menyatakan bahwa tidak ada satu argumen yang dikemukakan oleh para filosof
tentang wujud Tuhan yang tidak dikemukakan Al Qur’an. Hanya bedanya bahwa
kalimat-kalimat yang digunakan Al Qur’an sedemikian sederhana dan mudah
ditangkap, berbeda dengan para filosof yang seringkali berbelit-belit.
Dahulu dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi dan teleologi.
Bukti ontologi menggambarkan bahwa kita mempunyai ide tentang Tuhan, dan
tidak dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dari-Nya. Bukti
kosmologi berdasar pada ide”sebab dan akibat” yakni, tidak mungkin terjadi
sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir pastilah Tuhan. Bukti
teleologi, berdasar pada keseragaman dan keserasian alam, yang tidak dapat
terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu.
Bukti-bukti lain sebagai argumen logika yang dapat membuktikan adanya
Allah dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, diantaranya adalah
pendekatan logika akal sehubungan keberaan alam semesta.
Adanya alam beserta tatanannya yang menakjubkan dan rahasia yang
begitu kompleks, memberikan penjelasan bahwa adanya sesuatu kekuatan yang
telah menciptakannya. Setiap manusia yang normal akan percaya bahwa dirinya
ada, dan percaya pula bahwa alam semesta ini ada. Dengan dasar kepercayaan
tersebut dijalanilah setiap kegiatan ilmiah dan kehidupan ini, yang merupakan
bagian dari sunatullah. Jika percaya tentang keberaan alam, maka secara logika
pula harus percaya tentang adanya sang pencipta alam. Suatu yang ada (materi)
berasal dari yang tiada, pasti ada yang mengadakan, yang menciptakan.
Keteraturan tatanan alam merupakan suatu fakta rasional akan keberadaan sang
pengelola yang begitu sempurna. Bagaimana mungkin mempercayai bahwa
alam yang begitu jelas ada, tanpa pencipta yang mengadakannya?. Alam adalah
tanda atau ayat yang memberitahu identitas Tuhan. Melalui alam, manusia dapat
mengetahui Tuhan. ”Miliknya-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan
mematikan, dan Dia MahaKuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Al Hadid, 57:2)

◆❑◆ → ⬧


 →☺◆ ⧫  ◆
⬧   ◼⧫ ◆❑➔◆

Menurut definisi ilmu agama, ’alam (alam) adalah segala sesuatu selain
Allah swt. Alam bukan saja benda-benda angkasa, atau bumi dan segala isinya,
tetapi juga yang terdapat antara keduanya, bahkan semua yang maujud (ada),
baik yang telah diketahui manusia maupun yang belum diketahui. Kata itu seakar
dengan kata ’alamah (alamat). Alamat adalah sesuatu yang menjelaskan
sesuatu selainnya. Jika tidak jelas, maka ia tidak wajar bahkan tidak dinamai
alamat. Alam semesta adala halamat yang sanagt jelas menunjuk Tuhan,
Penciptanya yang Maha Esa, Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.
Keberadaan alam harus ada sebagai bukti bahwa Tuhan itu ada. Karena
tanpa adanya mahluk di luar Tuhan (alam semesta) sebagai obyek yang akan
menerima kasihNya, maka kita akan sulit memahami bagaimana Keagungan
Tuhan.Tuhan memerlukan obyek atau wujud yang lain untuk mewujudkan
jatidiriNya. Dengan alur penalaran seperti ini keberadaan alam dan manusia
bagaikan mahluk otonom yang perlukan Tuhan. Artinya, Tuhan memerlukan
yang lain, untuk merealisasikan Dzat dan SifatNya. ”Aku (Allah) adalah harta
simpanan yang tidak dikenal, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka Aku
ciptakanlah mahluk dan Aku perkenalkanlah diriKu kepada mereka, sehingga
mereka mengenalKu” (Hadits Qudsi, lihat Kitab Sirur Asror Syekh Abdul Qodir al
Jilani h.48).
Demikian pula halnya dengan keberadaan ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya.
Sejak lahirnya alam semesta, ruang alam semesta berangsur dipadati aneka
ragam kurir informasi. Kurir-kurir informasi itu dilahirkan dan dipancarkan oleh
setiap benda dan fenomena langit. Bentuk kurir informasi tersebut dapat berupa
cahaya tampak, gelombang radio, sinar X, sinar Y, cahaya inframerah dan zarah
kosmik lainnya. Makin tua alam semesta makin padat akan kurir informasi, tetapi
kepadatan itu tidak menyesakkan. Apakah langit akan semakin terang karena
bertambahnya informasi? Karena jauhnya benda langit, kurir informasi yang
sampai ke permukaan bumi dapat berasal dari kurir informasi yang jauh lebih
tua dari usia manusia dan bahkan lebih tua dari planet bumi. Kurir informasi yang
sampai ke bumi mempunyai rentang umur hingga 20 milyar tahun yang lalu
hingga sekarang. Melalui kurir informasi tersebut dapat mengenali dan
mempelajari benda-benda langit dan sifat hukum-hukum alam yang
mengendalikan alam semesta. Manusia adalah mahluk yang hidup yang
dilengkapi dengan kemampuan akal dan fikirnya, telah tergerak dan terangsang
untuk mengenali lebih jauh benda dan fenomena lewat kurir informasi tersebut.
Telah banyak kegunaan benda langit bagi kehidupan manusia, dua benda
langit yang terang, bulan dan matahari, memang mudah dikenali oleh manusia
yang paling awam hingga manusia yang mempelajari astronomi. Kontrasnya
pemandangan langit siang dan malam tentu mampu merangsang keingin-tahuan
manusia lebih dalam tentang misteri di langit.
◼◼   ⧫◆◆
➔ ⬧⬧ ◆ 
▪☺◆  ⧫❑☺→
  ⬧⧫☺ 
➔ ⬧ ⬧
⧫☺⬧◆  ➔
⧫  ⧫⧫ ⧫⬧
 ⬧ ❑➔
 ⚫ ⧫⧫ ▪☺ 
 ◆ ⧫☺⬧ ➔
 ◆   
❑⬧⧫ ◼⬧
”Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam; Kami
tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam)
kegelapan”
Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah)
Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui.
Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia
sampai ke tempat peredaran terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang
tua”.
Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat
mendahului siang.masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Q.S Yasin,
36:37 - 40)

Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan yang jaraknya
dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi, dan
menyelesaikan setiap edar-nya selama 29 hari. Demikian pula bumi yang
terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan
kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang
190.000.000 mil setiap setahun sekali. Disamping bumi terdapat gugus sembilan
planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan
luar biasa.
Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi
yang sempurna, akan berkesimpulan bahwa mustahil semua itu terjadi dengan
sendirinya. Bahkan akan berkesimpulan bahwa di balik itu semua ada kekuatan
yang Maha Besar, yang membuat dan mengendalikan tatanan atau sistem alam
semesta yang luar biasa itu.
 ⚫◆ ☺ ⧫ ❑⬧
 ⬧⬧  ⬧⬧ 
⧫❑→⧫ ☺⧫ ➔ ◆

”Seandainya pada kedua (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah
keduanya binasa.” (Q.S Al Anbiya, 21:22)

Harus diingat bahwa memperhatikan ayat-ayat Allah, tidak hanya dengan


kecerdasan berpikir atau mata kepala, tepai dengan kecerdasan spiritual dan
emosional, atau mata hati. Itulah yang mengantar kepada pertemuan denga-Nya
yang ditandai ayat-ayat (tanda-tanda kekuasan Allah) itu sebagaimana
dikemukan di atas. Tanpa keterlibatan kecerdasan emosional dan spiritual,
tanda-tanda itu itu tidak akan terjangkau, persis seperti orang orang yang akan
menikmati merdunya musik, dengan menggunakan matanya sambil menutup
telinganya. Inilah yang menjadikan sementara orang modern dewasa atas nama
penelitian dan eksperimen, menjadikan mereka semua (para peneliti) tidak
memahami kecuali fenomena yang mereka lihat dengan mata kepala dan
melupakan siapa di balik fenomena itu, atau dalam bahasa Al Qur’an:
 ⬧ ⧫❑☺◼➔⧫
➔◆ ◆ ❑◆⧫
 ⧫❑➔  ⧫ ⧫
”Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka
tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.(Q.S Ar Rum,30:7).

KeImanan Sebagai Pengakuan Kehadiran Tuhan


◆❑➔◆  →➔ 
◆❑➔◆  ⧫ →
 ⬧ 
“ Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (Q.S Al
An’am,6:103)

Sayidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib
Al Yamani, ”Apakah anda pernah melihat Tuhan?”Beliau menjawab, ”Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
”Bagaimana anda melihatNya?” tanyanya kembali. Syaidina Ali menjawab, ”Dia
(Allah) tidak bisa dilhat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tetapi
dijangkau oleh akal dengan hakikat keimanan.
Yang beliau maksud dengan kata akal pada ungkapan beliau ,”dijangkau
oleh akal dengan hakekat keimanan”. Bukan sebagaimana pemahaman kita
dewasa ini tentang makna akal yang merupakan daya nalar- tetapi akal dalam
pengertian ”gabungan antara daya kalbu dan daya nalar yang menghasilkan
’ikatan’ yang menghalangi manusia melakukan hal-hal negatif”. Ungkapan beliau
itu menunjukan bahwa jangkauan itu bukan jangkuan nalar secara langsung,
tetapi jangkauan nalar dan kalbu berdasar keimanan tentang sesuatu yang tidak
dapat dijangkau.
Berbicara tentang Iman merupakan sebuah konsekuensi ”kehambaan”
seorang manusia atas kebesaran sang Pencipta. Terma ”Iman” berasal dari
bahasa Arab ”amana-yu minu-imanan”, berarti percaya, tunduk atatu taat. Dalam
terminologi Ilmu Ketuhahan (Tauhid), kata ”iman” memilki maknsa sebagai
keyakinan terhadap Tuhan (Yang Maha Ghaib) dengan segala konsekuensinya
(mengikuti perintahnya dan menjahui laranganNya. Iman berarti percaya
menunjuk ”sikap bathin” yang terletak dalam hati. Memang agak sulit mengukur
barometer keimanan jika hanya mengacu pada standar empirik, perilaku sehari-
hari. Karena keimanan adalah bagian rahasia hati setiap yang meyakininya.
Namun pandangan umum dalam masyarakat bersandar pada pengakuan lisan
seseorang dalam mengikrarkan kalimat syahadat, ”aku bersaksi tiada Tuhan
selain Allah, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Sesungguhnya keimanan menuntut adanya keterkaitan (interdependensi)
antara pembenaran (tashdiq) dalam hati, pengakuan (taqrir) dalam lisan, dan
diikuti pelaksanaan dalam bentuk tindakan nyata (af’al). Dengan kata lain, iman
itu merupakan:
1) amalan hati, seperti bertobat dan cinta kepada Allah SWT,
2) amalan lisan, seperti ikrar syahadatain dan zikir; dan,
3) amalan anggota tubuh, seperti sholat, puasa zakat, haji dan segala
perbuatan amal saleh sesama manusia dan lingkungan.
⧫ ☺ ❑⬧  ⧫◆
⬧ ☺⧫◆  ◼
  ⧫⬧◆
 ⧫✓☺☺
”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?" (Q.S Al Fushilat, 41:33)

Keimanan yang diakui hati tentu terjadi setelah adanya penerimaan akal
tentang kebenaran-kebenaran ilahiyah, baik melalui dalil naqli (nash Al-Qur’an
dan sunnah) maupun dalil aqli (akal, rasio), hingga benar-benar mencapai
keyakinan yang teguh, tidak luntur oleh perasaan bimbang dan ragu. Suatu
keimanan yang benar adalah keimanan yang bersandar pada pengetahuan yang
benar (ilmu yaqin), yang mendorong pada adanya kepatuhan hati (ainul yaqin),
untuk menuju fase-fase kecintaaan sejati atas perintah Ilahi.
   ➔◆
⧫    ⬧
❑➔☺⧫◆ ❑⧫◆
❑◆❑⬧◆ ⬧
❑◆❑⬧◆ ⬧
 
Di dalam bahasa Al-Qur’an, terma ”iman” selalu mengambil bentuk
sebagai prilaku terpuji dan amal yang bermanfaat, ”amanu wa amilus sholehat”,
bahkan interdepedensi keduanya dapat ditemukan berulang-ulang kali di dalam
firman Allah, diantaranya pada surah Al ’Asr ” kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan (amal sholeh) serta saling menasihati untuk
kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Hal ini mempertegas bahwa
keimanan seseorang harus berproduktif secara lahiriah. Dalam pada itu Rasul
Allah SAW menyatakan bahwa iman punya lebih dari 70 tingkat. Tingkatan iman
tertinggi adalah zikr: ”La ilaha illa Allah” (Tiada Tuhan selain Allah), sedangkan
tingkatan terrendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang dapat
mencelakakan) di jalan.
Keberlangsungan iman di dalam hati perlu dipelihara sebaik-baiknya,
dengan pembinaan yang teratur dan terus-menerus (riyadloh). Iman mudah
terjangkit virus bahkan lebih parah jika tanpa diperbaharui dengan kebaikan-
kebaikan (alhasanat). Sejalan dengan pernyataan Nabi SAW:

Iman itu kadang-kadang bertambah [mantap], kadang-kadang berkurang


[lemah],maka perbaharuilah selalu iman kamu” (Hadis riwayat Bukhâri-Muslim)

Ketika keimanan seseorang dapat menerima kenyataan atas musibah


yang diderita, atau mampu mengatasi berbagai gejolak nafsu, sepantasnya iman
berada pada posisi kuat. Sebaliknya, ketika keimanan seseorang terkontaminasi
dengan prilaku maksiat (dosa), maka iman berada pada posisi lemah
(menyusut). Sehingga Nabi Muhammad saw selalu menganjurkan reformasi
(tajidid) pada aspek kayakinan kita ”Jaddiduu imanakum bi laa ilaaha illallah”,
perbaharuhilah (segarkanlah, reformasikanlah) keimanan kalian dengan kalimat
”Laa ilahaa illallah”,
Eksistensi iman dihati setiap insan beragama sepantasnya mampu
menjaga nilai-nilai fitrah. Keimanan menjadi instrumen utama yang mampu
membimbing ke arah tindakan konstruktif (positif). Prinsip utama iman yang
shohih adalah keyakinan yang mantap bahwa Allah senantiasa mengawasi
segala peristiwa yang berlalu, kini, dan mendatang. Apa pun yang bergerak
dalam detak jantung manusia sekalipun. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ayat
Al Qur’an seperti:
❑⬧  ◆
▪ ◼➔⧫ ⬧
 ⬧◆
”Dan jika kamu mengeraskan ucapan mu, maka sesungguhnya Dia
mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi” (Q.S Thaha 20 :7)

Perkara apa yang lebih tersembunyi dari rahasia? Para mufassir merasa
perlu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ibnu Abbas (sahabat Rasul SAW)
mengatakan ”perkara yang lebih tersembunyi dari rahasia adalah sesuatu yang
disembunyikan dalam hati dan tidak dibicarakan kepada siapapun, karena
rahasia itu adakalanya hanya rahasia di antara dua manusia”. Adapun perkara
yang disembunyikan seseorang dalam hatinya pasti lebih tersembunyi daripada
rahasia. Qotadah (seorang mufassir) berpendapat ” Yang Allah maksudkan
dengan firmanNya ’Dia (Allah) mengetahui rahasia dan lebih tersembunyi’ adalah
rasa was-was, yang bersumber dari syaitan.
Secara psikologis, iman memiliki peran utama dalam perkembangan
positif kejiwaan seseorang. Mereka yang beriman memiliki kekuatan dan mental
(prepare to struggle) melawan hantaman gelombang hidup dan kehidupan.
Adanya asupan semangat bertahan hidup sehingga tidak mudah putus asa dan
rendah diri. Faktor utama kesiapan dan semangat hidup ini terjalin karena
adanya hubungan bathin secara vertikal dengan Allah. Keimanan memposisikan
jiwa ”berhusno zhon” (positif thinking) dengan segala realitas penciptaan, lebih
dikarenakan ”robbana ma kholakta haza baathila” (Maha suci Allah, tiada kesiaa-
siaan dalam realitas penciptaanNya). Allah selalu merencanakan segala
kebaikan dibalik setiap perintah dan larangan Agama. Hal ini dapat kita teladani
dari pola hidup para sahabat Rasulullah. Para sahabat Rasullulah begitu rindu
untuk selalu berdialog dengan Allah di setiap hembusan nafas mereka,
mengutarakan segala keluh-kesah serta kenikmatan hidup yang
dimanifestasikan dalam bentuk ibadah (zikir). Dalam konteks ini, Abu Hurairoh
meriwayatkan sebuah Hadits Qudsi dari Rasulullah saw yang berbunyi:
”Allah berfirman, ”Aku bersama persangkaan hamba Ku tentang Ku. Aku
bersamanya ketika ia mengingatKu. Jika ia mengingatKu dalam dirinya
sendiri, maka Aku mengingatnya dalam diri Ku sendiri (Aku mengingatnya
dengan pahala dan rahmat secara rahasia). Jika ia mengingatKu dalam
sebuah kelompok, maka Aku mengingatnya dalam sebuah kelompok yang
lebih baik darinya. Jika ia mendekatiKu sejengkal, maka Aku mendekatnya
sedepa. Jika ia mendatangi Ku berjalan, maka Aku mendatanginya
bergegas”. (HR Bukhori Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad bin
Hambal)

Pembahasan keimananan tentunya kita juga merujuk pada sistematika


rukun Iman, yang merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari masalah
Tauhid. Rukun Iman yang berjumlah enam rukun, mengacu kepada Al-Qur’an
(QS Al-Nisa` [4]:136) dan Sunnah Nabi SAW, yaitu: (1) iman kepada Allah, (2)
iman kepada para malaikat, (3) iman kepada kitab-kitab Allah, (4) iman kepada
para rasul, (5) iman kepada hari akhir, dan (6) iman kepada takdir Allah yang
termaktub dalam Sunnah Nabi SAW riwayat Bukhori Muslim ra.

Kajian keimanan adalah fondasi agama, yang membicarakan tentang


Allah atau Tauhid atau yang lebih dikenal dengan tsubut al shifat 20 oleh Imam
Abu Hasan Al Asy’ari, dan lebih lanjut oleh Imam Abul Mansur Al Maturidi.
Tauhid adalah pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa , baik
wujud, zat, sifat maupun af’al (perbuatan). Tauhid terbagi ke dalam dua
pembahasan (1) Tauhid Rububiyah (2) Tauhid Uluhiyyah.

Uraian di bawah ini adalah menyangkut Tauhid Rububiyyah ”Segala puji bagi
Allah Tuhan sekalian Alam” (Q.S. Al Fatiah,1 :2)

◆  ☺⬧
 ✓☺◼➔
Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang memiliki, mendidik dan
memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali
kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin
(semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai
jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-
tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-
alam itu. Uraian Tauhid lebih mendalam berikutnya dapat kita simak di
bawah ini:

a. Kemahaesaan Allah dalam wujud-Nya, disebut tauhid al-wujud, artinya: Allah


adalah satu-satunya yang mempunyai wujud yang wajib (wajib al-wujud),
yaitu wujud yang apabila dikatakan tidak ada adalah mustahil. Untuk wujud-
Nya Allah tidak tergantung kepada yang lain. Oleh sebab itu Allah disebut:
qiyamuhu bi-nafsih (berdiri sendiri). Berbeda dengan makhluk, termasuk
manusia, maka wujudnya tergantung mutlak kepada Allah. Itulah sebabnya,
wujud makhluk, termasuk manusia dikategorikan ke dalam mumkin al-wujud,
yaitu wujud yang apabila dikatakan tidak ada adalah mungkin saja, tidak
mustahil. Ia dapat ada dan dapat tidak ada. Jika Allah menghendaki ada,
maka ia pun ada. Jika Allah menghendaki tidak ada, maka ia pun tidak ada.
Ada atau tidaknya makhluk tergantung Allah, sang pencipta (khaliq al-’alam).

b. Kemahaesaan Allah dalam zat-Nya, disebut tauhid al-dzat, artinya: Allah


adalah satu-satunya zat yang tidak berbilang (lebih dari satu) dan tidak
tersusun dari elemen-elemen. Allah adalah mukhalafah li al-hawadits
(berbeda dengan makhluk). Allah tidak tunduk kepada ruang dan waktu
(space and time). Oleh sebab itu, Allah tidak dapat dipersonifikasikan dengan
apa pun yang bersifat materi (dibatasi oleh ruang dan waktu). Bagi Allah tidak
ada anthropomorphisme (keserupaan) dengan yang selain diri-Nya (QS Al-
Syûrâ [42]:11). Oleh sebab itu, Nabi SAW mengingatkan: ”Tafakkaru fi khalqi
Allah wa la tafakkaru fî dzati Allah” (Pikirkanlah ciptaan Allah, dan jangan
pikirkan zat Allah).

c. Kemahaesaan Allah dalam sifat-sifat-Nya, disebut tauhid al-shifat, artinya:


Allah adalah satu-satunya yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, atau
sifat-sifat kepujian (asma’ al-husna). Oleh sebab itu untuk Allah selalu
dijumpai kata-kata: ”Subhana Allah ’amma yashifun” (Maha Suci Allah atas
segala sifat yang dipadankan kepada sifat manusia).
Sifat-sifat Allah itu banyak, yang menurut Nabi saw ada 99, meliputi segala
sifat yang sempurna. Tiga di antaranya yang wajib dihayati adalah sifat-sifat:
(1) hidup (al-hayah), (2) kuasa (al-qudrah), dan (3) berkehendak (al-iradah).

(1) Sifat hidup (al-hayah)

Allah adalah Maha Esa hidup (hayah)-Nya. Allah itu Tuhan yang hidup,
Bukan Tuhan jika Tuhan itu mati. Hidupnya Tuhan menunjukkan
kemahaesaan-Nya. Artinya, hidup Tuhan itu tidak seperti makhluk-Nya
yang menunjukkan ketergantungannya kepada makan, minum, tidur dan
istirahat. Hidup Tuhan juga tidak melalui proses kelahiran. Sebab setiap
yang lahir pasti mati. Padahal Tuhan tidak mengenal mati. Firman Allah:

◆❑➔  ⧫⬧  


  ❑⬧ 
 ❑⧫ ◆ ◆ ◼➔⬧
◆❑☺  ⧫ 
⬧ ⧫    ⧫◆
◼  
⧫ ◼➔⧫   
⧫◆  ✓⧫
⧫❑⬧ ◆  
 ☺  
◆  ◆ ☺
◆❑☺ 
◼❑⧫ ◆  ◆◆
◆❑➔◆  ◆→
→➔ ➔
”Allah tiada Tuhan selain Dia, yang hidup yang kekal, tidak pernah istirahat, dan
tidak mengantuk dan pernah pula tidur. Miliknya apa yang ada di langit dan apa
yan di bumi tidak ada yang dapat memberi syafaat (pertolongan) di sisiNya tanpa
izinNya. Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang
dibelakang mereka, dan mereka tidak memiliki sesuatu apa pun tentang IlmuNya
melainkan apa yang Dia kehendaki. KursiNya meliputi langit dan bumi. Dan Dia
tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi,
Mahabesar”.(QS Al-Baqarah, 2:255)

(2) Sifat kuasa (al-qudrah)


Allah adalah Maha Esa kekuasaan (qudrah)-Nya. Allah itu Tuhan yang
berkuasa. Bukan Tuhan jika Tuhan itu tidak berkuasa. Kekuasaan Tuhan
juga menunjukkan kemahaesaannya. Artinya, Tuhan itu berkuasa, baik
dalam mencipta maupun dalam meniadakan sesuatu. Kekuasaan Tuhan
bersifat mutlak, sama sekali tidak tergantung kepada yang lain. Tuhan
berkuasa dalam menciptakan sesuatu dari tiada menjadi ada dan kembali
menjadi tiada.

 ▪☺◆
⬧   ⬧⧫☺
➔ ⬧
 ➔
“dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan
yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui”. (Q.S Yasin, 36:38)

Kekuasaan atau ketentuan Tuhan itu lazim disebut takdir (Ar. taqdir), atau
qadla (ketetapan) dan qadar (kekuasaan)-Nya, sebagai sesuatu yang
tidak dapat dielakkan. Firman Allah: ”Inna Allâh ’alâ kulli syai’in qadîr”
(Tuhan itu berkuasa atas segala sesuatu). Namun, kekuasaan Tuhan itu
tidaklah sewenang-wenang, melainkan selalu diselaraskan dengan
keadilan dan kasih-sayangnya, sehingga oleh yang mengalaminya
dirasakan sebagai himah.

(3) Sifat berkehendak (al-iradah)

Allah adalah Maha Esa dalam kehendak (iradah)-Nya. Allah itu Tuhan
yang berkehendak. Bukan Tuhan jika Tuhan itu tidak berkehendak, dan
kehendak Tuhan itu meliputi segenap alam semesta.

⬧ ◼ ☺


⬧ ⧫❑→⧫   ◆
 ❑◆⬧ 
”Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu. Dia hanya
berkata kepadanya.”jadilah” maka jadilah sesuatu itu”. (Q.S. Yasin,36:82)
Kehendak Tuhan yang pokok adalah agar manusia hanya beribadah
kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya:

”Tiada Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku”. (QS Al-Dzariyât 51:56).

d. Kemahaesaan Allah dalam af’al-Nya, disebut tauhid al-af’al, artinya: Allah itu
adalah satu-satunya yang ciptaan-Nya begitu sempurna, penuh ketelitian,
keteraturan, dan serba pantas, sehingga menunjukkan suatu karya agung,
tiada tara bandingannya, karena diciptakan tidak secara main-main, sehingga
menimbulkan kekaguman para pengamatnya. Dalam beberapa ayat Al-
Qur’an, dijumpai ungkapan: ”Afahasibtum annama khalaqnakum ‘abatsan” (Apa
kalian mengira bahwa Kami mencipta kalian itu main-main?) (QS Al-
Mu’minun 23:115). ”Rabbanâ ma khalaqta hadza bathila” (Tuhan, sungguh apa
yang telah Kauciptakan ini tidaklah sia-sia) (QS Ali ‘Imran [3]:191).
 ⧫⧫ ⧫
◼⧫◆ ❑➔➔◆ ☺◆
 ⧫⧫⧫◆ ❑
◆ ◆❑◆ 
 ◼ ⧫ ◆◆
⧫ ⬧ ⬧ ⧫
 

Selanjutnya petikan ayat di bawah ini ”Hanya kepada Engkau kami menyembah dan
hanya kepada Engkau kami memohon”(Q.S Al Fatiah, 1:5)

◆ ➔⧫ 


 ✓➔⧫◼
Frman Allah SWT pada surah Al Fatiah ayat ke-5 berbicara tentang
Tauhid Uluhiyyah yang merupakan konsekuensi dari Tauhid Rububiyyah, yaitu
tauhid yang membahas kemahaesaan Allah. Keesaan dalam wujud-Nya (tauhid
al-wujud), kemahaesaan Allah dalam zat-Nya (tauhid al-Dzat), kemahaesaan
Allah dalam sifat-sifat-Nya (tauhid al-Shifat), dan kemahaesaan Allah dalam af’al-
Nya (tauhid al-Af’al). Allah dalam kedudukan-Nya sebagai satu-satunya tujuan
hidup (tauhid al-qashd), Allah dalam kedudukan-Nya sebagai satu-satunya
tempat mengabdi, menghambakan diri, serta mengadu (tauhid al-’ibadah), dan
Allah dalam kedudukan-Nya sebagai satu-satunya pembuat peraturan yang
punya kepastian hukum (tauhid al-tasyri’). Dapat dimaknai bahwa Tauhid
Uluhiyyah lebih kepada penekanan ketaatan dan loyalitas seorang muslim
kepada Tuhannya. Bahwa Tauhid Uluhiyyah membahas permasalahan berikut:

1) Allah adalah tujuan akhir dari kehidupan.

◆ ⬧ ⧫


  ❑⬧ ⧫
 ⧫❑➔◆ ⬧ ◆
◆❑◼ ◼⧫ ⬧
 ☺◆◆ ◼▪ 
➔ ⬧◆
 ⧫⧫☺
“ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"]. Mereka Itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S Al Baqoroh, 2:156)

Sebagai konsekuensi dari kemahaesaan Allah, maka Allah merupakan tujuan


akhir dari kehidupan (tauhid al-qashd). Artinya: Allah adalah satu-satunya
yang menjadi tujuan hidup hamba-hamba-Nya, termasuk manusia. Sebab
daripada-Nya semua makhluk berasal, dan kepada-Nya pula semua akan
kembali. Pernyataan seorang Muslim jika dirinya atau orang lain mengalami
musibah adalah: ”Inna lillah wa inna ilaihi raji’un” (Sesungguhnya kita ini
berasal dari Allah dan kepada-Nya pula kita akan kembali). Sehebat apa pun
rencana manusia tentu akan perpulang kepada ketentuan Allah SWT, ini
dapat dimaknai bahwa Allah menghargai sekecil apa pun usaha manusia
dalam merahi targetnya. Rangkaian proses usaha itulah yang menentukan
ketekunan seseorang. Dan pencapaian akhir adalah hak dan ketentuan Allah.

2) Allah adalah tujuan penghambaan diri manusia.

 ⧫⬧    ◆❑➔


→ →☺ ◆❑➔
⬧☺ ◼
➔ ☺☺
 ⧫☺ 
❑→ ☺⧫  ⬧

”Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang
Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara,
yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan,
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Q.S Al Hasyr, 59:23)

Sebagai konsekuensi dari kemahaesaan Allah, maka Allah merupakan


tempat memuja dan mengadu (tauhid al-’ibadah). Artinya: Allah adalah satu-
satunya yang berhak dipuja dan disanjung, yang berhak ditakuti dan dipatuhi.
Karena Tuhanlah sesuatu menjadi ada, termasuk manusia. Allah adalah
khâliq (Sang Pencipta), Allah adalah rabb al-’alamin (Sang Pengatur alam
semesta), dan Allah juga adalah al-malik (Sang Penguasa). Dan
konsekuensinya: Allah adalah ilah (yang berhak dipuja dan disanjung).

Dinamika kehidupan yang diwarnai dengan problematika merupakan sarana


seorang muslim untuk mengakrabkan diri dengan Allah SWT. Adanya
keyakinan dalam dirinya bahwa Allah selalu menyimpan hadiah terindah
dibalik setiap masalah yang dihadapi jika hadapi dengan sikap rendah diri
dana selalu berdoa.

3) Allah adalah sumber kepastian hukum.

Sebagai konsekuensi dari kemahaesaan Allah, maka Allah adalah Mahaesa


dalam kedudukannya sebagai pengatur kehidupan, disebut: tauhid al-tasyri’.
Artinya: Allah adalah satu-satunya pembuat peraturan yang sempurna,
berlaku baik bagi kehidupan alam semesta, yang disebut sunnatullah (hukum
Tuhan yang telah ditetapkan) maupun bagi kehidupan manusia, yang berupa
syariah-Nya. Allah atau Tuhan bagi seorang Muslim adalah al-haqq (Yang
Maha Benar), Allah adalah al-’adl (Yang Maha Adil), dan Allah adalah al-
hakim (Yang Maha Bijaksana). Oleh sebab itu, bagi seorang Muslim mau tak
mau harus mengakui otoritas Allah sebagai rabb al-’alamin (Sang Pengatur
alam semesta). Khusus yang menyangkut manusia, peraturan itu disebut
syari‘ah, yaitu jalan kehidupan yang wajib ditempuhnya untuk tercapainya
tujuan hidup, yaitu kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia kini, maupun di
akhirat kelak.

 ◼ ⬧   ⬧


   ⬧◆  ⬧
 ⬧
”Sebagai suatu Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-
tiada akan menemukan perubahan bagi Sunnatullah itu”.(Q.S. Al Fath, 48:23)

Dengan demikian, ada suatu keyakinan yang mantap pada seorang


mukmin bahwasanya semua tatanan kehidupan alam semesta ini berada di
bawah pengaturan Allah Yang Maha Kuasa, dan tidak ada fenomena di luar
liputan rubûbiyyah-Nya. Suatu pengakuan bahwa segala pengurusan dan
pengaturan alam semesta ini berada di tangan Allah. Inilah wujud dari
keimanan rububiyyah takwîni. Ia pun meyakini segala perubahan yang terjadi
adalah atas izin Allah. Ketentuan Allah tentang perubahan-perubahan dalam
tatanan alam semesta, terjadinya siang-malam, peristiwa hidup-mati, dan
segala keteraturan lainnya merupakan ketetapan sunnatullâh (ketetapan atau
hukum Allah yang berlaku dalam alam). Dengan kata lain, sang pencipta
hukum yang sejati hanyalah Allah. Kenyataan inilah merupakan manifestasi
dari keimanan (tauhid) Rububiyyah tasyri’.

Proses Terbentuknya Iman


⧫  ◆ ⬧ ◆
❑→  ⧫◆
➔◆ ⧫☺➔
→⬧ → ◼⧫
 ◼⧫ ❑⬧  ◼⧫
⧫❑⧫ ❑❑→⬧   ⧫
⧫ →  ☺◆
 ⧫ 

”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak
cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh
mereka (seraya berfirman),”Bukankah Aku ini Tuahnmu?” Mereka menjawab,
”Betul (Engkau Tuhankami), kami bersaksi,”(Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan”Sesungguhnya ketika itu kami
lengah terhadap ini,” (Q.S Al A’raf,7:172)

Pembentukan iman seorang pribadi manusia adalah salah satunya sangat


dipengaruhi oleh faktor keturunan atau garis keluarga. Spermatozoa dan ovum
yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan yang digariskan dalam
ajaran Allah dan sunnah RasulNya, merupakan benih yang baik. Allah
menginginkan agar makanan yang dimakan bersumber dari rizki yang halalan
thoyiban (baik dalam pandangan kesehatan maupun ajaran agama). Pandangan
dan sikap kedua orang tua merupakan titik tolak seorang anak dalam menjalani
dan mempraktekkan keberagamaannya, taat dan patuh atau sebaliknya. Secara
khusus potret seorang ibu yang hamil mempengaruhi psikis bayi yang
dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka
secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh
secara psikologis terhadap bayi yang dikandung.
Adanya relasi positif antara suami istri yang dibingkai dengan tuntunan
Islam. Islam memperingatkan untuk menghindari lahirnya keturunan-keturunan
yang lemah baik secara fisik maupun psikis. Para mufassir sepakat bahwa
keterlibatan manusia, dalam hal ini kedua orang dalam memperoleh keturunan-
keturunan yang baik adalah suatu keharusan. Karena pemilihan bentuk Subjek
(pelaku) ”Kami” pada firman Allah surah Attien ayat ke-4 ”Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk”. Ayat ini adalah
argumentasi tekstual dan kontekstual bahwa adanya dorongan agar setiap orang
tua untuk berperan aktif dalam meraih keturunan yang didambakan.
Islam menentang keras lahirnya keturunan yang merupakan buah dari
hubungan di luar pernikahan (perzinahan). Apa pun alasannya, Islam telah
memberikan larangan dan sanksi yang keras bagi dua anak manusia yang
melakukan hubungan di luar pernikahan. Bahkan tidak jarang perlakuan sanksi
sosial lebih keras mereka terima ketimbang sanksi agama.
◆ ➔◆
◼◆  →⬧
◆  ⧫ ⬧⬧ ☺
 ⬧◆ ☺ ➔⬧
⧫❑⬧➔    
  ❑◆◆ 
☺◆⧫ ◆◆
⧫✓⬧☺  ⬧

”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (pengucilan
dan rajam) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang
yang beriman (Q.S An Nur, 24 :2)

Peran seorang ibu begitu penting dalam memelihara potensi keimanan


seorang anak manusia. Benih Iman yang dibawa sejak dalam kandungan
memerlukan pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila
tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah.
Demikian pula dengan benih iman. Berbagai pengaruh akan mempengaruhi
iman seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat,
pendidikan maupun lingkungan lainnya. Karena iman bersifat fluktuatif yazidu wa
yanqusu (bertambah dan menurun). Tingkah laku orang tua dalam keluarga
senantiasa menjadi contoh dan tauladan bagi anak-anaknya. Disamping itu
perlunya dukungan dari semua pihak keluarga dalam rangka mencapai tujuan
keluarga yang harmonis dan Islami. Di antara doa yang perlu dipanjatkan oleh
kita semua, baik bagi calon-calon orang tua maupun mereka yang telah
berkeluarga adalah:

◆ ❑❑→⧫ ⧫◆


◆◆  ⬧ 
✓ ◼▪➔ ➔◆
✓☺ ➔◆
 ⧫
”Ya Allah karuniakanlah kepada kami pasangan-pasangan dan keturunan yang
indah dipandang mata (memberikan kesejukan hati)” dan jadikankan kami
pemimpin orang-orang yang bertakwa. (Q.S Al Forqon, 25:74)

⧫   ◆


☺➔  ⧫☺➔
◆ ⧫◆ ◼⧫◆ ◼⧫
⬧ ⬧ ◆
 ➔   ◆
 ◆ ⬧ →➔ 
 ⧫✓☺
"Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat Engkau
yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan
yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah
diri". (Q.S Al Ahqof, 46:15)

Pada dasarnya proses pembentukan iman diawali dengan proses


perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang. Mengenal ajaran Allah,
adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak
mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada
Allah. Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi seorang mukmin kepada
Allah, maka ajarannya harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan
kemampuan anak itu dari tingkat verbal sampai tingkat pemahaman. Lingkungan
keluarga diajak membiasakan diri untuk akrab dengan Al Quran serta kewajiban-
kewajiban agama. Melalui pembiasaan seseorang yang semula tidak tahu dan
benci bisa berubah menjadi senang.
Menurut penelitian yang dikutip oleh Prof.DR Zakiah Daradjat, disebutkan
bahwa perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11 % oleh apa
yang didengar dan 6 % sisanya oleh gabungan dari berbagai stimulus. Dalam
persfektif ini maka pengaruh lingkungan terhadap pembentukan kepribadian
orang sangat besar, di dalam rumah dan di luar rumah.
Kenyataannya bahwa proses pembentukan iman harus melibatkan semua
pihak terkait, internal pribadi dikeluarga maupun faktor eksternal lingkungan
masyarakat. Karena nilai hidup keimanan akan memiliki arti ketika telah
memperoleh dimensi sosial, atau kita kenal dengan kebajikan sosial. Pengayaan
atas segala peristiwa yang terjadi, baik suka maupun duka merupakan khazanah
dalam rangka pembekalan masa depan. Pada akhirnya proses sosiliasasi
tingkah laku di segala aspek kehidupan merupakan kunci sukses menuju proses
individulisasi yang beriman.
Kehadiran individu beriman atau dapat dikatakan orang yang
berkepribadian muslim bermodalkan beberapa hal yakni, kapasitas fitrah bawaan
sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, proses panjang riwayat hidup dan
proses internalisai nilai pengetahuan dan pengalaman dirinya, tentunya yang
dipengaruhi faktor internal dan eksternal lingkungan positif. Dalam perspektif ini
maka keyakinan agama yang ia terima dari pengetahuan maupun dari
pengalaman masuk dalam struktur kepribadiannya. Sehingga ketika ia telah
menjadi muslim yang prima, ia tidak bisa merasakan nikmat daging babi
meskipun dimasak dengar standar seleranya. Demikian juga ia merasa gelisah
dan selalu tidak tenang ketika belum menunaikan sholat fardhu (sholat wajib)..
Sudah barang tentu kualitas kepribadian muslim setiap orang berbeda-
beda. Kualitas kepribadian muslim juga tidak mesti konstan, terkadang kuat, utuh
dan prima, tetapi di kesempatan lain juga bisa saja terdistorsi oleh pengaruh di
luar keyakinan agamanya. Konseling agama, misalnya, adalah dimaksud untuk
menghidupkan getaran bathin iman dari orang–orang yang sedang terganggu
kejiwaannya hingga kepribadiannya tidak utuh, agar dengan getaran bathin iman
itu sistem nafsaninya bekerja kembali membentuk sinergi yang melahirkan
perilaku positif.

Tanda-Tanda Orang Beriman


Al Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang beriman sebagai berikut:
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu
Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta apabila dibacakan ayat-ayat
Al Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk melaksanakannya (QS. Al Anfal,
8:2). Adanya dorongan kuat untuk memahami makna rangkaian ayat-ayat
Allah SWT yang diperdengarkan kepadanya.
❑⬧☺ ☺
 ⧫➔ ⬧ ⧫
⬧◆ ❑➔➔ ◼◆
⧫◆ ◼⧫ ◆➔
◼⧫◆ ☺ 
 ⧫❑➔◆❑⧫⧫ ◼◆
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah, gemetarlah hatinya dan apabila dibacakanayat-ayatNya kepada
mereka, bertambah kuat iamannya dan hanya keapada Tuhan mereka
bertawakal”
2. Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah,
diiringi dengan do’a, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah
menurut sunnah RasulNya, kemudian diikuti dengan penyerahan segala
hasil kepada Allah serta ikhlas menerima hasil tersebut sekalipun hasil
yang diterima berbeda dengan harapannya.
3. Tertib dalam melaksanakan sholat dan selalu menjaga keutamaannya.
(Q.S Al Mukminun, 23:2 dan 3).

  ➔ ⧫


➔ ⧫◆  ⧫❑➔
 ❑→➔ ❑ ⧫
”Yaitu orang-orang khusyuk dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,
4. Menafkahkan rizki yang diterimanya. Hal ini dilakukan sebagai sebuah
kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan ke jalan Allah merupakan
upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang
kaya dan yang miskin. (QS. Al Hasyr, 59 :7) ” agar harta itu jangan hanya
beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”
⧫✓⧫ ⬧ ⧫❑⧫  ⬧ 
   ◆
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan
(Q.S Al Mukminun, 23:3 dan 5)
⧫ ➔ ⧫◆
 ❑→➔ ❑
❑ ➔ ⧫◆
⧫◆  ⧫❑➔➔⬧
⧫❑→ → ➔

6. Berusaha untuk menyegerakan dalam kebaikan-kebaikan.
 ⧫❑ ⬧
⚫ ➔◆ ◆⬧
 ⧫❑→
“mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah
orang-orang yang segera memperolehnya” (Q.S. 23:61)

Jika keimanan seseorang telah mencapai tingkat ketenangan jiwa atau


pada fase jiwa yang muthmainnah yakni hatinya selalu tentram karena ingat
kepada Allah, yakin seyakin-yakinnya terhadap apa yang diyakininya sebagai
kebenaran, dan oleh karena itu ia tidak mengalami konflik bathin. Kondisi inilah
yang oleh Abdullah Yusuf Ali dalam The Meaning of the Glorius Al Qur’an
disebut sebagai puncak kebahagiaan seseorang mukmin (the final stage of
bless)

Implementasi Iman Dalam kehidupan Masyarakat Modern


⬧  ⧫ ◆⧫ ⧫◆
◼→⧫◆  ⧫➔⧫ ⬧
☺ ☺◆ ◆❑⧫

”dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam Keadaan buta".(Q.S. Thaha, 20:124)

Ketidak berdayaan manusia bermain dalam pentas peradaban modern


yang terus melaju tanpa dapat dihentikan itu, menyebabkan sebagian besar
”manusia modern” terperangkap dalam situasi yang menurut istilah Psikologi
Humanis, Rollo May sebagai ”Manusia Kerangkeng”, satu istilah yang
menggambarkan salah satu derita manusia modern.
Manusia modern seperti itu sebenarnya manusia yang sudah kehilangan
makna, manusia kosong, The Hollow Man. Ia resah setiap kali mengambil
keputusan, ia tidak tahu apa yang diinginkan, dan tidak mampu memilih jalan
hidup yang diinginkan. Para Sosiolog menyebut sebagai gejala keterasingan,
aleanasi yang disebabkan oleh (a) perubahan sosial yang berlangsung sangat
cepat, (b) hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi hubungan
yang gersang (c) lembaga tradisonal sudah berubah menjadi lembaga rasional
(d) masyarakat yang homogen sudah menjadi heterogen, dan (e) stabilitas sosial
berubah menjadi mobilitas sosial.
Situasi psikologi dalam sistem sosial yang mengungkung manusia modern
itu bagaikan kerangkeng yang sangat kuat, seakan menutup setiap pintu jalan
keluar. Manusia tidak berdaya untuk melakukan perubahan hidup, karena
ketidak-jelasan kondisi politik dan ekonomi. Nilai-nilai kebudayan sudah menjadi
komoditi pasar global untuk mengkuti trend dunia yang hedonis. Pola hidup
hedonis hampir dapat dikategorikan pola hidup hewani (binatang).
➔ ◼⧫ ⧫→
⧫  ❑→➔ ⧫ ⧫
  ◆  
  ⧫ ⧫◆
◼⧫ ⧫→◆
  ➔◆⬧☺
”Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan...” (Q.S Al Imron, 3:112)

Kerangkeng lain yang tidak kalah kuatnya adalah kehidupan sosial.


Manusia modern dikerangkeng oleh tuntutan sosial. Mereka merasa sangat
terikat untuk mengikuti skenario sosial yang menentukan berbagai kriteria dan
mengatur berbagai keharusan dalam kehidupan sosial. Setiap orang dipaksa
berakting sesuai dengan skenario yang telah diatur, meskipun gelisahan
menyelimuti para pelakunya. Gaya hidup, pergaulan dan sebagainya seolah
menjadi rujukan (trend) yang sedang berlaku. Padahal yang sebenarnya mereka
diperbudak oleh keinginan orang lain, oleh keinginan sosial. Ia sebenarnya
sedang mengejar apa yang diharapkan oleh orang lain agar ia mengejarnya. Ia
selalu mengukur perilaku dirinya dengan apa yang ia duga sebagai harapan
orang lain. Ia boleh jadi memperoleh kepuasan, tetapi kepuasan itu sebenarnya
kepuasan sekejap, yakni kepuasan dalam mempertontonkan perilaku yang
dipesan oleh orang lain. Manusia berlomba-lomba menggunakan topeng dalam
berbagai event sesuai skenario sosial sampai ia lupa wajah asli miliknya.
Demikian halnya konteks masyarakat Indonesia yang kurang lebih
mengalami kondisi serupa dengan gambaran di atas, diperparah dengan kondisi
sosial yang saling bermusuhan antar entitas sosial. Sebuah wujud kehidupan
yang akan menuju kehancuran jika terus berlanjut. Masyarakat Indonesia
sebagai manusia yang terikat dengan iklim global, mengadopsi idealisme Barat,
menjadikan bangsa Indonesia bersikap tidak menentu, terombang-ambing
dengan tuntutan dunia Barat. Ketidak-seimbangan gaya hidup memicu
kegelisahan dan kecemasan yang perkepanjangan.
Potret sosial masyarakat Indonesia berubah menjadi lebih
”tempramental”, pertikaian dan konflik fisik seakan menjadi trend baru yang
dipilih dalam setiap masalah yang dihadapi. Manusia Indonesia lebih mengejar
target pragmatis semu yang menawarkan hiburan sementara, dan ternyata jalan
hidup inilah yang sudah ditempuh oleh semua lapisan masyarakat, baik kalangan
pejabat negara, swasta, maupun masyarakat di kelompok bawah.
Pelanggaran sosial begitu mudah ditemui dalam setiap sudut kehidupan
masyarakat. Berbagai kasus tindak kriminalitas dan pelanggaran norma-norma
sosial menjadi tontonan gratis yang mudah diakses semua kalangan. Kasus-
kasus penggunan narkoba dan gaya hidup seks bebas diindikasikan telah
menggejala kuat dilapisan para pelajar. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat
rentannya pola hubungan internal keluarga dan frustasi sosial yang sudah
semakin tidak menentu. Ditambah begitu mudahnya akses informasi tehnologi
dikalangan masyarakat Indonesia, melalui jaringan internet situs-situs yang
menampilkan gambar-gambar yang berberbau pornografi dan pornoaksi.
Gambaran tersebut tidak boleh dibiarkan terus berlanjut dan menjadi
sebuah tantangan yang harus diantisipasi sedini mungkin. Karena berimplikasi
terhadap kesehatan mental manusia Indonesia mendatang. Oleh karena itu
pembinaan iman bagi setiap pribadi-pribadi muslim menjadi sebuah keniscyaan.
Sebuah solusi efektif dalam rangka mencapai kebaikan bangsa Indonesia
mendatang.
⧫⬧⬧ ❑➔➔⬧ ⬧ ◆
→ ❑☺◼⬧ 
⧫⬧  ⬧
⧫ ⧫◆ ❑
⬧◆   ❑
❑➔➔⬧ ⧫ ◼⧫ 
 ❑☺◼➔⧫ ➔◆
⧫ ➔⧫⧫ ⬧
  ◆ ◼▪ 
  ⧫
 ➔◆  
 ⧫☺➔
”Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.
”Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di
dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
Sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”.(Q. S Al Imron, 3:135-136)

Pengaruh iman terhadap kehidupan umat manusia sangat besar. Berikut


ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan
umat manusia:
1. Iman sebagai sumber dan motivator perbuatan baik.
Iman menjadi kekuatan luar biasa yang mendorong seseorang untuk selalu
berprestasi dalam kehidupannya. Keberadaan seorang yang beriman dapat
mewarnai lingkungan sekitar dengan perbuatan-perbuatan positif. Seseorang
yang beriman diharapkan menjadi penggerak atas perbuataan-perbuatan
terpuji baik terhadap lingkungan sekitarnya maupun sosial
⧫  ⧫◆
❑➔☺⧫◆  ❑⧫◆
⬧
 ⧫◆⬧
◼⧫ ☺ 
⬧  
⬧ ⚫ ◆◆⬧◆
⚫ ⬧ 
➔⧫  ⬧⧫⬧◆
  ❑
 ❑  ⧫➔⧫
➔⧫ ⧫ ⧫◆  
➔ ⬧⬧ ⬧
 ⧫❑→
”dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka
Itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S An Nur, 24:55)

”Berbuat baik, berarti engkau patuh kepada Allah, seakan-akan engkau melihatnya. Dan
sekalipun engkau tidak merasa melihatnya, namun Allah senantiasa melihat kepada
Engkau”. (H.R Jamaah)

2. Membebaskan manusia dari perbudakan nafsu.


Nafsu memiliki kecenderungan untuk selalu dipenuhi, dan tidak pernah akan
puas. Ketika manusia bertindak atas dorongan nafsu maka hakikatnya
manusia seperti binatang. Kecenderungaan nafsu yang menghalalkan segala
cara untuk mencapi tujuan sesaat menggiring manusia pada kehancuran
dirinya. Pengendalian nafsu harus dilakukan untuk menghindari jurang
kehancuran. Kekuatan iman akan membimbing manusia untuk menuju
”kesempurnaan” mahluk Allah, melepaskan dari perbudakan nafsu yang fatal.
Iman menjadi pelindung terbaik atas dorongan nafsu binatang, seperti nafsu
birahi dan sebagainya. Dengan iman seseorang dapat menggapai rahmat
Allah.
  ⧫ ⧫ ⧫◆ 
❑ ◆ ▪
◼◆   ◼◆ ◆ ⧫ 
 ▪ ❑→
” dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.” (Q.S Yusuf, 12:53)

3. Iman menanamkan sikap percaya diri dalam kehidupan.


Rizki atau pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Banyak orang yang menanggalkan pendiriannya karena
kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang mereka tidak segan-segan
menjual harga diri dan kehormatannya untuk kepentingan materi.
Pegangan seorang yang beriman mestinya memiliki keyakinan kuat
bahwa segalanya telah menjadi aturanNya. Iman memancarkan kekuatan
untuk selalu percaya diri menghadapi kerasnya kehidupan. Percaya diri
bahwa Allah akan memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik
ketimbangan mengikuti dorongan perbuatan tercela. Bentuk keimanan ini
diwujudkan dengan selalu berdoa dan berdoa disertai ikhtiar yang
sungguh-sungguh untuk meraih harapan.
   ⧫◆ 
 ◼⧫  
◼➔⧫◆ ➔
⧫❑⧫◆ ▪⬧⧫
 ✓ ⧫   
”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata.” (Q.S. Hud,11 : 6)

4. Iman memberikan ketentraman jiwa


Sebagai mahluk hidup manusia selalu dihantui perasaan-perasaan tidak
menentu, gelisah dan kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai
keseimbangan.
❑⧫◆ ⧫
❑➔➔ ◆⬧◆
    
❑➔→ ☺⬧ 


”Orang-orang beriman yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah (zikir). Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram. (Q.S. Ar Ra’du 13:28)

Zikir adalah suatu amalan yang dapat mengangkat seseorang kepada


kemuliaan. Shalat adalah zikir yang dilakukan secara khusus. Zikir adalah
mengingat Allah. Bertasbih adalah juga zikir. Zikir merupakan salah satu
cara berhubungan dengan Allah yang dapat mengangkat makhluk ke
tingkat yang lebih tinggi. Karena sebenarnya semua makhluk hidup di
dunia juga berzikir kepada Allah. (QS Al-Anbiya [21]:79). Dengan zikir,
seorang hamba melakukan penyerahan diri Allah, Sang Penguasa
Tunggal. Sepantasnya, seseorang yang berzikir memiliki keberanian dan
keteguhan hati dalam menjalani problematika kehidupan.
”Setiap anggota badan dari seseorang di antara kamu dapat berbuat shodaqoh, setiap
tasbih (berzkir ”Subhanallah”) adalah shodaqoh, setiap tahmid (berzikir ”alhamdulilah”),
setiap tahlil (berzikir ”laa ilaaha illallah”) adalah shodaqoh, setiap takbir (berzikir ’Allahu
akbar”) adalah shodaqoh, amal makruf adalah shodaqoh, nahi munkar adalah shodaqoh,
tetapi semua itu bisa dicukupkan dengan (mendirikan sholat sunnah Dhuha dua rakaat.”
(H.R Muslim, Syarah Hadist Arbain Imam Nawawi)
Studi Kasus I
Keyakinan manusia terhadap Allah SWT terkadang memang sulit untuk
diketahui secara pasti karena tidak ternyatakan atau bersifat rahasia. Bahwa
penampilan secara lahiriyah seorang muslim dengan busana-busana keislaman
pun belum menjamin akan ketaatan terhadap perintah agama. Namun bukan
berarti bahwa kita menapik akan tampilan-tampilan keimanan seseorang secara
lahiriyah, karena hal itu juga sangat diperlukan dalam rangka mengkondisikan
kepribadiannya terhadap keimanannya. Sebailknya ada diantara kita, terutama
kelompok muda-mudi, menolak dengan kebiasaan-kebiasaan yang islami seperti
berbusana muslim atau mengucap kata-kata pujian seperti subhanallah,
alhamdulillah, astaghfirullah. Bagi mereka kebiasaan tersebut ”jadul” dan ”tidak
gaul banget”. Bahkan bahasa-bahasa gaul yang sangat seronok dan terkesan
porno lebih cepat diterima dikalangan mereka, bahkan mereka beranggapan
pengamalan nilai-nilai agama lebih pantas di usia senja alias usia tua.

1. Apakah anda sepakat dengan sikap penolakan diatas dan, bahwa agama
hanya pantas di usia senja?
2. Diskusikan kasus di atas dengan teman anda terkait firman Allah pada surah
Al A’raf ayat 172 yang berintikan bahwa seluruh roh manusia telah meyakini
nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT, kontras dengan
kenyataan ini bahwa diantara manusia ada yang suka berdusta, benci
dengan kebenaran agama, senang dengan perbuatan yang keji. Mengapa hal
itu bisa terjadi?

Kasus II
Astronot Rusia, Titov, pernah menceritakan pengalamanya ketika berada
di luar angkasa mengitari bumi dengan pesawat. Ia melihat fenomena alam
semesta yang mempesona dan menakjubkan, ia berberkata:
”...Tapi yang lebih menarik dari semua itu adalah pemandangan bumi
yang melayang di ruang angkasa dengan pesawat . sebuah pemandangan yang
tidak akan terlupakan dan tidak mungkin hilang dari bayangan orang yang
melihatnya. Ia bagaikan bola yang melayang di ruang angkasa dan tidak ada
yang memikulnya. Semua yang disekitarnya hanyalah ruang kosong”.
”Aku benar-benar terpaku untuk beberapa saat, lalu seketika muncul
pertanyaan pada diri sendiri. Apa gerangan yang membuatnya bertahan
melayang di sana...?
Demikian halnya dengan pesawat yang dikemudikan oleh Titov, juga tidak
ada dengan sendirinya atau ”bim salabim” langsung mengadakan perjalanan
keruang angkasa tanpa rancangan dan pengendalian para ilmuwan terbaik di
bidangnya.

1. Bagaimana pendapat saudara tentag kasus di atas sehubungan dengan


fitrah manusia mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan langit dan
bumi?
2. Bagaimana tanggapan anda dengan mereka yang beranggapan bahwa
segala fenomena alam ini adalah sebuah peristiwa biasa dan terjadi secara
kebetulan?
Bab 2

“Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang


lain “ (hadist). Kehadiran manusia menjadi bermakna ketika ia telah
berperan dalam kebajikan dan sebaliknya kehadirannya menjadi petaka
ketika selalu mementingkan sifat ke-aku-annya

MANUSIA DALAM
PANDANGAN AL QUR’AN

Keberadaan manusia

Manusia adalah satu-satunya mahluk yang bisa menjadi subyek dan objek
sekaligus. Diantara hal yang menarik minat manusia adalah manusia itu sendiri.
Ada tiga pertanyaan abadi tentang manusia yang selalu tak terjawab tuntas
sepanjang sejarah manusia, yaitu:
➢ Dari mana
➢ Mau kemana; dan
➢ Untuk apa manusia hidup di muka bumi
Pertanyaan pertama dan kedua relatif telah ada jawabannya. Kelompok
agamawan meyakini bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dan akan kembali
kepada Tuhan, sementara kelompok Atheis (anti Tuhan) memandang manusia
sebagai sesuatu yang datang secara alamiah dan akan hilang secara alamiah
pula. Pertanyaan ketiga-lah yang jawabannya mengandung implikasi luas dalam
kehidupan. Oleh karena itu, jawabannya tidak sederhana. Lahirnya filsafat,
psikologi, etika, ekonomi dan politik secara langsung dan tidak langsung
sebenarnya merupakan respon atas pertanyaan ketiga hal tersebut.
Uniknya pertanyaan itu tidak pernah terjawab tuntas, bahkan tidak jarang
kualitas jawabannya mengalami penurunan dibanding jawaban yang telah
diberikan oleh generasi sebelumnya. Rekaman perenungan

tentang manusia misalnya, dapat disimak pada pendapat para ahli filsafat
maupun psikologi. Perdebatan para ahli dapat dirumuskan dalam tiga
pertanyaan sebagai berikut:
1. Karakteristik apa yang membedakan manusia dari binatang?
2. Apakah tabiat manusia pada dasarnya baik atau buruk?
3. Apakah manusia memiliki kebebasan berkehendak atau kehendaknya
ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya?
Pertanyaan pertama dijawab oleh teori psikoanalisis (Freud),
Behaviourisme (Watson Skiner), assosianis (Hume), empirisme (Hobes),
dikatakan manusia itu sama saja dengan binatang, yakni mahluk yang
digerakkan oleh mekanisme asosiasi diantara sensasi-sensasi; yang tunduk
kepada naluri biologis, lingkungan, atau hukum gerak, sehingga manusia
dipandang mesin tanpa jiwa. Teori ini dikritik oleh teori eksistensialis dan
Humanis dan juga New Freudian, dengan mengembalikan jiwa ke dalam
psikologi, yakni bahwa manusia berbeda dengan binatang, karena manusia
memiliki kesadaran dan tanggung jawab serta unik. Manusia bukan hanya
digerakan oleh kekuatan di luarnya, melainkan di dalam dirinya juga ada
kebutuhan untuk aktualisasi diri sampai menjadi mahluk yang ideal.
Jawaban atas pertanyaan kedua juga berpola seperti jawaban pertanyaan
pertama. Kelompok pertama menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu
jahat, sedang yang kedua menyatakan sebaliknya.
Jawaban dari pertanyaan ketiga dapat dipahami dari paham determinisme
(pembatasan kehendak manusia) dan kehendak bebas (free will) atau yang
dalam Ilmu Kalam muncul istilah aliran Jabariah atau aliran Qodariah. Yang
pertama menekankan kekuasaan mutlak Tuhan; manusia tunduk tanpa daya
upaya. Sebaliknya, yang kedua menekankan keadilan Tuhan. Manusia memiliki
ruang untuk menentukan apa yang diinginkan.
Berikutnya adalah persoalan menarik yang masih dibicarakan para
ilmuwan adalah diseputar awal penciptaan manusia, karena ditemukannya
mahluk-mahluk berbentuk mirip manusia sebelum kita yang mereka namai Homo
Sapien. Namun, pandangan Islam adalah bahwa asal-usul materi manusia
adalah tanah. Berapa lama proses penciptaan manusia, bagaimana itu
dilalauinya dan apa saja prose situ hingga akhirnya ia menjadi manusia yang
kemudian ditiupkan Ruh Ilahi, tidak dijelaskan oleh Al Qur’an.kitab suci Al Qur’an
itu hanya menyebut proses pertama yakni tanah dan proses akhir yakni
penghembusan Ruh Ilahi setelah sempurna kejadian fisiknya. Adakah proses
lain dan berapa lama proses penciptaan itu, tidak dijelaskan Al Qur’an. Ini adalah
bidangnya ilmu pengetahuan.
Mahluk yang bernama manusia itu tercipta dari tanah dan Ruh Ilahi.
Karena adanya unsure tanah, maka ia dipengaruhi oleh kekuatan alam, sma
halnya dengan mahluk-mahluk hidup di bumi lainnya. Ia butuh makan, hubungan
seks dan sebagainya. Dengan akal dan ruhnya ia meningkat dari dimensi
kebutuhan tanah itu, meskipun ia tidak dapat dan tidak boleh melepaskannya
karena tanah adalah bagian dari substansi kejadiannya. Ruh pun memiliki
kebutuhan-kebutuhan, agar terus menghiasi manasia. Dengan ruh, manusia
diantar menuju tujuan non materi yang tidak dapat diukur dilaboratorium, tidak
juga dikenal oleh alam materi. Proses peningkatan manusia dari alam materi ke
alam pikir dan jiwa merupakan langkah yang tidak mungkin terlaksana melalui
proses evolusi material. Hal demikian terjadi merupakan kekuatan Sang
Pencipta, Allah SWT, dan itulah yang dirasakan manusia melalui kegiatan
spiritual. Dimensi spiritual inilah yang mengantar manusia cenderung kepada
keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian dan lain-lain.
  ⧫
◼ ◼◆ ◼ 
 ◼☺⬧
“Hai manusia, sesungguhnya engkau bekerja dengan sungguh-sungguh menuju
Tuhanmu, maka pasti engkau akan menemuiNya (Q.S Al Insyqoq, 84:6)

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik dan paling
sempurna di muka bumi ini. Karena manusia oleh Allah telah di bekali dengan
akal yang membedakannya dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lainnya,
dengan akalnya manusia bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil,
antara yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Sebagai mahluk Tuhan, manusia
mempunyai keunikan tersendiri sehingga antara manusia yang satu dengan
yang lainnya tidak pernah ada yang sama ,baik dalam segi fisik ataupun
kejiwaannya. Setiap manusia unik secara fisik sehingga setiap manusia
mempunyai sidik jari yang berbeda dengan yang lainnya. Unik secara mental
dan kejiwaannya, sehingga setiap manusia mempunyai karakter berbeda antara
satu dengan lainnya.
Manusia diciptakan sebagai makhluk berpribadi yang memiliki tiga unsur
padanya, yaitu unsur perasaan, unsur akal (intelektual), dan unsur jasmani.
Ketiga unsur ini berjalan secara seimbang dan saling terkait antara satu unsur
dengan unsur yang lain.
Unsur yang terdapat dalam diri pribadi manusia yaitu rasa, akal, dan
badan harus berjalan seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan
pincang. Sebagai contoh: apabila manusia yang hanya menitik-beratkan pada
memenuhi fungsi perasaannya saja, maka ia akan terjerumus dan tenggelam
dalam kehidupan spritualistis saja, fungsi akal dan kepentingan jasmani menjadi
tidak penting. Apabila manusia hanya menitik-beratkan pada fungsi akal
[intelektual] saja, akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang
rasionalistis, yaitu hanya hal-hal yang dapat diterima oleh akal itulah yang dapat
diterima kebenarannya. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal, merupakan
hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang
irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan [ilusi] semata-mata. Selain
perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani
atau badaniah, cenderung kearah kehidupan yang meterialistis dan positivistis.
Maka keseimbangan semua unsur menjadi penting bagi manusia dalam rangka
menjalani hidup dan kehidupannya.

Penyebutan Manusia
Penyebutan atau istilah manusia merupakan salah satu ciri karakteristik
manusia sebagai mahluk multidimensional. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Murtadho Muttahari yang mengemukakan bahwa manusia adalah mahluk serba
dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hamper sama dengan hewan,
membutuhkan makan dan minum, istirahat, berkembang biak, supaya dapat
tumbuh dan berkembang.dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang
bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian.
Dimensi kedua, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi
ketiga, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi keempat,
manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena ia
dikaruniai akal pikiran dan kehendak bebas, sehingga ia mampu menahan hawa
nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidup. Dimensi kelima,
manusia mampu mengenali dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya,
maka ia akan mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia
diciptakan, dari apa ia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk
apa ia diciptakan. Sejalan dengan hadits Nabi Saw “siapa yang telah mengenal
dirinya maka ia akan mengenal TuhanNya”.
Konsep manusia di dalam Al-Qur’an dipahami dengan memperhatikan
kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia, seperti: (a) basyar, (b)
insan, dan (c) al-nas. Kata lain yang merujuk kepada pengertian manusia adalah
“Bani Adam“ dan “Dzurriyat Adam“. Hanya saja kedua istilah terakhir ini tidak
memiliki makna filosofis yang tinggi dibandingkan dengan ketiga istilah
sebelumnya. Oleh karena itu, penjelasan tentang eksistensi manusia dari segi
agama Islam lebih mengutamakan pemakaian kata “basyar”, ”insan“ dan ”al-
nas”.

1. Basyar
Basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan
manusia lain sebagai satu keseluruhan sehingga seorang Nabi juga disebut
sebagai basyar (Q/18:110) yang memiliki sifat basyariah seperti manusia lainnya.
Allah SWT memakai konsep basyar dalam Al Qur’an sebanyak 37 kali. yang
memberikan pemahaman manusia sebagai makhluk biologis, yaitu satu sosok
tubuh manusia dengan kelengkapan berbagai organnya. Basyar adalah mahluk
yang sekedar ada (being), yang statis seperti hewan. :

 ⧫ ☺ ➔


◼ ❑ ➔
⬧ ⬧ ☺
❑⧫ ⧫ ☺⬧  ◼◆
☺➔◆⬧ ◼◆ ◆⬧
 ◆ ⬧ ◆⧫
☺⧫◼ ◼◆ ⧫➔

“Katakanlah: Aku ini manusia biasa (basyar) seperti kalian, hanya saja aku
diberi wahyu bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang satu). (Q.S Al-Kahfi
[18]:110)

Dari penjelasan di atas, kata basyar lebih menunjukkan pengertian


manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat-sifat biologis, seperti makan,
minum, tidur, istirahat, seksualitas dan berjalan-jalan. Hal ini berarti bahwa
manusia yang disebut dengan istilah basyar adalah makhluk yanag memiliki
multi-organik sebagaimana layaknya sebuah organisme dari suatu makhluk
hidup. Manusia dipahami sebagai mahluk hidup yang dipenuhi nafsu biologis.
Manusia sebagai basyar memiliki keinginan lebih kepada pemenuhan kebutuhan
jasmani. Sehingga jika manusia hidup sekedar pada pemenuhan kebutuhan
basyariah nya saja (biologis); makan, minum serta pemuasan nafsu, maka tidak
lebih dari seperti hewan.
Dalam pandangan scientific konsep basyar merupakan unsur material,
yang memiliki kesamanaan dengan mahluk-mahluk lainnya. Kesamaan inilah
yang menjadikan manusia terikat dengan aturan sunnatullah atau kaidah-kaidah
kehidupan biologis seperti berkembang-biak, mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangan dalam mencapai kematangan dan kedewaaan. Proses dan fase
perkembangan manusia sebagai mahluk biologis terdiri dari fase frenatal
(sebelum lahir), dari mulai proses penciptaan manusia berawal sampai
pembentukan fisik janin dan fase post natal (sesudah lahir), proses
perkembangan dari bayi sampai usia lanjut hingga menemui ajal.
  ◼ ⬧⬧◆
▪➔  ✓  ⬧◼
⧫⬧   ➔
◆◼ ➔  ✓
◆◼⬧ ⬧◼⧫ ⬧
◆◼⬧ ⧫ ⬧⬧◼➔
⧫❑⬧⬧ ☺⬧→ ⬧⧫☺
➔ ☺⧫ ⬧→➔
 ⧫◆  ⧫⧫
  ◆⧫⧫⬧
 ▪➔  ⧫✓⬧
 ⧫❑☺⬧ ⬧ ➔⧫
”Dan sunngguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari
tanah”
”Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim)”
”Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesatu yang
melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu, Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian, Kami menjadikanya mahluk yang (berbentuk) lain. Maha suci Allah,
Pencipta yang paling baik”.
”Kemudian setelah itu, sungguh kamu pasti mati” (Q.S Al Mukminun, 23:12-15)

Redaksi ayat di atas diperkuat oleh hadis Rasul yang termaktub dalam Hadis
Arbain Imam Nawawi sebagai berikut:
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: ”Telah bersabda
kepada kami Rasulullah saw dan beliaulah yang selalu benar dan yang
dibenarkan: ”Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan di dalam
rahim ibunya dalam empat-puluh hari berupa nuthfah (air mani) kemudian
menjadi segumpal darah selama itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi
segumpal daging selama itu juga, kemudian di utus malaikat kepadanya, lalu
malaikat itu meniupkan roh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat:
Menetapkan rezekinya, ajalnya, celakanya dan keberuntungannya. Maka demi
Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya ada seseorang diantara kamu
melakukan amalan ahli surga dan amal itu mendekatkannya ke surga hingga
kurang satu hasta, karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya, lalu dia
melakukan amalan ahli neraka sehingga ia masuk kedalamnya. Dan
sesungguhnya ada seseorang diantara kamu melalukan amalan ahli neraka dan
amalan itu mendekatkannya ke neraka hingga kurang satu hasta, karena taqdir
yang ditetapkan bagi dirinya, lalu dia melakukan amalan ahli surga sehingga ia
masuk ke dalamnya”. (HR. Bukhori Muslim)

2.. Insan
Kata insan dikemukakan Al-Qur’an tidak kurang dari 65 kali. Kata Insan
terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat
ini , jika dtinjau dari sudut pandang Al Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat
bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang). Kitab
suci Al Qur’an-seperti tulis Bint Al Syathi dalam Al Qur’an wa qodhaya-seringkali
memperhadapkan insan dengan jin, contoh pada surah Az Zariayat ayat 56. Jin
adalah mahluk halus yang tidak nampak, sedang manusia adalah mahluk nyata
(nampak) lagi ramah.
Istilah insan lebih dilihat dari penampilan sempurna manusia sebagai
ciptaaan Allah. Istilah ini dihubungkan dengan sifat psikologi atau spiritual
manusia yang mampu melebihi kapasitas mahluk Allah lainnya. ”Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam penampilan yang sempurna” (Q.S At
Tien: 4). Dalam pengertian pertama ini manusia digambarkan sebagai sosok
makhluk istimewa yang berbeda dengan hewan pada umumnya. Keistimewaan
manusia adalah karena ia telah diberikan seperangkat shoftware berupa ilmu
pengetahuan dan daya nalar yang luar biasa termasuk kekuatan basyiroh (hati
nurani).
Sementara pengertian kedua bertolak belakang, bahwa kata insan biasa
dihubungkan dengan predisposisi negatif. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang menunjukkan sifat-sifat manusia yang cenderung negatif, seperti: zalim,
kufur, bakhil, tergesa-gesa, gelisah, banyak membantah dan mendebat, tidak
berterima kasih, dan meragukan akan adanya hari akhir.
❑➔ ⧫   

“Sungguh manusia diciptakan bersifat suka mengeluh” (Q. S. Al Maarij, 70:19)

Kategori kedua ini memperlihatkan adanya pengertian paradoksal dengan


pengertian pada kategori pertama. Pada kategori pertama manusia lebih
ditujukan sebagai makhluk spiritual dengan beberapa kelebihan yang diberikan
Allah kepadanya yang semua itu tidak dimiliki makhluk-makhluk lain. Sedangkan
pada predisposisi negatif manusia cenderung pada prilaku salah, rusak dan
cenderung pasif. Dua kekuatan inilah yang selalu tarik-menarik. Jika kekuatan
spiritual dalam bentuk ilmu lebih menguasai kehidupan manusia dengan
mengalahkan kekuatan predesposisi negatif, maka manusia tersebut cenderung
berprilaku positif. Sebaliknya, jika kekuatan spiritual dikalahkan, bukan tidak
mungkin manusia tersebut berubah menjadi seekor binatang, bahkan bisa lebih
ganas (sesat) dari seekor binatang buas, sebagaimana ungkapan Al-Quran: “ka
al-an’am bal hum adhall”.

3. Al-Nash
Kata al-nas lebih mengacu kepada pemahaman bahwa manusia sebagai
makhluk sosial. Kata al-nas dalam Al-Qur’an diungkapkan tidak kurang dari 240
kali. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman manusia sebagai makhluk sosial
jauh lebih penting dan demikian kompleksnya. Namun, secara umum
karakteristik manusia sebagai makhluk sosial dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu:

a) al-nas adalah manusia sebagai makhluk sosial yang telah memilih


kelompok-kelompok sosial dengan karakteristik yang berbeda. Seperti
yang kita saksikan: ada kelompok manusia yang menyatakan beriman,
tetapi sebenarnya tidak beriman (munafiq). Ada kelompok manusia yang
menyekutukan Allah (musyrik). Ada kelompok manusia yang selalu
memikirkan kehidupan dunia dan kelompok yang membenci kebenaran,
ada yang berbicara tentang hakikat Allah tanpa ilmu, ada pula kelompok
yang menyambut Allah dengan iman yang lemah, bahkan ada kelompok
yang “menjual” pembicaraan yang menyesatkan, disamping ada pula
kelompok manusia yang menyembah Allah dan beramal saleh yang
didasarkan pada kekuatan iman dan ilmu yang dimilikinya. Kelompok
yang terakhir ini termasuk kelompok yang terkecil di antara kelompok-
kelompok lainnya.
b) al-nas menunjukkan bahwa sebagian besar manusia mempunyai kualitas
rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Oleh karena itu, banyak ayat Al-
Qur’an yang menunjukkan adanya sebagian manusia yang tidak berilmu,
tidak bersyukur, tidak beriman, fasik, melalaikan ayat-ayat Allah, bahkan
kafir, sehingga harus menanggung azab. Jika dicermati: sangat sedikit
kelompok manusia yang beriman, yang berilmu atau yang dapat
mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, yang bersyukur dan selamat
dari siksa Allah, dan tidak diperdaya menghadapi godaan syetan
(kelompok manusia yang bergelar “mukhlisin”, kelompok terpilih)
c) al-nas adalah manusia sebagai makhluk sosial, bukan sebagai makhluk
individual. Maksudnya adalah bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, ia
membutuhkan manusia lainnya, baik dalam memenuhi kebutuhan
esensial dirinya maupun kebutuhan sosial lainnya. Itulah sebabnya,
manusia hidup berkeluarga, membentuk kelompok-kelompok sosial,
bahkan mampu membentuk kelompok sosial dan kelompok kepentingan
(interest group) yang lebih besar (Q. S Al Hujurat, 49:13)

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia dengan menunjuk


kepada kata basyar, insan dan al-nas, yaitu makhluk Allah yang diciptakan dari
unsur material (basyar) dan unsur hembusan Roh Ilahi (insan dan al-nas). Unsur
material (basyar) memiliki kesamaan dengan unsur penciptaan makhluk lain
(hewan), sedangkan unsur hembusan Roh Ilahi (insan dan al-nas) adalah unsur
penciptaan manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk Allah lainnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa manusia di satu sisi adalah sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial, juga sebagai makhluk biologis dan makhluk
psikologis (spiritual). Sementara itu, dari segi hubungan dengan Allah,
kedudukan manusia sebagai hamba Allah dapat dikatakan sebagai makhluk
terbaik. “Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka’ (Q. Sal Hijr,
15:40)
 ⧫ 
 ✓◼☺
Potensi Manusia: fitrah, Potensi Akal, Qalbu dan Nafs
Yang banyak dibicarakan oleh Al Qur’an tentang manusia adalah sifat-
sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan
memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam
bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS. Al Tiin, 95:4), dan penegasan
tentang dimuliakannya mahluk ini dibanding dengan kebanyakan mahluk-
mahluk Allah yang lain (Q.S Al Isro,17:70). Kontras dengan pernyataan
tersebut, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya
dan mengingkari nikmat (Q.S Ibrohim, 14:34), sangat banyak membantah (Q.S
Al Kahfi, 18:54), dan berkeluh kesah lagi kikir (Q.S Al Maarij, 70:19) dan lain-
lainnya yang cenderung negatif.
Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an bertentangan satu sama
lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukan beberapa kelemahan
manusia yang harus dihindari. Di samping menunjukan bahwa mahluk ini
memiliki potensi (kesediaan) untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia
terpuji, atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.
Potensi manusia dijelaskan oleh Al Qur’an antara lain melalui kisah Adam
dan Hawa (Q.S AlBaqoroh, 2:30 dan 33). Dalam ayat itu dijelaskan bahwa
sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul
tanggung jawab Ke-Khalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping
tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani) mahluk manusia dianugerahi
pula potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.
◆ ⧫◆ ⧫◆
◼⧫ ⧫ ▪➔ 
⧫⬧⬧ ⬧◼☺
☺ ❑
⧫✓   →⬧

”dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-
orang yang benar!" (Q.S Al baqoroh, 2:31)
 ⧫⧫ ⧫⬧
☺◼⬧  
 ➔⧫
  ➔ ⬧ ⧫⬧
◆❑◆  ◼
⧫ ◼◆ ◆
⧫❑⬧  ⧫◆ ⧫➔

“Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah
berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"( Q.S Al baqoroh, 2:33)

Secara tegas Al Qur’an mengemukakan bahwa manusia pertama


diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi melalui proses yang tidak jelas rinciannya,
sedang reproduksi manusia meskipun dikemukakan tahapan-tahapannya,
namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
Isyarat yang menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian
tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fitrah, aql, qolbu, dan nafs.
Berikut uraian sederhana yang dapat dikemukakan untuk memahami istilah-
istilah berikut.
Fitrah
Manusia merupakan mahluk yang memiliki potensi, yaitu kelengkapan
yang diberikan pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi fisik yang digambarkan
secara biologis dan, potensi ruhaniah adalah ’aqal, qalb dan perasaan. Potensi
manusia ini juga dimaknai sebagai fitrah manusia. Fitrah manusia adalah
sunatullah dalam jiwa manusia.
Dalam bahasa Arab, fitrah mempunyai arti belahan, muncul, kejadian,
dan penciptaan. Kata fitrah merupakan derivasi dari kata fatara artinya ciptaan,
suci, dan seimbang. Louis Ma”luf dalam kamus Al Munjid (1980:120)
menyebutkan bahwa fitrah adalah sifat yang ada pada setiap yang ada pada
awal penciptaannya, sifat alami manusia, agama, sunnah. Jika fitrah
dihubungkan dengan manusia, yang dimaksud fitrah manusia adalah “apa yang
menjadi kejadian atau bawaan sejak lahir, atau apa yang bahasa Melayu
disebut keadaan semula jadi”. Fitrah manusia bisa dicari rumusan
karakteristiknya melalui penelitian empirik, tetapi juga dipahami dari teks Al
Qur’an. Teks Al Qur’an tentang fitrah manusia (dan tentang manusia secara
umum) ibarat brosur tentang suatu benda yang dikeluarkan oleh pabriknya.
Manusia adalah ciptaan Tuhan, sementara Al Qur’an adalah firman Tuhan
yang antara lain berbicara tentang karakteristik manusia yang diciptakanNya.
Dalam Al Quran kata fitrah dengan berbagai kata bentukannya disebut
28 kali; 14 kali disebut dalam konteks uraian tentang bumi atau langit, sisanya
disebut dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik yang berhubungan
dengan fitrah penciptaannya maupun fitrah keagamaan yang dimilikinya. Jadi
fitrah manusia adalah potensi psikologis dan rohaniah yang sudah ada dalam
desain awal penciptaannya, baik potensi yang mendorong kepada hal-hal
positif maupun yang mendorong kepada hal-hal yang negative. Dari ayat-ayat
Al Quran, dapat dirinci karakteristik fitrah manusia yang ditemukan pada Surah
As Syams ayat 8-10) :
◆❑➔ ☺⚫⬧
⧫ ◼ ⬧  ◆❑⬧◆
⧫ ⬧ ⬧◆  
 
(8)“…dan (demi) jiwa serta penyempurnaan (ciptaanNya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
(9)Sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (10)dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”

Ayat diatas mengisyaratkan bahwa Tuhan menciptakan jiwa manusia


sebagai sesuatu yang sempurna. Kata wa pada wa nafsin adalah bentuk qosam
(sumpah), kata yang dijadikan sumpah Tuhan. Kalimat wa nafsin menunjuk
bahwa nafs itu sesuatu yang memiliki kualitas hebat, dasyat, rumit dan
sempurna.dalam kalimat berikutnya, yakni wama sawwaha secara tegas
menyebut kesempurnaan dari jiwa itu. Wujud kesempurnaan jiwa itu antara lain
diberinya potensi (ilham) untuk memahami perilaku (nilai-nilai) buruk dan
membedakannya dengan perilaku takwa atau perilaku baik. Semua manusia
pada desain awalnya dipersiapkan untuk membedakan yang buruk dari yang
baik, tetapi apakah potensi itu akan aktif atau tidak masih bergantung kepada
proses berikutnya. Dalam hadits Nabi SAW disebutkan bahwa setiap bayi lahir
dalam keadaan fitrah (jiwanya dalam keadaan memiliki potensi universal, dan
bersih dari dosa warisan). Kedua orang tuanya (lingkungan hidup)-lah yang
selanjutnya akan berperan mengaktualkan potensi fitrah itu menjadi Yahudi,
Nasrani, Majusi, atau yang lainnya.
Dalam ayat 9 surat As Syams tersebut di atas disebutkan bahwa secara
fitri Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia pengetahuan tentang keburukan
(fujur) dan kebaikan (taqwa). Mengapa dalam ayat tersebut keburukan (fujur)
disebutlkan lebih dahulu, baru kebaikan (taqwa), bukanlah sekedar penyebutan,
melainkan mengandung makna bahwa jiwa manusia lebih mudah mengenali
keburukan, karena keburukan berseberangan dengan fitrah manusia sebagai
mahluk yang baik.
Pada hakikatnya manusia merupakan mahluk yang memiliki
kecenderungan kepada sifat-sifat kebaikan. Pandangan ini secara fitri dimiliki
oleh semua manusia sepanjang zaman. Dalam Al Quran kajian tentang kebaikan
menggunakan terma Al khoir. Al khoir mengandung arti kebaikan normative
yang datangnya dari Tuhan dan bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran,
berbakti kepada orang tua, menolong orang yang lemah dan sebagainya.
Pandangan ini secara fitri dimiliki oleh semua lapisan manusia di dunia.
Sedangkan bagaimana cara menegakkan keadilan dan kejujuran, atau
bagaimana caranya berbakti kepada orang tua, atau bagaimana caranya
membela orang lemah, tidak lagi masuk kategori Al khoir, tetapi masuk apa
yang dalam Al Qur an disebut al Ma”ruf, ya’ muruna bi al ma”ruf (Q.3:104).
Ma’ruf adalah sesuatu yang secara sosial dipandang memiliki kepantasan.
Secara bahasa, al ma”ruf artinya sesuatu yang diketahui, tetapi kemudian
diartikan sebagai kebaikan; mengandung makna bahwa pada dasarnya secara
fitri manusia mengetahui nilai-nilai kepantasan, nilai-nilai kepatutan, yang secara
sosial dipandang sebagai kebaikan.
Secara umum fitrah sebagai potensi psikologis seperti yang disebutkan Al
Qur’an hanya disebut sebagai kemampuan memahami keburukan dan kebaikan.
Akan tetapi, sesuai dengan kenyataan kehidupan bahwa manusia memang
dipersiapkan Tuhan untuk mengarungi kehidupan sebagai hamba, sebagai
khalifah, sebagai mahluk sosial, sebagai mahluk yang berpasangan, sebagai
mahluk yang unik. Maka dalam potensi awal itu niscaya sudah pula dipersiapkan
oleh Sang Pencipta segala subpotensi yang diperlukan ketika manusia hidup
secara aktual sebagai manusia di tengah masyarakat luas.
Fitrah manusia adalah kebaikan yang telah dipersiapkan sejak
kelahirannya manusia ke muka bumi. Lahirnya fitrah sebagai nilai dasar
kebaikan manusia dapat dirujukan pada Q.S Al A’raf ayat 172. pada ayat ini
fitrah dimaknai hanif (kecenderungan kepada kebaikan) yang dimiliki manusia
karena terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi. Persaksian
ini merupakan proses fitrah manusia yang selalu memiliki kebutuhan terhadap
agama, karena manusia dipandang sebagai mahluk religius. Ia bukan mahluk
amoral, tetapi memiliki potensi moral. Juga bukan mahluk mahluk yang kosong
seperti kertas putih sebagaimana yang dianut para pengikut teori Tabula Rasa,
Jhon Locke (ilmuwan asal Inggris).
Akal
Kata Aql tidak ditemukan dalam Al Qur’an yang ada adalah bentuk kerja-
masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali
pengikat, penghalang. Al Qur’an menggunakannya bagi ”sesuatu yang mengikat
atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Apakah
sesuatu itu? Al Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit, namun dalam konteks
ayat-ayat yang menggunakan akar kata ”aql dapat dipahami bahwa ia antara lain
adalah daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman
Allah dalam Q.S Al Ankabut, 29:43:
➢◼ ⬧ ◆
 ➔➔⧫ ⧫◆  
 ⧫❑☺➔
”Demikianlah itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada
manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang
berpengetahuan”.

Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan Al Qur’an


antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-
bukti keesaan Allah bagi ”orang-orang berakal” Q.S Al Baqoroh, 2:164, dan ada
juga bagi ulil albab yang juga dengan makna sama, tetapi mengandung
pengertian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan.
Dalam tulisannya ”Dia Di Mana-Mana”, Quraisy Shihab menjelaskan
bahwa akal adalah urusan kebenaran, ia adalah kendaraan pengetahuan, serta
pohon yang membuahkan istiqomah dan konsistensi dalam kebenaran. Karena
itu, manusia baru menjadi manusia kalau ada akalnya. ”Konon malaikat Jibril
datang kepada nabi Adam as, menyampaikan bahwa dia diperintahkan Tuhan
agar Adam memilih salah satu dari tiga pilihan Tuhan yang disodorkan; akal,
rasa malu dan agama. Maka Adam as. memilih akal. Jibril as. pun menyatakan
kepada rasa malu dan agama agar kembali. Tetapi keduanya berkata,”Kami
diperintahkan Allah untuk selalu bersama akal, dimana dia berada, karena itu
kami tidak akan pergi.” demikian riwayat yang dinisbahkan kepada Sayidina Ali
ra.memang ”Tiada agama tanpa akal, dan tiada juga agama tanpa rasa malu.”
Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkan
terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhoro, taffakur, tadabbur
dan sebagainya yang kesemuanya mengandung makna mengantar kepada
pengertian dan kemampuan pemahaman.
Aql dalam pengertian bahasa Indonesia berarti pikiran. Harun Nasution
menyebut akal dalam arti asalnya (bahasa Arab), yaitu menahan. Dan orang Aqil
di zaman jahiliyah yang dikenal dengan darah panasnya - adalah orang yang
dapat menahan amarahnya, dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan
tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
Senada dengan itu akal dalam Al Qur’an diartikan kebijaksaan, intelegensia dan
pengertian. Dengan demikian di dalam Al Quran akal diletakkan bukan hanya
pada ranah rasio tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan
dengan hikmah atau bijaksana.
Akal merupakan anugerah Ilahi yang berfungsi sebagai penggerak untuk
mengetahui. Manusia sebagai mahluk yang berpikir, jika melihat sebuah
kejadian, dalam dirinya timbul pertanyaan tentang kejadian yang dilihatnya, apa
yang terjadi, apa penyebabnya dan, apa akibatnya. Dengan akal inilah manusia
diberikan dorongan-dorongan psikologis atau yang disebut degan motif ingin
tahu. Motif ingin tahu yang merupakan tabiat manusia itu menggerakan manusia
untuk meneliti, mengungkap, dan mencari sebab akibat dari apa saja fenomena
yang yang menarik perhatiannya. Karena perhatian manusia berbeda-beda,
tingkat pengetahuan tentang objek juga berbeda-beda.
Besar kecilnya motif ingin tahu ini berhubungan dengan kapasitas
intelektual seseorang. Semakin tinggi kapasitas intelektual seseorang, semakin
kuat motivasinya untuk mempelajari bidang-bidang yang menarik perhatiannya,
dan pada akhirnya orang yang kuat kecerdasannya memungkinkan untuk selalu
menambah pengetahuannya dan menonjol dibanding orang lain. Wujud lain dari
motif ingin tahu adalah keinginan untuk mengetahui realitas baru, atau untuk
menghilangkan keraguan tentang hal yang sudah diketahuinya.
Berbicara akal tentunya tidak terlepas dari peran dan fungsi akal yang
memiliki keistimewaan dalam mengingat objek yang telah diketahuinya. Satu hal
yang penting adalah bahwa pemeliharaan akal dengan cara-cara yang telah
diatur oleh Islam akan menghasilkan out-put yang mengesankan, misalkan
dengan upaya ritual spiritual. Adalah peristiwa yang mengagumkan dikemukan
oleh pakar-pakar hadist menyangkut ingatan Imam Muhammad Ibn Ismail al
Bukhori (wafat 870 M) yang bukunya Shahih Al Bukhori dinilai sebagai buku
yang paling shahih (valid) setelah Al Qur’an. Dalam Mukhoddimah kitab Fath al-
Bar karya Ibn Hajar (wafat 1449M) disebutkan bahwa Imam yang berasal dari
daerah Bukhara –kini salah satu wilayah Republik Uzbekistan – berkunjung ke
Bagdad (ibukota Irak). Di sana ulama-ulama hadis bermaksud menguji ingatan
beliau. Maka mereka memilih sepuluh orang masing-masing secara bergiliran
menyampaikan sanad yakni rentetan nama-nama perawi hadis lalu menyebut
redaksi hadisnya masing-masing. Tetapi rentetan nama dan redaksi itu telah
mereka putar-balikkan alias dipalsukan. Setiap selesai seseorang
menyampaikan kesepuluh hadis yang diputar-balik itu, Imam Bukhori
menyatakan bahwa dia tidak mengetahui ke sepuluh hadis yang disebutkan.
Demikian satu persatu sehingga kesepuluh orang terpilih untuk mengujinya
selesai memaparkan hadis-hadisnya. Lalu Imam Bukhori mengulang satu
persatu pertanyaan mereka, sambil menyebut rentetan perawi yang telah
mereka putar-balikkan itu serta redaksi keliru yang mereka sampaikan lalu beliau
menyebut perawi-perawinya yang sebenarnya serta redaksi hadis yang shahih
sesuai dengan yang beliau hafal dengan benar. Demikian satu persatu, hingga
genap seratus hadis yang disampaikan oleh kesepuluh ulama tersebut. Yang
menakjubkan adalah bukan penyebutan rentetan riwayat yang shahih – karena
itu memang telah ada dalam benak beliau jauh sebelum kehadiran Imam Bukhori
dalam majelis “ujian”itu, tetapi kemampuan akal beliau mengingat secara rinci
satu persatu kesalahan yang disengaja oleh kesepuluh ulama itu, kesalahan-
kesalahan yang baru pertama kali beliau dengan di majelis itu. Kalau kita berkata
bahwa satu hadis minimal memiliki empat orang perawi, maka berarti ada empat
ratus nama, di samping teks hadis yang disebut oleh kesepuluh orang itu.

Qalbu
 ⬧ ◆ ◆ 

”(lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci “(Q.S As
Shoffat, 37 :84)
Adapun Al qalbu (kalbu) berasal dari kata qalaba yang berarti berubah,
perpindah atau berbalik. Musa Asyari ra. menyebutkan arti al qalbu dengan dua
pengertian, yang pertama pengertian fisilk, yaitu segumpal daging yang
berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri, yang sering disebut
jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat
ketuhanan dan rohaniah yaitu hakikat manusia yang dapat menangkap segala
pengertian, berpengetahuan dan arif. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam sedangkan
untuk mengingat Tuhan adalah kegiatan yang berpusat pada qalbu. Keduanya
merupakan kesatuan daya rohani untuk dapat memahami kebenaran sehingga
manusia dapat memasuki suatu kesadaran tertinggi yang bersatu dengan
kebenaran ilahi.
Qalbu merupakan bagian dalam jiwa manusia yang bekerja memahami,
mengolah, menampung realitas sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai
dengan potensinya, qalbu merupakan kekuatan yang sangat dinamis, tetapi ia
sangat temperamental, fluktuatif dan pasang surut. Untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya, qalb bekerja dengan jaringan akal. Akal
memilki kapasitas untuk berpikir, memecahkan masalah, dan membedakan yang
baik dari yang buruk. Namun, kondisi qalbu dan akal terkadang tidak optimal
sehingga sangat dimungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh syahwat, atau oleh
motif atas hal-hal yang bersifat negatif. Motif kepada kejahatan (perbuatan
negative) bersumber dari hawa nafsu yang digelitik oleh was-was setan untuk
segera mencari pemuasaanya.
Adapun pembicaraan seputar penggerak kepada kebaikan sebenarnya
merupakan gabungan dari berbagai motif yang diorganisir oleh akal dan qalbu.
Penggerak kepada kebaikan ini kemudian dimaknai adanya kesiapan atau
memiliki dorongan untuk melaksanakan kebaikan sebagaimana yang diajarkan
oleh Al Qur’an.
Dalam beberapa ayat kata qolb(kalbu) yang merupakan wadah itu,
dipahami dalam arti “alat” seperti dalam firmannyaNya: “Mereka mempunyai kalbu,
tetapi tidak digunakan untuk memahami”(Q.S Al A’raf, 7:179). Kalbu dapat menjadi
wadah sekaligus alat untuk meraih ilmu pengetahuan. Dan orang yang kalbunya
hanya menjadi wadah lagi sempit akan cepat tersinggung juga tidak memiliki
pengetahuan kecuali sedikit, dan itupun diperolehnya dari luar. Tak ubahnya
seperti kolam yang harus diisi air dari luar. Ada juga yang kalbunya seperti
sumur. Ia menjadi wadah sekaligus alat meraih pengetahuan. Bukankah sumur
memiliki mata air sekaligus menampung air? Air yang bersumber dari mata air
jauh lebih jernih daripada yang bersumber dari luar. Karenanya untuk memiliki
kalbu yang identik dengan sumur, kalbu perlu dibersihkan dari sifat kedengkian,
keangkuhan dan aneka kedurhakaan, seperti hal penggali sumur mengeluarkan
tanah dan bebatuan sampai dia menemukan mata air yang jernih
Bahasa Arab juga menggunakan kata qalb (kalbu) untuk menunjuk organ
manusia yang menjadi pusat peredaran darah dan terletak di rongga dada
sebelah atas itu. Artinya jika anda memahami kata qolbu di sini dalam pengertian
organ tubuh manusia, maka itu pun tepat, karena memang, jantung mempunyai
peranan yang sangat besar dalam kesehatan manusia. Namun agaknya bukan
itu yang dimaksud Rasul SAW, bahwa beliau lebih memaknai kalbu sebagai
pusat rasa, yakni kepekaan. Seseorang yang hilang kepekaannya, maka dia
tidak segan melakukan segala macam keburukan.

“Rasul bersabda: Sesungguhnya sebagian dari apa yang masih terekam oleh
manusia dari ungkapan kenabian masa lalu adalah: “Bila anda tak malu, maka
lakukanlah apa yang Anda inginkan”. (H.R Bukhori, Abu Daud, melalui Ibn
Mas’ud)

Nafs
Dalam bahasa Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya
adalah jiwa. Oleh karena itu, ilmu jiwa dalam bahasa Arab disebut ilmu nafs.
Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan sejak kurun waktu yang sangat lama. Dan
persoalan nafs telah dibahas dalam kajian filsafat, psikologi dan juga ilmu tasauf.
Dalam fisafat pengertian nafs (jiwa) merupakan substansi yang berjenis
khusus, yang dilawankan dengan substansi materi, sehingga manusia dipandang
memiliki jiwa dan raga. Juga teori dalam filsafat yang menyamakan jiwa dengan
pengertian tingkah laku.
Sedangkan dikalangan ahli tasauf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan
sifat tercela. Imam Al Ghozali misalnya menyebut nafs sebagai pusat potensi
marah dan syahwat pada manusia dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela.
Pendapat ini megacu pada hadits Rasul saw“’A da’a a’duwwika nafsuka allaty baina
janbaika”, Artinya:Musuhmu yang paling berbahaya adalah hawa nafsumu, yang berada
di antara kedua lambungmu”, (H.R Baihaqi.
Nafs diterjemahkan sebagai kekuatan yang mendorong manusia untuk
memenuhi keinginannya. Dorongan-dorongan ini lebih kepada tindakan yang
bersifat bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Dengan nafsu manusia dapat
bergerak dinamis dari suatu keadaan keadaan yang lain. Kecenderungan nafsu
yang bebas tersebut jika tidak terkendali dapat menyebabkan manusia
memasuki kondisi yang membahayakan dirinya.
Al Qur’an mengisyaratkan bahwa nafs sebagai sisi dalam manusia
berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku, sikap dan dengan
tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang nafs dalam Al Qur’an
mencakup (1) makna yang dapat dipahami dari ungkapan nafs, (2) nafs sebagai
penggerak atau dorongan tingkah laku dan (3) hubungan nafs dengan tingkah
laku manusia.
Tulisan dan kajian tentang nafs dari para cendikiawan muslim lebih
banyak bersifat reaksi terhadap pemikiran psikologi Barat yang bertentangan
dengan Islam. Sedangkan pembicaraan nafs dalam literatur klasik Islam
kebanyakan bercorak sufistik. Kecenderungan semacam ini dapat dipahami
karena kaum muslimin pada zaman awal tidak mengalami problem psikologis
seperti yang dialami masyatakat Barat. Para ulama lebih tertarik membahas nafs
muthmainnah dan nafs lawwamah sebagai upaya mencari solusi problem
kejiwaan dibanding membahas nafs sebagai sesuatu yang menggerakan tingkah
laku seperti yang disebut dalam Al Qur’an surah Ar Ra’du ayat 11
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri
yang merubahnya”. Imam Al Ghozali misalnya membahas masalah nafs dalam
Ihya ‘Ulum al Din pada bab ‘Ajaib Al Qulub. Al Ghozali membedakan nafs
dengan al qalbu, aql, dan ruh yang fokus pembahasannya bersifat sufistik.
Secara umum pusat perhatian Psikologi Muslim masih pada upaya
membantah teori psikologi modern menyangkut harkat dan martabat manusia,
dan pada tingkat terapan lebih memfokuskan pada pembicaraan kesehatan
mental, sehingga masih banyak aspek nafs dalam Al Qur’an yang belum
tersentuh oleh kajian mendalam, misalnya tentang hubungan nafs dengan
tingkah laku manusia serta sikap dan motivasi.
Isyarat tentang adanya penggerak tingkah laku manusia dalam system
nafs (nafsu) disebutkan Al Quran dalam surah Yusuf, 12:53, surah Al Baqoroh,
2:30 dan surah An Nash, 114:4-5
  ⧫ ⧫ ⧫◆ 
❑ ◆ ▪
◼◆   ◼◆ ◆ ⧫ 
 ▪ ❑→
…dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, kerena sesungguhnya nafs itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs yang diberi rahmat oleh Tuhanku (Q.S.
Yusuf (12):53)

Surah Yusuf tersebut secara jelas mengisyaratkan adanya sesuatu di


dalam system nafs yang menggerakkan tingkah laku, dalam konteks ayat ini
penggerak tingkah laku kejahatan. Secara rinci ayat tersebut mengisyaratkan
tiga hal:
1) Bahwa dalam system nafs manusia ada potensi yang menggerakkan
kepada tingkah laku tertentu. Dalam ayat ini tingkah laku yang
dicontohkan adalah tingkah laku keburukan, atau pada selera rendah,
yakni bisikan-bisikan yang datangnya dari dalam diri sendiri untuk
melakukan perbuatan yang memberi kepuasan tetapi buruk
nilainya(berakibat fatal)
2) Bahwa meskipun manusia memiliki kecederungan kepada keburukan,
tetapi sisinya dibuka pintu rahmat yang mengisyaratkan bahwa
manusia jika mau, bisa mengendalikan kecenderungan-
kecenderungannya, menekan dorongan-dorongannya dan bisa juga
tidak memenuhi dorongan buruk itu. Meskipun manusia memiliki
dorongan-dorongan negatif, tetapi ia tidak harus memenuhinya,
sebaliknya dengan akalnya ia bisa memilih mana yang baik dan
berguna untuk dirinya dan untuk orang lain.
3) Pengertian Rahmat Allah pada ayat ini harus dipahami bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan keseimbangan potensi, yakni potensi
positif dan potensi negatif sekaligus, dalam hal ini manusia diberi
peluang untuk memilih. Manusia bisa menunda atau meninggalkan
tuntutan selera rendahnya dengan kegiatan yang bisa
melemahkannya, yaitu kegiatan konstruktif (positif). Segala kegiatan
yang bernuansa “amal sholeh” seperti membaca Al Qur’an, membaca
buku, silaturahim dan sebagainya. Hal ini juga dibahas secara tuntas
oleh ulama terkemuka A’idh Al Qorni dalam karya ”La tahof wala
tahzan, menurut beliau sebaiknya diri kita selalu disibukkan dengan
kegiatan-kegiatan yang cenderung positif agar tidak terjebak pada
masalah yang kita hadapi. Karena umumnya manusia ketika dihadapi
masalah, mereka ”melampiaskan” dirinya kepada tindakan-tindakan
yang asusila atau perbuatan dliluar kebiasaan.

Karakter manusia
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan
Allah yang memiliki perbedaan-perbedaan substansial dengan mahluk Tuhan
lainnya. Manusia memiliki karakteristik yang khas. kekhasan inilah yang
menyebabkan manusia diposisikan sebagai mahluk dengan segala
tanggungjawabnya mengemban amanah mengelola alam semesta. Diantara
karakteristik manusia adalah sebagai berikut:

Aspek Kreasi
⧫◆ ⧫ ▪ ⬧⬧◆ 
  ◆❑◆
 ◆◆ ⬧⧫◆
◆⬧◆ ⧫
◼ ☺  ◼⧫
 ⬧
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan”.(Q.S Al Isro, 17:70)

Apapun yang ada pada tubuh manusia sudah dirakit dalam suatu tatanan
yang terbaik dan sempurna. Hal ini bisa dibandingkan dengan mahluk lain dalam
aspek penciptaannya. Mungkin banyak kesamaaan, tetapi tangan manusia lebih
fungsional dari tangan binatang simpanse, demikian pula organ-organ lainnya.
  ◆◼ ⬧⬧
 ❑⬧ 
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk”.
(Q.S At Tiin, 95:4)

Al Qur’an menyebut bahwa Tuhan telah menciptakan manusia (insan)


dalam konstruksi yang terbaik (laqod kholaqna fi ahsani taqwim). Sebagian
mufassir menyebut bentuk tubuh manusia sebagai tafsir dari ahsani taqwim.
Manusia merupakan mahluk dengan struktur psikologis yang paling prima.

Aspek ilmu
Manusia diberi anugerah ilmu pengetahuan berupa alat-alat kognitif yang
alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi,
eksperimentasi dan rasionalisasi. Dengan pengetahuan pula manusia
menciptakan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang.
◆ ⧫◆ ⧫◆
◼⧫ ⧫ ▪➔ 
⧫⬧⬧ ⬧◼☺
☺ ❑
⧫✓   →⬧


“dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


keseluruhannya” (Q.S AlBaqoroh,2:31)
Manusia sebagai mahluk yang berpikir, jika melihat sebuah kejadian,
dalam dirinya timbul pertanyan tentang kejadian yang dilihatnya, apa yang
terjadi, apa penyebabnya dan apa akibatnya. Dalam dirinya pun muncul
dorongan-dorongan psikologis untuk mengetahui hakikat dari kejadian yang
dilihatnya itu. Dorongan inilah yang disebut motif ingin tahu. Motif ingin tahu yang
merupakan tabiat manusia itu menggerakkan manusia untuk meneliti,
mengungkap, dan mencari sebab akibat dari apa saja fenomena yang menarik
perhatiannya.

Aspek Kehendak
Manusia memiliki kehendak yang menyebabkan bisa mengadakan pilihan-
pilihan dalam hidup. Mahluk lain hidup dalam suatu pola yang telah baku dan tak
akan pernah berubah. Manusia diberikan pilihan-pilihan hidup dengan
konsekuensi yang ada. Manusia diberi peluang untuk memilih salah satu dari
dua jalan yang disediakan Tuhan (wahadainahu an najdain, Q. S Al Balad,
90:10) untuk mengantar sampai pada keputusan untuk menentukan pilihannya,
manusia dipengaruhi oleh dua kekuatan, yakni kekuatan kebaikan dan kekuatan
kejahatan. Kekuatan kebaikan dipersonifikasikan dengan malaikat, yakni
malaikat yang membantu manusia menempuh jalan kebenaran (lihat.Q.S Al
Ahzab, 33:43). Sedangkan kekuatan kejahatan dipersonifkasikan dengan setan,
yakni untuk menggiring manusia pada jalan kesesatan seperti yang tersebut
dalam Al Qur’an Surah Al Baqoroh, 2:268)

Pengarahan Akhlak
Desain kejiwaan manusia itu sempurna; memiliki potensi untuk
mengetahui kejahatan dan kebaikan, diperlengkapi akal untuk berpikir, hati unutk
memahami, nurani untuk berintropeksi dan syahwat untuk menggerakkan
tingkah laku. Tingkah laku manusia adakalanya dikendalikan oleh pikirannya;
pada kesempatan lain oleh hatinya, dan lain waktu oleh syahwatnya.
Manusia adalah mahluk yang dapat dibentuk akhlaknya. Pembentukkan
akhlaknya manusia memang dipengaruhi sejauhmana faktor keturunan dan
lingkungan terhadap perilaku tersebut. Faktor mana yang dominan, pendapat
para pakar psikologi berbeda-beda. Ayat Al Qur’an menyebut adanya fitrah
keberagaman yang hanif pada manusia (Q.S Ar Rum, 30:30), tetapi dalam surah
An Nahl 78 disebutkan bahwa manusia dilahirkan dari rahim ibunya dalam
keadaan tidak mengetahui apa-apa (Q/16:78).
Hadits Nabi SAW sebagai penjelas dari firman Allah di atas memberikan
wawasan yang lebih jelas. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra dikatakan
bahwa: “Setiap bayi terlahir keadaan fitrah; kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Hadits ini
mengedepankan kuatnya factor lingkungan. Dalam hal ini, meski ada potensi
fitrah kebergaman Tauhid, tetapi jika kedua orang tua memberikan lingkungan
yang berbeda, seorang anak akan lebih terbentuk oleh lingkungannya. Maka
dalam hal ini pengarahan akhlak menjadi suatu keniscyaan bagi setiap orang
tua. Terutama pendidikan akhlak sebelum lahir, pra natalia education, dengan
menempatkan nilai-nilai spiritualitas dalam hubungan seks, seperti doa dan etika,
sehingga hubungan suami istri itu bermakna sakral bukan sekedar aktualisasi
syahwat semata.

Misi dan Fungsi Penciptaan Manusia


Misi penciptaan manusia adalah untuk penyembahan kepada Sang
Penciptanya, Allah SWT, Q.S Az Zariyat, 51:56. Pengertian penghambaan
kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit dengan hanya membayangkan
aspek ritual yang tercermin dalam ibadah sholat saja. Penyembahan berarti
ketundukan manusia kepada hukum-hukum Allah dalam menjalankan kehidupan
di muka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertical (habluminallah)
maupun horizontal (habluminanash).
Penyembahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan
manusia terhadap Sang Pencipta. Penyembahan manusia yang secara sadar
mengakui segala kelemahan. Oleh karena itu penyembahan tersebut harus
dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, karena Allah tidak membutuhkan
sedikitpun kepada manusia termasuk ritual-ritual penyembahan.
▪◆  →◼ ⧫◆
⧫  ➔◆ 
⧫◆    
  ❑☺➔  
➔ ▪ ◆❑➔ 
 ✓☺ ▪❑→
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah Ku.
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah
Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat Kokoh. (Q.S,Az
Zariat, 51: 56-58)

Penyembahan yang sempurna dari seorang manusia akan menjadikan


dirinya sebagai “kepanjangan” kekuasaan Allah di muka bumi dalam mengelola
kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga dengan hukum-
hukum alam yang kokoh. Keseimbangan pada kehidupan manusia dapat terjaga
dengan tegaknya hukum-hukum kemanusiaan yang telah Allah tetapkan.
Sehingga fungsi kemanusiaan yang hakiki dapat terpelihara secara baik.
Kehadiran manusia memberikan dampak positif yang konstruktif di tengah-
tengah alam ini, sesuai dengan fungsi semula manusia sebagai khalifah.
⬧◼☺ ◆ ⧫⬧ ◆
   
➔ ❑⬧  
  ⧫ 
⧫◆ ◆⧫ →◆
⬧◆ ☺⧫ 
 ⧫ ◼  ⧫⬧  ⬧
 ⧫❑☺◼➔⬧
“ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al Baqoroh,
2:30)

Tanggung jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah


Manusia merupakan mahluk tertinggi (fi ahsani taqwim) puncak ciptaan
Allah. Karena keutamaan itu manusia memperoleh status mandat mulia sebagai
khalifah di muka bumi. Status itulah yang mula pertama diterangkan Allah
tentang manusia. Khalifah berarti pengganti di belakang (successor). Manusia
adalah sebagai khalifah Allah di bumi. Artinya urusan dibumi ini diserahkan
kepada umat manusia. Memang untuk mengurus dunia itu, Allah memberikan
petunjuk-petunjuk, tetapi hanya secara garis besarnya saja. Allah tidak
memberikan petunjuk-petunjuk secara terinci, tidak pula keterangan terinci
tentang dunia ini. Tetapi Allah memberikan suatu alat yang bakal memungkinkan
manusia memahami dan mencari pemecahan atas masalah-masalah yang
dihadapi di dunia ini berupa akal pikiran atau intelegensia.
Pemilihan manusia sebagai khalifah memang semula menuai keberatan di
kalangan malaikat. Dalam surah Al Baqoroh diterangkan bahwa malaikat
mengajukan keberatan atas penunjukan manusia (Adam) sebagai ”wakil” Allah di
bumi. Alasannya para malaikat mengetahui lebih dahulu bahwa manusia suatu
saat nanti cenderung merusak tatanan bumi, saling membunuh, sedangkan para
malaikat kiranya lebih berhak menjadi khalifah, karena selalu berbakti dan
tunduk kepada perintah Allah SWT. Namun Allah mengatakan bahwa Dia
mengetahui kelebihan manusia tidak dimiliki oleh malaikat. Allah mengajarkan
kepadanya ilmu pengetahuan tentang “nama-nama (benda)”. Dalam bagian
pertama ayat 31 surah Al Baqoroh Allah menyatakan, Dia telah mengajarkan
kepada Adam nama-nama benda seluruhnya…” pengetahuan yang diajarkan
Allah kepada manusia (Adam) ini merupakan keunggulan komparatif manusia
dari mahluk-mahluk lainnya. Kelebihan itu ialah kecerdasan manusia yang
sanggup menerima pengajaran dan pengertian, dan mengenali dunia
sekelilingnya. Akhirnya malikat pun mengakui kelebihan manusia (Adam) serta
mereka pun tunduk (bersujud) kepadanya (Adam) kecuali Iblis.
Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing dan
mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya.
Manusia diserahi tugas kehidupan yang merupakan amanah Allah yang harus
dipertanggungjawabkan dihadapannya. Tugas kehidupan yang dipikul manusia
dimuka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan, “wakil” Allah
dimuka bumi untuk mengelola dan memelihara alam ciptaan Allah berdasarkan
ketentuan Allah.
◼➔  ◆❑➔
☺⬧    ◼
◆  ◼ ◼➔⬧ ⧫
➔ ⧫⬧ ⧫
◆  ⧫  ◆ 
➔ ⧫⬧ ⧫
  
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa
yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada
sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka. (Q.S Fatir, 35:39)

Kekhalifahan berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan.


Manusia menjadi khalifah memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat
kreatif yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang
ada dimuka bumi untuk kepentingan hidupnya.
Sebagai khalifah, manusia diberi ruang untuk memilih dan menentukan,
sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Adanya kebebasan
manusia dimuka bumi adalah karena kedudukannya untuk memimpin, sehingga
pemimpin tidak tunduk kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT, sang
pemberi mandat kepemimpinan. Oleh karena itu, kebebasan manusia sebagai
khalifah bertumpu kepada landasan Tauhid (La ilaha illallah), sehingga
kebebasan yang dimiliki tidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.
Kebebasan manusia dengan kekhalifahannya merupakan implementasi dari
ketundukan dan ketaatan. Ia hanya tunduk dan taat hanya kepada Allah.
Penciptaan alam semesta dengan hukum-hukum yang berlaku bagiNya
diserahkan kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan. Pengelolaan dan
pemanfaatannya atas alam semesta berserta isinya merupakan suatu
konsekuensi kehadirannya manusia sebagai mahluk berakal.
⧫   ⧫⬧ ⬧
 ⧫◆ ◆❑☺   ⬧
◼⧫ ⧫◆ 
 ◆⧫◆ ⧫⬧ ☺➔
  ⧫  ◆
◆ ➔ ◆  ⧫ 
  ⧫
“Tidakkah kamu perhatikan, sesungguhnya Allah telah menundukkan apa yang
ada di langit dan apa yang ada di langit untuk (kepentingan)mu dan
menyempurnakan nikmatNya untukmu lahir dan bathin…”( Q.S Luqman, 31:20).

Kedudukan manusia sebagai khalifah merupakan posisi “istimewa” (luar


biasa). Manusia diberi kesempatan mengatasi alam binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Manusia diberi kesempatan untuk membangun dunianya sendiri.
Dengan dituntun dengan integensia-nya manusia memainkan peran
kekhalifahnnya untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat, masa kini dan
mendatang. Intelegensia, akal pikiran atau intelektualitas (atau apa pun kita
menyebutnya) sebagai jenis kemampuan yang secara khusus hanya dipunyai
oleh mahluk manusia. Agar dapat menjalani perannya dengan baik untuk
mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi ini.
Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya manusia akan mampu
menjalankan kedudukannya sebagai khalifah mengelola dan memanfaatkan
alam semesta serta mengurus bumi ini untuk kepentingan hidup dan kehidupan
manusia serta mahluk lain dilingkungannya. Dalam mengelola dunia,
sesungguhnya manusia diuji apakah ia akan melaksanakan tugasnya dengan
baik atau sebaliknya. Mengelola dengan baik adalah mengelola kehidupan dunia
sesuai dengan kehendak Allah, sesuai dengan pola yang telah ditentukanNya
untuk kemaslahatan mahluk dibumi.
Kekhalifahannya manusia di muka bumi ini adalah suatu bentuk
tanggungjawab atas amanah Allah. Manusia diberi kebebasan (kemerdekaan)
untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Namun kebebasan yang tetap
terbingkai dengan kekuasaan Allah. Sehingga manusia harus selalu memohon
petunjukNya (mendirikan ibadah ) agar tidak melanggar batas-batas amanah
Ilahi. Keberadaan manusia sebagai “wakil” Allah dibatasi oleh aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang mewakilinya
yang telah diatur dalam teks kitab suci Al Qur’an dan Sunnah (Rasul), maupun
yang tersirat dalam kandungan alam semesta. “Tafakkaru fi kholqillah wala
tafakkaru fi zatillah”, manusia di beri kesempatan memikirkan serta merenungkan
segala ciptaan Allah beserta tatanan alam semesta. Memang dengan menerima
amanat ini manusia menghadapi resiko, karena ia akan menjadi mahluk yang
berpikir yang mungkin salah dan mungkin benar. Bila ia benar akan menerima
buah yang berguna, namun jika ia keliru akan menanggung resiko yang buruk.
Manusia adalah hamba Allah yang dipilih sebagai khalifah. Sehingga
identitas kehambaan (abdun) manusia akan berdaya guna dengan baik, jika
dikolaborasikan dengan kedudukannya yakni khalifah. Abdun merupakan potret
“kelemahan” mahluk Tuhan yang berani memikul tanggung jawab dalam rangka
melahirkan dinamika hidup, yang sarat dengan kreatifitas dan amal sholeh.
Kedudukan manusia sebagai khalifah dan hamba Allah, bukanlah posisi yang
bertentangan, melainkan satu kesatuan yang padu dan terintegrasi. Kekhalifahan
adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya. Dua
sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian
rupa.

Studi Kasus
Karakteristik manusia yang begitu kompleks mengindikasikan bahwa
manusia sebagai mahluk unik, baik dari segi penciptaan maupun
penampilannya. Manusia dapat dikategorikan sebagai mahluk istimewa
dibanding mahluk-mahluk lainya. Keistimewaan manusia dengan akal dan ruh
menempatkan sebagai khalifah dimuka bumi. Namun manusia adalah mahluk
biologis yang memiliki kemiripan dengan binatang. Karena masing-masing
dianugerahi nafsu, sehingga ia memiliki kecenderungan negatif. Misalkan, ketika
manusia telah menerima karunia berlimpah berupa tempat tinggal, keturunan,
kendaraan, ternyata semua itu masih dianggap belum cukup. Pemenuhan aspek
lahir lebih utama diutamakan ketimbang aspek ruhaniahnya.
Adalah si A merupakan anak manusia dengan pelbagai karunia Allah
yang dimilikinya. Seorang anak dari keluarga menengah. Kedua orang tuanya
menjadi pekerja di sebuah instansi swasta dengan penghasilan yang lebih dari
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya.
Kehidupan perkotaan memaksakan kedua orang tuanya sibuk memenuhi nafkah
lahir si A dan saudara-saudaranya. Sementara mereka mengabaikan pendidikan
bathin (spiritual). Dalam dunia pendidikan si A dapat dikategorikan sebagai anak
yang cerdas sehingga wajarlah baginya untuk menyelesaikan jenjang-jenjang
pendidikannya dengan cepat dan tepat, pun demikian dengan karier yang
sedang ditekuninya, berhasil mencapai puncak jabatan strategis.
Namun ternyata tidak semua kehidupan berjalan sesuai mulus. Ketika si
A berada di puncak karier, ia dihadapkan dengan persoalan kehidupan, salah
satu orang tua menderita penyakit keras dan membutuhkan dana yang sangat
mahal. Pada saat yang bersamaan, Si A mendapat tawaran dari seseorang
teman (dekatnya) untuk bersama-sama mengelapkan keuangan perusahan yang
jumlah sangat fantastis, ratusan milyaran rupiah. Si A tidak mampu menolak
rayuan temannya, ia berhasil memanifulasi data-data keuangan perusahannya,
setelah berhasil melaksanakan aksi kejahatannya. Lalu ia melarikan diri beserta
temannya ke luar negeri. Selanjutnya jadilah si A menjadi tersangka kejahatan
alias daftar orang dicari oleh pihak kepolisian.

Ilustrasi cerita singkat di atas dapat menggambarkan kepada kita


bagaimana sebenarnya keadaan dan situasi bathin si A sebagai daftar orang
boronan polisi, tenang, nyaman atau sebaliknya gelisah dan frustasi.

1. Bagaimana anda memandang cerita diatas. Wajarkah perilaku si A


menggelapkan dana perusahan untuk membantu salah satu orang tuanya
yang sakit.
2. Apakah kesibukan kita dalam berkarier tanpa memperdulikan aspek
ruhaniah dapat menjamin kebahagian hidup?
3. Diskusikan dengan teman anda mengapa manusia bisa terjerumus ke
dalam jurang kenistaan (kehancuran) ketika berada dipuncak sukses
karier, berbeda dengan cita-cita luhur sebelumnya.
Bab 3
◼◆  ⧫
⧫◼  ⧫◼ 
⧫  ◼⧫  
 ⧫ ◆◆
 ◼⬧ ⧫ 
⬧➔⧫ ⬧ ⧫  ⧫

Bacalah! Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah Tuhanmulah
yangMaha Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena.(Q.S Al Alaq,96:1-5)

HUKUM ISLAM DAN


SUMBER HUKUM ISLAM

Pengertian Hukum Islam


Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Jika kita berbicara tntang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita
adalah peraturan-peraturan atau seperagkat norma yang mengatur tingkah laku
manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan
atau norma yag dibuat dengan cara tertentu dan ditegakan oleh penguasa.
Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat,
mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan
seperti hukum Barat. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat ini adalah
hukum yang disengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan benda dalam masyarakat.
Berbeda dengan Hukum Barat, konsepsi hukum Islam merupakan
ketetapan hukum yang kerangkanya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak
hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam
masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam
masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
Hukum Islam ini lebih dikenal dengan sebutan Syariat Islam.
Dalam sistem hukum terdapat lima kaidah yang dipergunakan untuk
mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dibidang muamalah.
Kelima jenis kaidah tersebut dinamakan al ahkam alkhomsah atau
penggolongan hukum yang lima , yakni (1) jaiz atau mubah, (2) sunnat, (3)
makruh (4) wajib dan (5) haram.
Dalam pembahasan kerangka dasar agama Islam disebutkan bahwa
komponen kedua agama Islam adalah syariat yang terdiri dari dua bagian yakni
ibadah dan muamalah. Adapun ilmu yang membahas tentang syariat disebut
dengan Ilmu Fiqih.
Dilihat dari segi ilmu hukum syariat merupakan dasar-dasar hukum yang
diterapkan Allah melalui Rasulnya, yang wajib diikuti oleh pemeluk agama Islam
berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik hubungannya dengan
Allah maupun sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Dasar-dasar
hukum ini dijelaskan dan dirinci oleh Nabi Muhammad saw sebagai utusanNya.
Norma-norma yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah RasulNya masih
besifat umum terutama dibidang muamalahnya, karenanya setelah wafatnya
Rasul norma-norma dasar yang bersifat umum tersebut perlu diperinci lagi.
Perumusan dan penggolongan norma-norma dasar yang bersifat umum itu ke
dalam kaidah-kaidah yang lebih kongrit agar dapat dilaksanakan dalam praktek,
maka diperlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu. Ilmu tersebut sebagaimana
sudah disebutkan adalah ilmu Fiqih. Di Indonesia seringkali dua istilah yakni
Syariat dan Fiqih dirangkum dalam satu kata yakni ilmu hukum Islam tanpa
menjelaskan apa yang dimaksud. Perangkuman dua istilah tersebut dapat
dipahami karena hubungan keduanya sangat erat. Pada pokoknya perbedaan
antara Syariat Islam dengan Fiqih Islam adalah sebagai berikut:
1. Syariat terdapat dalam Al Quran dan kitab-kitab Hadits. Kalau seseorang
berbicara tentang syariat yang dimaksud adalah firman Allah dan Sunnah
Nabi Muhammad saw. Sedangkan Fiqih terdapat dalam kitab-kitab Fiqih.
Kalau seseorang berbicara tentang tentang Fiqih yang dimaksud adalah
pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat.
2. Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas
dari fiqih. Fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa
yang biasanya disebut perbuatan hukum.
3. Syariat adalah ketentuan Allah dan ketentuan Rasulnya, karena itu
berlaku abadi. Fiqih adalah karya manusia yang dapat berubah atau
diubah dari masa ke masa.
4. Syariat hanya satu, sedangkan Fiqih lebih dari satu seperti yang terlihat
pada aliran-aliran hukum yang disebut mazhab-mazhab.

Dari pembahasan yang sudah dikemukakan jelas bahwa Syariat adalah


semua ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Sifat
tetap dan tidak dapt diubah-ubah. Sedangkan Fiqih adalah pemahaman manusia
yang memenuhi syarat atau terhadap ketentuan yang ada dalam Al Quran dan
As Sunah terutama yang berkenaan dengan masalah kemasyarakatan. Hukum
Fiqih sebagai hasil pemahaman manusia terhadap apa yang ada dalam Al Quran
dan sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan
tertentu, dapat berubah dari satu masa ke masa yang lain dan dapat berbeda
dari satu tempat dengan tempat yang lain, dan bersifat zhanny (dapat
diragukan). Sedangkan syariat ada yang zhanny dan ada pula yang bersifat qothi
(mutlaq), seperti misalnya perintah sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan
yang berkenaan dengan Muamalah sifatnya zhanny kecuali Muamalah dibidang
perkawinan dan kewarisan.
Adapun Tujuan yang capai oleh Hukum Islam sebenarnya sudah nampak
pada ayat-ayat yang ada dalam Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
Secara umum para ahli merumuskan tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil segala sesuatu
yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat yaitu tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan. Menurut Abu IShak Al Shatibi, tujuan hukum
Islam adalah: (1) memelihara agama, (2)memelihara jiwa, (3)memlihara akal,
(4)memelihara keturunan, (5)memelihara harta. Kelima tujuan ini kemudian
disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan tersebut lebih
dikenal dengan al maqosid al khomsa.

Sumber Hukum Islam


Dalam kepustakaan hukum Islam di Indonesia, sumber hukum Islam
kadang-kadang disebut dengan dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam
atau dasar hukum Islam. Menurut surat Al Nisa ayat 59 setiap muslim wajib
mentaati ketetapan Allah, ketetapan Rasul SAW dan ulil amri yakni orang
yang mempunyai kekuasaan. Ketetapan Allah berupa ketetapan yang
termaktub dalam Al Quran, ketetapan Rasul yang termaktub didalam Hadits,
dan kehendak penguasa sekarang termaktub dalam hasil karya seseorang
yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai “kekuasaan”
berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua
sumber utamanya yakni Al Quran dan Sunnah.

Selanjutnya apa yang ditetapkan dengan jelas dalam Al Quran


tersebut kemudian dirumuskan lagi dengan jelas dalam percakapan antar
Nabi Muhammad dengan sahabat beliau, Muaz bin Jabal. Percakapan ini
dalam kepustakaan dikenal dengan Hadits Muaz bin Jabal. Menurut riwayat
pada suatu ketika, Nabi mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman untuk
menjadi Gubernur di sana. Sebelum berangkat Nabi saw menguji sahabatnya
yang bernama Muaz bin Jabal dengan menanyakan sumber yang dia
pergunakan kelak untuk memecahkan masalah-masalah atau sengketa yang
akan dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Muaz
dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Al Quran. Jawaban itu
disusul oleh Nabi SAW dengan pertanyaan; jika tidak terdapat petunjuk
khusus mengenai masalah itu di dalam Al Qur’an bagaimana ? Muaz
menjawab: saya akan mencarinya di dalam Sunnah Nabi. Nabi SAW
kemudian bertanya: Kalau engkau tidak menemukan petunjuk
pemecahannya dalam Sunnah Nabi. Bagaimana? Muaz menjawab: jika
memang demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber
pemecahannya dengan memmpergunakan akal dan mengikuti petunjuk saya.
Nabi sangat senang dengan jawaban Muaz itu dan berkata: “Aku bersyukur
kepada Allah yang telah menuntun RasulNya”. (HR.Ahmad, Abu Dawud, dan
At Turmuzdi)

Dari ayat dan hadits yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan


bahwa sumber hukum Islam itu ada tiga yakni (1) Al Qur’an (2) Sunnah dan
(3) akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran
ini dalam kepustakaan sering disebut dengan istilah Ar ra’yu. Atau pendapat
orang-orang yang memenuhi syarat unutk menentukan nilai atau norma atau
kaidah pengukur tingkah laku manusia dalam bidang kehidupan. Ketiga
sumber hukum Islam itu merupakan satu rangkaian kesatuan dan tidak boleh
dibolak-balik. Sedangkan Muhammad Idris al Syafii (Imam Syafii ra) dalam
kitabnya Ar Risalah fi Ushul Fiqh berpendapat bahwa sumber hukum Islam
ada empat yakni: (1) Al Quran (2) Sunnah (3) Al Ijma dan (4) Al Qiyas.

Di Indonesia, kedua susunan sumber-sumber hukum Islam tersebut,


tertulis dalam kepustakaan hukum Islam. Sebenarnya jika dikaji dengan
seksama, antara kedua sistematika sumber hukum Islam tersebut adalah sama.
Baik, yang menyebutkan sumber hukum Islam tiga maupun empat pada
prinsipnya mereka mengambil sumber yang sama yakni Al Quran surah Al Nissa
ayat 59 dan Hadits Muaz bin Jabal. Mereka sama-sama berpendapat bahwa
sumber utama dan pertama adalah Al Quran dan Sunnah. Sumber tambahan
yang lain pada hakekatnya juga sama, karena apa yang disebut oleh Syafii Ijma’
dan Qiyas sesungguhnya merupakan jalan atau metode yang dipergunakan oleh
akal pikiran manusia.

Al Qur ‘an

◼⧫ ◆⧫ ⧫ 


 ⬧ ⧫◆→
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad)
dengan berangsur-angsur”.(Q.S Al Insan, 76:23)

Al Qur’an merupakan sumber ajaran Islam utama dan wahyu Allah yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Wahyu Allah itu diturunkan dalam
bahasa Arab dan secara autentik terhimpun dalam mushaf Al Quran. Al Quran
adalah kitab suci yang demikian masyhur sehingga sulit untuk menemukan satu
definisi yang mencakup keseluruhan Al Quran, karena definisi yang ada masih
bersifat parsial; tergantung kepada jenis kajian yang dilakukan. Kendatipun
demikian salah satu definisi yang memiliki kekhususan dikemukakan disini, yaitu
dari Daud Al Attar (1979). Beliau menyebutkan bahwa Al Quran adalah wahyu
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara lafaz (lisan),
makna serta gaya bahasa (uslub)nya, yang termaktub dalam mushaf yang
dinukil darinya secara mutawatir. Definisi ini memiliki kekhususan sebagai
berikut:

a. Al Quran sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al Qur’an adalah wahyu
Allah, tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi
SAW.
b. Al Quran diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya.
Artinya isi maupun redaksi Al Qur’an bersumber dari Allah.
c. Al Quran terhimpun dalam mushaf, artinya Al Quran tidak mencakup wahyu
Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian
disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
d. Al Quran dinukil secara mutawatir, artinya Al Quran disampaikan kepada
orang lain secara terus menerus oeh sekelompok orang yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-
bedanya tempat tinggal mereka.
Al Qur’an artinya bacaan ( menggunakan bentuk kerja masdar) terambil
dari kata baca (qora’a). Sebagai kitab suci Al Qur’an menuntut setiap umat Islam
untuk membacanya bagi mereka yang pandai maupun awam. Sebuah
keharusan yang bernilai ibadah tidak ternilai, berbeda dengan bacaan-bacaan
lainnya. Membaca Al Qur’an tidak cukup sekali, perlu berulang-ulang. Membaca
Al Qur’an berulang-ulang menimbulkan gairah hidup, pengembangan gagasan
dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan bathin. Tiada bacaan seperti
Al Qur’an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan
kosakatanya, tetapi kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada
kesan yang ditimbulkan. Tidak mengherankan siapa pun yang diperdengarkan
nada-nada Al Quran dengan lantunan indah “tersentak” kagum. Sehingga Al
Qur’an begitu indah dilantunkan dalam kondisi apa pun. Al Qur’an layaknya
sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandang masing-masing.

Sungguh ayat-ayat Al Qur’an merupakan serat yang membentuk tenunan


kehidupan seorang muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena
itu seringkali pada saat Al Qur’an berbicara suatu persoalan menyangkut satu
dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi
bagi orang yang tekun membaca dan mempelajarinya akan menemukan
keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati
manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan
kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak
diketahui dimana ujung pangkalnya.

◆→  ⧫◆


◆❑◆◆  ◆❑➔ ⧫
⧫ ◆  ⧫✓⬧☺
  ⧫✓☺→
“ dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-
orang yang zalim selain kerugian”.(Q. S Al Isro,17:82)

Keagungan Al Qur’an adalah sungguh luar biasa. Terbukti hasil penelitian


Al Qodi di Klims Besar, Florida, Amerika Serikat, yang dilaporkan oleh Malik
Badri. Penelitian itu berhasil membuktikan bahwa dengan sekedar
mendengarkan bacaan Al Qur’an, seorang muslim, baik mereka yang berbahasa
Arab atau bukan- dapat merasakan perubahan fisiologis yang besar, seperti
penurunan depresi, kesedihan dan menolak berbagai penyakit. Penemuan Qodi
ini diperoleh dengan bantuan peralatan elektronik mutakhir untuk mendeteksi
detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik.
Penemuan itu menunjukan bahwa bacaan Al Qur’an berpengaruh besar hingga
97 %, dalam memberikan ketenangan dan penyembuhan penyakit.

Kehadiran Al Qur’an sebagai bahan bacaan menawarkan keagungan


kejiwaan bagi pembacanya. Al Qur’an bukan sekedar bacaan wajib dengan
pendekatan religius yang bersifat ritual dan mistik semata. Al Qur’an lebih
merupakan petunjukNya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan
nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian persoalan hidup.
Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita
mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas ketentraman
hidup pribadi dan masyarakat. Seluruh kandungan ayat-ayat Al Qur’an adalah
ayat-ayat CintaNya, sebuah pendekatan Allah kepada kekasihNya (orang-orang
beriman).

Itulah Al Qur’an dengan menggunakan bahasa cinta merangsang akal dan


menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi kasih. Ketika
umat manusia disuguhkan sekian banyak bahan bacaan feomenal karya
manusia, Al Qur’an tampil dengan gaya bahasa, ketelitian dan keseimbangan,
dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan
pemahaman dan kehebatan kesan yang yang timbulkan. Gaya bahasa Al Qur’an
menjadi daya tarik untuk dibaca, selalu ”indah” didengar dan diperdengarkan
kepada siapa pun. Sehingga bacaan AlQur’an terhindar dari kejenuhan bagi para
pembaca setianya.

Sebagai kitab suci, Al Qur’an mengentengahkan konsep-konsep yang


komprehensif, baik yang bersifat abstrak maupun kongret. Konsep tentang Allah,
konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang amal makruf, munkar dan
sebagainya, adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukan
konsep-konsep yang merujuk pada fenomena-fenomena yang kongret dan dapat
diamati (observable), misalnya tentang fuqoro’ (orang-orang fakir), dhu’afa
(golongan lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya
(orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufassidun (para koruptor kekuasaan),
dan sebagainya.(lihat Kuntowijoyo: 1993)

Semua konsep ini menjadi punya makna, bukan saja karena keunikannya
secara semantik, tapi juga karena kaitannya dengan matriks struktur normatif
dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan Al Qur’an dipahami. Dalam kaitan
ini, konsep-konsep Al Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang
doktrin Islam, dan lebih jauh tentang weltanschuauung (pandangan dunia)-nya.
Termasuk tentang kisah-kisah historis dan amsal (perumpamaan), Al Qur’an
ingin mengajak dilakukan perenungan untuk memperoleh wisdom
(hikmah).melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
historis, juga melalui metafor-matafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia
diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang
berisi ajakan semacam itu, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah
historis atapun menyangkut simbol-sombol. Misalnya simbol tentang rapuhnya
rumah laba-laba (Q.S Al Ankabut,29:41), tentang luruhnya sehelai daun yang tak
lepas dari pengamatan Allah (Q.S Al An’am,6:59), atau tentang kisah para
pemuda ”ashabul kahfi” yang tertidur di goa selama 309 tahun (Q.S AlKahfi,
18:9-19).
Jika dalam bagian konseptual kita diperkenalkan dengan pelbagai ideal-
type tantang konsep-konsep, maka dalam bagian yang berisi kisah-kisah kita
diajak untuk mengenal ache-type tentang kondisi universal, misalnya diceritakan
dalam bentuk kisah tentang kesabaran Nabi Ayub as (Q.S Sad, 38:41-44),
tentang kezaliman Fir’aun la’natullahi alahi (Q.S, Al A’raf,7: 127), atau tentang
pembunuhan hewan unta yang lakukan oleh kaum Tsamud (Q.S Al A’raf, 7:73-
77). Kisah kesabaran Nabi Ayub as misalnya menggambarkan tipe-tipe
kesempurnaan yang paling purba tentang betapa gigihnya kesabaran orang
beriman menghadapi cobaan apa pun. Kisah kezaliman Fir’uan menggambarkan
arce-type mengenai kejahatan tiranik pada masa paling awal yang pernah
dikenal manusia; sementara kisah kaum Tsamud yang membunuh hewan unta
milik Nabi Saleh as lebih menggambarkan arche-type mengenai penghianatan
massal oleh konspirasi-konspirasi kafir.

Al Qur’an memaksudkan penggambaran-penggambaran ache-type


semacam itu agar kita dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa
empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa empiris yang
terjadi dalam sejarah sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Bukan data
historis yang penting, tapi pesan moral. Bukan bukti objektif-empirisnya yang
ditonjolkan, tapi takwil subjektif-normatifnya. Al Qur’an mengajak para
pembacanya untuk merenungkan pesan-pesan moral Al Qur’an dalam rangka
mensintesiskan penghayatan dan pengamalan subyektif dengan ajaran-ajaran
normatif. Di sinilah Al Qur;an memainkan fungsinya sebagai transformasi
psikologis, dan itu sangat penting dalam rangka menciptakan syaksiyyah
Islamiyah (Islamic personality), serta penyempurnaan kepribadian Islam.

Sungguhpun demikian ajaran-ajaran keagamaan Al Qur’an tidak hanya


berfungsi untuk transformasi psikologis seperti itu saja. Al Qur’an juga berfungsi
pada level yang objektif untuk transformasi kemasyarakatan. Islam telah
membuktikan bahwa Islam merupakan suatu kekuatan perubahan sosial yang
besar. Tidak seperti agama-agama tertentu yang mementingkan pengembangan
spiritual dan moral pada level individual, Islam punya tugas untuk melakukan
perubahan sosial sesuai dengan cita-cita profetiknya dalam menciptakan
masyarakat yang adil dan egaliter, sebagaimana Al Qur’an menyampaikan
dalam surah Al Imron ayat 110 ”kuntum (umat Islam) khoiru ummat (the best
among) yang bertugas amal makruf nahi munkar. Sehingga posisi Al Qur’an
sebagai kitab wahyu Allah sangat begitu sempurna memiliki kebenaran-
kebenaran yang bernilai absolut (mutlaq), dan sinilah mengapa begitu sulit bagi
sebahagian ahli bahasa untuk mendefinisikan makna (arti) Al Qur’an,
sebagaimana diuraikan pada bahasan awal sebelumnya. Sekali lagi, karena
”tingkat kesempurnaan” yang begitu luar biasa jauh di atas kecerdasan
intelektual manusia untuk mendalaminya (Al Qur’an).

☺ ◆  → ◆


❑➔⬧ ⧫⧫ ◼⧫ ◆⧫
  ◆❑
 ◆ ❑◆
⧫✓    
⬧◆ ❑➔➔⬧  ⬧ 
◆ ❑→⬧ ❑➔➔⬧
 ❑➔◆ 
  ◆⬧◆
 ⧫⬧
”dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al
Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar”.
”jika kamu tidak dapat membuat(nya) – dan( pasti) kamu tidak akan dapat
membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia
dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (Q.S Al Baqoroh,2:23-24)

Mukjizat Al-Qur’an
Masalah yang dihadapi oleh kitab suci pada umumnya ialah ketidak-
mampuannya mempertahankan diri dalam wujudnya yang asli. Kemurnian
(keotentikannya) sebagai kitab suci telah tercemar oleh intervensi manusia dan
perkembangan zaman. Munculnya pemalsuan-pemalsuan data yang merusak
kaidah bahasa kitab suci sehingga tertelan oleh arus peradaban manusia.
Berbeda dengan dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Al Qur’an tampil sebagai
kitab yang sangat sempurna. Sejak diturunkan pada masa Rasulullah hingga kini
tetap dalam kemurnian, terpelihara dari pemalsuan-pemalsuan manusia. Tentu
jaminan Allah merupakan peran mutlak atas keberadaan dan keberlangsungan
Al Qur’an dimuka bumi

◆⧫ ⧫ 


⬧ ◆ ⧫
 ⧫❑→⧫
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya” (Q.S, Al Hijr,15:9).

” Ada beberapa faktor penting tetap terpeliharanya Al Qur’an di antaranya


adalah:
Factor pertama, adalah perjuangan besar Rasul SAW beserta para sahabat
mulia, yang senantiasa memelihara kemurnian dan kesucian ayat per ayat yang
turun kurun waktu tersebut. Tidak ada satu kitab suci agama mana pun, selain Al
Qur’an yang tetap tertulis dalam bahasa dan tulisan aslinya. Perjuangan Rasul
SAW beserta para sahabat dalam memelihara kemurnian ayat-ayat Al Qur’an
hingga mencapai kesempurnaan pembukuan (kodifikasi) terklasifikasi pada tiga
fase pelaksanaan, yakni:

(1) Masa Rasulullah SAW,


(2) Masa Khalifah Abu Bakar, dan
(3) Masa Khalifah Usman ibn ‘Affan.

(1) Masa Rasulullah saw


Pada masa kenabian, setiap tahun, Malaikat Jibril datang kepada
Rasulullah. Dia (Jibril as) lantas memeriksa bacaan dengan cara meminta
Rasulullah mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan sebelumnya.
Hal yang sama kemudian juga dilakukan oleh Rasulullah dengan mengontrol
bacaan para sahabat. Demikian upaya yang dilakukan untuk menjaga serta
memelihara ayat-ayat Al Qur’an, yang merupakan firman Allah.
Memang untuk menjaga otentitas kemurnian ayat-ayat Al Qur’an,
berbagai upaya positif telah dilakukan Rasul beserta para sahabat-sahabat setia
beliau. Sejak turunnya, Al-Qur’an selain dicatat, juga dihafal serta diamalkan oleh
para sahabat, besar atau kecil. Sejak itu seluruh ayat Al-Qur’an telah seluruhnya
tercatat dan sekaligus dihafal oleh para sahabat, walaupun ketika itu belum
dibukukan seperti sekarang.
Seperti telah diungkapkan terdahulu, sehubungan dengan proses
turunnya Al-Qur’an, Nabi SAW memiliki sejumlah sahabat yang bertugas
mencatat wahyu, di antaranya: Zaid ibn Tsabit (sekretaris), Abu Bakar al-Shiddiq,
‘Umar ibn al-Khathab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib, Zubair ibn ‘Awwam,
‘Abd Allah ibn Sa’ad, dan Ubay ibn Ka’ab. Sedangkan para penghafal Al-Qur’an
pada masa itu terdiri dari para sahabat besar, seperti Abu Bakar, ‘Umar,
‘Utsman, dan ‘Ali, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, ‘Abd Allah ibn Mas’ud, ‘Abd
Allah ibn ‘Umar, ‘Abd Allah ibn ‘Abbas, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, dan ‘Aisyah.

(2) Masa Abu Bakar ra


Pada masa awal kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq, banyak sahabat
yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan Yamâmah, yang terjadi beberapa
saat setelah wafatnya Rasul Allah SAW, sehingga hal ini menjadikan ‘Umar ibn
al-Khaththâb risau akan “masa depan Al-Qur’an”. Oleh karena itu, ia
mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh ayat Al-
Qur’an yang pernah dicatat pada masa Nabi SAW. Pada mulanya Abu Bakar
merasa sulit menerima usul tersebut, karena tidak pernah dilakukan Nabi SAW,
tetapi atas desakan ‘Umar ibn Khathab untuk meyakinkan Abu Bakar, maka
akhirnya dibentuklah tim yang diketuai Zaid ibn Tsabit. Tugas tim memeriksa
catatan-catatan yang dibuat para sahabat, dengan persyaratan: (1) catatan
harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain; (2) catatan tersebut ditulis atas
perintah dan dilakukan di hadapan Nabi SAW, yang untuk itu setiap pencatat
harus menghadirkan dua orang saksi mata.

(3) Masa Usman ra


Pada masa Khalifah ‘Utsman, penulisan Al-Qur’an dilakukan kembali
dengan memperbanyak mushaf untuk disyiarkan ke seluruh negara Islam,
mengingat para penghafal Al-Qur’an telah berpencar ke wilayah-wilayah baru
yang dikuasai Islam. Walaupun dalam penulisan kali ini terdapat sedikit
perbedaan cara membacanya, karena mengikuti dialek wilayah setempat. Pada
kali ini juga khalifah memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim. Tugas tim
adalah untuk menyalin dari naskah yang disimpan Hafshah binti ‘Umar, istri Nabi
SAW ke dalam beberapa mushaf, yang kemudian dikirim ke wilayah-wilayah
kekuasaan Islam untuk diperbanyak. Naskah asli yang dibuat Kalifah ‘Utsman itu
masih tersimpan dengan baik hingga sekarang. Atas usaha Khalifah ‘Utsmân
itulah, Al-Qur’an yang sampai pada kita sekarang ini disebut sebagai Mushhaf
‘Utsmani.
”Ketahuilah bahwa penyusunan Al Quran adalah pada zaman kenabian,
dan penyumpulannya pada mushaf adalah pada zaman Syaidina Abi Bakar
Shisiq dan penyalinannya ke dalam mushaf-mushaf adalah pada masa syaidina
Usman bin Affan ra. Dan sesungguhnya Al Qur’an itu sudah tertulis di masa nabi
SAW, tetapi belum dikumpulkan pada satu tempat, dan belum tersusun surah-
surahnya. Dan orang pertama yang menggagas nama al mushaf, dan
mengumpulkan Al Qur’an adalah Abu bakar Sidiq ra. Demikian yang dikabarkan
oleh ibnu Sa’ad dan Abi Syaibah” sebagaimana yang dikutip dalam Al
Qashthallani”. (Syekh Al Allammah Al Faqih KH.Syafii Hadzami: 1986, jilid. VI )

Selain faktor di atas bahwa kita harus mengakui derajat Al Qur’an


mencapai tingkatan tertinggi yakni sebagai Mukjizat Rasul Muhammad SAW..
Mukjizat secara bahasa berarti melemahkan. Al Qur’an. Al Qur’an sebagai
mukjizat menjadi bukti kebenaran Muhammad saw selaku utusan Allah yang
membawa misi universal. Al Qur’an diturunkan dengan susunan bahasa,
kandungan makna, hukum dan pengetahuan yang memiliki kandungan mukjizat,
yang ditujukan kepada orang-orang yang menentangnya. Ia menjadi dalil atau
argumentasi yang mampu melemahkan segala argument dan mematahkan
segala dalil yang dibuat manusia untuk mengingkari kerasulan Muhammad saw.
Pada garis besarnya, mukjizat itu terbagi dua, yaitu: (1) mu’jizat yang
bersifat material indrawi (tidak kekal), dan (2) mu’jizat immaterial rasional (kekal).
Mu’jizat kategori pertama adalah jenis mu’jizat yang dialami nabi-nabi terdahulu.
Sedangkan mukjizat kategori kedua adalah mu’jizat yang dialami Nabi
Muhammad saw. Contoh mukjizat kategori pertama adalah: mu’jizat tentang
tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as dalam kobaran api yang sangat besar, dan
mukjizat tentang berubahnya tongkat Nabi Musa as menjadi ular. Kedua mu’jizat
ini bersifat material indrawi, hanya terbatas pada waktu dan tempat nabi tersebut
berada, dan berakhir dengan wafatnya nabi yang bersangkutan. Lain halnya
dengan mukjizat yang dialami oleh Nabi Muhammad saw berupa Al-Qur’an, yang
sifatnya immaterial rasional dan berlaku abadi. Karena sifatnya yang demikian,
maka ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau waktu tertentu.

Sejak awal diturunkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, hal ini dapat
dipahami adalah sesuai dengan bahasa kepada siapa wahyu itu diturunkan yakni
masyarakat Arab (QS Ibrahim,14:4). Pesan itu dimaksudkan agar mudah
dipahami pembacanya. Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah
berarti bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.
 ❑▪  ◆ ⧫◆
✓⧫ ❑⬧ 
⧫ ⧫  ⬧  ⚫
◆❑➔◆  ⧫ ⧫ ⧫◆
 ⬧ ➔
“Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa
yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.

Tantangan terhadap orang-orang yang meragukan kemurnian Al-Qur’an.


Al-Qur’an sebagai mukjizat mengandung tantangan kepada orang-orang yang
meragukannya. Allah menantang orang-orang yang menyatakan bahwa Al-
Qur’an itu adalah karya Muhammad SAW.

Diantara temuan-temuan yang dapat diutarakan sehubungan dengan


kemukjizatan Al Qur’an adalah sebagai berikut:

1. keindahan seni bahasa Al qur’an (balaghoh), tidak hanya diakui oleh


kalangan sastrawan Arab saja tetapi diakui pula oleh para ahli yang
pernah mendalami dan mengkaji ilmu tata bahasa. Setelah
membandingkan antara bahasa Al Qur’an dengan syair dan karya sastra
lainnya, akhirnya mereka meyimpulkan bahwa bahasa Al Qur’an sangat
tinggi dan berbeda dengan syair serta karya sastra manusia pada
umumnya.

2. Kebenaran pemberitaan Al Qur’an tentang peristiwa yang terjadi pada


abad-abad yang silam, termasuk kebenaran dari sudut pandang ilmu
pengetahuan. Kisah nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, Nabi Musa dan
kaumnya, kasus Fir’aun, Siti Maryam dan Nabi Isa dan sebagainya. Hal
tersebut diperkuat dengan pembuktian ilmiah yang pernah dilakukan oleh
Maurice Bucaille- seorang ahli bedah terkemuka berkebangsaan Prancis
yang notebene awalnya beragama nonIslam - atas mumi Fir’aun, yang
merupakan sebuah terobosan spektakuler. Maurice mencoba
membuktikan bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci yang konsisten dengan
ilmu pengetahuan sains ilmiah. Al Qur’an begitu sempurna menceritakan
peristiwa tenggelammnya Fir’aun dilaut merah yang terjadi ribuan tahun
sebelumnya kadatangan Al Qur’an sekitar 1200 SM. ”Maka pada hari ini
Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan
dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami”.(Q.S. Yunus:92).
Maurice Bucaille menemukan garam didalam badan Fir’aun yang
menunjukkan bahwa Fir’aun memang pernah tenggelam dilaut. Berbeda
dengan Al Kitab dan Bibel, menurut Bucaille kedua kitab suci tersebut
tidak konsisten dan penurunannya bisa diragukan.
3. Kandungan Al Qur’an banyak memuat informasi tentang ilmu
pengetahuan yang bernilai spektakuler. Misalnya Al Qur’an menjelaskan
realitas ilmiah Identitas manusia yang dapat dilihat dari sidik jarinya. Allah
berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak mampu
menyusun (kembali) tulang-belulangnya? Bahkan, sebenarnya Kami
mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna” (QS Al-
Qiyamah [75]:3-4). Penekanan ayat tentang identitas manusia adalah
pada sidik jarinya, yang mempunyai makna khusus. Lebih dari satu milyar
manusia, masing-masing memiliki sidik jari yang berbeda, termasuk yang
kembar siam sekalipun. Itulah sebabnya mengapa sidik jari diterima
sebagai bukti identitas yang sangat penting, yang telah mendapat
pengakuan dunia. Perlu diketahui bahwa masalah sidik jari ini baru
ditemukan pada abad ke-19, padahal Al-Qur’an telah menginformasi-
kannya lebih 14 abad yang lalu.
Mansour Hasbu Annabi (guru besar ilmu fisika di Universitas Ain Syam)
sebagaimana diutarakan dalam karyanya yang berjudul Mukjizat Ilmiah
dalam Al Qur’an memberikan pandangannya tentang kecanggihan Al
Qur’an dalam mengungkapkan perpindahan roh di alam barzakh. ”Dia
mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-
Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitungan”. Menurut ayat ini, jarak yang ditempuh ”urusan
kosmis” pada jangka waktu satu hari bumi sama dengan jarak yang
ditempuh bulan yang berputar pada orbitnya dalam mengelilingi bumi
pada jangka waktu seribu tahun komariah. Sedangkan maksud firman
Allah ”menurut perhitunganmu” adalah di alam yang dapat kita saksikan
dan dalam hal-hal yang menurut ketentuan kita. Dengan menyelesaikan
persamaan Al Qur’an yang pertama ini, kita dapatkan kecepatan
2999792,5 km/detik. Sama persis dengan kecepatan cahaya dalam ruang
kosong yang telah diumumkan secara internasional dan benar-benar
sesuai dengan prinsip Einstein. Sedangkan, kedua, berbicara tentang
kecepatan roh dalam malaikat di alam ghaib. Menurutnya, kecepatan itu
sama dengan lima puluh kali kecepatan yang lalu. Atau, lima puluh kali
kecepatan cahaya. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Surah Al Maarij
ayat 4: ”Malaikat-malaikat dan roh naik (menghadap kepada Allah dalam
sehari yang kadarnya lima puluh tahun.” Ini berarti bahwa kecepatan roh
sama dengan 50 X2999792,5 km/detik.

Al Qur’an Sebagai Sumber Hukum


Al Qur’an dijadikan sebagai sumber hukum yang utama, karena Al qur’an
bersumber dari Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi manusia dalam menata
kehidupannya sehingga selamat di dunia dan akhirat. Al Qur’an memuat seluruh
aspek hukum terkait dengan Akidah, Syariah (baik mahdloh maupun muamalah)
dan akhlak serta terjaganya keaslian dan keotentikannya. Oleh karena itu wujud
pengamalan dari keimanan kepada Allah, Rasul dan Ktabnya dilakukan dengan
menerima dan melaksanakan ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an secara
utuh, bukan dengan sebagian dan mengingkari sebagian yang lain.

Al Qur’an mengatur mengenai hukum keluarga antara lain berupa


penjelasan tentang pernikahan, mahram, perceraian, macam-macam ’iddah, dan
tempatnya, pembagian harta pusaka dan sebagainya.

Pengaturan mengenai hukum pidana juga diatur dalam Al Qur’an. Hukum


pidana atas kejahatan yang menimpa seseorang adalah dalam bentuk qishas
yang didasarkan atas persamaan antara kejahatan dan hukuman. Di antara jenis
hukum qishas ialah qishas pembunuh, qishas anggota badan. Dalam
menetapkan hukum pidana, Al Qur’an senantiasa memperhatikan empat hal,
yaitu:

(a) Melindungi jiwa, akal, harta benda dan keturunan


(b) Meredam kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai
(c) Memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya;
(d) Menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatan, yakni bila pelaku
kejahatan tersebut orang terhormat, maka hukumanya menjadi berat, dan
jika pelaku kejahatan tersebut orang rendahan, maka hukumannya
menjadi ringan.

As Sunnah
 ❑◆ →◆ ⬧⬧
⧫ ◼⧫ ⧫ →→
→◼⧫  ⧫
▪ ◆ ✓⬧☺

”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”.(Q.S At Taubah,
9:128)

Al-Qur’an berisi petunjuk-petunjuk yang diperlukan oleh manusia dalam


menjalani hidupnya, namun petunjuk atau informasi itu masih bersifat global
(mujmal). Misalnya perintah shalat (aqimish shalat), shaum (kutiba ‘alaikumus
shiam), haji (wa atimmu hajj), berpakaian, berumah tangga, aktivitas ekonomi,
dan lain-lain.. Tetapi di dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara operasional
dan lebih rinci tentang tata-cara (kaifiyat, how to do) perintah-perintah itu. Oleh
karena itu Al-Qur’an masih memerlukan penjelasan-penjelasan (bayan) yang
lebih rinci (tafshil).
Untuk itu, Allah mengutus Rasul yang akan menjelaskan segenap aturan
Al-Qur’an. Rasulullah lantas mendemonstrasikan tatacara shalat, puasa, haji,
berdagang, berpolitik, berumah tangga, Dan Sebagainya. Apa yang dijelaskan
oleh Rasulullah, baik melalui perbuatannya (fi’liyah), ucapan-ucapannya
(qauliyah), maupun sikap diamnya (taqririyah), disebut Sunnah Rasul. Jadi
Sunnah Rasul adalah setiap prilaku, ucapan dan sikap diam Nabi saw.
Kedudukan Rasul adalah sebagai penjelas (bayin), yang menjelaskan dan
memberi contoh tentang seluruh pesan-pesan Al-Qur’an, dari mulai persoalan
etika makan sampai kepada soal bernegara dan mengadakan hubungan antar
negara. Oleh karena itu rasul adalah sebagai whole model (Uswah hasanah)
yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan).
Bagi seorang mukmin, mengetahui perilaku dan seluk beluk kehidupan
seorang model (idola) sangat perlu. Akan tetapi pada kenyataannya, orang yang
bisa melihat perbuatan Nabi sebagai model, baik tata-cara shalat, tatacara
shaum, maupun tatacara haji hanya sebagian sahabat saja, apalagi menyangkut
tata-cara berumah tangga dan hal-hal yang bersifat sangat pribadi, yang hanya
diketahui oleh isterinya. Sebahagian besar orang Islam pada saat itu hanya
mendengat beritanya. Berita itu bahasa Arabnya adalah khabar (akhbar) atau
hadits. Jadi hadits adalah berita tentang Sunnah Rasul. Hadist secara etimologis
berarti: kabar, berita, atau riwayat. Secara terminologis, hadis dapat diartikan
sebagai kabar, atau berita, atau riwayat tentang kehidupan Nabi SAW, baik yang
menyangkut perkataan (qaul), perbuatan (fi’l) maupun sikap (taqrir) sebagai
petunjuk pelaksanaan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an.
Pendek kata, Sunnah Rasul adalah faktanya, sedangkan hadits adalah
beritanya. Sunnah Rasul sebagai sebuah fakta, pasti benar mustahil salah.
Sedangkan hadits hanyalah beritanya. Yang namanya berita sering bias, ada
distorsi, mungkin benar (shahih) bukan lemah (dhaif). Sumber hukum kita
adalah Sunnah bukan Hadits. Akan tetapi bagaimana mungkin bisa mengetahui
Sunnah Rasul kalau tidak membaca haditsnya.

Para ulama Hadits memberikan pengertian secara terbatas adalah sebagai


berikut:
Hadits ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan yang sebagainya.
Hadis adalah penjelasan Nabi tentang ayat-ayat dan ajaran Islam. Sesuai
dengan berangsur-angsurnya Al Qur’an di turunkan, ia (hadis) tidak muncul
sekaligus. Akan tetapi, ia keluar sesuai dengan kebutuhan umat Islam dalam
ruang dan waktu ketika Nabi Muhammad saw masih hidup.
Sebahagian ulama membedakan antara Hadits dengan Sunnah. Letak
perbedaanya adalah jika Hadits segala peristiwa yang disandarkan kepada
Muhammad saw, meskipun hanya sekali saja beliau mengerjakannya sepanjang
hidup. Sedangkan Sunnah ialah segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi
Muhamad saw secara berkelanjutan dan dinukilkan kepada kita dari zaman
kezaman dengan jalan mutawattir. Nabi saw melakukannya perbuatan itu
besertakan para sahabat, kemudian hal itu diteruskan oleh sahabat lain dan
tabi’in, bahkan seterusnya oleh generasi demi generasi sehingga sampai pada
masa sekarang. Sunnah dalam makna inilah yang dimaksudkan dalam sabda
Nabi saw:
”Wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur
Rasyidin sesudahku”(H.R Abu Daud)
Ditinjau dari kualitas pemberitaan atau periwayatannya, maka dalam
Sunnah seluruh pemberitaannya adalah shahih (valid). Tidak demikian halnya
dengan Hadis, tidak seluruh pemberitaannya shahih.

Kedudukan dan Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an


Hadits atau Sunnah menempati kedudukan kedua setelah Al Qur’an.
Ketaatan kepada Sunnah berdasarkan firman Allah.
⧫❑▪◆  ❑➔◆
 ❑☺➔ →➔⬧
”Dan taatilah kepada Allah dan RasulNya, supaya kamu diberi rahmat”. (Q.S Al
Imron,3:132)

Al Qur’an menjadi sumber hukum yang pertama dan sunnah menjadi


sumber hukum kedua. Ulama hadits menetapkan bahwa keterangan atau
penjelasan sunnah terhadap Al Qur’an sebagai berikut:
1. Bayan Tafshil
Yang dimaksud bayan tafshil adalah bahwa Al Sunnah itu menjelaskan atau
memperinci .Fungsi ini merupakan fungsi yang paling dominan. Misalnya hadis
yang berbunyi:

“dirikanlah shalat sebagaimana kalian lihat aku mendirikan shalat”


Hadis di atas merupakan penjelasan atas ayat yang berbunyi: “Aqimi al-shalah”
(dirikanlah shalat) (QS Al-Baqarah, 2:43) Ayat tersebut menjelaskan bahwa
sholat wajib bagi setiap muslim mukhalaf( telah baligh). Namun kapan dan dalam
keadaan bagaimanakah kewajiban itu dilaksanakan, Rasulullah dalam hal ini
menjelaskan syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya bagi setiap orang
sesuai dengan keadaannya. Demikian pula orang yang dalam keadaan fisiknya
tidak memungkinkan mendirikan sholat dengan cara berdiri, diperkenankan
sambil duduk atau berbaring. Semua penjelasan masalah ini terdapat dalam
petunjuk Rasulullah saw.
2. Bayan Takhsish
Di dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang bersifat umum. Dalam keadaan ayat
seperti itu datang Hadits memberikan penjelasan tentang kekhususannya, yakni
disamping keumuman ayat itu ada yang dikhususkan. Perbedaannya dengan
bayan tafshil ialah jika bayan tafshil, Sunah berfungsi menjelaskan,
mentafshilkan Al Qur’an, dan kelihatannya tidak ada pertentangan, sedangkan
pada bayan takshish ini di samping Sunnah sebagai Bayan, juga antara Al Quran
dan Sunnah secara lahiriyah nampak ada pertentangan. Bagi jumhur ulama
bahwa Hadist Mutawatir yang mentakhsiskan ayat Al Qur’an .
contoh Sunnah mentakhsiskan Al Qur’an:
(a) Dalam Al Qur’an dikatakan bahwa setiap orang diperbolehkan menikahi
wanita-wanita bahkan juga berpolygami. Tetapi dalam hadits dikatakan:
”Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammah
(saudari bapak)nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)nya” (H.R
Bukhori Muslim)

(b) Dalam Al Qur’an dikatakan bahwa anak-anak mendapatkan harta waris


orang tuanya dan keluarganya.
”Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-
laki sama dengan dua bagian anak perempuan (Q.S An Nissa, 4:11).

Hukum yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat umum, artinya bahwa
setiap anak berhak mendapat harta waris dan bagian anak laki-laki dua kali
bagain anak perempuan. Ayat ini dikhususkan oleh Sunnah yang berbunyi:
”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi
harta si muslim” (H.R Jamaah)

(C) Al Qur’an menetapkan hukum haram atas binatang yang disembelih tanpa
meyebut nama Allah;
”Diharamkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah. Dan daging babi. Dan
daging hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula)yang disembelih untuk
berhala’ (Q.S. Al Maidah,5:3)
Kemudian Rasulullah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian
kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa. Dalam sabdanya beliau
menyampaikan:
”Dihalalkan bagi kamu 2 (dua) macam bangkai dan 2 (dua) macam darah. Dua
macam bangkai itu ialah ikan air dan belalang. Sedangkan 2 macam darah itu
ialah hati dan limpa’. (HR Ibnu Majah dan AlHakim)

3. Sebagai Penetap Hukum (Tasyri’) .


Yang dimaksud dengan penetapan hukum adalah Sunnah yang berfungsi
menetapkan hukum (tasyri’) tidak diatur dalam Al-Qur’an. Misalnya,
(a) Hadis yang melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari
pihak ibu atau pihak isteri. Ketentuan ini tidak didapatkan dalam Al-
Qur’an. Larangan dalam Al-Qur’an adalah menyangkut seorang suami
yang memadu istrinya dengan saudara kandung istri (QS Al-Nisa`
4:23).
(b) Hadis tentang had zina dengan memberlakukan hukum rajam
terhadap pelakunya, padahal hukum yang ditetapkan Al-Qur’an adalah
dengan jilid (hukum cambuk) (QS Al-Nur 24:2).
(c) Rasulullah melarang memakan setiap binatang yang bertaring dari
golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku kuat dari
golongan burung.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam Al Qur’an hanya
melarang darah, bangkai dan daging babi serta binatang yang
disembelih dengan nama selain Allah (Q.S Al Maidah:3)

Otoritas As Sunnah sebagai Sumber Hukum


Musthafa bin Husni Abu Bakar Al Sibai mengatakan bahwa ketiga fungsi
Sunnah sebagai diterangkan di atas, dua yang pertama disepakati oleh para
ulama, sementara ketiga diperselisihkan. Adapun masalah pokok yang
diperselisihkan itu apakah Sunnah dapat menetapkan suatu hukum tanpa
tergantung kepada Al Qur’an, atau apakah penetapan produk hukum baru itu
selalu mempunyai pokok dalam Al Qur’an.
Dalam persoalan tersebut, mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa
Nabi mempunyai otoritas untuk membuat hukum. Dalil yang yang dipergunakan
kelompok mayoritas itu antara lain:
a. Selama Nabi diyakini maksum, maka otoritasnyanya untuk melakukan
tasyri adalah suatu hal yang dapat diterima akal.
b. Kenyataan banyak nash Al Qur’an yang menunjukan wajibnya ittiba’
(megikuti) sunnah RAsul tanpa membeda-bedakan apakah sunnah itu
mubayyinah (menjelaskan) atau muakkidah (menguatkan) atau
mustaqillah (memiliki otoritas unutk menetapkan suatu hukum).
Kenyataan banyaknya hadits Rasul bahwa Al Qur’an dan Sunnah
merupakan rujukan utama.

Kelompok lain yang berpendapat bahwa ketetapan Sunah selalu merujuk


kepada Al Qur’an karena Sunnah tiada lain adalah sebagai penjelas Al Qur’an.
Kelompok ini mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
a. Kenyataan bahwa tidak dijumpai suatu perkara dalam Sunnah kecuali Al
Qur’an sendiri telah menunjukan makna baik secara global maupun
terurai.
b. Bahwa kewajiban untuk menaati Sunnah yang menjadi argumentasi
jumhur ulama (mayoritas ulama) diartikan sebagai ketaatan kepada Rasul
dalam kedudukan sebagai penjelas.

Jika dianalisis perselisihan pendapat tentang fungsi Sunnah terhadap Al


Qur’an sebagaimana diuaraikan diatas sebenarnya ditemukan persamaan, yaitu
sama-sama menetapkan adanya hukum-hukum yang terbit dari Sunnah. Hanya
saja, kelompok jumhur ulama melihat produk hukum dari Sunnah itu sebagai
berdiri sendiri. Adapun kelompok kedua melihat produk hukum Sunnah tersebut
sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari konteks Al Qur’an. Disepakati oleh para
ahli, bahwa Sunnah yang dijadikan dasar hukum, adalah Sunnah yang memiliki
kualitas mutawatir atau hadits-hadits shohih.

Macam-macam Hadits
Dilihat dari berbagai segi, Hadits dapat dibagi bermacam-macam, yang
masing-masing memiliki ketentuan dan derajatnya sendiri-sendiri, yang berbeda-
beda antara satu dengan lainnya.

a. Dilihat dari segi bentuknya, yaitu:


(1) Qauliyah , yaitu hadits yang berupa perkataan Nabi saw.
(2) Fi’liyah, yaitu hadits yang berupa perbuatan Nabi saw.
(3) Taqririyah, yaitu hadits yang berupa keputusan (hadits yang berupa
perbuatan sahabat yang disaksikan atau didengar Nabi saw, dan Nabi
saw tidak menegur atau menyalahkannya.

b. Dilihat dari segi jumlah orang yang menyampaikan atau yang


meriwayatkannya, yaitu:
(1) Mutawattir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak
terhitung jumlahnya, yang karena banyak ini, menurut akal, tidak mungkin
mereka bersepakat untuk dusta.
(2) Masyhur, yaitu hadis yang perawi lapis pertamanya beberapa orang
golongan tabiin, setelah itu tersebar luas dinukilkan orang banyak, dapat
dipastikan mereka tidak mungkin bersepakat untuk dusta.
(3) Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak
cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke tingkat
Masyhur.

c. Dilihat dari segi kualitasnya


(1) Shahih ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, hapalannya
sempurna, sanadnya bersambung, tidak terdapat padanya keganjilan,
dan tidak cacat.
(2) Hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, hapalnnya
kurang sempurna, sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan, tidak
terdapat cacat.
(3) Dhaif, hadis yang kehilangan salah satu dari syarat-syarat hadis shahih
atau hadis hasan
(4) Maudhu’ ialah hadis palsu.

Ijtihad
  ⬧ ☺ 
  →⬧☺◼➔ ◼⧫
 ❑→ ⧫ 
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S Al
Fatir,35:28)

Pada akhir hayat Rasulullah saw, terhentilah turunnya wahyu, otomatis


terhenti pula penjelasan hadis-hadis Rasul. Namun hal ini tidak berarti berhenti
pula penjelasan-penjelasan perkembangan ajaran Islam. Setelah kepergian
(wafat) rasul, terutama kepemimpinan Umar bin Khattab, dunia Islam meluas
melebihi Semenanjung Arabia. Perluasan ini mencakup dua negara adikuasa
kala itu: Byzantium dan Persia. Dalam perluasan wilayah ini tentu masalah-
masalah yang dihadapi para khalifah Islam semakin beragam dan komplek, tidak
sama lagi dengan masalah yang dihadapi Nabi Muhammad saw. Namun,
sejarah mencatat bahwa ajaran-ajaran Islam justeru terus berkembang. Bahkan
menghasilkan sejumlah temuan-temuan keilmuan yang cukup mengagumkan.
Hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dan waktu. Dengan demikian hukum Islam tidak bersifat statis dan kaku, akan
tetapi senantiasa dapat diterapkan dalam segala keadaan dan kondisi
masyarakat, kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Para ulama sejak dahulu selalu berusaha mendalami hukum-hukum yang
terkadung dalam Al Qur’an dan as Sunnah yang terkadang diantara mereka
terdapat perbedaan paham dan pendapat dalam menetapkan hukum yang
mereka istimbathkan dari Al Qur’an dan Sunnah tersebut. Disamping itu
seringkali para ulama menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang
belum pernah terjadi pada zaman Rasul saw, dan belum ada ketetapan
hukumnya. Dengan demikian, mereka harus berusaha dengan daya serta
kemampuannya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, Al Qur’an dan Sunnah. Usaha dan
pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ulama untuk menetapkan hukum
Islam inilah yang dikenal dengan sebutan ”Ijtihad”, sedangkan para ulama yang
melakukannya disebut ”Mujtahid”.

Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah derivasi dari kata jahada. Dalam pengertian hukum, Mukti
Ali menyebutkan bahwa ijtihad adalah berusaha sekeras-kerasnya untuk
membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah hukum. Ijtihad
adalah pengerahan kemampuan intelektual (akal) secara optimal dari sejumlah
uli al-amr (ulama) Muslim pada suatu masa untuk mendapatkan suatu solusi
hukum terhadap berbagai permasalahan umat yang terjadi. Dalam bahasa lain,
ijtihad berarti proses penelitian hukum secara ilmiah berdasarkan Al Qur’an dan
An Sunnah.
Pengertian ini tercermin dalam Hadis Nabi SAW ketika Mu’adz ibn Jabal
diutus ke Yaman, yang di dalamnya terdapat ungkapan “ajtahidu bira’yi” (Aku
akan ber-ijtihad dengan pikiranku). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa
ijtihad itu mengacu kepada aktivitas intelektual.
Munculnya penalaran dalam bentuk ijtihad, didasarkan pada kenyataan
bahwa tidak semua problem kehidupan manusia, terutama yang berkaitan
dengan hukum, telah diungkap secara rinci di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ditambah lagi dengan dinamika sosial yang berkembang pesat, sehingga sangat
mungkin muncul peristiwa-pristiwa baru yang tidak ditemukan hukumnya secara
eksplisit maupun implisit di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam kehidupan
dewasa ini banyak ditemukan kasus yang memiliki implikasi hukum, seperti:
penggunaan alat kontrasepsi keluarga berencana (KB), transaksi dagang melalui
perantaraan bank dan pos, asuransi jiwa, reksadana, rekayasa genetika
(kloning) baik terhadap jenis tumbuh-tumbuhan, hewan maupun manusia.
Demikianlah, ijtihad merupakan wacana yang biasa dipakai dalam Ushul Fiqh
dan dalam pemikiran Islam lainnya.

Dari batasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa ijtihad pada dasarnya


merupakan proses penggalian dan penetapan hukum syari’ah yang dilakukan
oleh para mujtahid Muslim, dengan menggunakan pendekatan nalar, melalui:
Qiyas, Mashalih al-Murasalah, Istihsan, dan ‘Urf, yang dilakukan secara
independen, guna memberikan jawaban hukum atas berbagai persoalan ummat
yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Oleh
karena itu, lahan kajian ijtihad, merupakan lahan kajian yang cukup luas, meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia, seirama dengan perkembangan tuntutan
akselerasi zaman.
Beberapa alasan tentang keberadaan Ijtihad diantaranya adalah:

1. Eksistensi ijtihad sebagi salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an
dan Sunnah, merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan, terutama
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW guna mengantarkan manusia
dalam menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin mengglobal.
Karenanya perkembangan zaman yang begitu dinamis dan senantiasa
berubah, maka eksistensi ijtihad harus senantiasa bersifat dinamis dan
senantiasa diperbaharui, seirama dengan tuntutan perkembangan zaman,
selama tidak bertentangan dengan prinsip pokok Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos ke-
jumud-an (baca: kebekuan), memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
dari ajaran Islam, mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah
kehidupan kontemporer, yang menurut Al-Suyuthi, perlu dilakukan setiap
saat oleh seseorang atau sekelompok orang yang mampu berperan
sebagai mujtahid.
Sedangkan untuk menjadi Mujtahid harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya
2. Mengetahui nash-nash al Qur’an perihal hukum-hukum syariat yang
dikandungnya, ayat-ayat hukum, cara-cara mengeluarkan (istimbath)
hukum dari Al Qur’an. Selain itu juga harus mengetahui antara lain
asbabun nuzul (sebab turunya suatu ayat) tafsir dari ayat yang hendak
ditetapkan hukumnya (istimbath).
3. Mengetahui nash-nash hadist yaitu mengetahui hukum syariat yang
didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan (istimbath) hukum
perbuatan orang mukalaf dari padanya. Disamping ia harus mengetahui
derajat dan nilai hadis seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan dan dhaif
juga harus mengetahui keadaan perawinya, mana hadis yang tsiqoh
(terpercaya) hingga dapat digunakan hujjah dan mana yang ghairu tsiqoh
(tidak terpecaya) untuk ditolak hadisnya.
4. Mengetahui maqishidus syariah (tujuan syariah), tingkah laku dan adat
kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan kemudharatan.

Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dinilai valid adalah antara lain:
a. Qiyas (reasoning by analogi) yaitu menerapkan hukum perbuatan tertentu
kepada perbuatan lain yang memiliki kesamaan. Imam Syafii ra.
mengatakan ”setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam
wajib melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada ketentuan hukumnya
yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad,
melalui qiyas”. Contoh qiyas diantaranya adalah Al Qur’an melarang
konsumsi minum-minuman berjenis Al khomr (Q. S. Al Maidah, 5 :90) dan
hukum perbuatan mengkonsumsi minum-minuman yang berefek
memabukkan. Mengacu pada dampak negative yang diakibatkan seperti
gangguan mental organic atau gangguan prilaku bahkan gangguan medis.
b. Istihsan, yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan prinsip-
prinsip umum ajaran Islam, seperti prinsip keadilan dan kasih sayang.
Misalnya seseorang mesti memilih satu dari dua alternatif perbuatan yang
sama-sama buruk. Maka ia mengambil salah satu yang diyakini paling
ringan keburukannya.
c. Masalihul mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan tinjauan
kegunaan atau kemanfaatn sesuai dengan tujuan syariat. Perbedaannya
dengan istihsan adalah jika istihsan menggunakan konsiderasi hukum-
hukum universal dari Al Qur’an dan Sunnah atau menggunakan dalil-dalil
umum dari kedua sumber tersebut, sedangkan masalihul mursalah
menitikberatkan kepada kemanfaatan perbuatan dan kaitannya dengan
tujuan universal syariat Islam.

Lapangan ijtihâd
Kehadiran permasalahan yang kompleks seiring perkembangan zaman
menuntut para ulama. Para ulama dituntut untuk mencari solusi dengan cara
memahami secara baik masalah yang dimaksud, kemudian membahasnya
secara seksama, dengan tetap merujuk kepada jiwa hukum yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian para ulama dituntut untuk mempelajari
dan meninjau kembali masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumnya,
kemudian menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi yang berkembang.
Lapangan Ijtihad dapat dilakukan terhadap segala hal yang menyangkut
berbagai bidang kehidupan muamalah, mulai dari bidang ekonomi, politik, sosial-
budaya, sampai pada masalah-masalah rekayasa manusia (kloning) dalam
bidang ilmu kedokteran, selama belum ada ketentaun yang melarangnya. Bidang
muamalah dalam Al-Qur’an pada umumnya dikemukakan secara global, berupa
prinsip-prinsip dasar, kaedah-kaedah umum, dan bersifat terbuka untuk
menerima berbagai panafsiran, sedikit sekali yang terinci dan yang dinilai qath’i.
Namun, semua itu mengacu kepada prinsip-prinsip dasar yang telah digariskan
Al-Qur’an, seperti: kewajiban menegakkan keadilan, prinsip musyawarah,
memelihara hak-hak seseorang, dan menunaikan amanah.
Dalam menghadapi permasalahan kontemporer, para ulama mempunyai
modal yang cukup. Kaidah-kaidah umum syari’at Islam terbentang luas bagi
siapa yang mau memanfaatkannya. Satu hal yang sangat prinsip dalam
melakukan kajian ini ialah dengan mengorientasikan akal pikiran kepada
maqashid syari’ah (tujuan syariat Islam), yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
Dibolehkan atau dilarangnya suatu perbuatan dalam pandangan Islam
diukur dari sudut mashlahat (mengandung kebaikan) dan mafsadat
(mengandung keburukan atau membahayakan)-nya, baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain. Sesuatu yang maslahahnya lebih dominan dalam pandangan
akal yang sehat dibolehkan selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Sebaliknya, jika unsur mafsadat (bahaya)-nya lebih dominan,
maka otomatis hal itu dilarang. Pelarangan itu ada yang bersifat langsung dan
ada yang bersifat tidak langsung.
Namun, jika berada pada posisi antara perbuatan yang menguntungkan
dan perbuatan yang merugikan kehidupan manusia, misalnya di bidang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi: pada satu sisi rekayasa di bidang ilmu
pengetahuan adalah sah saja, tetapi di sisi lain, jika berdampak negatif kepada
kehidupan manusia, maka hal itu harus dilarang. Dengan demikian, kemajuan
baru dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi tidak dapat dilihat sebagai cabang
ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi harus dilihat juga persentuhannya
dengan masyarakat, budaya dan agama.
Karenanya, untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat itu, tidak
boleh merusak atau melecehkan lima hal dharuri (mutlak) dalam kehidupan
manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seseorang mukhalaf
akan memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya, manakala ia dapat
memelihara kelima hal tersebut. Sebaliknya, ia akan merasakan adanya
mafsadat, manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur dengan baik.
Bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah adalah menjadi kunci
bagi keberhasilan seorang mujtahid dalam ijtihad-nya, khususnya yang
menyangkut bidang muamalah. Dengan landasan maqashid al-syari’ah itulah
setiap persoalan di bidang mu’amalah antara sesama manusia dapat
dikembalikan.
Studi Kasus

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sekalipun masih banyak


diantara mereka yang menganut agama Islam secara formalitas, yang mengaku
sebagai muslim, tetapi kurang begitu memahami ajaran agama Islam, sehingga
kurang begitu peduli dalam pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan
pribadinya, apalagi dalam kehidupan sosial politiknya. Akan tetapi, bagi pemeluk
agama Islam terpelajar, yang memiliki pemahaman dengan baik tentang ajaran
Islam, pada umumnya menunjukkan sikap konsisten untuk mengamalkan ajaran
agama Islam, baik untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial politiknya.
Kini kualitas sumber daya manusia umat Islam semakin baik. Kondisi itu
berpengaruh terhadap peningkatan kesadaran beragama Islam. Sekalipun
secara formal ketatanegaraan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
dasar Pancasila dan UUD 1945 tidak mengalami perubahan. Tetapi upaya
penegakan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat bagi umat Islam
semakin intensif di suarakan. Fenomena itu terlihat dalam berbagai kajian-kajian
ilmiah dan berdirinya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mengusung
tema-tema Syariat Islam
Menarik untuk dikaji adalah gerakan politik terbuka (demontrasi-
demontrasi) oleh sekelompok organisasi masyarakat Islam yang menuntut
pemerintah Republik Indonesia segera memberlakukan Syariat Islam sebagai
acuan hidup bernegara.
Bagaimana anda menanggapi fenomena di atas. Mungkinkah Negara
Indonesia harus mengganti ideologi negara menjadi ideologi agama (Islam) yang
memberlakukan Syariat Islam dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara?

BAB 4
“Sayangilah orang-orang di bumi, maka penghuni langit akan menyayangimu”
(Hadits)

AKHLAK KARIMAH
DAN RUANG LINGKUPNYA

Pengertian Akhlak
Dalam bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat,
perangai, kebiasaan, bahkan agama. Istilah akhlak adalah bentuk jama’ dari
“khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai. Imam Al Ghozali (filosouf Islam
terkemuka) memberikan pengertian khuluq sebagai berikut: “khuluq adalah
keadaan jiwa yang tertanam didalam sanubari, yang lahir padanya perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan sikap hati-hati; jika
keadaan jiwa itu melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal dan
syara’ (Al Qur’an dan Sunnah) maka keadaan jiwa itu disebut khuluq yang baik.
Sebaliknya, jika yang terlahir adalah perbuatan buruk maka jiwa yang menjadi
sumbernya itu disebut khuluq yang buruk. Senada dengan Al Ghozali (111 M),
Ibn Maskawaih, seorang tokoh Etika Islam melalui karyanya “Tahzib Al Akhlak”
(Beirut,1966), bahwa khuluq adalah suatu kondisi jiwa yang memberi dorongan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat spontan. Kondisi ini lebih
merupakan fitrah sejak lahir dan dapat pula hasil latihan-latihan membiasakan
diri. Kondisi psikologis yang bergerak secara spontan sebagai dorongan dinamis,
juga sebagai usaha mendidik diri disekitar lingkungan kehidupan sehari-hari.
Membiasakan diri terhadap perbuatan-perbuatan baik, dapat menimbulkan
keadaan jiwa yang baik sehingga hal itu secara spontan akan menghasilkan
perbuatan-perbuatan baik berikutnya.
Meskipun kata akhlak tidak terdapat didalam Al Qur’an. Kebanyakan kata
akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna
akhlak dalam Al Qur’an adalah bentuk tunggal , yaitu al khuluq, tercantum dalam
surah Al Qolam ayat 4: wa innaka la’ala khuluqin adzim, yang artinya:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”.
Sedangkan hadis yang masyhur menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik,
“Innama bu’itsu li utammima makarimal akhlaqi”, yang artinya:” Sesungguhnya
aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan
akhlak mulia”.
Definisi yang dikemukan para ilmuwan tentang akhlak memang dapat
dipahami bahwa definisi akhlak itu netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al
akhlaq al mahmudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlak al mazmumah).
Ketika berbicara tentang nilai baik dan buruk maka muncullah persoalan tentang
konsep baik dan buruk. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep akhlak
dengan etika.
Kata etika berasal dari kata bahasa Yunani “ethos” yang mengandung
pengertian bahwa yang dimaksud dengannya ialah suatu kehendak baik yang
tetap. Ditinjau dari kerangka menyeluruh pemikiran filsafat etika merupakan
salah satu cabang filsafat. Menurut Hamzah Ya’qub, etika adalah ilmu yang
menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Di dalam
Ensiklopedia Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai,
kesusilaan tentang baik dan buruk. Kecuali mempelajari nilai-nilai, etika
merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Sebagai cabang filsafat
yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik
atau buruk, ukuran yang dipergunakan adalah akal pikiran. Akallah yang
menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk.
Etika (ethica) juga berbicara tentang baik dan buruk, tetapi konsep baik
buruk dalam etika bersumber kepada kebudayaan. Sementara konsep baik dan
buruk dalam Ilmu akhlak bertumpu pada konsep wahyu, meskipun akal juga
mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam etika
dikenal ada etika Barat, etika Timur dan sebagainya. Sementara akhlaqul
karimah tidak mengenal konsep regional, meskipun perbedaan pendapat tidak
dapat dihindarkan. Etika juga sering diartikan norma-norma kepantasan (etiket),
yakni apa yang dalam bahasa Arab disebut Adab atau tata krama.
Sedangkan moral meski sering digunakan juga untuk menyebut akhlak
atau etika tetapi titik tekannya pada sikap seseorang terhadap nilai, sehingga
moral sering dihubungkan dengan kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu
masih ada dalam tataran konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan.
Contoh seseorang dianggap bermoral kalau sikap hidupnya sesuai dengan
tradisi yang berlaku dimasyarakat tempat ia berada, dan sebaliknya seseorang
dianggap tidak bermoral jika sikap hidupnya tidak sesuai dengan tradisi yang
berlaku dimasyarakat tersebut. Dan memang menurut ajaran Islam pada
awalnya manusia adalah mahluk yang bemoral yang hidupnya penuh dengan
nilai-nilai atau norma-norma.
Berangkat dari perbedaan pandangan antara akhlak dengan moral (etika).
Namun secara substansial etika, moral dan akhlak memang sama, yakni ajaran
tentang ukuran kebaikan dan keburukan, menyangkut perikehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam dalam arti luas.
Yang membedakan satu dengan yang lainya adalah ukuran kebaikan dan
keburukan itu sendiri. Setiap orang atau setiap budaya boleh jadi tidak
menggunakan tolak ukur yang sama dalam menentukan baik dan buruk. Suatu
perbuatan dapat dipandang baik oleh suatu masyarakat (etnis tertentu), namun
sebaliknya, bagi masyarakat etnis lainnya bisa saja dipandang kurang baik, atau
tidak terpuji.
Melihat akhlak, etika atau moral seseorang, harus dibedakan antara
perbuatan yang bersifat tempramental dengan perbuatan yang bersumber dari
karakter kepribadiannya. Tempramen merupakan corak reaksi seseorang
terhadap berbagai rangsangan yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri
sendiri. Tempramen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang,
oleh karena itu sulit untuk berubah. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan
penilaian baik dan buruk tingkahlaku seseorang didasari oleh bermacam-macam
tolak ukur yang dianut masyarakat. Karakter seseorang terbentuk melalui
perjalanan hidupnya, oleh karena itu ia bisa berubah.

Pendidikan Akhlak
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ahlak
merupakan “buah” pohon Islam yang berakarkan Aqidah dan bercabang Syariah.
Betapa penting kedudukan ahlak dalam Islam. Al Qur’an bukan memuat ayat-
ayat yang secara spesifik berbicara tentang akhlak, lebih kepada setiap ayat
yang berbicara hukum sekalipun, dapat dipastikan bahwa ujung ayat tersebut
selalu dikaitkan dengan akhlak. Sebagai contoh dapat ditemukan pada ayat 183
surah Al Baqoroh firman AllahSWT
❑⧫◆ ⧫ ⧫
◆ →◼⧫ 
  ◼⧫  ☺
 ⧫❑→⬧ ➔⬧ →⬧
:
“Hai orang-orang yang beriman diwaibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Bahwa tujuan yang ditergetkan oleh agama Islam dengan berpuasa
adalah mencapai kualitas pribadi yang berakhlak mulia, atau yang lebih dikenal
dengan sebutan muttaqien (pribadi yang taat terhadap perintah agama dan
menjauhi larangan agama).
Akhlak Islam adalah keadaan melekat pada jiwa manusia. Karena itu
suatu perbuatan baru dapat dikatakan pencerminan akhlak, jika memenuhi
beberapa syarat. Syarat itu antara lain:
1. Dilakukan berulang-ulang. Jika dilakukan sekali saja, atau jarang-jarang,
tidak dapat dikatakan akhlak. Jika seseorang tiba-tiba, misalnya, memberi
uang (derma) kepada orang lain karena alasan tertentu, orang itu tidak
dapat dikatakan berakhlak dermawan.
2. Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir atau ditimbang-timbang
berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya.
Jika suatu pebuatan dilakukan setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang,
apalagi karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah percerminan akhlak
(Ensiklpodedia Islam, jilid I,1993,102). “al khuluqu hai’atun rasikhatun
tashdaru ‘anha al af’al bisuhulatin wa yusrin min ghoiri hajatin ila firkin
waruwiyatin”. Akhlak adalah keadaan bathin yang menjadi sumber
lahirnya perbuatan yang muncul secara spontan tanpa memperhitungkan
untung dan rugi. Makna spontan dalam akhlak menunjukan nilai-nilai
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berakhlak itu telah menjadi
karakter pelakunya, bukan sekedar pengetahuan. Seorang penjahat suatu
ketika boleh jadi terpaksa melakukan perbuatan baik; bukan karena
karakternya yang baik, tetapi karena ia memperhitungkan sebagai bagian
dari upaya memuluskan kejahatannya.

Manusia tidak ada yang secara tiba-tiba menjadi seorang bijak atau tiba-
tiba menjadi penjahat besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat
besar manusia butuh proses yang menghantarkannya pada keadaannya itu.
Proses itu berwujud dinamika kehidupan, bisa keadaan yang menakjubkan, yang
mengecewakan atau yang dirancang untuk membentuk pola-pola perilaku
tertentu. Jadi secara teori, manusia bisa dibentuk untuk menjadi orang baik
sebagaimana juga bisa dibentuk menjadi orang jahat. Karena akhlak adalah
keadaan bathin, maka pendidikan akhlak obyeknya adalah bathin seseorang.
Meski demikian bukan berarti menafikan yang lahir, karena antara lahir dan
bathin ada hubungan saling mempengaruhi. Orang yang ”hatinya” baik, pada
umumnya perilaku lahirnya (sopan santunnya) baik, tetapi tidak semua orang
yang memiliki sopan santun, akhlaknya baik. Penanaman disiplin atau
pembiasaan pola tingkah laku lahir yang baik (sopan santun) pada orang tertentu
dapat menjadi proses pembentukan akhlak yang baik, tapi pada orang lain bisa
juga menumbuhkan sifat munafik (pura-pura baik).
Setiap manusia dapat mencapai kebaikan jika ia mempunyai kemauan
untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. Namun tidak setiap orang mempunyai
kesediaan yang sama untuk menuju kepada tujuan itu. Hal ini disebabkan
adanya faktor pembawaan. Oleh sebab itulah Ibn Maskawai membagi manusia
kedalam tiga tingkatan:
1. Manusia yang baik menurut tabiatnya. Golongan ini merupakan kelompok
minoritas. Manusia yang baik menurut tabiatnya tidak akan berubah
menjadi manusia yang jahat.
2. Manusia yang jahat menurut tabiatnya. Golongan ini merupakan kelompok
mayoritas. Mereka ini tidak akan menjadi baik karena memang tabiatnya
sebagai pembawaan sudah jahat.
3. Manusia yang tidak termasuk golongan pertama dan juga golongan ke
dua. Golongan ini dapat berubah menjadi baik dan menjadi jahat karena
factor pendidikan yang diterima atau karena faktor lingkungan pergaulan.

Manusia adalah mahluk sosial yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan


sosial tempat ia berada. Terkadang pengaruh lingkungan itu sangat besar
sehingga bukan hanya mengubah atau meluruskan, tetapi sampai mengalahkan
tabiat asal seseorang, seperti yang disebut dalam hadits fitrah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad saw pernah
bersabda, setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan
Allah SWT) tetapi orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang yahudi atau
nasrani atau manusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang
sempurna. Apakah kamu melihatnya cacat? Kemudian Abu Hurairah ra. berkata:
apabila kalian mau bacalah firman Allah yang berbunyi : “Tetaplah pada fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada
perubahan atas fitrah Allah, (Q.S Ar Rum, 30:30). HR. Muslim No.4803.

Meski demikian, jika seseorang dalam merespon lingkungan itu tetap


berpegang teguh kepada tuntunan agama taat kepada Allah SWT, orientasi itu
akan mengarahkan tingkah-lakunya (akhlaknya) kepada kebaikan dirinya, baik
kebaikan didunia maupun akhirat. Sebaliknya, jika dalam merespon lingkungan
itu ia mengikuti dorongan nafsu syahwat dan pikiran rendahnya maka ia akan
terbawa kepada akhlak yang mencelakakan dirinya, terutama jika dilihat dari
ukuran orang yang beragama. Jadi lingkungan tertentu mempersubur motif yang
sudah ada dalam jiwa manusia untuk memperoleh pemuasan nafsu. Seseorang
yang memiliki motif kepada kejahatan akan mudah terangsang untuk melakukan
perbuatan jahat jika lingkungan dimana ia hidup memberikan situasi yang
kondusif untuk melakukannya. Jika lingkungan tidak kondusif untuk itu, motif
kepada kejahatan itu mengendur atau tertekan.
Factor lingkungan memiliki peran dalam pembentukan kebiasaan
seseorang. Seseorang akan mudah mengerjakan suatu perbuatan yang telah
menjadi kebiasaannya, meski pada awalnya perbuatan itu dirasakan berat. Islam
menghendaki agar pemeluknya melatih diri melakukan kewajiban secara
istiqomah, khususnya sholat lima waktu, sehingga semua itu menjadi kebiasaan
yang mampu mencetak seseorang berkarakter taat kepada Allah. Pembentukan
kebiasaan baik tentunya diawali sejak usia dini anak-anak.

Dalam konteks pendidikan anak usia dini, tanggung jawab orang tua
mendidik anak dengan sabar dan seksama, serta mengetahui kondisi kebutuhan
penyiapan pendidik yang mampu mengasuh dan membimbing anak usia sejak
lahir sampai 6 tahun merupakan suatu keharusan. Hal ini dikatakan oleh Ali RA
dalam kitabnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Imam Ali ra. berkata : “Ajari dan didiklah anak-anakmu, sedangkan Hasan ra. berkata:
ajaklah mereka untuk taat pada Allah dan ajarilah mereka tentang kebaikan”.

Dalam pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang dituangkan dalam


karyanya Tuhfatul al Maudud (ditahkikkan oleh Abdul Qodir Arnauth, Damaskus,
Maktabah Dar Al Bayan), diantara metode yang paling tepat dalam mendidik
anak usia dini adalah melalui pembiasaan dan suri tauladan. Orang tua dapat
melatih dan membiasakan anak-anak untuk dapat bangun akhir malam, dan
melakukan shalat malam. Karena dengan pembiasaan tersebut akan bermanfaat
bagi si anak kemudian hari, paling tidak, anak-anak akan menghargai bahwa
waktu yang baik untuk urusan spiritualnya. Anak kecil di masa kanak-kanaknya
sangat membutuhkan seseorang yang membina dan membentuk akhlaknya,
karena ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang menjadi
kebiasaan (yang ditanamkan oleh para pendidik). Jika seorang anak selalu
dibiasakan dengan sifat pemarah dan keras kepala, tidak sabar dan selalu
tergesa-gesa, menurut hawa nafsu, gegabah dan rakus, maka semua sifat itu
akan sulit diubah di masa dewasanya. Maka jika seorang anak dibentengi, dijaga
dan dilarang melakukan semua bentuk keburukan tersebut, niscaya ia akan
benar-benar terhindar dari sifat-sifat buruk itu. Oleh karena itu, jika ditemukan
seorang dewasa yang berakhlak buruk dan melakukan penyimpangan, maka
dipastikan akibat kesalahan pendidikan di masa kecilnya dahulu.

Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, tanggung jawab tarbiyah (pendidikan)


anak itu berada di pundak orang tua.apalagi ketika anak masih dalam masa awal
pertumbuhan. Mereka sangat membutuhkan pembina yang selalu mengarahkan
akhlak dan perilakunya, karena anak-anak pada masa itu sangat tidak mampu
untuk membina diri mereka sendiri, sehingga mereka membutuhkan seorang
qudwah yang menjadi panutan untuk diri anak dalam sikap dan perilakunya.
Dari beberapa pandangan Ibn Qayyim tersebut di atas, jelaslah bahwa anak-
anak adalah sosok yang harus diakui eksistensinya sebagai obyek dan subyek
pendidikan. Dengan demikian, ia harus mendapatkan pendidikan yang baik
dengan cara mengarahkan, membimbing dan menumbuh-kembangkan potensi-
potensi positif yang dimilikinya untuk persiapan di kehidupannya yang akan
datang. Orang yang paling bertanggung jawab ini adalah orang tuanya., sebab
kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh orang tua yang mengabaikan
hak-hak anak dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah serta
potensi-potensi yang dimilikinya.

Manusia Berakhlak
 ⧫⬧ ⧫ ◼ ⬧
⬧ ◼◆  ⧫⬧◆

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),
“dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sholat”. (Q.S Al A’la, 87:14-15)

Manusia berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat hatinya. Manusia
sering kurang menyadari bahwa pribadinya mengalami gangguan kesehatan
mental yang disebabkan kotornya hati. Kalaupun ia menyadari tentang kondisi
dirinya, ia tidak berusaha untuk mengobatinya. Padahal penyakit hati jauh lebih
berbahaya ketimbang penyakit fisik. Seseorang yang sakit secara fisik jika
penyakitnya tidak diobati dan disembuhkan ujungnya hanya kematian. Kematian
bukanlah akhir segala persoalan melainkan pintu yang semua orang akan
memasukinya. Tetapi penyakit hati jika tidak disembuhkan maka akan berakhir
dengan kesengsaran di alam keabadian.
Meskipun kajian akhlak berada pada wilayah yang sangat abstraks
disebagian kalangan pendapat ilmuwan, sehingga sulit untuk menentukan tolak
ukur suatu keberhasilan (kebaikan) akhlak seseorang. Namun dikalangan tokoh-
tokoh Islam terkemuka, bagi mereka Akhak merupakan cerminan pribadi
individu-individu yang bersifat ”empiris bathiniah”, karena menurut Islam setiap
manusia pada awalnya telah dianugerahi sifat-sifat kebaikan ilahiyah (alam
ruhaniyah). Sehingga bagi Imam Al Ghozali indikator manusia berakhlak adalah
tertanamnya iman dalam hatinya, -kembalinya identitas manusia kepada awal
fitrahnya. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlak adalah manusia yang ada
nifaq didalam hatinya -akumulasi resistensi (penolakan) atas kebaikan-kebaikan
dalam dirinya. Nifaq artinya tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Iman bagaikan akar dari tumbuhan. Sebuah pohon tidak akan tumbuh pada akar
yang rusak. Sebaliknya sebuah pohon akan baik tumbuhnya jika memiliki akar
yang baik. Amal akan bermakna jika berpangkal pada iman, tetapi amal tidak
membawa makna apa-apa apabila tidak berpangkal pada iman. Demikian juga
amal tidak bermakna apabila amal tersebut berpangkal pada kemunafikan. Hati
orang yang beriman itu bersih, didalamnya ada pelita yang bersinar dan,
sebaliknya hati orang kafir itu hitam.

Dengan mengutip beberapa firman Allah dan Hadits Rasul, Al Ghozali


mengemukakan tanda-tanda manusia beriman yang uraiannya sebagai berikut:
1. Manusia beriman adalah manusia yang mendapatkan suasana “khusyu’
dalam sholatnya.
2. Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna (tidak ada manfaatnya).
3. Selalu kembali kepada Allah.
4. Mengabdi hanya kepada Allah.
5. Selalu memuji dan menganggungkan asma Allah.
6. Bergetar hatinya jika nama Allah disebut-sebut.
7. Berjalan dimuka bumi dengan rendah hati.
8. Bersikap ‘arif menghadapi orang awam.
9. Menghormati tamu.
10. Menghargai dan menghormati tetangga.
11. Berbicara yang bermanfaat dan bersikap tenang menghadapi segala
persoalan.

Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan


Perbaikan akhlak merupakan bagian dari tujuan pendidikan Islam.
Pendidikan yang hanya berorientasi pada pada kecerdasan intelektual telah
gagal membawa manusia dalam pemungsian dirinya sebagai khalifah di muka
bumi. Sejak awal Socrates (filosof Yunani) telah mengingatkan bahwa tujuan
pendidikan adalah kebaikan sifat dan budi, yaitu kasih sayang dan kerelaan.
Tujuan nyata dari pendidikan adalah menyalurkan warisan social dari suku
bangsa sejenis. Berbicara masalah yang sama lebih jauh Al Ghozali menyatakan
bahwa penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap norma masyarakat,
tetapi terhadap norma Tuhan. Al Ghozali selanjutnya mengutarakan bahwa
tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan hati (kalbu) dari godaan
hawa nafsu (syahwat) dan amarah (gladlob) hingga ia jernih bagaikan cermin
yang dapat menerima cahaya Allah.
Mendidik itu sama dengan pekerjaan peladang membuang duri dan
mencabut rumput yang tumbuh di antara tanam-tanaman agar subur tumbuhnya.
Di dalam hati yang bersih, iman tumbuh dan berkembang. Ia menebarkan
cahaya ke seluruh anggota badan lahir dan bathin. Indikator manusia berakhlak
adalah manusia yang tertanam dalam hatinya iman yang kokoh.
Untuk memiliki akhlakul-karimah umat Islam dianjurkan untuk menempuh
jalan spiritual Tasauf, yaitu dengan cara tasfiat al qalb. Metode tasfiat al qolb
yang disepakati oleh para ulama sufi adalah Dawam Al Zikr (membiasakan diri
selalu ingat kepada Allah). Zikir adalah ruh amal shalih. Jika sebuah amal sholeh
lepas dari zikir, maka laksana jasad tanpa ruh. Ada beberapa alasan
argumentatif bahwa zikir merupakan metode yang dipilih dalam tasfiat al qolb
(pensucian hati), yaitu:
➔  ⬧
 ⧫
“Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat”,(Q.S Al A’la,
87:9)

1. Perintah zikir dalam Al Qur’an merupakan perintah mutlaq bagi mereka


yang beriman kepada Allah.
2. Kebahagian bathin yang akan diperoleh bagi manusia yang istiqomah
dalam berzikir.
3. Informasi Allah bahwa kerugian bagi orang yang bersikap melalaikan zikir.
4. Allah menjadikan zikir hamba kepadaNya sebagai syarat zikir Allah
kepada mereka.

Kecuali langkah spiritual yang harus dilakukan juga langkah lahiriah harus
diupayakan. Menurut Ilmu Akhlak kebiasaan yang baik harus diperlihara dan
diperbaharuhi, sementara kebiasaan buruk secara berangsur-angsur perlu
ditinggalkan. Kebiasaan merupakan factor penting dalam upaya pembentukan
karakter manusia menuju perbaikan akhlak. Kebiasaan adalah perbuataan yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga seseorang menjadi mudah
mengerjakannya. Memang diakui adanya tingkat kesulitan bagi mereka untuk
memulai suatu perbuatan baik, namun disinilah manusia perlu memaksakan
dirinya (mujahadah) untuk mengulang-ulang perbuatan baik sehingga menjadi
kebiasaan dan akhirnya terbentuklah akhlak yang baik pada dirinya. Seperti
perbuatan mendirikan sholat. Sholat merupakan metode Islam yang ampuh
dalam proses pembantukan karakter manusia menuju kebaikan lahir dan bathin,
sehingga perintah sholat perlu dibiasakan sejak usia dini dan dikerjakan secara
berkelanjutan. Al Qur’an sendiri mengkui bahwa perintah sholat berat untuk
dikerjakan kecuali bagi mereka yang telah memiliki kedekatan dengan Allah (lihat
Q.S. Al Baqoroh (2) :45), namun Rasul melalui sebuah hadisnya memberikan
solusi yaitu dengan memerintahkan kepada para orang tua untuk membiasakan
kepada anak-anaknya melakukan kewajiban-kewajiban agama.

“Di dalam Musnad sunan Abu Dawud tentang hadis Amr bin syuaib dari ayahnya
dari kakeknya. Bahwa Rasul SAW bersabda : Perintahlah anak-anakmu untuk
melaksanakan shalat pada usia 7 tahun , pukullah mereka jika mereka
membangkang untuk shalat pada usia 10 tahun dan pisahlah tempat tidur
mereka”.

Akhlakul-karimah adalah buah yang harus didapatkan. Tasauf adalah


upaya spiritual bagaimana manusia dapat memperoleh buah itu. Riyadloh adalah
salah satu cara yang dimata para sufi paling efektif untuk mendapatkan buah itu
(akhlakul karimah). Zikir disepakati oleh para sufi merupakan riyadloh yang
paling besar pengaruhnya terhadap pensucian hati. Tetapi karena tasauf itu
adalah upaya peningkatan kualitas keagamaan seorang mukmin maka
pelaksanaannya tentu saja terintegrasi dengan aqidah dan syariah atau dengan
istilah lain fiqh. Mengamalkan tasauf tanpa fiqih adalah kezindikan, sebaliknya
berfikih tanpa tasauf adalah kehampaan spiritual yang didapatkan. Memadukan
antara fikih dan tasauf adalah pencapaian hakikat kebenaran.
Tasauf perlu dibedah secara naqli dan aqli agar mahasiswa memahami
bagaimana ber-Islam secara sempurna (kaaffah) secara ilmu dan amal. Islam
kaaffah adalah secara ilmu Islam dipahami lahir bathinnya, dan secara amal
diaktualisasikan lahir dan bathinnya. Hal ini memang tidak mudah untuk pahami
bahkan dilaksanakan, namun ketika seseorang beriman kepada Allah maka ia
memiliki konsekuensi mencapai kesempurnaan hidup secara islami.
Bahwa ajaran Islam tidak saja dilihat secara parsial yang berorientasi
kepada fiqh semata. Islam fiqih cenderung menggiring seseorang bersikap
formalistic dalam pengalaman agama. Islam harus dipelajari secara lahir dan
bathin. Tasauf adalah bagian integral dari ajaran Islam, memisahkan tasauf dari
ajaran Islam sama artinya dengan menghilangkan substansi ajaran Islam itu
sendiri.
Dari satu segi akhlakul-karimah merupakan buah dari bertasauf (proses
kedekatan diri kepada Allah), tapi dari sisi lain akhlak pun merupakan usaha
manusia secara lahiriyah, yaitu melalui ilmu dan amal, mujahadah dan riyadlhoh.
Islam sebagai agama sempurna menuntut sebuah bentuk keteladanan yang
berimplikasi positif terhadap lingkungan sekitar; keluarga dan masyarakat.

HUBUNGAN AKHLAK DENGAN TASAUF


⧫ ⧫ ⬧ ⬧◆
◼◆❑   ⬧ ⬧
 ⧫ ⬧ 
 ❑⧫◆⬧
➔⬧  ❑⬧◆
 ⧫
”dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka
(jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.(Q.S Al Baqoroh, 2:186)

Pada awalnya tasauf dipahami sebagai upaya menekuni ibadah Allah dan
berpaling dari kemewahan duniawi serta berzuhud dari kelezatan, harta dan
pangkat. Penekanan tasauf pada awalnya adalah zuhud, ibadah, faqir, dalam arti
bekerja keras melaksanakan perintah agama dan memelihara hukum-hukum
syariat. Menurut Imam Qusyairi, tanda-tanda seorang sufi yang benar adalah
orang yang bisa menjalani hidup faqir setelah kaya, hidup hina setelah dihormati,
hidup menyendiri setelah termasyhur.
Setelah itu makna tasauf berkembang bersamaan dengan tumbuhnya
ilmu-ilmu syariat, dan kemudian ilmu tasauf berdiri sendiri sebagai ilmu
berhadapan dengan ilmu fiqih. Ketika berhadapan dengan ilmu fiqih, tasauf
disebut sebagai Ilmu Haqiqat atau Ilmu Bathin. Pada tataran ini tasauf dipahami
sebagai akhlak keagamaan dan ruh dari ibadah, yang dimotori oleh iradah atau
kehendak seperti yang dikatakan oleh Ibn Qoyim al Jauziyah (1355 M). Inilah
langkah pertama tasauf menjelma menjadi Ilmu Akhlak Islam – yang berbeda
secara substansial dengan Ilmu Ethics.
Banyak jalan menuju Tuhan, demikian pernyataan Jalaludin Rumi, ulama
sekaligus sufi terkemuka. Dengan tasauf orang akan mendapatkan ketenangan
bathin dan kepuasan spiritual. Sebab dengan tasauf orang akan dituntut
melakukan hal-hal terbaik demi peningkatan kualitas keberagamaannya kepada
Allah. Dengan bertasauf seseorang ”dibentuk” untuk selalu mendirikan
serangkaian perintah agama menuju tangga-tangga perjalanan spiritual secara
komprenhensif. Tentu memang dibutuhkan suatu tekad yang kuat, yang lebih
dikenal dengan istilah mujahadah terhapusnya sifat-sifat tercela, memutuskan
hubungan engan semua urusan dan hanya memperhatikan Allah semata, dalam
rangka menjaga kontuinitas komunikasi dengan Allah. Tasauf merupakan bentuk
muamalah manusia dengan sang Pencipta, dengan konsekuensi menghiasi diri
dengan perbuatan-perbuatan positif. Maka tidak heran, titik-tekan tasauf lebih
kepada pembinaan akhlak mulia, ”takhollaku bi akhlakillah”, yaitu berbudi pekerti
dengan budi pekerti Allah. Atau menghiasi diri dengan berupaya mensifati diri
dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah. Hubungan tasauf dengan akhlak melatih
manusia agar memiliki ketajaman bathin dan kehalusan budi pekerti, sehingga
tumbuhlah akhlak mulia dan bersikap dan berprilaku. Hal itu dapat dimungkinkan
jika seseorang betul-betul mensucikan dirinya secara murni, kemudian
muhasabah (kalkulasi spirituil), menyiapkan diri dan menunggu tajalli Tuhan.
Muncul pertanyaan apakah tasauf merupakan plihan terbaik dalam
pembinaan akhlak yang mulia. Secara obyektif, kita dihadapkan dengan sekian
pendekatan menuju kebaikan keber-agamaan, baik pendekatan fiqhiyah yang
mencakup wilayah hukum-hukum agama, maupun ritual-ritual lainnya, ternyata
manusia membutuhkan aspek asoteris (bathiniah), yang mampu mengajak
manusia lebih ”mengenal” sang Sang Pencipta. ”Man arofa nafsahu faqod arofa
robbahu” (al hadits), tentunya proses pengenalan jati diri merupakan tahapan
utama menuju tahapan ”keakraban” dengan Sang Kholik, Allah SWT. Aspek
bathiniah tasauf ternyata merupakan jantung ajaran agama Islam. Maka aspek
ini tidak boleh diabaikan, karena akan menyebabkan keringnya nilai ajaran
agama. Akan tetapi, ketika tasauf kemudian dimaknai sebagai sesuatu yang
menjauhkan seseorang dari kehidupan masyarakat, mengasingkan dan menjauh
dari kehidupan sosial masyarakat secara fisik, tentu kesempurnaan hidup
sebagai hamba Tuhan tidak akan tercapai. Karena kesempurnaan yang dicapai
dalam tasauf adalah kebaikan yang seimbang secara vertikal (dunia) dan
horisontal (ukhrowi). Perilaku Rasulullah SAW beserta para sahabat beliau,
diantaranya khulafaul ar Rasyiddin, Sayidina Abu bakar, Sayidina Umar bin
Katthab, Sayidina Usman bin Affan, Sayidina Alin bin Abu Tholib radiallahu
anhum, merupakan gambaran sempurna sebagai suri tauladan yang tekun
dalam beribadah kepada Allah juga berprestasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Figur-figur manusia yang inilah yang dilukiskan oleh Al Qur’an
sebagai kelompok Ulul Albab.
◆❑☺   
◼◆ ◆
⧫ ◆ 
 ⧫ 
 ⧫⧫ ⧫
◼⧫◆ ❑➔➔◆ ☺◆
 ⧫⧫⧫◆ ❑
◆ ◆❑◆ 
 ◼ ⧫ ◆◆
⧫ ⬧ ⬧ ⧫
 
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul Albab),
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memiikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): ”Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-
sia. Maha Suci Engkau, maka perliharalah kami dari siksa api neraka”.(Q.S Al
Imron 4:190-191)

Meski terlalu sulit bagi kita untuk meneladani figur-figur Sahabat


Rasulullah, namun tidak berarti kita meninggalkan dan melupakan riwayat
mereka. Karena bisa saja kebiasaan dan kesederhananan para Sahabat dapat
dipraktekkan sesuai dengan kemampuan kita. Jika kita tergolong dari keluarga
yang berkecukupan sangatlah pantas untuk membiasakan hidup berbagi kepada
mereka yang membutuhkan, sebagaimana keteladanan sayidina Usman yang
selalu ringan-tangan dalam persoalan berbagi keuangan bagi mereka yang
tergolong tidak mampu. Sebaliknya jika kita tergolong keluarga yang sederhana,
bahwa kesederhanan adalah baju seorang muslim, yang selalu setia beribadah
dan tidak menampilkan kekecewaan yang berimplikasi untuk menentang
keadaan. Masing-masing kita dapat memerankan kebaikan sesuai dengan
kapastias dan kemampuan kita dengan tujuan mengembalikan fitrah luhur
manusia yang berakhlakul karimah.
STUDI KASUS
Hampir semua daerah memilki budaya yang berbeda. Perbedaan ini juga
mempengaruhi perilaku kehidupan mereka, baik, dalam perkataan, perbuatan
maupun dalam pengambilan keputusan. Kesepakatan utama yang dijadikan
standar umum masyarakat Indonensia adalah bahwa masyarakat Indonesia
begitu menghargai norma-norma kesopanan dalam pergaulan. Hal ini mungkin
karena secara sosiologis masyarakat Indonenesia adalah masyarakat yang
beragama. Yang menarik adalah ketika munculnya kebiasaan-kebiasaan yang
cenderung bertentangan dengan kebiasaan pada umumnya. Apalagi Kini
masyarakat Indonesia sudah begitu akrab dengan budaya asing. Gaya dan pola
hidup hampir sebagian masyarakat kita memilih gaya hidup ke Barat-baratan.
Trends gaya hidup dan pergaulan Mahasiswa pun ikut-ikutan bergaya “western”,
pergaulan hidup “bebas” , cara berbusana “you can see” alias seksi menjadi
trends baru.
Pertanyaannya adalah kemanakah gaya hidup masyarakat kita yang begitu
mengusung nilai-nilai budaya luhur (akhlakul karimah). Apakah ahlakul karimah
dalam bentuk berpakaian yang rapih dan sopan dapat dikategorikan
“ketinggalan zaman”. Apakah gaya pergaulan antar sesama yang membiasakan
dengan ucapan “assalamu alikum warahmatullahi wabarakatuh” sudah tidak
relevan lagi? Menurut anda mana yang harus kita dahulukan ketika kebiasaan
masyarakat yang “bebas” berhadapan (vis a vis) dengan kebiasaan akhlakul
karimah?
Silahkan anda bersama kelompok untuk mendiskusikan persoalan di atas,
tentunya juga anda dapat memberikan solusinya.

BAB 5

“Kenalilah Allah dalam suka, maka Ia akan mengenalimu dalam duka”


“Allah tidak memerintahkan kewajiban dengan beribadah kepada manusia demi
keuntunganNya, karena Ia (Allah) benar-benar Kaya, namun Ia memerintahkan
kewajiban ini pada manusia dengan tujuan membersihkan ketidak-sucian dan penyakit-
penyakit jiwa manusia, yang dengannya manusia akan mampu mencapai kehidupan
abadi dan sejahtera di kemudian hari”. (Risalah Makarim Al Syariah: Imam Ar Raghib Al
Isfahani rh.)
SYARIAT ISLAM :
IBADAH DAN MUAMALAH

Pengertian Syariah
Kosa kata syariah dalam bahasa arab memiliki arti jalan yang ditempuh.
Dari segi terminologi bermakna pokok-pokok aturan hukum yang digariskan oleh
Allah SWT untuk dipatuhi oleh seorang muslim dalam menjalani segala aktifitas
hidupnya di dunia. Semua aktifitas hidupnya seperti belajar, bekerja, makan,
tidur, berdagang, sholat dan sebagainya, adalah merupakan ibadah sepanjang
diniatkan untuk mencapai ridho Allah SWT.

Ketentuan syariah bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif


berarti mencakup seluruh aspek kehidupan baik mengenai hubungan antara
manusia dengan Allah (ibadah Mahdloh) seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan
mengenai hubungan antara sesama manusia serta antara manusia dengan
mahluk atau ciptaan Allah lainnya termasuk alam semesta (muamalah) dan
dengan dirinya sendiri. Hukum asal ibadah mahdloh adalah bahwa segala
sesuatu dilarang untuk dikerjakan, kecuali yang diperintahkan dalam Al Qur’an
dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw atau sunnah. Sebaliknya hukum
asal muamalah adalah bahwa segala sesuatu dibolehkan kecuali ada larangan
dalam AlQur’an dan Sunnah.
Universal bermakna dapat diterapkan bagi semua manusia dalam setiap
waktu dan keadaan. Definisi untuk universal akan terlihat jelas dalam aturan
mengenai muamalah, karena dalam muamalah tidak dibedakan antara muslim
dan non muslim, kecuali pada hukum-hukum tertentu, seperti hukum keluarga
atau aturan halal dan haram pada pada aspek makanan. Contoh ketika Allah
mengharamkan daging babi dan riba, maka haram untuk seluruh manusia sejak
zaman Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman.
Islam bukan agama sejarah, maka Islam tidak tunduk oleh perkembangan
zaman. Dalam bidang syariah, hukum-hukum Islam bersifat final. Keharaman
daging babi dan minuman sejenis dengan ‘khomar’sejak abad ke 7 hingga akhir
zaman. Sholat adalah kewajiban meskipun zaman datang silih berganti. Nikah
adalah sunah Nabi, maka umat Islam dianjurkan untuk menikah. Bagi orang-
orang yang sudah mampu dan khawatir terjatuh dalam kemaksiatan jika tidak
menikah, maka hukum menikah menjadi wajib.

Konsep Ibadah
Ibadah berasal dari bahasa Arab ‘abada ya budu-‘ibadatan,’ubudatan dan
‘ubudiyatan. Secara etimologi ibadah adalah ‘attaqorrobu ilallah biimtistali awamirihi
wajtinabi nawahii wal amalu bimaa azina bihi al assyaari’u wahiya aammatun wa
khosshoh fal ‘aammatu kullu ‘amailin azina bihi al assyaari’u wal khoossotu ma
haaddahu asy syari’u fiha bijuz’iyyatin wa kayfiaatin makhsuusotin (ibadah ialah
pendekatan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintahNya, menjauhi
laranganNya dan mengerjakan segala sesatu yang diizinkanNya Allah.
Sedangkan makna ibadah yang khusus ialah perbuatan yang telah ditetapkan
Allah perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-cara yang tertentu). Konsep
ibadah di dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 278 kali suatu jumlah yang amat
banyak dibandingkan penyebutan kata-kata lainnya. Kondisi ini dapat dimaknai
bahwa ibadah menempati posisi strategis dalam konteks relasi mahluk terhadap
penciptaNya. Kata ibadah terklasifikasi ke dalam tiga pengertian:
1. kata ibadah atau al abd berarti seorang budak, atau memperhamba diri
kepada sesuatu yang dianggap lebih tinggi (Q.S. As Syuaro (26):22)
☺⬧ ☺➔ ◆
⧫ ⧫  ◼⧫
 ◆
“dan itulah kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku (sementara) itu
engkau telah memperbudak bani israil”

2. kata ibadah dalam bentuknya yang lain yaitu al ibadatu berarti tunduk,
taat. “Hai orang-orang yang beriman, makanlah rezeki yang Kami (Allah)
berikan kepadamu yang baik. Dan bersyukurlah kepada Allah jika
kepadaNya kamu beribadah. (Q.S. Al Baqoroh (2):172)
 ⧫
 ❑➔→ ❑⧫◆
◆ ⧫ ⧫⬧
→   ◆
 ➔⬧ ◼

3. kata ibadah dalam bentuk masdar (kata jadian) yaitu “abdahu,


ma’badatan” berarti butuh dan berlindung padaNya.

Ibadah adalah tata-cara pengabdian hamba kepada Allah secara


langsung. Aturan dalam ibadah telah ditetapkan Allah secara rinci melalui
petunjuk RasulNya. Kaidah ibadah adalah “Al Ashlu fi al ibadah al buthlan, hatta
yaquma dalilun ‘ala’ al amri (prinsip ibadah adalah tidak sah hingga ada
ketentuan yang memerintahkannya). Seseorang tidak dibenarkan melakukan
(mengada-ada) ibadah, jika tidak ada ketentuan yang memerintahkannya melalui
petunjuk Rasul, sehingga adanya penambahan dan pengurangan dalam ibadah
adalah bid’ah (ibadah mahdloh).
Ibadah merupakan tugas hidup manusia di dunia. Hidup seorang hamba
tidak memiliki alternatif lain, selain taat , patuh dan berserah diri kepada Allah.
Karena itu yang menjadi inti dari ibadah adalah ketaatan, kepatuhan dan
penyerahan diri secara total kepada Allah. “Tuhan Yang (menguasai) langit dan
bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan
berteguh hatilah dalam beribadat kepadaNya. Apakah kamu mengetahui ada
seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)”. Q.S. Maryam (19):65.
◆ ◆❑☺ ▪
◼⬧ ☺⬧⧫ ⧫◆
  ⧫➔ ⬧◆
☺ ⬧ ◼➔⬧
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya,
Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?

Kedudukan ibadah di dalam Islam menempati posisi yang paling utama


dan menjadi titik sentral dari seluruh aktifitas muslim. Seluruh kegiatan muslim
pada dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa yang
dilakukan memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai material
berupa imbalan yang diterima di dunia, sedangkan nilai spiritual adalah ibadah
yang hasilnya akan diterima di akhirat. Aktifitas yang bermakna ganda inilah
yang disebut amal sholeh.
Ibadah merupakan interaksi seorang mahluk (manusia) baik berupa
habluminallah (vertical) maupun hamblumminass (horizontal). Kapasitas interaksi
seseorang itu memiliki perbedaan antar satu dengan lainnya sesuai
latarbelakang pribadi masing-masing. Ibadah terdiri dari:
(1) ibadah mahdloh. Ibadah mahdlhoh adalah bentuk ibadah langsung
kepada Allah yang tata cara pelaksanaanya telah diatur oleh Allah atau
dicontohkan oleh Rasul SAW, karena itu pelaksanaan ibadah ini sangat ketat.
Bingkai ibadah mahdloh ini terurai dalam 5 (lima) pilar agama yang disebut
Rukun Islam; syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
(2) Ibadah Ghairu mahdloh. Ibadah ghairu mahdlhoh adalah bentuk
hubungan antar manusia, atau manusia dengan alam yang memiliki makna
ibadah (kedekatan kepada Allah). Seperti menghargai pendapat terhadap orang
yang berbeda dengan kita dan sebagainya
Dalam ajaran Islam (Ibadah) dimensi utama yang perlu dipelihara adalah
dimensi habluminallah dan habluminnash. Kedua hubungan itu harus berjalan
serentak. Menurut ajaran Islam, dengan melaksanakan kedua ajaran itu hidup
manusia akan sejahtera baik, dunia maupun akhirat. Untuk mencapai tujuan
kesejahteraan dimaksud, di dalam Islam kita diperintahkan menunaikan perintah
utama agama, sholat (pembersihan jiwa). Serta aksi sosial agama yang
berdampak positif bagi kemaslahatan umat manusia yang dikenal dengan istilah
zakat (pembersihan jiwa dan harta). Untuk itu dibawah ini penulis hanya
menfokuskan kajian ibadah pada pembahasan sholat, zakat, dan puasa tanpa
mengurangi keistimewaan-keistimewaan ibadah lainnya.
Sebelum pelaksanaan sholat tentunya kita diharuskan melaksanakan
Thaharoh (soal bersuci). Adapun yang dimaksud dengan thaharoh disini adalah
dengan cara berwudhu sebelum sholat.

Wudhu’
Menurut bahasa wudhu berasal dari kata wadha’ ah yang berarti
kebersihan dan baik. Sedangkan menurut syara (terminologi) adalah
menggunakan air yang suci dan mensucikan pada anggota tubuh yang empat
(yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus
menurut syariat. Bahwa perintah berwudhu datang bersamaan dengan perintah
kewajiban sholat lima waktu, yaitu satu tahun setengah sebelum tahun Hijriah.
Firman Allah:
❑⧫◆  ⧫
❑◼ ◼ ☺➔ ⬧
❑ ❑➔⬧
⧫☺ ◼ ⧫◆
 ❑⬧◆
 ✓⧫➔⬧ ◼ →◼◆
⬧   ◆
◼⧫    ◆ 
 ⧫◼ ◆  
 ⧫ 
◼⬧ ◆ ☺⬧
❑☺☺◆⧫⬧ ⧫ 
❑⬧⬧ ⬧ ➔
  ◆ →❑❑
➔◆   ⧫
 ⬧◆ ⚫⧫  →◼⧫
▪◆ ⧫⬧
→➔⬧ ◼⧫ ⧫☺➔
 ◼
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Q.S Al
Maidah,5:6)

Wudhu dapat dikatakan sebagai pintu masuk dalam beribadah, terutama


ibadah mahldhoh. Hampir semua ibadah akan bernilai jika diawali dengan
wudhu, meskipun berbeda hukumnya. Wudhu menjadi suatu aktifitas utama dan
penting ketika seseorang hendak mendirikan sholat, thowaf, i’tikaf dan membaca
dan meyentuh Al Qur’an. Wudhu hukumnya sunnah apabila hendak berkumpul
dengan istri, hendak tidur dan dalam semua kesempatan kebaikan. Sehingga
aktifitas wudhu begitu menjadi penting dalam menjalani aktifitas kehidupan untuk
mencapai kualitas ibadah. Sah dan keutamaan ibadah seseorang sangat
bergantung kepada wudhunya. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang
mendalam tentang wudhu, mulai fardhu, sunnah wudhu dan hal-hal lain yang
membatalkan wudhu.

Fardhu wudhu;
1. Niat. Niat qasdu syai’in muqtarinan bi fi’lihi (Menyengaja sesutau
berbarengan dengan perbuatannya). Adalah hendaklah berniat
(menyengaja) mengangkatan hadats atau menyengaja berwudhu’. Lafaz
niat ’nawaitu wudhu’ li rof’il hadatsil ashgor fardhu lillahi taala (saya
berniat menyengaja wudhu mengangkatkan hadast kecil fardhu karena
Allah taala)
2. Membasuh muka. Berlandaskan surah Al Maidah ayat 6 bahwa batas
muka yang wajib dibasuh ialah dari tempat tumbuh rambut kepala atas
sampai kedua tulang dagu sebelah bawah; lintangnnya, dari telinga ke
telinga; seluruh bagian muka yang tersebut wajib dibasuh, tidak boleh
ketinggalan sedikitpun, bahkan wajib dilebihkan sedikit agar kita yakin
terbasuh semuanya.
3. Membasuh dua tangan sampai siku.
4. Menyapu sebagian kepala. Meskipun sebagian kecil sekalipun,
sebaiknya tidak kurang dari selebar ubun-ubun, baik yang disapu itu kulit
kepala atau rambut.
5. Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki.
6. Mentertibkan rukun-rukun di atas. Selain dari niat dan membasuh muka,
keduanya wajib dilakukan bersama-sama dan didahulukan dari yang lain.

Sunnah Wudhu’

1. Membaca bismilah. (”berwudhu’lah kamu dengan membaca nama Allah”


hadis riwayat Abu Daud). Setiap kita memulai pekerjaan (aktifitas) baik
ibadah maupun lainnya, disunnah membaca ”bismillah”. (”setiap
pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan bismilah, maka pekerjaan itu
kurang berkah” hadis riwayat Abu Daud). Bahkan Imam Ahmad
menyatakan bahwa membaca basmillah untuk berwudhu hukumnya wajib.
Barang siapa yang lupa membaca bismillah, maka hendaknya
menyusulinya ketika teringat kembali. Sebagaimana seseorang lupa
membaca basmillah ketika hendak makan. Walaupun melewatkan
membaca bismillah tidak mengugurkan kesahihan berwudhu, tetapi
meninggalkan basmallah ketika berwudhu mengurangi nilai wudhu itu
sendiri. Sebuah hadits menerangkan:

“Barang siapa berwudhu dengan membaca basmalah maka sucilah seluruh


anggota badannya. Dan barang siapa berwudhu tanpa membaca bismilah maka
suci anggota wudhunya saja”.

2. Membasuh dua telapak tangan sampai pergelangan, sebelum berkumur-


kumur. karena telapak tangan adalah tempat memindahkan air ke
anggota-angota wudhu. Jadi kesuciannya harus diutamakan terlebih
dahulu. Terutama ketika baru bangun tidur, karena ketika tidur tidak
seorang pun tahu kemana tangannya di arahkan dan najis apapula yang
telah menempelinya. Hadits Rasulullah saw menjelaskan:

“Apa bila seseorang bangun tidur, maka hendaklah membasuh kedua tangannya
tiga kali terlebih dahulu seselum mengambil air wudhu. Karena sesungguhnya ia
tidak tahu kemana tangan tersebut ia letakkan waktu ia tidur”.

3. Ketiga, memulai dengan berkumur dan menghisap air dengan hidung


(istinsyaq) sebelum membasuh wajah dengan bersungguh-sungguh,
ketika sedang tidak berpuasa. Makna bersungguh-sungguh dalam
berkumur adalah mengelilingkan air pada seluruh mulutnya dan
bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq adalah menghirup air hingga
pangkal hidung.
4. Menyapu seluruh kepala. Berdasarkan perbuatan Rasul saw yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim ra.
5. Menyapu kedua telinga luar dan dalam. Berdasarkan perbuatan Rasul
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi ra.
6. Menyilang-nyilangi jari kedua tangan dengan cara berpanca dan
menyilang-nyilangi jari kaki dengan kelingking tangan kiri, dimulai
kelingking kaki kanan, disudahi pada kelingking kaki kiri, sunat menyilangi
jari, kalau air dapat sampai di antara jari dengan tidak disilangi, tetapi
apabila air tidak sampai di antaranya kecuali dengan disilangi, maka
menyilangi jari ketika itu menjadi wajib, bukan sunat. (”Apabila kamu
berwudhu’, hendaklah kamu silangi jari tanganmu dan jari kedua kakimu”, hadis
riwayat Tirmizi, hadis hasan)
7. Mendahulukan anggota kanan daripada kiri. Rasulullah saw selalu
memulai aktifitasnnya dengan anggota yang kanan daripada anggota
yang kiri. Menurut Imam Nawawi ra.; ”Tiap pekerjaan yang mulia diawali dari
kanan, sebaliknya pekerjaan yang hina seperti masuk kamar mandi, hendaklah
dimulai dari kiri”.
8. Membasuh tiap-tiap anggota tiga kali, berarti membasuh muka tiga kali,
tangan tiga kali, dan seterusnya.
9. Berturut-turut antara anggota. Yang dimaksud dengan berturut-turut di sini
adalah sebelum kering anggota pertama, anggota kedua sudah dibasuh,
dan sebelum kering anggota kedua, anggota ketiga sudah dibasuh, dan
seterusnya.
10. Jangan meminta pertolongan orang lain, kecuali terpaksan karena uzur
sakit.
11. Tidak diseka, terkecuali apabila ada hajat seperti sangat dingin.
12. Mengosok anggota wudhu’ agar lebih bersih.
13. Menjaga supaya percikan air itu jangan kembali ke badan.
14. Jangan bercakap-cakap sewaktu berwudhu’.
15. Bersiwak bersugi atau menggosok gigi, selain bagi orang yang berpuasa
sesudah tergelincir matahari.
16. Membaca dua kalimat syahadat dan menghadap kiblat ketika berwudhu’.
17. Berdo’a sesudah selesai berwudhu’.
18. Membaca dua kalimat syahadat sesudah selesai berwudhu’.

Perkara Yang Membatalkan Wudhu

Dalam kitab matan al-Ghoyah wat Taqrib karya Imam Al Qodhi Abu Syuja bin Al
Husen Al Asfahani diterangkan bahwa perkara yang dapat membatalkan wudhu
ada enam, yaitu : pertama, Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (kemaluan
depan maupun belakang), kedua Tidur tidak dalam keadaan duduk, ketiga,
Hilangnya akal sebab mabuk atau sakit, keempat Bersentuhan (kulit) pria dan
wanita yang bukan mahram tanpa penghalang, kelima, Menyentuh kemaluan
manusia dengan telapak tangan, Keenam, Menyentuh lubang dubur manusia.

Dalam keterangannya atas enam hal tersebut Imam Muhammad Ibnu Qasim al-
Ghazi dalam Fathul Qaribul Mujib menerangkan dengan rinci enam hal tersebut.
Pertama keluarnya sesuatu yang dari kedua jalan kemaluan depan (qubul)
maupun belakang (dubur), baik itu sesuatu yang suci seperti mani ataupun yang
tidak suci seperti darah dan kentut. Hal ini berdasar pada surat al-maidah ayat 6,
sebagaiman tertera pada bahasan sebelumnya.

Dan sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairoh dan diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dan Muslim;

“ Abu Hurairoh bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda “Allah tidak menerima sholat
kamu sekalian apabila (kamu) dalam keadaan hadats hingga kamu berwudhu”
kemudian seorang Hadramaut bertanya kepada Abu Hurairoh “apakah hadats itu?” Abu
Hurairoh menjawab “kentut (yang tidak bersuara)dan kentut yang bersuara”

Kedua tidur. Tidur dapat membatalkan wudhu kecuali tidur dalam posisi duduk
yang menetap (pantat yang rapat) seperti duduknya orang bersila. Sebagai
dalilnya dapat diperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
diceritakan oleh sahabat Ali ra.:

Rasulullah saw berkata: “pengendali dubur (tempat keluarnya kotoran dari jalan
belakang)adalah kedua mata, oleh karena itu barang siapa tidur hendaklah ia
berwudhu”.

Hadits ini menunjukkan bahwa tidur pada dasarnya membatalkan wudhu, karena
seseorang ketika tidur tidak dapat menjaga duburnya, bahkan ia tidak tahu
apakah dia telah kentut atau malah kencing. Dianalogikan dengan tidak adanya
kendali ketika tidur adalah hilangnya akal atau kesadaran. Ini juga dapat
membatalkan wudhu, karena ketika seseorang tidak sadar, berarti ia tidak tahu
apa yang terjadi dengan dirinya. Baik kesadaran itu hilang karena mabuk,
pingsan maupun gila.

Keempat; Bersentuhan (kulit) pria dan wanita yang bukan mahram tanpa
penghalang (untuk keterangan lebih lengkap lihat rubrik syariah yang telah
berlalu dengan tema (menyentuh istri membatalkan wudhu).

Kelima: menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan. Hal ini


didasarkan atas dalil sebagai berikut :
Artinya : Dalam sebuah hadits yang dishahehkan oleh imam tirmidzi dari bisrah
binti shafwan r.a. bahwa Nabi saw bersabda : “Barang siapa yang memegang
dzakarnya (kemaluan) janganlah melakukan shalat hingga ia berwudhu”.

Hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa menyentuh kemaluan adalah


membatalkan wudhu. Baik itu kemaluannya sendiri, maupun kemaluan orang
lain.

Juga dalam hadits riwayat dari Ibnu Majah berbunyi : dari Ummi Habibah r.a. :
“Barangsiapa yang memegang farj-nya (kemaluannya) maka hendaklah
berwudhu”.

Enam; menyentuh lubang dubur.

Keistimewaan Wudhu

Prof DR.Nazarudin Umar ( Harian Media Republika 14 Mei 2010)


mengutip pendapat Prof Baron Omar Rolf Ehrenfels- mualaf yang merupakan
seorang psikiater dan sekaligus neurology berkebangsaan Austria-
menyampaikan hasil penelitiannya kepada publik dunia bahwa secara ilmiah air
wudhu memiliki beberapa keistimewaan. Menurut Baron Umar bahwa pusat-
pusat syaraf yang paling peka yaitu sebelah dahi, tangan, dan kaki. Pusat-pusat
syaraf tersebut sangat sensitif terhadap air segar. Di sini sebenarnya ia
mengutarakan hikmah wudhu yang mewajibkan seseorang untuk membasuh
pusat-pusat syaraf tersebut. Bahkan, ia merekomendasikan bahwa agar wudhu
bukan hanya milik dan kebiasaan umat Islam namun juga umat manusia lainnya.
Dengan senantiasa membasuh air segar pada pusat-pusat syaraf tersebut, maka
berarti orang itu selalu memelihara kesehatan dan keselarasan pusat syarafnya.

Adapun tinjauan ulama fiqh menyampaikan dalam beberapa literaturnya


bahwa hikmah wudhu sebagai bagian dari upaya unutk memelihara kebersihan
fisik dan bathin. Daerah yang dibasuh dalam air wudhu, seperti tangan, daerah
muka dan kaki memang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing
termasuk kotoran. Karena itu wajar jika daerah itu yang harus dibasuh.
Sedangkan ulama tasawuf menjelaskan hikmah wudlu dari sudut pandang
esoteris dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang dibasuh air wudlu
memang daerah yang paling sering berdosa (rentan terhadap pelanggaran
agama). Kita tidak tahu apa yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan
kita. Berapa orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali
berbohong, memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan
dan diminum. Apa saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping
ini, dan apa saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini
“gentayangan” setiap hari? Tegasnya, anggota badan yang dibasuh dalam wudlu
ialah daerah yang paling riskan untuk melakukan dosa.

Kedudukan Sholat dan Makna Sholat dalam Kehidupan

 ⧫⬧   ⧫ 


◆ ⬧ ⧫
 ✓ ◼❑◼
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”.(Q.S Thaha,
20:18)

Menurut bahasa kata sholat berasal dari kata shollaa, yusholli, tashliyatan,
sholatun, yang berarti rahmat dan doa. Makna shalat dalam syariat adalah
peribadatan kepada Allah SWT dengan ucapan dan perbuatan yang telah
diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat
yang khusus dan dengan niat. Syekh Najmuddin Amin Al Kurdi dalam Tanwirul
Qulub-nya menggarisbawahi bahwa kedudukan sholat menempati posisi ibadah
fisik yang paling utama dibanding ibadah-ibadah lainnya.

Sholat merupakan pilar agama yang menduduki peringkat kedua setelah


syahadat. Shalat merupakan pondasi terbaik bagi setiap amal kebaikan di dunia
serta rahmat dan kemulian bagi kehidupan mendatang. Sholat adalah salah satu
ibadah mahdloh yang pertama kali diwajibkan oleh Allah. Dalam struktur
bangunan ajaran Islam, sholat disebut sebagai tiang agama. Sabda Rasul saw:
”Sholat adalah tiang agama, maka barang siapa yang menegakannya
berarti menegakan sholat agama, dan barang siapa yang meninggalkannya
berarti meruntuhkan agama.” (HR. Baihaqi dari Umar ra)
(al Sholat-u ’imad-u ’I-din), dimana ia menjadi faktor signifikan berdirinya
bangunan Islam. Dalam perspektif ini seorang Mukmin yang tidak menjalankan
sholat bahkan disebut sebagai telah meruntuhan bangunan Islam (hadama ”I-
din). Dalam perspektif way of life seorang muslim, sholat adalah tugas hidup,
bukan tujuan. Bahwa sholat yang didirikan oleh seorang mukmin memberikan
dampak out-put positif bagi lingkungan sekitarnya. Kehadirannya mendamaikan
individu-individu lainya.
 ⚫ ⬧ ⬧❑◼ 
 ⧫ ☺ ◆
“Sesungguhnya sholat (do’a) mu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka”
Q.S. At Taubah, (9):103
Prof.DR. Qomarudin Hidayat dalam kata pengantarnya buku Pelatihan
Sholat Khusyu’ karya Abu Sangkan berpendapat bahwa kata sholat setidaknya
mengandung dua pengertian. Pertama, sholat berarti ikatan sebagaimana yang
ditemukan dalam kata silaturahmi, yaitu saling bertemu untuk mengikat tali kasih
sayang. Sholat senantiasa menyadarkan kita bahwa sesungguhnya dorongan
hati terdalam itu selalu ingin terikat dan mengikatkan diri dengan Allah, persis
anak kecil yang selalu berdekatan dengan ibunya. Betapa tidak, karena Allah
serba Maha, yang digenggamannya seluruh alam semesta dan isinya. Kalau kita
tidak selalu ingat, mengikatkan diri dan berserah diri kepada Allah, kepada siapa
yang pantas kita serahkan persoalan hidup ini? Kedua. Sholat bermakna do’a.
Berdo’a artinya berbisik, menyeru dan meminta kepada Allah. Dan Allah akan
membalas do’a dan bisikan hambaNya. Hanya saja bisikan itu begitu lembut,
hanya telinga hati nurani yang mampu menangkap dengan jernih. Sementara
manusia lebih senang mendengarkan apa yang disajikan oleh indera, sehingga
balasan Allah samar-samar bahkan tidak terdengar.
Hakikat sholat adalah hubungan mahluk dan Khaliq (Tuhan), dan
berdialog dengan Allah, yang tidak mungkin dilaksanakan dengan kelalaian.
Sholat sebuah sarana untuk mengalahkan kekuatan hawa nafsu yang begitu
dasyat menggoda jiwa manusia. Jika kita melaksanakan sholat dengan benar
maka manusia mampu melakukan pembicaraan (komunikasi) dengan baik
terhadap Khaliqnya, sebaliknya jika dilakukan dengan kelalaian yang terjadi
adalah ketidaksempurnaan. Tidak terjalin komunikasi intens antara ucapan mulut
dengan isi hati.
◼❑◼ ⬧ ⬧⬧
☺◆  →⬧
 →❑ ◼⧫◆ ❑➔➔◆
❑☺⬧ ⧫☺ ⬧⬧
◼❑◼   ◼❑◼
✓⬧☺ ◼⧫ ⧫
 ❑➔❑ ⧫
”Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah
merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”.(Q.S An Nissa, 4:103)

Dalam struktur syariat Islam, sholat merupakan kewajiban yang harus


dilakukan oleh kaum mukmin (inna l-sholat kanat ’ala ’l-mu’min kitaban mawquta
(Q.S An-Nissa, 4:103). Sebagai kewajiban yang bersifat sentral, sholat tidak
cukup dikerjakan sekal-kali, tetapi bersistem sepanjang hidup manusia. Oleh
karena itu perintah sholat bukan untuk mengerjakan, tetapi mendirian sholat
(’aqim al-sholat), yakni mengerjakan dengan mengikuti sistemnya. Jika sholat
dikerjakan dengan mengikuti sistemnya, maka ia akan berfungsi bagi yang
mengerjakannya, seperti maksud syariat sholat. Jika sholat hanya dikerjakan
tanpa mengikuti sistemnya maka yang tertinggal hanya bentuk ritual sholat yang
tidak relevan dengan fungsinya. Sholat lima waktu merupakan kewajiban, tugas
wajib atau modal dasar, oleh karena itu sholat lima waktu tidak dimaksud untuk
apa-apa selain mematuhi kewajiban atau tugas. Untuk mencari nilai plus
hubungan manusia dengan Tuhan, misalnya ingin dekat dekat dengan Allah,
maka pendekatannya melalui sholat sunnah (nawafil).
Sebagai bagian dari ketentuan syariat tertua, sholat secara maknawi
menghimpun sebahagian besar ritual ibadah lainnya. Hal ini dapat merujuk pada
pandangan Syekh Abdullah dalam Tanqih Al Qaul-nya Syekh Nawawi Al
Bantani, yang dikutip oleh ustazd Qosim Arsyadani dalam tulisannya Urgensi
Sholat pada kumpulan tulisan Memahami Islam, bahwa sholat adalah energi
bathin, yang terhimpun segala nilai ibadah lainnya. Sholat bermakna haji. Ibadah
Haji disekitar ka’bah, sedangkan sholat harus menghadap ka’bah. Secara
simbolik seseorang yang sholat begitu dekat dengan ka’bah dalam munajat-
munajatnya.
Selanjutnya sholat bermakna puasa. Puasa adalah menahan makan dan
minum. Seseorang yang mendirikan sholat sejatinya juga bernilai puasa. Juga
sholat bermakna jihad, bahkan lebih tinggi dari jihad yang diartikan perang.
Dalam perang Jihad seseorang berhadapan dengan jumlah musuh yang tampak
di mata, sementara dalam sholat seseorang berhadapan dengan musuh tidak
nampak, dirinya sendiri dan syetan sang penggoda.

Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari
sisi agama maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan,
memberi dampak positif dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan
hidup. Di dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di
dalamnya terdapat dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah
subhanahu wa ta’ala, ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat
merupakan induk ibadah badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh).

Secara fitrah manusia menginginkan ketenangan hidup. Peluang itu


sebenarnya bisa diraih kapan saja tanpa harus bersusah payah mencari sesuatu
yang berharga mahal untuk memenuhinya. Potensi itu sebenarnya ada dalam
diri kita sendiri, persoalannya adalah apakah kita mau untuk mengoptimalkan
apa yang telah dinugerahi yang Maha Kuasa tersebut. Jiwa sebagai ruang yang
membutuhkan ketenangan mendambakan sebuah komunikasi spiritual yang
intensif yang disebut Sholat.
Pertanyaan yang menarik adalah apakah sholat kita telah mencapai
ketenangan?atau sebaliknya,
Sholat begitu membosankan. Diantara kita ada yang beranggapan betapa
sholat menjadi beban sejak kecil. Faktor keluarga berperan dalam membentuk
kondisi ini. Orang tua banyak andil menakut-nakuti kita bahwa jika tidak sholat
akan dijebloskan ke neraka. Secara psikologis doktrin tersebut mempengaruhi
pola pikiran kita. Kita tidak menyadari bahwa sholat mengandung banyak
kebaikan. Sholat merupakan tempat kita mengadu segala persoalan hidup yang
begitu kompleks. Atau alih-alih doktrin itu telah mengakar dalam pikiran kita,
sehingga sholat benar-banar diposisikan sebagai aktifitas yang sulit dan berat
dilaksanakan.
“Akan datang satu masa atas manusia, mereka melakukan sholat namun pada
hakikatnya mereka tidak sholat” (Hadits Riwayat Ahmad).

Rasulullah SAW dalam sabdanya menyampaikan bahwa sholat itu adalah


mikraj orang-orang mukmin, yaitu naiknya jiwa (mikraj) meninggalkan ikatan
nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Yang Maha
Tinggi. Mungkin bagi kita yang awam agak sulit memahami kata mikraj yang
merupakan peristiwa luar biasa yang pernah dialami Rasul SAW “berdialog
langsung dengan Allah”. Kita pun dapat mengalami persitiwa spiritual yang
begitu mengesankan ketika kita telah berada pada posisi tahiyat (.iftirosy). Pada
tahiyat ini kita diajak untuk beraudiensi dengan Allah SWT dan RasulNya
sebagai bentuk ikatan bathiniah yang agung antara seorang hamba dengan
penciptaNya. Jarak antara seorang hamba dengan Allah begitu dekat. Jarak
seorang hamba dengan RasulNya begitu dekat. Sehingga dapat dikatakan
“terjadinya transformasi jiwa” secara lahir dan bathin seorang hamba menuju ke
hadirah Ilahi Robbi.
Analogi yang agak sederhana mungkin dapat dipahami ketika kita
dihadapkan masalah yang sulit dipecahkan atau tiba-tiba kita mendapatkan rasa
gelisah dan cemas. Secara naluriah kita tergerak untuk keluar dari beban yang
menghimpit perasaaan kita. Kita akan lega jika kita pergi ke tempat yang lebih
jauh. Jauh dari tempat yang tinggal kita yang begitu membebani. Mengapa
dorongan dan rangsangan untuk pergi jauh tidak digantikan dengan mendirikan
sholat. Dengan Sholat seseorang diajak “pergi jauh” meninggalkan beban
masalah menuju sang “pemilik masalah sejati, Allah SWT, mencurahkan semua
suara hati yang ada, maka dialog bathin terjadi tanpa perantara siapa pun.
Sholat adalah proses perjalanan spiritual yang penuh makna yang dilakukan
seseorang untuk menemui Allah. Sholat menjernihkan jiwa dan mengangkat
seorang mushollin (yang mendirikan sholat) untuk mencapai taraf kesadaran
yang lebih tinggi (altered states of consciousness) dan pengalaman puncak
(peak experience).
“Apabila salah satu diantara kalian mempunyai urusan (persoalan) maka
sholatlah dua rakaat di luar sholat fardhu (sholat sunnah)”. Hadits Bukhori dan
lainnya dalam kitab Mukhtaruh Shahih wal Hasan.

Makna Simbolik dibalik Perintah Sholat


 ☺ ◆❑⬧
 ⧫ ➔ ⧫
 ⧫❑➔
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya”. (Q.S Al Maun,107, 4-5)

Pada tataran teori, sholat sebagai bentuk aktifitas ibadah sudah dapat
dipandang sebagai faktor pembentuk tingkah laku, karena ia dilaksanakan
secara berkelanjutan, frekuensinya relatif tinggi dan bersistem. Secara
substantif, shalat mengandung makna spiritual, baik internal orang yang sholat
maupun dalam hubungannnya dengan Tuhan. Akan tetapi pada tataran praktek,
sebagaimana juga ibadah lain, bisa saja sholat tidak bermakna apa-apa. Oleh
karena Al Qur’an bahkan masih menyebut neraka wail sebagai tempat bagi
orang-orang yang menjalankan sholat, yakni sholatnya tidak sistemik. (wayl-ul
li’l-mushallin, Q.S Al Maun, 107:4)
Untuk menemukan pola sholat yang sistemik, sebaiknya kita
merenungkan pernyataan Syekhuna Tuan Guru Abdul Hamid Husen dalam
tulisannya Untaian Zikir dan Do’a; dalam sholat Rasulullah saw, beliau
menegaskan bahwa kita tidak akan dapat melaksanakan sholat dengan
sempurna kecuali jika kita mengikuti manhaj (petunjuk) Rasulullah saw. Untuk
mencapai segala kebaikan sholat sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah
SWT hendaklah kita melaksanakan dengan istiqomah (secara berkelanjutan,
baik fardhu maupun sunnah) dan berupaya menterjemahkannya ke dalam
kehidupan.
Sholat yang utama adalah ketika seseorang berdiri secara sempurna
(menghadap kiblat serta terpenuhinya rukun dan syarat sholat). Inilah aktifitas
berdiri yang bernilai secara lahirilah dan ruhaniah. Karena setiap orang bisa
melakukan sikap berdiri, namun sikap berdiri akan bernilai jika kita sedang
sholat. Dalam sholat kita membaca doa-doa yang lembut yang memberikan
vibrasi kepada perubahan mental dan mengandung kekuatan penyembuhan.
Pembacaan do’a yang berulang-ulang mengadung bunyi potensial yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi perubahan kesadaran. Pengulangan ini memilki
kekuatan untuk mensugesti dan menghipnosa mental yang gelisah dan bingung
atau memasukan pikiran ke dalam ketenangan yang luar biasa, yang sangat
bermanfaat untuk menangkap petunjuk Allah. Maka faktor penguasaan bahasa
komunikasi menjadi faktor penentu, bahwa setiap kita berupaya untuk
mempelajari dan memahami bahasa “komunikasi sholat”. Ketika seseorang
membaca surah Al Fatiah dalam sholatnya, secara bathiniyah sebenarnya ia
berkomunikasi intensif (menyampaikan curahan hatinya) kepada Allah SWT,
sebagaimana firman Allah yang disampaikan melalui Rasulullah saw:

‫سأ َ َل َفإِ َذا قَا َل ْال َع ْب ُد‬ َ ‫ِي َما‬ ْ ‫صفَي ِْن َو ِل َع ْبد‬
ْ ِ‫ِي ن‬ْ ‫ع ْبد‬َ َ‫صالَة َ بَ ْينِ ْي َوبَيْن‬ َّ ‫س ْمتُ ال‬ َ َ‫ق‬
‫الر ِحي ِْم‬ َّ ‫من‬
ِ ْ‫الرح‬ َّ ‫ع ْبدِي َو ِإذَا قَا َل‬ َ ‫ب اْل َعالَ ِميْنَ قَا َل هللاُ ت َ َعالَى َح ِم َدنِي‬ ِ ‫ْال َح ْم ُد ِهللِ َر‬
‫الدي ِْن قَا َل َم َّج َد ِني‬ ِ ‫ع ْبدِي َو ِإذَا قَا َل َما ِل ِك َي ْو ِم‬ َ ‫ي‬ َ ‫قَا َل هللاُ ت َ َعالَى أَثْنَى‬
َّ َ‫عل‬
‫َّاك نَ ْست َ ِعي ُْن قَا َل هذَا‬ َ ‫ع ْب ِدي فَإِذَا قَا َل إِي‬
َ ‫َّاك نَ ْعبُ ُد َوإِي‬ َ ‫ي‬َّ َ‫ض إِل‬َ ‫ع ْبدِي َوقَا َل َم َّرة ً فَ َّو‬ َ
‫ط‬َ ‫ص َرا‬ ِ ‫ط ْال ُم ْست َ ِقيِم‬ ِ ‫سأ َ َل فَإِذَا قَا َل اِ ْه ِدنَا‬
َ ‫الص َرا‬ َ ‫ع ْبدِي َو ِلعَ ْبدِي َما‬ َ َ‫بَ ْينِي َوبَيْن‬
‫علَ ْي ِه ْم َوالَ الض َِّال ْينَ قَا َل هذا ِل َع ْبدِي َو ِل َع ْبدِي‬ َ ‫ب‬ِ ‫ضو‬ ْ ‫غي ِْر ْال َم ْغ‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم‬
َ ‫ت‬ َ ‫الَّ ِذيْنَ أ َ ْن َع ْم‬
‫سأ َ َل‬
َ ‫َما‬

”Hamba berkata: (segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam), Allah
berfirman: Hamba-Ku memuji Aku.
Ketika hamba mengucapkan: (Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang), Allah berfirman hamba-Ku menyanjung Aku.
Ketika hamba mengucapkan: (Yang menguasai hari pembalasan), Allah
berfirman: hambaku mengagungkan Aku.
Ketika hamba berkata: (Hanya kepada Engkau kami menyembah dan
hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), Allah berfirman:
inilah antara Aku dengan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia
minta.
Ketika hamba berkata: (Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu orang-
orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka
yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat), Allah berfirman:
semua itu untuk hamba-Ku dan bagi hamba-ku apa yang ia minta.” (Hadis
Qudsi, riwayat Muslim, Abu ’Uwanah dan Malik).

Adalah Rasulullah SAW mendirikan sholat dengan tuma’ninah (rileks),


yaitu sikap tenang atau diam sejenak sehingga dapat menyempurnakan
perbuatannya, dimana posisi tulang dan organ tubuh lainnya dapat berada pada
tempatnya dengan sempurna.
Dari Abu Hurairoh, sesungguhnya Nabi SAW pernah masuk masjid dan
bersabda: ”apabila kamu berdiri sholat bertakbirlah, lalu bacalah ayat yang
mudah bagi mu, kemudian ruku’ lah sehingga thumaninah dalam keadaan ruku’,
kemudian bangkitlah sehingga i’tidal dalam keadaan berdiri, kemudian sujudlah
sehingga thumaninah dalam keadaan sujud, kemudian bangkitlah sehingga
thumaninah dalam keadaan duduk, kemudian sujudlah sehingga thumaninah
dalam keadaan sujud, kemudian berbuatlah demikian dalam sholatmu (HR.
Bukhori, Muslim, dan Ahmad)

Kebanyakan orang mengira bahwa jumlah bacaan dalam setiap sholat


dijadikan sebagai ukuran waktu selesainya sikap berdiri, duduk, ruku’, maupun
sujud. Padahal bacaan itu bukan sebuah aba-aba dalam sholat kita. Setiap
bacaan yang diulang-ulang merupakan aspek meditasi, autoterapi, autosugesti,
berdo’a, mencari inspirasi, penyembuhan, menunggu petunjuk termasuk
mendapatkan ketenangan bathin lebih dalam. Apalagi sholat bukan hanya untuk
terapi mental tetapi juga untuk menterapi fisik agar bisa rileks. Tentunya tidak
mungkin dilakukan dengan terburu-buru, karena aspek meditatif sholat dapat
ditemukan jika kita mendirikan sholat dengan penghayatan bacaan-bacaan
sholat. Pengulangan bacaan tasbih dalam ibadah sholat; seperti membaca
tasbih subhanallah robi al adzhimi wa bihamdihi 3X atau lebih ketika ruku adalah
diantara upaya menuju therapy lahir bathin dalam sholat.
Mengacu pada Rasulullah, beliau melakukan i’tidal lama sekali sehingga
para jamaahnya dikira beliau lupa. Padahal bacaan yang dibaca pendek sekali
dan bisa dilakukan dengan cepat, tetapi Rasulullah melakukan dengan berdiri
cukup lama. Juga pada saat duduk, beliau melakukan dalam tempo agak lama.
Pada saat duduk (iftirosy) sebenarnya Rasulullah sedang melakukan
dialog untuk menyelasaikan persoalan yang dirasa sulit untuk dipecahkan. Pada
saat itulah beliau menununggu jawaban atas kesulitan yang beliau alami.
Pertanyaan adalah : Mengapa kita tidak mengambil pelajaran dari cara beliau
sholat ?. Sholat menjadi media komunikasi dan memohon pertolongan Allah atas
masalah yang kita hadapi. Apabila kita telah melakukan sholat dengan benar,
dengan cara relaksasi yang dalam dan penyerahan secara total kepada Allah
(kepasrahan dan penuh harap kepada Allah SWT), maka tidak mungkin orang
yang sudah mendirikan sholat akan berhati kasar atau pikirannya menjadi kacau.
Sementara itu, menurut penelitian Alvan Goldstein, ditemukan adanya zat
andorphin dalam otak manusia yaitu zat yang memberikan efek menyenangkan
yang disebut endogegonius morphin. Untuk mengembalikan produksi endorphin
di dalam otak bisa dilakukan dengan meditasi sholat yang benar atau melakukan
zikir-zikir yang memang banyak memberikan dampak ketenangan.
Mereka yang melakukan sholat dengan tenang dan rileks akan
menghasilkan energi tambahan dalam tubuhnya, sehingga tubuh terasa segar
(fresh). Aktifitas Inilah membuktikan fungsi sholat sebagai ”Sesungguhnya Sholat
memiliki kekuatan mengubah perilaku manusia dari perbuatan keji dan
munkar...(Q. S Al Ankabut, 29:45)
Bisa dimengerti, mengapa sholat jika dilakukan dengan benar mampu
mengubah perilaku menusia menjadi bermoral. Rasulullah SAW telah
memberikan tehnik alamiah yang dibutuhkan fisik dan jiwa secara sempurna.
Saat tubuh kita letih dan stress, Rasulullah telah memberikan cara terapi fisik
berupa HYDRO-THERAPY (terapi air), dengan menggunakan air wudhu. Wudhu
adalah ibadah zikir yang merupakan sarana pembersihan jiwa, yang dimulai dari
sisi yang paling luar (fisik) sampai ke dalam ruhaninya. Lalu disunahkan pula
menaburi wewangian pada tubuh yang akan memberikan efek relaksasi pada
pikiran (aroma therapy).
”Barang siapa berwudhu’ lalu dibaguskan wudhu’nya dan dikerjakan sholat dua
rakaat, di mana ia tidak berbicara dengan dirinya dalam wudhu’ dan sholat itu
sesuatu hal duniawi, niscaya keluarlah dia dari segala dosanya, seperti hari ia
dilahirkan oleh ibunya”. (H.R Bukhori dan Muslim dari Usman bin Affan ra.)

Sebaiknya kita harus sudah mengubah paradigma dari teosentris menjadi


antroposentris. Kita yang seharusnya butuh Allah, bukan Allah yang butuh kita,
sehingga kita merasakan bahwa beribadah adalah sesuatu yang memang
dibutuhkan oleh jiwa, pikiran dan fisik kita. Sholat menjadi sesuatu yang
menyenangkan bukan sebaliknya. Memang agak sulit mengubah suatu
kebiasaan yang sudah mengakar dan mendarah daging. Namun kita mencoba
mempraktekkan latihan-latihan zikir dan sholat untuk menemukan rasa yang
telah lama hilang itu. Dengan kesadaran baru yang kita bangkitkan, insyallah
sholat akan menjadi tempat kita berdialog dengan Allah. Dia pusat ilmu
pengetahuan, sumber kehidupan dan pusat perencanaan kehidupan dari seluruh
mahluk.
 ❑➔⧫◆
◆  ❑◼◆
⧫✓➔⬧ ◼⧫  ◆⬧⬧
 ⧫❑→⧫ ⧫ 
◆ ◆ ❑→◼
 ⧫❑➔◆ ⬧

”Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu dan sesungguhnya yang


demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-
orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepadaNya.” (Q.S AlBaqoroh,2:45-46).
Sholat Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi antara seorang manusia dengan Tuhan, bisa berupa
permintaan (do’a), pengaduan, konsultasi, bisa juga sebagai pelepas kerinduan.
Sholat sunnah istikhoroh, misalnya adalah bentuk permintaaan seorang manusia
kepada Tuhan agar diberi kemampuan memilih (dipilihkan yang terbaik) dari
pilihan-pilihan yang sulit. Sikap percaya kepada Allah SWT Yang Maha
Mengetahui (atas baik-buruk) dan Maha Kuasa (untuk menentukan pilihan) itu
tergambar pada teks do’a istikaharoh yang diajarkan oleh Nabi SAW sebagai
berikut:
”Ya Allah sesungguhnya kami mohon dipilihkan oleh-Mu dengan ilmu Mu, dan
kami mohon penetapan dengan kekuasaan-Mu, juga kami mohon karunia-Mu
yang besar. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Kuasa, sementara kami tidak
berkuasa apa-apa, Engkau Maha Mengetahui, dan kami tidak mengetahui apa-
apa, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah sekiranya
menurut ilmu-Mu urusanku ini (maksudnya pilihan-pilihan yang sulit, pen.) baik
untukku, untuk agamaku, dan untuk kehidupanku, maka ya Allah, takdirkanlah
hal itu untukku dan mudahkanlah bagiku, kemudian berkatilah aku. Sebaliknya
jika menurut ilmu-Mu, urusanku ini buruk untukku, untuk agamaku, dan untuk
kehidupanku dan akibat dari urusanku ini, baik jangka pendek maupun jangka
panjang, maka ya Allah jauhkanlah hal itu dari ku, jauhkanlah aku dari hal itu,
serta takdirkanlah untukku yang baik-baik saja dimana saja dimana saja adanya,
kemudian puaslah hatiku dengan takdir itu.”

Jawaban sholat istikhoroh dapat diketahui melalui tiga jalan. (1) melalui
isyarat mimpi, yang melambangkan apa yang sebaiknya dipilih, (2) jawaban itu
disampaikan melalui nasihat dan saran banyak orang yang terasa masuk akal
dan menyejukkan, dan (3) melalui ketajaman nurani, dimana hati menjadi sangat
yakin atas pilihannya meski boleh jadi ditentang oleh seluruh penduduk bumi.
Adapun jika seorang muslim mempunyai permintaan khusus kepada
Allah, maka kepadanya dianjurkan untuk mengerjakan sholat sunnah hajat.
Dalam Al Qur’an diisyaratkan bahwa permohonan pertolongan kepada Tuhan
bisa dilakukan dengan sabar dan sholat ( Q.S Al Baqoroh, 2:45.)
Jika orang mengerjakan sholat istikaharoh disebabkan kurang percaya diri
dalam mengambil keputusan, maka sholat hajat dilakukan sehubungan dengan
telah adanya keputusan yang diambil dan langkah yang sudah dimulai. Dalam
keyakinan atas pilihan itulah orang bermohon agar apa yang diyakini telah
diridhoi Allah itu terlaksana dengan baik. Perhatikan kandungan do’a sholat hajat
yang diajarkan Rasul SAW:
Tiada Tuhan Selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Maha Suci
Allah, Pemilik Arsy yang Agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
Aku mohon kepada Mu hal-hal yang mendatangkan (a)rahmat-Mu, (b) ampunan-
Mu, (c) perlindungan-mu dari dosa, (d) peluang meraih segala kebajikan dan (e)
terbebas dari kesalahan. Ya Allah aku mohon kepada Mu, jangan Engkau
biarkan dosaku tanpa Engkau ampuni, dan jangan Engkau biarkan kesulitanku,
tanpa Engkau beri jalan keluar, dan jangan Engkau biarkan hajatku yang telah
Engkau ridhoi, tanpa Engkau kabulkan, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.

Imam Ghozali dalam Ihya ’Ulum-u ’l –Din sebagaimana dikutip oleh


Achmad Mubarok dalam kumpulan tulisannya Pendakian Menuju Allah (2002),
mengutip hadis yang menceritakan bahwa ketika seorang hamba mendirikan
sholat, maka Allah membuka tabirNya, sehingga sang hamba dapat
bermuwajahah, bertatap muka dengan Nya. Ketika itu di kiri kanan hamba yang
sholat itu terdapat sejumlah malaikat yang ikut sholat bersamanya dan
mengamini do’anya. Ketika itu langit dibuka bagi orang yang sholat itu.
Dari beberapa penjelasan di atas kita dapat menggarisbawahi bahwa
sholat memiliki keistimewaan. Bahwa sholat adalah ibadah yang mempunyai
kedudukan penting dalam hidup dan kehidupan seorang muslim, karena ia
berperan sebagai media komunikasi seorang msulim dengan KhaliqNya, ketika
sholat seseorang akan merasa bergetar hatinya ”berkomunikasi” langsung
dengan Zat Yang Maha Kuasa, gerakan serta ucapan-ucapan dilaksanakan
dengan hati yang ikhlas dan sepenuh jiwa. Dalam kondisi itu, seseorang akan
merasakan kekuasaan tersembunyi yang eksistensinya dirasakan oleh manusia.

Makna setiap Gerakan Sholat


Bahwa setiap gerakan sholat yang dilaksanakan seorang mushollin
(pelaku sholat) memiliki ragam arti dan keutamaan yang telah diteliti oleh para
ilmuwan terutama secara ilmiah. Di bawah ini diuraikan beberapa di antara
keutamaan tersebut yaitu:
1. Takbiratul ihrom
Saat kita berdiri tegak, kemudian mengangkat kedua tangan hingga
sejajar, lalu bersedekap dengan melipatnya di depan perut atau
dadabagian bawah, sebenarnya gerakan ini mengnadung arti dan
manfaat, misalnya untuk melancarkan aliran darah, getah bening (limfe)
dan kekuatan otot lengan. Saat mengangkat kedua tangan, otot bahu
meregang sehingga aliran darah kaya dengan oksigen menjadi lancar.
Selain ini, saat kedua tangan didekapkan di depan perut atau dada bagian
bawah, dapat menghindarkan dari gangguan persendian, khususnya pada
tubuh bagian atas.
2. Rukuk
Gerakan rukuk yang benar adalah ditandai dengan tulang belakang yang
lurus sehingga bila diletakan segelas air di atas punggung tersebut tidak
akan tumpah. Selain itu posisi kepala harus lurus dengan tulang belakang.
Dengan posisi seperti ini, akan menjaga kesempurnaan posisi dan fungsi
tulang belakang (corpus vertebrae) sebagai penyanggah tubuh dan pusat
syaraf. Kemudian kita ketahui bahwa posisi jantung sejajar dengan otak,
maka aliran darah akan maksimal pada tubuh bagian tengah. Kemudian
tangan yang bertumpu pada lutut berfungsi sebagai relaksasi bagi otot-
otot bahu hingga ke bawah. Selain semua manfaat yang disebutkan di
atas, rukuk juga merupakan latihan kemih untuk mencegah gangguan
prostat.
3. I’tidal
Bangun dari rukuk, tubuh menjadi tegak setelah mengangkat kedua
tangan setinggi telinga, I’tidal merupakan variasi dari fostur setelah rukuk
dan sebelum sujud. Gerakan ini bermanfaat sebagai latihan yang baik
bagi organ-organ pencernaan. Karena pada saat I’tidal oragn-organ
pencernaan di dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara
bergantian. Hal ini ternyata memberi efek melancarkan pencernaan.
4. Sujud
Posisi sujud berguna untuk memompa getah bening ke bagian laher dan
ketiak. Posisi jantung di atas otak menyebabkan daerah kaya oksigen bisa
mengalir maksimal ke otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir
seseorang. Oleh karena itu, sebaiknya lakukan sujud dengan
Thuma’ninah, tidak tergesa-gesa agar darah mencukupi kapasitasnya di
otak. Selain itu, posisi sujud menghindarkan seseorang dari gangguan
wasir. Sujud adalah tindakan merendahkan diri, karena pada saat itulah
akal yang posisi di kepala, kini justeru lebih rendah dari dubur.
5. Duduk di atara dua sujud
Di dalam sholat ada dua macam duduk, yaitu iftirosy (tahiyat awal) dan
tawaruk (tahiyat akhir). Pada saat duduk iftirosy, tubuh tertumpu pada
pangkal paha yang terhubung dengan syaraf nervus Ischiadius. Dengan
duduk iftirosy mampu menghindarkan nyeri pada pangkal paha yang
sering meyebabkan penderita tak mampu berjalan. Sedangkan duduk
tawaruk sangat baik bagi pria sebab tumit menekan aliran kandung kemih
(uretra), kalenjar kelamin pria (prostate) dan saluran vas deferens. Jika
dilakukan dengan benar posisi seperti ini mampu mencegah impotensi.
Selain itu variasi posisi telapak kaki pada iftirosy dan tawaruk
menyebabkan seluruh otot tungkai turut meregang dan kemudian rileks
kembali. Gerakan dan tekanan harmonis inilah yang menjaga kelenturan
dan kekuatan organ-organ gerak kita.
6. Salam
Salam bermanfaat untuk merelaksasikan otot sekitar leher dan kepala
menyempurnakan aliran darah di kepala, sehingga mencegah sakit kepala
serta menjaga kekencangan kulit wajah. Selain itu, gerakan salam
memiliki nilai sosial yang mendalam. Sejak takbirotul ihrom kita telah
mulai menyibukkan diri untuk berhubungan dengan Allah SWT, namun
ketika kita salam, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri merupakan perintah
bahwa setelah hubungan dengan Allah, kita harus berhubungan kembali
dengan manusia. Demikian, pada dasarnya seluruh gerakan dalam sholat
bertujuan meremajakan seluruh anggota tubuh. Jika tubuh lentur
kerusakan sel dan kulit sangat jarang terjadi. Apalagi jika dilakukan secara
rutin (sholat lima waktu beserta sunah-sunahnya), maka sel-sel yang
rusak dan segera tergantikan regenerasi pun berjalan dengan lancar
alhasil, tubuh senantiasa bugar.

Dalam pembentukan kepribadian berkarakter sholat memiliki hikmah yang


dapat kita jadikan pelajaran yang sangat berguna yaitu:
1. Membiasakan diri hidup bersih dan sehat
Di dalam Islam, sholat tidak hanya sekedar ibadah ritual yang berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat ruhaniah, melainkan juga jasmaniah. Di antara
unsur yang terkandung di dalam sholat adalah kebersihan dan kesucian lahir dan
bathin serta berhias diri.
Seorang yang akan mendirikan sholat harus bersih, suci badan, pakaian, dan
tempat dari hadas atau najis.hal ini bersesuaian dengan prinsip-prinsip hidup
sehat yakni memelihara diri dari segala jenis kotoran. Dengan terhindarnya
seseorang dari kotoran, berarti dia sangat mencintai kebersihan dan terbiasa
hidup bersih, hidup sehat jauh dari penyakit. Mandi atau wudl’u yang
dilaksanakan sebelum shalat secara teratur akan melahirkan manusia yang
sadar akan kebersihan dan kesehatan.
Dengan membasuh bagian yang paling mudah kotor dari bagian tubuh, ketika
berwudlu’, kita akan merasa bersih dan segar serta tenang. Sementara itu, pada
saat kita mengguyurkan air yang suci ke bagian anggota wudlu’, menyadarkan
kita akan karunia Allah yang telah diberikan kepada kita. Kita disadarkan apakah
muka dan panca indera kita yang terdapat di dalammnya sudah digunakan
sesuai ketentuanNya?

2. Membangun sikap disiplin


Shalat dapat membangun watak manusia untuk selalu disiplin terutama dalam
menggunakan waktu yang sangat berharga. Bukankah sholat yang terbaik
adalah pada awal waktu? Gerakan-gerakan dan bacaan tertentu di dalam sholat
menuntut seseorang tetap setia dalam lingkaran yang diperbolehkan. Hal ini
dapat membangun sikap hidup menghargai waktu, tepat waktu dan konsisten
terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat, termasuk lingkungan studi.
Disiplin di dalam mengerjakan sholat dapat akan menumbuhkan sifat teguh
memegang prinsip, semangat belajar dan berusaha, melawan nafsu malas dan
menjauhi sikap mudah putus asa. Kepribadian ini akan dapat dicapai dengan
terus berlatih melalui ibadah sholat yang istiqomah (berkelanjutan yang disertai
ketaatan).
”...Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri,
diwaktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu
yang ditentukan waktunya atas orang- orang yang beriman.” (Q.S An Nisa:105)
3. Memupuk rasa persaudaraan
Shalat dapat memupuk dan mengikat rasa persaudaraan sesama muslim.
Bukankah seseorang yang mendirikan sholat harus menghadap ke satu arah
yang sama yakni baitullah (ka’bah)? Di dalam sholat, tidak ada perbedaan
bahasa, gerakan dan kaifiat, semuanya menggunakan bahasa Arab. Gerakan
yang dimulai dengan takbir, ruku’, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud, tahiyat
awal (dan tahiyat akhir), tasyahud dan thuma’ninah serta salam, semuanya
membawa kepada satu pemasrahan, yakni kepada keharibaan Allah. Kenyataan
ini mengajarkan sikap persamaan dan akhirnya melahirkan persaudaraan yang
kuat.
Demikian hal juga dalam sholat berjamaah, setiap orang dapat memperhatikan
persaudaraan sesama muslim. Dalam prosesi shalat itu, tidak ada perbedaan
status apapun yang dapat mempengaruhi pelaksanaan sholat berjamaah. Setiap
orang bersatu padu dalam masing-masing shafnya. Mereka yang lebih awal
datang mengisi shaf yang paling depan, tidak ada perbedaan status sosial.
Mereka merapatkan dan meluruskan barisan secara bersama-sama dalam satu
kekuatan. Seusai shalat, mereka saling tegur sapa yang diawali dengan salam.
Mereka telah mewujudkan rasa persaudaraan karena mengawali kalimat
pertamanya dengan salam persaudaraan. Hal ini berlaku di seluruh dunia bagi
orang yang mengerjakan sholat.
Setiap kali hadir dalam shalat berjamaah, setiap anggota masyarakat di satu
tempat saling bertegur sapa dan berkomunikasi. Dengan cara ini sudah barang
tentu dapat meningkatkan frekuensi dan intensitas persaudaraan di kalangan
umat dan menghindari mereka dari perpecahan.

Arti Setiap Peralihan Waktu Sholat


Dalam setiap perubahan waktu sholat, ternyata memiliki terjemahan
sendiri yang tergambar pada perubahan warna alam. Fenomena perubahan
warna alam ini merupakan sesautu yang tidak asing bagi kita semua, karena
bisa disaksikan dengan kasat mata, apalagi bagi mereka yang terlibat dalam
bidang fotografi.
Berikut ini marilah kita renungkan setiap perubahan warna yang ditandai
datangnya waktu sholat lima waktu.
1. Sholat Subuh
Warna biru muda pada waktu subuh ternyata mempunyai rahasia yang
berkaitan dengan penawar atau rezeki dan komunikasi. Mereka yang
kerap tertinggal waktu subuh atau terlewat secara berulang kali, lama
kelamaan akan menghadapi masalah kemunikasi dan rezeki. Hal di atas
terjadi karena warna biru muda pada waktu subuh bersamaan dengan
frekuensi tiroid yang mempengaruhi sistem metabolisme tubuh. Ketika
azan subuh berkumandang, tenaga alam pada itu berada pada tahap
optimum. Tenaga inilah yang akan diserap oleh tubuh melalui konsep
resonan pada waktu rukuk dan sujud dua kali. Jadi, mereka yang terlewat
subuhnya sebenarnya sudah mendapat tenaga yang tidak optimum lagi.
2. Waktu Zuhur
Setelah waktu subuh berlalu, maka warna alam berubah ke warna hijau,
yaitu masuk isyroq dan dhuha. Kemudian ketika waktu zuhur tiba, warna
alam berubah menjadi kuning. Spektrum warna pada saat ini bersamaan
dengan frekuensi perut dan hati yang berkaitan dengan sistem
pencernaan. Kita ketahui bahwa warna kuning mempunyai keterkaitan
dengan kecerian. Jadi mereka yang selalu ketinggalan atau terlewat
Zuhurnya berulang-ulang kali dalam kehidupannya akan menghadapi
masalah di perut dan hilang sifat cerianya.
3. Waktu Ashar
Saat waktu ashar tiba, warna alam akan berubah kepada warna oranye, di
mana spektrum warna pada waktu ini bersamaan dengan frekuensi
prostat, uterus, ovari dan testis yang merangkumi reproduksi. Kita ketahui
bahwa rahasia warna oranye memiliki keterkaitan dengan kreatifitas.
Orang yang kerap tertinggal Ashar akan hilang daya kreatifitasnya.
4. Waktu maghrib
Diantara kita pernah mendengar nasihat orang tua agar tidak berada di
luar rumah pada saat maghrib tiba. Ternyata hal ini memiliki arti sangat
penting untuk kita ketahui. Saat maghrib tiba, alam berubah ke warna
merah dan spektrum warna pada waktu ini menghampiri frekeunsi jin dan
iblis (infra-red), di mana ini bermakna jin dan iblis pada waktu ini amat
bertenaga karena mereka resonan dengan alam. Bila kita sedang dalam
perjalanan sebaiknya berhenti dahulu pada waktu ini (sholat maghrib
terlebih dahulu) karena banyak interferens (seperti fatamorgana) terjadi
pada waktu ini yang bisa menyusahkan pandangan mata. Selain itu,
waktu maghrib atau warna merah memiliki keterkaitan dengan keyakinan,
frekuensi otot, saraf dan tulang.
5. Waktu Isya
Ketika waktu sholat isya tiba, warna alam berubah ke warna indigo dan
seterusnya hingga memasuki tahap kegelapan. Waktu isya menyimpan
rahasia yang berhubungan dengan kebahagiaan dan kedamaian di mana
frekuensinya bersamaan dengan sistem kontrol pada otak. Mereka yang
sering meninggalkan sholat isya dalam hidupnya akan selalu berada
dalam kegelisahan. Karena kondisi alam saat ini berada dalam kegelapan.
Ketika tengah malam kian menjelang, alam bersinar kembali dengan
warna putih, merah jambu dan ungu, dimana hal ini bersamaan dengan
frekuensi kelenjar pineal, pituitari, talamus dan hipotalamus. Pada saat ini
disebut Qiyamulail, kemudian melaksanakan ibadah, seperti sholat sunah
tahajud dan sebagainya.
Demikian bahwa sebenarnya rangkaian ibadah sholat yang diperintahkan
oleh Agama Islam lebih kepada bukti kasih sayang Allah SWT kepada
hamba-hamba bukan sebaliknya yang dipahami kebanyakan orang bahwa
perintah sholat menyusahkan dan mempersulit bagi setiap pelakunya.

ZAKAT
Makna zakat menurut bahasa ialah menambah. Sedangkan menurut
syara ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara yang tertentu
kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.
Dalam upaya menuju ketenangan bathin yang paripurna, Al Qur’an
mengajak kelompok ”be have” untuk berbagi harta kepada mereka yang
dikategorikan ”not be have”. Sebagai agama yang mengusung nilai-nilai
kebersamaan Islam mengatur secara tegas dalam Al Qur’an agar terjadi
perputaran ekonomi yang seimbang (”supaya harta jangan hanya beredar
diantara orang-orang kaya” Q.S Al Hasyr,59:7). Juga pemanfaatan harta secara
baik yang diambil dari harta orang-orang kaya, dengan tujuan agar terjalinnya
hubungan yang harmonis antar mereka.

⬧ ⚫◆❑  ➔


 ⧫➔◆ ➔⬧➔
⬧❑◼   ◼⧫ ◆
☺ ◆  ⚫ ⬧
 ⧫

”Ambillah dari harta mereka sebagai sedekah untuk membersihkan dan


menjadikan mereka suci. (Dengan pemberian sedekah tersebut) Berdo’a lah
untuk mereka (orang yang bersedekah). Sesungguhnya do’a kamu (orang yang
menerima sedekah) akan menenteramkan mereka. Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (Q.S At Taubah, 9:103)

Ayat di atas memberikan petunjuk bahwa kerelaan atas pemberian harta


yang diberikan kepada mereka yang kurang mampu memberikan dampak positif
yang luas biasa bagi ketenangan bathin, bahkan sang pemberi sedekah memiliki
suasana spiritual yang lapang untuk ”menuju” kepada Allah (sholat). Memang
begitu menarik awal kalimat ayat tersebut - menggunakan kalimat ambillah
(menggunakan kata perintah). Hal itu dapat dimaknai karena pada umumnya
setiap manusia memiliki kelemahan, selalu takut dan khawatir dengan
berkurangnya atas kepemilikan harta, sebaliknya lebih senang untuk
mengumpulkan harta ketimbang untuk berbagi (share) sesama mereka.
Zakat adalah memberikan sebahagian sesuatu (harta) yang telah
diupayakan kepada yang berhak menerimanya setahun sekali setelah mencapai
nishab. Kata zakat dalam Al Qur’an sering dirangkaikan dengan sholat dan
disebut sebanyak 82 kali. Hal ini menunjukkan betapa penting ibadah zakat
dalam rangka menyusun kehidupan yang harmonis dan humanis. Zakat sebagai
ibadah yang berusaha mengatasi kemiskinan sangat erat hubungannya dengan
masalah-masalah sosial. Menurut ajaran Islam, zakat merupakan pengikat
solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan
dan mempraktekkan pengorbanan diri serta kemurahan hati. Pelaksanaan zakat
akan membahagiakan dan menimbulkan rasa puas dalam muzakki (wajib zakat),
karena telah menyempurnakan kewajiban kepada Allah. Pengaruh positif dari
aspek sosial ekonomi yang terdapat dalam zakat memberikan dampak
terciptanya keamananan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas
karena tajamnya perbedaan pendapatan.
Zakat, sebagai ibadah sosial keagamaan telah tua umurnya dan telah
dikenal dalam agama wahyu yang telah dibawa oleh para Rasul terdahulu. Di
dalam Al Qur’an Alllah telah berfirman:
◆ ☺ ◆➔◆
◆◆ ⧫
◆ ➔ ⬧
◆⧫◆ ❑◼ ◆⬧◆
⬧ ❑◆  ❑
 ⧫⧫
”Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka
menegakkan kebaikan, mendirikan sholat, membayar zakat, dan hanya kepada
Kamilah mereka selalu menyembah”. (QS. Al Anbiya, 21:73)
Dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata ”zaka” yang berati
berkah, tumbuh, bersih dan baik. Pendapat lain mengatakan bahwa kata dasar
”zaka” berarti bertambah dan tumbuh, sedangkan segala sesuatu yang
bertambah disebut zakat. Adapun dari segi istilah banyak para ahli
mendifinisikan. Menurut istilah fiqih zakat berarti sejumlah harta tertentu
diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Menurut Imam Nawawi
jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat, karena yang
dikeluarkan itu ”menambah banyak”, membuat lebih berarti dan melindungi
kekayaan dari kebinasaan”. Sedangkan menurut Ibn Taymiyah, jiwa dan
kekayaan orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan
bertambah. Hal ini berarti bahwa makna tumbuh dan berkembang itu tidak
banyak diperuntukkan buat harta kekayaan tetapi lebih jauh dari itu.
Dengan mengeluarkan zakat diharapkan hati dan jiwa orang yang
menunaikan kewajiban zakat itu menjadi bersih. Hal ini sesuai dengan firman
Allah: ”Ambillah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan sucikan
mereka dengannya”. (Q.S At Taubah, 9:103) Dari ayat tersebut tergambar
bahwa zakat yang dikelurkan oleh para muzakki itu dapat mensucikan dan
membersihkan hati mereka. Suci hati dapat diartikan mereka tidak mempunyai
sifat yang tercela terhadap harta seperti rakus dan kikir. Sebagai orang yang suci
dan pendpat petunjuk Allah, dia akan mengeluarkan harta bendanya tidak hanya
semata-mata karena kewajiban yang diperintahkan Allah, melainkan benar-benar
karena merasa sebagai orang yang mempunyai kelebihan harta serta
bertanggung jawab atas sebagian masyarakat yang terlantar. Dengan rasa
tanggung jawab yang demikian, ia akan mau setiap saat bersedia mengeluarkan
hartanya bila orang lain memerlukannya, dan ia akan memiliki sikap jiwa yang
empati terhadap kemiskinan dan kesengsaraan orang lain. Dari pihak si miskin,
zakat juga dapat membuat hati mereka bersih dan suci. Zakat dapat mengusir
rasa dengki dan iri terhadap orang yang memiliki kekayaan dan harta benda.
Dari segi harta itu sendiri, zakat dapat mengembangkan harta kekayaan itu.
Definisi zakat itu meskipun tidak bergeser dari inti yang sebenarnya makin
lama makin berkembang. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi,
banyak para ahli mempeluas pengertian zakat. Sebagaimana dikemukakan oleh
Badan Amil Zakat dan Infaq DKI Jakarta, pengertian zakat itu diperluas sebagai
berikut: ”zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan ibadah kepada
Allah sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan
dalam wujud mengkhususkan sejumlah harta atau nilainya milik perorangan atau
badan hukum untuk diberikan kepada yang berhak dengan syarat-syarat
tertentu, untuk mensucikan dan mempertumbuhkan harta serta jiwa pribadi
parawajib zakat, mengurangi penderiataan masyarakat, memelihara keamanaan
serta meningkatkan pembangunan”.
Dari definisi tersebut jelas bahwa zakat selain merupakan ibadah kepada
Allah juga mempunyai dampak sosial yang nyata. Dari satu segi zakat adalah
ibadah dan dari segi lain ia merupakan kewajiban sosial. Zakat merupakan salah
satu dana atau harta masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menolong
orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
sehingga dapat mempunyai kesempatan untuk hal-hal yang lebih luhur sebagai
khalifah Allah dibumi. Dalam ajaran Islam manusia selalu diberi kesempatan
untuk menikmati kehidupan ini dengan cara yang halal sehingga dengan
kenikmatan yang ia rasakan itu ia dapat berbuat bagi dirinya dan orang lain.
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam.
Zakat bukanlah dermawan atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Zakat
adalah perintah Agama yang harus dilaksanakan. Dalam Al Qur’an dan Hadits
banyak perintah untuk melaksanakan zakat. Salah satu Hadits yang
dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain adalah Hadits yang
diriwayatkan oeh Ibnu Abbas ra.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw ketika mengutus Muaz ke Yaman,
beliau bersabda: Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli
Kitab, oleh karena itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka
taat kepadamu untuk ajakan itu, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka
shalat lima kali sehari semalam, lalu jika mereka mentaati kamu untuk ajakan itu,
maka kabarkanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas
mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada
orang-orang miskin mereka, kemudian jika mereka taat kepada mu untuk ajakan
itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta mereka, dan
takutlah terhadap do’a orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara do’a
itu dan Allah tidak ada hijab (pembatas)”. (Hadits)

Hubungan Antara Zakat, Infaq dan Shodaqoh


Menurut bahasa, infaq adalah membelanjakan, sedangkan menurut
terminologi artinya mengeluarkan harta karena taat dan patuh kepada Allah SWT
dan menurut kebiasaan yaitu untuk memenuhi kebutuhan. Pengeluaran infaq
dapat dilakukan oleh seorang muslim sebagai rasa syukur ketika menerima
rezeki dari Allah dengan jumlah sesuai kerelaan dan kehendak muslim tersebut. :
❑⧫◆ ⧫ ⧫
 ◆ ☺ ❑→
⧫  ❑⧫ ◆⧫  ⬧
 ➔ ◆  ◆ 
➔ ⧫⬧◆
 ⧫❑→
”Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at[160]. dan orang-orang kafir Itulah
orang-orang yang zalim” (Q.S Al Baqoroh, 2:254)

Jenis infaq
1. Infaq wajib, terdiri atas zakat dan nazar, yang bentuk dan jumlah
pemberiannya telah ditentukan. Nazar adalah sumpah atau janji
melakukan sesuatu di mana yang akan datang. Menurut Syekh Yusuf
Qardhawi, nazar itu adalah sesuatu yang makruh. Namun demikian,
apabila telah diucapkan, maka harus dilakukan sepanjang hal itu untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang yang bernazar” jika saya
lululus ujian, maka saya akan memberikan Rp500.000 kepada fakir
miskin”, maka wajib melaksanakan nazarnya seperti yang telah
diucapkan. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka dia akan terkena
denda/kafarat.
2. Infaq sunnah. Infaq yang dilakukan seorang muslim unutk mencari ridho
Allah, bisa dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk. Misalnya
memberi makanan bagi korban musibah alam.

⧫ ⧫
⧫ ⬧ ❑⧫◆
⧫✓⧫ ❑⬧⬧ ⧫❑▪
 ⬧ ◆❑ ⧫
◆   ⬧
 ⬧   ⬧ 
 ▪ ❑→
”Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu, yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih;
jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S Al Mujadilah, 58:12)

Shodaqoh adalah segala pemberian/kegiatan untuk mengharapkan pahala Allah.


Shodaqoh memiliki dimensi yang lebih luas dari infaq, karena shodaqoh memiliki
3 (tiga) pengertian utama.
1. Shodaqoh merupakan pemberian kepada fakir, miskin yang
membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan, bersifat sunnah.
2. Shodaqoh dapat berupa zakat, karena dalam beberapa teks Al Qur’an
dan sunnah ada yang tertulis dengan sodaqoh yang dimaksud dengan
zakat.
”Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-
orang miskin... (Q.S At Taubah:60) pada ayat tersebut, ”zakat-zakat”
diungkapkan dengan lafal ”ashodaqoot”.
3. Shodaqoh adalah sesuatu yang makruf (benar dalam pandangan
Syariah). Pengertian ini yang membuat pengertian atas shodaqoh menjadi
luas, hal ini sesuai hadis Nabi Muhammad SAW ”Setiap kebajikan adalah
shodaqoh” (HR.Muslim)
”Dari Abu Musa Al Asy’ary ra dari nabi Muhammad saw bersabda,”Tiap-tiap
muslim haruslah bersedekah’: Sahabat bertanya; Bagaimana kalu dia tidak
mampu Ya Rasulullah?”, Nabi menjawab,”Dia harus berusaha dengan kedua
tangan(tenaga)nya hingga behasil untuk dirinya dan untuk bersedekah”: Sahabat
bertanya,” bagaimana kalau dia tidak mampu”, Nabi menjawab ”menolong orang
yang mempunyai kebutuhan dan keluhan”, Sahabat bertanya,”bagaimana kalau
dia tidak mampu”, Nabi menjawab,”Dia melakukan sesuatu perbuatan baik dan
menahan dirinya dari perbuatan munkar (kejahatan) itu pun merupakan
shodaqoh baginya”.

Tujuan Zakat
Zakat yang mengandung pengertian bersih, suci, berkembang dan
bertambah mempunyai makna yang penting dalam kehidupan manusia baik
sebagai individu maupun masyarakat. Dengan demikian ibadah zakat itu
diwajibkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang yang diinginkan. Yang dimaksud
dengan tujuan dalam hubungan ini adalah sasaran praktisnya. Tujuan tersebut,
selain yang sudah disinggung dalam uraian sebelumnya, antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan
hidup dan penderitaan;
b. Membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para ibnu sabil dan
mustahiq lainnya.
c. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam,
manusia pada umumnya.
d. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri hati orang-orang miskin.
e. Menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin.
f. Mengembangkan rasa tanggungjawab sosial pada diri seseorang terutama
pada mereka yang mempunyai harta kekayaan.
g. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan
hak orang lain yang ada padanya.
h. Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan.
Dari tujuan-tujuan di atas tergambar bahwa zakat merupakan salah satu
ibadah khusus kepada Allah yang mempunyai dampak yang sangat besar bagi
kesejahteraan masyarakat. Dengan terlaksananya zakat dengan baik dan benar
diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dan berkurang. Disamping itu
dengan pengelolaan zakat yang profesional, berbagai permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq yang dapat
dipecahkan.

Syarat-Syarat Harta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya


Menurut Yusuf Qordhowi, syarat-syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
adalah sebagai berikut:
a. pemilikan sempurna
Yang dimaksud pemilikan yang sempurna adalah kekayaan yang berada di
bawah kontrol atau dibawah kekayaan pemiliknya sendiri. Sebagian
fuqoha’(mereka yang ahli di bidang hukum Islam /fiqh) bahwa kekayaan tersebut
harus berada ditangan pemiliknya dan didalam kekayaan itu tidak tersangkut hak
orang lain. Pemilikan penuh itulah yang membuat manusia dapat
menggunakannya, menanam dan mengembangkan kekayaannya sendiri atau
oleh orang lain. Oleh karena itu wajar apabila Islam mewajibkan pemiliknya
mengeluarkan zakat.

b. Berkembang.
Kekayaan yang wajib dizakati adalah kekayaan yang dikembangkan atau
mempunyai potensi untuk berkembang. Menurut para fukhoha’ (ulama Fiqh)
berkembang secara harfiah berarti bertambah. Sedangkan menurut istilah
pengertiannya terbagi dua: pertama, berkembang sebagai akibat pembiakan,
perdagangan dan sejenisnya; dan kedua, berkembang dalam arti kekayaan itu
mempunyai potensi untuk berkembang baik ditangannya maupun ditangan orang
lain atas namanya.
1) Cukup senishab. Islam mewajibkan pada zakat yang berkembang dengan
memberi ketentuan tersendiri yakni jumlah tertentu yang dalam ilmu fiqih
disebut nishab. Dengan kata lain nishab adalah jumlah minimal harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya.
2) Melebihi kebutuhan pokok. Yang dimaksud melebihi kebutuhan pokok
adalah lebih dari kebutuhan primer.
3) Bebas dari hutang. Apabila sseorang mempunyai hutang yang
menghabiskan atau mengurangi jumlah senishab dari harta yang ada di
tangannya, yang bersangkutan tidak wajib mengelaurkan zakat. Namun
ada sebahagian ulama berpendapat bahwa hutang tidak menghalangi
kekayaan wajib dikeluarkan khususnya kekayaan yang kelihatan seperti
ternak dan sebagainya.
4) Berlaku satu tahun atau telah sampai haulnya, artinya pemilikan itu
ditangan pemiliknya telah berlalu masanya dua belas bulan Qomariah.
Persyaratan satu tahun ini hanya untuk ternak, uang dan harta
perdagangan. Jenis harta ini dikategorikan dalam istilah ”zakat modal”.
Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan, madu, harta karun dan lain-lain
yang sejenis tidaklah dipersyaratkan satu tahun dan semua itu dapat
dimasukan dalam istilah ”zakat perdagangan”.

Macam-Macam Zakat
Ada dua macam zakat, yaitu zakat fitrah (zakat badan) dan zakat maal (harta)
a) zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir bulan Ramadhan.
Hukumnya wajib atas setiap muslim, kecil atau dewasa, laki-laki atau
perempuan, budak atau merdeka. Pengertian ini sejalan dengan hadits
Rasul saw yang diriwayatkan Imam Bukhori Muslim dalam bab Zakat
kitab Kanzul Roghibin karya Imam Jalaluddin hal.120.
Zakat fitrah diwajibkan pada tahun kedua hijriah yaitu tahun diwajibkan puasa
bulan Ramadhan, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan
perbuatan yang tidak berguna, untuk memberikan makan pada orang-orang
miskin dan mencukupi kebutuhan mereka agar tidak meminta-minta pada hari
Idul Fitri. Zakat fitrah menjadi penyempurna ibadah puasa ramadhan.
Zakat fitrah ini merupakan zakat pribadi-pribadi. Sebagian ulama
menyebutkan zakat fitrah ini sebagai zakat kepala atau zakat badan. Bahwa
diantara syarat wajibnya zakat fitrah adalah bagi mereka yang mempunyai
kelebihan harta dari keperluan makanan untuk dirinya sendiri dan untuk yang
wajib dinafkahi. Bagi mereka yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib mebayar
fitrahnya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah dari Ibnu Umar ra bahwa
Rasululullah SAW mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan sebanyak satu
SHA dari kurma atau satu SHA dari gandum, atas hamba, orang merdeka laki-
laki, perempuan, kecil, dan orang tua dari kalangan orang muslim.
Dari Ibnu Umar katanya: ”Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri bulan Ramadhan
sebanyak satu Sha’ (3,1 liter) tamr atau gandum atas tiap-tiap muslim merdeka
atau hamba, laki-laki atau perempuan”.Riwayat Bukhori Muslim.

Dalam memahami kata satu SHA dan penyebutan bahan makanan yang
terdapat pada hadits diatas terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
1. Mayoritas ulama yang terdiri dari mazhab Imam Maliki, Imam Syafi’i dan
Imam Hambali berpendapat bahwa zakat fitrah itu harus dibayar dengan
bahan makanan pokok, tidak boleh dengan nilainya (uang), sebanyak
satu SHA atau 2751 gram, atau 3,5 liter.
2. Imam Abu Hanifah (mazhan Hanafi) berpendapat zakat fitrah tidak harus
dibayar dengan bahan makanan kebutuhan pokok, tetapi boleh juga
dibayar dengan nilai (uang), sebanyak satu SHA yang sama dengan 3800
gram atau 4,5 liter.
Bahwa ukuran banyaknya zakat fitrah itu adalah ukuran takaran, bukan
ukuran timbangan. Pendapat sebagian mereka yang menentukan banyaknya
zakat dengan timbangan (katian) adalah kurang teliti (kurang tepat), karena berat
beras satu gantang dari beberapa jenis beras, tentu tidak sama, apalagi kalau
dibandingkan dengan segentang jagung atau lain-lainnya, sudah tentu sangat
berjauhan timbangannya meski timbangannya sama.(KH.Sulaiman Rasjid:1987)
Mengenai pendapat yang mengutarakan bahwa apakah kekayaan
berpengaruh terhadap kewajiban mengeluarkan zakat atau tidak, ada 2 (dua)
pendapat. Pertama, mazhab Hanafi memandang bahwa kekayaan memiliki
pengaruh terhadap pengeluaran zakat fitrah. Kekayaan yang mewajibkan zakat
fitrah adalah kekayaan yang mencapai nishab dan melebihi kebutuhan. Kedua,
pendapat jumhur ulama memandang bahwa kekayaan tidak berpengaruh
terhadap kewajiban mengeluarkan zakat fitrah, bahkan orang fakir pun juga
berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah, tapi dengan syarat dia memiliki
kemudahan, yaitu sisa harta yang ia keluarkan untuk kebutuhannya sendiri dan
keluarganya pada hari Raya Idul Fitri.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh pendapat pertama di atas adalah;
Rasulullah bersabda: ”Tidak ada sedekah kecuali dari kekayaan” (H.R
Ahmad). Sedangkan orang fakir tentu tidak memilki kekayaan, maka zakat
pun tidak wajib atas dirinya. Namun dalil ini ada yang membantah, bahwa
hadis ini berlaku untuk zakat harta (maal), sedangkan zakat fitrah itu
berlaku untuk badan dan jiwa.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh pendapat kedua adalah;
Hadis Tsa’labah bin Abi Shu’air dari bapaknya, dia berkata,” Rasulullah
bersabda ”satu sha’ gandum atas tipa-tiap orang kecil atau besar,
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan. Adapun orang kaya dari
kalian, maka dia akan disucikan oleh Allah (dengan zakat fitrah tersebut).
Sedangkan orang yang fakir dari kalian, maka Allah akan memberikannya
jauh lebih banyak daripada apa (zakat fitrah) yang dia berikan”. (H.R Abu
Daud). Hadis sangat jelas menjelaskan tentang kewajiban berzakat fitrah
atas orang fakir, sebagimana orang kaya. Namun dalil di bantah, bahwa
hadis ini berlaku pada masa permulaan Islam, kemudian di nasakh
(diamandemen) dengan hadis lain yang berbunyi ”Tidak ada sedekah
kecuali dengan kekayaan” (H.R Ahmad), atau hukumnya sunah saja, tidak
wajib. (Abdullah Lam bin Ibrahim:2005)

b) Zakat Maal.
Zakat Maal adalah zakat yang meliputi seluruh harta kekayaan, termasuk
uang, emas perak, hasil perdagangan, pertanian, perkebunan, binatang
ternak, barang tambang, dan barang temuan (rikaz). Nishab harta kekayaan
dan perdagangan adalah sebesar 20 dinar atau 12 ½ pound sterling sama
dengan 96 gram emas, atau 200 dirham atau sama dengan 672 gram perak.
Nishab emas dan perak semua ulama sependapat 20 dinar untuk emas dan
200 dirham untuk perak. Sedangkan haulnya masing-masing satu tahun dan
kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ½ % sebagaimana yang
dikemukakan dalam kitab Nail al-Autar karya Al Syaukani pada halaman 156.

Zakat Profesi dan Penghasilan


Pekerjaan yang menghasilkan uang ada 2 (dua) jenis. Pertama adalah
pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional,
seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, akuntan, advokat, seniman,
penjahit dan lain-lain. Kedua adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat
pihak lain untuk memperoleh upah atau gaji, baik pada pemerintah, swasta atau
pemberi kerja lainnya. Penghasilan dari pekerjaan ini berupa gaji, upah,
honorarium atau pun hadiah.
Menurut Syekh Yusuf Qordhowi Zakat profesi ini termasuk al Maal al-
Mustafad, yaitu kekayaan yang diperoleh seorang muslim melalui bentuk usaha
baru yang sesuai dengan syariat agama. Sebagian ulama berpendapat bahwa
harta pendapatan (profesi) wajib dikeluarkan zakatnya apabila mencapai batas
nishab. Adapun nishabnya adalah sama dengan nishab uang dengan kadar
zakat 2 ½ %. Perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai harta
pendapatan ini ada pada masalah haulnya (setahun penuh). Abu Hanifah
megatakan bahwa harta pendapatan itu dikeluarkan zakatnya, bila mencapai
masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta
sejenis. Untuk itu harta penghasilan dikeluarkan pada permulaan tahun dengan
syarat sudah mencapai batas nishab. Tetapi Imam Malik berpendapat bahwa
harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun baik
harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis,
sedangkan Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat bahwa harta penghasilan
itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun memiliki harta
sejenis yang sudah cukup nishab.
Yusuf Qordhowi juga berpendapat bahwa harta hasil usaha seperti gaji
pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan lain-lain
yang mengerjakan profesi tertentu dan juga pendapatan yang diperoleh dari
modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti mobil, pesawat
terbang, percetakan, tempat hiburan dan lain-lainnya wajib terkena zakat
persyaratan satu tahun apabila sudah cukup satu nishab.
Untuk pengeluaran zakatnya dapat dilakukan setiap menerima
pendapatan khususnya bagi mereka yang tidak mempunyai kekayaan lain yang
wajib zakat tertentu, atau dengan melakukan pembayaran zakat bersamaan
dengan pembayaran zakat atas kekayaan yang lain bila ia yakin akan dapat
menunaikannya. Tetapi apabila ia khawatir dapat digunakan untuk keperluan
lainnya, maka ia harus mengeluarkan zakatnya segera. Hal uang perlu
mendapat perhatian adalah zakat tidak dikenakan dua kali untuk satu kekayaan,
bila seseorang sudah mengeluarkan zakat gaji, penghasilan, atau sejenisnya
pada waktu menerimanya, maka tidak wajib zakat lagi pada saat setelah
melewati satu tahun.
Sedangkan dasar penghasilan dapat diambil dari penghasilan kotor atau
penghasilan bersih setelah dikurangi utang dan biaya hidup terrendah orang
tersebut dan tanggungannya. Dasar pemilihan penghasilan kotor adalah untuk
kehati-hatian, sedangkan alasan yang menggunkan penghasilan bersih adalah
sesuai definisi awal zakat adalah zakat diwajibkan atas jumlah senishab yang
sudah melebihi kebutuhan pokok.

Zakat dan Pajak


Zakat merupakan salah bentuk distribusi kekayaan di kalangan umat
Islam sendiri, dari golongan yang kaya kepada golongan tidak mampu. Bagi
umat Islam Indonesia kewajiban mengeluarkan harta mereka tidak saja diatur
dalam ketentuan agama, namun diluar itu ada sebuah ketentuan negara yang
juga mengatur tentang kewajiban mengeluarkan harta dalam rangka
pembangunan yang lebih dikenal dengan istilah pajak. Untuk di bawah ini
sekelumit pembahasan tentang persamaan dan perbedaan antara zakat dan
pajak.
a) Persamaan
1) Bahwa antara zakat dan pajak kedua bersifat memaksa dalam penerapan
operasional.
2) Bahwa tujuan zakat dan pajak memiliki kesamaaan dalam upaya kebaikan
ekonomi masyarakat yakni pemerataan ekonomi antar masyarakat serta
menghindari terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat.
3) Bahwa zakat dan pajak berupaya berpartisipasi aktif dalam pembangunan
negara menuju tatanan masyarakat yang adil dan makmur.

❑  ⬧◆ ⧫◆


 ⧫◆ ➔
⧫❑→➔☺ ➔ ⬧⬧

”Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya)”. (Q.S Ar Rum, 30:39)

b) Perbedaan
1) segi nama
Bahwa zakat secara etimologi berarti suci, berkah, tumbuh dan
berkembang. Dengan kata lain setiap harta yang dilkeluarkan zakatnya
akan bersih, tumbuh, berkah dan berkembang. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam surah Ar Rum ayat 39 dan surah At Taubah ayat 103.
Sedangkan Pajak dalam bahasa Arab dikenal dengan Al-Adharibah. Al
Adhoribah secara etimologi berarti beban. Atau istilah pajak juga disebut
Al Jizyah, yang berarti pajak tanah (upeti), yang diserahkan oleh ahli
zimmah (orang kafir yang tunduk terhadap kebijakan pemerintahan Islam).
2) segi dasar hukum
Zakat ditetapkan berdasarkan ketentuan hukum Al Qur’an dan Sunnah
yang bersifat qoth’i. Sehingga kewajibannya bersifat mutlaq dan berlaku
sepanjang masa. Sedangkan Pajak keberadaannya sangat bergantung
pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang.
3) segi objek dan pemanfaatannya.
Zakat dalam aplikasinya terbatas pada hal yang telah disebut dalam hadis
Nabi SAW, begitu pula kadar minimum (nishab) harta yang dikeluarkan
zakatnya telah ditentukan batasnya. Juga pemanfaatan zakat telah diatur
secara mutlaq kepada mereka yang tergolong delapan asnaf (delapan
golongan yang berhak menerima zakat). Berbeda dengan zakat, Pajak
jenis barang atau sesuatu yang dikenai pajak juga pemanfaatannya
semua tergantung pada kebijakan pemerintah, yang tertuang dalam
undang-undang atau peraturan pemerintah sehingga bersifat temporal.

Puasa
⧫ ⧫
→◼⧫  ❑⧫◆
◼⧫  ☺ ◆
→⬧  
 ⧫❑→⬧ ➔⬧
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, (Q.S Al
Baqoroh, 2: 183)
Arti Puasa menurut bahasa Arab adalah ashaum yang artinya menahan
diri dari segala sesuatu perbuatan yang diinginkan. Sedangkan menurut syariat
puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual mulai
terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat menjalankan perintah
Allah dengan beberapa syarat. Sedangkan puasa secara thoriqoh (tasauf) puasa
dimaknai menahan segala anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan tercela, baik
secara lahir maupun bathin. Karena puasa adalah ibadah yang bersifat sangat
rahasia antara hamba dengan sang kholik. Firman Allah ” Sesungguhnya puasa
adalah untuk Ku (Allah SWT) dan Aku sendiri yang berhak membalasnya”
(Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Ada dua kewajiban yang harus diperhatikan dalam melaksanakan ibadah
puasa, yaitu kewajiban yang bersifat lahiriah dan kewajiban yang bersifat
bathiniah. Adapun kewajiban yang bersifat lahiriah adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui datangnya permulaan datangnya bulan Ramadhan
dengan melihat bulan, dengan mendapat keterangan dari orang yang
adil dalam hal ini tokoh-tokoh agama.
2. Harus menetapkan niat untuk mengerjakan puasa pada malam harinya
3. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa; makan, minum
dan bersetubuh dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
4. Menahan diri dari istima yaitu sengaja mengeluarkan air mani baik
melalui bersetubuh atau lainnya.
Adapun kewajiban yang bersifat bathiniah adalah sebagai berikut:
1. Menahan pandangan, artinya menjaga pandangan mata dari segala
sesuatu yang bersifat tercela dan dibenci sehingga dapat
menyebabkan kelalaian hati dari berzikir kepada Allah.
2. Menahan pendengaran dari mendengar sesuatu yang dibenci atau
diharamkan.
3. Menjaga lidah dari senda gurau yang tidak berguna, berdusta,
mengumpat, mengadu domba, perkataan kotor dan sebagainya.
4. Menahan semua anggota badan dari perbuatan dosa.
5. Tidak terlalu kenyang dalam berbuka karena dapat melalaikan diri
untuk ibadah pada malam harinya.
6. Semata-mata puasa karena Allah dengan penuh harapan agar
mendapat ridho AllahSWT.
Dengan melihat kewajiban-kewajiban tersebut di atas, maka puasa mempunyai
tiga tingkatan. Menurut Imam Ghozali dalam kitab Ihya-nya jilid I tingkatan puasa
adalah sebagai berikut:
1. Puasa awam/umum, yaitu puasa yang hanya sekedar menahan diri
dari hal-hal yang bersifat lahiriah saja. Dalam hal ini puasa tidak
mendapatkan balasan dari Allah. Sejalan dengan sabda Rasul SAW:
”Berapa banyak orang yang berpuasa tidak ada yang diperolehnya
dari puasa itu kecuali lapar dan haus saja” (H.R Nasai dan Ibnu
Majah).
2. Puasa khusus, yaitu puasa yang dilaksanakan disamping menahan diri
dari hal-hal yang bersifat lahiriah juga menahan diri dari hal-hal yang
bersifat bathiniah. Sabda Rasul SAW:
”Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengetahui
batasnya dan menjaga diri dari segala yang patut dijaga, maka
dihapuskan dosanya yang sebelumnya” (H.R Ahmad dan Baihaqi)
3. Puasa khusus di atas khusus, yaitu puasa tingkatan para nabi dan wali
Allah, mereka berpuasa tidak saja meninggalkan hal-hal yang bersifat
lahiriah dan bathiniah, namun juga menahan diri dari perhatian yang
rendah dan pemikiran yang bersifat keduniaan. Mereka berpuasa
dengan keikhlasan semata-mata karena Allah SWT.

Manfaat Puasa
Banyak orang berpandangan puasa mempunyai dampak negatif terhadap
kesehatan. Mereka memandang bahwa tubuh laksana mesin yang tidak mampu
bekerja tanpa bahan bakar. Makan tiga kali sehari bagi mereka suatu keharusan
untuk menjaga kelangsungan hidup. Sebaliknya, meninggalkan makan satu kali
saja dapat membahayakan kesehatan. Bagi mereka manusia harus makan
secara teratur selama hidupnya. Pandangan semacam ini mendorong orang
untuk mengkonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman dalam jumlah besar
pada malam saat berpuasa. Pandangan yang keliru ini tampaknya cukup
menggejala, baik pada tingkat individu maupun masyarakat sebagai akibat
ketidak-tahuan tentang ibadah puasa yang benar menurut Islam. Satu hal
terpenting adalah jika manusia selama hidupnya hanya memikirkan tentang
makan dan makan, maka manusia tidak lebih dari mahluk Tuhan yang bernama
binatang. Binatang adalah mahluk Tuhan yang cenderung ingin melampiaskan
hawa nafsunya, tentu ini sebuah konsekuensi dari kapasitas makanan yang
menjadi target hidupnya.
Allah SWT menginformasikan kita melalui Al Qur’an bahwa puasa
diwajibkan kepada kita dan umat sebelumnya agar kita memperoleh gelar
ketakwaan. Dengan puasa mampu mencegah dari berbagai jenis penyakit, baik
fisik maupun psikis.
Seseorang yang berpuasa (menahan dari perbuatan yang dihalalkan;
makan, minum dan hubungan seksual suami istri), maka secara tidak langsung
ia telah meredam gejolak hawa nafsunya untuk bertindak sesuai aturan syariat.
Bagi kalangan muda puasa merupakan alternatif terbaik dalam mengontrol
segala keinginannya, gaya hidup hedonis dan seks bebas. Karena segala nafsu
manusia sangat dipengaruhi oleh pola makan yang tidak terkontrol. Kehidupan
manusia diibaratkan seperti binatang, ketika manusia cenderung, ingin
memuaskan segala nafsu keinginannya. Hawa nafsu adalah musuh tersembunyi
yang berresiko fatal bagi perjalanan hidup dan kehidupan manusia. Sejalan
dengan sabda Rasul SAW ”Musuh mu yang paling berat adalah nafsu mu, yang
bersarang di antara dua lambungmu” (HR. Baihaqi). Puasa mendidik seseorang
untuk menuju tingkatan hidup berkualitas, yang dimulai dari menahan diri dari
perbuatan yang bersifat mubah (dibolehkan) menuju suatu kebiasaan hidup yang
”bebas” dari berbudakan hawa nafsu. Manusia berada pada posisi kemuliaan
melebihi mahluk malaikat, yang tercipta tanpa hawa nafsu.
Selanjutnya pembicaran puasa memang tidak terlepas dari persoalan
kesehatan. Untuk itu di bawah beberapa pemaparan hasil pandangan ilmuwan
Internasional terkemuka Abdul Basith Muhammad Sayid, ilmuwan International
di bidang Biofisika, Fisika partikel, dan Fisika Medis dalam karya Silsilat Athibi al
Badil (2004), tentang maanfaat puasa dari sudut pandang kesehatan fisik.
a. Puasa dapat meningkatkan kemampuan mekanisme pencernaan dan
penyerapan pada sistem pencernaan dalam melakukan fungsinya
dengan baik, yaitu dengan tidak memasukkan makanan dan minuman
ke dalam makanan yang sedang dicerna. Puasa dapat memberikan
ketenangan fisiologis pada sistem pencernaan dengan tidak
mengkonsumsi makanan dan minuman selama 9-11 jam setelah
penyerapan makanan.
b. Puasa dapat mengaktifkan mekanisme metabolisme asimilasi dalam
rangka pembentukan dan pemusnahan glukosa, lemak dan protein
pada sel agar dapat menjalankan fungsinya dengan sempurna.
c. Puasa dapat mencegah terjadinya penimbunan makanan di dalam
tubuh. Karena penimbunan makanan dapat menimbulkan kelemahan
secara berangsur-angsur pada mekanisme tubuh, yang
memungkinkan rentannya kondisi tubuh terhadap penyakit.
d. Puasa dapat memperbaiki tingkat kesuburan, baik pada laki-laki
maupun perempuan.
e. Rasa dahaga yang diperoleh selama puasa dapat menyuplai energi
pada tubuh dalam upaya kemampuan belajar dan memperoleh daya
ingat.
f. Puasa adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah dengan
harapan akan ganjaran dan pahala SWT. Secara kejiwaan puasa
menimbulkan rasa tenang dalam jiwa yang berpengaruh positif
terhadap metabolisme sehingga berjalan dengan mudah dan baik
yang hasilnya dapat dirasakan tubuh.
Puasa yang Diajarkan Islam
Beberapa studi yang dilakukan mengenai fungsi organ tubuh selama
masa berpuasa secara medis menyebutkan bahwa puasa model Islam terbilang
sangat mudah sesuai dengan firman Allah SWT:
◆ ⧫ →  
◆➔ → 
◼➔ ❑➔☺◆
⧫ ◼⧫  ◆
◼ →➔⬧◆ 

”Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan”
(Q.S. Al Baqoroh:2:185)

Imam Ar Rozi berkomentar berkenan dengan ayat tersebut bahwa Allah


mewajibkan ibadah puasa dengan penuh kemudahan dan masa yang pendek
dalam satu tahun. Bahkan, Allah tidak mewajibkan berpuasa bagi mereka yang
sakit dan sedang dalam perjalanan. Selain itu, kemudahan puasa dalam Islam
juga terlihat pada terpenuhinya semua kebutuhan tubuh terhadap suplai
makanan. Puasa tidak menghalangi bahan makanan yang dibutuhkan tubuh.
Sebab orang yang berpuasa menahan makan dan minum hanya selama masa
sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Sedangkan, dimalam hari ia
”bebas” untuk makan dan minum secara normal.
Dengan demikian, praktek puasa dalam Islam sebenarnya hanya
merupakan ”peralihan” atau ”pergeseran” jadwal waktu makan saja. Allah sama
sekali tidak mewajibkan kita untuk tidak makan dan minum secara total dalam
waktu yang lama, bahkan dalam waktu sehari semalam demi kemudahan dan
keringanan umat Muhammad saw.
Puasa mengajarkan pola makan yang teratur secara Islami yang mendidik
umatnya agar memiliki kepedulian terhadap kesehatan pribadi. Karena puasa
merupakan pendidikan rohani yang mengajarkan manusia tidak terjebak pada
pemenuhan kebutuhan jasmani semata, namun juga memiliki sikap empati
terhadap kondisi sosial masyarakat sekitar. Hal tersebut muncul dari rasa lapar
dan dahaga ketika berpuasa. Dengan demikian puasa dapat menghasilkan
kesehatan sosial.
Bahwa pelaksanaan puasa sangat mengacu pada aturan rasional yang
mengacu pada jadwal persiapan puasa atau sahur menjelang puasa. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, Rasul bersabda ”Makan
sahurlah karena di dalam makan sahur terdapat berkah (kebaikan)” (HR.
Mutafaq alahi). Dengan sahur tubuh mendapat suplay tenaga yang diperlukan
selama bergerak dan beraktifitas di siang hari saat puasa. Rasul juga sangat
menganjurkan kita agar mengakhirkan waktu sahur serta
menyegerakan(mengawalkan) waktu berbuka puasa.
Menyegerakan waktu berbuka dan mengakhirkan sahur dengan
sendirinya akan memperpendek masa puasa agar sedapat mungkin tidak
melewati masa setelah penyerapan. Dengan demikian, puasa secara Islam tidak
menyulitkan dan tidak menimbulkan tekanan jiwa yang membahayakan
kesehatan tubuh.
Atas dasar fakta-fakta diatas dapat kita pahami bahwa hal yang berhenti
selama masa berpuasa hanyalah proses pencernaan dan penyerapan, bukan
nutrisi. Sel-sel tubuh bekerja secara normal dan memperoleh semua kebutuhan
dasarnya dari cadangan makanan setelah mengalami disolusi yang dianggap
sebagai pencernaan di dalam sel . melalui proses itu, glikogen berubah menjadi
gula glukosa serta lemak dan protein berubah menjadi asam lemak dan asam
amina berkat jaringan enzim yang semuanya menunjukkan keangungan dan
kemaha-kuasaaan Allah.
Hal ini menarik yang perlu dicermati adalah pandangan para ilmuwan
yang melihat bahwa goncangan jiwa yang dialami rata-rata manusia berdampak
terhadap tingginya nafsu makan (lahap makan). Sehingga menimbulkan
kegemukan tubuh yang beresiko terhadap perlbagai penyakit. Bahwa manusia
biasa mengkonsumsi 20 ton makanan selama hidupnya. Namun, terdapat 20 %
kesalahan dalam keseimbangan energi menyebabkan pertambahan berat badan
yang mencapai 50 kg. Artinya, jika jika tubuh orang yang kesimbangan energinya
itu 70 kg, akan bertambah menjadi 120 kg. Hal ini menjelaskan betapa pentingya
membuat aturan makan dengan tepat demi menjaga stabilitas berat badan.
Banyak orang mencoba yang mencoba untuk menyembuhkan kegemukan
dengan program makan. Namun, kebanyakan salah dan tidak terbangun atas
dasar-dasar ilmiah karena program-program itu hanya sekedar menghilangkan
air tubuh dalam kadar yang relatif banyak hingga memberikan kesan seolah-olah
telah terjadi penurunan berat.
Puasa Islami adalah satu-satunya model pencegahan sekaligus
pengobatan kegemukan. Makan yang wajar dan meninggalkan makan yang
dibarengi dengan melakukan aktifitas dan gerak adalah dua faktor yang paling
berpengaruh dalam menurunkan berat badan. Hal ini disebabkan bertambahnya
kadar rata-rata metabolisme makanan setelah akan sahur dan penggerkan
lemak yang tertimbun untuk dioksidasi dalam rangka memproduksi energi yang
dibutuhkan setelah waktu tengah hari.

Muamalah
Kajian muamalah adalah kajian yang begitu luas, mengingat kompleknya
masalah yang di hadapi manusia seiring perperkembangan zaman. Sehingga
pembahasan muamalah pada penulisan ini perlu dibatasi.
Sehubungan dengan pembahasan muamalah munculnya Pertanyaan,
Mengapa dalam kitab-kitab fiqh pembahasan ibadah dipisahkan dengan
pembahasan muamalah?
Menurut Prof. Dr. Moh.Ardhani secara prinsip ada dua macam hukum yang
menyebabkan terjadinya pemisahan tersebut, yaitu:
1. Bentuk hukum yang sudah pasti cara pelaksanaannya dari Allah dan
RasulNya. Bentuk ini pada umumnya di dapat pada ibadah mahdlhoh,
dalam hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Dalam hal ini
hanya hanya Allah dan RasulNya yang berwenang menentukan
bentuk dan cara pelaksanaanya dan kita harus mentaatinya, seperti
sholat, puasa zakat dan haji. Hal tersebut telah diungkapkan pada
pembahasan sebelumnya.
2. Hukum yang kedua yang mengatur antara manusia dengan
sesamanya dan dengan lingkungannya, yang dalam buku-buku fiqh
dikenal dengan bidang Muamalah. Dalam bidang ini pada umumnya Al
Qur’an hanya memberikan pengarahan, membekali dengan prinsip-
prinsip umum, melarang hal-hal yang menimbulkan mudhorat (dampak
negatif), dan mendukung hal-hal yang mendatangkan maslahat
(kebaikan). Penjelasan Rasulullah dalam hal ini bisa dikatakan sangat
terbatas, bila dibandingkan dengan banyaknya persoalan yang muncul
dikalangan umat yang tidak terbatas. Namun ada prinsip yang
memungkinkan hukum bidang ini tidak kaku dan selalu berkembang.
Sebuah kaidah menyebutkan:
”al Ashlu bi muamalat al ibaha maa lam yakun dalilun a’la hadzirih”
Artinya: Pada prinsipnya sesuatu yang menyangkut muamalah adalah
dibolehkan selama belum ada dalil yang melarangnya.
Dalam kaidah di atas dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang
menyangkut muamalah dan tabia’atnya bermanfaat bagi kehidupan manusia
adalah dibolehkan, selama tidak ada dalil yang melarang.
Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah bahwa seluruh aspek
kehidupan seorang mukmin merupakan ibadah. Islam tidak mengenal
pemisahan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat.
Prinsip dalam melaksanakan muamalah adalah sebagai berikut:
a. Segala pemikiran, perbuatan dan kegiatan dalam muamalah harus
dilandasi dengan iman dan ikhlas, diwujudkan menurut jalan yang
dibenarkan Allah untuk mencari ridhonya.
b. Komunikasi antara sesama manusia bertujuan membentuk masyarakat
yang serasi, mewujudkan kedaimaian dan mempertinggi martabat sebagai
khalifah (wakil Tuhan) di bumi.
c. Keluasan yang diberikan Allah kepada manusia tetap harus bersandar
kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul saw. Dalam hal-hal tertentu bila tidak
ditemukan pada Al Qur’an dan Sunnah dapat dilakukan ijtihad di kalangan
para cendikia Islam.

Ditinjau dari aspek hukum, Muamalah terdiri dari atas hal-hal berikut ini:
a. Alqununul Khas atau hukum perdata, meiputi:
1. Al ba’i atau perdagangan
2. Munakaha atau perkawinan
3. Mawarits atau harta waris
4. Wakaf
5. Bank
6. Salam atau pesanan
7. Syirkah atau perseroan
8. Qirodh atau atau pemberian modal usaha
9. Musyaqqoh atau muzaro’ah atau paroan kebun
10. Wahanah atau sewa menyewa
11. Utang piutang
12. Rohnun atau jaminan
13. Hiwalah atau pemindahan hutang
14. Dhoman atau menjamin hutang
15. Ariyah atau pinjam meminjam
16. Hibah atau pemberian, dan lain-lain

b. Al Qonunul ’Am atau Hukum Publik meliputi:


1. Jinayah atau hukum pidana
2. Khilafah atau hukum kenegaraan
3. Jihad atau hukum perang
4. Hukum tata usaha negara, dan sebagainya

c. Hubungan antar Manusia dengan kehidupan, yaitu:


1. Makanan
2. Minuman
3. Pakaian
4. Kasab atau mata pencarian
5. Rezeki

d. Hubungan antar Manusia dengan Alam Sekitar atau Alam Semesta, terdiri
dari:
1. Perintah untuk mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan
alam sekitar.
2. Seruan untuk pemanfaatan kekayaan alam semesta untuk kesejahteraan
hidup.
3. Larangan menganggu, merusak, membinasakan alam semesta, tanpa
alasan yang dibenarkan agama.
Ahli Hukum lain ada yang mengklasifikasikan muamalah dilihat dari aspek
hukum dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian, sebagai berikut:
a. Hukum Keluarga (ahwalu syakhsiyah), mengatur tentang hak dan
kewajiban suami, isteri dan anak
b. Hukum Perdata (ahkamul madaniah), yaitu tentang perbuatan usaha
perseorangan antara lain: jual-beli, penggadaian, penanggungan,
penggantian hutang piutang dan perjanjian
c. Hukum Pidana (ahkamul jinaiyah), yaitu yang bertalian dengan tindak
kejahatan dan sanksi-sanksinya
d. Hukum Acara (ahkamul murafaat), yaitu yang berhubungan dengan
peradilan, persaksian, sumpah.
e. Hukum Perundang-Undangan (ahkamul dusturiyah), yaitu hukum yang
berhubungan dengan perundang-undangan yang membatasi hakim
dan terhukum serta menetapkan hak-hak perannya
f. Hukum Kenegaraan (ahkamul dauliyah), yaitu yang berkaitan dengan
wilayah negara di dalam negara dan hubungan antar negara.
g. Hukum Ekonomi dan Keuangan (ahkamul iqtishodiyah dan maaliyah),
yaitu yang berhubungan dengan hak fakir miskindi didalam harta orang
kaya dan hukum yang mengatur sumber-sumber pembelanjaan
negara.

Hukum-hukum tersebut semuanya ada di dalam Al Qur’an dan Sunnah


Rasul saw. Syariat Islam tidak mengatur secara rinci hukum-hukum tersebut,
tetapi hanya meletakan dasar-dasarnya saja. Rinciannya di atur oleh manusia
sesuai kebutuhannya. Syariat Islam mendorong penyebaran manfaat bagi
semua pihak, menghindari saling merugikan dan mencegah perselisihan dan
kesewenangan dari pihak yang lemah.
Pembicaraan dibidang Muamalah pada tulisan ini hanya membatasi pada
persoalan akad pernikahan. Karena pernikahan adalah bagian dari pembahasan
Muamalah yang dianggap ta’abbudi, suatu pengamalan dari Muamalah yang
harus dilaksanakan sesuai ketentuan Al Qur’an dan Sunnah.

Pernikahan
◆❑   
⧫✓⧫◆  
⧫⬧⬧☺ ⬧◆
◆  
⧫▪❑☺ ◆
 ⬧◆ ➔◆
❑◆⬧ ⧫⧫ ⬧
◼ ◆  ◆
 ⧫☺ 
”Allah telah menciptakan manusia itu cenderung pada memandang yang indah,
cinta kepada wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas perak,
kuda pilihan (kendaraan), binatang ternak dan sawah ladang ” (Q.S. Al Imron,
3;14)
 ☺⧫ ❑⬧◆
⧫  ⧫✓⬧◆
❑❑⧫   →⧫◆
   ◆⧫⬧➔
⧫ ◆ ◆  ⬧

”Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya), Maha
Mengetahui”. (Q.S An Nur:32).

Secara bahasa nikah pada awalnya dimaknai ”berhimpun”. Sedangkan


secara istilah pernikahan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan hidup berkeluarga, yang diliputi ketentraman, kasih sayang dengan
cara yang diridhoi Allah SWT.
Pernikahan merupakan sesuatu aturan yang sangat sakral, yang
mengatur hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Oleh karena itu, pernikahan
di dalam ajaran Islam merupakan ibadah. Dengan melaksanakan pernikahan
dan hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan secara benar, berarti telah
menunaikan syariat agama Islam. Pernikahan adalah untuk memenuhi hajat
naluri manusia sesuai petunjuk agama dalam rangka mewujudkan keluarga yang
harmonis, sejahtera dan bahagia lahir dan bathin berdasarkan kasih sayang.
Nikah adalah salah satu asas pokok yang terutama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan merupakan salah satu jalan menuju
pintu perkenalan antara satu kelompok masyarakat dengan yang lain, sehingga
menjadi saran terbukanya kesempatan saling menolong antar kelompok
masyarakat tersebut.
Sebenarnya pertalian pernikahan adalah pertalian yang seteguh-teguhnya
dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan turunan,
bahkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Kebaikan yang dibangun oleh kedua
pihak suami istri dalam rumah-tangga mereka memungkinkan akan menuai kasih
sayang kepada kedua belah pihak keluarga keseluruhan.
Firman Allah:
❑→  ⧫
 ⬧◼⬧  ◆
 ⧫◼◆ ◼◆ ▪
 ◆ ⧫◆ 
❑→◆  ◆ 
 ⧫❑◆⬧  
⧫    ⧫⧫◼◆
 ◆ ◼⧫
”Wahai manusia bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah
menjadikan kamu dari satu(Adam) dan (Allah) menciptakan pasangannya
(Hawa) dari (dirinya); dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah dengan namaNya kamu
saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasimu” (Q.S An Nissa, 4:1)
Dalam kitab Bulugul Maram karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani rh
dikemukakan hadits Rasulullah dari Abdullah ibn Mas’ud ra;
”Wahai pemuda apabila di antara kalian telah mampu untuk menikah, hendaklah
menikah, sebab menikah itu mampu menjaga pandangan mata dan memelihara
kemaluan, dan barang siapa belum mampu hendaklah ia berpuasa, sebab puasa
itu menjadi tameng (benteng) baginya”, (H.R Mutafaqq alaih)
Dari Siti Aisyah ; Nikahilah oleh-mu wanita itu, maka sesungguhnya
mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu (HR Hakim dan abu
Daud)

Dalam hukum perkawinan Islam dijelaskan bahwa sebelum pelaksanaan


perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan peminangan atau khitbah. Yang
dimaksud peminangan adalah seorang lelaki meminta seorang perempuan untuk
menjadi istrinya dengan cara yang sudah berlaku umum di masyarakat.
Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka pernikahan. Allah SWT
menganjurkan agar masing-masing pasangan yang hendak melangsungkan
pernikahan terlebih dahulu saling mengenal sehingga pelaksanaannya nanti
berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas. Peminangan dapat langsung
dilaksanakan oleh orang yang hendak mencari pasangan tetapi dapat dilakukan
oleh perantara yang dapat dipercaya terhadap wanita yang masih gadis atau
janda yang telah habis masa iddahnya. (Syekh Abdurrahman Al Jaziri, kitab Fiqh
al Mazahibu Arba’ah, jilid IV, al maktabah al Tijariah al Kubro, Mesir,1969, hal. 2-
3).
Wanita yang dipinang harus memenuhi 2 syarat, pertama waktu dipinang
tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya
pernikahan (diharamkan mengadakan hubungan pernikahan). Kedua, belum
dipinang oleh orang lain secara sah.Dalam Al Qur’an surah Al Baqoroh ayat 235
dijelaskan:
☺ ◼⧫  ◆
⧫   ▪⧫
   
  ⧫  →
 ⬧◆ ⧫⧫
   ➔◆❑➔
◆  ➔ ❑⬧ ❑❑→⬧
 ◼ ❑➔⬧
⧫ ➔⧫ 
 ❑☺◼◆  ⬧
→  ⧫ ◼➔⧫ 
 ❑☺◼◆  ◼◼⬧
  ❑→ 
“dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan
(kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati)
untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Selanjutnya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Rasulullah
bersabda “Jika seseorang diantara kamu hendak meminang perempuan
sebaiknya lihat lebih dahulu apa yang menjadi daya tarik untuk meminangnya
maka hendaklah dilakukan”. Jabir berkata maka aku pun meminang seorang
perempuan dari bani Salamah tetapi sebelumnya saya rahasiakan maksud saya
kepadanya sehingga disaksikanlah bagian-bagian yang menarik kepadanya
(Hadis riwayat Abu Daud)

Prinsip Memilih Jodoh


1) Memilih calon Istri.
Istri adalah ”tempat penenang” bagi suami, tempat menyemai benih keturunan
sekutu baginya, pengatur rumah tangga, ibu anak-anak, tempat tambatan hati,
tempat menumpahkan rahasia. Islam mengajarkan memilih istri yang sholihah
sebagai perhiasan terbaik yang perlu dicari dan diusahakan mendapatkanya
dengan sungguh-sungguh. Sholihah di sini adalah hidup mematuhi ketentuan
agama, jujur, bersikap luhur, memperhatikan hak suami dan memelihara anak
dengan baik.
Faktor psikologis calon istri adalah cacatan penting untuk diperhatikan.
Para psilokolog berpendapat bahwa perempuan berjalan di bawah bimbingan
perasaan, sedang lelaki di bawah pertimbangan akal. Keistimewaan perempuan
adalah perasaan yang halus. Keistimewaan ini amat diperlukan dalam
memelihara anak.
Hindari memilih istri yang berharta, cantik, berkedudukan tinggi, berketurunan
mulia, atau keluarga terpandang, tetapi tidak memiliki keluhuran akhlak dan tidak
berpendidikan.
Firman Allah:
⧫✓ →⬧⬧
 ⬧ ❑➔◆
⧫✓ →⧫◆
 ⧫ ⧫❑◆
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji
untuk wanita-wanita yang keji. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-
laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik (pula). (Q.S
An Nur, 24:26)

Anjuran Rasul saw untuk menikahi calon istri karena empat hal, yaitu
karena kecantikannya, keturunannya, hartanya atau agamanya. Pilihlah yang
beragama (taat beragama), supaya selamat (bahagia) dirinya (H.R Mutafaq
alaih). Perhatikan perbedaan usia, kedudukan sosial, dan pendidikan calon istri.
”Barang siapa menikahi seorang wanita karena hartanya dan rupanya
yang cantik, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya.
Dan barangsiapa yang menikahi wanita karena agamanya, niscaya Allah
akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya”
(hadist)

2) Memilih calon suami


Syarat calon suami adalah berakhlak mulia, dari lingkungan keluarga yang baik
(baik dalam pandangan sosial maupun agama)
Hukum Pernikahan
Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis
Nabi, para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum nikah. Menurut
Jumhur Ulama nikah itu sunnah dan bisa menjadi wajib atau haram. Perbedaan
pendapat pendapat ini disebabkan perbedaan mereka dalam mengartikan
perintah ayat atau hadis tentang pernikahan. Demikian juga mengenai
kemaslahatan yang terkandung dalam akad nikah. Selain itu pembagian hukum
pernikahan karena perbedaan mukhalaf yang kepadanya dikenakan hukum taklif
sesuai dengan keadaan situasi dan kondisinya. (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid
III, Daar El Fiqh, Bairut, 1997, hal.5)
Pernikahan merupakan bagian dari muamalah. Kaidah muamalah adalah
mubah. Oleh karena itu dilihat dari tujuan pernikahan, maka hukumnya dapat
menjadi sunah, wajib, makruh dan bahkan haram.
1. Sunah, bagi mereka yang telah mampu secara lahiriyah dan bathiniah,
namun masih mampu menahan nafsu seksualitasnya dari perbuatan zina.
Ia memilih menikah dalam rangka mengikuti jejak (sunnah) Rasul saw ”
Nikah adalah sunnahku” (H.R Mutafaq alahi)
2. Wajib, bagi orang yang cukup kemampuan, telah ingin menikah dan kalau
tidak menikah adanya kekhawatiran terjerumus pada perbuatan zina.
Karena menjauhkan diri dari yang haram adalah suatu kewajiban. Sedang
untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan menikah.
Dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayid Sabiq, Imam Al Qurtuby
berpendapat bahwa ”orang bujangan yang telah mampu menikah dan
takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk
menyelamatkan diri kecuali dengan menikah, tidak ada perselisihan
pendapat tentang wajibnya menikah. Jika nafsunya telah mendesaknya,
sedang ia tak mampu membelanjakan istrinya, maka Allah nanti akan
melapangkan rizkinya”. Pendapat ini dapat dipahami pula merupakan
penegasan atas firman Allah surah An Nur ayat 32 ” ...Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan
karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberiannya), Maha Mengetahui”.
3. Haram, bagi mereka yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir bathin
istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak. Imam Al Qurtuby
berpendapat; Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjakan
istrinya atau membayar mahar atau memenuhi hak-hak istrinya, maka
tidaklah boleh ia menikah, sebelum ia berterus terang menjelaskan
keadaannya kepadanya, atau sampai datang saatnya ia mampu
memenuhi hak-hak istrinya. Begitu pula kalau ia karena sesuatu hal
menjadi lemah tak mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia
menerangkan dengan terus terang agar perempuannya tidak tertipu
olehnya. Haram pula apabila tujuan pernikahan untuk menyakiti
perempuan yang dinikahinya”. Pendapat merujuk pada firman Allah surah
an Nur ayat 31 ”Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah
menjaga kesuciannya (dirinya) sampai Allah memberi kemampuan
kepada mereka dengan karuniaNya”.
4. Makruh, bagi mereka yang belum mampu untuk menikah. Seseorang
yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya,
meskipun tidak merugikan istrinya.
5. Mubah, bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan segera menikah atau karena alasan-alasan yang
mengharamkan untuk menikah.

Rukun Nikah dan Syarat Pernikahan


1. Rukun Nikah
Pernikahan dapat dilaksanakan apabila memenuhi unsur-unsur berikut:
a. calon pengantin laki-laki dan wanita
b. wali pihak calon pengantin wanita
c. dua orang saksi
d. akad nikah (ijab qobul)
e. di satu tempat (satu ruangan)
2. Syarat Nikah
a. Calon pengantin pria syaratnya:
1. beragama Islam
2. laki-laki
3. orangnya diketahui
4. tidak ada larangan nikah dengan calon pengantin wanita
5. mengenal dan mengetahui calon istrinya
6. rela
7. tidak sedang ihram
8. tidak mempunyai istri yang dilarang dimadu dengan calon istrinya
9. tidak ada larangan lain
b. calon pengantin wanita
1. beragama Islam
2. wanita
3. orangnya diketahui jelas
4. rela
c. wali (wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari
pihak calon istri dinilai mutlaq diperlukan, hadist Nabi saw ”Tidak
sah nikah kecuali dengan (izin) wali”.
1. Yang boleh menjadi wali secara urutan adalah: ayah kandung,
kakak laki-laki, saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki se-
ayah, saudara laiki-laki seibu, anak laki-laki suadara laki-laki, anak
laki-laki saudara laki-laki seayah, paman, anak laki-laki paman.
2. dari segi haknya, ada dua macam wali yaitu:
- wali mujbir (paksa)
- wali mujbir adalah yang mempunyai kekuatan untuk
menikahkan anaknya dengan ketentuan anak tersebut di
bawah umur atau kurang waras.
- Wali hakim
Wali hakim adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai
wali, atau walinya menolak menikahi anaknya.
Wali hakim adalah laki-laki yang sholeh, adil dan sempurna
panca inderanya, yang diangkat, diminta atau ditunjuk oleh
calon pengantin laki-laki dan wanita
Dengan demikian dalam keadaan bagaimanapun dalam
pernikahanharus ada wali. Tidak sah pernikahan tanpa
adanya wali dan dua orang saksi.

d. Saksi
Menurut pendapat para ulama bahwa keberadaan saksi-saksi
dalam rangka mengikuti anjuran Nabi saw agar pernikahan
disebar-luaskan.
Syarat saksi:
1. dua orang laki-laki, atau satu oarng laki-laki dan dua orang
wanita.
2. muslim
3. baligh
4. berakal
5. mendengar dan mengerti maksud nikah

e. Mahar. Firman Allah


Mahar atau mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan
suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya.
” Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu
nikahi) sebegai pemberian yang penuh kerelaan” Q.S An Nisa, 4:4
Hadits Nabi saw:
”Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya” (H.R Abu
Daud)
Meskipun Al Qur’an tidak melarang untuk memberi sebanyak
mungkin mas kawin (Q.S An Nissa ayat 20. Ini karena pernikahan
bukan akad jual-beli, dan mahar bukan harga seorang wanita.
Menurut Al Qur’an, suami tidak boleh mengambil kembali mas
kawin itu, kecuali istri merelakannya. Agama menganjurkan agar
mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi
yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan
perkawinan sampai ia memiliki kemampuan.

3. Ucapan (sighot ) akad atau ijab qobul nikah


ijab atau perkataan dari wali: hai...1)saya nikahkan kamu dengan anak
saya bernama... 2) dengan mas kawin.... 3) kontan/hutang... 4)Dan
langsung dijawab (kabul) oleh calon pengantin laki-laki: ”saya terima
nikahnya... 2) anak bapak, dengan mas kawin... 3) kontan/hutang.
Catatan:
1) sebut nama
2) sebut nama pengantin wanita
3) sebut nama ukuran mas kawin
4) sebut ”kontan” kalau mas kawin ada dan dibayar kontan, dan sebut
”hutang” kalau mas kawinnya dihutang.
Ijab qobul dilaksanakan secar lisan atau langsung. Akan tetapi dapat
diwakilkan, dan dapat pula dengan tulisan. ijab dari wali qobul dari
pengantin laki-laki.

Tujuan pernikahan adalah sebagai berikut:


1. Untuk kelangsungan keturunan
2. Memenuhi hajat naluri manusia untuk mendapatkan ketenangan dan
ketentraman serta mendapatkan cinta dan kasih sayang.
3. Memenuhi perintah dan ajaran agama yaitu memelihara dari tindakan keji
(fahisy/kejahatan seksualitas)
4. Menumbuhkan rasa tanggung jawab, menerima hak dan kewajiban dan
bersungguh-sungguh untuk mendapatkan harta halal dan thoyib.
5. Membangun rumah tangga bahagia, masyarakat muslim yang damai,
tenteram lahir dan bathin.

Wanita yang tidak boleh dinikahi (Mahram)


 →◼⧫ ⧫
→➔◆❑◆ ➔⧫◆
◼◆ ☺⧫◆
⧫◆  ⧫◆
→◆ 
➔ 
➔▪  →➔◆❑◆
 →◆
  →⧫◆◆
  →❑→
⬧   
⬧   ❑❑⬧ 
◼◆ →◼⧫ 
 ⧫ →
❑➔☺⬧ ◆ →◼
⬧ ⧫  ✓⧫ ✓⧫
❑→ ⧫    ◼
→⬧☺◆   ☺▪
⬧◼⧫ ⧫   
 ⧫  →☺
 ⬧ ◆  ◼⧫
❑⧫⬧  →⬧ ◆◆◆
◆ ⧫✓⧫ ◆❑
➔⧫☺⧫ ☺⬧  ✓⬧
➔❑➔⧫⬧  
 ◆  ⬧ ➔◆❑
 ⧫⬧ ☺ ◼⧫
   ➔⧫ 
 ☺ ☺⧫ ⧫ 
”(ayat 23) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(ayat 24) dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam Surah An Nissa ayat 23 dan 24 disebutkan wanita-wanita yang


tidak boleh dinikahi sebagai berikut;
a. Karena Hubungan Darah
1. ibu, nenek dan wanita dari garis keturunan ke atas
2. anak perempuan, cucu, wanita dari garis keturunan ke bawah
3. saudara perempuan kandung se-ayah se-ibu
4. bibi pihak ayah atau ibu
5. kemenakan, anak perempuan saudara laki-laki atau anak perempuan
saudara perempuan.
b. Karena hubungan Sepersusuan
wanita sepersusuan ada hubungan darah dengan laki-laki sepersusuan.
Oleh karena itu, wanita sepersusuan tidak boleh dinikahi laki-laki
sepersusuan
c. Karena hubungan perkawinan
1. mertua perempuan
2. anak tiri
3. menantu istri anak, istri cucu
4. ibu tiri
d. Karena Li’an (sumpah)
lian adalah sumpah (sebanyak empat kali) suami yang menuduh istrinya
berzina. Apabila suami menuduh istrinya dengan ber-lian, maka suami
istri tersebut telah bercerai untuk selama-lamanya.

Pernikahan antar Pemeluk Agama yang Berbeda


Dalam upaya menciptakan kebaikan dari sebuah pernikahan, Islam
secara tegas memberikan batasan bahwa pernikahan seharusnya dilandasi oleh
persamaan keyakinan (agama). Karena pernikahan memiliki dampak jangka
panjang bagi kelanjutan generasi berikutnya. Sehingga Agama melarang
terjadinya pernikahan atas perbedaan keyakinan. Hal ini terbingkai dalam syarat
yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai, baik lelaki maupun
perempuannya. Artinya pernikahan seorang lelaki muslim dengan wanita ( non
muslim) atau sebaliknya akan merusak rukun sebuah pernikahan, atau
pernikahan tersebut menjadi batal (tidak halal), demikian jika kita mengacu pada
pendapat Syekh Najmuddin Amin Al Kurdi dalam kitab Tanwirul Qulubnya. Al
Qur’an secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti firman
Allah :
☺ ❑⬧⬧ ◆
⬧ ⧫◆  ⬧ 
❑⬧◆   
❑⬧➔ ◆  ⧫
❑⬧  ⧫✓☺
  ⬧ ➔⬧◆ 
 ⧫ ❑⬧◆ 
◼ ⧫❑⧫ ⬧
◼ ❑⧫ ◆  
⧫☺◆ 
✓⧫◆  
➔⬧  ⧫◆
 ⧫⧫⧫
“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(Q.S Al
Baqoroh, 2:221)

Ayat 221 diturunkan untuk mengharamkan adanya perkawinan antara


laki-laki muslim dan wanita musyrik. Dalam tafsir Al Manar disebutkan bahwa
sebab turunnya ayat ini adalah peristiwa Murtsid bin Abi Murtsid Al Ghanawi
yang meminta izin kepada Rasul SAW sewaktu akan menikahi wanita musyrikah
yaitu ”Anaq, sedang Murtsid telah memeluk agama Islam. Wanita tersebut
terkenal cantik di masyarakat.
Larangan serupa juga juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahi
perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki
musyrik.
”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman” (Q.S Al Baqoroh, 2:221). Ayat ini mendapat
perhatian serius dari seorang sahabat Nabi saw bernama Abdullah ibnu Umar ra,
beliau berpendapat:
”Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan
seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang
dari hamba Allah”.
Sehubungan dengan hubungan di atas Syekh Yusuf Al Qordlowi dalam karya
Huda al Islam Fatawa Mu’asiroh mengemukakan beberapa kemudharatan yang
banyak terjadi dalam perkawinan antara seorang muslim dengan wanita non
muslimah,diantaranya adalah:
1. Terjadinya perkawinan dengan wanita non muslimah akan mempengaruhi
perimbangan antara muslimah dan muslim. Para muslimah yang tidak
kawin akan jauh lebih banyak, sementara poligami diperketat.
2. Perkawinan dengan non muslimah akan menimbulkan kesulitan bagi
hubungan suami istri dan pendidikan anak-anak. Apalagi jika terjadi
perbedaan tanah air. Musibah ini biasanya akan menimpa anak-anak
mereka yang memiliki perbedaan budaya, tradisi orang tua mereka
masing-masing.
Namun terlepas dari pandangan di atas Quraish Sihab dalam karya
Wawasan Al Qur’an berpendapat bahwa larangan perkawinan antar pemeluk
agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya
sakinah (ketenangan) dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan
tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena
jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan
tingkat pendidikan antara suami istri pun tak jarang mengakibatkan kegagalan
perkawinan.

Studi Kasus
Banyak kita temukan orang Islam yang memiliki pengetahuan tentang
Islam dengan baik. Berasal dari keluarga yang taat kepada agama, bahkan
sudah bergelar haji. Orang tua merupakan figure masyarakat di tempat
tinggalnya.
Tiba saatnya keluarga ini diamanahkan pada jabatan yang sering orang
sebut jabatan basah karena banyak proyeknya. Proyek mempunyai konsekuensi
pada dana dan anggaran. Pada jabatan pemerintahan yang didukung dana atau
anggaran banyak itulah orang tersebut menyalahgunakan jabatannya dengan
memanifulasi pembiayaan proyek untuk kepentingan pribadinya; hidup berfoya-
foya. Sang anak yang sepantasnya memberikan dukungan moril agar bapaknya
menjalankan amanah dengan baik, sebaliknya selalu memaksakan kehendaknya
agar selalu terpenuhi. Ia tidak lagi memikirkan kondisi bapak dan keluarga. Sang
anak tidak menyadari bahwa perilaku ini dapat mempengaruhi orang tuanya
untuk berbuat di luar aturan, alias korupsi. Anak-anaknya dibiarkan hidup dengan
serba materi. Sehingga kondisi keluarga seakan hidup “terlantar” karena tidak
ada komunikasi. Istri dan anak memiliki kesibukan masing-masing.

1. Kasus tersebut memberikan gambaran tentang sikap hidup seseorang


muslim yang memiliki kepribadian yang “pecah” (split personality). Di satu
sisi ia beribadah disisi lain ia melakukan tindakan korupsi. Bagaimana
tanggapan anda terhadap kasus tersebut!
2. Diskusikan dengan rekan anda dengan berpedoman pada akhlak Islam,
bagaimana seharusnya akhlak Islam itu diaplikasikan dalam kehidupan!

BAB 6

⧫  ◆⬧   ⬧


   ⧫☺⧫
 ⧫ ➔
Maha Suci Engkau (Allah), tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana”(Q.S Al Baqoroh, 2:32)
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam

Dalam pandangan kaum materialis sumber ilmu pengetahuan terbatas


pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera yang bersifat rasional dan
dapat dipahami oleh akal. Pengetahuan (knowledge) yang dapat ditangkap oleh
panca indera itu, melalui proses dan metode keilmuwan yang ketat, selanjutnya
berkembang menjadi ilmu (scince). Hanya saja kebenaran ilmu yang dihasilkan
tersebut masih bersifat relatif. Namun demikian keberadaan ilmu sangat
signifikan dalam hidup dan kehidupan manusia.
Menurut Al Qur’an ilmu adalah keistimewaan pada manusia yang
menyebabkan manusia unggul terhadap mahluk-mahluk lainnya. ini tercermin
dari kisah Nabi Adam as ketika ditanya oleh Allah tentang nama-nama benda:
”Hai, Adam, beritahukanlah kepada mereka (malaikat dan iblis) nama-nama
benda” (Q.S Al Baqoroh,2:33). Adam pun memberitahukan (dengan menyebut
nama-nama benda) kepada malaikat dan iblis di depan Allah. Berdasarkan
keterangan Al Quran itu, sejak diciptakan, manusia telah mempunyai potensi
berilmu dan mengembangkan ilmunya dengan izin Allah.
Posisi ilmu dalam Islam memiliki kedudukan yang penting, ini dapat dilihat
bahwa perkataan ”ilmu” yang ditemukan dalam Al Qur’an sebanyak 854 kali.
Perkataan ilmu dilihat dari sudut kebahasaan bermakna penjelasan. Dipandang
dari akar katanya artinya kejelasan. Semua ilmu yang disandarkan pada
manusia mengandung arti kejelasan.
Keberadaan ilmu tentu tidak terlepas dari hasil ”kerja objektif” akal dalam
memikirkan dan merenungkan serangkaian peristiwa. Sifat dinamis akal yang
istimewa mendorong manusia menuju kualitas penciptaan. Dalam psikologi
modern akal dipahami sebagai kecakapan memecahkan masalah (problem
solving capacity). Secara umum memang akal dipahami sebagai potensi yang
dipersiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan.
Akal adalah perimbangan antara intelek (budi) dan intuisi (hati) manusia.
Intelek adalah alat untuk memperoleh pengetahuan alam nyata. Dalam
membentuk pengetahuan, intelek terikat oleh yang kongret, oleh karena itu ia
hanya mungkin berjalan selangkah demi selangkah, menyelesaikan arah demi
demi arah. Intuisi adalah alat untuk alam tak nyata. Dalam membentuk
pengetahuan ia dapat melakukan lompatan dari tidak tahu tiba-tiba menjadi tahu.
Sebagai contoh orang yang akan memahami alam semesta melalui
astronomi. Ia tak dapat melakukannya kecuali secara bertahap. Ia harus
membekali pengetahuannya dengan matematika, fisika dan kimia. Untuk
mengetahui ketiganya, ia harus memulainya dengan belajar mengenal huruf dan
angka. Lain halnya seseorang yang memperoleh pengetahuan tentang
keindahan sekuntum bunga. Cukup dengan melihat sekilas segera ia dapat
mengambil kesimpulan tentang keindahan bunga tersebut. Ia tak perlu mengukur
diameter, jumlah kelopak atau menentukan berapa jenis warna yang ada pada
bunga tersebut.
Pengajaran melalui intelek hanya mungkin mengubah seseorang sedikit
demi sedikit. Tetapi pendidikan melalui intuisi dapat mengubah seseorang
dengan cepat. Dalam kenyataannya hidup manusia, kedua lembaga tersebut
tidak dapat bekerja secara terspisah sepenuhnya. Keduanya saling berinteraksi
dan mempengaruhi dengan pola yang berbeda-beda, dan itulah yang
menentukan corak akal manusia. Intelek manusia harus dilatih dan
dikembangkan sehingga memiliki ketajaman yang tinggi. Demikian pula instuisi
harus dihidupkan dengan pengayaan bathin, baik dari sisi keyakinan,
kebudayaan dan lain-lain.
Kedudukan akal dalam Islam memiliki keunggulan tersendiri dalam
pembedakan kualitas penciptaan manusia dengan binatang. Karena akal pula
manusia memiliki wadah yang menampung akidah, syariah dan akhlak dan
menjelaskan. Kita tidak pernah memahami Islam tanpa mempergunakan akal.
Dan dengan mempergunakan akal secara baik dan benar, sesuai petunjuk Allah,
manusia akan merasa selalu terikat dan dengan suka rela mengikatkan diri
dengan ketentuan agama. Namun, bagaimana pun kedudukan dan peranan akal
dalam ajaran Islam, akal tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan
wahyu. Karena itulah Allah menurunkan petunjuknya berupa wahyu.
Adapun wahyu adalah tuntunan yang diberikan Allah kepada para
hambanya dan ciptaannya dalam menjalankan fungsinya di alam semesta ini.
Secara etimologi, wahyu diartikan isyarat, tulisan, surat, ilham, perkataan atau
suara yang samar-samar diperoleh seseorang dari luar dirinya. Sebenarnya cara
yang dipakai Al Qur’an dengan kata ”wahyu” menunjukkan bahwa Al Qur’an
memandangnya sebagai suatu milik hidup yang universal, sekalipun, kodrat dan
waktunya berbeda menurut perbedaan tingkat-tingkat kehidupan itu.
Wahyu berasal dari kata Arab al wahyu, artinya suara, api, kecepatan. Di
samping itu wahyu juga mengandung makna bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.
Selanjutnya al wahyu mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan
dengan cepat. Namun, dari sekian banyak arti itu, wahyu lebih dikenal dalam arti
”apa yang disampaikan Allah kepada para Nabi”. Dengan demikian, dalam kata
wahyu terkandung arti penyampaian firman Allah kepada orang pilihanNya untuk
ditindaklanjuti kepada umat manusia sebagai pegangan hidup. Firman Allah itu
mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia
dalam perjalanan hidupnya baik dunia maupun akhirat nanti. Dalam Islam,
wahyu Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, semuanya tersimpan
dengan baik dalam Al Qur’an. Wahyu dalam Al Qur’an tidak hanya dalam isi,
tetapi juga dalam kata-katanya. Wahyu disampaikan melalui malaikat Jibril
kepada Rasulullah saw. Kebenarannya wahyu bersifat mutlaq (absolut).
”Tiadalah ia berbicara menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada
lain hanya yang diwahyukan kepadanya”. (Q.S An Najm, 53:3-4).
◆❑⚫ ⧫ ⧫ ⧫◆
 ❑ ◆  ◆❑➔  
“ dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”.
Wahyu juga dapat dimaknai merupakan bimbingan fungsional biologis.
Tumbuh-tumbuhan tumbuh bebas dalam ruang, binatang yang mengembangkan
jenis baru untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Mahluk manusia
memperoleh penerangan dari makna yang mendalam dari kehidupan. Semua itu
’wahyu” dengan watak yang bermacam-macam tergantung kepada kebutuhan
penerima atau kebutuhan si penerima atau kebutuhan-kebutuhan species tempat
si penerima itu tergolong.
◼ ◆ ◆
   ⧫
◆ ❑ ⧫
⧫❑➔⧫ ☺◆ 
”Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ”buatlah sarang-sarang di bukit-
bukit, dipohon-pohon kayu dan tempat-tempat yang dibuat manusia.” (Q.SAn
Nahl, 16:68)

Mengingat manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi yang


bertugas untuk mengatur bumi dan seluruhnya, maka seyogyanya manusia
memerlukan bimbingan dan petunjuk dari Allah sebagai pemberi mandat.
Manusia tidak bisa hanya mengandalkan akalnya saja untuk memecahkan
semua problematika yang dihadapi, ia membutuhkan perangkat petunjuk yang
datang langsung dari Penciptanya melalui hamba pilihanNya, yang disebut
sebagai Nabi atau Rasul. Pada tataran ini, Allah telah memilih hambaNya untuk
”berkomunikasi” secara langsung. Manusia pilihan itu akan menyampaikan hasil
komunikasi yang berupa wahyu itu kepada manusia banyak atau minimal untuk
dirinya sendiri. Selain mereka tidak ada manusia yang berhak menyatakan
menerima wahyu, kecuali mereka menerima ”ilham”, yakni semacam daya gerak
yang diberikan Allah kepada hambanya yang dikehendaki untuk memahami atau
melakukan sesuatu. Ilham itu datang langsung dari Allah, sedangkan orang yang
menerimanya tidak mengetahui darimana datangnya daya itu kecuali mereka
merasakan adanya dorongan kuat untuk menerima instruksi atau dorongan yang
terdapat dapat ilham tersebut.
Dari uraian singkat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
kedudukan akal dan wahyu dalam ajaran Islam memiliki peran yang signifikan
(penting). Kedua, akal dan wahyu merupakan sokoguru ajaran Islam. Namun,
segera dapat ditegaskan bahwa dalam sistem Islam, wahyulah yang pertama
dan utama, sedang akal adalah yang kedua (sebagai penyempurna peran
wahyu). Wahyu yang telah terkodifikasi dalam bentuk Al Qur’an, atau dalam
bentuk yang tidak langsung melalui Sunnah Rasulullah saw yang kini dapat
dibaca dalam hadis-hadis yang shoheh, yang memberi tuntunan, arah dan
bimbingan pada akal manusia. Oleh karena itu, akal manusia perlu dimanfaatkan
dan dikembangkan secara baik dan benar untuk memahami pesan-pesan wahyu
Allah, sehingga akal dapat berjalan sesuai garis-garis ketentuan yang telah
ditetapkan Allah.

Islam dan Ilmu Pengetahuan


◼◆  ⧫
⧫◼  ⧫◼ 
⧫  ◼⧫  
  ⧫ ◆◆
⧫  ◼⬧ ⧫
 ⬧➔⧫ ⬧ ⧫ 
”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang meciptakan
Menciptkan manusia dari segumpal darah
Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah
Yang mengajarkan dengan pena
Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahui” (Q.S Al Alaq, 1-5)

Baca ! demikian bunyi perintah Allah pada ayat pertama surah Al Alaq.
Sebuah perintah yang mengandung nilai-nilai unversal bagi kemajuan peradaban
manusia. Dengan ”membaca” manusia dapat mengaktifikasi kecerdasannya.
Sehingga manusia menemukan identitas pribadi sebagai mahluk berakal.
Sebagai agama fitrah, Islam paham betul bahwa derajat kemulian manusia
adalah ketika mereka mempelajari ilmu pengetahuan dalam upaya
pengembangan pribadi yang bermanfaat.
Yang menarik adalah bagi bahwa pada wahyu pertama itu tidak
menjelaskan apa yang harus dibaca. Menurut Quraish Shihab hal tersebut bisa
dipahami karena Al Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja, selama
bacaan tersebut bismi robbika, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqro
berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam,
tanda-tanda zaman. Alhasil objek perintah iqro mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya. Selanjutnya, dari wahyu pertama Al Qur’an diperoleh isyarat
bahwa agama Islam sangat peduli terhadap cara perolehan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dalam rangka menjaga peradaban manusia.
Manusia, menurut Al Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan
mengembangkan pengetahuannya dengan izin Allah. Karena itu bertebaran ayat
yang memerintahkan manusia untuk menempuh berbagai cara untuk
mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al Qur’an menunjukkan betapa tinggi
kedudukan orang yang berpengetahuan ”Allah meninggikan derajat orang-orang
yang beriman dari kalian, dan orang-orang yang diberi ilmu”.
Manusia diciptakan dari substansi serupa gumpalan darah telah
dianugerahi Allah dengan kemampuan analisis untuk mengurai rahasia-rahasia
dibalik fenomena alami. Kompilasi ilmu pengetahuan manusia kemudian
didokumentasikan dan disebarkan dalam bentuk tulisan yang disimbolkan
dengan pena. Pembacaan ayat kauniyah ini melahirkan sains (ilmu
pengetahuan); ada Astronomi, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geologi dan
sebagainya.
Dari segi esensinya, semua sains sudah Islami, sepenuhnya tunduk pada
hukum Allah. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan adalah hukum-hukum
alam yang tunduk pada Sunatullah. Pembuktian teori-teori yang dikembangkan
dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusiawi. Secara
sederhana, sering dikatakan dalam sains kesalahan adalah lumrah karena
keterbatasan daya analisis manusia, tetapi kebohongan adalah bencana.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru yang sering
disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan
dengan prinsip Tauhid. Padahal itu hukum Allah ayng dirumuskan manusia,
bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dan ketiadaan tidak bisa
dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud lain. Hanya Allah
yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah sangat Islami?
Pandangan di atas hanya ingin menegaskan bahwa semua proses alam
di dunia mengikuti Sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tidak
mungkin terwujud. Islamisasi ilmu pengetahuan tidak tepat. Menjadikan ayat-ayat
Al Qur’an sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk Islamisasi
ilmu pengetahuan/sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang
digunakan semestinya dapat diterima semua pihak, tanpa memandang sistem
nilai yang dianutnya. Tidak ada dichotomi (pemisahan) antara sains Islami dan
sains non-Islami. Hal yang tepat adalah pemisahan identitas subjek ilmuwannya
sebagai saintis Islam dan saintis non Islam. Memang tidak mudah mendudukan
perkara tersebut tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin
dalam pemaparan yang populer atau semi ilmiah.
”Bacalah dengan nama Tuhahmu yangmenciptkan”, maka riset saintis
Islami berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta
hanya karenaNya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan yang
menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukuri dengan
ungkapan ” Rabbana ma kholaqta haadza baathilaa, Tuhan kami tidak-lah
engkau ciptakan semua itu sia-sia”. (Q.S Al Maidah, 3:191). Bukan ungkapan
berbangga diri.
Sebagai agama paripurna, Islam secara lengkap menginformasikan
kepada umat manusia untuk memiliki empat ciri agar mencapai tingkat kategori
ulul albab (cendikia) :
”Sesunguhnya dalam penciptaan langit dan bumi (segala fenomena alam) dan
pergantian alam dan siang (segala proses), terdapat tanda-tanda bagi para cendikia,
yaitu:
1. mereka yang senantiasa memikirkan Allah sambil beridiri, duduk, maupun
berbaring (dalam segala aktifitasnya)
2. dan selalu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (tidak berhenti
menelaah) fenomena alam.
3. (bila dijumpainya suatu kekaguman mereka berkata) ”Tuhan kami tiadalah
Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau).”
4. (dan dengan kesadaran bahwa pengembaraan intelektual mungkin sesaat,
mereka senantiasa memohon kepada Allah) ”Dan jauhkan kami dari siksa api
neraka”.

Muhammad Quthb sebagaimana dikutip Quraish Sihab dalam karya


Wawasan Al Qur’an menyampaikan bahwa ayat-ayat tersebut di atas merupakan
metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap alam.
Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama diantara sekian
banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya
ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan amal.
Lebih jauh lagi dapat ditambahkan bahwa ”Khalq assamawat war ardh”
disamping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan bumi, juga
bermakna ”memikirkan tentang sistem tata kerja alam semesta”. Karena kata
”alkholq selain berarti ”penciptaan”, juga berarti pengaturan dan pengukuran
yang cermat. Pengetahuan tentang hal terkahir ini menghantarkan ilmuwan
kepada rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya menghantarkan kepada
penciptaan tehnologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat
manusia.
Menulusuri tentang dukungan Islam melalui firman-firman Allah terhadap
ilmu pengetahuan termasuk perkembangan tehnologi merupakan suatu hal yang
manarik. Mengingat adanya pandangan disebahagian ilmuwan dunia yang
berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu ”Bebas Nilai” atau ”Ilmu untuk Ilmu”.
Tentu saja pandangan tersebut bertentangan dengan acuan Islam. Karena
sebagaimana diutarakan sebelumnya bahwa perintah pertama agama yang
termaktub di dalam Surah Al Alaq jelas-jelas menggarisbawahi bahwa
pembahasan ilmu pengetahuan termasuk tehnologi harus mengacu pada nilai
Robbani, ”bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu” (Q.S Al Alaq, 96:1).
Bahwa umat Islam diajak untuk mendayagunakan karya pengetahuannya
untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Serta
menghindari cara perpikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan
manfaat, apalagi tidak memberikan hasil kecuali menghabiskan energi.
Rasulullah sering berdo’a:
”Allahumma inni auzu bika min ilmin la yanfa’a’
Artinya: Wahai Tuhanku Aku berlindung kepadamu dari Ilmu yang tidak
bermanfaat.
Al Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan
kemampuan ilmiahnya, termasuk Rasul saw pun selalu berdoa ”Qul Robbi zidni
ilma (berdo’a lah wahai Muhamad), ”Wahai Tuhanku, tambahkanlah untukku
ilmu”. (Q.S Thaha, 20:114). Perintah tersebut sebenarnya sejalan dengan naluri
manusia yang selalu ”haus” akan pengetahuan.
”Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan
menuntut harta” (H R Thobrani dan ibn Mas’ud)
Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus megembangkan ilmu
pengetahuannya dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan
kepadanya. Dengan fungsi kekhalifahan yang dianegaruhi Allah kepada manusia
merupakan sarana menuju kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika yang
terjadi penyalahgunaan ”mandat kekhalifahan” pada diri manusia dengan
memafaatkan ilmu pengetahuan hanya untuk kepentingan nafsu duniawi semata
maka akan menghantarkan pada kahancuran (kebinasaan).

Sekilar Potret Kontribusi Sainstis Muslim Klasik


Sejarah umat manusia mencatat bahwa paruh kedua pada millenium ke 1
(babak seribu tahun pertama) dan paruh pertama pada millenium ke-2 (babak
seribu tahun kedua) ajaran Islam secara menyolok memberi kontribusi bagi
kemanusian. Ajaran Islam yang diamalkan para pengikutnya berperan secara
aktif dalam proses pembentukan watak manusia berbudi luhur, berakhlak mulia
dan berilmu pengetahuan. Sosok manusia yang selamat dan jaya di dunia dan di
akhirat. Membangun manusia yang jiwanya diisi dengan iman, akal atau
intelektualitas manusia diisi dengan hikmah dan imu pengetahuan, perilaku
hidupnya diisi dengan amal shaleh dalam pengabdian kepada Allah SWT.
Sejarah mencatat bahwa umat Islam adalah kelompok umat manusia
yang pertama ”menginternasionalkan” ilmu pengetahuan. Jika sebelumnya suatu
cabang ilmu pengetahuan hanya merupakan kekayaan nasional bangsa tertentu,
seperti Yunani Persia, India, dan Cina, maka sejak Islam dan dalam peradaban
Islam, ilmu-ilmu itu tumbuh menjadi kekayaan bersama umat manusia.
Abad 8 - 14 Masehi kontribusi ilmu pengetahuan didominasi ilmuwan
muslim, namun pada kurun waktu abad ke 14 hingga penghujung 20 kontribusi
ilmuwan muslim pada dunia ilmu pengetahuan kurang 1 persen, mengapa bisa
terjadi? kemungkinan masalah pertentangan intern di tubuh umat Islam sendiri,
yang mengganggu stabilitas kehidupan sehingga berakibat melemahkan sendi-
sendi masyarakat Islam itu sendiri, dan akhirnya tidak tahan terhadap serangan
dari luar. Tampaknya itulah yang terjadi hingga dipenghujung dunia sekarang,
Betapa kekuatan dunia Barat telah mencengkram tatanan global masyarakat
Islam disegala penjuru dunia.
Terlepas dari itu semua peristiwa yang dialami umat Islam menjelang
keruntuhan Andalusia Spanyol, kita tentunya pantas melihat ”kejayaan serta
karya-karya muthakir tokoh-tokoh Islam” sebelumnya, yang telah jelas-jelas
mewarnai perkembangan panggung ilmu pengetahuan dunia. Para ilmuwan
Islam telah banyak menemukan teori dan rumus serta dasar-dasar sains modern
sebelum orang-orang Barat mengenal ilmu pengetahuan. Berikut dibawah ini
beberapa nama-nama ilmuwan Islam terkemuka:

1. Ilmu Pasti dan Astronomi


a. Abu Ja’far Muhammad ibn Musa Al Khawarizmy ( wafat 860)
Beliau adalah ilmuwan muslim yang paling populer di bidang ilmu pasti. Kata ”al
Khawarizmy” yang menunjukkan kampung halamannya, yakni sebuah daerah di
sebeluh timur negara Iran, oleh orang Barat disebut sebagai ”al gorismus” yang
kemudian lebih dikenal dalam matematika sebagai ”al goritma”, yaitu salah satu
cara perhitungan dalam mencari ”invers” (kebalikan) dari ”eksponen”
(perpangkatan).
Sejak muda beliau diberi gaji oleh khalifah Al Makmun untuk membaca
serta menterjemahkan buku-buku penting yang berada diperpustakaan ”Bayt Al
Hikmah” yang dibangun oleh Khalifah di kota Bagdad pada tahun 815 M, yang
memiliki kurang lebih satu juta buku, yang berbahasa Persia, Romawi dan India.
Beliau juga mendapat fasilitas untuk menuntut ilmu ke berbagai kota. Beliau
yang mempersiapkan kepada khalifah sebuah ringkasan sebagian jadwal
astronomi India dengn menggunakan sistem desimal yang lebih dikenal dengan
”sind hind” yang diambil dari bahasa sangsekerta ”sindhanta”. Melalui
Universitas Islam di Cordoba Spanyol dan pendeta Gerbert (yang kemudian
menjadi Paus Sylvester II) Al Goritma telah merombak matematika Barat dua
abad kemudian.
Meskipun al Khawrizmy lebih dikenal dalam bidang ilmu pasti, namun
beliau juga menulis sebuah buku yang memuat tempat-tempat yang dihuni di
bumi dengan merujuk kepada buku Ptolemeus dalam bidang geografi. Salah
satu bukunya yang paling terkenal dalam bidang ilmu pasti (book on mathematic)
adalah ”Al Mukhtashor Al Jabr wa Al Muqobila” (”the Book of Summary
Concerning Calculation by Transposition and Reduction) sebagai dasar ilmu Al
Jabar. Sebuah buku yang spektakuler sebagai terobosan bidang ilmu pasti.
Bahkan kata ”aljabar (algebra) diambil dari judul depan buku tersebut (al jabr).
Buku ini merupakan terobosan spektakuler dari sistem penulisan angka romawi
yang sangat berbelit ke sistem ”Hindu Arab” yang simpel. Beberapa waktu
setelah tahun 1145, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh
seseorang bangsa Inggris, Robert of Keton dari Chester, yang datang ke
Spanyol untuk mempelajari matematika. Terjemahnnya dimulai dengan kata-kata
”Decit Aal Goritmi” (karena itu kata modern untuk Decit AlGoritmi” adalah
Algoritm mempunyai pengaruh sangat kuat pada Al Jabar pada abad
pertengahan dunia Barat. Lebih dari itu pengaruh Al Jabar tersebut masih terasa
dalam matematika dan ilmu pengetahuan, angka arab misalnya menjadi tanda
pengenalan ilmu pengetahuan ke Eropa, dengan prosedur menggunakan
trigonometri tertentu bagsa Arab pada waktu itu meminjam dari India termasuk
bilangan nol. Bilangan yang berasal dari India ada dalam dua bentuk dalam
dunia Islam, dan bilangan yang dipergunakan di Barat itu disampaikan melalui
Spanyol pada abad pertengan Eropa. Bilangan-bilangan ini, dengan eksplisit
bilangan nol adalah jauh lebih efisien dibandingkan bilangan Romawi untuk
dipergunakan dalam perhitungan.
Dengan ditemukannya sistem tersebut para ilmuwan dari perlbagai disiplin
ilmu lebih mudah menyelesaikan hitungan dengan sistem itu. Misalkan angka
”4444” tulisan angka romawi ditulis ”MMMMCCCCXLIV”. Bayangkan bagaimana
rumitnya menulis angka ”4444444444” dalam angka Romawi, apalagi
mengoperasikannya dengan angka lain. Dengan kehadiran angka nol, para
ilmuwan dengan mudah menulis angka itu menjadi 4, 4X10 (pangkat 9) atau 4,4
kali sepuluh pangkat sembilan; dimana (empat dengan strip di atas)adalah angka
4 yang berulang. Bahkan dengan sistem itu para ahli Matematika dapat
menemukan alat-alat hitung yang lebih canggih lagi seperti ”kalkulator” dan
aplikasi program Matematika pada Komputer. Demikian Ilmuwan Al Khawarizmi
yang dikenang sebagai tokoh Islam terkemuka yang meletakan dasar-dasar
”jalan keluar” kerumitan Ilmu Matematika, terutama Al Goritma.

b. Ahmad Al Farghani (800-870)


Ahmad Al Farghani menulis buku yang berjudul Jawami atau ”element” atau
elemen-elemen. Yang membantu membentangkan bagian-bagian lebih dasar
atau Elementer dan Non Matematik. Astronomi Ptolemy yang berpandangan
Geosentris bumi sebagai pusat alam semesta.
The Elements mempunyai pengaruh yang sungguh-sungguh di Barat. The
Element (Jawami) diterjemahkan dua kali ke dalam bahasa latin di Toledo,
pertama oleh Jhon of Seville (Johanes Hispalensia) pada separuh pertama abad
12 dan yang lebih lengkap diterjemahkan oleh Gerard of Cermona beberapa
tahun kemudian. The Sphere of Sacrobosco menjadi sebuah buku yang terlaris
dalam kurun waktu yang lama. Tercetak lebih 200 edisi sebelum digantikan oleh
textbook lainnya pada abad 17. kecuali buku Elements oleh Euclid tidak ada
textbook seperti Sacrobosco yang dapat menyatakan keunggulan dalam kurun
waktu yang lama.

2. Ilmu Fisika
Dalam bidang ilmu fisika dikenal nama Al Hasan Ibn Haytsam (965-1039).
Beliau adalah kelahiran Irak. Pengaruhnya dalam bidang ilmu alam teoritis
menyamai pengaruh Isac Newton dalam ilmu Mekanika. Keahliannya itu
menyebabkan orang-orang menyebutnya sebagai ”Al Muhandis” (insyinyur).
Beliau-lah yang merencanakan pembangunan bendungan yang tinggi (saddu al-
a’ly’) di Aswan (sungai Nil) dan kubah Universitas Al Azhar Kairo. Beliau sangat
produktif dalam menulis. Karangan beliau berjumlah 200 buku, 47 judul
diantaranya tentang Matematika dan Fisika dan 58 judul tenatng Ilmu Tehnik,
sedangkan selebihnya terdiri dari bermcam-macam ilmu pengetahuan.
Dari sekian banyak tulisannya itu, yang paling terkenal dan
melambungkan namanya adalah ”Al Manadhir” dalam bidang ”optika”. Buku yang
berisi tentang penolakan terhadap teori-teori Pythagoras, Arsitoteles, Euclides,
Anphadicles dan Ptolemeus ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
Frederick Reysnar pada tahun 1572 dengan judul ”Opticae Thesaurus”.
Sebelumnya menurut Euclides bahwa ”penglihatan terjadi karena mata kita
memancarkan cahaya dan cahaya itu menganai benda, maka terlihatlah benda
itu”. Teori ini dibantah oleh Ibn Al Hiytsam yang menyatakan bahwa ” benda lah
yang memancarkan cahaya ” atau dengan kata lain ”penglihatan merupakan
hasil pengiriman cahaya yang memantul, kemudian cahaya itu kembali ke mata
sehingga mata dapat melihat benda itu”.
Beliau juga telah meletakkan percobaan berulangkali dengan cermin
cembung dan datar. Dengan cermin itu, beliau dapat memilah cahaya ketika
cahaya itu sampai pada benda pipih untuk memperkirakan ketinggian benda itu
dari tanah. Percobaan itu hampir pada penyingkapan prinsip-prinsip kerja
mikroskop.

3. Ilmu Kimia
a. Jabir ibn Hayyan (760-850)
Beliau sangat rajin beribadah dan melakukan penelitian-penelitian. Di
ruang laboratoriumnya teretak ruang khusus untuk sholat. Di dalam ruangan
laboratoriumnya itu terdapat beberapa alat percobaan seperti tungku untuk
memanaskan logam, timbangan dan sebagainya.
Beliau banyak menulis buku di bidang Kimia secara mendetail, bahkan
ada salah satu bukunya yang terdiri atas 500 bab. Dalam salah satu bukunya
yang berjudul ” Al Ma’rifah fi shifat al Illahiyyah wa al Hikmah wa al Falsafah”
beliau menulis tentang sifat-sifat persenyawaan beberapa zat kimia. Salah satu
kesimpulan hasil percobaannya ialah uangkapan beliau ”Bila air raksa (merkuri)
dan belerang (sulfur) bersenyawa, maka masing-masing unsur akan tetap ada, ia
akan tetap terbagi menjadi unsur-unsur yang sangat halus hingga tidak dapat
dilihat. Yang kelihatan adalah benda yang dihasilkannya. Dan hasil
persenyawaan ini apabila dianalisis akan memilki jumlah dan kualitas yang sama
dengan sebelumnya”.
Apa yang dikemukan Ibn Hayyan ini seribu tahun berikutnya baru
dikemukakan oleh ahli kimia Prancis, Lavoiser (1748-1794) dengan Hukum
Ketetapan Massa. Hukum ini berbunyi ” Jumlah bobot zat yang berreaksi
memiliki massa yang tetap”. Masih banyak hasil percobaan laboralatorium dan
tehnik pembuatan logam dilakukan oleh Ibn Hayyan, seperti bagaimana cara
membuat baja, karbon, timah, belerang, air raksa, nitrogen dan emas dari bahan-
bahan bakunya. Seorang ahli Sejarah Inggris, Sarton, menyebut Ibn Hayyan
sebagai guru Kimia bangsa Eropa, kemashurannya dalam Ilmu Kimia sama
seperti kebesaran Plato dalam filsafat.

4. Kedokteran
a. Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria Al Razi
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al Razi lahir di Ray, suatu kota di dekat
Taheran tahun 863 M, dan wafat pada tahun 925 M. Di dunia Barat dikenal
dengan sebutan Rhazes. Tulisan-tulisannya yang terkenal berbicara tentang
penyakit Cacar dan Campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan di
tahun 1866 masih dicetak untuk ke-empatpuluhnya. Beliau menyusun
ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang bernama Al Hawi (comprhensive
Book) tersusun dari 20 jilid, mengandung ilmu-ilmu kedokteran Yunani, Siria, dan
Arab. Di tahun 1279 Ensiklopdedia ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
seorang Yahudi di Sisilia bernama Faraj ibn Salim, semenjak 1486 M,
Ensiklopedia ini berkali-kali dicetak dan dipakai di Eropa sampai abad XVII M.
Menurut Abu Qosim Sa’id ibn Ahmad Al Andalusi dalam karyanya Tabaqot Al
Umam bahwa Al Razi merupakan dokter umat Islam tiada tandingannya.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, Al Razi
dekat dengan filsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia
sebenarnya ialah ketika kembali kepada Tuhannya dengan meninggalkan alam
materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, roh harus terlebih dahulu disucikan. Dengan
ilmu pengetahuan yang bersumber dari Tuhan serta berpantang mengerjakan
segala larangan agama, roh dapat menemukan kesuciannya (fitrah). Beliau
menganjurkan hidup moderat, untuk tidak hidup secara bersenang-senang,
sebaliknya juga tidak terlalu hidup zahid (mengabaikan dunia). Beliau adalah
figur yang berani mengemukakan pendapat-pendapatnya sungguhpun
bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam pada umumnya.

b. Abu Ali al Husaini Ibn Abdullah Ibn Sina (980-1037)


Dalam dunia ilmu kedokteran akrab seseorang yang bernama Abu Ali al Husaini
Ibn Abdullah Ibn Sina (980-1037). Beliau dikenal dengan panggilan ibn Sina atau
Avicena. Beliau adalah penulis produktif yang telah menghasilan sekitar 276
karyanya dalam bahasa Arab, termasuk dengan bahasa Persia. Baliau adalah
dokter sekaligus filosof kelahiran Bukhara (sekarang Rusia), menulis. Tiga
bukunya yang paling mashur adalah ” Al Qonun al Thibb” (Canon of Medicine)
dalam bidang kedokteran dan dua bukunya ”Al Isyarat wa al Tanbihat” (the Book
of Healing) dapat dikatakan kedua tersebut begitu populer dikalangan dunia
Barat, dan ” Al Syifa” dalam bidang filsafat.
Ibn Sina dikenal sangat cerdas, karena pada usia 10 tahun beliau telah
hafal Al Qur’an. Menurut sejarah hidup yang disusun oleh muridnya, Jurjani,
semenjak kecil Ibn Sina telah banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada
pada zamannya, seperti Fisika, Matematika, Kedokteran, Hukum dan lain-lain.
Sewaktu usia 17 tahun, beliau telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan
istana pernah mengobati Pangeran Nuh ibn Mansur sehingga pulih dari
kesehatannya. Keahliannya dalam bidang kedokteran menyebabkan orang
Eropa menyebutnya sebagai ”Galliens-nya bangsa Arab”. Dalam bukunya Al
Qunun fi al Thibb, beliau menggabungkan antara Teori Epocritus dan
Kedokteran Galliens, selain menambahkan kedokteran India, Persia, Suryani,
dan Arab yang beliau ketahui. Buku ini memiliki kelebihan karena menjelaskan
tentang hubungan yang erat antara pengyakit jiwa dan penyakit badan, pengaruh
makanan dan iklim terhadap kesehatan, kemungkinan berpindahnya penyakit
syaraf karena permusuhan, menyebarnya penyakit akibat kotoran dan air
tercemar. Buku ini juga menjadi pedoman ilmu kedokteran yang sangat handal
hingga awal abad dua puluh.
Selain ibn Sina, dokter muslim terkemuka adalah Ibn Rusyd atau Aviroes.
Ibn Rusyd adalah kelahiran Cordoba (Spanyol) pada tahun 1226 M. Buku Ibn
Rusyd dibidang kedokteran yang terkenal adalah ”Al Kulliyat”. Selain seorang
dokter, Ibn Rusyd juga seorang filosof dan ahli Fiqh. Bukunya yang sangat
terkenal di bidang hukum Islam ini masih dipakai hingga saat ini diseluruh dunia
Islam berjudul ” Bidayah Al Mujtahid”.

C. Al Biruni
Nama lengkapnya adalah Abu Raihan Al Biruni. Al Biruni merupakan
matematikawan Persia, Astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia,
pengembara, sejarawan, ahli farmasi dan guru yang banyak menyumbang
kepada bidang matematika, filsafat dan obat-obatan. Al Biruni dilahirkan di
Khawarazm di Asia Tengah yang pada masa itu terletak dalam kekaisaran
Persia. Al biruni adalah sahabat Ibn Sina. Dalam bidang bahasa, Al Biruni
mengetahui bahasa Yunani, Suriah dan bahasa Berber. Dia menulis dalam
bahasa Persia dan Arab. Ketika berusia 17 tahun, dia meneliti garis lintang bagi
Kath, Khawarizm dengan menggunakan altitude maksima matahari. Ketika
berusia 22 tahun, beliau menulis beberapa hasil kerja ringkas termasuk kajian
proyeksi peta Kartografi yang termasuk metodologi untuk membuat proyeksi
belahan bumi pada bidang datar. Ketika berusia 27 tahun, beliau menulis buku
berjudul Kronologi yang merujuk kepada hasil kerja lain yang dihasilkan oleh
beliau (sekarang tiada lagi) termasuk buku tentang astrolab, sebuah buku
tantang sistem desimal, 4 buku tentang pengkajian bintang, 2 buku tentang
sejarah. Beliau menghasilkan 120 buku. Sumbangannya kepada ilmu
matematika adalah:
• Aritmatika teoritis dan praktis
• Penjumlahan seri
• Analisis kombinatorial
• Kaidah angka 3
• Bilangan irasional
• Teori perbandingan
• Definisi al jabar
• Metode pemecahan penjumlahan aljabar
• Geometri
• Teorema Archimedes

Kewajiban Menuntut Ilmu


Menuntut ilmu menjadi kewajiban bagi setiap manusia. Dengan menuntut
ilmu berarti manusia memanfaatkan semua anugerah fasilitas akalnya. Akal
merupakan amanat Allah yang perlu aktif sepanjang hidup dan kehidupan
manusia. Keaktifan akal akan mencapai ketajaman ketika selalu diasah dengan
pembelajaran secara berkelanjutan yang terjadi ketika seseorang sedang
menuntut ilmu. Karena jelas-jelas dalam menuntut ilmu kesiapan akal selalu
terbuka untuk menerima informasi-informasi terbaru (pengetahuan) yang datang
dari dunia luar.
Menurut Imam Al Ghozali ilmu itu terklasifikasi menjadi 2 kategori; ilmu
fardhu ’ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain adalah ilmu yang wajib
dituntut, dicari diamalkan setiap muslim dan muslimat. Sedangkan ilmu fardhu
kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah Ilahi yang mengikat
setiap anggota komunitas. Contoh, mempelajari agama dengan mengikuti mata
Kuliah Agama Islam adalah fardhu ain (kewajiban individual bagi setiap
mahasiswa dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Sila Pertama
Pancasila. Adapun mempelajari Ilmu Kedokteran adalah fardhu kifayah bagi
komunitas mahasiswa Indonesia, tetapi kewajiban itu tidak mengikat bagi
mahasiswa fakultas hukum, karena sudah ada mahasiswa fakultas kedokteran
yang mempelajarinya. Tetapi, kalau tidak ada seorang pun mahasiswa Indonesia
yang mempelajari ilmu kedokteran, dilihat dari fardhu kifayah (keawajiban sosial
atau kewajiban kemasyarakatan) ini, semua anggota komunitas Indonesia,
terutama mahasiswanya, berdosa karena meninggalkan atau tidak
melaksanakan fardhu kifayah itu, dan memikul akibatnya, kalau misalnya,
anggota komunitas Indonesia sakit, tidak ada ahli ilmu kedokteran (dokter) yang
mengobati dan menyembuhkannya. Kalau klasifikasi Al Ghozali tersebut
dihubungkan dengan ilmu, jelas bahwa menunut ilmu adalah kewajiban manusia,
laki-laki dan perempuan. ”Bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim” (H.R Baihaqi dari Anas ra).
Landasan sejarah awal manusia yang dikenal bernama Adam as adalah
sebuah abstraksi jelas bagaimana Allah telah mempersiapkan bahwa kelak
manusia akan ”memimpin dunia” dengan keunggulan ilmunya. Rangkaian cerita
yang dilukiskan Allah dalam surah Al Baqoroh ayat 31-33 tentang anugerah ilmu
yang diterima Adam as tentang beberapa ”nama-nama benda” merupakan
sebuah bukti-bukti ontentik bahwa manusia adalah mahluk Allah yang
berpengetahuan.
◆ ⧫◆ ⧫◆
◼⧫ ⧫ ▪➔ 
⧫⬧⬧ ⬧◼☺
☺ ❑
⧫✓   →⬧
  ⬧ ❑⬧ 
  ⧫☺⧫ ⧫  ◆⬧
⧫ ➔ 
 ⧫⧫ ⧫⬧ 
☺◼⬧  
⧫⬧  ➔⧫
◼   ➔ ⬧
◆ ◆❑◆ 
⧫◆ ⧫➔ ⧫ ◼◆
 ⧫❑⬧ 
(31) ”Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda)
semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya
berfirman, ”Sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar (menurut dugaanmu)”.
(32) Mereka (para malaikat) menjawab ”Maha suci Engkau tiada pengetahuan
kecuali yang telah engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
(33) Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama
benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda
itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa
Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Manusia, menurut Al Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan


mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu bertebaran ayat
memerintahkan manusia menempuh dengan cara untuk mewujudkan hal
tersebut. Berkali-kali pula Al Qur’an menunjukan betapa tinggi kedudukan orang-
orang yang berpengetahuan. Kitab suci Al Qur’an yang bermakna bacaan
merupakan kata kunci bagi seluruh umat manusia bahwa betapa kekuataan
membaca menjadi faktor penting dalam kebaradaan manusia.
Secara kontekstual wahyu pertama pada surah Al Alaq sebagaimana
yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, menyebutkan bahwa ayat
pertama ”Iqro” (menggunakan kata perintah). Hal ini bisa dipahami adanya
suatu kewajiban atau perintah untuk ”membaca”. ”membaca” bisa dimaknai
mencari segala informasi atau pengetahuan sebagai kebutuhan rohani. Karena
akal manusia membutuhkan ”asupan makanan” yang bernilai protein dan bergizi
dengan ilmu pengetahuan. Di sinilah titik strategis alasan bagi manusia untuk
menuntut ilmu. Manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan jasmaninya saja
secara biologis, namun ada yang jauh lebih penting bahwa manusia perlu
memikirkan kebutuhan rohani ”akal”nya agar manusia berbeda dengan binatang.
Urgensi ilmu pengetahuan secara jelas digambarkan Al Qur’an untuk
membedakannya antara mereka yang berpengetahuan dengan mereka yang
tidak berpengetahuan. Menurut Al Qur’an hanya orang-orang yang yang berakal
(yang berilmu) yang dapat menerima pelajaran (Q. S Az Zumar, 39:9). Dan
hanya orang yang berilmu yang takut kepada Allah (Q.S Fatir, 28). Hanya orang-
orang yang berilmu yang mampu memahami hakikat sesuatu yang disampaikan
Allah melalui perumpamaan-perumpamaan (misal) (Q.S Al Ankabut, 29:43).
Mengingat besarnya manfaat pentingnya ilmu, Allah memerintahkan agar
manusia selalu semangat lahir dan bathin dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Meskipun demikian memang tidak mudah menjalaninya, diperlukan kesiapan
”mujahadah” (kesungguhan totalitas) agar meraih yang dicita-citakan. Faktor
spiritual (do’a) merupakan hal penting yang diajarkan Islam dalam menjembatani
menuju kesuksesan tangga ilmu pengetahuan. ”Robbi zidni ilma” (Tuhan ku
tambahkanlah ilmu ku), demikian do’a yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad
saw. Namun Nabi menegaskan bahwa doa harus disertai dengan ikhtiar (usaha)
dengan belajar. Beberapa dalil naqli yang mendukung manusia untuk menuntut
ilmu: ”Menuntut ilmu sejak dari kelahiran hingga ke liang lahad” (Hadist).
”Mencari ilmu meskipun ke negeri cina” (Hadist). ”Karena siapa pun yang
menginginkan kebaikan dunia hendaklah ia berilmu, jika menginginkan kebaikan
akhirat hendaklah berilmu, juga jika menginginkan kebaikan keduanya (dunia
dan akhirat) maka ia hendaklah mencari ilmu” (Hadist). Merupakan kutipan
hadits-hadits yang memberikan dukungan atas upaya pencarian ilmu (tholabul
ilmi). Adapun firman Allah SWT:
❑⧫◆ ⧫  ⬧⧫
❑➔ ⧫◆ 
◆  ◆ ➔
 ⧫❑➔☺➔⬧ ☺
”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al Mujadilah, (Q.S 58:11)

Jadi jelaslah bahwa perintah Agama agar umatnya menuntut ilmu


merupakan sebuah mandat ilahiyah untuk menempatkan manusia pada posisi
kemulian. Karena fungsi kekhalifahanya tidak akan bermakna jika manusia tanpa
pengetahuan. Yang paling utama adalah pengetahuan yang mendidik manusia
agar mengenal Penciptanya. Dasar-dasar theologis inilah yang menyadarkan
manusia untuk selalu meng-indahkan nilai-nilai kehidupan yang sempurna
dengan ilmu. Ilmu pengetahuan bersumber dari Allah, harus digunakan dalam
semangat pengabdian kepadaNya. Tingkat kesadaran agama mampu
memotivasi pemeluknya untuk berilmu pengetahuan yang memberikan dampak
positif bagi kelangsungan hidup kemanusian
Semangat pengabdian dalam agama Islam dapat dimaknai ketika ilmu itu
bermanfaat bagi pribadi yang menuntutnya serta mengamalkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Faktor hidayah Allah selalu akan menuntun bagi mereka yang
mengamalkan ilmu bagi kebaikan manusia ”Allahumma inni a’uzubika min ilmin
la yanfa’ wa qolbin la yakhsya’ wa amalin la yarfa’ wa du’a la yasma’ ”.(Ya Allah
hamba berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang
tidak khusyu’, dari amal perbuatan yang tidak sampai (kebaikan) dan
permohonan yang tidak didengar (Mu). (Hadits).
And last but not least, adalah suatu fakta sejarah yang patut untuk pelajari
dari pengalaman intelektual para tokoh-tokoh besar Islam hingga masa
kontemporer bahwa ketinggian ilmu pengetahuan mereka sangat dipengaruhi
oleh faktor kedekatan (taqorrub ilallah) kepada Allah SWT. Pengembaraan
spiritual yang ”begitu sempurna” telah mendorong pada pengembangan
intelektual dan melahirkan penemuan-penemuan yang briliant. Pembicaran
mereka (para tokoh-tokoh Islam) dalam diskusi-diskusi dimulai dari kajian
Tauhid, Akhlak, Kesucian (Thaharoh) hingga mendiskusikan gelombang suara,
gerhana, kimia dan fenomena alam lainnya. Kedalaman dan ketinggian ilmu
pengetahuan mereka betul-betul bermanfaat bagi kelangsungan peradaban
manusia masa mendatang.Kiranya perjuangan mereka telah mewariskan tinta
emas dalam perjalanan sejarah ilmu pengetahuan dari masa ke masa.
Kesungguhan mereka yang didukung dengan kekuatan dan keyakianan agama
menjadi sebuah buah bibir di kalangan akademisi pada masa mendatang. Tentu
bukanlah usaha yang sederhana yang telah mereka lakukan hingga agama
Islam dapat dikenang tidak sekedar agama ritual semata, melainkan suatu
agama yang begitu mengapresiasikan kemulian pemeluknya yang
mementingkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan manusia.
  ❑→◆
◆   →☺➔◆
 ⧫  →
”dan bertakwalah kepada Allah; Allah akan memberikan ilmu pengetahuan kepadamu;
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S Albaqoroh, 2:282)
BAB 7
  ⧫
⬧◆ ⬧  ◼
❑➔ ➔◆
  ❑➔◆➔⧫ ⧫⬧◆
 ⬧   ⧫⧫
  ⧫  
Wahai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan,
lalu Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar saling kenal
mengenal (Q.S Al Hujurat:13)

Toleransi Agama

Pengertian Toleransi

Perkataan toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance. Menurut


Webster New American Dictionary arti toleran adalah liberty to ward the opinion
of other, patience, with others yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia (lebih kurang )adalah memberi kebebasan (membiarkan)pendapat
orang lain dan berlaku sabar menghadapi orang lain.
Dalam bahasa Arab padanan kata toleran adalah tasamuh, artinya
membiarkan sesuatu untuk saling mengizinkan, saling memudahkan. Kamus
Umum Bahasa Indonesia mengartikan toleransi itu sebagai sikap atau sikap
menenggang, dalam makna menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian,
pendapat, kepercayaan, kelakuan yang lain dari yang dimiliki oleh seseorang
atau bertentangan dengan pendirian seseorang.
Toleransi antar umat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan
atau perbuatan yang menunjukkan umat saling menghargai, menghormati,
menolong, mengasihi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya menghormati agama
dan iman orang lain; menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain; tidak
merusak tempat ibadah; tidak menghina ajaran agama orang lain; serta memberi
kesempatan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Maka agama-
agama akan mampu untuk melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan
baik sehingga terciptanya suasana rukun dalam hidup dan kehidupan
masyarakat serta bangsa.
Sikap itu harus ditegakkan dalam pergaulan sosial terutama antara
anggota-anggota masyarakat yang berlainan pendirian, pendapat dan keyakinan.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa toleransi adalah sikap lapang dada
terhadap prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.
Dalam ajaran Islam (Al Qur’an ) ada beberapa prinsip mengenai toleransi.
Prinsip itu dapat kita temukan pada beberapa surah, sebagaimana di bawah ini:
1. Tidak ada paksaan dalam (memeluk sesuatu) agama karena telah jelas mana
yang benar dan mana yang salah (Q.S Al Baqoroh, 2:256)
⬧    ◼⧫ 
  ⧫✓⧫
 
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat”.

2. Katakanlah hai (Muhammad), ”Kebenaran itu dari Tuhanmu; barangsiapa


menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki
(kafir ) biarlah dia kafir. (Q. S Al Kahf, 18:29)
 ◼▪  ⬧ ➔◆
⧫◆ ⬧⬧ ◆ ☺⬧
  →◆⬧ ◆
”dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir".
3. Sungguh Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir. (Q.S Al Insan, 76:3)
 ◆ 
◆  
 ❑→
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada
pula yang kafir”.

4. Dan jika Tuhan menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi


seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka
menjadi orang-orang beriman? (Q.S Yunus, 10:99)
⧫ ⧫ ◆ ◆ ❑⬧◆
 ➔⬧ →  
 ◼➔ ⬧
 ✓⬧ ❑❑⧫ 
“ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ?
5. Allah tidak melarang kami berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil (Q.S Al Mumtahanah, 60:8).
⧫  ⧫ 
 ❑➔⬧ ⬧ ⧫
❑ ⬧◆ 
➔⬧  ⧫ 
  ⬧ ❑➔◆
 ⧫✓☺ ⧫ 
“ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
Dari kutipan ayat-ayat Al Qur’an tersebut dapat ditarik beberapa garis
hukum, beberapa prinsip mengenai toleransi dalam ajaran Islam. Di antara
prinsip-prinsip itu adalah bahwa menurut ajaran Islam :
1. Tidak ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu halus, apalagi kalau
dilakukan dengan kasar.
2. Manusia berhak untuk memilih agama yang diyakininya dan beribadat
menurut keyakinannya itu.
3. Tidak ada gunanya memaksa seseorang agar ia menjadi seorang muslim.
Disamping itu dalam ayat tersebut di atas terdapat prinsip lain yakni
prinsip bahwa,
4. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan mereka yang tidak
sepaham tidak seagama, asal mereka itu tidak memusuhi umat Islam.

Wahai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, lalu
Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar saling kenal mengenal
(Q.S AHujurat:13)

Firman Allah pada surah Al Hujurat menggarisbawahi bahwa


kemajemukan (pluralitas) manusia yang berkategori pada perbedaan suku,
bahasa, dan termasuk agama merupakan suatu peristiwa sunatullah.
Kemajemukan menjadi salah satu karakter kehidupan baik secara mikro-kosmos
maupun makro kosmos. Karenanya agama memiliki peran yang begitu penting
untuk menciptakan keseimbangan ketika terjadinya perbedaan-perbedaan antar
manusia.
Dalam lintas sejarah agama-agama, ta satupun agama di dunia ini yang
mengajarkan umatnya untuk berbuat rusuh. Seluruh agama sungguhpun secara
formalis peribadatan (baca eksoteris) memiliki perbedaan-perbedaan; ritual
peribadatan, rumah peribadatan, busana ritual dan sebagainya. Pada
hakekatnya hanya ingin membentuk sosok manusia paripurna (al insan kamil),
yang memiliki akhlakul karimah (moralitas). Meski demikian, perbedaan eksoteris
sekitar 5 % dari setiap agama itu dalam realitas sehari-hari justeru sering
ditonjolkan dan dibesar-besarkan sehingga meimiliki potensi terhadap konflik.
Sementara elemen esoterik agama yang bejumlah 95% semisal penegakan
supremasi hukum, sikap jujur, keadilan justeru dimanipulasikan. Pengangkatan
delik agama dalam SARA ditambah semboyan Tri Kerukunan Umat Beragama
yang ditonjolkan oleh pihak pemerintah merupakan cermin penguatan aspek
eksoteris agama.
Kompleksitas (kemajemukan) masyarakat sebagai suatu kumpulan
manusia beradab tidak hanya dapat ditilik dari dimensi lahiriyah (eksoteris)
semata, dimensi bathiniah (esoterik) menyimpan segudang rahasia dan
problematika yang tak kalah penting lagi rumit. .Kemajemukan lahiriah yang
dapat dibedakan dari perbedaan warna kuliat, suku, agama, atribut dan
sebagainya. Sedangkan kompleksitan bathiniah ibarat mengukur dalamnya
samudera, misalnya melihat bagaimana melihat perbedaan keyakinan
(keimanan) seseorang, karena bisa jadi seseorang memiliki agama yang sama,
namun imannya berbeda atau sebaliknya memilki agama yang beda, tetapi
imannya sama.
Perlu dicatat, bahwa kemajemukan lahiriah bagaimanapun tidak mungkin
disatukan, karena wujudnya yang bersifat materi. Hanya kemajemukan
bathiniyah yang imateri mampu dipersatukan, karena esensinya yang berasal
dari emanasi (cahaya) Tuhan Yang Maha Immateri pula. Karena itu, salah satu
upaya mensiasati pembangunan dari dan untuk masyarakat majemuk adalah
melalui pintu keimanan antar umat beragama (manusia) atau kerukunan antar
umat .(KH. Said Aqiel Siradj: 1999)
Toleransi dan kerukunan antar umat beragama bagaikan dua sisi mata
uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Kerukunan berdampak pada
toleransi; atau sebaliknya toleransi menghasilkan kerukunan; keduanya
menyangkut hubungan antar sesama manusia. Jika kerukunan (antar umat
beragama, intern umat seagama, dan umat beragama dengan pemerintah)
terbangun serta diaplikasikan pada hidup dan kehidupan sehari-hari, maka akan
muncul toleransi antar umat beragama. Atau, jika toleransi antar umat beragama
dapat terjalin dengan baik dan benar, maka akan menghasilkan masyarakat
yang rukun satu sama lain.
Di tengah kompleksitas persoalan yang muncul seputar hubungan antar
pemeluk agama, terutama pemeluk agama Islam dengan umat lain, sebagai
kelompok minoritas. Persoalan hubungan antar umat beragama bukanlah
persoalan yang mudah.Hubungan antar umat beragama sangat bersinggungan
dengan persoalan SARA (suku, agama dan ras), yang memiliki potensi terhadap
konflik horisontal (pertikaian antar pemeluk agama). Maka disinilah letak
keindahan Islam sebagai agama ”rahmatan lil alamien”, umat Islam Indonesia
memiliki tanggung jawab bagaimana agar Islam dapat masuk ke hati orang lain
dengan menunjukan kebenaran ajarannya, bukan sebaliknya bersifat agresif
dengan menunjukan superioritas Islam serta menolak jalan radikalisasi agama.
Sebagai agama Dakwah, Islam menawarkan tuntunan umatnya untuk
bertindak dan berperilaku secara santun mensikapi perbedaan paham,
perbedaan pandangan, khususnya perbedaan keyakinan yang merupakan
wilayah sensifitas individual. Sehingga tidak mengherankan pandangan dan
tindakan yang berada pada wilayah dalam toleransi terhadap umat lainnya
terkadang menimbulkan kesalapahaman persepsi di kalangan umat Islam
sendiri, jika tidak dicermati secara hati-hati. Karena bisa saja landasan tekstual
(Al Qur’an dan Sunnah) yang dijadikan pijakan memiliki interpretasi kontekstual
(pemahaman) yang beragam ketika dipraktekkan oleh masing-masing tokoh
agama. Sebut saja tentang ”perayaan bersama” hari raya umat agama tertentu
yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama Islam. Persoalan itu tentu menimbulkan
polemik ”keresahan” di kalangan umat Islam, terutama bagi mereka yang
berpaham tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk menghadiri perayaan Hari
Raya non Islam, dengan argumentasi dalil Al Qur’an yang dipahami secara
tekstual, sebut saja surah Al Kafirun, yang tegas-tegas telah mengatur
pembatasan peribadatan antar pemeluk agama Islam dengan umat non Islam.
Kekhawatiran sebahagian umat Islam atas makna toleransi yang
diterjemahkan secara bebas, mungkin dipahami dapat memicu terjadinya
degradasi keyakinan yang berdampak pada perpindahan keyakinan bagi umat
Islam menuju keyakinan agama lain, jika perbuatan (menghadiri acara perayaan
bersama Hari Raya agama tertentu) tersebut disetujui. Juga adanya kesan yang
muncul bahwa Islam ”meridhoi” keberadaan agama tertentu yang jelas-jelas
bertolak belakang dengan pandangan agama ( Al Qur’an) yang mengatur bahwa
” tidak diterima agama selain agama Islam”. Namun persoalan yang menarik
adalah bahwa kita hidup di tengah pluralitas masyarakat, yang memiliki
keragamaan agama, Islam, Kristen Khatolik, Protestan,Hindu, Budha dan
Khonghucu. Landasan filosofis kehidupan bangsa Indonesia adalah Bineka
Tunggal Eka, yang mengakui adanya perbedaan dalam hidup dan kehidupan
budaya sosial bangsa Indonesia.
Dalam pandangan Islam, perbedaan merupakan bagian dari aturan
Sunnatullah. Perbedaan adalah suatu keniscayaan. Sehingga Rasulullah pun
telah menggaris-bawahi dalam satu pernyataan haditsnya yang ”mengamini”
adanya perbedaan. ”perbedaan itu adalah bagian dari rahmat Allah”. Namun
langkah yang aman adalah menghindari dari suatu perbuatan yang
dikhawatirkan menimbulkan resiko yang berakibat fatal (bahaya) bagi
kelangsungan keyakinan(akidah), ”dar’u mafasid muqoddamun ’ala jalbil
mashalih” (menghindari bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan
kebaikan). Pilihan itu adalah tindakan yang bijak untuk ditempuh bagi
masyarakat Islam pada umumnya, yakni memilih untuk tidak menghadiri acara
Ritual keagamaan agama tertentu dalam rangka memelihara keselamatan
keyakinan (akidah), dapat dikatakan sebuah upaya atau tindakan preventif (sedia
payung sebelum hujan). Karena persoalan keyakinan bukanlah persoalan
”tawar-menawar harga” yang bernilai ekonomis, disebabkan adanya keuntungan,
maka diambil jika rugi sebaliknya. Namun lebih kepada menjaga kehormatan
pribadi-pribadi muslim agar tetap ”konsisten” memelihara keutuhan pendiriannya.
Dari konteks diatas, yang menarik adalah bagaimana masing-masing
umat Islam Indonesia khususnya dituntut untuk menterjemahkan bahasa
perbedaan menjadi suatu bahasa dakwah (mengajak menuju kebaikan dengan
cara-cara santun) tanpa melanggar ketentuan Syariah (Al Qur’an dan Sunnah).
Meminjam pandangan KH Abdurahman Wahid Dakwah yang bersifat Ijabah.
Dakwah ijabah adalah dakwah yang mengajak dengan mengenalkan Islam pada
komunitas di luar Islam agar tidak menjadi penghambat dalam pengembangan
Islam, bahkan diharapkan simpatik dengan dakwah Islam. Pandangan ini lebih
dikenal sebagai pandangan yang memilih jalan terbuka (inklusif) ketimbang jalan
”tertutup” (eksklusif). Maka disinilah letak makna toleransi agama akan memiliki
warna yang beragam coraknya ditengah masyarakat Indonesia yang majemuk
(plural). Namun sekali lagi, persoalan toleransi memang harus diakui
membutuhkan suatu pandangan yang ”cerdas” agar tidak menimbulkan
kesalahan penafsiran yang berujung pada rusaknya sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Selama masing-masing pihak agamawan memiliki
landasan tekstual yang benar, bukan sebalikya mencari pembenaran(justifikasi
tekstual), maka kerangka toleransi akan menjadi suatu tawaran yang efektif
untuk menghindari terjadinya konflik antar umat beragama, termasuk toleransi
antar sesama pemeluk satu agama.
Toleransi disini dipahami berbeda dengan makna kerukunan antar umat
beragama. Karena toleransi (menurut penulis) hanya berada pada wilayah luar
hubungan keagamaan, menghormati keberadaan umat lain diluar agama kita.
Sementara kerukunan sudah memasuki wilayah dalam ”intenal” antar umat
beragama. Sejauhmana kita memiliki sikap empati terhadap kondisi umat
manusia seluruhnya atas tema-tema persoalan kemanusiaan secara makro,
sebut saja kemiskinan, kesehatan dan sebagainya. Perhatian serius kita tidak
sebatas memperhatikan saudara-saudara seiman (seakidah) saja, namun lebih
kepada hubungan yang bersifat kemanusian yang bersifat universal, maka itulah
makna kerukunan menemukan implementasi ruhnya. Namun, tentu saja dalam
tulisan ini kita tidak membahas secara tuntas, penulis hanya mencoba
membahas dalam tataran teoritis yang bersifat dogmatis di seputar toleransi.

Toleransi Agama dan Toleransi Sosial


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan beberapa
bentuk toleransi yang harus ditegakkan, namun dalam uraian ini hanya disebut
dua bentuk tolelansi saja, yakni:
1. toleransi agama
2. toleransi sosial
(1) Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut keyakinan, yang
berhubungan dengan akidah. Dalam ajaran Islam, kemurnian akidah harus
dijaga sebaik-baiknya. Akidah Islamiyah itu terangkum dalam Rukun Iman,
namun yang menjadi intinya adalah keyakinan kepada ke-Esaan Allah yang
dalam ajaran Islam disebut Tauhid. Menurut ajaran Islam toleransi yang
berkenaan dengan akidah haruslah dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama
masing-masing. Prinsip Islam mengenai ini jelas dapat ditemukan dalam surah Al
Kafirun (109) ayat 1-6, yang terjemahannya lebih kurang berbunyi sebagai
berikut:
 ⧫ ➔
 ⧫➔⬧ ⧫   
⧫ ⧫⧫  ◆
⧫ ⧫ ◆  
 ◆  ◼⧫⧫ 
⬧   ⧫ ⧫⧫
  ◆◆ 
”Hai orang –orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu adalah agamamu,
untukku adalah agamaku.”

Di surat lain Allah menegaskan prinsip yang harus dipegang teguh oleh
seorang muslim, dalam berhubungan dengan orang berlainan agama dengan
mengucapkan kata... untuk kamu amal (ibadah) kamu dan untuk kami amal dan
(ibadah) kami. Tidak ada pertengkaran antara kami dengan kamu. (Q.S 42:15).
Dari kutipan diatas sangat jelas prinsip Islam dalam masalah toleransi
agama. Islam tidak mengenal toleransi akidah. Ini berarti bahwa umat Islam tidak
dibenarkan beribadah selain kepada Allah dan melaksanakan peribadatan itu
menurut cara-cara yang ditentukan dalam agama lain. Penganut agama lain pun
tidak dibenarkan melaksanakan ibadah agamanya menurut ketentuan yang
ditetapkan oleh agama Islam. Toleransi melaksanakan ibadah bersama dengan
pemeluk agama lain tidak dibenarkan oleh agama Islam, karena hal itu akan
merusak kemurniaan kisah masing-masing agama itu. Toleransi agama menurut
agama Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan agama lain beribadat
menurut ketentuan agama yang diyakininya. Isi surat Al Kafirun tersebut di atas
dengan jelas menunjuk prinsip itu. Latar belakang ayat tersebut adalah sebagai
berikut:
”Ketika agama Islam makin dipeluk oleh penduduk makkah, orang Quraish yang
belum beriman kepada agama yang dibawa oleh Rasulullah saw, mendatangi
Rasululah, mereka adalah Walid bin Mughiroh, Al Ashi bin Wail, Aswad bin
Muthalib dan Umayah bin Khalaf, menawarkan toleransi agama. Bentuknya
adalah agar di selenggarakan ibadah bersama ”sembahlah apa yang kami
sembah dan kami pun akan menyembah apa yang kamu sembah, marilah kita
bekerjasama di dalam seluruh persoalan kita”. Mereka berkeinginan bahwa di
tahun pertama Nabi Muhammad ikut serta beribadat dengan orang-orang
Quraisy menurut tata cara menyembah berhala (Tuhan) mereka dan tahun
berikutnya orang-orang Quraisy akan ikut bersama Nabi Muhammad saw
menyembah Allah, menurut agama Islam. ”Allah memerintahkan Nabi menolak
tawaran itu dengan menurunkan surah Al Kafirun”.
Dari isi surat Al Kafirun jelas bahwa mengenai akidah dan pelaksanaan
ibadah tidak ada toleransi, masing-masing penganut agama melaksanakan
ibadahnya menurut ajaran agamanya masing-masing.
Menurut ajaran Islam, ibadah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh setiap muslim untuk dan karena Allah semata-mata dengan cara-cara yang
telah ditentukan secara pasti. Setiap muslim akan mempertanggung-jawabkan
pelaksanaan ibadahnya kelak kepada dan dihadapan Allah.
Dari kandungan surah Al Kafirun itu, para ahli telah mencoba menarik beberapa
garis hukum. Di antaranya adalah:
1. Tidak seorang pun boleh dipaksakan untuk memeluk agama lain dan atau
meninggalkan ajaran agamanya, dan
2. Setiap orang berhak untuk beribadat menurut ketentuan agamanya
masing-masing.
Dalam hubungan itu perlu dikemukakan bahwa menganut ajaran agama
adalah masalah keyakinan. Dan keyakinan itu tidak boleh dipaksakan agar
dianut seseorang. Menurut ajaran Islam, dalam menganut suatu keyakinan
agama orang harus bebas dari paksaan, sebab dengan paksaan itu tidak
mungkin seseorang akan menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya itu
dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa masalah agama
adalah soal kebenaran. Di dalam Al Qur’an telah dijelaskan, sebagaimana yang
telah dikemukakan pada kutipan surat Al Qur’an di atas, mana jalan yang benar
dan mana jalan salah. Orang tidak boleh ragu mengikuti jalan itu. Keyakinan
akan kebenaran ajaran sesuatu agama yang dipeluk adalah motor yang
menggerakkan manusia untuk mengamalkan ajaran agama itu sebaik-baiknya.
Menurut ajaran agama Islam, kaum muslimin yang teraniaya karena
paksaan, baik halus apalagi yang kasar, berkewajiban berbuat sesuatu untuk
mempertahankan kemurnian akidah atau keyakinan agamanya. Dasar untuk
berbuat demikian, disebut di dalam Al Qur’an surah Al Hajj (22) ayat 39 dan 40,
yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut:
❑➔⧫⬧ ⧫ ⧫
 ◆  ❑☺→ 
 ⬧⬧ ⧫ ◼⧫
 ❑ ⧫
   ⧫ ⧫
❑⬧◆   ◆ ❑❑→⧫
➔⧫   
◆❑ ⧫⚫ ➔⧫
⧫◆ ◆❑◼◆ ◆◆
    
 ◼⧫ ⧫  ◆◆⬧◆ 
 ⧫ ❑⬧⬧  

”Diizinkan (berperang) bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya


mereka dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka
(yaitu) mereka yang diusir dari kampung-kampung mereka dengan tidak ada
alasan yang patut kecuali hanya karena mereka berkata bahwa Tuhan kami
adalah Allah.”

Bagian akhir dari ayat itu adalah keyakinan yang mendasar tentang
akidah yang harus dipertahankan seseorang. Untuk itu ajaran Islam
membenarkan orang itu berjuang bahkan berperang untuk menegakkan dan
mempertahankan keyakinannya itu.
Di dalam hal-hal yang berkenaan dengan kebaikan hidup bersama di
dunia ini, Islam menganjurkan para pemeluknya untuk mengadakan toleransi
sosial.

(2) Toleransi Sosial yakni toleransi kemasyarakatan. Dalam urusan


kemasyarakatan ini, Allah tidak melarang manusia untuk hidup bermasyarakat
dengan mereka yang tidak seiman atau sekeyakinan agama. Dasar pembolehan
itu disebutkan dengan jelas di dalam Al Qur’an surah Al Mumtahanah (60) ayat 8
adalah:
”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Menurut Sayid Sabiq (ulama terkemuka Mesir) Islam mentolerir hubungan


umat Islam dengan non muslim sepanjang mereka memenuhi ketentuan yang
telah ditetapkan dalam perjanjian, dan tidak merugikan umat Islam. Terhadap
mereka yang memilih bertempat tinggal di negeri muslim, tidak dipermasalahkan
asalkan mereka (non muslim) memenuhi sistem perundang-undangan yang
ditetapkan dalam Islam. Kaum muslimin dapat melakukan kerjasama dalam
bidang bisnis. Khusus dalam ini mereka diberi keluasan sebagaimana yang
berlaku di kalangan umat Islam, asalkan kegiatan usahanya tidak melanggar
aturan yang telah ditetapkan dalam Islam. Sebagai agama yang mengusung
nilai-nilai ”rahmatan lil alamin” (kebaikan bagi alam semesta) memberikan
aturan-aturan yang bersifat ”melindungi” atas hak-hak masyarakat non Islam
yang notebene sebagai keompok minoritas selama mereka tidak melanggar atau
bertindak kriminalitas diwilayah masyarakat Islam.
Sebagai agama yang berpijak pada prinsip-prinsip keadilan, persamaan
dan syura dengan landasan operasional nya kaedah ushul fiqh ” tasharuf al
imam ’ala ra’iyatihi manutun bi al maslaha” (tindakan pemegang kekuasaan
ditentukan oleh kemaslahatan /kesejahteraan rakyat), tentu menggaris-bawahi
adanya kerjasama antara pihak umat Islam (kelompok mayoritas secara
kuantitatif) dengan non Islam (kelompok mayoritas secara kualitatif) dalam
bingkai sosial politik. Umat Islam membutuhkan hubungan sosial yang positif
bagi kelangsungan kehidupannya pun sebaliknya bagi mereka yang beragama
diluar Islam. Indonesia adalah potret nyata bagaimana sebenarnya toleransi
sosial dapat dikembangkan dan dipelopori oleh umat Islam yang unggul dalam
jumlah pemeluknya dengan mereka yang bukan (non Islam). Toleransi sosial ini
merupakan sebuah pandangan yang mencegah terjadinya tirani mayoritas atas
kelompok-kelompok minoritas, (tindakan memaksakan kehendak, menghambat
kepentingan umat lain, dan sebagainya) adalah perbuatan kezaliman. Juga
toleransi sosial bisa saja merambah pada wilayah-wilayah kemanusiaan yang
menguntungkan kedua belah pihak dengan ikatan perjanjian yang disepakati.

Realitas Toleransi antar Umat Beragama Di Indonesia


Persamaan membangun kerukunan antar umat Beragama adalah sebuah
keniscayaan. Bahwa ketidak-rukunan antara umat beragama bisa terpicu karena
bangkitnya fanatisme keagamaan, sehingga menghasilkan berbagai
ketidakharmonisan di tengah kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang menunjukkan diri
sebagai manusia beriman (dan beragama) dengan taat, namun berwawasan
terbuka, toleran, rukun dengan mereka yang berbeda agama. Disinilah letak
salah satu peran umat beragama dalam rangka hubungan antar umat beragama,
yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus tidak
menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan.Di balik aspek
perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak
berubah, yaitu credo atau pengakuan iman. Credo merupakan sesuatu khas, dan
mungkin tidak bisa dijelaskan secara logika, karena menyangkut iman atau
percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan
seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama melakukan
pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan, karena berbagai sebab, bisa
berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain
sebagainya, kemudian berujung pada konflik.
Di samping itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah, ikon-
ikon atau lambang keagamaan, cara dan suasana penyembahan atau ibadah,
termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali menjadi faktor ketidak-
nyamanan pada hubungan antar umat beragama. Jika semua bentuk
pembedaan serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan oleh masing-
masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar
manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya,
masyarakat mudah terjerumus ke dalam pertikaian berdasarkan agama (di
samping perbedaan suku, ras dan golongan). Untuk mencegah semuanya itu,
salah satu langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat
beragama. Suatu bentuk kegiatan yang harus dilakukan oleh semua pemimpin
dan umat beragama.
Kerukunan (dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang
menopang rumah; penopang yang memberi kedamaian dan kesejahteraan
kepada penghuninya), secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan
dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku,
agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk
menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidak-rukunan; serta kemampuan dan
kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram.
Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses
waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta
cinta-kasih.
Kerukunan intern umat beragama juga merupakan hal yang perlu
diperlihara. Hubungan tak harmonis intern umat beragama pun bisa merusak
atau berdampak masyarakat luas yang berbeda agama. Biasanya perbedaan
tafsiran terhadap teks kitab suci dan pemahaman teologis dalam agama-agama
memunculkan konflik serta perpecahan pada umat seagama. Konflik dan
perpecahan yang melebar, bisa mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan baik
antar manusia, bahkan mengganggu hidup dan kehidupan masyarakat luas.
Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak mengganggu ketertiban umum,
tidak memaksa seseorang pindah agama, tidak menyinggung perasaan
keagamaan atau ajaran agama dan iman orang yang berbeda agama, dll.
Adalah kondisi keberagamaan rakyat Indonesia pasca krisis Indonesia
1997 sangat memperihatinkan, bahkan terus berlanjut pada tahun-tahun
berikutnya . Konflik benuansa agama di beberapa daerah di Indonesia seperti
Ambon, Poso, Madura dan lainnya. Konflik tersebut sangat mungkin terjadi
karena kondisi rakyat Indonesia yang multi etnis, multi agama dan multi budaya,
diperparah dengan kahadiran para provokator terselebung (actor-aktor
intelektual) yang telah merusak watak bangsa Indonesia yang sebelumnya
dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun. Di lain pihak faktor ekonomi
rakyat Indonesia yang mengalami penurunan pendapatan akibat kondisi politik
yang “tidak menentu” menambah rumitnya persoalan integrasi (keutuhan)
bangsa Indonesia. Dalam mengantisipasi serta menghindari meluasnya konflik
antar pemeluk agama, maka semua pihak tentu perlu mengacu pada langkah-
langka yang bersifat kebijakan penting, adalah sebagai berikut:
1. Dasar Pemikiran
a. landasan falsafah Pancasila dan Pembangun Bangsa
b. Pancasila mengandung dasar yang dapat diterima semua pihak
c. Pembangunan tersebut wajib dilaksanakan dan disukseskan
d. Kerukunan bukan status quo, tetapi sebagai perkembangan masyarakat
yang sedang membangun dengan berbagai tantangan dan persoalan.
e. Kerukunan menimbulkan sikap mandiri

2. Pedoman Penyiaran Agama


a. pupuk rasa hormat-menghormati, saling mempercayai
b. hindarkan perbuatan yang menyinggung perasaan golongan lain
c. penyiaran tidak dibenarkan bagi orang yang telah memeluk satu agama,
dengan bujukan atau tekanan.
d. Tidak mempengaruhi orang yang telah menganut agama lain.

3. Bantuan Luar Negeri


a. Bantuan luar negeri hanya untuk pelengkap
b. Pemerintah berhak mengatur, membimbing, mengarahkan agar
bermanfaat dan sesuai dengan fungsi dan tujuan bantuan.

4. Tindak- lanjut
a. pemerintah perlu mengatur penyiaran agama
b. penyiaran dilandaskan saling menghargai, hormat-menghormati,
penghormatan hak seseorang memeluk agamanya.
c. Perlu sikap terbuka.
d. Bantuan luar negeri agar bermanfaat selaras dengan fungsi dan tujuan
bantuan.

5. Peraturan-peraturan tentang Kerukunan Hidup Antar umat Beragama


a. Dakwah
Dakwah melalui radio tidak mengganggu stabilitas nasional, tidak
mengganggu pembangunan nasional, tidak bertentangan dengan
Pancasila, UUD 1945 dan keputusan Menteri Agama no.44 tahun 1978.
b. Aliran kepercayaan (surat Menag No. B/5943/78)
Tidak merupakan agama
Pembinaanya tidak termasuk DEPAG
Tidak ada sumpah, perkawinan, kelahiran, dan KTP menurut kepercayaan
(TAP MPR IV/MPR/78)
c. tenaga asing
tenaga asing harus memiliki izin bekerja tertulis dan Depnaker
orang asing dapat melakukan kegiatan keagamaan dengan seizin Menag
inst. Menag No. 10 Tahun 1968
Kep. Menag No. 23 Tahun 1997 dan No. 49 Tahun 1980
d. Buku-buku

1. Jaksa Agung berwenang melarang buku yang dapat meresahkan dan


mengganggu stabilitas ketertiban umum
2. Barang siapa menyimpan, memiliki, mengumpulkan, mengumumkan,
menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan,
mencetak kembali barang cetakan yang terlarang dihukum dengan
hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun.
3. Kepala kantor Wilayah Departemen Agama agar
a. mengawasi dan meneliti peredaran mushaf Al Qur’an dalam masyarakat,
toko, apakah sudah ada tanda tashih dari Lajnah/ panitia pentashih apa
belum
b. segera melaporkan kepada Balitbang Depag bila terdapat mushaf yang
belum ada tanda tashih
e. Pembangunan tempat ibadah
1. pembangunan tempat ibadah perlu izin Kepala Daerah
2. kepala Daerah mengizinkan pendirian sarana ibdah setelah
mempertimbangkan :
• pendapat Kanwil Depag setempat
• planologi
• kondisi keadaan masyarakat setempat
3. Surat permohonan ditujukan kepada Gubernur dilampiri
• Keterangan tertulis dari lurah setempat
• Jumlah umat yang akan menggunakan dan domisili
• Surat keterangan status tanah oleh akntor agraria
• Peta situasi
• Rencana gambar
• Daftar susunan panitia
4. Kepala Daerah membimbing, mengawasi agar penyebaran agama
• Tidak menimbulkan perpecahan
• Tidak disertai intimidasi, bujukan, paksaan dan ancaman
• Tidak melanggar hukum, keamanan, ketertiban umum.

Pemaknaan Kata Jihad dan Implikasinya terhadap Kehidupan


Masyarakat Indonesia

 ☺⬧  ⧫◆


⧫⬧    ◆
 ⧫✓☺◼➔ ⧫
“dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya
sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.

Terma ”jihad” dilansir di dalam al Qur’an sebanyak 41 kali tersebar


dalam 19 ayat. 28 di antaranya berbicara tentang jihad dalam arti perjuangan,
seperti perintah berjihad kepada orang kafir (Q.S Al Furqon, 25:52), berjihad
dan sabar setelah berhijrah (Q.S An Nahl, 16:110), manfaat jihad (Q.S Al
Ankabut:29:6), berjihad dengan harta dan nyawa (Q.S An Nisa,4:95), dan
lain-lain. Kata tersebut secara lugahwi ”jahada-yujahidu-jihad wa mujahadah”.
Karena itu, jika membahas ”jihad” paling tidak ada dua terma lain yang
memiliki kemiripan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad maupun
mujahadah berasal dari satu akar kata (musyataqqoh) yang memiliki makna
keseriusan dan sungguh-sungguh.
Meski demikian ketiga terma tersebut dalm implikasinya ada stressing
dan cakupan wilayah pembehasan yang berbeda-beda. Jihad merupakan
upaya serius dan sungguh-sungguh secara fisik dan meterial, sedangkan
ijtihad lebih ditekankan pada pencurahan rasio (akal) yang dilakukan oleh
para mujtahid dalam mengistimbath hukum maupun menemukan teori-teori
baru di dalam semua disiplin ilmu, sementara mujahadah sebagai
implementasi upaya bersunguh-sungguh secara ruhani yang nantinya
dikembangkan dalam dunia tasauf.
Pembahasan pada tulisan ini akan memperbincangkan terma jihad.
Namun perlu digarisbawahi bahwa terma ketiga yakni mujahadah, menurut
Nabi SAW, adalah tingkatan yang paling berat. Perjuangan dalam mujahadah
selain bersifat pribadi dalam menghadapi gejolak dirinya sendiri (berjuang
melawan hawa nafsu), juga masa waktu perjuangan itu berlangsung secara
berkelanjutan sepanjang hidup dan kehidupan. Karenanya, pembahasan
jihad, jika dihat secara objektif hanyalah terma elemenetary (dasar) dalam
suatu perlawanan hidup dan perjuangannya,
Untuk memperluas wacana diskursus ”jihad” dapat merujuk pada salah
satu literatur kitab klasik yang begitu orisinil pembahasanya yakni kitab
I’anatut thalibin syarah fathul Muin, karya Sayyid Abu Bakar Muhammad
Syatho Ad-dimyathi, adalah salah satu kitab yang sering menjadi rujukan
primer bagi mayoritas santri Indonesia dan bacaan wajib di pesantren salaf
umumnya. Mualif (penulis) kitab tersebut dengan bahasa secara sederhana
mengemukakan suatu ta’bir yang memiliki makna dan imlpikasi luar biasa.
Menurutnya ”al ijtihadu fardhu kafayatuiin marratan fi kulli ’aam”, bahwa jihad
itu hukum fardhu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula,
bahwa bentuk jihad itu ada empat macam, yaitu:
Pertama istbatu wujudillah,
kedua, iqomatu syari’atillah,
ketiga, qital fi sabilillah dan,
keempat, daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.
Bentuk jihad pertama adalah istbatu wujudillah, yaitu menegaskan
eksistensi Allah di muka bumi seperti dengan melantun adzan, takbir serta
bermacam-macam zikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqomatu syari’atillah,
menegakan syariat Allah (baca nilai-nilai agama), seperti sholat, puasa,
zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran dan sebagainya. Bentuk
ketiga, alqital fi sabilillah, berperang di jalan Allah, artinya yang dibenarkan
agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dengan rambu-rambu
yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat, dar’u dlararul ma’shumin musliman
kana au dzimiyyan yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang
harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu muslim maupun kafir dzimmi
(termasuk orang kristiani, majusi, yahudi serta pemeluk agama-agama
lainnya yang bukan menjadi musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut
menurut penulis kitab tersebut dengan mencukupi sandang, pangan, dan
papan, kalau kita implementasikan di negara kita, peranan Bulog, perumnas,
pabrik teksil dan sejenisnya jelas menjadi tanggung jawab pemerintah dan
wajib dikelola secara adil dan benar untuk memenuhi kepentingan
masyarakat Indonesia, jika pemerintah melalaikan tanggung-jawab tersebut
maka dapat digolongkan fajir dan lalim yang wajib digulingkan.
Dari keempat model jihad tersebut, Rais akbar NU, Hadratus syekh
KH. Hasyim Asy’ari ra. merupakan ulama yang pernah menterjemahkan
makna ”jihad” secara kontekstual di bumi Indonesia. Tak kala serdadu sekutu
yang dipelopori Inggris datang di Surabaya pada bulan November 1945,
beliau secara tegas mengeluarkan Resolusi Jihad guna memerangi Sekutu.
Perang yang dimaksud Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary sama sekali tidak
dimaksudkan membela ”agama” an sich, tetapi guna membela tanah air,
termasuk di dalamnya semua komunitas, baik muslim, kristen, hindu, budha,
konghuchu, dan sebagainya.
Wal hasil jihad merupakan upaya pencurahan tenaga secara fisik
yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di
muka bumi guna meng-akurasi-kan tugas manusia sebagai khalifah-Nya.
Berperang mengangkat senjata hanyalah salah satu dari ribuan macam
model jihad, itu pun disertai persyaratan yang harus dipenuhi secara ketat
dan syar’iy dalam berperang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Alwi Al haddad, Risalatul Muawanah, Daar Al Ahya, Arabiyah

Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al Ghozali,


Minhajul A’bidin, , Indonesia-Jiddah-Singapura, Haromain.

Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi


dan Spiritual, Jakarta, Arga, , 2001

Ahmmed, Akbar S, From Samarkand to Stornow; Living Islam, (terjem.


Pengetuningsih), Bandung, Mizan, 1997

Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, jakarta, Grafindo Persada,


1998.

Azhari, Noer Kautsar, Ibn Arabi “Wahdat Al Wujud dalam


Perdebatan”, Paramadina, cet.I, 1995

Basith Muhamad Sayid, Abdul, Silsilat Athibi al Badil, terjem.


Salim Rusdy Cahyono, Tiga Serangkai, Solo, 2004

Bloom, Jonathan and Sheila Blair, Islam Empire of Faith, BBC


Worldwide Ltd, London, 2000

Darajat, Zakiah, Islam dan Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung


Agung, 2001.
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, 2004

Departemen Agama RI, Al Qur’an Tajwid, 2006

Deden, Muhamad Ridwan (Editor), Tradisi Baru Penelitian


Agama Islam;Tinjauan AntarDisiplin Ilmu (Kumpulan Tulisan),
Jakarta, Nuansa, 2001

Departemen Agama, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Jakarta,


2002

Departemen Agama, Islam untuk Disiplin Ilmu Astronomi,


Jakarta, 2002

Departemen Agama, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan


Tinggi Umum, cet.III, 2002

Dimyati Badruzzaman,Ahmad, KH. Drs., Umat Bertanya Ulama


Menjawab. Sinar Baru, Bandung, cet.1, 1993

Ensiklopedi Hadist Qudsi dan Penjelasannya, Pustaka Sunnah,


(terjem. Imaduddin Kamil et.al.,) Jakarta, 2010, cet.II

Ghazali, Abdul Rahim (ed.), Gus Dur Dalam Sorotan


Cendikiawan Muhammadiyah, Bandung, 1999

Hamid Husen, Abdul, KH., Al Asmaul Husna dalam Surah Al


Hasyr; Membentuk Insan Rabbani Jalan Ilahi, Jakarta, tp, 2004

----------------------------------., As Syafii Faqih Yang Sufi, Jakarta,


tp, 1428 H.

-----------------------------------, Untaian Dzkir dan Do’a; Dalam


Sholat Rasulullah SAW, Jakarta, tanpa tahun.

Harahap, Adnan., (penyusun), Islam dan Masa Depan Umat


(Kumpulan Khutbah Istiqlal), Zikrul Hakim, Jakarta, edisi II

Hawari, Dadang, Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan


Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bakti Primayasa, 1993.

Husein bin Muhammad Al Jasar At Thorobalisy, Husunul


Hamidiyah, Surabaya, Hikmah, Tt
Jalaluddin, Imam, Kanzul Roghibin, Daar Al Kotob al Ilmiyah,
Bairut,2001

(Syekh) Jaelani, Abdul Qodir, Sirur Asror wa Mazharul Anwar,


Syiria, Darussanabil, cet.III, 1993

Kontowijoyo, Paradigma Islam, Mizan, Bandung, cet.V ,1993.

Lam Abdullah bin Ibrahim, Fiqh Finansial (terjem. Abu Sarah


et.al), Solo, Intermedia, 2004

Majid, Fakhry, Etika, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996

Maskawaih, Ibnu, Tahdzib al-Ahlaq, Mesir: Al Mathba’ah Al-


Mishriyah 1934.

Mubarok, Ahmad, Jiwa dalam Al-Quran; Solusi Krisis


Kerohanian Manusia Modern, Jakarta: Paramadina, 2000.

-----------------------, Pendakian Menuju Allah; Bertasauf dalam


Kehidupan sehari-hari, Jakarta: Paramadina, 2002.

----------------------, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; Sebuah


Pendakian Psikologi Islam, Jakarta, IIIT Indonesia, 2003.

-----------------------, Panduan Akhlak Mulia; Membangun Manusia


dan Bangsa Berkarakter,Jakarta, PT Bina Rena Pariwara,
Paramadina, 2001.

Muiz, Abdul, Panduan Sholat Terlengkap, Mustaka Makmur,


2013.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta:UI Press,
1990.
Musfah, Jejen.,et.al, Doa ajaran Ilahi; Kumpulan Doa dalam Al
Qur’an beserta Tafsirnya, Bandung, Hikmah, cet.III, 2002

Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa


Perbandingan, Jakarta, UI Press, 1986

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta,


Bulan Bintang, 1995, cet. 9

(Imam) Nawawi, Hadits Arbain, (terjem. Muhammad Thalib),


Yogyakarta, Media Hidayah.
Nurhayati, Sri et.al., Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta,
Salemba Empat, 2008.cet.1

Rasjid, K.H Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru, 1987

Sangkan, Abu, Pelatihan Sholat Khusyu’, Jakarta, cet.VII, Baitul


Ihsan, 2006

Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Bairut, Darul Fikri, 1983

Shibab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet. IX, 1999


----------------------,, Menyingkap Tabir Ilahi, Ciputat, Lentera hati, , cet. IV,
2001
---------------------, Dia Dimana Mana ”Tangan Tuhan DI Balik Setiap
Fenomena, Ciputat”, Lentera hati, cet.XII, 2012

Sholeh, Moh. Terapi Salat Tahajud; Menyembuhkan berbagai


Penyakit, Jakarta, Hikmah, cet. XI, 2007

Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani, Jakarta, Misaka Galiza,


cet.II2001

Saleh, E. Hassan, Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta:


ISTN, 2000.

Salman, Soemadiningrat, H.R Otje.,et.al., Menyikapi dan


Memaknai Syariat Islam secara Global dan Nasional, Bandung,
Refika Aditama, , 2004.

Sirajd, Said Aqiel, Prof, DR, KH.,Islam Kebangsaan; Fiqih


Demokratik Kaum Santri, 1999, Jakarta, Pustaka Ciganjur.

(Syekh) ‘Uwaidah, Kamil Muhammad, Al Jami Fi Fiqhi An Nissa


(diterjem. M.Abdul Ghofar E.M.), Jakarta, Pustaka Al Kautsar,
1998.

(Syekh) Shafiyyurahman Al Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,


(penterjemah: Kathur Suhardi), Jakarta, Pustaka Kaustar, cet.II,
2007

Zainuddin bin Abdul Aziz Al Ma’bari, Ahmad, Fath’u Muin bi


Syarah Qurratu A’in bi Muhimmatil Aldien, Bairut, Dar Ibn Hazm,
2004.
(Syekh) Zakaria, Muhammad Al Khandhalawi (rh), Fadhail
A’mal, (penyunting oleh Mustafa Sayani, et.al.,), Bandung,
Pustaka Ramadhan, 2001

JURNAL, SURAT KABAR DAN MEDIA ONLINE


Majalah Cahaya Sufi, Edisi No 44 Mei 2008
Harian Republika, Dialog Jumat,15 Maret 2010.
www.nu.or.id

Anda mungkin juga menyukai