Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

Kerajaan – Kerajaan Sekitar Keruntuhan Dinasti Abbasiyah

Di Susun Oleh :
DEA PRIANI | NIM : 1052022079
DITA SAPUTRI | NIM : 1052022085

Dosen Pengampu : YUSTIZAR, M.Pd.I

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)


PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
INSTITUD AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT
yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga
penulis diberi untuk menyelesaikan makalah tentang “Kerajaan – Kerajaan Sekitar
Keruntuhan Dinasti Abbasiyah”. Makalah ini ditulis untuk memenuhi syarat nilai
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya


kepada Yustizar, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam. Serta setiap pihak yang telah mendukung serta membantu penulis selama
proses penyelesaian tugas ini hingga selesainya makalah ini.

Pada makalah ini akan dibahas mengenai invasi bangsa Mongol, Dinasti
atau Kerajaan – Kerajaan Setelah Keruntuhan Dinasti Abbasiyah. Makalah ini
berisi paparan tentang Terjadinya invasi bangsa Mongol, Sebab – Sebab ternjadinya
invasi bangsa mongol, Dinasti Fatimiyah, Dinasti Aiyubiyah, dan Dinasti Mamilik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih jauh dari
sempurna serta kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan penulis.
Maka dari itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.

Langsa, 17 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
A. Invasi Bangsa Mongol ....................................................................................3
B. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Invasi Bangsa Mongol ......................6
C. Dinasti Fatimiyah ...........................................................................................8
D. Dinasti Aiyubiyah .........................................................................................12
E. Dinasti Mamilik ............................................................................................18
BAB III PENUTUP ..............................................................................................23
A. KESIMPULAN ............................................................................................23
B. SARAN.........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai umat manusia yang beragama, kita memiliki peran penting
dalam menjalani kehidupan di Muka bumi sebagai Pemimpin (Khalifah fil
Ard) yang mengharuskan kita untuk menjadi pribadi yang berakhlak dan
berbudi pekerti luhur.
Sejarah dunia mencatat, bahwasanya Bangsa Mongol mulai muncul
pada penghujung abad Ke-12 atau awal Abad Ke-13 M. Awalnya mereka
merupakan sebuah kumpulan masyarakat yang mendiami daerah antara
gurun pasir Gobi dan Danau Baikal. Kehidupan mereka dikenal dengan
kehidupan Bar-bar; tidak mengenal kebersihan dan memakan semua daging
binatang. Mereka menyembah benda-benda alam Seperti matahari, Sungai,
dan berbagai peristiwa alam lainnya.
Terlepas dari karakteristik bangsa Mongol tersebut, mereka juga
melakukan Ekspansi ke berbagai daerah dari mulai Asia hingga ke Timur
tengah termasuk Kerajaan-kerajaan Islam. Kisah Ekspansi bangsa Mongol
ke Kerajaan-kerajaan Islam merupakan sebuah kisah yang menyedihkan
khususnya bagi umat Islam pada masa tersebut. Dalam makalah ini, penulis
akan membahas tentang asal usul dari Bangsa Mongol, masa kekuasaan,
invasi terhadap Kerajaan Islam, serta dampaknya terhadap Kerajaan Islam
khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Selain daripada itu, pada masa itu ada beberapa kerajaan islam yang
masih berdiri di antaranya yaitu : Dinasti Fatimiyah, Dinasti Aiyubiyah, dan
Dinasti Mamalik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Kapan Terjadinya Penyerangan Bangsa Mongol
2. Apa Penyebab Terjadinya Penyerangan Bangsa Mongol
3. Apa Itu Dinasti Fatimiyah

1
4. Apa Itu Dinasiti Aiyubiyah
5. Apa Itu Dinasti Mamalik

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui Kapan Terjadinya Penyerangan Bangsa Mongol
2. Unttuk Mengetahui Apa Penyebab Terjadinya Penyerangan Bangsa
Mongol
3. Untuk Mengetahui Apa itu Dinasti Fatimiyah
4. Untuk Mengetahui apa itu Dinasti Aiyubiyah
5. Untuk Mengetahui apa itu Dinasti Mamalik

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Invasi Bangsa Mongol


Bangsa Mongol berasal dari daerah di Pegunungan mongolia, yang
membentang dari asia tengah sampai ke Siberia utara, Tibet selatan, dan
Manchuria barat serta Turkistan timur. Dahulu mulanya masyarakat mongol
adalah suatu masyarakat yang hidup di hutan. Mereka mendiami hutan
siberia dan Mongolia luar di antara gurun pasir Gobi dan danau Baikal.
Mereka pun salah satu keturunan dari rumpun bangsa Tar-tar.1
Bangsa Mongol adalah salah satu bangsa yang berambisi terhadap
kekuasaan. Salah satu yang membuatnya terkenal adalah salah seorang
pemimpinnya yang bernama Temujin atau dikenal sebagai Genghis Khan,
bahkan ia dikenal sebagai Alexander for Asia karena kekuasaannya yang
sangat luas dan membentang di berbagai penjuru dunia. Kekaisaran Mongol
yang dibangun pada tahun 1206 telah mampu mengusai wilayah seluas
sekitar 24 Juta KM 2 . Selama beberapa abad, bangsa Mongol hidup secara
Nomaden (Berpindah-pindah) dari daerah satu ke yang lain yang
wilayahnya dalam lingkup daerah Manchuria hingga Turkistan. Mereka
ditakuti karena sering kali melakukan penyerangan yang dahsyat
kehancurannya terhadap Kafilah yang sedang melakukan perjalanan
menyusuri jalur sutra.
Dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, Bangsa mongol bergantung
pada hasil perdagangan tradisional melalui pertukaran antara bangsa Turki
dan bangsa Cina yang merupakan tetangga mereka. Sebagai bangsa yang
Nomaden, mereka memiliki sifat yang kasar, suka berperang, dan berani
mati demi mewujudkan ambisi dari Politiknya. Nenek moyang bangsa
mongol adalah Alanja Khan yang kemudian dikaruniai putra kembar,
dimana nantinya kedua putranya ini akan melahirkan keturunan Bangsa Tar-

1
M. Abdul Karim. 2006. Islam di Asia Tengah Sejarah Dinasti Mongol-Islam. Yogyakarta:
Bagaskara (Hal 11).

3
tar dan Mongol. Kebanyakan bangsa mongol tidak menganut ajaran agama
yang ada di sekitar lingkungan mereka, mereka lebih konsisten taat dan
patuh terhadap ajaran dari nenek moyang mereka, Ajaran yang dianut oleh
bangsa mongol dinamakan ajaran Agama Syamaniyah, yakni menyembah
Benda alam seperti bintang dan matahari. Adapun agama samawi sampai ke
mereka karena invasi yang dilakukan oleh mereka sendiri.
Dalam banyak catatan sejarah barat maupun Islam, kesan yang
muncul ketika membaca tentang bangsa mongol adalah tentang kekejaman
yang dilakukannya pada masa lampau. Misalnya ketika penyerangan
mereka ke kota Baghdad yang merupakan pusat peradaban dinasti
Abbasiyah sekaligus simbol pusat kekuasaan dan peradaban Islam, mereka
meluluhlantakkan dan membumiratakan kota Baghdad. Bahkan akibat
kekejamannya pasukan mereka membuat Sungai Tigris dan Eufrat yang
mengapit kota Baghdad berubah menjadi warna merah kehitaman, warna
merah akibat dari darah dan hitam akibat dari Tinta yang berasal dari kitab-
kitab berisi berbagai pengetahuan umat Islam dibuang ke kedua sungai
tersebut. Sejarah juga mencatat bahwa setelah beberapa penghancuran yang
telah dilakukan oleh bangsa mongol, peradabannya mengalami perubahan
drastis. Bangsa Mongol yang semula barbar telah berubah menjadi bangsa
yang mencintai dan mampu membangun kembali peradaban yang dulu
pernah dihancurkannya, yakni peradaban Islam. Salah satu bukti nyatanya
adalah Taj Mahal, salah satu keajaiban dunia yang merupakan karya agung
dari dinasti Mughal (Mongol) di India.
Penaklukan kota Baghdad oleh tentara Mongol pada tahun 1258,
dikenal sebagai titik balik kejadian yang mengubah wajah peradaban Islam
hingga hari ini. Ironisnya, durasi penaklukan ini hanya berlangsung selama
13 hari, dari tanggal 29
Januari sampai 10 Februari 1258 M. Dikabarkan, selama berhari-
hari pasukan Mongol menyiksa, memperkosa, dan menganiaya penduduk
Baghdad tanpa henti. Tidak jelas tepatnya jumlah korban dalam agresi ini.
Namun para ahli memperkirakan, 90.000 sampai 1 juta rakyat Baghdad

4
meregang nyawa. Aroma cendana dari perabotan berkualitas tinggi dan
naskah-naskah akademik yang terbakar menyeruak seantero Baghdad
selama berhari-hari. Sekitar 3000 bangsawan kekhalifahan Abbasiyah di
hukum mati. Dan Al-Musta’sim, Khalifah ke-37 Bani Abbas, dibiarkan
hidup sambil menyaksikan kekejaman ini selama berhari-hari, hingga ia
akhirnya ikut dieksekusi dengan cara yang tragis.
Terlepas dari kemampuan militernya yang hebat, Mongol tidak
menonjol secara kebudayaan. Walaupun para pemimpin Mongol
mengundang para ahli ke pusat pemerintahannya untuk membangun negeri
itu, tetapi bangsa Mongol sendiri tidak tampil sebagai ilmuwan, sastrawan,
atau arsitek. Mereka tetap memainkan peran yang sama sebagaimana
sebelumnya, yaitu sebagai tentara dan penunggang kuda yang tangguh.
Kekosongan di lapangan peradaban otomatis diisi oleh bangsa-bangsa
lainnya, dan kaum Muslimin memiliki peranan yang besar dalam hal ini.
Kemudian mulailah para pimpinan Bangsa Mongol di daerah-daerah yang
di taklukkan seperti di timur tengah masuk Islam, dan pada akhirnya
mayoritas pasukan Mongol yang menguasai daerah di timur tengah pun
masuk Islam. Mereka kagum dengan budaya mulia Islam, dengan ilmu
pengetahuannya, dengan sistem hukumnya, ekonominya serta Ideologinya
yang sangat maju.
Para pemimpin inilah yang akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan
Imperium Mongol dan justru tunduk pada kekuasaan Khilafah Islam di
Mesir. Para penguasa daerah taklukan Mongol akhirnya mendirikan
Kesultanan Mongol seperti di India, dan Turki. Setelah para pasukan dan
pimpinan Mongol di timur tengah masuk Islam, maka akhirnya kekuatan
Imperium Mongol pun rontok satu per satu. Kekuasaan Mongol di Eropa
berhasil direbut kembali oleh bangsa-bangsa Eropa karena tidak ada
dukungan dari Timur Tengah, sedangkan di Timur Tengah para penguasa
Mongol melepaskan diri dari Imperium Mongol karena tunduk pada Islam.
Dan puncaknya adalah kekuatan terakhir Imperium Mongol yaitu Dinasti
Yuan di Cina, dikudeta oleh kaum muslim dan rakyat Cina.

5
B. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Invasi Bangsa Mongol
Tentara Mongol melakukan invasi terhadap wilayah-wilayah islam
bukanlah tanpa alasan. Artinya terdapat faktor-faktor yg mendorong mereka
untuk melakukannya. Diantara alasan-alasan itu adalah sebagai berikut :

a. Sikap ambisius penguasa Mongol menjadi satu-satunya penguasa di


muka bumi.
Keberhasilan bangsa Mongol, sejak masa kepemimpinan Jenghis
Khan, Hulagu Khan sampai masa Timur Lenk menguasai dan menduduki
wilayah- wilayah Islam didorong oleh ambisi untuk menjadikan mereka
satu-satunya penguasa di muka bumi. C.G.E. Von Grunebau menyatakan
“The Mongol under Jenghis Khan were seeking to realize the ideology
of the world state: one god in heaven, one ruler of hearth”.2 Sebagai
ambisinya, Timur Lenk menyusun rencana menaklukan daerah-daerah
yang pernah diambil alih oleh Jenghis Khan. Ia pernah menyatakan
bahwa jika di alam ini hanya ada satu tuhan, di bumi ini pun seharusnya
hanya ada satu raja.3
Para pemimpin Mongol sangat tidak menghendaki jika di bumi ini
ditemukan ada penguasa dari kerajaan lain yang bisa hidup
berdampingan. Mereka sangat tidak menginginkan adanya sebuah
kekuasaan politik, selain kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang
Mongol. Ini artinya bangsa Mongol harus menjadi bangsa penguasa di
atas bangsa-bangsa lain.

b. Ekspansi wilayah
Wilayah asal bangsa Mongol sebenarnya tidak terlalu luas. Bangsa
Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang secara umum,
wilayah-wilayah tersebut adalah wilayah padang pasir dan padang

2
C.G.E.Von Grunebaun, Classical Islam : a history 600-1258, translated by Catherine
Watson, Chicago : Aldine Publishing Company, 1970, hlm. 199-200.
3
Badri Yatim. Sejarah peradaban islam. Jakarta. Raja grafindo persada. 1997. hlm. 119.

6
rumput yang hanya cocok untuk kegiatan beternak atau berburu. Dengan
demikian, sumber penghidupan di wilayah ini sangat terbatas.
Dalam rangka meningkatkan kehidupannya, upaya melakukan
perluasan wilayah adalah cara tepat yang dilakukan bangsa Mongol
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini tentu saja menjadi
pendorong utama setelah bangsa Mongol berhasil membangun institusi
kekuasaan yang dibentuk Jenghis Khan, Hulagu Khan dan Timur Lenk.
Dengan demikian, perluasan wilayah menjadi sebuah tuntutan, terlebih
negeri-negeri yang berada di sekelilingnya merupakan wilayah yang
subur dan bisa menyediakan segala kebutuhan bangsa Mongol.4

c. Mencari kekayaan dan sumber-sumber makanan


Jumlah penduduk yang besar dan harapan hidup yang akan nomaden
dan hanya mengandalkan hidup dari berburu jelas tidak akan cukup.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari yang sangat besar, upaya menjadi
tentara yang terlibat dalam peperangan sudah menjadi tuntutan. Harapan
mereka, dengan bergabung menjadi tentara, orang-orang Mongol akan
banyak mendapatkan ghanimah atau harta rampasan perang. Oleh karena
itu menjadi seorang tentara merupakan suatu kebanggaan bagi orang-
orang Mongol. Dengan kata lain, dengan menjadi tentara, kehidupannya
akan terangkat.
Pada saat Timur Lenk selesai melakukan penjarahannya di Indi, ia
meminta kepada rakyat-rakyat di negeri yang telah ditaklukannya untuk
membayar upeti. Jika ada rakyat yang membangkang, ia mengambil
tindakan tegas dengan ditawan atau dibunuh.

d. Pembalasan terhadap perlakuan tidak simpatik kaum muslim.


Sebenarnya tidak dimungkiri bahwa terjadinya invasi bangsa
Mongol ke negeri-negeri Islam pada abad ke-13 dipicu oleh perilaku

4
Kusdiana, Ading. Sejarah Peradaban Islam Periode Pertengahan. Bandung. Pustaka
Setia. Hlm.66

7
orang-orang islam sendiri, khususnya orang Islam dari dinasti
Khawarizm.5
Pertama, ketika delegasi pengusaha Mongol membawa banyak
harta ke negara Khawarizm dengan maksud untuk membeli baju produk
negara Khawarizm. Wazir dinasti Khawarizm mengirim surat berisi
rayuan kepada Sultan Alal Ad-Din untuk merapas harta yang dibawa oleh
pengusaha Mongol. Sultan terbujuk, sehingga memerintahkan untuk
membunuh seluruh delegasi pengusaha tersebut dan merampas
hartanya.6 Tindakan ini menjadi dasar legal bagi Jenghis Khan untuk
melakukan penyerbuan.
Kedua, ketika Jenghis Khan mengirim utusan kepada sultan untuk
mengantarkan surat , menanyakan apakah pembunuhan tersebut atas
perintahnya atau tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi, sultan
memerintahkan untuk memenggal utusan Jenghis Khan.
Ketiga, sultan Khawarizm menyiapkan pasukan kemudian
menyerang kedaulatan “Negara Mongol” yang pada saat itu sedang sibuk
berperang melawan negara tetangganya, dengan merampas kekayaan dan
menawan kaum wanita dan anak-anak.7
Mengacu dari peristiwa tersebut, satu-satunya jalan yang harus
dilakukan adalah menyiapkan pasukan untuk memerangi kaum muslim
dan menguasai negaranya.

C. Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah mampu berdiri kokoh tidak lepas dari adanya
sikap kecewa kaum Syiah terhadap pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dalam
perkembangannya, ketika Dinasti Abbasiyah ini sudah berdiri, para
penguasa awalnya tidak menghendaki adanya kekuatan lain dalam
pemerintahannya. Maka dari itu timbul upaya-upaya untuk menyingkirkan

5
Kusdiana, Ading. Sejarah Peradaban Islam Periode Pertengahan. Bandung. Pustaka
Setia. Hlm 66
6
Muhammad Sayyid Al-Wakil, hlm.229-230
7
ibid

8
kekuatan lain, tidak terkecuali kaum Syiah yang awalnya menjadi
pendukung utama Dinasti Abbasiyah. Tentu saja dengan adanya sikap yang
demikian membuat kaum Syiah merasa kecewa dan mereka merasa
dikhianati oleh Dinasti Abbasiyah. Dengan sikap tersebut pada akhirnya
kaum Syiah bertekad untuk mendirikan sebuah negara yang akan menjadi
pesaing terberat bagi Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti Fatimiyah.8
Setelah sebelumnya kaum Syi’ah yang berpusat di Ifriqiah sangat
terpinggirkan dalam hal politik dan tersingkir dari kekhalifahan serta
lingkaran kekuasaan. Beberapa di antara mereka menjadi incaran yang
dicari di kawasan Timur Islam pada masa Dinasti Umayyah3 dan
Dinasti Abbasiyah. Sehingga untuk menyembunyikannya mereka
menerapkan kebijakan yang dikenal dengan taqiyah. Berbeda dengan
pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Dinasti Fatimiyah ini didirikan oleh Said Ibn Husayn (yang bergelar
Ubaidillah al-Mahdi) pada tahun 909 M. Said Ibn Husyain merupakan
keturunan dari pendiri kedua dari sekte Ismailiyah.9 Seperti cita-cita pada
awal pendirian dinasti ini yang menginginkan negara dengan mayoritas
pengikutnya kaum Syiah. Maka dinasti ini mengadopsi sebuah madzhab
yang kemudian menjadi sebuah mazdhab resmi negara yang disesuaikan
dengan paham keagamaannya yaitu Syiah Ismailiyah. Paham Syiah ini
kemudian menjadi sebuah ideologi ideologi Dinasti Fatimiyah dan
sekaligus menjadi pijakan dalam konstitusi negara.10
Kekuasaan Daulah Fatimiyah terbagi menjadi dua periode, yaitu
periode Afrika Utara (909-975M) dan periode Mesir (975-1171 M).
Terhitung selama 65 tahun, sejak 909 M sampai 974 M Daulah
Fatimiyah melakukan perluasan wilayah kekuasaan. Saat dinasti ini

8
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta : Teras,
2012) hlm 2
9
Philip K. Hitti, History Of The Arab, Terj.Cecep Lukman Dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka, 2008) hlm 787
10
Muhammad Suhail Thaqqusy. Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta :
PustakaAl Kautsar, 2015), hlm 3

9
berkuasa di Afrika Utara, kebijakan politik lebih ditekankan pada
perluasan wilayah dan usaha pembangunan wilayah- wilayah tersebut
menjadi wilayah yang berdaya guna. Kekuasaan Dinasti Fatimiyah itu
membentang cukup luas dari Samudra Atlantik di Sebelah Barat dan Sungai
Euphrat di Sebelah Timur, Pulau Sisilia di Sebelah Utara dan Yaman di
Sebelah Selatan.11 Sementara itu berpindahnya ibukota ke Mesir karena
khalifah al-Muiz ingin Dinasti ini lebih menguasai wilayah-wilayah
sekitarnya dan memanfaatkan letak geografis Mesir.
Pada tahun 975-1171 M Dinasti Fatimiyah berkuasa di Mesir.
Kemajuan Dinasti Fatimiyah terjadi pada masa khalifah al-Muiz, al-Aziz,
dan al-Hakim. Akan tetapi kemajuan yang sangat pesat terjadi ketika al-
Aziz menjadi khalifah menggantikan ayahnya yakni al-Muiz. Kemajuan-
kemajuan cukup signifikan yang telah dicapai tersebut terjadi setelah
sentral kekuasaanya berpindah dari Ifriqiah ke Mesir, dan berhasil
memperluas wilayahnya.
Sementara itu, dalam bidang perekonomian, Mesir saat itu menjadi
pusat perdagangan dan mengungguli perekonomian dari daerah-daerah
yang lainnya. Hubungan perdagangan dengan non muslim dibina dengan
baik. Ekonomi mereka didukung dengan hasil pertanian yang unggul dan
juga hasil perindustrian yang berkualitas. Mesir kala itu menjadi jembatan
perdagangan antara Asia Timur dan Eropa. Pemerintahan Dinasti Fatimiyah
membangun prinsip perdagangan secara bebas dan terbuka. Bahkan
pedagang hanya diberi beban pajak impor-ekspor.12
Sementara perbedaan kultur keagaamaan dalam kehidupan sosial
masyarakat Islam di Mesir tetap berjalan harmonis dan mampu membawa
Dinasti Fatimiyah pada era kemajuan peradaban. Hal itu bisa kita lihat
bagaimana kemajuan Dinasti ini mencapai puncaknya pada periode Mesir,
terutama pada kepemimpinan Al-Mu’izz, Al-Aziz dan Al-Hakim.

11
Imam Fuadi, Op. Cit, hlm 5
12
ibid, hlm 8

10
Dalam pencapaian puncak kejayaannya Dinasti Fatimiyah ditandai
dengan pesatnya perkembangan aspek pendidikan, pemerintahan, agama,
ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, seni dan arsitektur. Sehingga bisa
dikatakan bahwa Dinasti Fatimiyah telah memberikan konstribusi besar
terhadap perkembangan dan kemajuan dalam dunia Islam saat itu.
Sumbangsih tersebut dapat dilihat dari berbagai karya-karyanya yang
monumental, baik dalam bentuk fisik material seperti bangunan-bangunan,
ornamen-ornamen, tata kota dan lain sebagainya maupun dalam bentuk
berbagai bidang yang tertuang dalam bentuk buku-buku rujukan.
Tak hanya itu sejumlah dinasti yang berlatar belakang Syiah
telah memainkan peran yang cukup penting dalam dinamika sosial
masyarakat Islam saat itu. Hal ini muncul dengan adanya sikap toleransi
yang diterapkan oleh beberapa dinasti Islam. Sikap toleransi inilah yang
pada akhirnya menjadikan hubungan yang sangat erat antara masyarakat
Islam kala itu, sekalipun berbeda mazhab/aliran keagamaan.
Syi’ah dan Sunni merupakan dua aliran keagamaan yang saling
bertolak belakang, di mana kedua aliran ini sering terlibat konflik yang
berkepanjangan. Tidak hanya itu, keberadaan dua ideologi ini mampu
menciptakan persaingan yang sangat sengit dan ketika disatukan maka yang
terjadi adalah konflik. Pada zaman Dinasti Buwaihi11 (945-1005) yang
ketika itu masih menjadi bagian dari kekuasaan Daulah Abbasiyah sempat
terjadi perseteruan dan perselisihan antara Syiah dan Sunni, pada masa
Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’iz al-Daulah) ia berusaha merubah paham
kekhalifahan dari sunni menjadi syiah namun usahanya mengalami
kegagal karena tidak mendapatkan respon dari masyrakat.
Contoh yang menarik dari sikap toleransi ini terjadi pada masa
Dinasti Fatimiyah khususnya pada masa Khalifah al-Aziz, dimana Syi’ah
dan Sunni hidup berdampingan, bahkan saling bahu membahu dalam
membangun peradaban Islam yang tinggi. Bukti dari sikap toleransi Syiah
terhadap Sunni yakni orang- orang Syiah yang menjadi mayoritas tidak

11
menghapuskan Sunni dari negaranya bahkan mengangkat orang-orang
Sunni menjadi bagian dari struktur pemerintahan.13
Tidak hanya sikap toleransi antara Syiah dan Sunni pada masa
dinasti ini juga terdapat toleransi kepada penganut agama lain seperti
terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang banyak di angkat menjadi
bagian dari pemerintahannya. Terdapat beberapa orang nonmuslim mereka
menjadi menteri bahkan menjadi dokter khalifah.14 Dengan adanya
toleransi yang demikian posisi Dinasti Fatimiyah sebagai dinasti atau
kerajaan baru mampu membuktikan kepada Dinasti Abbasiyah bahwa
dinasti Fatimiyah mampu menjadi pesaing utama.
Dari semua kemajuan yang telah diraih oleh Dinasti Fatimiyah telah
membuktikan bahwa umat Islam memberikan andil besar dalam
membangun peradaban umat manusia. Peradaban besar yang telah
dihasilkan beberapa abad silam ini bukanlah sesuatu yang datang tanpa
sebab dan terjadi begitu saja, tetapi telah melalui proses panjang dalam
relitas sejarah Islam. Kemudian, warisan peradaban Islam menjelma
menjadi warisan sejarah Islam yang tak tertandingi oleh sejarah agama
manapun.15
Dari kegemilangan yang telah dicapai oleh Dinasti Fatimiyah
tersebut, maka cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut dan lebih mendalam
terkait aspek sosial-ekonomi dan pemerintahan yang telah membesarkan
Dinasti Fatimiyah sebagai salah satu dinasti besar Islam yang pernah ada
dalam sejarah besar perjalanan umat Islam. Terutama, antara tahun
975-996 M pada masa pemerintahan Khalifah al-Aziz.

D. Dinasti Aiyubiyah
Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyarbakr
hingga tahun 1249 M. Dinasti ini di dirikan oleh Shalahuddin Yusuf al-

13
Muhammad Suhail Thausiqqusy, Op. Cit. hlm.362
14
Ibid
15
Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2014) hlm 114

12
Ayyubi, wafat tahun 1193 M.16 Ia berasal dari suku Kurdi, putra Najwaddin
Ayyub, dimasyurkan oleh bangsa Eropa dengan nama “Saladin” Pahlawan
Perang Salib.17 Keberhasilannya dalam perang Salib, membuat para tentara
mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah
meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap
mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang di dirikan oleh Dinasti
Fathimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi
Sunni. Dinasti Ayyubiyah berdiri di atas puing-puing Dinasti Fatimiyah
Syi‟ah di Mesir. Di saat Mesir mengalami krisis di segala bidang maka
orang-orang Nasrani memproklamirkan perang Salib melawan Islam,
yang mana Mesir adalah salah satu Negara Islam yang di intai oleh Tentara
Salib.18
Shalahudin Yusuf Al-Ayyubi seorang panglima tentara Islam tidak
menghendaki Mesir jatuh ke tangan tentara Salib, maka dengan sigapnya
Shalahudin mengadakan serangan ke Mesir untuk segera mengambil alih
Mesir dari kekuasaan Fatimiyah yang jelas tidak akan mampu
mempertahankan diri dari serangan Tentara Salib. Menyadari
kelemahannya dinasti Fatimiyah tidak banyak memberikan perlawanan,
mereka lebih rela kekuasaannya diserahkan kepada shalahudin dari pada
diperbudak tentara Salib yang kafir, maka sejak saat itu selesailah
kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir, berpindah tangan ke Shalahudin
Yusuf al-Ayyubi.
Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah
mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci
yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu bisa terlepas dalam
sekejap mata. Mereka sadar akan kesalahan mereka karena terpecah
belah. Para ulama telah berbincang dengan para Sultan, Amir dan Khalifah
agar mengambil keputusan dalam masalah ini. Usaha mereka berhasil.

16
C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, Terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993), 84.
17
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
(Bogor: Kencana, 2003), 149.
18
Karen Armstrong, Islam sejarah Singkat (Yogyakarta: jendela, 2002), 127.

13
Setiap penguasa negara Islam itu bersedia bergabung tenaga untuk
merampas balik kota Suci tersebut. Di antara pemimpin yang paling gigih
dalam usaha menghalau tentara Salib itu ialah Imanuddin Zanki dan
diteruskan oleh anaknya Amir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh
panglima Asasuddin Syirkuh.19
Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul
Maqdis, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi baru lahir ke dunia, yakni pada tahun
1138 M. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan.
Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau
pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin. Selain itu,
Shalahuddin juga mendapat pendidikan dari ayah saudaranya Asasuddin
Syirkuh seorang negarawan dan panglima perang Syria yang telah berhasil
mengalahkan tentara Salib baik di Syria ataupun di Mesir.20 Dalam setiap
peperangan yang dipimpin oleh panglima Asasuddin, Shalahuddin
senantiasa ikut sebagai tentara pejuang sekalipun usianya masih muda.
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin
tentaranya merebut dan menguasai Damaskus. Shalahuddin yang ketika itu
baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163
M, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang
ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir
yang diperintah oleh Aliran Syiah Ismailiyah yang semakin lemah.
Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah
dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan
tetapi, Wazir besar Shawar merasa cemburu melihat Syirkuh semakin
populer di kalangan istana dan rakyat.21
Dengan diam-diam dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan
dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari pada berkuasa di Mesir.

19
Philip K. Hitti, History of The Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), 811.
20
Badri yatim, Op.Cit. Hal 78
21
Shobarun W.H.S, Lintasan Sejarah Perang Salib; Antara Hikmah dan Ibroh (Bangil: CV
al- Muslimun, Oktober 1994), 94.

14
Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Yerussalem menerima
baik ajakan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin
dengan raja Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah
menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin
dan Shalahuddin dibenarkan palung ke Damaskus.22
Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah
menimbulkan kemarahan Amir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam
lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkannya tentara yang besar yang
tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi
untuk menghukum si pengkhianat Shawar. Raja Almeric terburu-buru
menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah
mendengar kemarahan pasukan Islam.23 Akan tetapi Panglima Syirkuh kali
ini bertindak lebih baik dan berhasil membinasakan pasukan raja Almeric
dan menghalaunya dari bumi Mesir dengan baik sekali.
Panglima Shirkuh dan Shalahuddin terus masuk ke ibu kota Kairo
dan mendapat tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan
Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan
bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan
menyambut kedatangan panglima Syirkuh buat kali kedua.
Suatu hari panglima Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi berziarah ke
kuburan seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai
bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap Shawar, dibawa ke
istana dan kemudian dihukum mati.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi
Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir Baru itu segera melakukan
perbaikan dan pembersihan pada setiap institusi kerajaan secara berjenjang.
Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi
diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-

22
Ibid., 95.
23
Machfud Syaefudin, et el, Dinamika Peradaban islam; Prespektif Historis (Yogyakarta:
Pustaka Ilmu, 2013), 139.

15
kota sepanjang sungai Nil sehingga Assuan di sebelah utara dan bandar-
bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
Al-ayyubi diakui sebagai khalifah Mesir oleh Al-Muhtadi,
Dinasti Bani Abbas pada tahun 1175 M, kemudian Al-Ayyubi berhasil
menguasai Aleppo dan Mosul. Untuk mengantisipasi pemberontakan dari
pengikut Fatimiyah dan serangan dari Tentara Salib, Shalahuddin Yusuf al-
Ayyubi membangun benteng bukit di Mukattam, pusat pemerintahan dan
Militer.24
Sebagian waktu Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dihabiskan untuk
menghalau tentara salib, sehingga mereka berhasil menguasai kota
Yerussalem. Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslim sangat memukul
perasaan Tentara Salib sehingga mereka merencakan serangan balasan.
Pasukan salib ini dipimpin oleh tiga raja, yaitu : Predrick Banbarossa (Raja
Jerman) Richard The Lion Hart (Raja Inggris), dan Philiph Augustus (Raja
Perancis) pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M yang mendapat
tantangan berat dari Salah Al-Din, yang berhasil merebut Akka yang
dijadikan lbu kota Latin. Namun mereka tidak berhasil memasuki Palestina.
Pada tahun 1199 M, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi meninggal
di damaskus, dan digantikan oleh saudaranya, sultan al-„Adil. Pada tahun
1218 M, al-Adil meninggal setelah kalah perang melawan Pasukan Salib
dan kota Dimyath jatuh ke tangan Tentara Salib. Setelah meninggal al-„Adil
digantikan oleh oleh al-Kamil.
Al-Kamil melanjutkan perang melawan tentara salib. Akan tetapi,
antara al-Kamil dengan saudaranya Al-Mulk al-Mu‟azham (gubernur
Damaskus) terjadi konflik. Al-Kamil merasa bahwa al-Mu‟azham akan
menyingkirkannya. Oleh karena itu, al-Kamil mengirim duta kepada
Frederick Barbarossa dengan menawarkan kerjasama dan Yerussalem
di jadikan sebagai imbalan atas bantuan Frederick.25

24
K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pramodern, Terj. Ghufron A. Mas‟adi, 1996
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 279.
25
Badri Yatim, Op.Cit. Hal.79.

16
Setelah meninggal al-Kamil digantikan oleh putranya, Abu Bakar
dengan gelarnya al-Adil II (berlangsung selama tiga tahun). Kepemimpinan
Abu Bakar ditolak oleh saudaranya, al-Malik al-Shalih Najm al-Din Ayyub.
Budak-budak Abu Bakar bersengkongkol dengan al-Malik al-Shalih
sehingga berhasil menjatuhkan Abu Bakar dan mengangkat al-Malik al-
Shalih Najm al-Din Ayyub (1240-1249M) sebagai Sultan. Selama al-Malik
al-Shalih menjadi pemimpin, pamannya, Ismail bekerja sama dengan
pimpinan Pasukan Salib. Frank mengepung Damaskus. Al-Malik dapat
mematahkan konfras tersebut dan mengalahkan pasukan Frank di dekat
Gaza.26
Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi berhasil mendirikan tiga buah
Madrasah di kairo dan iskandariyah untuk mengembangkan Mazhab Sunni.
Al-Kamil mendirikan sekolah Tinggi al-Kamiliyah yang sejajar dengan
perguruan tinggi lainnya. Ibnu Khalikan menggambarkan bahwa al-Kamil
adalah pecinta Ilmu Pengetahuan, pelindung para Ilmuan, dan Seorang
Muslim yang bijaksana.27
Untuk mempertahankan kekuasaan, al-Malik al-Shalih
mendatangkan budak-budak dari Turki dalam jumlah besar untuk dilatih
kemiliteran yang ditempatkan di dekat sungai Nil yang juga disebut Laut
(Al-Bahr) sehingga mereka disebut Mamluk Al-Bahr. Setelah meninggal al-
Malik Al-Shalih diganti oleh anaknya, Turansyah. Konflik terjadi antara
Turansyah dengan Mamluk Bahr, Turansyah dianggap mengabaikan peran
Mamluk al-Bahr dan lebih mengutamakan tentara yang berasal dari
Kurdi. Oleh karena itu Mamluk al-Bahr di bawah pimpinan Baybars dan
Izzudin Aybak melakukan kudeta terhadap Turansyah (1250 M).
Turansyah pun terbunuh, maka berakhirlah dinasti Ayyubiyah.

26
Ali, Sejarah Islam, 280-281.
27
Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, 86.

17
E. Dinasti Mamalik
Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik
dengan sengaja agar manjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang
Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba).
Ini berbeda dengan ‘abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh
ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual.
Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih, sedangkan ‘abd berkulit
hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba yang
dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa kesultanan Bani Ayub.
Mamluk Dinasti Ayubi’yah berasal dari Asia kecil, Persia (Iran), Turkistan,
dan Asia Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas suku-suku Bangsa
Turki, Syracuse, Sum, Rusia, kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa.
Mamluk sultan yang berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-
sultan sebelumnya, yakni Mamluk para amir yang disingkirkan atau
meninggal dunia.
Dinasti mamluk atau mamalik adalah sebuah dinasti atau
pemerintahan yang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah
orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti ayubiyah sebagai budak,
yang kemudian di didik dan dijadikan tentara, dan mereka ditempatkan di
tempat yang tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa
ayubiyah yang terakhir, al Malik al Saleh, mereka dijadikan pengawal untuk
menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa itu mereka mendapat
hak-hak istimewa, baik dalam ketentaraan maupun dalam imbalan-imbaan
meteriil.28
Ketika al-Malik al-Salih meninggal (1249 M), anaknya, Turansyah,
naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena
Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada
tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil
membunuh Turansyah. Istri al-Malik al-Salih, Syajarah al-Durr, seorang

28
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (bandung : pustaka setia, 2008), hal. 235.

18
yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali
pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu.
Kepemimpinan Syajaruh al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia
kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan
menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat
terus berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak
membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali
pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan
penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan "syar'i" (formal)
disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya.
Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari
dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.
Salah satu yang merupakan keunikan dari sejarah pemerintahan
Dinasti Mamluk ini adalah adanya ambisi untuk menjadi Sultan dari seorang
Mamluk wanita yang bernama Syajar Ad-Dur. Dia adalah isteri Sultan
Dinasti Ayyubiyah, Al-Shaleh Najmuddin Ayyub. Syajar Ad-Dur
mengambil alih kekuasaansetelah suaminya meninggal dunia dalam
pertempuran melawan pasukan Louis IX di Dimyath, Mesir. Putra mahkota
Turansyah ketika itu sedang berada di Syam. Untuk menjaga agar semangat
pasukan Islam, sang istri menyembunyikan berita kematian suaminya.
Setelah Turansyah tiba di Mesir untuk berkuasa, ia dibunuh oleh pengikut
Syajar Ad- Dur. Kepemimpinan Syajar Ad-Dur ini berlangsung selama 80
hari.29
Kekuasaan Syajar Ad-Dur ini berakhir dengan adanya teguran dari
Khalifah Abbasiyah di Baghdad, bahwa yang memerintah itu seharusnya
adalah seorang pria dan bukan wanita.Syajar tidak sanggup menolak
perintah khalifah tersebut, akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan
sultan pengganti dirinya yang bernama Izzuddin Aybak agar dapat
memerintah di belakang layar. Akan tetapi segera setelah itu Aybak

29
Ibid, hal. 135-137

19
membunuh Syajar Ad-Dur dan mengambil sepenuhnya kendali
pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang keturunan
penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan syar’i (formalitas) di
samping dirinya sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, akhirnya
Aybak juga mambunuh Muasa. Ini merupakan akhir dari Dinasti Ayyubiyah
di Mesir dan awal dari kekuasaan Dinasti Mamalik.
Aybak resmi menjadi sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri. Ia
berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia
digantikan oleh anaknya Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian
mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya,
Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri
ke Syiria, karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali
ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol
yang sudah berhasil menduduki hamper seluruh dunia Islam. Kedu tentara
bertemu di Ain Jalut pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik
di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan
Mongol tersebut. Kemenangan ini membuat Mamalik menjadi tumpuan
harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa- penguasa Syiria segera
menyatakan setia kepada penguasa Mamalik.30
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan
merupakan kemenangan pertama kaum muslimin atas orang-orang
Mongolia. Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa
tentara Mongol tidak pernah terkalahkan.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di Kairo setelah Baghdad
luluh lantak oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars,
kerajaan mamluk makin bertambah kuat. Bahkan, Baybars mampu berkuasa
selama tujuh belas tahun (657 H/1260 M- 676 H/ 1277 M) karena mendapat
dukungan militer, dan tidak ada lagi Mamluk senior selai Baybars. Kejayaan
yang diraih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara Salib

30
Badri Yatim, Op.Cit. hal. 125

20
di sepanjang Laut Tengah dan Pegunungan Syiria. Ia juga menaklukkan
daerah Nubia (Sudan) dan sepanjang pantai Laut Merah. Prestasi Baybars
yang lain adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir
setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan
Hulagu Khan pada tahun 1258 M.31 Baybar juga meminta legalitas dari
khalifah atas kekuasaannya, untuk mendapatkan simpati rakyat Mesir
sebagaimana Dinasti Ayyubiyah.
Prestasi Baybars dalam bidang agama, ia adalah sultan Mesir
pertama yang mengangkat empat orang hakim yang mewakili empat
mazhab, ia juga mengatur keberangkatan haji secara sistematis dan
permanen. Ia juga dikenal sebagai sultan yang shaleh dalam soal agama dan
sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah.
Di bidang diplomatik, Baybars menjalin hubungan dengan pihak-
pihak yang bershabat dan tidak membahayakan kekuasaannya. Ia
memperbaharui hubungan Mesir dengan Konstantinopel, serta membuka
hubungan Mesir dengan Sisilia. Selain itu ia juga menjalin ikatan
perdamaian dan hubungan baik dengan Barke (Baraka) yang merupakan
keponakan dari Hulagu Khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di
Golden Horde dan Kipchak (wilayah di bagian Barat kerajaan Mongol).
Di bidang perekonomian dan perdagangan juga mengalami
kemajuan pesat yang membawa kepada kemakmuran. Jalur perdagangan
yang sudah dibangun sejak Dinasti Fathimiyah diperluas dengan membuka
hubungan dagang dengan Italia dan Perancis. Kota Kairo menjadi kota
penting dan strategis sebagai jalur perdagangan Asia Barat dan Laut Tengah
dengan pihak Barat, dan menjadi lebih penting setelah jatuhnya Baghdad.
Baybars dan beberapa sultan setelahnya memberikan kebebasan kepada
petani untuk memasarkan hasil tani mereka. Hal ini mendorong mereka
untuk meningkatkan hasil pertaniannya, sehingga bisa meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Mesir. Bidang perhubungan darat dan laut juga

31
Dedi Supriyadi, Op.Cit. hal. 237-238.

21
menjadi lancer dengan membuat terusan-terusan, pelabuhan, dan meng
hubungkan Kairo dan damaskus dengan layanan pos cepat. Pos cepat ini
hanya memakan waktu empat hari dengan menggunakan beberapa ekor
kuda yang tersedia pada setiap stasiun di sepanjang jalan. Selain pos dengan
menggunakan kuda, juga ada pos cepat menggunakan burung merpati yang
sudah ada sejak zaman Fathimiyah.
Pada masa ini, ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan pesat.
Hal ini disebabkan jatuhnya Baghdad yang mengakibatkan sebagian ahli
ilmu pengetahuan melarikan diri ke Mesir. Dengan demikian Mesir
berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, melanjutkan
perjuangan kota-kota Islam lainnya setelah dihancurkan oleh orang-orang
Mongol. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang
ketika itu adalah sejarah, kedokteran, matematika, astronomi, dan ilmu
agama.
Di bidang sejarah tercatat nama-nama beberapa pakar, antara
lain Ibnu Khalikan, Ibnu Khaldun (penulis kitab al-‘Ibar), Abu Al-
Fida’, Ibn Tagri Bardi Atabaki, Al-Maqrizi yang terkenal sebagai seorang
penulis sejarah kedokteran.
Bidang ilmu kedokteran juga mengalami kemajuan dengan adanya
penemuan- penemuan baru. Abu Hasan \Ali Nafis (w.1288) seorang kepala
rumah sakit Kairo menemukan susunan dan peredaran darah dalam paru-
paru manusia, tiga abad lebih dahulu dari Servetus (orang Portugis).
Selain itu, juga terdapat tokoh-tokoh lain, seperti Nasiruddin At-Tusi
(1201-1274) seorang ahli observatorium, dan Abu Faraj Tabari (1226-1286
M), ahli matematika.
Di bidang seni arsitektur juga berkembang dengan baik. Para sultan
berlomba mendirikan bangunan-bangunan monumental yang berseni tinggi.
Bermunculanlah bangunan sekolah-sekolah, masjid-masjid yang indah dan
megah. Bangunan-bangunan tersebut ada yang masih bisa kita saksikan
hingga saat ini, seperti masjid Rifa’I dan masjid Sultan Hasan di Kairo.

22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Invasi Tentara Mongol tidak hanya di sebabkan oleh keserakahan
belaka, melainkan karena sikap tidak adilnya kaum muslim pada masa
tersebut.
Dinasti Fatimiyah mampu berdiri kokoh tidak lepas dari adanya
sikap kecewa kaum Syiah terhadap pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dalam
perkembangannya, ketika Dinasti Abbasiyah ini sudah berdiri, para
penguasa awalnya tidak menghendaki adanya kekuatan lain dalam
pemerintahannya. Maka dari itu timbul upaya-upaya untuk menyingkirkan
kekuatan lain, tidak terkecuali kaum Syiah yang awalnya menjadi
pendukung utama Dinasti Abbasiyah. Tentu saja dengan adanya sikap yang
demikian membuat kaum Syiah merasa kecewa dan mereka merasa
dikhianati oleh Dinasti Abbasiyah. Dengan sikap tersebut pada akhirnya
kaum Syiah bertekad untuk mendirikan sebuah negara yang akan menjadi
pesaing terberat bagi Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti Fatimiyah.
Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyarbakr
hingga tahun 1249 M. Dinasti ini di dirikan oleh Shalahuddin Yusuf al-
Ayyubi, wafat tahun 1193 M. Ia berasal dari suku Kurdi, putra Najwaddin
Ayyub, dimasyurkan oleh bangsa Eropa dengan nama “Saladin” Pahlawan
Perang Salib.
Dinasti Mamalik adalah salah satu kerajaan yang berada di Mesir
yang pada awalnya merupakan daerah yang bebas dari gangguan pihak luar
dan muncul dalam suasana diintegrasipolitik secara total mengawali masa
kemunduran dunia Islam, kendati dalam keadaan demikian, terbentuklah
sebuah pemerintahan yang kokoh, dikendalikan oleh dua kelompok
Mamalik yakni Mamalik Bahri dan Burji yang mampu bertahan selama tiga
perempat abad.

23
B. SARAN
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya
dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa
makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari
berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat
membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya

24
DAFTAR PUSTAKA
C.G.E.Von Grunebaun. Classical Islam : a history 600-1258, translated by
Catherine Watson. 1970. Chicago : Aldine Publishing Company
Yatim , Badri. Sejarah peradaban islam. 1997. Jakarta: Raja grafindo persada
M. Abdul Karim. Islam di Asia Tengah Sejarah Dinasti Mongol-Islam. 2006.
Yogyakarta: Bagaskara
Kusdiana , Ading. Sejarah Peradaban Islam Periode Pertengahan. 2013.
Bandung: Pustaka Setia.
Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, 2014.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Muhammad Suhail Thaqqusy. Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, 2015.
Jakarta : PustakaAl Kautsar.
Philip K. Hitti, History Of The Arab, Terj.Cecep Lukman Dan Dedi Slamet
Riyadi, 2008. Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka.
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, 2012. Yogyakarta :
Teras.
Kusdiana, Ading. Sejarah Peradaban Islam Periode Pertengahan. Bandung.
Pustaka Setia.
C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, Terj. Ilyas Hasan,1993. Bandung: Mizan
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam, 2003. Bogor: Kencana
Karen Armstrong, Islam sejarah Singkat, 2002. Yogyakarta: Jendela
Philip K. Hitti, History of The Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi, 2010. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Shobarun W.H.S, Lintasan Sejarah Perang Salib; Antara Hikmah dan Ibroh,
Oktober 1994. Bangil: CV al- Muslimun.
Machfud Syaefudin, et el, Dinamika Peradaban islam; Prespektif Historis, 2013.
Yogyakarta: Pustaka Ilmu,
K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pramodern, Terj. Ghufron A. Mas‟adi, 1996
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : pustaka setia, 2008.

25

Anda mungkin juga menyukai