Kelompok : X
Sahroni Ahmad 2001010014
Nurdin 2001010016
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya, kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Menegakkan
Keadilan Dalam Pandangan Al-Qur’an (Q.s An-Nisa : 135)”
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan makalah ini, dan penulis juga berrerima kasih kepada semua pihak yang
membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah kami penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu diharapkan kepada pembaca untuk memberikan
masukan-masukan berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhirnya penyusun mengharapakan semoga dari makalah ini kita dapat mengambil hikmah dan
manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.
penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an al-Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. al-Qur’an diturunkan Allah kepada Rasulullah
untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta
membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikan al-Qur’an itu kepada
para sahabatnya orang-orang Arab asli, sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan
naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat,
mereka menanyakannya kepada Rasulullah.1
Al-Qur’an al-Karim adalah sumber tasri’ pertama bagi umat Muhammad SAW dan
kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-
rahasianya dan pengalaman apa yang terkandung di dalamnya.2 Al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang diridai Allah (hudan li al-nas) dan berfungsi
pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan menuju alam terang-benderang. Fungsi
ideal al-Qur’an itu dalam realitasnya tidak begitu saja dapat diterapkan, akan tetapi
membutuhkan pemikiran dan analisis yang mendalam. Harus diakui ternyata tidak semua
al-Qur’an yang tertentu hukumnya. sudah siap pakai. Banyak ayat-ayat yang masih global
dan mushtarak yang tentunya memerlukan pemikiran dan analisis khusus untuk
menerapkannya.3
____________________________________________
1
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Mudzakir (Bogor. Pustaka Litera Antar Nusa,
2009), 1.
2
Ibid.,455
3
M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 25-26.
4
Ibid
Al-Raghib Al-Isfahani yang secara khusus mencurahkan perhatiannya dalam
telaahan makna kosakata dan strukturnya dalam kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an
pada sub al-adl membagi makna keadilan kepada dua macam. Pertama, keadilan mutlak
(absolut) yang pertimbanganya didasarkan kepada akal budi, dan ia bersifat universal,
karena tidak mengalami perubahan dan berlaku sepanjang zaman. Kedua, keadilan yang
ditetapkan melalui ketentuan sari’at,dapat mengalami perubahan dan pembatalan sejalan
dengan perubahan kepentingan dan tuntunan zaman. Keadilan adalah nilai universal, satu
nilai kemanusiaan yang asasi. Memperoleh keadilan adalah hak asasi bagi setiap manusia.
Islam menghormati hak-hak yang sah dari setiap orang dan melindungi kebebasannya,
kehormatannya, darah dan harta bendanya dengan jalan menegakkan kebenaran dan
keadilan diantara sesama. Tegaknya keadilan dan kebenaran dalam masyarakat akan dapat
mewujudkan masyarakat yang damai, sejahtera, aman, tentram, dan saling percaya, baik
sesame anggota masyarakat, maupun terhadap pemerintah.
Keadilan adalah sesuatau yang dirasakan seimbang, pantas, sehingga semua orang
atau sebagian besar orang yang mengalami merasa pantas, nyaman, dan adil. Salah satu
ciri keadilan yang penting adalah adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Adil
adalah berdiri di tengah-tengah antara dua perkara dan memberikan kepada setiap orang
apa yang menjadi haknya.5
B. Rumusan Masalah
_______________________
5
John Rawls, Teori Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 35.
BAB II
PEMBAHASAN
Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sama berat, tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-wenang.
Sementara Keadilan diartikan sebagai suatu sifat atau perbuatan atau perlakuan yang adil.
Sedangkan menurut Bahasa Arab, adil disebut dengan kata adilun yang berarti sama
dengan seimbang, dan al’adl artinya tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada
yang benar, tidak sewenang-wenang, tidak zalim, seimbang dan sepatutnya. Menurrut
istilah, adil adalah menegaskan suatu kebenaran terhadap dua masalah atau bebrapa
masalah untuk dipecahkan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh agama.
Keadilan (a‟dl) menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat
Muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa mendatang.
Dalam Islam, antara keimanan dan keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan
berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar
dengan sangat jelas dalam surat di atas. Keadilan adalah perbuatan yang paling takwa atau
keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.
Dalam Alquran, keadilan dinyatakan dengan istilah “adl” dan “qist”. Pengertian
adil dalam Alquran sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Dalam semangat
moderasi dan toleransi, juga dinyatakan dengan istilah “wasath” (pertengahan). “Wasath”
adalah sikap berkeseimbangan antara dua ektrimitas serta realitas dalam memahami tabiat
manusia, baik dengan menolak kemewahan maupun aksetisme yang berlebihan. Sikap
seimbang langsung memancar dari sikap tauhid atau keinsyafan mendalam akan hadirnya
Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup, yang berarti kesadaran akan kesatuan tujuan dan
makna hidup seluruh alam ciptaan-Nya.6
________________________________
6
A. Syafii Maarif, “Alquran Berbicara tentang Keadilan dan Amanat” dalam Bulletin Alquran no. 133,
23-June-2015, hlm. 17.
Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan
amanat (amanah, titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya
amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah
sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan
adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati
hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.
Untuk itu, sudah merupakan kepentingan negara Islam berlaku adil untuk warga
Muslim ataupun pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya, tak terkecuali walau bukan
dari golongan Muslim sekalipun. Ketetapan hukum inilah yang kemudian dipakai dalam
memperlakukan kelompok minoritas agama, baik itu warga negara ataupun penduduk
asing.
B. Penafsiran Al-Qur’an Tentang Menegakkan Keadilan dalam
Q.s An-Nisa : 135
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang
terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti
terhadap segala apa yang kamu kerjakan.
1. Tafsir Kemenag
Semua perintah itu jika dilakukan dengan sebaik-baiknya, niscaya akan menjadikan
kebiasaan yang meresap di dalam jiwanya.
Keadilan itu harus dilakukan secara menyeluruh di tengah-tengah pergaulan masyarakat,
baik yang menjalani itu rakyat biasa ataupun kepala negara, petani atau pedagang, anggota
atau kepala rumah tangga.
Jika menjadi saksi, jadilah saksi yang jujur, semata-mata karena mengharapkan
keridaan Allah, tidak memutarbalikkan kenyataan, tidak berat sebelah, meskipun
menyangkut dirinya sendiri, ataupun keluarganya.
Kesaksian itu hendaklah diberikan sesuai dengan kenyataan baik menguntungkan dirinya
sendiri ataupun menguntungkan orang lain, karena pada dasarnya kesaksian itu adalah
salah satu jalan pembuktian untuk mencari kebenaran.
Apabila ada seseorang memberikan kesaksian yang tidak benar, dengan maksud
ingin menguntungkan dirinya atau keluarganya, maka cara serupa ini tidaklah dianggap
suatu kebaikan, karena memberikan keterangan palsu dengan maksud memberikan
pertolongan kepada seseorang, tidak dibenarkan syariat dan bukanlah suatu kebajikan,
tetapi pada hakikatnya perbuatan yang demikian itu termasuk membantu kejahatan dan
menginjak-injak hak asasi manusia.
Allah menyerukan agar keadilan dan kesaksian itu dilaksanakan secara merata tanpa
pandang bulu, baik yang disaksikan itu keluarganya sendiri ataupun orang lain, baik kaya
ataupun miskin.
Hendaklah manusia mengetahui bahwa keridaan Allah dan tuntunan syariat-Nya yang
harus diutamakan:
tidak boleh orang-orang kaya disenangi atau dibela karena kekayaannya atau orang-orang
fakir dikasihani karena kefakirannya, sebab jika kekayaan dan kefakiran yang dijadikan
dasar pertimbangan dalam memberikan kesaksian, maka pertimbangan serupa itu bukanlah
merupakan pertimbangan yang dapat membuahkan keputusan yang benar.
Pertimbangan yang benar ialah didasarkan kepada kebenaran dan keridaan Allah semata.
Menegakkan keadilan dan memberikan kesaksian yang benar sangat penting artinya, baik
bagi orang-orang yang menjadi saksi ataupun bagi orang-orang yang diberi kesaksian.
Itulah sebabnya, menegakkan keadilan atau memberikan persaksian yang benar itu,
ditetapkan dan dimasukkan ke dalam rangkaian syariat Allah yang wajib dijalankan.
Sesudah itu Allah melarang kaum Muslimin memperturutkan hawa nafsu, agar
mereka tidak menyeleweng dari kebenaran, karena orang yang terbiasa menuruti hawa
nafsunya, mudah dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu untuk melakukan tindakan yang
tidak adil dan tidak jujur, sehingga mereka tergelincir dari kebenaran.
(Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi penegak) atau benar-
benar tegak dengan (keadilan) (menjadi saksi) terhadap kebenaran(karena Allah walaupun)
kesaksian itu (terhadap dirimu sendiri) maka menjadi saksilah dengan mengakui kebenaran
dan janganlah kamu menyembunyikannya (atau) terhadap (kedua ibu bapak dan kaum
kerabatmu Jika ia) maksudnya orang yang disaksikan itu (kaya atau miskin, maka Allah
lebih utama bagi keduanya) daripada kamu dan lebih tahu kemaslahatan mereka.
(Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu) dalam kesaksianmu itu dengan jalan
pilih kasih, misalnya dengan mengutamakan orang yang kaya untuk mengambil muka atau
si miskin karena merasa kasihan kepadanya (agar) tidak (berlaku adil) atau menyeleweng
dari kebenaran. (Dan jika kamu mengubah) atau memutarbalikkan kesaksian, menurut satu
qiraat dengan membuang huruf wawu yang pertama sebagai takhfif (atau berpaling) artinya
enggan untuk memenuhinya (maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan) hingga akan diberi-Nya balasannya.
Dengan kata lain, tegakkanlah persaksian itu secara benar, sekalipun bahayanya menimpa
diri sendiri.
Apabila kamu ditanya mengenai suatu perkara, katakanlah yang sebenarnya, sekalipun
mudaratnya kembali kepada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya Allah akan menjadikan
jalan keluar dari setiap perkara yang sempit bagi orang yang taat kepada-Nya.
Yakni sekalipun kesaksian itu ditujukan terhadap kedua orang tuamu dan kerabatmu,
janganlah kamu takut kepada mereka dalam mengemukakannya.
Tetapi kemukakanlah kesaksian secara sebenarnya, sekalipun bahayanya kembali kepada
mereka, karena sesungguhnya perkara yang hak itu harus ditegakkan atas setiap orang,
tanpa pandang bulu.
Artinya, janganlah kamu hiraukan dia karena kayanya, jangan pula kasihan kepadanya
karena miskinnya.
Allah-lah yang mengurusi keduanya, bahkan Dia lebih utama kepada keduanya daripada
kamu sendiri, dan Dia lebih mengetahui hal yang bermaslahat bagi keduanya.
Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Maksudnya, jangan sekali-kali hawa nafsu dan fanatisme serta risiko dibenci orang lain
membuat kalian meninggalkan keadilan dalam semua perkara dan urusan kalian.
Bahkan tetaplah kalian pada keadilan dalam keadaan bagaimanapun juga, seperti yang
dinyatakan oleh firman-Nya:
Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian
untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.(QS. Al-Ma’idah [5]: 8)
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah perkataan Abdullah ibnu Rawwahah ketika diutus
oleh Nabi ﷺmelakukan penaksiran terhadap buah-buahan dan hasil panen milik orang-
orang Yahudi Khaibar.
Ketika itu mereka bermaksud menyuapnya dengan tujuan agar bersikap lunak terhadap
mereka, tetapi Abdullah ibnu Rawwahah berkata,
"Demi Allah, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari makhluk yang paling aku cintai,
dan sesungguhnya kalian ini lebih aku benci daripada kera dan babi yang sederajat dengan
kalian.
Bukan karena cintaku kepadanya, benciku terhadap kalian, lalu aku tidak berlaku adil
terhadap kalian."
Mereka mengatakan,
"Dengan demikian, berarti langit dan bumi akan tetap tegak."
Hadis ini insya Allah akan disebut secara panjang lebar berikut sanadnya dalam tafsir surat
Al-Maidah.
Menurut Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf,
makna talwu ialah memalsukan dan mengubah kesaksian. Makna lafaz al-lai sendiri ialah
mengubah dan sengaja berdusta. Seperti pengertian yang ada di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya:
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca
Al-Kitab. (QS. Ali ‘Imran [3]: 78), hingga akhir ayat.
Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya. (QS. Al-Baqarah [2]: 283)
Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sama berat, tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-wenang.
Sedangkan menurut Bahasa Arab, adil disebut dengan kata adilun yang berarti sama dengan
seimbang, dan al’adl artinya tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak
sewenang-wenang, tidak zalim, seimbang dan sepatutnya.
Sikap seimbang langsung memancar dari sikap tauhid atau keinsyafan mendalam akan hadirnya
Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup, yang berarti kesadaran akan kesatuan tujuan dan makna hidup
seluruh alam ciptaan-Nya.6 Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari
kaitannya dengan amanat (amanah, titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya.
Tapi, Islam juga menginginkan tegaknya suatu masyarakat yang adil dan makmur di mana setiap
orang diperlakukan dengan layak dan dihargai sebagai manusia.
Tanpa itu, ungkapan yang sering kita dengar dan kalimat bahwa Islam adalah rahmatan lil „alamin,
akan kehilangan taringnya dan mengawang-awang di angkasa serta tidak akan pernah
menginjakkan kakinya di bumi.
Hal senada disampaikan penulis buku “Al-Hasabah”, “Negara akan tetap tegak berdiri dengan
keadilan dan kekufuran, namun negara akan segera hancur dengan kezaliman dan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Mudzakir (Bogor. Pustaka Litera
Antar Nusa, 2009), 1.
Maarif, A. Syafii, “Alquran Berbicara tentang Keadilan dan Amanat” dalam Bulletin
Alquran no. 133, 23-June-2006.
Rachman, Budhy Munawar (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta:
Yayasan Paramadina, 2001.