Anda di halaman 1dari 110

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. La

tar Belakang

Geografis Pulau Buton merupakan salah satu wilayah pada Sulawesi Tenggara

yang terdapat banyak bahasa dengan ciri dan dialek yang berbeda beda. Tak

banyak daerah di Indonesia memiliki bahasa lokal dengan jumlah yang banyak

untuk digunakan oleh masyarakat dalam satu pulau kecil. Kalau kita melihat

masyarakat di daerah-daerah lain semisal masyarakat lokal di Pulau Jawa yang

wilayahnya begitu luas dan jumlah penduduknya yang padat, masyarakat hanya

menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa daerah mereka. Kalau kita bandingkan

dengan luas wilayah Buton yang kira-kira 4.408 km² dengan jumlah penduduk

sekitar 500 ribu jiwa, tentu tak sebanding dengan Pulau Jawa dan pulau-pulau lain

seperti Kalimantan dan Sumatera.

Keunikan inilah kemudian masyarakat buton sangat beragam dalam budaya

dan bahasa. Buton tak hanya menyimpan banyak cerita tentang sejarah tetapi

dengan keragaman budayanya bisa tergambar banyaknya bahasa yang digunakan

oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Setakat ini, etnis Buton

mulai mendapat banyak perhatian masyarakat dan namanya mulai terangkat ke

luar Indonesia. Berawal dari ”Simposium IX Pernaskahan Nusantara tahun 2005”,

seorang profesor dari Korea, Chun Thai Yun meyakini adanya kekhasan yang

menarik dalam keanekaragaman linguistik di daerah Buton.

Pada masyarakat Buton terdapat beberapa bahasa populer yang digunakan oleh

masyarakatnya maupun bahasa yang hanya digunakan oleh sebagian masyarakat


2

saja yang terbentuk oleh perjalanan historis suatu masyarakat tersebut. Terdapat

banyak sekali aneka ragam bahasa yang diakui oleh penduduk setempat: Wolio,

Wowoni, Kalingsusu, Kambowa, Kumbewaha, Kamaru, Katobengke, Gonda

Baru, Todanga, Wabula dan Cia-Cia (kesemua bahasa ini terdapat di pulau

Buton); Wasilomata, Muna, Siompu, Rahantari (di pulau Kabaena); dan Pulo

(Kapota), Pulo (Kaledupa), Pulo (Tomia), Pulo (Binongko), keempat bahasa yang

terakhir ini terdapat di kepulauan Tukangbesi. Ada juga bahasa yang terbentuk

karena historis seperti misalnya Bahasa Kalende yang lahir dari masyarakat yang

liar dimana masyarakat ini terkenal kritis dan suka membangkang atas kebijakan

kesultanan sehingga masyarakat ini selalu tinggal jauh dari kesultanan buton

namun tetap berada pada wilayah administratif kesultanan buton, bahasa ini masih

digunakan masyarakat Desa Wabou sebuah kampung kecil yang lokasinya berada

tak jauh dari hutan Lambusango.

Keragaman bahasa ini bila dikaitkan dengan realitas sosial akan menimbulkan

perbedaan dan masalah komunikasi sosial yaitu kesatuan sesama masyarakat

buton namun tidak beragam dari sisi bahasa sehingga akan membentuk kelompok-

kelompok identitas. Identitas mengalami perubahan karena terjadi proses terkait

dengan biografi seseorang (Giddens, 1991:53). Seperti yang dikatakan pula

Longhurst, dkk (2008), juga menegaskan bahwa identitas dapat digunakan

manusia untuk menyatakan siapa diri kita sebenarnya, untuk menjelaskan

kesadaran diri yang ditemukan dalam individu modern. Identitas merupakan sifat

penampilan seseorang, bukan didasarkan pada ciri-ciri esensial, tetapi identitas


3

lebih mengacu kepada penampilan yang didasari pada suatu harapan terhadap

budaya.

Orang Buton memang tidak bisa dikatakan beragam karena muncul juga

ungkapan bahwa menyebut penduduk yang tinggal sepanjang pantai dekat Kota

Baubausebagai orang Pancana yang awalnya berasal dari penduduk Lakudo dan

Bombawanulu di bagian selatan pulau Muna yang menjadi hamba dari Murhum,

sehingga di dalam tradisi Wolio diyakini orang Pancana itu dibawa oleh raja

Murhum dari pulau Muna ketika ia menjadi raja di Buton (masa pemerintahan

Oleh karena latar belakang historisitas seperti itu, istilah orang Pancana, untuk

menyebut orang yang tinggal di sepanjang pantai dekat Kota Baubau, merupakan

istilah yang dilihat dari sudut pandang Orang Wolio, karena kata Pancana itu

secara harafiah berarti “daerah caplokan”. Orang Katobengke, yang juga tinggal

di sepanjang pantai dekat Keraton Wolio, juga sering disebut oleh Orang Wolio

dengan istilah Orang Pancana.

Fokus dalam hal bahasa Wolio masyarakat Baubau bahwa, identitas Bahasa

Buton yang cenderung beragam akan mempengaruhi kebersatuan warga Kota

Baubau. Penelusuran silsilah suatu bahasa dalam kaitanya terhadap penemuan

suatu kebaruan dalam penelitian yang menggunakan bahasa sebagai intrumen

penelitian dikenal dengan istilah Genealogi Bahasa. Adapun definisi genealogi

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Garis keturunan

manusia dalam hubungan keluarga sedarah; (2) garis pertumbuhan binatang,

tumbuhan, bahasa, dsb. dari bentuk-bentuk sebelumnya (KBBI, 2008). Dapat di


4

artikan bahwa Dalam Sejarah Linguistik, klasifikasi bahasa menurut hipotesis asal

umum; juga disebut klasifikasi silsilah.

Bahasa yang terkait genetik memiliki nenek moyang yang sama. Terminologi

deskripsi berasal dari yang dari pohon keluarga hubungan manusia. Link non-

genetik antara bahasa juga dapat dibentuk dengan menggunakan teknik linguistik

komparatif (Kristal, 2008: 209). Bahasa Wolio dari telaah keberagaman yang

meliputi hubungannya dengan bahasa-bahasa lain di wilayah tuturnya yang

termasuk dalam kelompok bahasa Muna-Buton dan hubungan antardialek bahasa

terhadap identitas pemersatu masyarakat Buton.

Penelitian ini juga merekonstruksi bahasa Wolio sehingga dapat diketahui

bentuk identitas yang dibangun oleh masyarakat Buton sebagai alat pemersatu

sehingga mampu hidup rukun dan melihat keberagaman sebagai keaneka ragaman

budaya. Dengan demikian, jika keterangan mengenai keaneka ragaman bahasa

Buton dapat membuktikan posisi identitas bahasa sebagai alat pemersatu

masyarakat Buton, maka hasilnya dapat digunakan sebagai salah satu bentuk

keragaman baru yang dan dapat dugunakan untuk dalam ciri orang Buton.

Bahasa Wolio dituturkan oleh di beberapa wilayah Buton di temukan

perbedaan penggunaan bahasa Buton yang beragam, Bahasa Cia-Cia merupakan

bahasa yang dipakai atau dituturkan oleh masyarakat Cia-Cia yang dominan

bermukim di Buton bagian Selatan, Bahasa Wolio merupakan bahasa yang

dipakai atau dituturkan di Kabupaten Buton dan Kota Baubau.

Bahasa Wolio juga digunakan sebagai alat komunikasi antar masyarakat yang

dominan bermukim di dekat wilayah Kesultanan Buton. Bahasa Pancana


5

digunakan oleh mayarakat Buton yang bermukin di daratan Muna dan bahasa

Kalingsusu digunakan oleh masyarakat Buton wilayah utara, bahasa Wowoni,

bahasa kambowa, Bahasa Kumbewaha, Bahasa Kamaru, Bahasa Katobengke,

Bahasa Gonda Baru, Bahasa Todanga, Bahasa Wabula, Bahasa Wasilomata,

Bahasa Muna, Bahasa Siompu, Bahasa Rahantari digunakan oleh masyarakat

pada wilayah Buton bagian tengah dan sebagian pula digunakan oleh masyarakat

pada wilayah Buton bagian selatan dan Bahasa Pulo (Kapota), Pulo (Kaledupa),

Pulo (Tomia), Pulo (Binongko).

Bahasa Wolio termasuk kelompok bahasa yang terdapat di wilayah kerajaan

Buton, selain bahasa Pancana (Muna), bahasa Cia-Cia, bahasa Moronene, bahasa

Kulisusu dan bahasa Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Wilayah pemakaian

bahasa Wolio pada masa pemerintahan kerajaan Buton meliputi wilayah pusat

pemerintahan atau Keraton Buton di Wolio sekarang ini menjadi wilayah

pemerintahan Kota Baubau. Bahasa Wolio, selain digunakan sebagai alat

komunikasi di pusat kerajaan Buton di Wolio, juga digunakan sebagai bahasa

resmi di tingkat kerajaan Buton.

Salah satu keunggulan bahasa Wolio dibandingkan dengan kelompok bahasa

lainnya yang terdapat di kerajaan Buton adalah, bahasa Wolio memiliki sistem

aksara yang baku yang diadopsi dari aksara Arab dan aksara Jawi (Arab-Melayu).

Hal ini dapat disaksikan melalui berbagai peninggalan tertulis (naskah kuno) yang

tersimpan di berbagai koleksi masyarakat Buton terutama di pusat koleksi

almarhum Abdul Mulku Zahari di Kota Baubau Wolio Buton. Naskah-naskah kuno

yang tersimpan di koleksi itu, selain menggunakan Bahasa Wolio juga


6

menggunakan beberapa bahasa yaitu bahasa Melayu, Arab, Bugis, Belanda dan

Jepang.

Dari segi perkembangan kosa kata, meskipun belum ada hasil penelitian khusus

di bidang etnografi komunikasi , akan tetapi dapat dipastikan bahwa kosa kata

Bahasa Wolio memenuhi syarat, sehingga mencapai fungsinya secara maksimal

karena mengadopsi unsur-unsur serapan dari berbagai bahasa, terutama bahasa

Melayu, Bahasa Arab dan Bahasa Pancana (lihat Arceaux, 1987).

Penelitian ini hendak berkisah dan menjelaskan serta menemukan bagaimana

Bahasa Wolio pada warga Kota Baubau menjadi identitas warganya, dikarekan

Bahasa Wolio kini sudah tidak menjadi sebuah identitas setelah mengalami

perjalanan panjang dari kesultanan yang kemudian di Pada tahun 1960 Kesultanan

Buton dibubarkan.

Pada tahun 1960-an Buton hal ini menyebabkan proses marginalisasi dalam

politik dan sejarah Buton. Belum ada etnografi lengkap mengenai Daerah Buton

(tetapi lihat Schoorl 1985, 1986, 1987 dan Southon 1995) menjadi icon
24

pemersatu Masyarakat Buton. Penelitian ini akan dilakukan pada Kota Baubau

yang merupakan satu daerah yang muncul setelah Kesultanan Buton berakhir

yang kemudian berubah menjadi salah satu otonomi baru, sehingga Kota Baubau

menjadi salah satu lokasi yang cukup menarik dikarenakan Kota Baubau

merupakan daerah yang belum ada saat Kesultanan Buton dan kemudian Kota

Baubau menjadi kawasan Masyarakat Buton pada umumnya saat ini dan kawasan

para pendatang. Penelitian ini juga hendak menjelaskan dan menemukan diantara

jumlah Bahasa Buton yang cukup banyak sekitar 14 bahasa daerah (Fox 1995)
7

yang menjadi identitas Bahasa Buton pada masyarakat Kota Baubau yang

dominan sebagai pemersatu Masyarakat Baubau.

Warga Kota Baubau telah menjadi masyarakat heterogen dengan jumlah

bahasa yang beragam, dengan keberagaman itulah dan modernisasi waraga

Baubau sebagai sebuah Kota menjadikan Bahasa Wolio cenderung terlupakan dan

jarang digunakan sebagai sebuah bahasa pemersatu dalam pembentukan identitas.

Bahasa wolio tidak lagi menjadi bahasa yang wajib untuk di pahami oleh warga

Baubau sehingga cenderung terlupakan. .

Hal ini pula yang menyebabkan antara sesama Warga Baubau sering terjadi

konflik, asumsinya bahwa konflik yang terjadi pada Warga Baubau dikarenakan

tidak ada indentitas yang mempersatukan Warga Baubau salah satunya dari sisi

bahasa. Bahasa Wolio pada dasarnya merupakan bahasa utama dalam transaksi

komunikasi warganya, begitu pula denga Kota Baubau itu sendiri. Ada

kecenderungan Bahasa Wolio pada tataran warga Kota Baubau terjadi

marjinalisasi secara alamiah. Keadaan ini dapat kita lihat berdasarkan faktor-

faktor yang mempengaruhinya, menurut peneliti faktor-faktor yang

mempengaruhi hal ini terlihat dari dua faktor penting yaitu faktor lingkungan atau

keluarga dan faktor heterogenensi masyarakat Kota Baubau.

Pertama, Faktor lingkungan atau keluarga. Dalam realitas yang sekarang

terjadi Bahasa Wolio kecenderungannya di pahami oleh para orang-orang tua

(Mancuana) yang pada zamanya penggunaan Bahasa Wolio itu cenderung

terlestarikan sehingga mereka memahami dengan baik Bahasa Wolio itu sendiri

akan tetapi bila kita lihat pada usia kelahiran minimal tahun 90-an keatas
8

kecenderungannya berubah yakni pemahaman akan Bahasa Wolio itu sendiri

mulai terkikis hal ini dikarenakan pada usia mereka Bahasa Wolio sudah jarang

mereka dengar sebagai alat transaksi komunikasi akibatnya kecenderungan tiak

paham akan bahasa komunikasi itu sangat tinggi. Hal ini pula yang memicu

konflik antar warga Baubau itu sendiri seperti konflik Bone-bone dan Tarafu atau

Kanakea dan Wameo padahal kalau kita melihat populasi warga dari lingkungan

yang sering konflik adalah warga wolio. Asumsinya bahwa dengan tidak

dipahaminya bahasa wolio sebagai sebuah identitas bahasa maka pada sisi budaya

tidak ada pemersatu bagi mereka yang sering melakukan kegiatan anarkis antar

lingkungan, hal ini dikarenakan mereka tidak saling memahami dan paham bahwa

mereka sama-sama warga wolio yang di ikat oleh bahasa yang sama.

Kedua, Faktor heterogensi. Faktor ini juga merupakan komponen paling

berpengaruh yang berkaitan dengan faktor lingkungan. Wilayah Kota Baubau

atara puluhan tahun yang silam dan Kota Baubau beberapa tahun belakangan

sudah sangat berubah. Warga Kota Baubau kini sudah terbagi oleh populasi warga

yang heterogen, bahkan kalau dipetakan pada wilayah Kota Baubau dapat terlihat

heterogensi tersebut. Wilayah Kota Baubau di belah oleh lintasan sungai yang

membagi Kota Baubau menjadi dua wilayah yaitu Timur dan Barat. Pada wilayah

timur seperti kawasan Bone-bone, Wameo, Lipu, Kanakea dan wilayah lainnya

kecenderungannya merupakan wilayah asli wolio dan wilayah bagian barat

kecenderungannya di diami oleh para warga pendatang seperti Warga Ambon,

Jawa, Bugis dan lain-lain hanya kawasan Batu’lo yang mayoritasnya warga wolio.

Hal ini menjadi faktor bahasa wolio cenderung tidak dipahami dikarenakan sudah
9

bersaing dan bercampur dengan bahasa dan dialeg bahasa pendatang seperti

Ambon, Jawa, Bugis.

Maka dari latar belakang yang peneliti telah paparkan dan asumsi dasar yang

peneliti lakukan maka peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan yang berjudul

“Identitas Bahasa Wolio Sebagai Icon Pemersatu Masyarakat Buton (Study

Etnografi Komunikasi Masyarakat Kota BauBau)”.

1.1. Ru

musan Masalah

Peneliti ingin memperoleh kebaruan atas permasalahan tentang identitas

Bahasa Wolio pada Warga Baubau dalam kaitannya terhadap pemersatu warga

Baubau. Budaya memang pada dasarnya menjadi alat pemersatu dan keragaman

bahasa sebagai keanekaragaman budaya, akan tetapi dalam Warga Baubau yang

memiliki banyak bahasa dan hampir digunakan semuanya pada wilayah wilayah

di daratan Kota Baubau dan seringnya terjadi konflik dan kelompok masyarakat

hal ini juga kaitannya dengan kecenderungan Bahasa Wolio sudah mulai jarang

digunakan sehingga ada kecenderungan adanya pomelik atas bahasa terhadap icon

pemersatu Masyarakat Buton bila dikaitkan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang

dikenal dengan teori relativitas linguistik yang di dasarkan oleh penelitian

Edward Sapir yang menyatakan bahwa susunan bahasa suatu budaya menentukan

perilaku dan kebiasaan berfikir dalam budaya tersebut.

Secara singkat permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:
10

1. Bagaimanakah Fungsi Bahasa Wolio sebagai icon pemersatu bagi

masyarakat Kota Baubau ?

2. Bagaimanakah Bahasa Wolio menjadi identitas pemersatu masyarakat

Kota Baubau ?

3. Bagaimanakah Peran Pemerintah dan Tokoh Adat dalam penggunaan

Bahasa Wolio?

1.2. Tu

juan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari

penelitian ini pun dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Menjelaskan dan menemukan peran Bahasa Wolio dalam identitasnya.

2. Menjelaskan dan menemukan Bahasa Wolio sebagai identitas.

3. Menjelaskan dan menemukan peran Pemerintah dan Tokoh Adat dalam

penggunaan Bahasa Wolio.

1.3. Ma

nfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoretis dan manfaat

praktis yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui genealogi bahasa

Buton, yang secara tidak langsung menambah referensi kajian dialektologi dan

linguistik historis komparatif.

2. Praktis
11

Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk mempertahankan harmonisasi

hubungan masyarakat yang terpisah oleh wilayah administratif bahkan yang

terpisah oleh lautan. Bukti kekerabatan bahasa merupakan bukti kesamaan asal-

usul yang dapat mempererat rasa persatuan.

3. Metodologis

Secara metodologis penelitian ini bermanfaat untuk peneliti selanjutnya yang

tertarik dalam kajian linguistik sehingga bisa dijadikan sebagai referensi peneliti

selanjutnya.
12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Konsep Komunikasi

Komunikasi secara etimologis mempunyai arti proses penyampaian suatu

pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Istilah komunikasi diambil

dari bahasa inggris “communication”. Istilah ini berasal dari bahas latin

communicatio yang artinya pemberitahuan atau pertukaran pikiran. Istilah

communicatio bersumber pada kata “communis” yang berarti sama, dalam arti

sama makna. Jadi antara orang-orang yang terlibat dalam komunikasi harus

terdapat kesamaan makna (Effendy, 1993:27).

Beberapa ahli lainnya mendefinisikan komunikasi sebagai pengalihan

informasi untuk memperoleh tanggapan (Aranguren), saling berbagi informasi,

gagasan atau sikap (Schramm), saling berbagi unsur-unsur perilaku, atau modus

kehidupan melalui perangkat-perangkat aturan (Cherry), penyesuaian pikiran para

peserta (Merilland), pengalihan informasi dari satu orang atau kelompok kepada

yang lain, terutama dengan menggunakan simbol (Theodorson). Dari berbagai


13

definisi komunikasi itu Nimmo menjelaskan bahwa kita akan menemukan

kesamaan pada penekanan-penekanan tertentu. (Nimmo, 2005:5).

Komunikasi sebagai proses, Onong U. Effendy, membaginya menjadi dua

tahap yaitu:

“Proses komunikasi secara primer dan proses komunikasi secara sekunder.

Proses komunikasi secara primer dimana proses penyampaian pikiran dan

atau perasaan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan

lambang sebagai media. Lambang sebagai media primer berupa bahasa

isyarat, gambar, warna dan lain-lain secara langsung mampu

menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.

Sedangkan proses komunikasi secara sekunder, dimana proses penyampaian

pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau

sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media

pertama (Effendy, 1993:32).”

Komunikasi secara mudah diartikan sebagai proses transfer pesan dalam

penyaluran informasi atau message melalui sarana atau saluran komunikasi

kepada komunikan yang tertuju (Prisgunanto, 2006: 1).

Menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner, komunikasi merupakan

transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan

menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya.

Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi

(Mulyana, 2005:62).
14

Definisi Harold D. Laswell, bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu

tindakan komunikasi adalah:

“Dengan menjawab pertanyaan: siapa yang menyampaikan (komunikator),

apa yang disampaikan (pesan), melalui saluran apa (media), kepada siapa

(komunikan) dan apa pengaruhnya (efek). Sedangkan menurut Carl I.

Hovland(1953) komunikasi adalah proses yang dimana seseorang

(komunikator) menyampaikan rangsangan(biasanya lambang-lambang

dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain

(komunikate) (Purba dkk, 2006:29-30).”

Menurut Everett M. Rogers mengatakan bahwa komunikasi adalah proses

dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan

maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Mulyana, 2005:62).

Menurut Rogers dan D. Lawrence Kincaid (1981) bahwa :

“Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk
atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada
gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam. Proses ini
meliputi adanya suatu pertukaran informasi (pesan), dimana ia
menginginkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan
dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam
prosees komunikasi (Cangara, 2006:19).”

1.1.2. Tujuan Komunikasi

Menurut Berlo ada 2 (dua) ukuran tujuan komunikasi (dimension of purpose)

yaitu:

1. Kepada "Siapa" seseorang melakukan komunikasi. Dalam hal ini

harus dibedakan antara sasaran yang dituju (Intended receiver) dengan


15

sasaran yang bukan dituju (unitended receiver). Dalam berkomunikasi

paling sedikit terdapat dua keinginan bereaksi.

2. Bagaimana seseorang melakukan komunikasi. Tujuan komunikasi

dapat diletakan di sepanjang ukuran continum, yang menunjukkan

apakah tujuan itu segera diperoleh (consum story purpose) atau

tertunda (Instrumental purpose). Schramm menyebutnya sebagai

"lmmediate reward" dan "delayed reward".

Komunikasi mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Perubahan Sikap (attitude change). Komunikan dapat merubah sikap

setelah dilakukan suatu proses komunikasi.

2. Perubahan pendapat (opinion change). Perubahan pendapat dapat terjadi

dalam suatu komunikasi yang tengah dan sudah berlangsung dan

tergantung bagaimana komunikator menyampaikan komunikasinya.

3. Perubahan perilaku (behaviour change). Perubahan perilaku dapat terjadi

bila dalam suatu proses komunikasi, apa yang dikemukakan komunikator

sesuai dengan yang disampaikan hal ini tergantung kepada kredibilitas

komunikator itu sendiri.

4. Perubahan sosisal (social change). Perubahan yang terjadi dalam tatanan

masyarakat itu sendiri sesuai dengan lingkungan ketika berlangsungnya

komunikasi (Effendy, 1993:55).

2.1.3. Karakteristik Komunikasi


16

Komunikasi dapat terjadi dalam berbagai konteks. Bisa dilakukan secara

langsung antara satu orang atau lebih dengan yang lainnya, bisa juga dilakukan

melalui media, baik media massa maupun media nirmassa.

Betapa kompleksnya komunikasi, Sasa Djuarsa Sendjaja menjelaskan

beberapa karakteristik komunikasi, yaitu :

1. Komunikasi adalah suatu proses. Komunikasi sebagai suatu proses

artinya, komunikasi merupakan serangkaian tindakan yang terjadi secara

berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.

Proses komunikasi melibatkan banyak faktor dan unsur, antara lain:

komunikator, pesan, saluran atau alat yang dipergunakan, komunikan, dan

dampak dari komunikasi.

2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan.

Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja,

serta sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai komunikator. Sadar artinya

kegiatan komunikasi dilakukan dalam keadaan mental psikologis yang

terkendalikan. Disengaja maksudnya komunikasi yang dilakukan sesuai

dengan kehendak komunikator.

3. Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerjasama dari para

pelaku yang terlibat. Kegiatan komunikasi akan berlangsung baik apabila

pihak-pihak yang berkomunikasi sama-sama ikut terlibat dan sama-sama

mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang

dikomunikasikan.
17

4. Komunikasi bersifat simbolis. Komunikasi merupakan tindakan yang

dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang seperti; bahasa verbal

dalam bentuk kata-kata, kalimat-kalimat, angka-angka atau tanda-tanda

lainnya. Selain bahasa verbal, terdapat lambang-lambang nonverbal yang

dapat dipergunakan dalam komunikasi seperti gerak tubuh, warna, jarak

dan lain-lain.

5. Komunikasi bersifat transaksional. Komunikasi pada dasarnya menuntut

dua tindakan, yakni memberi dan menerima. Pengertian transaksional

menunjuk pada suatu kondisi bahwa keberhasilan komunikasi tidak

hanya ditentukan oleh satu pihak, tetapi oleh kedua belah pihak yang

saling bekerjasama.

6. Komunikasi menembus ruang dan waktu. Komunikasi menembus ruang

dan waktu maksudnya, komunikator dan komunikan yang terlibat dalam

komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama. Hal itu

bisa dilakukan dengan bantuan teknologi komunikasi seperti telefon, video

text, teleconference dan lain-lain“ (Sendjaja, 2004: 113-116).

2.1.4. Proses Komunikasi

Proses dalam ilmu komunikasi dibagi dua sudut pandang. Pertama, persektif

psikologis yang memahami komunikasi sebagai proses penyampaian serta

pertukaran pikiran dan perasaan dari seseorang pada orang lain dengan

menggunakan bahasa yang dipahami maknanya. Selain itu kondisi psikologis

komunikator juga sangat mempengaruhi. Komunikator tentu tidak dapat

melakukan komunikasi secara baik dan efektif kalau kondisi psikologisnya sedang
18

kacau. Kedua, perspektif mekanistis membagi komunikasi menjadi empat kategori

yaitu komunikasi primer, sekunder, linier, dan sirkular (Effendy, 2003:31).

1). Proses komunikasi dalam perspektif psikologis

Proses komunikasi dalam perspektif ini terjadi pada diri komunikator dari

komunikan. Ketika seorang komunikator berniat akan menyampaikan suatu pesan

kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi suatu proses. Proses “mengemas”

atau “membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator itu

dalam bahasa komunikasi dinamakan encoding. Hasil encoding berupa pesan itu

kemudian kirimkan kepada komunikan. Sedangkan, proses dalam diri komunikan

disebut decoding seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan yang ia

terima dari komunikator tadi. Isi bungkusan tadi adalah pikiran komunkator.

Apabila komunikan mengerti isi pesan atau pikiran komunikator, maka

komunikasi terjadi. Sebaliknya, bilamana komunikan tidak mengerti, maka

komunikasi tidak terjadi.

2). Proses komunikasi dalam perspektif mekanistis

Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau

“melemparkan” dengan bibir kalau lisan atau tangan jika tulisan pesannya sampai

ditangkap oleh komunikan. Penangkapan pesan dari komunikator oleh

komunikan itu dapat dilakukan dengan indera telinga atau indera mata, atau

indera-indera lainnya. Proses komunikasi tersebut dapat diklasifikasikan

menjadi proses komunikasi secara primer dan sekunder, linear dan sirkular.

a). Proses komunikasi secara primer


19

Proses komunikasi secara primer (primary process) adalah proses

penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan

suatu lambang (symbol) sebagai media atau saluran. Dalam komunikasi

bahasa disebut lambang verbal (verbal symbol) sedangkan lambang-lambang

lainnya yang bukan bahasa dinamakan lambang nonverbal (non verbal symbol).

b). Proses Komunikasi secara Sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh

komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai

media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Komunikator

menggunakan media ke dua dalam menyampaikan komunikasi karena komunikan

sebagai sasaran berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat,

telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan sebagainya adalah

media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Proses komunikasi secara

sekunder itu menggunakan media yang dapat diklasifikasikan sebagai media

massa (surat kabar, televisi, radio, dan sebagainya), media nir-massa (telepon,

surat, megapon, dan sebagainya) dan media social (facebook, twitter, line, path,

instagram, dan lain sebagainya).

c). Proses Komunikasi secara Linear

Proses komunikasi linier merupakan proses penyampaian pesan dari

komunikator kepada komunikan secara satu arah. Proses komunikasi ini bisa

dilakukan secara tatap muka, komunikasi kelompok, atau komunikasi media.

Komunikasi linier umumnya terjadi pada masrakat otokratis dan paternalistik


20

yang informasi tersebut didominasi oleh elit politik dan rakyat hanya

menerimanya secara mentah-mentah.

d). Proses Komunikasi secara Sirkular

Proses secara sirkular adalah terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu

terjadinya arus dari komunikan ke komunikator. Feedback ada kalanya

mengalir dari komunikan ke komunikator itu adalah “response” atau tanggapan

komunikan terhadap pesan yang ia terima dari komunikator.

Proses komunikasi secara primer, pikiran dan atau perasaan seseorang baru

akan diketahui oleh dan akan ada dampaknya kepada orang lain apabila

ditransmisikan dengan menggunakan media primer tersebut yaitu lambang-

lambang. Pesan (message) yang disampaikan komunikator kepada komunikan

terdiri dari isi (content) dan lambang-lambang (symbol).

Media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam

komunikasi adalah bahasa, karena hanya bahasa yang mampu menerjemahkan

pikiran seseorang kepada orang lain, apakah itu berbentuk ide, informasi atau

opini. Selain bahasa, gambar juga banyak digunakan dalam berkomunikasi,

karena gambar melebihi kial, isyarat dan warna dalam hal ”menerjemahkan”

pikiran seseorang tetapi tetap tidak melebihi bahasa. Demi efektifnya

komunikasi, lambang-lambang tersebut sering dipadukan penggunaannya.

Proses komunikasi sekunder merupakan sambungan dari komunikasi primer

untuk menembus dimensi ruang dan waktu. Maka, dalam menata lambang-

lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator harus

memperhitungkan ciri-ciri atau sifat-sifat media yang akan digunakan.


21

Penentuan media yang akan dipergunakan perlu didasari pertimbangan

mengenai siapa komunikan yang akan dituju.

Menurut Effendy bahwa pada proses komunikasi secara sekunder, media

yang dipergunakan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Media Massa (Mass Media), yakni tertuju kepada sejumlah orang yang

relatif amat banyak.

2. Media Nir-Massa atau Media Non Massa, yakni tertuju kepada satu

orang atau sejumlah orang yang relatif sedikit.” (Effendy, 2007:23).

2.1.5. Unsur-unsur Komunikasi

Komunikasi telah didefinisikan sebagai usaha penyampaian pesan antar

manusia, sehingga untuk terjadinya proses komunikasi minimal terdiri dari 3

(tiga) unsur yaitu: (1) Pengirim pesan (komunikator); (2) Penerima pesan

(komunikan); (3) Pesan itu sendiri.

Komunikasi merupakan sebuah proses yang didalamnya terjadi perpindahan

antara pesan yang disampaikan dengan penerima pesan tersebut. Pesan,

merupakan seperangkat lambing bermakna yang disampaikan oleh komunikator.

Hal ini terjadi antara seorang komunikan terhadap komunikator. Pesan itu bisa

berupa gagasan, informasi, opini dan lain-lain. Pesan dibagi 2 (dua) yaitu:

1. Pesan Verbal adalah sebuah proses komunikasi, dimana pada komunikasi

verbal simbol atau pesan verbal adalah semua jenis symbol yang

menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang
22

kita sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal yang disengaja. Yaitu

usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain

secara lisan.

Bahasa dalam proses komunikasi sebagai lambing verbal adalah yang paling

banyak dan paling sering digunakan. Bahasa dapat didefinisikan sebagai

seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi kalimat

yang mengandung arti. (Cangara, 2011:101). Oleh karena itu, hanya bahasa

yang mampu mengungkapkan pikiran komunikator mengenai hal atau peristiwa,

baik yang konkret ataupun yang abstrak, yang terjadi masa kini, masa lalu dan

masa yang akan datang. (Effendy, 2003:33)

Lambang komunikasi verbal menjadi suatu unsur yang penting dalam pesan

yang saling dipertukarkan antara anggota komunitas. Lambang verbal sebagai

pembentuk pesan yang ada di model komunikasi transaksional. Bahasa memiliki

banyak fungsi, namun terdapat sedikitnya tiga fungsi yang erat kaitannya dalam

menciptakan sebuah komunikasi yang efektif, yaitu: (1) untuk mempelajari

tentang dunia di sekeliling kita; (2) untuk membina hubungan yang baik di antara

sesama manusia; (3) untuk

2. Pesan Non Verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Istilah non

verbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi

diluar kata-kata yang terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus

menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan

melalui simbol- simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan


23

perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal

(Mulyana, 2005 : 312).

Analisis 5 (lima) unsur menurut Lasswell (1960), komunikasi pada

dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa (who), mengatakan

apa (says what), dengan saluran apa (in which channel) kepada siapa (to whom),

dengan akibat atau hasil apa (with what effect) :

1. Who (siapa/sumber). Sumber atau komunikator adalah pihak yang

mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu

Komunikasi bisa seorang individu, kelompok organisasi, maupun suatu

negara sebagai komunikator.

2. Says What (pesan). Apa yang akan disampaikan atau dikomunikasikan

kepada penerima (komunikan), dari sumber (komunikator) atau isi

informasi. Merupakan seperangkat symbol verbal atau non verbal yang

mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi.

3. In Which Channel (saluran / media). Wahana atau alat untuk

menyampaikan pesan dari komunikator (sumber) kepada komunikan

(penerima) baik secara langsung (tatap muka), maupun tidak langsung

(melalui media cetak atau elektronik).

4. To Whom (untuk siapa atau penerima). Orang atau kelompok atau

organisai atau suatu Negara yang menerima pesan dari sumber. Disebut

tujuan, pendengar, khalayak, komunikan, penafsir atau penyandi balik.


24

5. With What Effect (dampak atau efek). Dampak atau efek yang terjadi pada

komunikan (penerima) setelah menerima pesan dari sumber, seperti

perubahan sikap, bertambahnya pengetahuan.

Feedback (umpan balik), umpan balik memainkan peranan penting dalam

komunikasi sebab ia menentukan berlanjutnya atau berhentinya komunikasi.

Umpan balik dapat bersifat positif, dapat pula bersifat negatif. Feedback adalah

informasi yang dikirimkan balik ke sumbernya (Clement dan Frandsen, 1976).

2.1.6. Fungsi Komunikasi

Rudolfh F. Verdeber mengemukakan bahwa komunikasi itu mempunyai

dua fungsi, yaitu:

“Pertama, fungsi sosial, yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukan

ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Kedua,

fungsi pengambilan keputusan, yakni memutuskan untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu pada suatu saat tertentu”. (Mulyana, 2007:5).

Menurut Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa

komunikasi mempunyai dua fungsi umum, yaitu:

“Pertama, untuk kelangsungan hidup diri-sendiri meliputi: keselamatan fisik,

meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang

lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup

masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan

mengembangkan keberadaan suatu masyarakat”. (Mulyana, 2007:5).

Empat fungsi komunikasi berdasarkan kerangka yang dikemukakan William

I. Gorden (dalam Mulyana, 2005:5-30), yaitu:


25

1) Sebagai komunikasi sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan

bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita,

aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan,

terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang

bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui

komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat untuk mencapai

tujuan bersama.

a) Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai

diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan

orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita

belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita

merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai;

anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap

anda cerdas; anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar

anda juga mengatakan demikian. George Herbert Mead (dalam

Jalaluddin Rakhmat, 1994) mengistilahkan significant others (orang

lain yang sangat penting) untuk orang-orang disekitar kita yang

mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Ketika

kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita,

dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan

W.J. Humber (1966) menamai affective others, untuk orang lain yang

dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah,


26

secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Selain itu,

terdapat apa yang disebut dengan reference group (kelompok rujukan)

yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh

terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat ini, orang

mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri

kelompoknya.

b) Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan

dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi

pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri

terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun

mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan

langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering

berbicara panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumen-

argumen yang terkadang tidak relevan.

c) Kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh

kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk

mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan

orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan

minum, dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan

kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai

manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah,

adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa

terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain.


27

Abraham Moslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan

dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan

diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi

terlebih dahulu sebelum kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita

mungkin sudah mampu kebuthan fisiologis dan keamanan untuk

bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial,

penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat

khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa

memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima

persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh

dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau

mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas

masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuan-tujuan sosial serta

hiburan.

2) Sebagai komunikasi ekspresif

Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita.

Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan

nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut,

prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa

disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal.

3) Sebagai komunikasi ritual

Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang

tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebaga rites of
28

passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan,

siraman, pernikahan, dan lain-lain. Acara-acara itu orang mengucapkan

kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus

lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji,

upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda,

perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual.

Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut

menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku,

bangsa. Negara, ideologi, atau agama mereka.

4) Sebagai komunikasi instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu:

menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan

tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja

kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga

untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunika membuat kita

peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi

kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama.

Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan

pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka

panjang. Tujuan jangka pendek misalnya untuk memperoleh pujian,

menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan

material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan

pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan


29

nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan

pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan

kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan.

Tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya

keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua

tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan dalam arti

bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai

tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya untuk

memperoleh jabatan, kekuasaan, penghormatan sosial, dan kekayaan.

Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini, terdapat beberapa pendapat dari

para ilmuwan yang bila dicermati saling melengkapi. Walaupun begitu, fungsi

komunikasi bisa dilihat juga sesuai dengan konteksnya. Misal pada komunikasi

antarpribadi, fungsi utama komunikasi antarpribadi adalah meningkatkan

hubungan insani, menghindaridan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi

ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang

lain (Cangara, 2005:56). Komunikasi kelompok berfungsi untuk menumbuhkan

semangat kebersamaan dan solidaritas.

Menurut Effendy (1994), berpendapat fungsi komunikasi adalah

menyampaikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Sedangkan

Harold D Lasswell (dalam Nurudin, 2004 dan Effendy, 1994:27) memaparkan

fungsi komunikasi yaitu: (1) Penjajagan/pengawasan lingkungan (surveillance of

the information) yakni penyingkapan ancaman dan kesempatan yang

mempengaruhi nilai masyarakat; (2) Menghubungkan bagian-bagian yang


30

terpisahkan dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya; (3) Menurunkan

warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya.

2.1.7. Sifat Komunikasi

Sifat komunikasi menurut Onong Uchana Effendy ada beberapa jenis,

yaitu: (1) Tatap muka (face-to-face); (2) Bermedia (Mediated); (3) Verbal

(verbal) yaitu lisan (oral), tulisan; (4) Non verbal (non-verbal) yaitu gerakan/

isyarat badaniah (gestural) dan bergambar (pictorial).” (Effendy, 2007:7)

Penyampaian pesan, seorang komunikator dituntut untuk memiliki

kemampuan dan sarana agar mendapat umpan balik (feedback) dari komunikan

sehingga maksud pesan tersebut dapat dipenuhi dengan baik dan berjalan efektif.

Komunikasi dengan tatap muka (face-to-face) dilakukan. antara komunikator

dan komunikan secara langsung, tanpa menggunakan media apapun kecuali

bahasa sebagai lambang atau symbol. Komunikasi bermedia dilakukan oleh

komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media sebagai alat bantu

dalam menyampaikan pesannya.

Komunikator dapat menyampaikan pesannya secara verbal dan non

verbal. Verbal dibagi ke dalam dua macam yaitu lisan (oral) dan tulisan

(written/ printed). Non verbal dapat menggunakan gerakan atau isyarat badaniah

(gestural) seperti melambaikan tangan, mengedipkan mata dan sebagainya, dan

menggunakan gambar untuk mengemukakan ide atau gagasannya.

2.1.8. Model-Model Komunikasi Transaksional

2.1.8.1. Pengertian Model Komunikasi


31

Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata ataupun abstrak,

dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut atau suatu

gambaran yang sistimatis dan abstrak, dimana menggambarkan potensi- potensi

tertentu yang berkaitan dengan berbagai aspek dari sebuah proses. Menurut

Gordon Wiseman dan Larry Barker mengemukakan bahwa model komunikasi

mempunyai tiga fungsi, yaitu: melukiskan proses komunikasi, menunjukkan

hubungan visual, dan membantu dalam menemukan serta memperbaiki

kemacetan komunikasi (Cangara (2011:39).

Model adalah kerangka kerja konseptual yang menggambarkan penerapan

teori untuk kasus-kasus tertentu. Sebuah model membantu kita

mengorganisasikan data-data sehingga dapat tersusun kerangka konseptual

tentang apa yang akan diucapkan atau ditulis. Kerap kali model-model teoritis,

termasuk ilmu komunikasi, digunakan untuk mengekpresikan definisi

komunikasi, bahwa komunikasi adalah proses transmisi dan resepsi informasi

antara manusia melalui aktivitas encoder yang dilakukan pengirim dan decoder

terhadap sinyal yang dilakukan oleh penerima.

Model Komunikasi adalah gambaran yang sederhana dari proses komunikasi

yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen

lainnya (Muhammad, 1992:5).

David Crystal dalam bukunya A dictionary of linguistics phonetics kerap

memodelkan komunikasi melalui definisi, komunikasi terjadi ketika informasi

yang sama maksudnya dipahami oleh pengirim dan penerima. Edmondson dan

Burquest mengatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi berisi jenis-jenis


32

kode yang dikomunikasikan melalui suatu proses encoding suatu konsep yang

akan disandi balik melalui proses decoding (Liliweri, 2011:78).

Menurut Sereno dan Mortensen model komunikasi merupakan deskripsi ideal

mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Model komunikasi

mempresentasikan secara abstrak ciri-ciri penting dan menghilangkan rincian

komunikasi yang tidak perlu dalam dunia nyata. Sedangkan B. Aubrey Fisher

mengatakan, mengatakan model adalah analogi yang mengabstraksikan dan

memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat, atau komponen yang penting dari

fenomena yang dijadikan model. Model adalah gambaran informal untuk

menjelaskan atau menerapkan teori, dengan kata lain, model adalah teori yang

lebih disederhanakan (Liliweri, 2011:78).

Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr mengatakan model membantu

merumuskan teori dan menyarankan hubungan. Oleh karena hubungan antara

model dengan teori begitu erat, model sering dicampuradukkan dengan teori. Oleh

karena kita memilih unsur-unsur tertentu yang kita masukkan dalam model, suatu

model mengimplikasikan penilaian atas relevansi, dan ini pada gilirannya

mengimplikasikan teori mengenai fenomena yang diteorikan. Model dapat

berfungsi sebagai basis bagi teori yang lebih kompleks, alat untuk menjelaskan

teori dan menyarankan cara-cara untuk memperbaiki konsep-konsep (Mulyana,

2008:131).

2.1.8.2. Fungsi Model Komunikasi

Menurut Gorden Wiseman dan Larry Barker mengemukakan bahwa ada tiga

fungsi model komunikasi yang pertama melukiskan proses komunikasi, kedua,


33

menunjukkan hubungan visual, dan ketiga, membantu dalam menemukan dan

memperbaiki kemacetan komunkasi (Ardianto, dkk, 2007:68).

Deutsch dalam buku Teori Komunikasi Stephan Littlejohn Menyebutkan

bahwa model mempunyai empat fungsi: pertama, mengorganisasikan (kemiripan

data dan hubungan) yang tadinya tidak teramati, kedua, heuristik (menunjukkan

fakta-fakta dan metode baru yang tidak diketahui), ketiga, prediktif,

memungkinkan peramalan dari sekedar tipe ya atau tidak hingga yang kuantitatif

yang berkenaan dengan kapan dan berapa banyak, keempat, pengukuran,

mengukur fenomena yang diprediksi.

Fungsi-fungsi tersebut pada gilirannya merupakan basis untuk menilai suatu

model:

1. Seberapa umum (general) model tersebut? Seberapa banyak bahan yang

diorganisasikannya, dan seberapa efektif?

2. Seberapa heuristic model tersebut? Apakah ia membantu menemukan

hubungan-hubungan baru, fakta atau model?

3. Seberapa penting prediksi yang dibuat dari model tersebut bagi bidang

penelitian? Seberapa strategis prediksi itu pada tahap perkembangan

bidang tersebut?

4. Seberapa akurat pengukuran yang dapat dikembangkan dengan model

tersebut? (Mulyana, 2008:133).

2.1.8.3. Tipologi Model Komunikasi

Kita dapat menggolongkan model dengan berbagai cara. Model yang lebih

penting adalah model simbolik yang terdiri dari model matematik dan model
34

verbal; lalu model fisik yang terdiri dari model ikonik dan model analog. Model

verbal adalah model atau teori yang dinyatakan dengan kata-kata, meskipun

bentuknya sangat sederhana. Model verbal sangat berguna terutama untuk

menyatakan hipotesis atau menyajikan hasil penelitian.

Model fisik secara garis besar terbagi dua, yakni model ikonik yang

penampilan umumnya (rupa, bentuk, tanda) menyampaikan objek yang

dimodelkan. Sebagan model ikonik, selain menyerupai objek aslinya juga

menunjukan sebagian fungsi penting objek yang dimodelkan. Menurut Bross,

model menyajikan suatu proses abstraksi. Perkembangan model simbolik,

khususnya model matematik penting dalam profesi ilmuwan. Pembuatan model

adalah upaya penting dalam memajukan ilmu pengetahuan dan kuantitas model

yang dihasilkannya menandai kematangan ilmiah disiplin tersebut.

Model-model komunikasi Lasswell, Shannon dan Weaver serta Schramm,

yang linier namun terkenal itu misalnya, muncul model-model yang sirkuler.

Jumlah unsur yang mengidentifikasi dalam fenomena komunikasi, model-model

lebih mutahir menambahkan unsur-unsur baru yang dalam model lama tidak

disebut. Misalnya lingkungan fisik, seperti dalam model Gudykunst dan Kim dan

konteks waktu dalam model Tubbs.

Model Gerbner merupakan perluasan dari model Lasswell, model Westley dan

MacLean dari model Newcomb dan model DeFleur dari model Shannon dan

Weaver. Schramm yang mengemukakan teori peluru komunikasi (the bullet

theory of communication) sebagai model verbal mengenai efek komunikasi pada

tahun 1950-an harus merevisi modelnya tersebut dalam dekade berikutnya.


35

Model komunikasi yang paling utama terdiri atas 3 (tiga) yaitu model

komunikasi linier, model interaksional dan model komunikasi transaksional.

1) Model Komunikasi Linier

Model komunikasi linier dideskripsikan oleh ilmuan Claude Shannon

(seorang ilmuwan Bell Laboratories dan profesor di Massachusetts Institute of

Technology) dan Warren Weaver (seorang konsultan pada sebuah proyek di Sloan

Foundation) dalam Rohim (2009:14-15) mengemukakan bahwa komunikasi

sebagai proses linier atau satu arah. Pendekatan ini terdiri dari elemen-elemen

penting yakni sumber (source), pesan (message) dan penerima (reciever).

Gambar 2.1. Model Komunikasi Linier Claude Shannon


s
Psikologi
semantik

Fisiologis
Fisik

gangguan

Pengirim/ Pesan Target/Penerima


Sumberr

gangguan
s
Psikologi
k
semanti

is
Fisiolog
Fisik

Model Linier ini berlangsung satu arah bahwa pesan dikirimkan oleh suatu

sumber melalui penerima melalui saluran. Sumber dari tersebut bisa berupa asal
36

ataupun pengirim pesan. Sedangkan pesan yang dikirim  dapat berupa kata-kata,

suara, tindakan, atau gerak-gerik dalam sebuah interaksi. Komunikasi model linier

ini juga melibatkan gangguan (noise) yang merupakan hal yang tidak

dimaksudkan oleh sumber informasi. Ada 4 (empat) jenis gangguan pada model

komunikasi liner ini, yaitu: gangguan semantik, gangguan fisik (eksternal),

gangguan psikologis, dan gangguan fisiologis (Rohim, 2009:14-15).

2) Model Komunikasi Interaksional

Model komunikasi ini dikembangkan oleh Wilbur Schramm (1954) yang

menekankan pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator.

Pada proses ini terdapat elemen penting lain, selain sumber, pesan, dan

penerima, yaitu umpan balik (feedback) yang merupakan tanggapan atas suatu

pesan yang diberikan oleh komunikator. (Rohim, 2009:15). Penelitian ini

berdasarkan pada model komunikasi interaksional yang dikembangkan oleh

Wilbur Schramm (1954), yang menekankan pada proses komunikasi dua arah

diantara dua komunikator. Menurut Schramm:

“ Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistim.


Karena didalamnya terdapat sebuah lingkaran yang saling terkait satu sama
lain dan komunikasi selalu berlangsung. Sistemyang berjalan juga baku,
dimana komunikasi selalu berjalan dua arah : Dari pengirim kepada
penerima dan penerima kepada pengirim” (dalam West dan Turner,
2008:13).

Gambar 2.2.Model komunikasi interaksional Wilbur Schramm (1954 dalam

West dan Turner, 2008:13).


37

Gangg
uan

Pesan

Gangg Gangg
uan uan

Pengirim Penerima

Umpan Balik Umpan Balik

Saluran

Gangg
uan
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistim. Setiap

sistem memiliki sifat-sifat strukural, integratif dan medan. Semua sistem terdiri

dari subsistim-subsistem yang saling tergantung dan bertindak bersama sebagai

suatu kesatuan. Selanjutnya, semua sistem mempunyai kecenderungan untuk

memelihara dan mempertahankan kesatuan. Bila ekuilibrium dari sistem

terganggu, segera akan diambil tindakannya. Setiap hubungan interpersonal harus

dilihat dari tujuan bersama, metode komunikasi, ekspektasi dan pelaksanaan

peranan (West dan Turner, 2008:13).

Model interaksional ini mengacu pada perspektif interaksi simbolik yang

dikembangkan oleh ilmuwan sosial untuk menjelaskan komunikasi. Sesuai

dengan perspektif interaksi simbolik, model interaksional dalam komunikasi

mengatakan bahwa orang-orang sebagai peserta komunikasi bersifat aktif, kreatif

dan reflektif, menafsirkan, dan menampilkan perilaku kompleks yang sulit


38

diprediksi. Kemudian, feedback atau umpan balik adalah: “Salah satu elemen

penting atau vital dalam komunikasi model interaksional. Menurut model ini juga,

peserta komunikasi yang mengambil peran disini adalah orang-orang yang

mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, tepatnya melalui

pengambilan peran orang lain.” (Mulyana, 2007:55).

3) Model Komunikasi Transaksional

Model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund (1970).

Bahwa:

“Model komunikasi ini memfokuskan dan memberikan penekanan pada

proses pengiriman dan penerimaan pesan yang berlangsung secara terus-

menerus dalam suatu sistemkomunikasi dengan latar belakang dua individu

yang berbeda. Proses pengiriman dan penerimaan pesan yang ada pada

komunikasi yang bersifat transaksional adalah proses komunikasi secara

kooperatif dimana pengirim dan penerima pesan tersebut bersama-sama

bertanggung jawab terhadap efek atau akibat yang dihasilkan dari proses

komunikasi tersebut, apakah pesan yang disampaikan berdampak atau

tidak, karena dalam model komunikasi ini suatu makna dapat dibangun

oleh umpan balik dari peserta komunikasi.” (Rohim, 2009:16).

Model komunikasi transaksional berasumsi bahwa saat seseorang terus

menerus mengirimkan dan menerima pesan, maka seseorang tersebut akan selalu

terikat dengan elemen komunikasi verbal maupun nonverbal. Menurut West &

Turner (2007) menyebutkan dalam komunikasi transaksional juga terdapat bidang

pengalaman, tetapi terjadi perpotongan antara kesamaan bidang pengalaman


39

antara dua individu yang sedang berkomunikasi tersebut. Proses komunikasi yang

berlangsung masing-masing menunjukkan proses pemahaman yang terjalin secara

aktif, sehingga akan muncul suatu pemahaman baru sebagai hasil dari interaksi

dan proses komunikasi, serta integrasi diantara masing-masing peserta

komunikasi dengan latar pengalaman yang berbeda-beda (Rohim, 2009:16-17).

Jika dipandang dari sisi transaksional, terdapat kesamaan hal yang terjadi

dengan model interaksi dimana turut melibatkan arti penting dari umpan balik.

Kemudian dalam pandangan yang lebih jauh, komunikasi dipandang sebagai

sebuah proses dimana di dalamnya para partisipan saling mempengaruhi secara

mutual (Rohim,2009:219).

Komunikasi sebagai model transaksi juga dinyatakan oleh Burgoon dan

Ruffner (1978) dalam Rohim (2009:219) dimana orang-orang secara simultan

bertindak sebagai sumber sekaligus penerima dalam banyak situasi komunikasi.

Seseorang memberikan umpan balik, berbicara, memberi tanggapan, bertindak,

dan bereaksi secara berkelanjutan dalam sebuah peristiwa komunikasi. Setiap

orang akan secara konstan berpartisipasi dalam aktivitas komunikasi. Setiap hal

tersebut dapat mengubah elemen-elemen yang lain dan membentuk persepsi

tertentu terhadap suatu hal baru dalam proses yang terjadi.

Gambar 2.3. Model Komunikasi Transaksional Barnlund (1970)


40

Gangguan:
Semanatik
Fisik
Psikologis
Fisiologis

Pesan/
Umpan Balik
Komunikator Komunikator

Bidang Kesamaan Bidang Pengalaman Bidang


Pengalaman Pengalaman

Sumber: West & Turner (dalam Rohim, 2009).

Menurut Devito, bahwa ada 6 (enam) elemen komunikasi yang mempengaruhi

proses komunikasi transaksional:


41

Gambar 2.4. Model Komunikasi Transaksional Devito

1. Source and Receiver (Encoder/Decoder)

Sumber dan penerima, sebagai aktor penting terjadinya proses komunikasi.

Sumber berperan sebagai penyamai pesan atau pemilik informasi yang akan

disampaikan pada Penerima. pesan ini bisa berbentuk pesan verbal atau non-

verbal. contoh pesan verbal seperti informasi yang dikeluarkan dengan lisan dan

nn-verbal informasi yang berbentuk gambar, mimik wajah, bahasa tubuh dan lain-

lain yang tidak menggunakan kata-kata atau tulisan.

2. Message (pesan)

Seperti yang sudah disebutkan pada point pertama bahwa pesan bisa

berbentuk verbal maupun non-verbal. Verbal berbentuk kata-kata atau tulisan

sedangkan non-verbal seperti gambar, mimik wajah, bahasa tubuh dan lain-lain

yang tidak menggunakan kata-kata atau tulisan.


42

3. Channel (Saluran atau Media)

Saluran merupakan media yang digunakan dalam menyampaikan pesan yang

ditujukan kepada receiver media bisa berbentuk media yang menampilkan tulisan

seperti proyektor untuk presentasi. Telepon juga termasuk media atau channel

yang menyampaikan suara ke tempat yang berjauhan sama seperti radio.

Selanjutnya ada media yang bersifat audio visual seperti televisi. Diantara media-

media yang sudah disebutkan, media audiovisual yaitu televisi dianggap sebagai

media yang paling efektif dalam menyampaikan pesa karena bersifat audiovisual

(menyampaikan pesan dengan menggunakan suara dan gambar) sehingga mudah

ditangkap dan dicerna pesan apa yang akan disampaikan.

4. Noise (Gangguan)  

Berlangsungnya komunikasi akan muncul misscommunication atau kesalah

pahaman pencernaan informasi yang disampaikan oleh source yang disebabkan

oleh gangguan-gangguan komunkasi. Berikut merupakan jenis-jenis gangguan

yang sering terjadi di dalam komunikasi :

a) Gangguan Semantik (semantic noise)

Gangguan ini berhubungan dengan penggunaan bahasa yang berbeda

atau berselisihan antara source dan receiver. Semantik noise

berhubungan dengan slang, jargon, atau bahasa-bahasa spesialisasi yang

digunakan secara perseorangan dan kelompok.

b) Gangguan Fisik (Physical noise)


43

Gangguan ini berhubungan dengan gangguan yang terjadi di lingkungan

saat kita sedang berkomunikasi atau berada diluar komunikator dan

komunikan. Bisa berbentuk suara yang bising, cuaca, suara hujan dll.

Semua bentuk lingkungan yang tidak mendukung suasan untuk

berkomunikasi disebut gangguan fisik.

c) Gangguan Psikologis (Psychological noise)

Gangguan ini berhubungan dengan kondisi psikis komunikan dan

komunikator, gangguan ini merujuk pada perasangka, bias, dan

kecenderungan yang dimiliki oleh komunikator tehadap satu sama lain

atau terhadap pesan itu sendiri.

d) Gangguan Fisiologis (physiological noise)

Gangguan ini berhubungan dengan gangguan biologis terhadap proses

komunikasi. Gangguan bisa berasal dari dalam diri masing-masing dari

komunikator dan komunikan.

5. Feedback (Umpan Balik)

Respon receiver terhadap pesan yang diterimanya, respon bisa berbentuk

verbal atau non-verbal. Ada hal penting yang harus digaris bawahi dalam poin ini,

receiver  menanggapi pesan sesuai dengan pemahaman dan penafsirannya dia

sendiri karena setiap orang tidak memiliki cara penafsiran pesan yang sama. Jadi,

isi pesannya bisa ditangkap dengan baik namun cara menyampaikannya nanti ke

orang lain bisa berbeda-beda.

6. Konteks
44

Ruang lingkup tempat dimana kita berkomunikasi, misalnya kita sedang

bersama teman kita menggunakan bahasa yang non-formal, lingkungan teman ini

yang disebut sebgai konteks. jika kita berbicara kontek organisasi kita harus

berbica dengan bahasa yang formal.

2.1.9. Bahasa dan Identitas

Pengkajian bahasa dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu secara

internal dan eksternal. Sosiolinguistik termasuk pada kajian bahasa secara

eksternal karena bidang ini membutuhkan disiplin ilmu lain, yakni sosiologi,

untuk membantu melihat faktor-faktor di luar bahasa yang berkaitan dengan

pemakaian bahasa oleh penuturnya. Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara

bahasa dan masyarakat pemakainya. Holmes (1992) mengatakan bahwa

sosiolinguistik berusaha menjelaskan mengapa kita memakai bahasa yang berbeda

pada konteks sosial yang berbeda dan mengidentifikasi fungsi sosial dari bahasa

serta cara yang digunakan untuk menyampaikan pesan sosial. Bahasa itu sendiri

merupakan sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunaan oleh para

anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan

mengidentifikasikan diri (Yuwono, 2009:3).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa adalah identitas. 

Identitas terbagi menjadi dua, yaitu identitas personal dan identitas sosial.

Identitas personal menurut William James, dalam Walgito (2003:97) merupakan

skema yang berisi kumpulan keyakinan dan perasaan mengenai diri sendiri yang

terorganisasi. Konsep ini merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri

dan kemudian akan mempengaruhi perilakunya sehari-hari.  Pembentukan


45

identitas personal dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain.  Identitas sosial

adalah pribadi yang terlibat dalam interaksi sosial (James, dalam Walgito,

2003:98).  Dalam hal ini, seseorang tidak dilihat sebagai satu individu, tetapi

merupakan bagaian dari suatu kelompok sosial tertentu atau disebut juga

depersonalisasi.  Identitas seseorang, baik personal maupun sosial, akan sangat

mempengaruhi penggunaan bahasanya.

Konsep bahasa dan identitas ini berkaitan erat dengan sikap bahasa.  Sikap

bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang,

sebagaian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan

kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang

disenanginya (Anderson, dalam Chaer, 1995:151).  Adapun ciri-ciri sikap bahasa

menurut Garvin dan Mathiot, dalam Chaer (1995) ada tiga, yaitu kesetiaan bahasa

yang mempengaruhi seseorang untuk mempertahankan bahasanya, kebanggaan

bahasa yang mendorong seseorang untuk mengembangkan bahasanya, dan

kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang untuk menggunakan

bahasanya dengan cermat dan santun.

Sikap bahasa inilah yang digunakan sebagai kacamata untuk melihat

hubungan antara pemakaian bahasa dan identitas.  Penyebab utama adanya

perbedaan bahasa adalah kesadaran manusia untuk mempertahankan identitasnya

(Chambers, 2003:274). Penialian identitas dalam penggunaan bahasa dapat dilihat

dari dua arah, yaitu penilaian terhadap diri sendiri dan penialain terhadap orang

lain.  Penilaian identitas yang dilakukan terhadap diri erat kaitannya dengan

identitas personal. Bedanya, penilaian ini tidak hanya berlaku pada satu individu,
46

tetapi bisa juga pada satu kelompok tertentu. Seseorang atau kelompok akan

mempertahankan eksistensinya agar bisa dibedakan dengan individu atau

kelompok yang lainnya. Salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi

tersebut adalah dengan menggunakan bahasa. Sebagai contoh, seorang anak

remaja akan membedakan bahasa yang digunakannya dengan bahasa yang

digunakan orang dewasa. Motif mereka 8melakukan itu bukan semata-mata agar

memperoleh superioritas moral atau intelektual, melainkan untuk melepaskan

dirinya dari ketidakmandirian mereka di bawah peran orang dewasa (Chambers,

2003:275).  Bahasa merupakan alat yang paling tepat untuk mengidentifikasikan

diri dari orang lain. Contoh lainnya adalah sikap kaum intelektual Indonesia pada

tahun 1950-an yang menganggap negatif bahasa Indonesia (Chaer, 1995:151). 

Pada masa itu, bahasa Belanda dianggap sebagai bahasa yang lebih baik oleh

kaum intelektual karena mereka pernah menuntut ilmu di sana.

Selain itu, ada pula penilaian identitas yang dilakukan orang lain terhadap satu

individu atau kelompok lainnya.  Dari cara seseorang berbahasa, orang lain akan

dapat menilai siapa identitas orang tersebut, baik dari segi usia, jenis kelamin,

kelas sosial ekonomi, etnik, maupun kepribadiannya. Berikut adalah cuplikan

kalimat dari dua orang yang berbeda:

1. I don’t know, it’s jus’ stuff that really annoys me. And I jus’ like stare at

him and jus’ go … like, “huh”.

2. It was sort of just grass steps down and where I dare say it had been
flower beds and goodness-know-what. (Holmes, 1992:183).
Kutipan pertama Taglimonte bertaruh bahwa itu adalah ucapan dari seorang

remaja perempuan berusia 18 tahun, sedangkan kutipan yang kedua diucapkan


47

oleh seorang wanita berusia 79 tahun.  Penilaian ini sangat bergantung pada

budaya dan kebiasaan masyarakat bahasa setempat.  Usia penutur dan bahasa

yang digunakan dapat dibedakan dari nada, kosa kata, pelafalan, dan struktur tata

bahasanya (Holmes, 1992:183).

Orang lain juga dapat menilai bahasa yang digunakan berdasarkan jenis

kelamin dan kelas sosial.  Di dalam masyarakat barat, perbedaan penggunaan

bahasa  pada laki-laki dan perempuan tidak dapat dipisahkan dari perbedaan kelas

sosial mereka berasal (Holmes, 1993:168). Berikut ini merupakan hasil survey

yang dilakukan oleh Sydney Community tentang pelafalan glottal pada perempuan

dan laki-laki yang berasal dari kelas menengah dan kelas pekerja di masyarakat

Tyneside.

Bahasa juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasikan kepribadian

seseorang.  Menurut Litauer, ada empat kepribadian, yaitu sanguinis, plegmatis,

koleris, dan melakonkonis. Sikap bahasa juga akan berpengaruh pada identitas

seseorang dalam pergaulan sehari-hari.  Ada orang yang tetap mempertahankan

identitas personalnya ketika bergaul.  Ia akan membawa identitasnya tersebut ke

kelompok sosial mana pun yang ia masuki.  Orang-orang seperti ini memiliki

motif untuk mempertahankan eksistensinya di tengah pergaulan.  Hal ini bisa pula

terjadi karena orang tersebut merasa bisa diterima oleh kelompok mana pun tanpa

mengubah identitasnya sehingga ia tidak memiliki alasan yang kuat untuk

mengubahnya atau bisa juga karena faktor kebiasaan.  Di sisi lain, ada orang yang

ingin melebur pada suatu kelompok sosial tertentu dalam pergaulan sehingga ia

menyamakan dirinya dengan kelompok tersebut agar bisa diterima. 


48

Kesadaran identitas yang mengakibatkan perbedaan penggunaan bahasa ini

memberikan dinamika dan warna pada masyarakat bahasa sehingga individu atau

kelompok yang satu dapat dibedakan dengan individu atau kelompok yang lain. 

Perbedaan ini ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Perbedaan yang bersifat

vertikal yaitu membentuk strata dari atas ke bawah, biasanya terjadi karena ada

motif memurnikan kelompok dari kelompok lain.

Perbedaan dari penggunaan bahasa akibat identitas dalam masyarakat juga

bisa terjadi secara horizontal.  Tidak ada hirarki yang terbentuk, hanya sekedar

membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain secara sejajar, tidak ada

satu lebih tinggi di anatara yang lain.  Perbedaan horizontal ini terjadi karena

faktor usia, jenis kelamin, etnik, kepribadian, dan lain-lain.

Beberapa contoh penelitian yang sudah dilakukan berkaitan dengan

penggunaan bahasa dan identitas adalah sebagai berikut:

1. “Fenomena Bahasa Gaul sebagai Bahasa Komunitas pada Kalangan Gay

di Kota Bandung”, penelitian ini dilakukan pada tahun 2007 oleh

mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.  Dalam penelitiannya,

mereka menelusuri bahasa verbal yang digunakan oleh kalangan gay

sebagai komunikasi untuk mengidentifikasikan kelompok mereka.

(Dikutip dari Tesis Asep Munandar tahun 2017 Universitas Indonesia)

2. “Bahasa Using: Sebuah Eksistensi Bahasa di Ujung Timur Pulau Jawa”.

Penelitian ini memperlihatan memperlihatkan bagaimana eksistensi dan

perubahan yang terjadi dalam Bahasa Using terkait dengan hubungannnya

dengan Bahasa Jawa dan Bahasa Bali melalui pendekatan teori


49

sosiolinguistik. Bahasa Using adalah suatu bahasa yang penutur aslinya

terdapat di bagian tengah kebupaten Banyuwangi Jawa Timur yang tidak

hanya bertahan dari pengaruh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,

tetapi juga dari bahasa Jawa Mataraman yang biasa digunakan di daerah

Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahasa ini memiliki keunikannya sendiri

jika dibandingkan dengan bahasa Jawa atau bahasa Bali yang posisinya

mengapit Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa. (Dikutip dari Tesis

Munhan Mawadar Universitas Jember)

3. “Bahasa dan Identitas Sosial: Kajian Tingkat Tutur Bahasa Bima”.

Penelitian ini dilakukan oleh Syamsinas Jafar dari Universitas Mataram.

Hasil penelitiannya diterbitkan di Departemen Pendidikan Mataram.  Ini

adalah penelitian yang menerangkan tingkatan tutur bahasa yang

digunakan dalam bahasa Bima. (Dikutip dari Tesis Syamsinas Jafar dari

Universitas Mataram).

2.1.10. Bahasa Wolio

Masyarakat Buton terdiri dari berbagai macam etnis yang mendiami satu

wilayah dengan warisan budaya yang unik. Buton terkenal dengan peradabannya

yang tinggi terbukti dari banyaknya peninggalan budaya mereka yang masih

ditemukan di Kota Baubau.

Di Buton terdapat daerah tingkat II atau region yang dikenal dengan nama

Kabupaten Buton Pada awalnya Kabupaten Buton dengan ibu Kota Baubau

memiliki wilayah pemerintahan adalah bekas dari Kerajaan Buton atau

Kesultanan Buton, yaitu meliputi sebagian wilayah pulau Buton, sebagian wilayah
50

pulau Muna, seluruh pulau Kabaena, sedikit bagian pulau Sulawesi, serta pulau-

pulau yang ada di bagian selatan dan tenggara pulau Buton.

Sekarang dengan adanya pemekaran daerah, wilayah itu terbagi menjadi

beberapa wilayah kabupaten, yaitu:

1. Kabupaten Buton

2. Kota Bau-bau

3. Kabupaten Wakatobi

4. Kabupaten Bombana

Buton juga sangat kaya dengan warisan linguistik dan sampai saat ini terdapat 

90 jenis penggunaan bahasa tradisional etnik yang berbeda-beda dari tiap suku

yang mendiami wilayahnya masing-masing. Menurut masyarakatnya, penggunaan

bahasa yang berbeda itu untuk menandakan asal usul suku dan tempat dominasi

mereka. Pada bagian wilayah sentralnya didominasi oleh Suku Wolio.

Orang-orang di Buton sebagian meyakini bahwa nenek moyang mereka telah

merantau ke Maluku dan menetap disana menjadi masyarakat Ambon. Ibu Kota

Buton yaitu Baubau menduduki peringkat ke-8 sebagai Kota terbesar di Sulawesi

berdasarkan jumlah populasi tahun 2015 atau urutan ke-2 untuk Provinsi Sulawesi

Tenggara . Hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2012 berjumlah 122.339

jiwa. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2015 jumlah penduduk Kota Baubau

sebanyak 137.118 jiwa, dengan kepadatan sebesar 1.113 per km², dan

pertumbuhan sebesar 2,975% per tahun.

Penggunaan Bahasa Wolio sebagai bahasa resmi kerajaan Buton selain Bahasa

Melayu dan Bahasa Arab pada hakekatnya adalah untuk menunjukkan jati diri
51

Bangsa Buton dalam menggambarkan kepada masyarakat dunia pada masa itu

bahwa Kerajaan Buton tidak sedang dalam jajahan bangsa lain, atau tegasnya

Kerajaan Buton adalah kerajaan yang bebas dan merdeka. Bahasa Wolio dijadikan

sebagai lambang kebangsaan, lambang kebanggaan dan alat komunikasi yang

dapat mempersatukan negerinya. Dengan demikian, maka tentu salah satu alasan

utama penetapan Bahasa Wolio sebagai bahasa resmi pada masa itu adalah lebih

bersifat politik selain menjaga wibawa dan martabat bangsanya.

Wolio termasuk salah satu kelompok bahasa yang terdapat di Kerajaan Buton,

yang wilayah pemakaiannya di pusat pemerintahan Keraton Buton di Wolio,

sekarang pemerintahan Kota Baubau. Salah satu keunggulan bahasa Wolio

dibandingkan kelompok bahasa lainnya di Kerajaan Buton, bahwa Bahasa Wolio

memiliki sistem aksara sendiri yang diadopsi dari Aksara Arab dan Aksara Jawi.

Bahasa Wolio menjadi salah satu bahasa resmi di lingkungan Kerajaan Buton,

selain Bahasa Melayu dan Bahasa Arab. Dalam tradisi tulisan (naskah kuno),

Bahasa Wolio digunakan untuk menuliskan berbagai hal seperti Undang-Undang,

ajaran Agama Islam dan surat-menyurat di tingkat kerajaan.

Bahasa Wolio diklasifikasikan sebagai bahasa dari golongan Bahasa Sulawesi

Tenggara yang termasuk ke dalam golongan Bahasa Austronesia Barat (Tsuchiya,

Kato, dan Fukami eds. 1991). Pada masa lalu, Bahasa Wolio dipakai Orang Wolio

di pejabat Kerajaan/Kesultanan Buton sebagai bahasa pemerintahan, selain bahasa

harian. Kini, Bahasa Wolio dipakai orang Wolio, terutamanya di bekas istana

kesultanan, yaitu Keraton Wolio dan sekitarnya.


52

Dalam KAMZ, manuskrip yang ditulis dalam Bahasa Wolio berjumlah 71

buah dengan 4 daripadanya ditulis dalam huruf Latin. Isinya berkaitan hukum,

upacara adat dan Islam. Keempat-empat manuskrip itu diperkirakan dibuat pada

abad ke-19 dan ke-20. Seterusnya, 67 buah daripada 71 buah manuskrip Wolio

ditulis dalam Jawi Wolio. Dalam Bahasa Wolio, Jawi Wolio disebut sebagai “

buri Wolio ”. Jumlah dan jenis huruf Arab yang digunakan untuk “ buri Wolio ”

banyak kesamaan dengan huruf Arab yang digunakan untuk Jawi umum, yaitu

terdiri dari 36 huruf (Lihat Rajah 4). Namun, ada sedikit perbedaan dalam jumlah

dan jenis huruf Arab untuk “buri Wolio ” berdasarkan zaman pembuatannya,

sehinggakan mulai saat ini hal tersebut masih lagi menjadi persoalan yang harus

dikaji dengan lebih lanjut. Dalam bahasa Wolio, ada lima vokal tunggal ( simple

vowel ), yaitu a, i, u, e dan o. Untuk vokal a, i dan u, digunakan tanda vokal yang

sama dengan tanda yang digunakan dalam Bahasa Arab.

Selain itu, terdapat juga manuskrip yang lain yang ditulis dalam Jawi Wolio,

yaitu “kabanti”. Kabanti adalah syair yang biasanya dinyanyikan dalam Bahasa

Wolio. Pada abad ke-18, terdapat banyak penyair kabanti di Kesultanan Buton

dan kabanti diperkirakan mula ditulis sejak masa itu.

2.1.11. Masyarakat Buton

Pada zaman dulu Pulau Buton berada di bawah kekuasaan Kesultanan Wolio-

Buton. Daerah Kesultanan ini meliputi Pulau Muna, Tukang Besi, Selayar,

Kabaena, dan Womui. Daerah-Daerah kekuasaannya dibagi ke dalam distrik-

distrik tradisional yang biasa dipimpin masing-masing oleh seorang bonto atau

bobato. Di bawahnya terdiri dari desa-desa yang biasanya dipimpin oleh seorang
53

Kepala Desa dibantu oleh sebuah dewan tradisional. Pada zaman dulu golongan

bangsawan keturunan Raja-raja disebut golongan kaomu, sementara golongan

bangsawan pembantu Raja disebut walaka, dan rakyat disebut maradika.

Orang Buton umumnya memeluk Agama Islam, mereka menerapkan aturan-

aturan kehidupan sosial berpedoman kepada hukum Islam, begitu juga dalam hal

penyelenggaraan perkawinan. Sistem garis keturunan di masyarakat Buton adalah

patrilineal. Di dalam penyelenggaraan acara perkawinan pihak laki-laki harus

menyerahkan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita sesuai derajat sosial pihak

wanita yang akan dinikahinya. Mereka juga memberlakukan larangan kawin

dengan saudara sepupu satu kali. Setelah menikah keluarga baru tersebut

bertempat tinggal secara uksorilokal, dan selanjutnya setelah mereka mempunyai

anak pertama, keluarga tersebut membentuk tempat menetap yang baru.

Nenek moyang Suku Buton berasa dari imigran yang datang dari Johor sekitar

abad 15 dan kemudian mendirikan Kerajaan Buton. Kerajaan tersebut bertahan

hingga tahun 1960 dimana sultan terakhir meninggal dunia. Sepeninggalan sultan

terakhir tersebut membuat tradisi kepulauan Buton tercerai berai.

Dalam Kerajaan Buton diterapkan pula sistem kasta yang hanya diterapkan

pada sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Berikut sistem kasta

Kerajaan Buton:

1. Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa

Kakaa. Raja/Sultan dipilih dari golongan ini.

2. Walaka, (elit penguasa) yaitu keturunan menurut garis bapak dari Kerajaan

buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan


54

seperti Mentri dan juga Dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang

akan menjadi Raja/Sultan berikutnya.

3. Papara dan Parabela disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah

kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka dapat dipertimbangkan untuk

menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak

mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.

4. Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap orang

lain/memiliki utang. meraka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah.

5. Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang

diturunkan derajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku

tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.

Masyarakat Buton memiliki beragam bahasa yang begitu beragam. Hingga

sekarang dapat ditemui lebih dari tiga puluhan bahasa dengan berbagai macam

dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya

penggunaan Bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang

dimana Bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan Bahasa Buton.

Dalam perkembangan selanjutnya Bahasa Sansekerta di gantikan oleh Bahasa

Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M,

banyaknya penggunaan bahasa Arab pada kosakata Bahasa Buton menunjukkan

tingginya pengaruh Islam dalam Kesultanan Buton. Disamping itu Bahasa Buton

juga menyerap unsur-unsur Bahasa melayu.

Masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh Bangsa Majapahit pada abad ke-13

dan Islam yang dibawah pada abad 15, Masyarakat Buton mengenal dan memiliki
55

kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan

dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong Masyarakat Buton mulai

menganut Agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli

seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Misalnya

masyarakat Nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa laut Wa

Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan

Banda yang terkenal ganas. Disamping itu, Masyarakat Buton juga mnegenal

Dewa yang melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa

Kinamboro.

Masuknya Islam di Buton pada abad ke-15, yang di bawah oleh Ulama dari

Patani juga telah meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada Kesultanan dan

Masyarakat Buton. Ilmu Fikih merupakan ilmu Islam yang mempelajari hukum

dan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban umat terhadap Allah dan sesama

manusia sehingga Masyarakat Buton dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam.

Dan Pada Abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton,

yang dibawah oleh Sufi yang berasal dari Aceh.

Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat

ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton,

diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia,

Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh

setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang

Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.


56

Hubungan kekerabatan masyarakat Buton, seorang laki-laki bertugas mencari

nafkah, sedangkan wanita menyiapkan makan, melakukan pekerjaan rumah

tangga, membuat barang-barang dari tanah liat, menenun dan menyimpan uang

yang telah dikumpulkan oleh kaum laki-laki. Sejak dulu, Orang Buton juga sangat

mementingkan pendidikan. pendidikan yang baik terhadap anak laki-laki dan

perempuan membuat mereka memiliki kesusastraan yang maju. Tidak ketinggalan

pula dalam mempelajari bahasa asing, oleh karena itu saat ini mulai terlihat hasil-

hasil kemajuan di bidang sosial.

Perkawinan dalam Kebudayaan Buton sudah bersifat monogami. Setelah

menikah, pasangan akan tinggal di rumah keluarga wanita sampai sang suami

anggup mendirikan rumah sendiri. Tanggup jawab membesarkan anak ada di bahu

ayah dan ibu. Rumah tempat tinggal Orang Wolio didirikan di atas sebidang tanah

dengan menggunakan papah yang kuat, dengan sedikit jendela dan langit-langit

yang terbuat dari papan yang kecil dan daun kelapa sebagai kebiasaan dan

kesadaran kolektif,

Masyarakat Buton memilik tradisi yang bisa memperlancar pertumbuhan

pribadi masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan keberadaan tradisi sebagai

wadah penyimpanan norma sosial kemasyarakatan. Sejumlah kearifan tradisi dari

tradisi yang ada dalam masyarakat Buton adalah kangkilo. Merupakan modal

sosial budaya masyarakat Buton untuk mewujudkan keselarasan dan

keharmonisan hidup. Kearifan tradisi yang meliputi kesucian ritual dan kesucian

rasa dan akhlak bila diketahui dan dipahami maknanya.


57

Selain itu juga terdapat ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan masyarakat

Buton hingga sekarang yang dikabarkan mengandung unsur Sinkritisme. Berikut

ritual-ritual dan pesta adat tersebut:

1. Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual masyarakat Buton dalam

menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap

tengah malam tanggal 12 Rabiul awal

2. Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan Masyarakat Buton pada 16

malam bulan Ramadhan.

3. Tuturiangana  Andaala yaitu Ritual kesyukuran Masyarakat Buton yang

berada di Pulau Makasar (liwuto) kepada Allah SWT,  atas keluasan rejeki

yang terhampar luas disektor kelautan

4. Mataa yaitu ritual adat yang digelar Masyarakat Buton etnik Ciacia di

Desa Laporo yeng merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas

hasil panen yang diperoleh.

5. Pekande-kandea yaitu pesta syukuran masyarakat Buton kepada Allah

SWT atas limpahan anugrah yang diberikan

6. Karia yaitu pesta adat Masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk

menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini

diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama

orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang

bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral

dan spiritual.
58

7. Posuo (pingit) yaitu pesta adat Masyarakat Buton yang ditujukan pada

kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk

berumah tangga.

8. Kabuenga, Haroa, Sambura’e.

Beberapa pendapat menyatakan bahwa nenek moyang dari orang-orang Buton

adalah “imigran” yang datang dari wilayah Johor sekitar abad ke-15 Masehi yang

kemudian mendirikan kerajaan Buton. Pada tahun 1960, dengan mangkatnya

sultan yang terakhir, kesultanan Buton konon “dibubarkan” tetapi tradisi-tradisi

istana itu telah melekat erat pada orang-orang yang mendiami wilayah tersebut.

Mereka juga memiliki mata uang yang disebut uang Kampua yang terbuat dari

kain tenun. Merupakan satu-satunya mata uang yang pernah beredar di Indonesia.

Berdasarkan tradisi cerita rakyat Buton, Kampua konon pertama kali

diperkenalkan oleh Ratu kerajaan Buton bernama Bulawambona yang memerintah

sekitar abad ke-14 Masehi.

Karakter dari suku Buton adalah pelau, hampir sama dengan suku-suku yang

berada di kepulauan Nusantara. Suku Buton sejak lama merantau ke seluruh

pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya

dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang

sekitar 150 ton. Sebagian besar orang-orang Buton bermata pencaharian sebagai

pelaut dan nelayan. Perairan di wilayah pulau Buton dan di daerah Mina diberkati

dengan hasil ikan tuna yang melimpah.

Usaha-usaha lain dalam memenuhi kebutuhan hidup dari orang Buton juga

berasa dari kegiatan pertanian dan perkebunan. Sejumlah kearifan dari tradisi
59

yang ada dalam masyarakat Buton adalah kangkilo yang merupakan modal sosial

budaya Suku Buton untuk mewujudkan keselarasan dan keharmonisan hidup

mereka. Kearifan itu telah membentuk karakter dari prilaku masyarakat orang

Buton yang sesuai dengan nilai, etika, dan juga moral yang telah tertanam sejak

lama dalam tradisi mereka.

Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang berada wilayah kekuasaan

Kesultanan Buton. Daerah-daerah tersebut, kini secara teritorial telah menjadi

beberapa kabupaten dan Kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau,

Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten

Bombana dan Kabupaten Muna.

Orang Buton memiliki sejarah masa lalu dengan beberapa peninggalannya

yang terdapat di wilayah Kesultanan Buton, yaitu:

1. Benteng Keraton Buton, yang merupakan benteng terbesar di dunia

2. Istana Malige, yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri

kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun

3. mata uang Kesultanan Buton, yang bernama Kampua.

2.1.12. Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-

orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau

sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara

hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari

generasi ke generasi (Tubbs, Moss: 1996). Komunikasi antar budaya memiliki

akarnya dalam bahasa (khususnya  sosiolinguistik), sosiologi, antropologi budaya,


60

dan psikologi. Dari keempat  disiplin ilmu tersebut, psikologi menjadi disiplin

acuan utama komunikasi lintas budaya, khususnya psikologi lintas budaya.

Pertumbuhan komunikasi antar budaya dalam dunia bisnis memiliki tempat yang

utama, terutama perusahaan – perusahaan yang melakukan ekspansi pasar ke luar

negaranya notabene negara – negara yang ditujunya memiliki aneka  ragam

budaya.

Berbicara mengenai komunikasi antar budaya, maka kita harus melihat dulu

bebrapa pendapat atau defenisi komunikasi antar budaya yang diikutif oleh Ilya

Sunarwinadi ( 1993: 7-8 ). Berikut pengertian komunikasi antar budaya menurut

para ahli: 

1. Sitaram ( 1970 ): Seni untuk memahami dan saling pengertian antara

khalayak yang berbeda kebudayaan.

2. Samovar dan Porter ( 1972 ): Komunikasi antarbudaya terjadi  manakala

bagaian  yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa  serta

latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai

yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan

nilai.

3. Rich ( 1974 ): Komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang yang

berbeda kebudayaan.

4. Young Yun Kim ( 1984 ): Komunikasi antarbudaya adalah suatu

peristiwa yang merujuk dimana orang-orang yang terlibat didalamnya baik

secara  langsung maupun  tidak langsung memiliki latar belakang budaya

yang berbeda.
61

Dari beberapa pendapat di atas terkait pengertian komunikasi antar budaya

juga dapat diutarakan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses pengalihan

pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu kepad orang lain yang

keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan mengahasilkan

efek tertentu. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses pembagian informasi,

gagasan atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar belakang budayanya.

Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui

bahasa tubuh, gaya atau penampilan  pribadi, atau bantuan hal lain di sekitarnya

yang memperjelas pesan. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan

yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaika secara lisan atau tertulis

atau metode lainnya yang dilakuka oleh dua orang yang berbeda latar balakang

budayanya.

2.1.12.1. Peranan Bahasa dalam Proses Komunikasi Antarbudaya

Bahasa bisa berupa verbal dan nonverbal, sebagai bentuk pesan yang

digunakan oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas

lingkungannya, mempunyai persamaan dalam hal berikut :

a. Menggunakan system lambang atau symbol

b. Merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh individu manusia

c. Orang lain juga memberikan arti pada symbol yang dihasilkan tadi.

Istilah "Bahasa menunjukkan bangsa" artinya bahasa dapat menjadi ciri atau

identitas suatu bangsa.Berbicara identitas berarti berbicara harga diri atau

kebanggaan. Dengan memahami bahasa orang lain berarti berusaha menghargai


62

orang lain. Tetapi memahami bahasa di sini tidak berarti harus memahami semua

bahasa yang dipakai oleh mitra bicara kita.

Tanda dan simbol merupakan alat dan materi yang digunakan dalam interaksi.

Kemampuan manusia untuk menggunakan simbol-simbol menjadikannya sebagai

makhluk yang unik, yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya. Tetapi

kemampuan unik dan proses melakukan simbolisasi yang sesungguhnya rumit

biasanya dianggap enteng saja oleh manusia itu sendiri, kecuali ketika mereka

menghadapi masa sulitnya memperoleh kata yang tepat untuk menggambarkan

sesuatu. Bahasa terdiri dari simbol-simbol (kata-kata) dan aturan-aturan

penggunaannya, yang memiliki karakteristik unik dari manusia, yakni kecakapan

dan kemampuannya dalam menggunakan suara dan tanda sebagai pengganti dari

benda dan perasaan. Kemampuan ini mencakup hal penerimaan, penyimpanan,

pengolahan dan menyebarkan symbol-simbol. Lambang-lambang komunikasi bisa

berupa suara, bahasa, gerak, gambar, dan warna.

Dalam pengertian yang paling mendasar, bahasa adalah suatu system symbol

yang telah diatur, disepakati bersama dan dipelajari, yang digunakan untuk

mewakili pengalaman-pengalaman dalam komunitas geografik atau cultural

tertentu. Kebudayaan mengajarkan pada manusia untuk member nama pada

benda-benda, orang-orang, gagasan-gagasan berdasarkan segi praktisnya,

kegunaannya dan pentingnya agar bisa dipahami.

Secara verbal, yakni secara vocal bahasa memiliki peranan dan fungsi yang

sangat penting dalam pembentukan kebudayaan. Komunikasi nonverbal

memainkan peranan penting pula dalam kehidupan manusia, walaupun hal ini
63

seringkali tidak disadari. Baik secara sadar maupun tidak sadar, dengan maksud

maupun tidak dengan maksud tertentu, kita mengirimkan dan menerima pesan

nonverbal, bahkan kita membuat penilaian dan keputusan berdasarkan data

nonverbal tersebut. Pesan atau perilaku yang nonverbal ini menyatakan pada kita

tentang menginterpretasikan pesan-pesan lain yang terkandung didalamnya.

Misalnya apa orang yang menyatakan pesan itu serius, bercanda, mengancam dan

lain-lain.

2.1.13. Etnografi Komunikasi

Etnografi komunikasi adalahmetode aplikasi etnografi sederhana dalam pola

komunikasi sebuah kelompok. Penafsir berusaha agar bentuk komunikasi yang

dipakai oleh anggota dalam sebuah komunitas atau budaya dapat diterima akal

sehat. Etnografi komunikasi melihat pada beberapa poin yaitu:

1. Pola komunikasi yang digunakan oleh sebuah kelompok

2. Mengartikan semua kegiatan komunikasi ini ada untuk kelompok

3. Kapan dan dimana anggota kelompok menggunakan semua kegiatan ini

4. Bagaimana praktik komunikasi menciptakan sebuah komunitas, dan

5. Keragaman kode yang digunakan oleh sebuah kelompok.

Penemu tradisi penelitian ini adalah seorang antropolog Dell Hymes. Hymes

mengusulkan bahwa linguistik formal saja tidak cukup untuk membongkar semua

pemahaman bahasa secara lengkap karena hal ini mengabaikan variable yang

sangat berguna di mana bahasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Menurut

Hymes, budaya berkomunikasi memiliki cara yang berbeda, tetapi semua bentuk

komunikasi membutuhkan kode bersama, pelaku komunikasi yang


64

tahudanmenggunakan kode, sebuah alat, keadaan, bentuk, pesan, topic, dan

sebuah peristiwa yang diciptakan dngan penyebaran pesan. Apapun mungkin

untuk memenuhi syarat sebagai komunikasi, selama hal itu diterangkan oleh

semua yang menggunakan kode tersebut.

Hymes menunjuk sebuah kelompok yang menggunakan kode biasa sebagai

sebuah komunitas percakapan (speech community), sebuah konsep yang telah

menjadi hiasan dalam kajian etnografi komunikasi yang berkelanjutan. Komunitas

percakapan sangat berbeda satu sama lain dan ini mempersulitgeneralisasi. Untuk

memenuhi tantangan in, etnografi komunikasi (comparative ethomography)

menciptakan kategori-kategori dimana seseorang dapat membandingkan mereka.

Dalam etnografi komunikasi, Hymes menyarankan Sembilan kategori yang dapat

digunakan untuk membandingkan budaya yang berbeda:

1. Logat atau pola komunikasi yang dikenali dari anggota kelompok.

2. Kelancaran ideal pembicara atau apa yang mendasariseorang pelaku

komunikasi patut dicontoh.

3. Komunitas percakapan atau kelompok dan segala batasannya.

4. Situasi percakapan dianggap tepat dalam komunitas

5. Peristiwa percakapan atau kejadian apa yang dianggap menjadi

komunikasi bagi anggota kelompok

6. Speech act atau serangkaian perilaku spesifik yang diambil sebagai sebuah

contoh komunikasi dalam sebuah perisiwa percakapan.

7. Komponen speech act atau apa yang dianggap menjadi elemen dari sebuah

tindakan komikatif
65

8. Aturan bicara dalam komunitas atau tuntutan standar dimana perilaku

komunikatif diputuskan

9. Fungsi bicara dalam komunitas atau komunikasi apa yang diyakini

menuntaskan.

Kumpulan konsep ini tidak lebih daripada sebuah daftar kategori yang

berbagai komunitas dapat dibandingkan. Dua kelompok negative-Apache di

Amerika dan Hangot di Filipina, contohnya, akan memiliki banyak peristiwa

berbeda yang dinilai sebagai sebuah komunikasi. Keragaman perilaku yang

dianggap tepat dalam semua peristiwa tersebut dan mungkin memiliki aturan yang

berbedauntuk cara berkomunikasi. Disis lain, mereka mungkin memiliki tipe dan

fungsi komunikasi yang sama.

2.2. Landasan Teori

Bidang kajian linguistik yang berhubungan dengan masalah budaya

yang kaitannya dengan identitas bahasa dalam atau sebagai alat bersatunya warga

Baubaudalam kajian bahasa Wolio yaitu Teori Relativitas linguistik. Berikut ini

merupakan teori yang berkaitan dengan teori Relativitas Linguistic yang menjadi

dasar pijakan dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

2.2.1. Tradisi Semiotika


2.2.1.1. Teori Relatifitas Linguistik
66

Buku Teori of Human Communication oleh Stephen W. Littlejohn,b teori

relativitas linguistik masuk dalam salah satu tradisi semiotik dimana di jelaskan

bahwa bahasa mencangkung maskulin dan feminism, memiliki kecenderungan

untuk membagi dunia menurut peta kebahasaan. Beberapa bahasa tidak memiliki

keterangan waktu sehingga keterangan tentang masa lampau, masa sekarang dan

masa depan harus disimpulkan dalam keterangan konteks

pembicaraan. Perkembangan pola pikir manusia merupakan sebuah bentuk

perkembangan yang mendasari terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk

pada terbentuknya sebuah makna. Apabila kita amati, kehidupan kita saat ini tidak

pernah terlepas dari makna, persepsi, atau pemahaman terhadap apapun yang kita

lihat. Sekarang kita lihat benda-benda yang ada di sekeliling kita. Sering sekali

kita tanpa memikirkan bentuk dan wujud benda tersebut kita sudah bisa

mengetahui apa nama dari benda itu. Ketika kita mengendarai sepeda motor atau

mobil di jalan raya, maka kita bisa memaknai setiap bentuk tanda lalu lintas yang

bertebaran di jalan raya, seperti traffic light misalnya, atau tanda “Dilarang

Parkir” dan lain sebagainya. Pernahkah terlintas dalam benak kita sebuah

pertanyaan “mengapa tanda ini dimaknai begini? Mengapa simbol itu dimaknai

sedemikian rupa”. Kajian keilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan

konstruksi makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan

Semiotik.

Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori

komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana

tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi


67

di luar tanda-tanda itu sendiri. (Littlejohn, 2009 : 53). Semiotik bertujuan untuk

mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan

makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi

pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai

ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat

di mana simbol tersebut diciptakan. Kode kultural yang menjadi salah satu faktor

konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk

mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang

terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam

sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik

tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari

pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,

aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut

mempunyai arti. (Kriyantono, 2007 : 261).

2.2.1.2. Kajian Teori Relativitas Linguistik

Hipotesis Sapir-Whorf yang juga di kenal dengan teori relativitas linguistic di

dasarkan pada penelitian Edward Sapir dan anak didiknya, Benjamin Lee Whorf,

dikenal karena bidang penelitianya dalam bidang linguistik. Whorf menemukan

bahwa ada perbedaan sintaksis bahasa antar kelompok bahasa. Hipotesis Whorf

tentang relativitas linguistic menyatakan bahwa susunan bahasa sebuah budaya

menentukan perilaku dan kebiasaan berfikir dalam budaya tersebut. Dalam kata-

kata Sapir :
68

“Manusia tidak hanya hidup dalam dunia obyek dan dunia aktivitas

sosial yang biasa dipahami saja, namun berada dalam kekuasaan bahasa

tertentu yang menjadi media pengungkapan bagi masyarakat mereka.

Masalahnya bahwa, dunia nyata adalah tingkatan yang besar tanpa

disadari terbentuk pada kebiasaan berbahasa kelompok tertentu. Kita

melihat, mendengar, dan merasakan pengalaman karena adanya

kebiasaan berbahasa dari komunitas kita yang memengaruhi pilihan-

pilihan penafsiran tertentu”.

Hipotesis ini menyatakan bahwa proses pemikiran kita dan cara kita

memandang dunia dibentuk oleh susunan tata bahasa. Whorf menghabiskan

sebagian besar hidupnya untuk meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku.

Penelitianya bersama suku Hopi dan pandangan mereka tentang waktu

menggambarkan hipotesis relativitas ini. Ketika banyak budaya yang mengartikan

bahwa sebagian kata benda, suku Hopi memahami waktu sebagai sebuah jalan

atau proses. Jadi, bahasa suku Hopi tidak akan mengartikan musim panas sebagai

musim panas. Namun suku Hopi akan mengartikan waktu sebagai sebuah sesuatu

yang tidak ada tetapi selalu bergerak dan berakumulasi. Sebaliknya, dalam bahasa

Standard Average European (SAE), termasuk bahasa inggris, kita

menggambarkan waktu sebagai sebuah garis. Kita menggunakan tiga keterangan

waktu-lampau, kini, dan masa depan untuk menunjukan lokasi atau tempat dalam

analogi ruang. Namun, kata kerja suku Hopi tidak memiliki keterangan waktu

dalam pemahaman yang sama.


69

Teori relativitas linguistik berbeda dari teori kontruksionis sosial, dalam

kontruksionis sosial manusia menciptakan realitas mereka dalam proses interaksi,

sedangkan Whorf Sapir mengajarkan bahwa realitas telah ditanamkan dalam

bahasa dan sudah memperlihatkan bentuknya. Benjamin Lee Whorf (1897-1941),

murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir

yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri

sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa

mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan

rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan

yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan

pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain. Sama halnya

dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa

menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan

dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran

menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak.

Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak

diminati oleh ilmuan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu

tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia

objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya,

tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan

bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili

realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf

sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat
70

kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh

bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun

berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang

diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya.

Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki

perbedaan sensori pula. Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwabahasa

dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu sama lain.karena yang menentukan jalan

pikiran seseorang adalah tata bahasa bukan kata-kata.oleh karena itu , bahasa

tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi

antara yang satu dengan yang laintetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan

sosial.kenyataannya bahwa seseorang berbicara atau mengungkapkan

pendapatnya dengan cara/bahasa yang berbeda karena mereka berpikir

dengan cara yang berbeda pula.

2.2.1.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini antara lain sebagai

berikut.

Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian


Dewi Rekayasa Bahasa Penelitian ini menjelaskan tentang Fenomena
Lestari Indonesia dalam bahasa Indonesia di Papua sebagai bahasa
2007 Mempertahankan pemersatu dalam perbedaan bahasa suku
Identitas Bangsa. ternyata tidak dirasakan masyarakat
Indonesia yang lainnya.
La Niampe bahasa melayu di menghasilkan bahwa Berbicara tentang
2008 kerajaan buton kerajaan MelayuButon tentu tidak dapat
(Studi dilepaskan dari sejarah masa lampau negeri
Berdasarkan Buton. Hal ini dimulai dari sejarah migrasi
Naskah Kuno bahasa Melayu ke negeri Buton, sejarah
Koleksi Abdul terbentuknya Kerajaan Buton, sejarah
Mulku Zahari di hubungan Buton sebagai tokoh pendiri
Buton) kerajaan Buton.
71

Hiroko k. Manuskrip Buton: Manuskrip milik Abdul Mulku Zahari terdiri 


Yamaguchi Keistimewaan dan dari pada berbagai tema,  termasuk sejarah,
(2007), Nilai Budaya bahasa, Islam, hukum, hikayat, silsilah, surat
dan primbon. Manuskrip itu ditulis dalam
bahasa Arab, huruf rumi bahasa
Melayu/Indonesia, Jawi, bahasa Wolio,
bahasa Belanda dan sebagainya. Setelah
disenaraikan oleh kakitangan Yayasan
Naskah Nusantara, sebuah katalog telah
diterbitkan: Katalog Naskah Buton; Koleksi
Abdul Mulku Zahari (disingkatkan sebagai
KAMZ selanjutnya).

La Niampe Bahasa Wolio Di Penerapan satu bahasa atau lebih sebagai


(2007) Kerajaan Buton bahasa resmi dalam sebuah negara atau
kerajaan tampaknya merupakan hal yang
sudah umum. Misalnya, bahasa Arab
digunakan di banyak negara menjadi bahasa
resmi; Yaman, Sudan, Uni Emirat Arab,
Kuwait, Arab Saudi, Yordania, Mesir, Sudan,
Somalia, Iran, Irak, Syiria, Libanon, Libiya,
Tunisia, Oman dan lain-lain.

Dari penelitian terdahulu ada keterkaitan secara intrumen penelitian yaitu

bahasa sebagai fokus penelitian dan identitas, akan tetapi yang menjadi kebaruan

dalam penelitian ini peneliti mencoba melihat bagaimana bahasa daerah mampu

menjadi pemersatu masyarakatnya dalam kondisi hegemoni perjalanan glonalisasi

masyarakat modern.

2.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini membahas tentang permasalah Identitas Bahasa Wolio sebagai

Icon Pemersatu Masyarakatnya( study kasus Kota Bau-Bau). Identitas dalam

penelitian ini yaitu sebagai karakter masyarakat Kota Baubaudilihat dari

penggunaan bahasa Wolio, hal ini di definisikan bahwa bahasa mampu


72

membentuk identitas suatu kelompok masyarakat yang di kaitkan dengan

kebersatuan warganya.

Topik penelitian ini bertolak dari Tradisi Semiotika yang menjadi salah satu

kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik

terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan

benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri.

(Littlejohn, 2009 : 53). Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang

terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga

diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan.

Selanjutnya untuk memahami permasalahan tentang identitas bahasa Wolio

sebagai icon pemersatu masyarakatnya, penelitian ini menggunakan teori

relatifitas linguistic dimana teori ini melihat bahwa proses pemikiran kita dan cara

kita memandang dunia di bentuk oleh tatanan bahasa Menurut hipotesis itu,

bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang berbeda,

sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada

bahasa-bahasa beragam yang digunakan oleh berbagai kelompok

masyarakat. Hipotesis relativitas linguistik beranggapan bahwa bahasa hanya

refleksi dari pikiran yang memunculkan makna. bahasa memengaruhi pikiran,

sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya.

Determinisme linguistik adalah klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat

memengaruhi cara seseorang berpikir atau mempersepsi dunia.

Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir penelitian ini yang telah di uraikan

digambarkan sebagai berikut.


73

Gambar 2.5. Kerangka Pikir

Tradisi semiotika
Identitas
bahasa Wolio Relatifitas Linguistik
Sapir-Whorf
Icon pemersatu (Stephan Littlejohn hal 449)

Observasi penelitian Asumsi Teori Sapir-Whorf

Bahasa wolio cenderung terlua 1. Proses pemikiran kita di bentuk


kan, akibatnya konflik yang oleh susunan bahasa
sering terjadi akibat 2. Susunan bahasa suatu budaya
tidak adanya identitas yang me menentukan perilaku
mpersatukan dalam sisi bahasa 3. Hubungan tata bahasa & pemikiran
manusia mempengaruhi identitas

Identitas Bahasa Wolio sebagai Icon Pemersatu


*Modifikasi Penulis
74

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota BauBau dengan pertimbangan

bahwa Kota Baubauadalah salah satu miniatur masyarakat modern Sulawesi

Tenggara dengan masyarakatnya yang potensial dan aktif dalam penggunaan

bahasa Wolio disisi lain masyarakat Kota BauBau sudah mengalami pembauran

dengan masyarakat lainnya di luar masyarakat Wolio.

3.2.  Subjek dan Informan Penelitian

3.2.1 Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Kota Baubau yang terbagi oleh

beberapa kelurahan dan kecamatan.

3.2.2. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Kota Baubaudengan

menggunakan purposive sampling dan Snowball dengan rincian informan sebagai

berikut:

1. Tokoh Adat

2. Tokoh Masyarakat

3. Budayawan Wolio

4. Camat

5. Lurah

6. Masyarakat wilayah penelitian


75

3.3. Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan pada penelitian ini menggunakan dua cara yang pertama

pada kalangan pemerintahan seperti camat dan lurah menggunakan teknik

purposive sampling (sampling seleksi) yaitu memilih dengan sengaja dengan

pertimbangan bahwa yang bersangkutan memahami inti permasalahan. Menurut

Patton (1990) purposive sampling menekankan pada penentuan objek yang kaya

akan informasi dan objek dapat menjawab pertanyaan penelitian. Sedangkan pada

kalangan masyarakat seperti tokoh adat, tokoh masyarakat dan budayawan wolio

menggunakan teknik Snowball asumsinya bahwa pada kalangan informan

masyarakat memiliki banyak pilihan informan sehingga tidak dapat di pilih seperti

teknik purposive sampling. Penggunaan snowball untuk memudahkan peneliti

menggali informasi dari beberapa informan yang mampu menjawab permasalahan

peneliti secara utuh.

3.4. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

3.4.1. Jenis Data

Jenis data penelitian terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Data

kualitatif meliputi; tulisan, kata-kata, dan narasi. Data kuantitatif meliputi

bilangan dan angka-angka statistik yang digunakan hanya untuk kebutuhan data

pendukung. Jenis data berupa data sekunder dan data primer.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelusuran dan penelahaan

studi-studi dokumen yang terdapat di lokasi penelitian dan yang ada hubungannya

dengan masalah-masalah yang diteliti. Data sekunder yang dikumpulkan antara

lain meliputi, bahan pustaka, dan dokumentasi serta bahan laporan berupa arsip,
76

laporan tertulis, foto dan bahan cetakan yang ada pada berbagai lembaga dan

instansi.

Data primer adalah data empirik diperoleh secara langsung dari informan

kunci dengan menggunakan daftar pertanyaan dan wawancara langsung untuk

mendapatkan data-data tentang proses, bentuk, motivasi bentuk identitas bahasa

Wolio sebagai icon pemersatuy masyarakat. Peneliti melakukan wawancara

mendalam secara langsung terhadap informan. Selain itu, data primer juga

diperoleh melalui diperoleh melalui observasi partisipatif maupun Focuse Group

Disscussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah.

3.4.2.Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian menggunakan kelaziman umum penelitian

kualitatif, yang terdiri dari 5 (lima) teknik pengumpulan data melalui teknik

shadowing, wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan studi

dokumentasi. Berikut ini penjelasan masing-masing teknik pengumpulan data:

3.4.2.1. Teknik Shadowing

Teknik Shadowing adalah membuntuti calon informan untuk memahami

bagaimana sesuatu hal bekerja sebenarnya. Alasan menggunakan teknik ini

karena: (1) Data primer berupa wawancara sering bersifat formal (“garing”,

normatif). Lebih parah lagi: mengatakan yang tidak dilakukan; (2) Akan diperoleh

data yang lebih bernuansa yang akan berguna untuk penulisan; (4)

Mengkonfirmasi data (data saat interview sering berbeda dengan data saat

narasumber kita bersama orang lain, atau narasumber kita sedang berinteraksi).

Cara melakukan shadowing yaitu: (1) memetakan semua narasumber yang sudah

diwawancarai dan identifikasi yang memiliki peluang untuk dibuntuti (biasanya


77

yang memiliki kepribadian terbuka); (2) memilih events (peristiwa) yakni saat

informan melakukan komunikasi dengan orang lain

3.4.2.2. Observasi Partisipatif

Metode observasi yang digunakan adalah metode observasi patisipatif, di

mana pengumpulan data melalui observasi terhadap obyek pengamatan secara

langsung dan keterlibatan peneliti pada setiap kegiatan yang dilakukan antara para

informan dengan masyarakat agraris berupa; kegiatan jual beli, komunikasi

sehari-hari dan hal lainya yang kaitannya dengan penggunaan bahasa wolio.

3.4.2.3. Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Wawancara memiliki tujuan yaitu untuk menyajikan konstruksi saat sekarang

dalam suatu konteks tentang para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi,

perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, dan sebagainya; untuk hal itu

dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang.

Peneliti melakukan teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan

secara langsung antara peneliti dengan sampel dengan metode wawancara

mendalam (in-depth interview). Pawito menambahkan in-depth interview pada

khusunya dan metode wawancara pada umumnya, biasanya berlangsung agak

longgar, santai dan mungkin juga dapat diulang untuk memperoleh data tambahan

atau untuk mengetahui mengetahui persoalan lain sampai perolehan data dirasa

cukup oleh peneliti.

Wawancara dilakukan untuk menghimpun data dari informan melalui tatap

muka langsung dan bercakap-cakap sampai kepada percakapan via telepon,

dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi pokok-pokok pertanyaan


78

untuk memperoleh jawaban. Jawaban atas pertanyaan yang diajukan, dicatat

dalam catatan lapangan dan direkam melalui tape recorder, agar hal-hal yang

kurang jelas atau memerlukan uraian secara mendalam dapat ditanyakan lagi

kepada informan.

3.4.2.4. Focus Group Discussion (FGD)

FGD sebagai suatu proses pengumpulan data dan informasi mengenai suatu

permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Melalui

FGD, peneliti/fasilitator dapat dengan leluasa melakukan eksplorasi atas sistem

nilai dan orientasi para partisipan terhadap isu-isu yang sedang diteliti. Sementara,

pada sisi lain, di antara para partisipan sendiri juga dapat saling bertanya serta

saling mengevaluasi pemahaman mereka masing-masing atas isu-isu yang sedang

didiskusikan.

Alasan FGD digunakan sebagai salah satu metode dalam pengumpulan data,

dan dua di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, FGD merupakan teknik

yang lebih handal untuk mendapatkan keragaman informasi tentang pandangan,

penilaian, pengalaman, dan reaksi para narasumber atas isu-isu penelitian melalui

dialog kelompok. Kedua, FGD memungkinkan peneliti untuk mendapatkan

informasi yang cukup komprehensif dalam waktu yang relatif singkat.

Secara umum, tujuan utama dari penggunaan FGD adalah untuk menjaring

data kualitatif berkaitan dengan identitas bahasa Wolio sebagai icon pemersatu

Secara khusus, tujuan FGD dalam pengumpulan data penelitian ini adalah,

pertama, untuk mendapatkan informasi tentang pendapat dan penilaian partisipan

terhadap proses, bentuk, terhadap identitas bahasa wolio sebagi icon pemersatu
79

masyarakatnya. Kedua, melakukan eksplorasi atas kasus-kasus yang memiliki

tingkat relevansi tinggi terhadap identitas bahasa Wolio yang kaitannya dengan

konflik yang sering terjadi. Ketiga, menggali informasi (data kualitatif) berkaitan

dengan indikator-indikator penelitian yang belum didapatkan melalui review

media dan review dokumen. FGD dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua)

kelompok, yaitu: (1) kelompok pemerintahan 2) kelompok masyarakat.

3.4.2.5. Studi Dokumentasi

Teknik ini digunakan dalam penelitian studi kasus guna mencari justifikasi

atau pembenaran dari data yang diperoleh melalui wawancara, sehingga studi

dokumen menjadi pengontrol kebenaran informasi yang diperoleh dari berbagai

teknik pengumpulan data. Studi dokumen dimulai dari mencari dan menemukan

akses untuk memperoleh dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian, lalu

dilakukan coding (pemberian kode) untuk kemudian dianalisis.

Studi dokumen terletak pada kemampuan membuka hal yang selama ini

tertutup atau ditutup-tutupi, dapat berlaku untuk penelitian dengan waktu yang

panjang, tertutup kemungkinan adanya campur tangan peneliti, dapat menemukan

hal-hal yang tidak bisa digali melalui wawancara, dan biayanya relatif rendah.

Sedangkan kelemahan studi ini adalah; data yang diperoleh terbatas pada perilaku

verbal saja sedangkan yang nonverbal tidak terlihat, boleh jadi dokumen yang

tersedia jauh dari lengkap, ketiadaan format standar sebuah dokumen yang layak

dijadikan data, serta kerumitan dalam melakukan koding.

Berdasarkan permasalahan penelitian ini, maka peneliti berupaya menelusuri

dokumen yang erat kaitannya dengan proses, bentuk, komunikasi antar budaya
80

tentang identitas bahasa Wolio sebagai icon pemersatu masyarakat

3.5. Definisi Konseptualisasi

1. Identitas adalah cerminan diri yang berasal dari budaya, etnis dan proses

sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita

sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita dan pendefinisian diri

seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan

sikap.

2. Bahasa Wolio adalah bahasa daerah yang ada di pulau Buton. Bahasa ini

adalah bahasa resmi pada saat sistem pemerintahan kerajaan atau

kesultanan Buton dan bahasa Wolio kini menjadi bahasa yang banyak di

gunakan di Kota Bau-Bau.

3. Pemersatu masyarakat adalah bahasa yang menjadi identitas masyarakat

Kota Baubaumembentuk icon pemersatunya.

4. Sosial adalah bahasa membentuk identitas sehingga melahirkan pemersatu

secara sosial.

5. Politik adalah membentuk identitas sehingga melahirkan pemersatu secara

politik.

3.6. Instrument Penelitian

Penggunaan instrumen dalam penelitian ini meliputi; (1) catatan lapangan

observasi; (2) panduan pertanyaan wawancara; dan (3) Voice Recorder. Instrumen

penelitian ini dipergunakan secara bersamaan saat pengumpulan data lapangan

sebagai sumber data primer. Sementara kebutuhan pengumpulan data sekunder

menggunakan instrument penelitian catatan tertulis tentang buku, arsip.


81

3.7. Teknik Analisa Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Menjawab

keseluruhan permasalahan penelitian ini, menggunakan teknik analisis deskriptif

melalui tahapan teknik analisis interaktif Miles & Huberman yang terdiri dari tiga

alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:19-21).

Analisis data dilakukan sepanjang penelitian mulai dari awal hingga

berakhirnya pengumpulan data secara sekaligus dalam waktu yang bersamaan.

Berikut 3 (tiga) alur kegiatan analisis data sebagai berikut:

1. Reduksi data merupakan alur penting pertama dalam analisis data,

kegiatan yang dilakukan adalah berupa proses pemilihan yang

memusatkan perhatian pada penyederhanaan, abstrak dan transformasi

data kasar yang muncul dari catatan di lapangan (field note). Kemudian

data ini dikelompokkan menurut kategorinya, yang selanjutnya

diklasifikasi untuk ditafsirkan guna memberi makna kepada usaha

penarikan kesimpulan penelitian setelah melalui suatu verifikasi.

2. Penyajian data sebagai alur penting kedua dari analisis data penelitian

kualitatif adalah sebagai penyajian sekumpulan informasi yang tersusun

yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Penyajian data tersebut, kita akan memahami apa

yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisis

ataukah mengambil tindakan beradasarkan atas pemahaman yang didapat

dari penyajian-penyajian tersebut. Penyajian yang paling sering digunakan

pada data kualitatif pada masa yang lalu adalah bentuk teks naratif, tetapi
82

penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis

kualitatif yang valid. Penyajian meliputi pula berbagai jenis matriks,

grafik, jaringan dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan

informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih,

dengan demikian dapat melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan

apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis

yang menurut saran yang dikiaskan oleh penyajian sebagai sesuatu yang

mungkin berguna.

3. Menarik kesimpulan/verifikasi adalah kegiatan ketiga analisis data

penelitian kualitatif. Permulaan pengumpulan data, mencari arti benda-

benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-

konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Peneliti yang

berkompeten akan manarik kesimpulan-kesimpulan itu dengan longgar,

tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula

belum jelas, kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar

dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan “final” mungkin tidak muncul

sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan-

kumpulan catatan lapangan, pada pengkodeannya, penyimpanan, dan

metode pencarian ulang yang digunakan, kecakapan peneliti.


83

Gambar 2.6. Model Analisis Interaktif

Penyajian Data
Pengumpulan Data

Kesimpulan-Kesimpulan Penarikan/Verifikasi
Reduksi Data

Sumber: Miles dan Huberman (1992: 19-21)


84

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi


4.1.1. Kondisi Geografis, Batas Administrasi Daerah, Luas Wilayah dan

Topografis

Kondisi geografis Kota Baubau antara lain dapat digambarkan dari letak

geografis dan batas administrasi, luas wilayah, topografi dan kelerengan,

morfologi, geomorfologi, hidrologi, geologi serta kesesuaian lahan dan jenis

tanah.

4.1.1.1. Letak Geografis dan Batas Wilayah Administrasi

Secara geografis Kota Baubau terletak di bagian Selatan Provinsi Sulawesi

Tenggara yang berupa wilayah kepulauan. Kota Baubau berada di Pulau Buton dengan

posisi koordinat 5021’ - 5030’ Lintang Selatan dan diantara 122030’ – 122045’

Bujur Timur. Dari sisi letaksecara nasional, Kota Baubau merupakan Kota yang

memiliki letak strategis. Kota Baubau adalah daerah penghubung (connecting

area) antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia

(KTI). Selain itu bagi masyarakat daerah hinterlandnya (Kabupaten Buton,

Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton

Tengah dan Kabupaten Buton Selatan), Kota Baubau berperan sebagai daerah

akumulator hasil produksi dan distributor kebutuhan daerah tersebut. Kota Baubau

yang berada pada Selat Baubau dan merupakan mulut Tenggara dari wilayah Laut

Teluk Bone berada pada pergeseran titik episentrum ekonomi kelautan kawasan

pasifik sebagai masa depan bagi pertumbuhan kawasan Timur Indonesia.


85

Letak Kota Baubau juga berdekatan dengan ALKI 2 dan ALKI 3.. Jalur ALKI

ini dapat dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang dilalui agar mempunyai

akses ke pasar internasional, terutama ke Asia Pasifik (gambar 4.1).

Baubau

Gambar 4.1. Peta Garis Depan Konektivitas Global Indonesia


Sumber: MP3EI 2011-2025

Secara fisik, Kota Baubau terletak pada Selat Buton dan dikelilingi oleh

kecamatan-kecamatan dari Kabupaten Buton. Batas-batas administrasi Kota

Baubau adalah sebagai berikut:

a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton;

b. sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton;

c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton

Selatan; dan

d. sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.


86

Gambar 4.2 Peta Administrasi Kota Baubau


Sumber : RTRW Kota Baubau 2013-2034

Secara adminstratif wilayah Kota Baubau terbagi menjadi 8 Kecamatan dan

43 Kelurahan, sebagaimana diuraikan berikut ini :

 Kecamatan Wolio terdiri atas 7 kelurahan, meliputi : Kelurahan

Bataraguru, Kadolokatapi, Tomba, Wale, Batulo, Wangkanapi, dan

Bukit Wolio Indah;

 Kecamatan Betoambari terdiri atas 5 kelurahan, meliputi :Kelurahan

Sulaa, Waborobo, Lipu, Katobengke dan Labolawa;

 Kecamatan Sorawolio terdiri atas 4 kelurahan, meliputi: Kelurahan

Kaisabu Baru, Karya Baru, Bungi, dan Gonda Baru;

 Kecamatan Murhum terdiri atas 5 kelurahan, meliputi : Kelurahan

Baadia, Melai, Wajo, Lamangga dan Tanganapada;


87

 Kecamatan Bungi terdiri atas 5 kelurahan, meliputi : Kelurahan

Liabuku, Waliabuku, Ngkari-Ngkaring, Tampuna dan Kampeonaho;

 Kecamatan Lea-Lea terdiri atas 5 kelurahan, meliputi : Kelurahan

Lowu-Lowu, Kantalai, Kalia-Lia, Palabusa, dan Kolese;

 Kecamatan Kokalukuna terdiri atas 6 kelurahan, meliputi :

Kelurahan Kadolomoko, Kadolo, Waruruma, Lakologou, Liwuto

dan Sukanayo;

 Kecamatan Batupoaro terdiri atas 6 kelurahan, meliputi : Kelurahan

Tarafu, Wameo, Bone-Bone, Kaobula, Lanto dan Nganganaumala.

4.1.1.2. Luas Wilayah

Wilayah daratan Kota Baubau sebagian besar terdapat di daratan Pulau Buton

yang memanjang di Selat Buton dan terdapat 1 (satu) pulau yaitu Pulau Makassar

(Puma). Luas wilayah Kota Baubau berdasarkan Undang‐Undang Nomor 13

Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Baubau adalah seluas 221 Km² atau

22.110 hektar, namun berdasarkan hasil digitasi atas peta rupabumi Bakosurtanal

luas wilayah adalah 293.10 Km² atau 29.310,99 hektar. Untuk lebih jelasnya luas

dan persentase wilayah kecamatan di Kota Baubau dapat dilihat pada tabel 4.1.


88

Tabel 4.1.
Luas dan Persentase Wilayah Kecamatan di Kota Baubau
LUAS (km2 ) DEVIASI DEVIASI
LUAS (km )2 LUAS LUAS
KECAMATAN (Digitasi Peta
NO % %
(Data BPS) RTRW) (km 2 ) (%)

1. Beto ambari 27.89 12.62 31.40 10.71 3.51 11.18

2. Murhum 4.90 2.22 5.01 1.71 0.11 2.20

3. Batupo aro 1.55 0.70 1.96 0.67 0.41 0.41

4. Wo lio 17.33 7.84 29.25 9.98 11.92 20 .92

5. Ko kalukuna 9.44 4.27 18.36 6.26 8.92 48.58

6. So raw o lio 83.25 37.67 110.52 37.72 27.27 24.67

7. Bungi 47.71 21.59 62.47 21.31 14.76 23.62

8. Lea-Lea 28.93 13.09 34.13 11.64 5.20 15.23

BAUBAU 221 100 293.10 100 72.1 146.81

Sumber : RTRW Kota Baubau, 2014-2034. 

4.1.1.3. Topografi dan Kelerengan

Kondisi topografi wilayah Kota Baubau relatif bervariasi mulai dari topografi yang

datar, bergelombang hingga berbukit. Kawasan yang mempunyai kemiringan lahan 0 –

8% adalah kawasan yang berada dibagian Utara dan Barat wilayah Kota Baubau,

semakin ke Timur, kemiringan semakin besar dan merupakan perbukitan yang

membentang dari Utara ke Selatan.

Daerah tertinggi sebagian berada di Kecamatan Sorawolio.Topografi wilayah

datar berada pada tempat-tempat yang saat ini merupakan pusat-pusat

permukiman di Kecamatan Murhum, sebagian Kecamatan Betoambari dan

Kecamatan Wolio. Berdasarkan kondisi topografi tersebut, maka Kota Baubau

dapat dibagi atas tiga keadaan wilayah, meliputi :


89

1) Lahan Datar; terdapat di sepanjang pantai dengan ketinggian 5 meter

diatas permukaan laut dan tersebar di wilayah kecamatan dan Kecamatan

Sorawolio dengan kemiringan 0 – 8%.

2) Daerah Agak Datar; terdapat di bagian utara dan tenggara pusat Kota

Baubau dengan ketinggian 5–10 m diatas permukaan laut.

3) Daerah bergelombang; berada pada ketinggian sekitar 60 meter diatas

permukaan laut dengan kemiringan 15 – 30%, terutama terdapat di

Kecamatan Betoambari.

4.1.1.4. Morfologi

Secara umum kondisi fisik wilayah Kota Baubau memiliki karakteristik

wilayah pesisir. Morfologi perkembangan Kota Baubau tumbuh pada dataran

rendah disepanjang pinggir pantai dan Daerah Aliran Sungai, dengan limitasi

perkembangan berupa kondisi bentang alam yang relatif berbukit dan tandus

dibeberapa bagian daratan, menyebabkan perkembangan kawasan ini relatif

lambat sehingga membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah untuk

menstimulasi pertumbuhan kawasan ini.

4.1.1.5. Geomorfologi

Kondisi bentangan alam atau geomorfologi merupakan elemen penting dalam

penentuan kesesuaian pemanfaatan lahan atau kemampuan daya dukung lahan.

Kota Baubau dikelilingi oleh daerah belakang (hinterland) berupa dataran yang

termasuk dalam kelas kelerengan agak curam yaitu berkisar antara 15–40% dan

kelerengan sebagian tempat diatas 40% serta beberapa bagian wilayah dengan

kelerengan antara 2–15% yang terdapat di Kecamatan Murhum dan Kecamatan


90

Bungi. Kelerengan yang cukup tinggi merupakan limitasi dalam pengembangan

pusat-pusat permukiman Kota Baubau terutama ke arah Selatan, pada wilayah-

wilayah dengan kelerengan diatas 15% dimanfaatkan untuk perkebunan dan

hutan.

4.1.1.6. Hidrologi

Kota Baubau memiliki dua sungai yang besar yaitu Sungai Baubau yang

membatasi Kecamatan Wolio dan Kecamatan Murhum/Kecamatan Betoambari

dan membelah ibuKota Baubau dan bermuara di Selat Buton. Sungai tersebut

umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga, irigasi

dan kebutuhan rumah tangga. Yang kedua adalah Sungai Bungi yang merupakan

sumber air bersih PDAM.

Keadaan hidrologi di Kota Baubau umumnya dipengaruhi oleh sumber air

yang berasal dari Mata Air Wakonti dan Mata Air Wamembe. Kondisi hidrologi

yang teramati meliputi air permukaan dan air tanah yang terdapat dalam wilayah

Kota Baubau.

 Air Permukaan, Sumber air permukaan di Kota Baubau berasal dari aliran

air Sungai Baubau yang melintas dalam wilayah Kota Baubau membagi

wilayah Kecamatan Wolio, Kecamatan Murhum dan Betoambari dan

sungai ini bermuara di Selat Buton. Di samping itu juga terdapat sumber

air bersih PDAM yang menggunakan sumber air baku dari Sungai Bungi

dan mata air dari Kaongke-Ongkea di Kecamatan Sorawolio.

 Air Tanah Dalam, Selain air permukaan, sumber air yang dapat

dimanfaatkan untuk masyarakat Kota Baubau dan pendatang yaitu air


91

tanah dalam dengan tingkat kedalaman 40 – 80 meter. Kondisi air tanah di

Kota Baubau umumnya dipengaruhi oleh sumber air yang berasal dari

mata air Wakonti dan mata air Wamembe berupa mata air yang berasal

dari mata air dengan debit terbatas. Beberapa sumber air mengalir

sepanjang tahun walaupun dengan debit yang terbatas, sedangkan mata air

Bungi, mata air Koba mempunyai kapasitas debit yang cukup baik begitu

juga dengan sumber air Kaongke-Ongkea di Kecamatan Sorawolio.

4.1.1.7. Geologi

Secara topografis fisiografis, Kota Baubau terletak pada bagian Barat Daya

dari Pulau Buton, dimana dikontrol oleh pola struktur tektonik yang berarah

Timur Laut – Tenggara dan sebagian kecil menunjukkan arah pergerakan Barat

Laut – Tenggara. Formasi geologi sebagai pembentuk struktur batuan di wilayah

Kota Baubau yang berada di Pulau Buton Bagian Selatan memiliki karakteristik

yang kompleks. Hal ini dicirikan oleh adanya jenis satuan batuan yang bervariasi

akibat pengaruh struktur geologi. Beberapa jenis batuan yang dapat ditemukan

diwilayah Kota Baubau pada umumnya antara lain : Batuan Molasa Celebes

Sarasin (Qtms) terdapat disebagian besar Kecamatan Wolio, Kokalukuna, Bungi,

Lea-Lea dan Sorawolio;Batu Gamping (Kl) terdapat disebagian besar wilayah

Kecamatan Betoambari (bagian timur), Batuan Sedimen (S) menempati sebagian

besar wilayah Kecamatan Sorawolio; dan Batuan Ultra Basa (Ub) yang hanya

terdapat di wilayah Kecamatan Sorawolio.

Struktur geologi sangat mempengaruhi pola penyebaran batuan dan keterdapatan

bahan galian. Dari aspek bencana geologi kemungkinan relatif kecil, begitu pula
92

dengan kemungkinan pengaruh gelombang laut, karena secara geografis Kawasan

Pelabuhan Baubau berada di bagian Barat Pulau Buton sehingga terlindungi dari

pengaruh gelombang Laut Banda. Walaupun demikian, dibeberapa pesisir yang terkena

arus gelombang laut musim Barat memperlihatkan abrasi jangka panjang yang

meruntuhkan tebing-tebing pantai tersebut.

4.1.2. Gambaran Umum Demografis Kota Baubau

4.1.2.1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk

Peran Kota Baubau sebagai pusat aktifitas dan perekonomian masyarakat di

wilayah Sulawesi Tenggara bagian Kepulauan, menyebabkan perbedaan yang

cukup signifikan antara jumlah penduduk siang dan malam karena besarnya

jumlah penduduk komuter dari beberapa daerah disekitarnya. Dari hasil pendataan

BPS jumlah penduduk tetap non komuter di Kota Baubau dari tahun ke tahun

terus mengalami peningkatan. Selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir (2010

– 2014), rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,51% yaitu dari 136.991

orang menjadi 151.485. Selengkapnya perkembangan penduduk Kota Baubau

selama kurun waktu 2010-2014 dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini :
93

151,485

145,427
142,576
139,717
136,991

2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 4.3. Grafik Perkembangan Penduduk Kota Baubau


Tahun2010-2014
Sumber : BPS, Baubau Dalam Angka tahun 2015, diolah

4.1.2.2. Sebaran dan Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan perbandingan jumlah

penduduk pada suatu daerah dengan luas lahan yang tersedia setiap kilometer

persegi. Tingkat kepadatan penduduk merupakan indikator yang sangat penting

karena dapat memberikan gambaran tentang kemampuan suatu daerah dalam

memberikan daya tampung dan daya dukung wilayah terhadap jumlah

penduduk.Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Kota Baubau juga ditandai

dengan tingkat kepadatan penduduk yang terus menerus meningkat dari tahun ke

tahun.

Pertumbuhan penduduk ini selain dikarenakan adanya fertilitas yang cukup

tinggi (pertumbuhan penduduk alami) juga disebabkan adanya pertumbuhan

penduduk migrasi, dimana terdapat migrasi masuk yang lebih besar dari pada

migrasi keluar atau dengan kata lain penduduk yang datang lebih banyak

dibanding dengan penduduk yang keluar Kota Baubau. Aktivitas ekonomi yang

ada di Kota Baubau menjadikan daya tarik (Full Factors) bagi sebagaian orang
94

yang mencari penghidupan di Kota Baubau.

Tabel. 4.2
Persebaran dan Kepadatan Penduduk
Kota Baubau Tahun 2014
Kecamatan Luas Jumlah Kepadatan
Wilayah
(km2) (Jiwa/km2)
Betoambari 27,89 18.023 646
Murhum 4,9 21.311 4.349
Batupoaro 1,55 28.648 18.482
Wolio 17,33 41.948 2.420
Kokalukuna 9,44 18.512 1.961
Sorawolio 83,25 7.853 94
Bungi 47,71 7.848 164
Lea-lea 28,93 7.342 253
Kota Baubau 221 151.485 685
SULTRA 38.14 2.230.569 58
Sumber:BPS, Baubau dalam angka  2015, diolah

Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Kota Baubau juga ditandai dengan

tingkat kepadatan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun

2000 kepadatan penduduk Kota Baubau sebesar 480 orang per km2 kemudian

tahun 2010 sebesar 620 orang per km2 selanjutnya pada tahun 2014 meningkat

hingga 685 orang per km2. Kecamatan Batupoaro memiliki kepadatan paling

tinggi yaitu 18.482 orang/km², sedangkan Kecamatan Sorawolio dengan luas

wilayah terbesar justru memiliki kepadatan penduduk

terkecil yaitu 94 orang / km².

4.1.2.3. Rasio Jenis Kelamin

Rasio jenis kelamin (sex ratio) adalah angka yang menggambarkan

perbandingan banyaknya penduduk laki-laki terhadap 100 penduduk perempuan.

Pada tahun 2014 dari 151.485 jiwa penduduk, tercatat 32.348 Kepala Keluarga
95

atau rata-rata satu keluarga terdiri dari 4,7 jiwa. Perbandingan penduduk

perempuan dengan penduduk laki-laki atau rasio jenis kelamin penduduk tahun

2014 sebesar 97,5 yang berarti dari setiap 100 orang penduduk perempuan

terdapat 98 orang laki-laki. Perkembangan sex ratio dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Perkembangan Jumlah Penduduk Menurut Jenis


KelaminKota Baubau Tahun 2010 - 2014
Tahun Jumlah Laki-Laki Perempuan Rasio Jenis
Penduduk Kelamin
2010 136. 67.6 69.34 97,6
991 51 0
2011 139. 68.9 70.72 97,53
717 97 0
2012 142. 70.4 72.16 97,56
576 08 8
2013 145. 71.8 73.61 97,56
302 17 0
2014 151. 74.7 76.70 97,5
485 80 5
Sumber: BPS,Baubau dalam Angka tahun 2015, Diolah

4.1.2.4. Struktur Penduduk Berdasarkan Umur

Komposisi penduduk Kota Baubau Tahun 2014 berdasarkan kelompok umur

menunjukkan bahwa sekitar 63,34% atau 92.110 jiwa termasuk usia produktif,

sedangkan sekitar 36,66% atau sebanyak 53.317 jiwa merupakan penduduk non

produktif. Penduduk terbanyak terdapat pada kelompok umur 15 – 19 tahun yaitu

sebesar 2.229 jiwa dan jumlah penduduk terkecil berada pada kelompok umur 70

-74 sebesar 183 jiwa.


96

75 +
70 – 74
65 – 69
60 – 64
55 – 59
50 – 54
45 – 49
40 – 44
35 – 39
30 – 34
25 – 29
20 – 24
15 – 19
10 – 14
5 –9
0 –4
-10000 -8000 -6000 -4000 -2000 0 2000 4000 6000 8000 10000

Gambar 4.4. Piramida Penduduk Kota Baubau Tahun 2014


Sumber : BPS, Baubau Dalam Angka tahun 2015, diolah

Implikasi lain yang perlu disikapi dari piramida penduduk ini adalah tingginya

jumlah penduduk pada kelompok umur 10-49 tahun lebih besar dari jumlah

penduduk usia 50 tahun keatas dan usia 5 tahun kebawah, yang berarti bahwa

Kota Baubau satu dekade ke depan akan memperoleh Bonus Demografi, yaitu

kondisi ketika jumlah penduduk produktif (berusia 15-64 tahun) mendominasi

populasi Kota. Saat bonus demografi datang, pertumbuhan ekonomi bakal

melonjak, pendapatan per kapita melambung, dan sektor-sektor produksi akan

tumbuh luar biasa pesat. Siklus ini hanya akan datang sekali dalam sekian ratus

atau bahkan sekian ribu tahun bagi sebuah bangsa. Bonus Demografi akan terjadi

pada 2020-2030. Tanda-tanda bonus demografi sudah muncul. Sejak dua tahun

silam, tingkat kelahiran di Kota Baubau khususnya dan Indonesia pada umumnya

menurun, diikuti oleh meningkatnya jumlah penduduk usia produktif.


97

4.2. Profil Informan

1. baharuddin

2. Al- Mujadi Mulku

3. L.M. Ansyari Lubis

4. Camat Wolio

5. Camat Batupoaro

6. Camat Murhum

7. warga bonebone

8. warga baadia

9. warga Tarafu

10. warga wameo

11. warga lipu

4.3. Analisis Bahasa Wolio Sebagai Icon Pemersatu Masyarakat Buton di

Kota Baubau.

Analisis Bahasa Wolio sebagai icon pemersatu Masyarakat Buton di Kota

Baubau merupakan karya ilmiah peneliti yang dilakukan dengan metode kualitatif

dengan pendekatan etnografi komunikasi. Dalam mendapatkan apa yang peneliti

harapkan sesuai dengan konsep awal penelitian yaitu bagaimana menemukan

fungsi Bahasa Wolio sebagai identitas Masyarakat Buton di Kota Baubau, Bahasa

Wolio menjadi identitas serta peran pemerintah dan tokoh adat dalam menjadikan

Bahasa Wolio sebagai identitas.

Peneliti dalam mencari data dan informasi tentang topik yang di harapkan

dapat mejawab seluruh rumusan masalah secara utuh maka peneliti menggunakan
98

empat teknik pengumpulan data yaitu observasi parsitipatif, wawancara

mendalam, fokus group discution serta studi dokumentasi. Analisis yang

dilakukan bahwa tidak banyak yang di dapat wawancara mendalam yang

dilakukan dengan warga sekitar lokasi penelitian tentang pemahaman mereka

tentang identitas Bahasa Wolio sebagai identitas dan pemersatu masyarakatnya.

Seperti yang di ungkapkan oleh La Huse warga sekitaran Jln Alkautsar

wilayah Bone-Bone yang menyatakan bahwa:

“Bahasa Wolio itu adalah bahasa yang digunakan oleh orang Wolio yang
banyak itu orang Wolio sekitaran Kota Baubau. Saya juga orang Wolio
asli yang masih keturunan kerajaan bila di urut silsilah keluarga. Akan
tetapi sudah jarang bahasa Wolio itu digunakan hanya sesekali saja.
Kalau di Tanya identitas Bahasa Wolio sebagai identitas pemersatu saya
kira saya tidak mengerti tapi sekitaran wilayah ini sering kacau saya kira
Bahasa Wolio bukan pemersatu karena yang kacau itu mayoritas orang
Wolio semua”. (Wawancara 30 Februari 2017).

Hal ini yang dilihat melalui observasi parsitipatif memperlihatkan kehidupan

berkomunikasi masyarakat Kota Baubau telah banyak dipengaruhi oleh faktor-

faktor sehingga Bahasa Wolio itu sendiri sudh tidak dipahami lagi sebagai sebuah

identitas, hal ini sesuai dengan faktor-faktor yang melatar belakangi dilakukannya

penelitian ini. Sesuai juga dengan wawancara yang dilakukan dengan La Huse

memperlihatkan Bahasa Wolio tidak dipahami sebagai identitas pemersatu

masyarakat. Hal ini dipengaruhi kesibukkan warganya dengan kesibukkan yang

luas pergaulannya bisa juga dikarenakan Bahasa Wolio sudah tidak lagi

diperkenalkan dan digunakan, akan tetapi dari yang diungkapkan oleh La Huse

belum mampu menjadi tolak ukur informasi yang mutlak tentang identitas Bahasa

Wolio itu sendiri. Wawancara pula dilakukann dengan warga lainnya.


99

Seperti yang di ungkapkan oleh La Ode Husuni yang merupakan warga

Tarafu, beliau seorang warga yang lahir di Baadia yaitu wilayah yang berada pada

lingkungan keraton yang peneliti anggap paham tentang Bahasa Wolio itu sendiri

yang menyatakan bahwa:

“Susah kalau kita di Tanya bagaimana pandangan kami tentang Bahasa


Wolio, atau identitas Bahasa Wolio itu sendiri terhadap kami di wilayah
Baubau. Hal ini karena banyak sekali versi tentang Bahasa Wolio baik
dari segi penggunaan dan pemanfaatannya dalam keseharian. Ada yang
menyatakan Bahasa Wolio itu hanya digunakan oleh masyarakat wilayah
Keraton ada juga yang menyatakan Bahasa Wolio digunakan oleh seluruh
warga Wolio baik yang berada di dalam dan di luar Keraton. Tapi kalau
wilayah Baubau memang merupakan wilayahnya orang Wolio tapi hanya
mancuana saja yang masih fasih berbahasa Wolio kalau kita-kita ini
sudah jarang menmgungkapkannya hanya sedikit-sedikit saja. Malah kita
ini sering konflik dengan wilayah sekitar itu artinya sudah tidak ada
identitas Bahasa Wolio itu sendiri” (Wawancara tanggal 30 Februari
2017).

Dari wawancara yang dilakukan dengan informan peneliti belum melihat

bagaimana Bahasa Wolio itu sendiri dalam porsinya tersendiri, informan

cenderung melihat bahwa Bahasa Wolio sudah tidak lagi digunakan secara aktiv

oleh masyarakatnya dan setiap jawabannya selalu mengungkapkan konflik yang

terjadi di wilayah mereka yang dari pemahamannya seringnya konflik itu berarti

Bahasa Wolio sudah tidak lagi menjadi identitas mereka.

Akan tetapi dari yang peneliti lihat dalam tahapan observasi parsitipatif

memperlihatkan bahwa:

“Sebenarnya Bahasa Wolio itu masih sering digunakan oleh warga Baubau
itu sendiri, akan tetapi memang penggunaanya tidak bersifat utuh hanya
muncul seketika dalam perbincangan sehari-hari mereka. Biasanya muncul
ketika bertemu orang yang seketika tanpa disengaja baik itu
sanak saudara ataupun rekan pergaulan seperti misalnya minaka yapai
yang artinya dari mana, ada juga piamo kaawa artinya kapan tiba atau hal-
hal lainnya menggunakan Bahasa Wolio namun
hal ini hanya bersifat sementara saja”
100

Dalam pemanfaatan Bahasa Wolio itu sendiri, ada kecenderungan Bahasa

Wolio hanya dipahami sebagai bahasa kiasan, tolak ukurnya bahwa dengan apa

yang peneliti lihat dalam keseharian warga Kota Baubau sejauh yang peneliti lihat

baik dalam wawancara mendalam ataupun observasi parsitipatif yang peneliti

lakukan mempelihatkan Bahasa Wolio tidak dipahami dan tidak dimengerti posisi

dan fungsi Bahasa Wolio itu sendiri. Wawancara pula dilakukan dengan salah satu

warga lainnya.

Seperti yang diuangkapkan Ibu Wa Ode Eba, beliau merupakan warga Wameo

yang kesehariannya merupakan penjual Tuli-tuli sekitaran Pos dua. Ibu ini

direkomendasikan oleh warga sebab beliau sempat menjadi salah satu informan

dari mahasiswa Sastra Inggris salah satu universitas di Makassar dimana Bahasa

Wolio juga sebagai fokus studinya, beliau mengungkapkan bahwa:

“Beberapa bulan yang lalu saya juga sempat di wawancarai salah satu
mahasiswa yang meneliti Bahasa Wolio juga, kalau saya di Tanya
bagaimana pendapat kami atau sikap kami dan pogau wolio yi bawoona
Baubau syi, fungsi Bahasa Wolio tidak terlihat cukup membantu
dikarenakan manga mia yi weesi sadhia apobusubusu padahal podopodo
yingkita miana Wolio. Tapi Bahasa Wolio sangat kami hargai terutama
saya sendiri kalau saya ketemu orang Wolio saya selalu Tanya pake
Bahasa Wolio tapi kadang juga saya jengkel karena ane taabhakia pogau
Wolio manga pakeaka bahasa Indonesia handamphu kasombona”.
(Wawancara 2 Maret 2017).

Dari wawancara yang dilakukan dengan ibu ini memberikan informasi yang

baru mengenai fungsi Bahasa Wolio itu sendiri, dari wawancara yang dilakukan

terlihat ibu ini sesekali menggunakan Bahasa Wolio dalam menjawab pertanyaan

peneliti seperti ketika peneliti menanyai mengenai fungsi Bahasa Wolio itu sendri

sempat terucap kata pogau wolio yi bawoona Baubau syi yang artinya Bahasa
101

Wolio di atas tanah Baubau, ada juga ketika peneliti bertanya Bahasa Wolio

sebagai identitas warga Baubau beliau mengatakan manga mia yi weesi sadhia

apobusubusu yang artinya orang disini sering tawuran hampir sama dengan

jawaban-jawaban informan lainnya yang menyebutkan bahwa tawuran sering

terjadi hal ini ketika Bahasa Wolio bukan lagi pemersatu masyarakatnya. Dari

wawancara yang dilakukan memperlihatkan adanya faktor yang mempengaruhi

dari tidak dipahaminya Bahasa Wolio sebagai identitas pemersatu warga Baubau.

Hal yang serupa sama ketika peneliti mengikuti informan tanpa sepengetahuan

bahwa peneliti adalah seorang yang sementara melakukan penelitian terlihat

bahwa.

“Teknik Shadowing yang peneliti lakukan terhadap kebanyakan informan


memperlihatkan memang tidak adanya Bahasa Wolio yang utuh yang
digunakan dalam berkomunikasi sesama warga Wolio itu sendiri, bahkan
keseharian warga Baubau jarang kita dengarkan Bahasa Wolio itu
digunakan sebagai alat komunikasi”.

Dari wawancara dan observasi parsitipatif yang peneliti lakukan

memperlihatkan fungsi Bahasa Wolio belum terlihat dalam wawancara serta

ovservasi parsitipatif serta teknik shawoding yang peneliti lakukan. Bahkan yang

cukup terlihat adalah kecenderngan Bahasa Wolio itu punah dalam

berkembnagannya. Hal ini sehingga peneliti menjadi sangat penasaran tentang

fungsi Bahasa Wolio itu sendiri sebagai identitas pemersatu dan peran pemerintah

serta para Tokoh Adat dalam menjadikan Bahasa Wolio sebagai identitas

pemersatu.

Seperti wawancara dengan Camat Murhum yang menyatakan Bahwa:

“Sebenarnya fungsi Bahasa Wolio itu sangat besar pengaruhnya terhadap


masyarakat oleh karena itu Bahasa Wolio sudah diterapakan menjadi
102

mata pelajaran wajib setiap jenjang pendidikan dari tingkat sekolah dasar
hingga tingkat menengah atas melalui mata pelajaran muatan lokal
(MULOK) akan tetapi dengan perkembangan zaman serta terjadinya
percampuran budaya dengan warga lainnya khususnya warga pendatang
menjadikan Bahasa Wolio itu hanya menjadi konsumsi meja belajar saja
tidak lagi menjadi alat komunikasi seperti yang diharapkan para
pemangku adat dan pemerintah pada khsususnya. Hal ini kami memahami
bahwa dalam berkomunikasi Bahasa Wolio mungkin saja sudah tidak
mewakili keterbukaan masyarakat dalam berinteraksi dan Bahasa Wolio
tidak menjadikan warga penggunannya cukup percaya diri sehingga
Bahasa Wolio banyak digunakan di ruang-ruang yang bersifat privat”.
(Wawancara Camat Murhum 07 Maret 2017).

Dari wawancara dengan Camat Murhum di dapatkan informasi baru yaitu saat

ini Bahasa Wolio hanya digunakan pada ruang-ruang privat. Ruang privat berarti

ruang yang lebih kecil dari skala interaksi komunikasi masyarakatnya, hal ini

sesuai dengan yang di uangkapkan salah satu Tokoh masyarakat yang merupakan

informan peneliti.

Hal yang di uangkapkan oleh bapak La Patu ntewo, beliau seorang Tokoh

masyarakat yang dipilih oleh peneliti setelah mendapat rekomendasi oleh warga

yang menyatakan bahwa bapak La Patu ntewo merupakan informan yang

mempuni dalam menjawab pertanyaan peneliti. Hal ini dikarenakan beliau adalah

mantan asistem tiga kabupaten Buton yang saat itu dipimpin oleh bupati Sjafei

Kahar, saat ini juga beliau menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas

Muhamadiyah Buton (UMB) dan wakil ketua KONI Kata Baubau menyatakan

bahwa:

“Benar apa yang dikatakan pak Camat, bahwa Bahasa Wolio memang
kebanyakan menjadi konsumsi privat saja oleh warga Wolio. Semisal pada
ruang diskusi politik biasanya orang akan menggunakan Bahasa Wolio
untuk menunjukan dirinya sebagai orang Wolio, ada juga digunakan
biasanya pada negosiasi-negosiasi tertentu biasanya Bahasa Wolio
digunakan sebagai alat mempermudah negosiasi dikarenakan karekter
orang Wolio yang sikap kekerabatannya masih tinggi biasanya ketika
103

menggunakan Bahasa yang sama dengan lawan bicara akan


mempermudah penyelesaian masalah, ada juga biasanya yang sering
digunakan adalah pada saat pelamaran maka Bahasa Wolio wajib
digunakan dalam proses adat tersebut”. (Wawancara Tanggal 07 Maret
2017).

Wawancara diatas memperkuat apa yang disampaikan oleh Camat Murhum

bahwa Bahasa Wolio berada pada ruang-ruang yang privat saja. Dari wawancara

diatas peneliti mendapatkan informasi baru mengenai ruang politik dikaitkan

dengan penggunaan Bahasa Wolio dan ruang negosiasi dikaitkan dengan Bahasa

Wolio. Dengan apa yang disampaikan bapak La Patu ntewo memberikan

keterbukaan tentang fungsi Bahasa Wolio dan Bahasa Wolio dalam identitas

pemersatu masyarakatnya. Hal lain pula coba peneliti lakukan dengan melakukan

observasi partisipatif untuk membuktikan apa yang dikatana para informan diatas.

Bertepatan dengan acara Kande-kandea pada kecamatan Talaga Raya maka

peneliti ikut dalam acara tersebut untuk melihat bagaimana dan pada waktu kapan

Bahasa Wolio itu digunakan.

Dari hasil observasi yang dilakukan memperlihatkan bahwa:

“dalam kegiatan tersebut baru terasa peneliti berada pada lingkunga orang
Wolio, sebab baru pada kegiatan ini peneliti menyaksikan dan mendengar
Bahasa Wolio itu digunakan oleh peserta Kande-kandea. Bahasa Wolio
digunakan saat Bupati melakukan pidatonya, Bahasa Wolio digunakan
saat susunan kegiatan, Bahasa Wolio digunakan saat orang berbisik
diantara kerumunan peserta terutama ketika berada pada deretan terdepan
kursi rombongan Bupati”.

Dari observasi yang peneliti lakukan terlihat kesamaan apa yang dikatakan

informan dan fakta dilapangan menunjukan memang benar hanya pada ruangan-

ruangan yang bersifat privat seperti pada acara tertentu saja dan ruang-ruang
104

diskusi privat saja. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, peneliti

mencoba mendapatkan informasi yang baru dari informan lainnya.

Seperti yang diuangkapkan Camat Batupoaro yang menyatakan bahwa:

“apa yang dikatakan pak Camat Murhum itu benar adanya, dan juga
dikatakan orang tua kita bapak La Patu ntewo itu sudah betul. Sebenarnya
kita selaku pemerintah tidak dapat berbuat banyak tentang bagaimana
Bahasa Wolio itu sendri dalam posisi pada lingkungan sosial masyarakat.
Kami susah melakukan yang kami lakukan dengan tetap mengawal
Bahasa Wolio menjadi mata pelajaran yang wajib melalui muatan local
(MULUK) disekolah-sekolah. Hal ini dengan harapan Bahasa Wolio tetap
dipahami dan di gunakanan oleh warga Baubaau dan tidak punah.
Selebihnya lingkungan yang membentuk itu semua, akan tetapi setiap
kegiatan dan promosi daerah Bahasa Wolio selalu dijadikan icon dalam
promosinya”.(Wawancara 09 Maret 2017)

Informasi dari Camat Batupoaro memperkuat informasi dari informan

sebelumnya tentang peran pemerintah serta fungsi Bahasa Wolio itu sendiri dan

membenarkan apa yang disampaikan bapak La Patu ntewo. Hal yang baru yang

disampaikan yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah seperti ajang promosi

daerah Bahasa Wolio selalu digunakan. Untuk membuktikan dan memperkuat

informasi yang di dapat dari Camat Batupoaro maka peneliti mencoba melakukan

observasi parsitipatif dengan berkeliling sekitaran Kota Baubau untuk

membuktikan Bahasa Wolio digunakan dalam ajang promosi maka unit yang

peneliti harus lakukan adalah baliho pemerintah daerah yang tersebar disekitaran

Kota Baubau. Ataupun kantor-kantor pemerintahan dan unit kantor yang menjadi

sampel observasi peneliti adalah kantor Pusat komando Polisi Pamong Praja yang

berada pada Jl. Jendral Sudirman.


105

Terlihat dari hasil observasi parsitipatif yang dilakukan terlihat bahwa:

“peneliti melakukan observasi parsitipatif dimulai dari Jln. Yos Sudarso


sekitaran Pantai Kamali yang merupakan kawasan rekreasi ada terdapat
dua baliho besar yaitu Baliho ucapan selamat dating di Kota Baubau dan
Baliho promosi wisata Kota Baubau. Dari dua Baliho yang ada tidak ada
satupun bertuliskan Bahasa Wolio. Kemudia peneliti bergeser pada Jln.
Letter Buton terdapat Tugu yang berada pas dipersimpangan Jln. Letter
Butondan Jln. Balai Kota, Tugub tersebut bertuliskan Bolimo Karo
Sumanamo Lipu yang artinya tidak penting badan yang penting kampung,
tulisan ini membuktikan apa yang disampaikan Camat Batupoara
sebelumnnya. Kemudian peneliti bergeser pada Jln. Kartini, Jln.
Martadinata, Jln. Sultan Hasanuddin, Jln. Anuang, Jln. Moh. Husni Tamrin
depan Kantor Imigrasi Kota Baubau dan SMAN 1 kota Baubau papan
reklame terlihat beragam dalam penggunaan Bahasa Wolio”.

Observasi yang dilakukan sekiranya membuktikan apa yang disampaikan oleh

informan sebelumnya. Sejauh ini peneliti sudah mendapat gambaran tentang

fungsi Bahasa Wolio sebagai sebuah identitas dan peran pemerintah dalam

melestarikan Bahasa Wolio itu sendiri. Hal yang belum terliha adalah bagaimana

Bahasa Wolio sebagai identitas pemersatu masyarakat Buton di Kota Baubau.

Maka peneliti mendatangi informan lainnya.

Seperti yang dikatakan Tokoh Adat yang bernama Baharuddin, beliau

merupakan mantan veteran perang saat mempertahankan kesultanan Buton dalam

melawan VOC dan perang saudara dengan kerajaan Tidore. Hal ini sesuai dengan

apa yang diceriatan oleh bapak Baharuddin itu sendiri, yang menyatakan bahwa:

“banyak cerita tentang Bahasa Wolio itu, sejak dulu kesultanan sudah
memutuskan Bahasa Wolio sebagai bahasa resmi kesultanan, dimana
Bahasa Wolio digunakan dalam transaksi jual beli, rapat kesultanan dan
kegiatan resmi kenegaraan. Kalau kita mau lihat identitas Bahasa Wolio
sebagai icon pemersatu masyarakat, maka dulu sudah ditetapkan identitas
itu yaitu Kabhanti. Jadi ceritanya dulu kalau orang Wolio bertemu atau
berpapasan maka mereka akan saling bersahutan Kabhanti sehingga
terbentuk identitas yang sama kalau orang Wolio pasti tau Kabhanti.
Kabhanti itu adalah Syair indah tentang keimanan, tentang kehidupan dan
lainnya. Akan tetapi sejalan perkembangan zaman Kabhanti sudah tidak
106

lagi di senandungkan oleh orang Wolio itu sendiri dalam sahut-sahutan,


hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang mungkin saja
Kabhanti sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Hal
itulah saat ini sudah jarang orang Wolio paham Bahasa Wolio. Yang
masalah sebenarnya bukan soal Kabhantinya akan tetapi saat ini
masyarakat sudah tidak memahami lagi Bahasa Wolio itu sendiri
sehingga tidak ada yang mempersatukan mereka dalam hal pemersatu,
tapi untuk hal-hal tertentu Bahasa Wolio itu sangat dibutuhkan”.
(Wawancara 10 Maret 2017).

Bapak Baharuddin mengungkapkan hal yang baru mengenai Bahasa Wolio itu

sendiri yakni Kabhanti menurut ceritanya adalah hal yang mempersatukan

masyarakat Wolio saat itu. Dalam menggali informasi yang lebih mendalam

peneliti meyakini hal ini harus saling berketerkaitan dengan informan yang

lainnya, maka peneliti mencoba menggali informasi lainnya demi mengkorfirmasi

ataupun menemukan perbedaan lain dari informan-informan sebelumnya.

Seperti yang diungkapkan oleh Al Mujadi Mulku seorang Budayaawan Wolio,

beliau seorang Budayawan sekaligus dipercaya sebagai penjaga Museum Keraton

Buton menyatakan bahwa:

“Bahasa Wolio itu bahasa yang sangat sempurna dikarenakan hanya


Bahasa Wolio yang memiliki aksara yang baku, dan penggunaan Bahasa
Wolio itu bersifat menyeluruh pada awalnya, semua masyarakat Buton
baik dia orang Wolio ataupun bukan orang Wolio misalnya masyarakat
Ciacia yang menggunakan Bahasa Ciacia atau pengguna 16 bahasa resmi
yang diakui kesultanan harus mampu menggunakan Bahasa Wolio. Hal
itu membuktikan Bahasa Wolio sebagai identitas pemersatu
masyarakatnya. Persoalan saat ini Bahasa Wolio sudah jarang kita
dengarkan digunakan dalam interaksi sehari-hari itu lebih disebabkan
kondisi masyaraka yang lebih beragam. Akan tetapi secara harfiah
bagaimanapun kondisinya Bahasa Wolio tetap menjadi identitas orang
Wolio, hanya identitasnya pemersatunya sudah tidak se kental dulu. Saat
ini Bahasa Wolio yang menjadi identitas kalangan dan interaksi tertentu
saja. Misalnya ruang kedekatan emosiolan di perantauan, ruang diskusi-
diskusi politik, ruang negosiasi dan wilayah-wilayah yang lebih sempit”.
(Wawancara 10 Maret 2017).
107

Seorang Budayawan Wolio mengungkapan bahwa Bahasa Wolio memang

dalam penggunaanya telah mengalami pergeseran identitas. Seperti yang

dikatakan oleh bapak Al Mujadi Mulku bahwa, Bahasa Wolio sampai kapanmu

akan tetap menjadi sebuah identitas pemersatu Masyarakat Buton, hanya saja

identitas tersebut sudah bergeser pada kondisi tertentu saja. Dalam wawancara

peneliti dapat berhipotesis bahwa permasalahan konflik yang sering terjadi antara

lingkungan masyarakat Wolio adalah masalah berbeda, bukan dipicu oleh

identitas Bahasa Wolio yang mulai memudar. Untuk membuktikan apa yang

peneliti maksud maka peneliti mencoba menemukan dan mengkonfirmasi

pernyataan tersebut kepada salah satu informan lainnya.

Seperti yang diungkapkan L.M. Anshari Idris, seorang Budayawan sekaligus

pengajar Aksara Wolio yang telah lama berkecimbung dalam dunia kebudayaan

Wolio. Beliau salah satu informan dalam salah satu acara di stasiun TVRI yang

berjudul “Negeri Indonesia”. Sebuah film documenter yang menceritakan tentang

sejarah perkembangan Bahasa Wolio dan kebudayaan Wolio, beliau

mengungkapkan bahwa:

“ sudah banyak peneliti yang menggali tentang Bahasa Wolo itu sendiri,
baru kali ini saya diwawancarai mengenai identitas Bahasa Wolio
sebagai pemersatu masyarakat. Apalagi studinya komunikasi, sangat baru
sekali saya dengar penelitian komunikasi yang membahas ke linguistikan.
Saya sangat tetarik, menurut saya apa yang kita masksud sebagai
identitas orang Wolio itu memang tidak terlepas dari pengaruh bahasa
karena bahasa mampu membentuk fikiran yang sama antara sesame
lingkungannya, itu adalah teorinya akan tetapi fakta lapangan sekarang
khususnya Bahasa Wolio ada sedikit pergeseran makna Bahasa Wolio.
Saat ini sudah tidak banyak lagi orang berkomunikasi dengan Bahasa
Wolio, hanya kondisi tertentu saja dan hanya terucap sesekali. Tapi kalau
orang-orang tua atau Mancuana selalu menggunakan Bahasa Wolio.
Masalahnya sekarang kita susah untuk melihat identitas mereka, dan
apakah bahasa masih menjadi identitasnya. Karena saat ini kita sudah
108

susah membedakan antara sesama orang Wolio, fakta saat ini kita sebagai
orang Wolio sudah terpengaruh dengan akses orang lain. Saat ini kita
sudah susah membedakan antara orang Ambon dan orang Wolio,
sekarang orang Wolio tapi aksen bicaranya adalah aksen Ambon
sehingga bahasa Wolio juga sudah jarang digunakan karena saat ini lebih
percaya diri pake aksen Ambon dibandingkan aksen Wolio atau Bahasa
Wolio. Dari pandangan saya saat ini sesama orang Baubau akan saling
memahami bila menggunakan aksen Ambon”. (Wawancara 12 Maret
2017).

Yang disampaikan oleh bapak L.M. Anshari Idris mengungkapkan sesuatu hal

yang baru bagi penelitian ini, ada sebuah fenomena yang di dapat bahwa dalam

hal berkomunikasi masyarakat Kota Baubau memperlihatkan kecenderungan

Bahasa Wolio terpengaruhi oleh akses daerah lain. Sesuatu yang di katakan oleh

informan menderus pemahaman faktor lingkungan mempengaruhi identitas

Bahasa Wolio dalam hal pemersatu masyarakatnya. Untuk melihat fenomena yang

disampaikan oleh informan, maka peneliti mencoba memberikan satu metode

dalam pembuktiannya yaitu teknik observasi parsitipatif. Hal ini untuk melihat

kemurnian dari fenomena yang disampaikan sebagai penguatan ataupun bantahan

tersendiri.

Dari observasi yang peneliti lakukan memperlihatkan bahwa:

“Selaku peneliti,saya mencoba melihat sesuatu yang baru dalam


pembuktian dari apa yang disampaikan oleh informan sebelumnya. Dan
untuk membuktikan itu peneliti harus berada pada lingkungan yang
aktivitas interaksi komunikasinya itu berjalan terbuka dan dalam kondisi
yang ramai. Maka tempat yang dijadikan sampel yaitu terminal angkutan
kota Plaza Kota Baubau dekat Pelabuhan Jembatan Batu, terminal
Pelabuhan Murhum, Stadion Lembah Hijau, Kota Mara. Dari yang dilihat
di sekitaran Terminal angkuta kota Plaza Kota Baubau memperlihatkan
bahwa memang para pemuda sekitara terminal yaitu kenek, sopir dan
penumpang menggunakan aksen Ambon akan tetapi dari mereka memang
berasal dari Ambon namun yang unik adalah warga asli Kota Baubau juga
menggunakan aksen Ambon setelah saya konfirmasi asal mereka. Berbeda
yang terlihat di Pelabuhan Murhum tidak terlihat ada aksen Ambon yang
digunakan dan d Stadion Lembah Hijau memperlihatkan kekentalan dalam
109

penggunaan aksen Ambon, hal ini dari yang peneliti konfirmasi sebagian
dari mereka orang Wolio asli dan mereka tidak memahami Bahasa Wolio
secara utuh namun lebih menyenangi menggunakan aksen Ambon karena
dianggap lebih percaya diri dalam pergaulan”.(Observasi 14 Maret 2017).

Observasi yang dilakukan memperlihatkan apa yang disampaikan oleh

informan sebelumnya ada kesamaan dari fakta lapangannya. Hal ini adalah

fenomena yang baru bagaimana bahasa pendatang mampu mempengaruhi aksen

masyarakat lokal. Akan tetapi tidak bersifat keseluruhan hanya beberapa tempat

saja dan lingkungan yang sangat kental aksen Bahasa Ambonnya. Untuk

memperjelas personal diatas yang di dapat dari hasil penelitian dan observasi

parsitipatif yang dilakukan penleiti maka untuk memperjelas hal ini peneliti

menggali informasi dari informan lainnya.

Seperti yang di ungkapkan oleh bapak Syaifuddin pemuda berusia 29 tahun,

beliau seorang Sopir di terminal angkutan kota dalam provinsi kelahiran Kaubula

dan menetap di Pos 2. Beliau merupakan orang Wolio asli yang tidak memiliki

garis keturun dengan orang Ambon. Beliau mengungkapkan bahwa:

“Memang kalau orang tidak tau pasti mereka bilang saya ini orang
Ambon asli. Karena memang dalam keseharian sata menggunakan gaya
bicara orang Ambon apalagi kalau sudah diterminal. Tidak tau kenapa
tapi nyaman saja pakai gaya bicara orang Ambon. Ini berawal dari
kecenderungan bergaul dengan orang Ambon sesaat saya menjadi Sopir,
karena banyak orang ambon sesama profesi disana dan terbawa-bawa
gaya bahasa mereka. Saya juga sebenarnya tau Bahasa Wolio tapi malah
saya yang terpengaruh, asik saja bahasanya, lebih gampang dan menarik
dalam berbicara. Dan ini bukan Cuma saya banyak juga orang lain yang
sudah pakai gaya bahasa Ambon. Identitas kita ya orang Baubau tapi
sekarang kalau orang Baubau tidak pintar gaya bahasa Ambon berarti
bukan orang Baubau (sembari tertawa)”. (Wawancara 15 Maret 2017)

Dari yang peneliti lihat memang yang disampaikan oleh bapak Syaifuddin tadi

memperlihatkan gaya bicara Ambon itu mempengaruhi baya berbicara orang


110

Baubau. Untuk lebih melihat kebaruan dan klarifikasi atas apa yang didapat dalam

pemaparan informan maka peneliti memcoba mengikuti informan tersebut saat

menuju terminal. Teknik ini disebut teknik Shadowing yaitu mengikuti atau

membayangi, dilakukannya teknik ini disebabkan waktu wawancara yang

dilakukan oleh peneliti bertepatan dengan waktu keberangkatan bapak Syaifuddin

ke terminal dari Pos 2 menuju Terminal angkutan kota di Plaza Kota Baubau.

“Saat saya mengikuti tentunya peneliti duluan berada diterminal


berhubung peneliti menggunakan motor, dan peneliti menunggu
kedatangan informan tadi memperlihatkan kekentalan beliau dalam
menggunakan gaya bicara Ambon. Sangat tidak terlihat sekali kalau bapak
Syaifuddin merupakan orang Wolio. Hal ini mempertegas keberadaan
gaya bicara Ambon di kalangan warga Kota Baubau”.(Shadowing 15
Maret 2017).

Anda mungkin juga menyukai