Kedatangan para migrant itu tentu membawa serta kebudayaan mereka dari negeri
asalnya termasuk bahasa. Bahasa para pendatang itu kemudian berasimilasi dengan bahasa
penduduk lokal yang terlebih dahulu mendiami Pulau Muna yang datang sekitar 25.000
tahun SM ( Migran pertama tersebut diperkirakan telah mengalami kepunahan ). Dari
percampuran dua bahasa ( migrant sekitar tahun 4.000 SM dan migrant sekitar 25.000
tahun SM ) tersebut kemudian tercipta bahasa baru yang dikenal saat ini sebagai Bahasa
Muna/ Wamba Wuna.
Dari Pulau Muna, Bahasa Muna / Wamba Wuna kemudian berkembang sampai ke
Pulau Buton dan pulau-pulau kecil disekitar kedua pulau tersebut. Penyebaran Bahasa
Muna/ Wamba Wuna di Pulau Buton dan pulau-pulau kecil disekitarnya di bawa oleh
pendatang dari Dataran Tinggi Yunan tesebut yang terlebih dahulu menetap di Pulau Muna.
Seiring dengan semakin berkembangnya populasi mereka dan kuatnya keinginan untuk
mencari tempat baru untuk bertempat tinggal dan mencukupi kebutuhan mereka, kemudian
mereka bermigrasi ke pulau-pulau yang dekat dengan Pulau Muna yaitu Pulau Buton dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya..
Di Pulau Buton, Bahasa Muna/ Wamba Wuna semakin berkembang dan bervariasi
dari segi dialek setelah kedatangan para pendatang dari Jazirah Melayu khususnya di
daratan Pulau Buton sekitar abad XIV Masehi. Pelopor para pendatang dari Melayu
tersebut dalam sejarah Buton dikenal sebagai Mia Pata Miana. Pengaruh bahasa para
pendatang tersebut selain mempengaruhi dialek, memperkaya kosa kata Bahasa Muna/
Wamba Wuna, juga melahirkan bahasa baru yakni Bahasa Wolio dan Bahasa Cia-Cia.
Bukti kuat bahwa Bahasa Muna/ Wambha Wuna telah menjadi bahasa tutur
masyarakat di Kepulauan Buton dan Muna sebelum kedatangan para pendatang dari
Melayu sekitar abad ke 14 tersebut terungkap dari hikayat Mia Pata Miana. Hikayat Mia
Pata Miana ini menceritakan proses kedatangan manusia pelopor para imigran dari
Melayu yang kemudian kembangun peradaban baru di Pulau Buton. Menurut hikayat ini,
jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk dan kedatangan para migrant dari Melayu, Pulau
Buton telah berpenghuni yang memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi diantara
mereka. Penulis berasumsi bahasa bahasa tutur penghuni Pulau Buton saat itu adalah
Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Memang, belum ada literature sebelumnya yang mengatakan bahwa bahasa tutur
penghuni Pulau Buton sebelum kedatangan para migrant dari Melayu adalah Bahasa Muna/
Wambha Wuna. Namun kalau melihat fakta di mana sebaran wilayah penutur Bahasa
Muna/ Wambha Wuna di Pulau Buton yang begitu luas serta di setiap wilayah yang
menjadi tempat pendaratan Mia Patamiana, penduduknya sampai saat ini menggunakan
Bahasa Muna/ Wambha Wuna, sedangkan masyarakat lain yang berhubungan dengan
migrant dari Melayu belakangan justru menggunakan Bahasa Wolio dan Cia-cia. maka
dari itu penulis dapat pastikan bahwa bahasa penduduk Pulau Buton saat itu adalah Bahasa
Muna/ Wambha Wuna. Sedangkan Bahasa Cia-cia dan Wolio adalah bahasa baru yang
terbentuk akibat asimilasi antara Bahasa Muna dengan bahasa para pendatang dari Melayu
itu. Asumsi penulis ini berdasarkan fakta dimana wilayah di Pulau Buton yang
menggunakan Bahasa Wolio dan Cia-cia adalah wilayah yang dipilih oleh para pendatang
itu untuk membangun peradaban baru sampai membangun kerajaan baru yakni Kerajaan
Wolio.
Berbeda dengan asumsi penulis, beberapa literature sejarah yang ditulis oleh para
sejarawan Buton mengatakan bahwa masif nya wilayah sebaran penutur Bahasa Muna/
Wambha Wuna di jazirah Buton terjadi pada awal abad ke 16 Masehi. Hal itu bersamaan
dengan menjadinya La Kilaponto Raja Muna ke – 7 sebagai penguasa di Kerajaan Wolio
yang kemudian di rubahnya menjadi Kesultanan Butuuni Darussalam atau saat ini di kenal
dengan Kesultanan Buton. Dalam literature itu dikatakan, bahwa masyarakat di Kerajaan
Muna yang menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai bahasa tutur mereka,
dibawah serta oleh Raja La Kilaponto untuk membantu beliau dalam memerangi
Labolontio, bajak laut yang memporak porandakan kerajaan Wolio ( sebelum La Kilaponto
menjadi raja ) dan sisa-sisa pasukannya.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya Bahasa Muna/ Wambha
Wuna di Pulau Buton dibawa oleh Orang Muna yang lari meninggalkan Kerajaan Muna
untuk mencari perlindungan di Kerajaan Wolio. Namun argumentasi tersebut terbantahkan
dengan adanya fakta di mana justru pada masa itu Kerajaan Wolio lah yang dalam kondisi
tidak aman karena gangguan bajak laut yang dipimpin oleh Labolontio. Kerajaan Wolio
menjadi aman, setelah Raja Muna Sugi Manuru menugaskan Puteranya yang bernama La
Kilaponto untuk menumpas Labolontio yang telah membuat Kerajaan Wolio diambang
kehancuran sekaligus menjadi raja di kerajaan itu ( mengenai proses penugasan La
Kilaponto menumpas Labolontio sekaligus menjadi raja di Kerajaan Wolio akan diulas
pada Bab Sejarah Peradaban Orang Muna ).
Berbeda dengan di Pulau Buton, Bahasa para pendatang dari Melayu itu tidak
terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan Bahasa Muna/ Wamba Wuna
di Pulau Muna. Olehnya itu, di daratan Pulau Muna hanya ada satu bahasa yang dipakai
oleh penduduknya yakni Bahasa Muna/ Wamba Wuna. Padahal secara historis, wilayah
Pulau Muna terbagi dua yaitu wilayah Pulau Muna bagian Utara dibawah pemerintahan
Kerajaan Muna dan Pulau Muna bagian Selatan di bawah pemerintahan Kesultanan Buton.
Secara teori, seharusnya wilayah Pulau Muna yang masuk dalam wilayah administrasi
Kesultanan Buton masyarakatnya menggunakan Bahasa Wolio yang di klaim sebagai
bahasa persatuan Kesultanan Buton. Namun faktanya tidak, masyarakat disana justru
sampai saat ini tetap menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai bahasa tutur
mereka. Bandingkan dengan wilayah Pulau Buton bagian Utara yang masuk dalam
administrasi Kerajaan Muna yang masyarakatnya sampai saat ini tetap menggunakan
Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Tidak terjadinya pembentukan bahasa baru dari asimilasi antara Bahasa Muna/
Wamba Wuna dengan bahasa yang dibawa oleh para pendatang dari melayu tersebut
disebabkan karena para pendatang dari Melayu tersebut, tidak menetap dan membangun
peradaban baru sebagai mana yang mereka lakukan di Pulau Buton ( Mengenai sejarah
pemebntukan peradaban baru oleh para pendatang dari Melayu di Pulau Buton akan di ulas
pada pembahasan Sejarah Peradaban Orang Muna ). Pengaruh yang terlihat dari asimilasi
antara Bahasa Muna/ Wamba Wuna dengan bahasa para pendatang dari Melayu hanya
sebatas terjadinya perbedaan dialek antara daratan Pulau Muna bagian Utara (ex Wilayah
Kerajaan Muna ) dan Pulau Muna bagian Selatan ( ex Kesultanan Buton ). Selain itu terjadi
juga penyerapan beberapa kosa kata Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Muna/ Wamba
Wuna.: Berikut beberapa contoh bahasa melayu yang diserap kedalam Bahasa Muna/
Wamba Wuna :
jagung [kata ini berasal dari bahasa Ternate kasitela < Portugis
kahitela Castela, nama daerah dan kerajaan Castilia di Spanyol sekitar
abad ke-10 sampai ke-18;
bandingkan juga Bahasa Indonesia ketela dengan asal yang
sama, walaupun merujuk pada ubi]
Biji jagung (tua ) yang direbus pakai kapur sehingga kulit arinya
Kapusu
terlepas
Dr, Rene Van dengberg juga menemukan penutur bahasa Muna ternyata bukan saja
di tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi bagian tenggara tetapi di sebagian Pulau Ambon
dan kepualauan Maluku Utara. Dr. Rene Van Denberg tidak menjelaskan sejak kapan
bahasa muna digunakan oleh maasyaarakat Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku Utara
serta bagaimana proses penyebarannya.
Mungkin saja penyebaran bahasa Muna di Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku
utara tersebut lakukan oleh La Ode Wuna Putra raja Muna VI Sugi Manuru. Tradisi lisan
masyarakat Muna menjelaskan bahwa salah seorang Putra Raja Muna VI Sugimanuru yaitu
La Ode Wuna yang berwujud Ular berkepala manusia diusir karena berulah yang dapat
mencoreng kewibawaan ayahaandanya sebagai Raja.
Setelah diusir dari kerajaan Muna, La Ode Wuna kemudian berlayar menuju Pulau
Halmahera di Maluku Utara. Dalam pelayaranya La Ode Wuna yang dikenal sakti
menumpang pada dua buah kelapa. Sesampainya di pantai Pulau Halmahera ( maluku Utara
), La Ode Wuna kemudian menanam kelapa yang menjadi tumpangannya tersebut di pantai
dimana dia terdampar. Jadi ada kemungkinan La Ode Wuna dan pengikutnyalah yang
pertama menyebarkan bahasa Muna di Kepulauan Maluku/maluku Utara melalui
alkulturasi budaya.
Walaupun secara populasi cukup banyak dan sebaran wilayah penuturnya yang luas,
bukan berarti bahasa Muna sudah dapat dikatakan aman . Bahkan beberapa ahli
mengelompokan Bahasa Muna, Wambha Wuna dalam kategori rawan. Hal itu disebabkan
minoimnya literature atau dokumen yang menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Mulai tahun 1980-an juga diterbitkan beberapa karya ilmiah mengenai bahasa Muna
yang dikeluarka oleh Pusat Bahasa di Jakarta. Kami sendiri menulis tata bahasa Muna (van
den Berg 1989), kamus Muna (bersama La Ode Sidu, versi Muna-Inggris 1996, versi
Muna- ndonesia 2000, cetakan kedua 2013), dan beberapa karangan ilmiah mengenai
bahasa Muna, seperti situasi dialek Muna, fonologi historis, kata serapan dari bahasa
Belanda, ketransitifan, deiksis, dan juga dialek Muna selatan. Awal tahun 1990-an dibentuk
sebuah tim penelitian dan pengembangan Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2,
Agustus 2014 :125 bahasa daerah Muna yang menerbitkan Pedoman Ejaan Bahasa Muna
(Hanafi, dkk. 1991), diikuti oleh beberapa buku kecil dalam bahasa Muna: Kadadihi ne
witeno Wuna (Atakasi 1991), Kabhanti Wuna (La Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La
Mokui dan La Kimi Batoa 991).
Sejak adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku
pelajaran, termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode
untuk SLTP Struktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami
menulis metode baru untuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui dan van
den Berg 2008a, 2008b), bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002) menulis Tata
Bahasa Daerah Muna, tetapi sayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu
disebut karya La Ode Sirad Imbo (2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna.
Pada awal tahun 2014 dibuka laman khusus mengenai bahasa Muna
(www.bahasamuna.org). Jelas perhatian pada bahasa Muna tidak mengecewakan, baik dari
orang luar maupun dari penutur bahasa Muna sendiri. Walaupun status pendokumentasian
bahasa Muna cukup tinggi, ada gejala bahasa Muna sudah agak sakit. Di Raha, ibu kota
Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakai oleh orang Muna sendiri. Orang
dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajar bahasa Muna. Sejak tahun
1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasa Indonesia, sehingga makin
banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi bahasa ibu mereka. Seringkali dalam
satu desa orang tua masih fasih berbahasa Muna (khususnya waktu bergaul dengan generasi
di atas mereka), tetapi berkomunikasi dengan anak-anak di rumah pakai bahasa Indonesia.
Kalau situasi ini tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yang melawan perkembangan
ini).
Pada tahun 1989, Rene Van Deberg yang melakukan penelitian terhadap Bahasa
Muna/ Wambha Wuna memperkirakan penutur Bahasa Muna di Kabupaten Muna ( yang
ada di daratan Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara dan saat ini telah
menjadi 3 kabupaten yakni Kabuopaten Muna, Muna Barat, dan Buton Utara ) yakni sekitar
300.000 penutur,. Dari jumlah itu Rene Van Deberg mengkategorikan Bahasa Muna/
Wambha Wuna betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat.
Berikut table daerah ( Kabupaten dan Kota ) yang penduduknya dalam keseharian
bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna :
Menurut JS. Badudu kebesaran suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa besar
kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu bentuk dari kecintaan tersebut adalah
ditentukan dengan kualitas dan kuantitas orang yanng menggunakan bahasa bangsa
tersebut.
Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir melingkupi seluruh wilayah ex
Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi bahwa Buton itu merupakan bagian
atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau mungkinkah Bahasa Muna merupakan bahasa
Kesultanan Buton?
Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi, sebab berdasarkan artikel-
artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton selama ini dikatakan bahwa bahasa
kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal berdasarkan penelitian dan fakta yang ada
hari ini pengguna bahasa Wolio hanyalah melingkupi masyarakat satu Kecamatan (
Kecamatan Wolio )dari 6 Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau saat ini, selebihnya
menggunakan bahasa Muna ( sebagian besar ) dan bahasa Cia-cia ( sebagian kecil-
khususnya di kecamatan Sorawolio).
Jadi kalau kita masih tetap mengakui bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri
suatu bangsa, maka bagi mana bisa bahasa Wolio dapat dikatakan menjadi identitas dan jati
diri Kesultanan Buton? Badingkan dengan Bahasa Muna yang digunakan oleh hampir
seluruh masyarakat ex Kesultanan Buton. Bukankah itu dapat dikatakan bahwa Bahasa
Muna telah menjadi identitas dan jati diri Bangsa dari Kesultanan Buton? Untuk
menjawab semua itu diperlukan suatu kejujuran dan kebesaran hati para sejarawan untuk
mengungkap kebenaran sejarah dengan tidak perlu ada yang ditutup-tutupi.
E. AKSEN
Dr. Rene Van Debrg dalam penelitiaannya menemukan bahwa bahasa Muna
memiliki banyak aksen. Setiap wilayah penyebaran bahasa muna memiliki aksen sendiri-
sendiri dalam pengucapannya seperti aksen Bosua, Kamaru,Kaimbulawa,Lasalimu dan
Muna, sedangkan menurut Burhanuddin ada juga aksen Pancana.
Aksen Bosua digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Batauga, pantai barat daya
Pulau Buton, sebelah selatan wilayah Katobengke-Topa-Sulaa dan Lawela. Sedangkan
aksen Kaimbulawa digunakan oleh masyarakat ‘Siompu. Lantoi, Kambe-Kambero ,
Liabuku, Barangka dan Kapontori.
Setiap aksen dalam pengucapan bahasa Muna, dipengaruhi oleh lingkungan dimana
komunitas penggunanya menetap atau pengaruh luar dimana penggunanya sering
berintaraksi dengan dunia luar. Dari interaksi-interaksi dari dua atau beberapa bahasa
tersebut kemudian melahirkan aksen baru. Misalnya saja Masyarakat Muna yang sering
berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang menggunakan Bahasa Wolio atau Cia-cia,
maka aksennya akan berbeda dengan masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan
masyarakat dari luar seperti melayu, jawa, arab dan lain-lain.
F. PENGUCAPAN
Bahasa Muna dari semua dialek/ aksen dalam pengucapannya tidak mengenal
konsonan dalam setiap akhir kata. Dalam kosa kata bahasa muna tidak mengenal struktur
konsonal vokal konsonan ( KVK ). Olehnya itu penyerapan bahasa asing kedalam bahasa
Muna apabila berakhir dengan konsonan pada akhir pengucapannya maka selalu ditambah
dengan vokal ( a,e,i,o,u ), atau di hilangkan huruf akhirnya sehingga berakhir dengan vokal.
Contohnya sandal, dalam bahasa Muna pengucapannya di tambah dengan vokal ‘i’
sehingga pengucapannya menjadi sandal(i), atau Pelabuhan misalnya di hilangkan
hurup ‘n’ sehungga dalam pengucapannya menjadi ‘pelabuha’(n).
Selain tidak mngenal vokal dalam akhir kata, dalam alfabet bahasa Muna asli juga
tidak mengenal huruf ‘C.’ Karena tidak huruf ‘ C ‘ tersebut, maka bila masyarakat muna
mengucapkan kata-kata yang berasal dari kosa kata bahasa lain yang menggunakan huruf
‘C’, maka huruf ‘C’ tersebut di ganti dengan huruf ‘T’. Contohnya seperti dalam table
berikut :
2 Suci Suti
3 Cowo Towo
Namun berbeda dengan aksen Kaimbulawa dan pancana. Pada aksen Kaimbulawa
dan Pancana huruf C justerudigunakan untuk mengganti huruf ‘T’ pada aksen Muna asli.
Hal itu seperti terlihat pada table berikut :
No Kosa Kata Bahasa Muna Diucapkan Dalam Aksen
Asli Kaimbulawa & Pancana
3 Titi ( Payudara ) C ic i
Penggunaan Hurup ‘C’ dalam pengucapan bahassa Muna tersebut mungkin saja
dipengaruhi oleh bahasa Cia-cia. Hal ini dapat dimungkinkan karena masyarakat yang
meggunakan huruf ‘c’ dalam pengucapannya pada umumnya masyarakat yang dalam
pergaulannya sangat dekat dengan masyarakat yang menggunakan bahasa Cia-cia. Jadi
karena pergaulan itulah sehingga terjadi perpaduan bahasa kedua suku bangsa tersebut.
Ada juga kemungkinan bahwa penggunaan huruf ‘C’ tersebut dipengaruhi oleh
bahasa Wolio. Hal ini terutama mempengaruhi masyarakat yang dalam pergaulannya
sehari-hari sangat dekat dengan masyarakat pengguna bahasa wolio. Sugeng mengatakan
bahwa bahasa juga dapat member pesan seseorang atau komunitas tersebut bersentuhan
dengan dunia luar dari beragamnya kosa kata suatu kata ( Sugeng, 2015: 160 ).Dari fakta
itu sehingga tidak heran bila masyarakat yang menggunakan bahasa muna dengan dialek
Pancanan adalah masyarakat yang berdiam disekitar kecamatan Wolio yang mana
masyarakatnya menggunakan bahasa Wolio dalam berkominasi sehari hari seperti
Katobengke, palabusa, bosuwa, dan Pulau makasaar.
Abjad
Ada beberapa Abjad dalam bahasa Muna yang berbeda dengan abjad latin, tapi
memiliki kemiripan dengan abjad aksara Arab dan sangsekerta. Abjad yang dimaksud
adalah Gh dan dh ( Abjad Arab ) dan bh ( Sangsekerta ) . Kemiripan abjad dalam Bahasa
Muna dengan Abjad dalam Bahasa Arab dan Sangsekerta tersebut menurut asumsi
beberapa kalangan, merupakan gambaran kedekatan hubungan pergaulan masyarakat Muna
dengan masyarakat Arab dan Sangsekerta. Dari kedekatan tersebutlah kemudian
mempengaruh kebudayaan masyarakat Muna termasuk dalam penggunaan Bahasa.
Walau ada beberapa abjad dalam bahasa muna yang memiliki kesamaan dengan
abjad dalam bahasa arab, namun tdak bisa dikatakan bahwa Bahasa Muna masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan Bahasa Arab. Hal ini diperkuat dengan ada pula beberapa
abjad dalam Bahasa Arab yang tidak di kenal dalam Bahasa Muna misalnya huruf, J, Y,
DZ, TH dan Z. Demikian juga dengan Bahasa Sangsekerta,
Dalam Abjad Bahasa Muna tidak mengenal huruf C, J, X, Q, Y dan Z. Tidak adanya
huruf – huruf tersebut lah yang membedahkan antara abjad Bahasa Muna dengan Abjad
yang dikenal dalam Bahasa Arab dan Sangsekerta. Adapun abjad dalam bahasa muna
(bahasa Muna Kuno) adalah sebagai berikut:
Aa Bb Dd Ee Ff Gg Hh Ii Kk Ll
Mm Nn Oo Pp Rr Ss Tt Uu
Ww DH dh GH gh BH bh