Anda di halaman 1dari 16

Buletin Al-Turas

Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio


Inayatusshalihah1

Abstract
Buton was a maritim sultanate in Southeast Sulawesi. It had a strategic location because
it was a centre of transit and trade in Nusantara and Asia. This situation caused cultural
contact and arose new Butonese culture. A kind of cultural product is literate tradition
using such as Jawi script (Arabic-Malay) that appeared from interaction of local culture,
the Butonese, with islam. In history of Buton many kitab was writen in Jawi script
including Kitab Sarana Walio. Taking descriptive-qualitative method, the writer analyze
Jawi script that was used in Sarana Walio text. This analyze was related with cultural
context that underlied the appearance of this script. This research has found the system
of writing with Jawi script in this manuscript. Based on ortographic system, Jawi script
in Sarana Walio is not different from ortography of Arabic-Malay system in Nusantara.
Graphem consist of consonant and vocal which is symbolized by huruf saksi, not
punctuation. Meanwhile, there’s inconsistence in the case of word writing in manuscript.

Keywords: Jawi Alphabet, Manuscript, Buton, Sarana Walio

Abstrak
Buton merupakan kesultanan maritim di Sulawesi Tenggara yang memiliki letak strategis
karena menjadi pusat persinggahan dan perdagangan Nusantara dan Asia. Hal ini tentu
saja menyebabkan terjadinya kontak budaya yang memunculkan bentuk-bentuk kebudayaan
baru di masyarakat Buton. Salah satunya adalah tradisi tulis aksara Jawi (Arab-Melayu)
yang lahir dari interaksi budaya lokal masyarakat Buton dengan Islam. Banyak kitab
dalam sejarah Buton yang ditulis dalam aksara Jawi, di antaranya Kitab Sarana Walio.
Dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif, penulis mengkaji aksara Jawi dalam
teks Sarana Walio, dihubungkan dengan konteks budaya yang melatari munculnya aksara
tersebut. Penelitian telah menemukan adanya sistem penulisan aksara Jawi dalam naskah
tersebut. Ditinjau dari ortografinya, aksara Jawi dalam Sarana Walio tidak berbeda
dengan sistem ejaan Arab-Melayu pada umumnya di Nusantara. Grafem terdiri atas
grafem konsonan dan grafem vokal yang dilambangkan dengan huruf saksi, tidak dengan
tanda baca. Selain itu, ada inkonsistensi penyalin naskah dalam penulisan beberapa kata.
Kata kunci: Aksara Jawi, Naskah, Buton, Sarana Walio

1
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

21
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

pada tahun 1542 Masehi (948 Hijriah).2

A. Pendahuluan Sebagai sebuah kesultanan Islam


yang tumbuh dari hasil perkembangan
Sejak lama Indonesia dikenal dengan ajaran Islam, Buton sangat dipengaruhi
sebutan Nusantara, yang menyiratkan oleh model kebudayaan Islam yang
betapa banyaknya pulau yang ada dan berkembang di Nusantara, terutama
terhubung antara satu dengan lainnya. dari tradisi tulis menulis. Bahkan, dari
Laut menjadi aspek terpenting dari peninggalan tulis yang ada, naskah
jaringan antarpulau. Hubungannya tidak peninggalan Buton jauh lebih banyak
semata bertumpu pada aspek ekonomi, dibandingkan naskah Ternate. Menurut
tetapi juga silang budaya berbagai Niampe (1998) dalam Hasaruddin3,
komunitas yang terlibat (Lombard, tradisi penulisan naskah di Buton
2005). Terlebih ketika posisinya berada berkembang sejak pertengahan abad
pada lalu lintas perdagangan dunia, maka XVIII hingga awal abad XX, khususnya
pengaruhnya pun akan semakin tampak. pada masa pemerintahan sultan ke-4
Salah satu adalah tampak dalam budaya Buton, Dayyanu Ikhsanuddin. Naskah-
tulis, seperti munculnya jenis tulisan naskah itu berbahasa Wolio (dengan
Arab-Melayu atau Jawi sebagai bentuk huruf Buri Wolio), Arab (huruf Arab),
akulturasi antara budaya masyarakat dan Melayu (huruf Jawi). Bahasa
Nusantara dengan Islam yang dibawa Wolio digunakan untuk menuliskan
oleh para pedagang muslim dari Arab naskah keagamaan, undang-undang
dan Persia. atau hukum adat, dan naskah surat.
Bahasa Arab umumnya hanya untuk
penulisan naskah-naskah tentang ajaran
Wilayah Nusantara yang agama Islam, sedangkan bahasa Melayu
menjadi salah satu jalur lalu lintas untuk naskah Undang-Undang Buton,
perdagangan dan mendapat pengaruh surat-surat, sejarah, silsilah, tasawuf,
kuat Islam adalah Kepulauan Buton di obat-obatan tradisional, dan berbagai
Sulawesi Tenggara. Buton memiliki ilmu pengetahuan lainnya.4 Meskipun
letak yang sangat strategis sebagai jalur naskah-naskah tersebut ditulis dalam
pelayaran di kawasan Nusantara bagian bahasa yang berbeda, tetapi jenis tulisan
timur. Buton tidak hanya sebagai tempat yang digunakan sama, yaitu aksara Arab.
persinggahan kapal perdagangan dari
Jawa ke Indonesia Timur, terutama
Maluku dan Ternate, tetapi juga tempat Baik naskah Buton maupun
perdagangan antarbangsa. Letak aksara Jawi (Arab-Melayu) telah
strategis ini pula yang menjadikan Buton 2
Muhammad Abdullah, “Manuskrip Keag-
sangat penting dalam jaringan para amaan dan Islamisasi di Buton Abad 14-19”,
ulama Nusantara dan Arab dalam rangka SARI 25 (2007), h. 108.
3
Hasaruddin, “Pemetaan, Penyalinan dan Pen-
penyiaran dan penyebaran ajaran agama dokumentasian Naskah Buton: Suatu Kajian”,
Islam di Buton. Sebelum kedatangan myrepository.pnm.gov., diakses 28 November
Islam, di Buton telah berdiri sebuah 2014. h. 2.
kerajaan yang kemudian beralih status 4
La Niampe, “Bahasa Wolio di Kerajaan Buton”,
menjadi kerajaan Islam atau kesultanan LINGUISTIKA Volume 18, Nomor 34, 2011, h.
4—5.

22
Buletin Al-Turas
Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

pernah dikaji oleh beberapa penulis, di ke Latin mengakibatkan masyarakat


antaranya Niampe (2012) dan Abdul tidak lagi mampu menulis dan membaca
Aziz dkk (2010). Akan tetapi, penelitian tulisan Jawi. Bahkan, ada sebagian
mengenai aksara Jawi dalam naskah masyarakat yang sama sekali tidak
Buton jarang ditemukan. Niampe mengenalnya dan tidak mengetahui
(2012) meneliti naskah Buton dengan jika itu merupakan salah satu jenis
menitikberatkan kajiannya pada aksara yang pernah berkembang di
penggunaan bahasa Melayu dalam Nusantara. Hal ini juga mengakibatkan
surat Buton yang tersimpan di koleksi terancamnya keberadaan naskah-
Abdul Mulku Zahari. Kajian tersebut naskah Melayu di Nusantara yang
menunjukkan bahwa pemakaian bahasa pada umumnya menggunakan aksara
Melayu dalam penulisan naskah surat di Jawi. Masyarakat telah sampai pada
Buton memiliki ciri yang sama dengan kondisi yang menganggap bahwa Jawi
yang digunakan dalam penulisan surat merupakan aksara kelas kedua sehingga
di berbagai wilayah Nusantara lainnya, semua naskah yang menggunakannya
terutama jika dilihat dari segi pemakaian dapat dikatakan tidak penting bagi
kosakata yang berasal dari bahasa masyarakat. Padahal, sejarah, kearifan
Melayu. Selain itu, Niampe (2011) lokal, nilai-nilai religius, nilai-nilai
meneliti naskah Buton berbahasa Wolio sosial-budaya masyarakat banyak
yang ditulis dengan aksara Arab, yakni tersimpan di dalam naskah-naskah.
Buri Wolio (Arab-Wolio). Sementara itu,
Dalam kajian linguistik, bidang
Abdul Aziz dan Jumaat (2010) mengkaji
ilmu yang membicarakan mengenai
Batu Bersurat Piagam Terengganu yang
tulisan dikenal dengan istilah grafologi,
bertarikh 702 Hijriah/1303 Masehi
yaitu “... the study of writing system of a
untuk menjelaskan sistem tulisan Jawi
language, the orthographic conventions
dan kosakata yang digunakan. Hasil
that have been devised to turn speech into
kajian menunjukkan bahwa tulisan dan
writing, using any available technology
ejaan Jawi pada Batu Bersurat tersebut
(e.g. pen and ink, typewriter, printing
mempunyai sistem yang mempunyai
press, electronic screen)”.5 Grafologi
banyak persamaan dengan ejaan
mengkhususkan diri pada jenis simbol
sekarang walaupun kosakatanya masih
yang dipilih untuk membentuk sebuah
dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta dan
sistem tulis, jumlah simbol yang
bahasa Arab.
digunakan untuk mentransfer bunyi
bahasa ke dalam bentuk tertulis, aturan
penggunaan simbol-simbol itu sehingga
Penelitian ini memaparkan
membentuk sebuah sistem, dan cara
sistem aksara Jawi yang digunakan di
memadukan simbol-simbol itu sehingga
dalam naskah Buton, khususnya naskah
dapat digunakan untuk menuliskan
Sarana Walio, dalam kaitannnya dengan
bahasa lisan. Grafologi membicarakan
konteks budaya yang membentuknya.
juga sistem tulisan seperti ortografi
Kajian mengenai aksara Jawi dilakukan
atau sistem ejaan yang disepakati untuk
mengingat dewasa ini penggunaan
tulisan Jawi telah tergantikan oleh aksara 5David Crystal, Think on My Words: Exploring
Latin. Pergeseran paradigma dari Jawi Shakespeare’s Language, (Cambridge: Cam-
bridge University Press, 2008).

23
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

sebuah bahasa.6 Pembahasan ortografi 1. Buton dalam Persilangan Budaya


sendiri mencakupi grafem-grafem,
konvensi-konvensi ejaan, dan konvensi- Nama Buton sebagai kerajaan
konvensi pungtuasi atau tanda baca.7 diperkirakan telah berdiri sebelum
Majapahit menyebutnya sebagai salah
Tulisan merupakan salah satu satu daerah taklukannya. Menurut tradisi
bentuk budaya yang tercipta melalui lokal, nama Buton (Butun) berasal dari
suatu proses. Tulisan adalah tanda grafis Butu, nama sejenis pohon (barringtonia
yang digunakan untuk merepresentasikan asiatica). Penduduk setempat menerima
lambang bunyi kebahasan tertentu.8 penyebutan Butun sebagai penanda
Penemuan lambang-lambang bunyi yang dari para pelaut di Nusantara yang
bentuk akhirnya berupa tulisan adalah sering menyinggahi pulau itu. Di dalam
suatu prestasi intelektual yang dicapai surat-menyurat, kerajaan setempat
manusia dalam peradabannya. Peralihan menyebut dirinya sebagai Butun(i).
sistem komunikasi dari tradisi lisan Masuknya Islam dijadikan alat peneguh
ke tradisi tulis sangat mempengaruhi bagi kerajaan yang kemudian berganti
perkembangan budaya manusia itu menjadi kesultanan dengan terciptanya
secara keseluruhan. Hal ini dapat mitos baru tentang Butun. Dalam mitos
dilihat dalam sejarah kerajaan-kerajaan ini, Butun dianggap berasal dari bahasa
besar zaman dulu yang memperoleh Arab buṭn atau baṭni atau baṭin yang
kemajuan dalam peradabannya setelah berarti ‘perut’ atau ‘kandungan’.10
menemukan tulisan. Oleh karena itu,
mengkaji tulisan tidak boleh berfokus
hanya pada teks tulisan, tetapi harus Kerajaan Buton diperkirakan
juga melihat keselurahan konteks berdiri pada awal abad XIV dan berakhir
budaya yang membentuk tulisan pada tahun 1960. Kerajaan Buton
tersebut. Dengan menggunakan mazhab dahulunya adalah sebuah kerajaan
annales (Lombard, 2005)9, tulisan Jawi maritim yang berdaulat di Indonesia
dalam naskah Buton akan dikaji untuk bagian Timur. Wilayah kerajaan Buton
mengungkapkan aspek-aspek kultural meliputi gugusan kepulauan di jazirah
yang melatari kemunculannya di dalam tenggara Pulau Sulawesi, yaitu Pulau
budaya masyarakat Buton. Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena,
pulau-pulau kecil antara Pulau Buton
B. Pembahasan
dan Muna, Kepulauan Tukang Besi,
6
Allan F. Lauder dan Multamia RMT Lauder,
Berbagai Kajian Linguistik. Dalam Kushartan- Poleang dan Rumbia di jazirah Sulawesi
ti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder Tenggara, Pulau Wowoni, dan sejumlah
(Peny.), Pesona Bahasa Langkah Awal Mema- pulau kecil lainnya. Perubahan bentuk
hami Linguistik, (Jakarta: PT Gramedia, 2005), pemerintah dari sistem pemerintahan
h. 226—227.
kerajaan menjadi kesultanan disebabkan
7
Nurhadi, Tata Bahasa Pendidikan, (Semarang:
IKIP Semarang Press, 1995), h. 332. oleh masuknya pengaruh agama Islam.
8
Henry Rogers, Writing System: a Linguistic Ap- Islam masuk ke Buton sejak paruh
proach, (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), pertama abad XVI, tepatnya tahun
h. 2.
9
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Achdiati Ikram et.al., Katalog Naskah Buton
10

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005). Koleksi Abdul Mulku Zahari, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001).

24
Buletin Al-Turas
Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

1511 yang dibawa oleh Syeikh Abdul dengan nilai-nilai keislaman, budaya
Wahid, seorang penyebar agama Islam tersebut tetap dipertahankan.
berkebangsaan Arab yang berasal
Akulturasi budaya masyarakat
dari Semenanjung Melayu. Meskipun
Buton dengan ajaran Islam tidak hanya
demikian, menurut para ahli, Islam
tampak dalam bidang kepercayaan,
telah dikenal oleh masyarakat Buton
tetapi juga dalam sistem pemerintahan,
jauh sebelumnya melalui para pedagang
seni budaya, bahasa dan aksara.
Islam, baik dari Ternate dan Tidore di
Sebelum masuknya Islam, masyarakat
Maluku, kerajaan-kerajaan pesisir utara
Buton mengenal dan memiliki
pulau Jawa seperti Demak, Tuban, dan
kepercayaan animisme dan dinamisme.
Gresik, maupun dari Gujarat, India, dan
Kedatangan Islam mendorong mereka
Arab.11
untuk menganut agama Islam walaupun
Secara historis, islamisasi di tidak meninggalkan kepercayaan asli
Buton terjadi melalui tiga gelombang seperti pemujaan terhadap arwah nenek
besar.12 Pertama, Islam diterima secara moyang. Islam di Buton juga telah
formal pada pemerintahan raja Buton melahirkan dasar-dasar ilmu Qalam dan
ke-6 La Kilaponto. Kedua, Islam menjadi Tasawuf yang dibawa oleh sufi dari Aceh.
kekuatan sosial politik dengan penerapan Akan tetapi, terdapat perbedaan yang
nilai-nilai Islam pada pemerintahan khas antara ajaran tasawuf yang ada di
sultan ke-4 Dayanu Ihsanuddin dengan Aceh dengan Buton, misalnya dalam hal
disusunnya Martabat Tujuh. Ketiga, masyarakat Buton mempercayai adanya
islamisasi berupa gerakan pemikiran reinkarnasi.13
dan penerapan hukum Islam pada
pemerintahan sultan ke-5 sekitar abad
XIX. Proses islamisasi ini berlangsung Wujud akulturasi dalam sistem
dengan melibatkan akulturasi budaya pemerintahan termanifestasi dalam
lokal dengan ajaran Islam. Dalam proses etika kehidupan bermasyarakat dan
tersebut, penyebaran agama dan budaya bernegara yang sangat dijiwai oleh
Islam tidak serta merta menghilangkan ajaran agama Islam. Martabat Tujuh
budaya lokal masyarakat, tetapi justru misalnya, adalah undang-undang dasar
melahirkan perpaduan yang harmonis. kesultanan Buton berasal dari konsep
Masyarakat Buton memiliki local genius tasawuf yang idenya disesuaikan dengan
untuk mengolah dan menyesuaikan kepentingan politik dan pemerintahan
unsur-unsur budaya asing sesuai dengan sultan Buton. Penetapan tujuh pangkat
kepribadian bangsa Buton. Selama dalam pemerintahan diserupakan
budaya tersebut tidak bertentangan dengan tujuh martabat dalam ajaran
11
Susanto Zuhdi et.al.,. Kerajaan Tradisional tasawuf, yaitu (1) kaum Tanailandu
Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. (Jakarta: disamakan dengan martabat aḥadiyah,
Depdikbud RI, 1996). h. 5--11.
(2) kaum Tapi-Tapi disamakan dengan
Lihat juga Suryadi, Surat-Surat Sultan Buton,
Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi martabat waḥdah, (3) kaum Kumbewaha
Universiteit Bibliotheek Leiden, 2007, h. 287. 13
Rusman Bahar, “Akulturasi Budaya Mas-
12
Muhammad Abdullah, “Manuskrip Keag- yarakat Buton: Perpaduan Hindu-Islam dan
amaan dan Islamisasi di Buton Abad 14-19”, Bangsa Asing” ujungangin.blogspot. com/p/rin-
2007, h. 111--114. tihan-bumi-buton.html, diakses 30 November
2014, h. 2.

25
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

disamakan dengan martabat waḥidiyah, dari banyaknya penggunaan bahasa


(4) sultan disamakan dengan martabat Arab pada kosakata bahasa Buton.
alam arwah, (5) sapati disamakan Sementara aksara, masyarakat Buton
dengan martabat alam miṡal, (6) menggunakan aksara Buri Wolio yang
kenepulu disamakan dengan martabat merupakan perpaduan antara aksara
alam ajsam, (7) kapitalao disamakan Arab yang telah disesuaikan dengan
dengan martabat alam insan.14 Dalam bahasa Wolio.16 Selain itu, berkembang
undang-undang itu juga ditetapkan pula tulisan Arab Melayu yang dipakai
pembedaan wilayah kesultanan Buton untuk menuliskan bahasa Melayu yang
berdasarkan struktur pemerintahannya merupakan bahasa resmi di lingkungan
atas tiga bagian. Pertama, wilayah wolio kerajaan Buton, selain bahasa Wolio
yang menjadi pusat pemerintahan dan dan Arab. Yamaguchi17 menyatakan
pengembangan Islam ke seluruh wilayah bahwa berdasarkan naskah Buton tertua
kesultanan. Wilayah wolio hanya boleh yang ditulis dalam Jawi sejak abad XVII
dihuni oleh golongan kaomu dan walaka dapat diperkirakan bahwa tulisan Jawi
(bangsawan) dan dipimpin sultan. ada setelah kedatangan Islam di Buton
Kedua, wilayah kadie (27 kadie) yang pada abad XVI.
dimiliki oleh golongan penguasa dan
dihuni oleh golongan papara, dipimpin
oleh babato atau bonto. Ketiga, kerajaan- 2. Naskah Sarana Walio
kerajaan kecil yang disebut wilayah
barata, yang memiliki pemerintahan Naskah Sarana Walio (SW) adalah
sendiri tetapi tunduk di bawah kekuasaan koleksi Perpustakaan Nasional RI
pemerintahan pusat setelah ditaklukkan. dengan nomor 162/Jawi/19/57 dalam
Pemerintahan tingkat barata dipimpin bentuk mikrofilm.18 Daftar Mikrofilm
oleh lakina barata.15 Arsip Nasional memberi judul
Peraturan Pelaksanaan Kerajaan Buton
Dalam bidang seni budaya, pada Masa Kesultanan Muhammad Isa
pengaruh Islam terlihat jelas pada seni Kaimuddin II (Sarana Wolio). Sarana
bangunan seperti benteng, mesjid, dan Walio ini merupakan naskah tulisan
istana kesultanan yang syarat dengan tangan berbahasa Melayu dengan
simbol-simbol Islam. Sementara itu, menggunakan huruf Jawi. Menurut
dalam seni sastra tampak karya-karya deskripsi Perpustakaan Nasional RI,
sastra Buton yang berkembang pesat naskah SW adalah milik Syamzia
berupa kabanti (syair) berisi ajaran- M.Z. yang tersimpan dalam koleksi
ajaran agama, budi pekeri, dan nasihat- Faoza Zahari dan disalin oleh Muh.
nasihat, hikayat, dan kisah sejarah. 16Rusman Bahar, “Akulturasi Budaya Mas-
Demikian pula dalam bidang bahasa yarakat Buton: Perpaduan Hindu-Islam dan
dan aksara pengaruh Islam dapat dilihat Bangsa Asing”, 2014, h. 5—6.
17
Hiroko K. Yamaguchi, “Manuskrip Buton:
14
La Niampe, “Unsur Tasawuf dalam Naskah Keistimewaan dan Nilai Budaya”, SARI 25,
Undang-Undang Buton”, AL-FIKR, Volume 15, 2007. h. 47.
Nomor 3 Tahun 2011, h. 505. 18
Daftar Mikrofilm Arsip Nasional memberi jud-
15
Suryadi, “Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan ul Peraturan Pelaksanaan Kerajaan Buton pada
Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universi- Masa Kesultanan Muhammad Isa Kaimuddin II
teits Bibliotheek Leiden, Belanda”, Humaniora, (Sarana Wolio).
Volume 19, No. 3, Oktober 2007. h. 288.

26
Buletin Al-Turas
Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

Isa Kaimuddin II pada tahun 1860 M.


Kondisi naskah masih baik dan lengkap
dengan tulisan yang dapat terbaca.
Jumlah halaman ada 34 lembar dengan
jumlah baris 15 per halaman, ukuran
panjang 18 cm dan lebar 11 cm dan
diberi nomor halaman dengan angka
Arab serta tanda alihan di pias bawah
yang juga berfungsi sebagai urutan
halaman.

Teks dimulai dengan basmalah,


hamdalah dan salawat Nabi, kemudian
diikuti “wa ba’dahu kemudian daripada Gambar 1. Halaman Depan Sarana
itu maka inilah suatu riwayat pada Walio
menyatakan akan isti’adat tanah negeri
butun daripada pihak yang memeri baik Secara umum, teks Sarana
atau jahat zahir atau batin dalamnya Walio berbicara tentang istiadat tanah
menghimpunkan segala rahsia yang negeri Buton. Istiadat yang dibicarakan
sukar-sukar atas jalan isti’adat pada di antaranya berkenaan dengan tujuh
pertama kejadian raja-raja didalam pangkat, istiadat sapati, dan menteri
negeri ini adanya ya’ni daripada besar sembilan. Bagian awal teks
istiadat suatu yang menyalahkan orang menyebutkan bahawa Sri Sultan
banyak sekalian ...” Selanjutnya, teks Ihsanuddin, Sangi(singga?) Tapi-Tapi,
menjelaskan hukum kerajaan Buton, dan Raja Tua Kumbewaha bermufakat
antara lain kedudukan sultan dan mengenai istiadat yang dapat memberi
isti’adat. Hubungan sosial diibaratkan kedamaian terhadap perkara atau huru
dengan martabat dalam ajaran tasawuf; hara atas tanah negeri Buton. Istiadat
wahdat al-wujud diibaratkan sri sultan itu ditetapkan dan dipegang teguh
sendiri dan mumkin al-wujud diibaratkan secara turun temurun oleh tiga kaum
pada sekalian orang banyak di dalam di di Buton. Sultan boleh berganti-ganti,
luar (SW: 2/10-12). Teks diakhiri dengan tetapi istiadat kekal teguh selama-
“... jalan istiadat itulah tempat ajalnya lamanya (SW: 2/2-10). Tiga kaum yang
jua adanya” (Lihat juga Ikram, 2001). dimaksudkan dalam teks ini sepertinya
Seperti naskah Nusantara lainnya, teks adalah tiga golongan bangsawan dalam
SW tidak menggunakan pungtuasi titik kesultanan Buton, yaitu Kumbewaha,
untuk membedakan satu kalimat dengan Tana I Landu, dan Tapi-Tapi yang secara
kalimat lainnya. Awal kalimat ditandai bergilir memerintah Kesultanan Buton.
dengan kata “adapun istiadat ...” dan
akhir kalimat dengan “... adanya”.
Naskah Sarana Walio dapat dilihat pada Selanjutnya, teks SW berbicara
gambar berikut. tentang istiadat pejabat kesultanan.
Sultan dalam menjalankan pemerintahan
dibantu oleh sapati dan menteri besar

27
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

sembilan. Sapati diibaratkan pada manjang yang tebal, dan gelombang


martabat wahidiyah dan a’yan ṡabitah gerigi yang tebal-tipis secara variatif.
yang bertugas mengurusi pemerintahan Penggunaan gaya Naskhi dan Farisi
dan berfungsi sebagai pelindung sultan tersebut tidak dibedakan, tetapi diga-
(waḥdah al-wujud) dan rakyat (mumkin bungkan dalam satu tulisan. Karena itu,
al-wujud). Zuhdi19 menyebutkan satu kata dalam naskah SW dapat ditulis
bahwa sapati dalam struktur organisasi dengan dua gaya tulisan. Akan tetapi,
pemerintahan kesultanan Buton adalah yang paling dominan digunakan adalah
jabatan yang dipegang oleh golongan gaya Naskhi. Gaya Farisi terutama di-
bangsawan (kaomu) sebagai ketua gunakan dalam penulisan huruf ‫ س‬/sin/,
dewan kabinet atau perdana menteri. ‫ ش‬/syin/, ‫ ك‬/kaf/, dan ‫ ڬ‬/ga/.
Sapati mengepalai urusan pemerintahan
serta menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari. Sementara itu, menteri Berkenaan dengan kosakata,
besar sembilan diwajibkan memenuhi terdapat kata dalam naskah SW yang
dua istiadat, yaitu memiliki sifat mendapat tambahan fonem /h/ di be-
‘arafa rabbahu wa nafsahu ‘mengenal lakangnya, seperti kata tuah untuk tua
tuhannya dan mengenal dirinya’ dan (SW: 9/8). Menurut Chambert-Loir
harus merupakan keturunan asli, bukan dalam Suryadi20, ciri ini cukup umum
pendatang. Dalam istiadat sapati dan ditemukan dalam tulisan-tulisan Jawi
menteri besar ini terlihat pengaruh Islam dalam masyarakat Nusantara bagian
yang sangat kuat dalam kehidupan timur yang termasuk rumpun bahasa
kesultanan Buton. Martabat waḥidiyah, Austronesia. Penambahan fonem /h/
waḥdah al-wujud, mumkin al-wujud, dan tersebut hanya varian ejaan Jawi dan ti-
‘arafa rabbahu wa nafsahu merupakan dak bersifat fonetis.
konsep dalam bidang tasawuf yang
berkenaan dengan pengenalan Tuhan.

3. Sistem Ortografi Aksara Jawi


Adapun gaya tulisan yang digu- dalam Naskah Sarana Walio
nakan dalam SW adalah gaya Naskhi Berbicara mengenai sistem ortografi
yang dikombinasikan dengan Farisi. sebuah aksara berarti berbicara
Gaya Naskhi adalah tulisan yang sangat mengenai grafem dan ejaan tulisan
lentur dengan banyak putaran dan han- itu. Grafem merupakan satuan terkecil
ya memiliki sedikit sudut yang tajam. dalam aksara yang menggambarkan
Karakter hurufnya sederhana, tanpa hi- fonem; satuan terkecil yang distingtif
asan tambahan sehingga mudah ditulis dalam suatu sistem aksara.21 Berkenaan
dan dibaca. Sementara gaya Farisi ter- dengan aksara Jawi dalam Sarana Walio,
masuk gaya tulisan yang lentur dengan
penulisan huruf-huruf tegaknya agak 20
Suryadi, Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan As-
condong ke kanan, sapuan-sapuan me- raruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteits
Bibliotheek Leiden, 2007, h. 292..
Susanto Zuhdi et.al.,. Kerajaan Tradisional
19 21
Abdul Chaer, Linguistik Umum. (Jakarta:
Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton, 1996, h. Rineka Cipta, 2003), h. 93. Lihat juga Harimurti
27. Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT.
Gramedia, 2008), h. 73.

28
Buletin Al-Turas
Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

grafem atau huruf dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu vokal dan konsonan.
Grafem vokal tidak berupa tanda yang dibubuhkan di atas atau di bawah huruf
konsonan seperti dalam aksara Arab, tetapi berbentuk huruf(saksi), sedangkan
grafem konsonan adalah semua huruf dalam aksara Jawi.

Penulisan grafem disesuaikan dengan posisinya di dalam kata, yakni di


awal, tengah, akhir, dan/atau tunggal. Sistem penulisan ini menyebabkan bentuk
satu huruf dapat bervariasi bergantung pada posisinya dalam kata, yang mana varian
tersebut dikenal dengan istilah alograf. Selain itu, grafem akan merangkai serta
putus secara otomatis bila bertemu dengan grafem lainnya dalam satu kata. Grafem
aksara Jawi dalam SW dan alografnya dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Grafem dan Alograf Aksara Jawi dalam Sarana Walio22


Alograf
Grafem Transliterasi Contoh
Awal Tengah Akhir
‫ا‬ a ‫ا‬ ‫ ا‬،‫ـا‬ ‫ ا‬،‫ـا‬ ‫اين‬ ‫انتار‬ ‫بڠسا‬
‫ب‬ b ‫بـ‬ ‫ـبـ‬ ‫ـب‬ ‫بسر‬ ‫تمبل‬ ‫سبب‬
‫ت‬ t ‫تـ‬ ‫ـتـ‬ ‫ـت‬ ‫تݢه‬ ‫منتڤنكن‬ ‫تمڤت‬
‫ث‬ ṡ ‫ثـ‬ ‫ـثـ‬ ‫ـث‬ ‫ثابته‬ - -
‫ج‬ j ‫جـ‬ ‫ـجـ‬ ‫ـج‬ ‫جالن‬ ‫منجادي‬ ‫راج‬
‫چ‬ c ‫چـ‬ ‫ـچـ‬ ‫ـچ‬ ‫چوچ‬ ‫ڤچه‬ ‫چوچ‬
‫ح‬ h ‫حـ‬ ‫ـحـ‬ ‫ـح‬ ‫حكم‬ ‫احوال‬ -
‫خ‬ kh ‫خـ‬ ‫ـخـ‬ ‫ـخ‬ ‫خبر‬ - -
‫د‬ d ‫د‬ ‫ـد‬ ‫ـد‬ ‫دنده‬ ‫كجدين‬ ‫تند‬
‫ذ‬ ż ‫ذ‬ ‫ـذ‬ ‫ـذ‬ - - -
‫ر‬ r ‫ر‬ ‫ـر‬ ‫ـر‬ ‫رمڤسن‬ ‫ڤرنته‬ ‫ليهر‬
‫ز‬ z ‫ز‬ ‫ـز‬ ‫ـز‬ ‫زمان‬ - -
‫س‬ s ‫سـ‬ ‫ـسـ‬ ‫ـس‬ ‫سمڤرن‬ ‫مڠسر‬ ‫آتس‬
‫ش‬ sy ‫شـ‬ ‫ـشـ‬ ‫ـش‬ ‫شودار‬ ‫مشهور‬ -
‫ص‬ ṣ ‫صـ‬ ‫ـصـ‬ ‫ـص‬ ‫صيفت‬ ‫الصالة‬ -
‫ض‬ ḍ ‫ضـ‬ ‫ـضـ‬ ‫ـض‬ - ‫ترحاضر‬ -
‫ط‬ ṭ ‫طـ‬ ‫ـطـ‬ ‫ـط‬ ‫سلطان‬ - -
‫ظ‬ ẓ ‫ظـ‬ ‫ـظـ‬ ‫ـظ‬ ‫ظاهر‬ ‫مظاهركن‬ -
‫ع‬ ‘ ‫عـ‬ ‫ـعـ‬ ‫ـع‬ ‫عادة‬ ‫يعني‬ -
‫غ‬ ġ ‫غـ‬ ‫ـغـ‬ ‫ـغ‬ ‫غريب‬ - -
‫ڠ‬ ng ‫ڠـ‬ ‫ـڠـ‬ ‫ـڠ‬ - ‫ڤڠكت‬ ‫سيڠ‬
‫ف‬ f ‫فـ‬ ‫ـفـ‬ ‫ـف‬ ‫فيكر‬ ‫منفعة‬ -
‫ڤ‬ p ‫ڤـ‬ ‫ـڤـ‬ ‫ـﭪ‬ ‫ڤيهق‬ ‫كڤيتن‬ ‫تتڤ‬
22
Diadaptasi dari Fauziah, “Penggunaan Grafem dalam Pelambangan Bunyi Aksara Jawi (Arab Me-
layu) Indonesia” repository.usu.ac.id, diakses 30 November 2014.

29
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

‫ق‬ q ‫قـ‬ ‫ـقـ‬ ‫ـق‬ ‫قوم‬ ‫موافقت‬ ‫روسق‬


‫ك‬ k ‫كـ‬ ‫ـكـ‬ ‫ـك‬ ‫كڤال‬ ‫سكلين‬ ‫مردهيك‬
‫ڬ‬ g ‫ڬـ‬ ‫ـڬـ‬ ‫ـڬ‬ ‫ڬنتيي‬ ‫سڬل‬ ‫تيڬ‬
‫ل‬ l ‫لـ‬ ‫ـلـ‬ ‫ـل‬ ‫لمڤه‬ ‫سبلم‬ ‫اجل‬
‫م‬ m ‫مـ‬ ‫ـمـ‬ ‫ـم‬ ‫منتري‬ ‫تمبل‬ ‫مالم‬
‫ن‬ n ‫نـ‬ ‫ـنـ‬ ‫ـن‬ ‫نڬري‬ ‫مننتوت‬ ‫بوتن‬
‫ڽ‬ ny ‫پـ‬ ‫ـپـ‬ ‫ـڽ‬ ‫پات‬ ‫مپالهكن‬ ‫كرسيڽ‬
‫و‬ w, u, o ‫و‬ ‫ـو‬ ‫ـو‬ ‫واجب‬ ‫ڤوهن‬ ‫ساتو‬
‫هـ‬ h ‫هـ‬ ‫ـهـ‬ ‫ـه‬ ‫هات‬ ‫مفهوم‬ ‫توجه‬
‫ي‬ y, i ‫يـ‬ ‫ـيـ‬ ‫ـي‬ ‫يڠ‬ ‫كيت‬ ‫كنچي‬

Penulisan Huruf Saksi 3) Alif dituliskan pada suku akhir


a yang didahului bunyi i, seperti
Huruf saksi merupakan adaptasi dari
‫رهسيا‬/ra-ha-si-a/ (SW: 1/8).
huruf illat dalam bahasa Arab yang
bukan bagian dari huruf Hijaiyah. Huruf Kecuali: ‫ دي‬/di-a/ (SW: 6/10)
saksi terdiri atas tiga huruf, yaitu ‫ ا‬/alif/, b. Ya (‫)ي‬
‫ و‬/waw/, dan ‫ ى‬/ya/, berfungsi untuk
menyatakan bunyi vokal a, i, u, e, o, Huruf ya saksi digunakan untuk
dan berperan untuk membantu bunyi menyatakan bunyi i dan diftong ai.
diftong au dan ai. Berikut beberapa cara 1) Ya saksi dituliskan pada suku
penulisan huruf saksi dalam Sarana pertama terbuka berbunyi i,
Walio. contoh:
a. Alif (‫)ا‬
-- ‫ ڤيهق‬/pi-haq/, ‫ كيت‬/ki-ta/, ‫ ليهت‬/
Huruf alif digunakan untuk
menyatakan bunyi a pada suku kata li-hat/ (SW: 1/6, 2/8, 9/4)
terbuka. Kecuali: ‫ جك‬/ji-ka/
1) Alif saksi dituliskan pada suku 2) Ya saksi dituliskan pada suku akhir
pertama terbuka berbunyi a. terbuka berbunyi i atau diftong ai,
Contoh: contoh:
-- ‫ جالن‬/ja-lan/, ‫ داڤت‬/da-pat/, ‫ تانه‬/ -- ‫ منتري‬/men-te-ri/, ‫ سوڽي‬/su-
ta-nah/ (SW: 1/8, 2/6, 2/7) nyi/, ‫ ڬنتي‬/gan-ti/ (SW: 5/7, 7/1,
Kecuali: ‫ ڤد‬/pa-da/, ‫ در‬/da-ri/, ‫ بڬ‬/ 7/3)
ba-gi/, ‫ مك‬/ma-ka/ c. Wau (‫)و‬
2) Alif saksi tidak dituliskan pada Wau saksi dituliskan pada suku
suku akhir terbuka berbunyi a, pertama terbuka berbunyi u dan o.
kecuali bila didahului oleh suku Contoh:
terbuka berbunyi e pepet. Contoh:
-- ‫ سوكر‬/su-kar/, ‫ تورن‬/tu-run/,
-- ‫ دند‬/den-da/, ‫ تند‬/tan-da/, ‫ سرت‬/ ‫ ڤوهن‬/po-hon/ (SW: 1/8, 2/10,
ser-ta/ (SW: 2/1, 15/14, 20/2) 8/9)

30
Buletin Al-Turas
Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

d. Huruf saksi dituliskan pada kata yang Kata yang berakhiran dengan bunyi
suku pertamanya bervokal a, i, dan u, /k/ di dalam Sarana Walio, dilambangkan
sedang suku kedua bervokal i atau u, dengan huruf kaf kecil (‫ )ك‬dan qaf besar
seperti ‫ الري‬/la-ri/ (SW: 9/9), kecuali (‫)ق‬.
‫ چوچ‬/cu-cu/, ‫ الڬ‬/la-gi/ (SW: 7/14, a) Konsonan awal suku kata yang
2/5). Pada pengecualian tersebut, berbunyi /k/ selalu ditulis dengan
hanya suku pertama yang diberikan kaf kecil. Contoh:
huruf saksi, sedangkan suku kedua
tidak menggunakan huruf saksi. -- ‫ كورڠ‬/kurang/, ‫ كڤال‬/kepala/, ‫ كيت‬/
kita/ (SW: 10/1, 19/9, 2/8)
Adapun kaf besar (‫ )ق‬dituliskan
e. Huruf saksi tidak dituliskan pada sebagai pembuka suku kata hanya
suku kata tertutup, kecuali pada pada kata-kata Arab.
kata yang terdiri dari satu suku kata
tertutup. Contoh: b) Kata-kata yang berakhiran dengan
bunyi /ik/ dan /ek/ dituliskan dengan
-- ‫ ڤندڠ‬/pan-dang/, ‫ رمڤس‬/ram- kaf kecil (‫)ك‬. Contoh:
pas/, ‫ هندق‬/hen-daq/ (SW: 2/12,
2/1; 3/2) -- ‫ بايك‬/baik/, ‫ منيلك‬/menilik/ (SW:
1/7, 3/2)
Kecuali: ‫ دان‬/dan/, ‫ ڤون‬/pun/
c) Kata-kata yang berakhiran dengan
f. Huruf saksi tidak dituliskan pada
bunyi /ak/, /uk/ dituliskan dengan
suku kata yang berbunyi e pepet,
kaf besar (‫)ق‬. Contoh:
contoh:
-- ٢‫ كانق‬/kanaq2/, ‫ هندق‬/hendaq/,
-- ‫ تڬه‬/te-guh/, ‫ لمه‬/le-mah/, ‫ بسر‬/
‫ ماسق‬/masuq/ (1/13, 6/1)
be-sar/ (SW: 3/6, 6/3, 6/8)
g. Pada kata yang terdiri dari tiga suku
kata atau lebih, huruf saksi ditulis Penulisan Imbuhan, Enklitis, dan
pada suku kedua dari belakang yang Partikel
bersuku terbuka apabila suku ketiga
atau keempat dari belakang bersuku Imbuhan (afiks) merupakan bentuk
terbuka atau tertutup. Adapun suku terikat yang bila ditambahkan pada
ketiga atau keempat yang bersuku bentuk lain akan mengubah makna
terbuka tidak diberikan huruf saksi. gramatikalnya, sedangkan bentuk
Contoh: enklitis merupakan klitik yang tidak
berdiri sendiri, yang terikat dengan
-- ‫ بناس‬/bi-na-sa/, ‫ دهول‬/da-hu-lu/, kata yang mendahuluinya. Sementara
‫ كڤال‬/ke-pa-la/ (SW: 2/14, 2/13, partikel adalah kata yang biasanya tidak
9/9) dapat diderivasikan atau diinfleksikan,
-- ‫ استان‬/is-ta-na/, ‫ انتار‬/an-ta-ra/ yang mengandung makna gramatikal
(SW: 9/10) dan tidak mengandung makna leksikal.23
Di dalam naskah Sarana Walio,
Penulisan Kaf Besar (‫ )ق‬dan Kaf 23Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik,
Kecil (‫)ك‬ (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).

31
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

ditemukan penggunaan imbuhan, - Awalan ‫ كـ‬+ ‫ ترڠ‬ditulis ‫كتراڠن‬


baik awalan (prefiks) maupun akhiran (SW: 8/15)24
(sufiks), enklitis, dan partikel. Berikut
dipaparkan penulisan bentuk-bentuk
tersebut. Akhiran (Sufiks)
Awalan (Prefiks) Akhiran atau sufiks merupakan
Awalan atau prefiks merupakan imbuhan yang ditambahkan pada bagian
imbuhan yang ditambahkan pada bagian belakang dasar. Akhiran yang terdapat
depan dasar. Awalan yang digunakan dalam naskah Sarana Walio antara lain
dalam Sarana Walio antara lain me-, –an, -i, dan -kan. Secara umum, akhiran
ber, di-, ter-, dan ke-. Awalan-awalan tersebut ditulis serangkai dengan dasar
tersebut ditulis serangkai dengan kata yang dilekatinya.
yang dilekatinya. a) Akhiran -an dan -i mengubah
a) Awalan me- mengubah huruf awal cara penulisan kata dasar yang
kata dasar yang dimulai dengan dilekatinya terutama pada kata yang
huruf t, p, s, k dan vokal, tetapi bersuku akhir tertutup. Contoh:
tidak mengubah cara penulisan kata -- ‫ سنڠ‬/se-nang/ + akhiran ‫ ـَن‬ditulis
dasar. Contoh: ‫ ( كسناڠن‬SW: 2/6)
- Awalan ‫ مـ‬+ ‫ تيلك‬/tilik/ menjadi -- ‫ ساله‬/sa-lah/ + akhiran ‫ ـِي‬ditulis
‫( منيلك‬SW: 3/2) ‫( مڽالهي‬SW: 13/6)
- Awalan ‫ مـ‬+ ‫ ايكت‬/ikut/ menjadi b) Akhiran -kan mengubah cara
‫( مڠيكت‬SW: 2/15) penulisan jika kata dasar yang
- Awalan ‫ مـ‬+ ‫ رمڤس‬/rampas/ ditulis dilekatinya bersuku akhir terbuka.
‫( مرمڤس‬SW: 5/1) Misalnya, ‫ مات‬/ma-ti/ + akhiran ‫ـكن‬
ditulis ‫( ممتيكن‬SW: 2/2)
b) Awalan ber- dan di- tidak mengubah
cara penulisan kata dasar yang c) Akhiran –kan tidak mengubah cara
dilekatinya. Contoh: penulisan jika kata dasar bersuku
akhir tertutup. Contoh:
- Awalan ‫ بر‬+ ‫ ڬنتي‬ditulis ‫برڬنتي‬
(SW: 11/12) -- ‫ هنتر‬/han-tar/ + akhiran ‫ ـكن‬ditulis
‫( هنتركن‬SW: 18/2)
- Awalan ‫ د‬+ ‫ كنل‬ditulis ‫( دكنل‬SW:
10/15)
c) Awalan ter-, dan ke- tidak mengubah Bentuk enklitis –ku, -mu, -nya
cara penulisan kata dasar yang Ada satu bentuk enklitis yang
dilekatinya. Contoh: ditemukan dalam Sarana Walio, yaitu –
- Awalan ‫ تر‬+ ‫ تڬه‬ditulis ‫( ترتڬه‬SW: nya yang berasal dari pronomina milik.
7/13) a) Enklitis -nya tidak mengubah cara
- Awalan ‫ تر‬+ ‫ باڽق‬ditulis ‫ترباڽق‬ Perubahan ejaan pada kata terang setelah
24

(SW: 12/2) mendapat imbuhan disebabkan adanya akhiran


–an, bukan disebabkan adanya imbuhan ke-.

32
Buletin Al-Turas
Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

penulisan jika kata dasar yang ulang tersebut ditulis dengan dua cara
dilekatinya bersuku akhir tertutup. berikut.
Misalnya, ‫ تانه‬/ta-nah/ + enklitis ‫ ـڽ‬1) Kata ulang ditulis dengan meletakkan
ditulis ‫( تانهڽ‬SW: 4/1). angka dua (٢) setelah kata yang
b) Enklitis -nya mengubah cara diulang, contoh:
penulisan jika kata dasar yang -- ٢‫سوكر‬, ٢‫راج‬, ٢‫( منتري‬SW: 1/8, 4/7,
dilekatinya bersuku akhir terbuka. 20/13)
Misalnya, ‫ راج‬/ra-ja/ + enklitis ‫ـڽ‬
ditulis ‫( رجاڽ‬SW: 12/14). Untuk kata ulang yang berimbuhan
di akhir, akhiran ditulis di belakang
angka dua (٢), seperti ‫ڽ‬٢‫( سكير‬SW:
Partikel –lah dan –pun 20/14).

Jenis partikel yang digunakan 2) Kata ulang ditulis dengan menulis


dalam Sarana Wolio adalah partikel kembali kata yang diulang, seperti
penegas –lah, dan –pun. Kedua partikel ‫( تورن تمورن‬SW: 2/10).
tersebut ditulis serangkai dengan kata Penulisan kata ulang dengan cara kedua
yang dilekatinya. tidak banyak ditemukan di dalam naskah
a. Partikel –lah mengubah cara karena pada umumnya kata ulang ditulis
penulisan jika kata yang dilekatinya dengan angka dua.
bersuku akhir terbuka. Contoh:
-- ‫ جادي‬/ja-di/ + partikel ‫ ـله‬ditulis Penulisan Kata Pinjaman
‫( جديله‬SW: 4/1)
Kata pinjaman yang dimaksudkan
b. Partikel –lah tidak mengubah cara adalah kata-kata yang merupakan
penulisan jika kata yang dilekatinya kosakata bahasa asing, terutama bahasa
bersuku akhir tertutup. Contoh: Arab, yang digunakan di dalam naskah.
-- ‫ جاڠن‬/ja-ngan/ + partikel ‫ ـله‬ditulis Kata pinjaman dalam Sarana Walio
‫( جاڠنله‬SW: 11/12) ditulis sesuai dengan penulisannya di
dalam bahasa sumber (bahasa Arab).
c. Partikel -pun pada umunya tidak Meskipun demikian, terdapat beberapa
mengubah penulisan kata yang kata yang penulisannya berbeda dari
dilekatinya. Contoh: bahasa sumbernya, seperti kata-kata
-- ‫ اد‬+ partikel ‫ ـڤون‬ditulis ‫( ادڤون‬SW: berikut.
2/2) -- ‫ فيكر‬/fikir/ (SW: 2/8) asalnya
‫ فكر‬/fikr/
-- ‫ موافقت‬/muwāfaqat/ (SW: 8/8) asalnya
Penulisan Kata Ulang
‫ موافقة‬/muwāfaqah/
Penggunaan kata ulang tidak banyak
-- ‫ تفهم‬/tafhim/ (SW: 10/9) asalnya ‫ تفهيم‬/
ditemukan dalam Sarana Walio. Kata-
tafhīm/
kata ulang itu dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kata ulang murni
dan kata ulang berimbuhan. Kedua kata

33
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

Perbedaan penulisan kata pinjaman dari Sarana Walio, secara substansi berisi
penulisannya dalam bahasa asal dapat tentang tradisi tata kelola pemerintahan.
disebabkan adanya penyesuaian ejaan Di dalam penceritaannya terdapat kesan
bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu kuat adanya campur tangan atau silang
ataupun disebabkan penulisan yang kebudayaan, antara kebudayaan Buton
hanya didasarkan pada pendengaran secara khusus, atau kebudayaan Ternate
ketika kata itu dilisankan, bukan secara umum dengan kebudayaan Islam
melihat bagaimana bentuk kata tersebut yang dibawa oleh para pedagang dan
dituliskan dalam bahasa asalnya. penyebar Islam dari Arab dan Persia.
Dari paparan di atas, ortografi tulisan Bahkan, seringkali dijumpai kosakata-
Jawi dalam SW, khususnya penulisan kosakata yang terdapat di dalamnya
huruf saksi, dapat dikatakan mendapat percampuran atau penerjemahan dari
pengaruh Arab dan Melayu. Pengaruh kosakata lokal dengan bahasa Arab.
Arab dapat dilihat pada penulisan Kenyataan ini menunjukkan bahwa
bunyi vokal tanpa tanda baca (harakat) pengaruh kebudayaan lain, khususnya
ataupun huruf saksi pada kata-kata yang Islam sangat kuat dalam tradisi tulis
sudah umum, seperti ‫ مك‬/ma-ka/, ‫ ڤد‬/ menulis di masyarakat Nusantara.
pa-da/. Tanda baca hanya digunakan Penelitian mengenai aksara Jawi,
pada penggalan ayat dan salawat untuk khususnya dalam manuskrip, perlu
menghindari salah baca. Sementara itu, dilakukan secara komprehensif yang
pengaruh Melayu tampak pada penulisan mencakupi seluruh wilayah persebaran
huruf saksi sebagai penanda vokal pada aksara Jawi, baik di wilayah berbahasa
(i) suku kata pertama dan kedua dan (ii) rumpun Austronesia maupun rumpun
suku kedua saja. Misalnya, kata ‫ الڬ‬/la- Non-Austronesia. Hal itu untuk
gi/ dan ‫ الري‬/la-ri/. melihat karakteristik Jawi tiap daerah
sehingga dapat dilihat perbedaan
ataupun persamaan yang menjadi garis
C. Kesimpulan penghubung antara tulisan-tulisan
tersebut.
Tulisan Jawi sebagai hasil
akulturasi budaya masyarakat Buton
dan Islam memiliki kedudukan penting Daftar Pustaka
dalam tradisi tulis Buton. Tulisan Jawi
ini kemudian menjadi salah satu sarana Abdullah, Muhammad. “Manuskrip
tulis surat-surat resmi kerajaan dan Keagamaan dan Islamisasi di Bu-
naskah-naskah lainnya. Jumlah huruf ton Abad 14-19”. dalam SARI 25
dan cara penulisannya tidak jauh berbeda (2007).
dengan penulisan Jawi pada umumnya
di Nusantara. Hal ini dimungkinkan
karena faktor penulis/penyalin Abdul Aziz, Adi Yasran dan Nurhidayah
merupakan salah satu sultan di Buton Jumaat. 2010. “Sistem Ejaan Jawi
yang notabene terpelajar dan mengerti dan Kosakata pada Batu Bersurat
tulis menulis. Selain persoalan aksara, Piagam Terengganu”. dalam Jur-
naskah-naskah tulis Buton, khususnya nal ASWARA.

34
Buletin Al-Turas
Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017

Utama.

Bahar, Rusman. 2011. “Akulturasi Bu-


daya Masyarakat Buton: Perpad- Lauder, Allan F. dan Multamia RMT
uan Hindu-Islam dan Bangsa As- Lauder. 2005. Berbagai Kajian
ing” (ujungangin.blogspot.com/p/ Linguistik. Dalam Kushartanti,
rintihan-bumi-buton.html, diakses Untung Yuwono dan Multamia
1 Desember 2014). RMT Lauder (Peny.). Pesona
Bahasa Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Sil-
ang Budaya. Jakarta: PT. Grame-
Crystal, David. 2008. Think on My dia Pustaka Utama.
Words: Exploring Shakespeare’s
Language. Cambridge: Cambridge
University Press. Niampe, La. “Bahasa Melayu di Ker-
ajaan Buton: Studi Berdasarkan
Naskah Kuno Koleksi Abdul
Fauziah. 2008. “Penggunaan Grafem Mulku Zahari di Buton”. 2012.
dalam Pelambangan Bunyi Aksara Bahasa dan Seni, Tahun 40, No-
Jawi (Arab Melayu) Indonesia”. mor 1, Februari 2012. hlm. 14-25.
(repository.usu.ac.id. diakses 14
Maret 2012).
-------. “Bahasa Wolio di Kerajaan Bu-
ton”. LINGUISTIKA, Volume 18,
Hasaruddin. “Pemetaan, Penyalinan dan Nomor 34, 2011. hlm. 1—15.
Pendokumentasian Naskah Bu-
ton: Suatu Kajian”. (myrepository.
pnm.gov., diakses 28 November
-------. “Unsur Tasawuf dalam Naskah
2014).
Undang-Undang Buton”. AL-
FIKR, Volume 15, Nomor 3 Tahun
2011. hlm. 499-512.
Ikram, Achdiati et.al., 2001. Katalog
Naskah Buton Koleksi Abdul
Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan
Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan.
Obor Indonesia.
Semarang: IKIP Semarang Press.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Suryadi. “Surat-Surat Sultan Buton,


Linguistik. Edisi Keempat. Dayyan Asraruddin dan Kaimud-
Jakarta: PT Gramedia Pustaka din I, Koleksi Universiteit Bib-

35
Inayatusshalihah
Aksara Jawi dalam Naskah Sarana Walio

liotheek Leiden, Belanda”. Hu-


maniora, Volume 19, Nomor 3,
Oktober 2007. hlm: 284-301.

Yamaguchi, Hiroko K. “Manuskrip Bu-


ton: Keistimewaan dan Nilai Bu-
daya”. SARI 25 (2007). hlm: 41-
50.

Zuhdi, Susanto et.al.,. 1996. Kerajaan


Tradisional Sulawesi Tenggara:
Kesultanan Buton. Jakarta: De-
partemen Pendidikan dan Kebu-
dayaan RI.

36

Anda mungkin juga menyukai