Anda di halaman 1dari 3

Bahasa Daerah dalam Bingkai Otonomi Khusus di Provinsi Papua 

Barat
June 4, 2009 — budayapapua
Penulis : Hugo Warami (Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua, Manokwari)
ABSTRAK
Bahasa daerah kini telah menjadi bagian penting dalam era Otonomi Khusus Papua. Hal ini sebagai
konsekuensi logis atas pengakuan hak-hak daerah termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap
bahasa daerah. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001 hadir sebagai jaminan atas
kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah yang semakin menguat. Tentu kondisi ini harus segera
diantispasi dengan paradigam baru kebijakan di bidang pelestarian bahasa, yakni (1) pemberdayaan
masyarakat tutur, (2) penyadaran jati diri, dan (3) integrasi pengajaran di bidang pendidikan.
Pengantar
Papua Barat merupakan provinsi ke-2 di Tanah Papua yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang No.
45 Tahun 1999. Provinsi ini terletak di wilayah kepala dan leher burung pulau Irian (Papua) pada posisi di
bawah garis khatulistiwa antara 129″a – 132″a Bujur Timur dan 0″a – 4″a Lintang selatan dengan luas
wilayah 114.953,50 Km2. Wilayah provinsi ini memiliki batas-batas wilayah, yaitu a) sebelah Utara
berbatasan dengan Samudera Pasifik, b) sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda Provinsi
Maluku, c) sebelah Barat berbatasan dengan Laut Seram Provinsi Maluku, dan d) sebelah Timur
berbatasan dengan Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat membawahi 8 Kabupaten dan 1 Kota, 103
Distrik, 46 Kelurahan, dan 1.126 Kampung (Rochani, dkk, 2006:9).
Mekarnya Provinsi Papua Barat dari Provinsi Papua mengakibatkan bahasa dan budaya pun ikut dalam
kaplingan-kaplingan politik. Dampak dari mekarnya wilayah, cakupan wilayah sebaran bahasa menjadi
dibatasi oleh tapal-tapal batas wilayah administrasi.
Jumlah bahasa yang ada di Tanah Papua sebanyak ¡Ó 263 bahasa, yang terdiri atas 53 bahasa kelompok
Austronesia dan 210 kelompok Non-Austronesia. Khusus bahasa-bahasa di Provinsi Papua Barat dapat
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok bahasa dari 9 kelompok bahasa yang di Tanah Papua. Empat
kelompok bahasa yang di maksud, yakni (1) kelompok filum Austronesia (20 bahasa), (2) kelompok filum
Papua Barat (13 Bahasa), (3) Kelompok filum Kepala Burung Papua (3 Bahasa), dan (4) Kelompok Filum
Trans Papua Barat (22 bahasa). Total jumlah bahasa di wilayah sebaran Papua Barat sebanyak 58 bahasa
yang terdiri atas 20 kelompok Austronesia dan 38 Non-Austronesia.
Peta Provinsi Papua Barat Peta Tanah Papua
2. Fenomena Kebahasaan di Papua Barat
2.1 Bahasa Daerah
Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, membawa
dampak yang luas bagi keberlangsungan bahasa-bahasa nusantara. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas
pengakuan hak-hak daerah termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap budaya (bahasa) lokal.
Kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah pun semakin menguat. Tentu kondisi ini harus segera
diantisipasi sebab kematian suatu bahasa tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi melalui proses yang
panjang (bd. Sobarna, 2006:31; Mbete, 2001:79-87).
Menghadapi perubahan budaya global yang demikian cepat, termasuk di dalamnya komponen bahasa,
maka refleksi dan evaluasi atas kehidupan bahasa daerah menjadi sangat penting. Realita menunjukkan
bahwa gejala kehidupan, keterpeliharaan dan keberhasilan usaha pemeliharaan bahasa-bahasa daerah,
antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lainnya, berbeda-beda. Ada bahasa-bahasa
daerah yang cukup terawat, tetapi juga ada sebagian yang lolos dari perhatian, apalagi pemeliharaan.
Keterpinggiran bahasa-bahasa daerah ini disebabkan karena terjadi persaingan antara bahasa daerah,
bahasa nasional dan bahasa asing. Oleh karena itu, kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah
semakin beralasan. Gejala kepunahan bahasa ditandai secara alami oleh merosotnya jumlah penutur
karena adanya persaingan bahasa (desakan bahasa Indonesia ¡¥Melayu Papua¡¦ dan bahasa asing) dan
semakin berkurangnya loyalitas penuturnya terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu
serta sekaligus sebagai simbol budaya.
2.2 Loyalitas Bahasa Indonesia
Hampir di setiap wilayah pakai bahasa daerah besar dan kecil di Provinsi Papua Barat, hidup dan
berkembang bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara dan bahasa resmi. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa bahasa-bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Kendatipun
berdampingan, jelaslah bahwa bahasa Indonesia lebih dominan, memiliki loyalitas yang tinggi dan besar
pengaruhnya atas bahasa daerah. Keloyalitas bahasa Indonesia ini kadang-kadang menjadi sebuah hal
yang mutlak dan wajar dalam bingkai negara kesatuan.
Keseragaman memang merupakan sesuatu yang penting dalam membangun kesatuan bangsa, tetapi
adalah kekeliruan besar bila menganggapnya sebagai alat yang efektif untuk membangun bangsa atas
keberagaman etnik (Wijana dan Rohmadi, 2006:39).
3. Paradigama Baru Pelestarian Bahasa Daerah
Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, Bab XVI tentang Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 58 ayat (1) berbunyi Pemerintah provinsi berkewajiban membina dan mengembangkan, dan
melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri
orang Papua; (2) selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai
bahasa kedua di semua jenjang pendidikan, (3) bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.
Sejalan dengan implementasi kebijakan Otonomi Khusus di atas, sudah selayaknya menjadi tugas
pemerintah daerah untuk melakukan upaya peningkatan pelestarian bahasa daerah. Secara umum
upaya pelestarian dan pengembangan bahasa daerah di Provinsi Papua Barat itu masih sangat rendah,
terutama dilakukan dan didorong oleh kesadaran masyarakat di daerahnya masing-masing untuk
mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan bahasa daerahnya berdasarkan amanat undang-
undang dengan menjunjung tinggi nilai-nilai jati diri orang Papua.
Paradigma baru pelestarian bahasa daerah di era otonomi khusus Papua mencakup:
(1) Pemberdayaan Masyarakat, yakni penyadaran akan khazanah bahasa dan budaya masayarakat yang
dapat dijadikan sebagai sumber daya pembangunan. Untuk itu bahasa perlu didayagunakan bagi
kepentingan masyarakatnya. Sikap mental dan perilaku kebahasaan yang positif dan kretif, menjadi
tumpuan pembangunan manusia Papua. Pemberdayaan masayarakat dalam ranah agama, adat, dan
aneka budaya etnis, merupakan tumpuan hidup bahasa daerah. Bahasa daerah adalah warna ekspresi
budaya daerah dalam pelbagai aspek;
(2) Penyadaran Jati Diri, yakni bahasa daerah sebagai identitas masyarakat daerah. Walaupun sebagian
masyarakat Papua telah beralih bahasa Ibu mereka dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia ¡¥Melayu
Papua¡¦, khusunya masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dampak pembangunan, perkawinan
campuran antar-etnik, serta pembinaan generasi muda yang telalu keindonesiaan;
(3) Integrasi pengajaran bahasa, sastra dan budaya, yakni model integrasi pendidikan yang menjadi
syarat mutlak harus dijalankan dalam mengelola sumber daya masyarakat. Wujud integrasi pengajaran
dapat membentuk sikap, pola, dan perilaku atau persepsi lokal ¡¦corpus¡¦ terhadap kepemilikan
kearifan lokal tersebut. Integrasi pengajaran ini dapat mengugah sedini mungkin masyarakat tentang
pengetahuan lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi pengembangan gagasan-gagasan
alternatif dalam penjelajahan ilmiah yang sedang dan akan dikembangkan, seperti: pengembangan
pangan spesifik lokal, obat tradisional, dan sistem klasifikasi bahasa (rumpun/vila) yang dapat digunakan
sebagai acuan makna sosial budaya kehidupan masyarakat terhadap fenomena alam dan sosial tertentu,
transmisi pengetahuan, penyedia makanan, dan masalah sosial kependudukan (pemukiman).
4. Penutup
Pelestarian bahasa-bahasa daerah di Tanah Papua khusunya Papua Barat kini harus menjadi perhatian
serius. Perhatian itu sekarang telah menjadi betapa penting dengan adanya kontak antarbudaya, agama
dan politik. Hal ini disebabkan jika bahasa sebagai sistem bunyi gagal mengendap dalam kantong-
kantong budaya, maka masyarakat pun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi
antaretnis. Pada dasarnya, masyarakat atau kelompok orang yang termarginalisasi (tersisih) karena
adanya proses pemusatan kekuasaan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun bidang budaya (ilmu
pengetahuan, agama, ideologi, bahasa dan kesenian).
Pelestaraian bahasa-bahasa daerah di Provinsi Papua Barat sangat bergantung kepada kebijakan bahasa,
kearifan bahasa, perencanaan bahasa dan sikap postif masyarakat penuturnya. Untuk itu, di era
Otonomi Khusus diharapkan adanya paradigam baru dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku terhadap
penggunanan bahasa Indonesia ¡¥Melayu Papua¡¦, bahasa daerah dan bahasa asing dalam membangun
kesetaraan bahasa di Tanah Papua.
Daftar Rujukan
Tim Asistensi. 2001. Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jakarta: DEPDAGRI.
Rochani, Achmad, dkk. 2006. Rencana Pengembagan WIlayah dan Investasi di Provinsi Papua Barat.
Manokwari: BAPPEDA Prov. Papua Barat.
Mbete, Aron Meko. 2001. Paradigma Baru Pemertahanan dan Pengembangan Bahasa Daerah dalam
LINGUISTIKA, Edisi Keempatbelas, Maret 2001. Denpasar: Program Pascasarjana Magister dan Doktor
Linguistik UNUD.
Sobarna, Cecep. 2006. Pemertahanan Bahasa Daerah: Menuju Kesetaraan Bahasa dalam Bumiku,
Bahasaku, Mahmud, dkk (Ed.) 2006. Bandung: Jurusan Sastra Indonesian Fasa UNPAD.
Wijana, I Putu Dewa dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai