Anda di halaman 1dari 4

Cintai Bahasamu!

Baun Thoib Soaloon Siregar

Karena bahasa pertama (bahasa ibu) kita peroleh melalui proses alami secara gratis
dan tanpa susah payah, hampir tidak ada di antara kita yang pernah membayangkan
bagaimana sekiranya hidup dan kehidupan kita tanpa kehadiran bahasa ini. Mungkin itulah
sebabnya mengapa jasa dan peran bahasa ibu hampir tak pernah terlintas di benak kita.
Ketika bahasa-bahasa lain (nasional dan internasional) dengan fungsi dan perannya yang
semakin krusial di era globalisasi ini menawarkan banyak hal yang menggiurkan, maka nasib
bahasa yang merupakan emblem identitas paling mendasar ini pun semakin terabaikan. Bak
pepatah “kacang lupa pada kulitnya”, semakin banyak orang yang melupakan bahasa nenek
moyangnya. Padahal, bahasa inilah (Aceh, Gayo, Batak, Jawa, Sunda, Minang, dan bahasa-
bahasa lain yang juga disebut bahasa daerah) yang telah memperkenalkan dunia kepada
setiap orang pertama sekali. Dengan begitu, bahasa ini merupakan media belajar dan
mengajar yang paling esensial dalam sejarah kehidupan setiap orang. Melalui bahasa ini saya
dan juga Anda semua mengasah emosi dan mental, kreativitas dan imajinasi, apresiasi dan
solidaritas, prilaku positif sesuai dengan nilai-nilai sosiokultural yang kita anut, bahkan
keberagamaan dan spiritualitas kita sebagai fitrah azali penciptaan setiap insan.

Jangan lupa, dengan bahasa ini pulalah semua kita pernah di-doda idi dalam ayunan,
dirawat dan dibesarkan dalam balutan kasih sayang tak ternilai. Lalu, dengannya kita mampu
membangun komunikasi interpersonal yang begitu hangat dan emosional dengan orang-orang
tercinta, dan mengungkapkan siapa diri kita dalam hubungan dengan kelompok etnik dan
kultural yang berbeda. Satu hal lagi, ingatlah bahwa apabila saat ini kita begitu mahir dan
mengagumi bahasa-bahasa lain, itu semua berkat bahasa ibu. Tak seorang pun yang langsung
mampu belajar dan berpikir dalam bahasa yang belum dikuasainya begitu saja. Kita semua
belajar dan berfikir dengan logika dan melalui bahasa ibu ketika mempelajari hal-hal baru.
Singkat kata, sesungguhnya bahasa ibu (daerah) selalu punya andil dalam sejarah kehidupan
setiap orang. Jika demikian, wajarkah kita melupakan bahasa ibu dan membiarkannya
sendirian?

Banyak bahasa telah punah terutama sejak era kolonialisme. Tanpa kepedulian dan
intervensi terencana diperkirakan akan semakin banyak bahasa di dunia yang akan hilang dari
khazanah peradaban manusia. Summer Institute of Lingusitics (SIL) International dalam
Ethnologue (Lewis, 2009) memperkirakan bahwa 94 persen bahasa dunia hanya dituturkan
oleh 6 persen populasi manusia. Artinya, mayoritas penduduk bumi (96 persen) hanya
menggunakan 6 persen dari hampir 7000 bahasa dunia. Secara lebih detil, hanya 389 dari
6.909 bahasa yang masih hidup memiliki jumlah penutur di atas 1 juta dan lebih dari 1.500
hanya memiliki penutur kurang dari 1000 orang. Berdasarkan fakta ini, Krauss (1992)
mengingatkan, tanpa intervensi menyeluruh untuk menangkal perubahan (kepunahan) bahasa,
maka 90 persen bahasa-bahasa dunia akan mati atau sekarat pada akhir abad ini. Yang paling
berisikio adalah bahasa dan budaya asli yang berada di kawasan Afrika, Utara dan Selatan
Amerika, Asia, dan Pasifik sebagai kawasan yang menjadi lumbung keanekaragaman bahasa
dan budaya (lihat juga Brenzinger et al., 2003). Jika merujuk pada fakta bahwa Indonesia
merupakan negara kedua paling tinggi jumlah bahasa daerahnya (670 bahasa) setelah Papua
Nugini (850 bahasa), maka negara yang katanya bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini
berada pada deretan paling berisiko kehilangan banyak bahasa.

Berdasarkan data Ethnologue (Barbara F. Grimes, 2000), Lauder dan Ayatrohaédi


(2006) memperkirkan bahwa 100 bahasa daerah Indonesia masuk dalam kategori tidak aman
(unsafe) atau lebih buruk. Dengan populasi data yang lebih lengkap, menurut hitungan Karl
Anderbeck (2012) jumlah bahasa dalam kategori ini malahan mencapai 178 bahasa. Karena
perubahan bahasa yang terjadi secara global cenderung berlangsung cepat, Anderbeck bahkan
berani menyimpulkan bahwa mayoritas bahasa-bahasa lokal yang ada di Indonesia saat ini
berada dalam bahaya. Dengan pengelompokan sederhana, menurutnya, setakat ini, bahasa
yang benar-benar aman dan (safe) tidak sampai dua per empat dari keseluruhan bahasa
daerah. Kelompok bahasa ini memiliki jumlah penutur jutaan, masih diturunkan kepada
kepada generasi muda, dan meskipun penuturnya dwibahasawan mereka memiliki sensitivitas
dan kesadaran yang tinggi terhadap bahasanya. Seperempat lagi masuk dalam kategori
terancam (threatened). Kelompok ini ditandai dengan semakin banyaknya orangtua yang
tidak lagi mengajarkan bahasanya kepada anak-anaknya dan domain penggunaannya yang
semakin sempit. Sisanya merupakan bahasa yang hanya dipakai oleh generasi tua dan tidak
diwariskan lagi kepada generasi muda sehingga diperkirakan akan hilang/kritis (dying) atau
mungkin sudah punah (extinct) karena sudah tidak ada yang menggunakannya lagi.

Jika mengacu pada kategorisasi Anderbeck di atas, maka mayoritas bahasa-bahasa


daerah yang ada di Aceh saat ini berada pada level kedua (terancam) dan terus bergerak
menuju level ketiga (sekarat). Meskipun ketujuh bahasa daerah Aceh (Balai Bahasa Banda
Aceh, 2010)—delapan atau bahkan 10 menurut sumber-sumber lain—masih tetap dituturkan
oleh generasi tua maupun muda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tahun demi tahun
semakin banyak orangtua yang tidak lagi mengajarkan bahasa daerahnya kepada anak-
anaknya sehingga dipastikan bahwa penutur setiap bahasa daerah Aceh semakin hari
jumlahnya akan terus semakin minim. Akhir-akhir ini, ketidakmampuan dan keengganan
menggunakan bahasa daerah di kalangan generasi muda merupakan fenomena umum yang
dengan mudah ditemukan tidak hanya di perkotaan melainkan juga di pedesaan. Selain itu,
pelan tetapi pasti, ruang penggunaan bahasa daerah terus menyempit. Beberapa domain kunci
konservasi bahasa daerah seperti keluarga, upacara adat, even budaya, dan komunikasi
pertemanan kini sudah tergerus dan dirasuki bahasa nasional dan asing, bahkan cenderung
telah dianeksasi penggunaan bahasa Indonesia.

Di tengah maraknya prilaku berbahasa daerah negatif ini, yang paling


mengkhawatirkan adalah semakin merajalelanya pendidikan publik yang notabene dibiayai
oleh uang rakyat melakukan pembantaian terencana dan sistematis (karena pendidikan
merupakan aktivitas terorganisasi, terencana, dan sistematis) terhadap eksistensi bahasa-
bahasa daerah. Filosofi sesat mengenai bahasa daerah sebagai virus pendidikan dan oleh
karena itu menjadi ancaman nyata kemajuan dan kesuksesan pendidikan generasi muda
terus-menerus didengungkan sehingga menyihir banyak orang untuk melupakan bahasanya
sendiri sebagaimana telah saya singgung di awal tulisan ini.
Bagi banyak kalangan, perubahan bahasa seiring dengan fenomena dominasi bahasa-
bahasa internasional terutama bahasa Inggris secara global dan bahasa-bahasa nasional dalam
lingkup negara (bahasa Indonesia misalnya) dengan tumbal keterancaman dan punahnya
sekian banyak bahasa-bahasa lokal di dunia merupakan peristiwa normal yang berlangsung
secara alami. Padahal faktor-faktor kebahasaan (bahasa, pengguna, dan penggunaanya) dan
nonkebahasaan (ideologi, politik, pendidikan, dan ekonomi) yang berpengaruh pada ekologi
bahasa serta profil sosiolinguistik kelompok-kelompok etnik dan budaya tidak pernah
terlepas dari agensi dan kebijakan dengan motif dan kepentingan beragam yang beroperasi
dalam setiap konteks.

Superioritas bahasa Inggris pasca-Perang Dunia II tidak bisa dipisahkan dari British
Council dan beberapa agensi lain serta kebijakan-kebijkan makro internasional mengenai
penggunaan bahasa ini dalam hubungan antarbangsa dan negara. Begitu pula gerak laju
penyebaran dan penggunaan bahasa Indonesia pascakemerdekaan yang begitu pesat, tidaklah
terjadi begitu saja, melainkan lahir dari proses rekayasa/perencanaan bahasa baik secara
terbuka (overt) maupun (covert) melalui berbagai upaya infiltirasi ideologi dan kebijakan
baik secara eksplisit maupun implisit dengan dukungan otoritas politik dan agensi yang
berkerja secara terus menerus untuk mewujudkan visi dan misi yang tidak selalu terkait
dengan persoalan kebahasaan (utamanya ideologi, politik, dan ekonomi). Pada satu sisi,
kesuksesan politik bahasa nasional di Indonesia memang mengundang decak kagum semua
pihak. Namun di sisi lain, kesuksesan fantastis ini ternyata harus dibayar mahal dengan
semakin terancamnya posisi dan eksistensi bahasa-bahasa daerah yang begitu kaya dan
beragam. Padahal, semua orang tahu bahwa keberagaman inilah (termasuk etnik, agama, dan
budaya) sendi utama keindonesiaan baik sebagai negara maupun bangsa.

Pada sisi lain, secara internal resistensi bahasa-bahasa daerah termasuk di Aceh juga
amat sangat lemah karena ketidakpedulian Pemda dan masyarakatnya terhadap isu-isu
kebahasaan dan betapa erat sesungguhnya keterkaitan isu-isu tersebut dengan pembangunan
sosio-ekonomi-kultural-politik masyarakat Aceh. Sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa-bahasa daerah sebagaimana
dalam UU No. 24 Tahun 2009, sikap dan kebijakan laissez faire ini telah membuat program-
program kebahasaan (daerah) tidak memiliki tempat dalam prioritas pembangunan pada
setiap level. Jika pun ada, berapa rupiahkah yang rela mereka sisihkan untuk menangani
persoalan yang notabene menyangkut kelangsungan hidup sub-subkelompok etnik dan
kultural yang ada di wilayah ini dibandingkan berbagai megaproyek yang bertebaran di
berbagai instansi itu.

Ketika beberapa daerah lain (Jawa Tengah dan Jawa Barat misalnya) yang bahasanya
justru memiliki penutur dua puluh juta lebih (Sunda) dan seratus juta lebih (Jawa) sejak
beberapa tahun terakhir telah membuat program-program terobosan bahasa daerah baik
dalam pendidikan maupun dalam kehidupan sosial, kita di sini justru menghabiskan banyak
uang untuk program-program bahasa asing. Saya khawatir, di Aceh, data mengenai jumlah
gajah dan harimau serta jenis-jenisnya, atau bahkan profil batu giok jangan-jangan jauh lebih
lengkap daripada data dan profil kebahasaan kita di Aceh. Sampai saat ini, kita tidak
memiliki data yang akurat mengenai profil kebahasaan di daerah Aceh: jumlah bahasa, dialek
(variasi bahasa), jumlah pengguna (penutur) dan penggunannya, peta demografis, literasi, dan
literatur yang ada mengenai setiap bahasa. Padahal pemetaan kondisi setiap bahasa dan
rencana intervensi kebahasaan tidak akan mungkin dilakukan tanpa ketersediaan informasi
yang lengkap mengenai faktor-faktor tersebut.

Namun demikian, saya tidak akan mengatakan bahwa tanpa itu semua kita tidak dapat
melakukan apapun untuk mempertahankan dan melindungi bahasa-bahasa daerah kita. Jika
Anda beranggapan bahwa pengumpulan data dan informasi di atas merupakan pekerjaan
besar dan membutuhkan dukungan semua pihak (terutama Pemda), maka Anda masih dapat
berkontribusi dalam penyelamatan bahasa-bahasa daerah tersebut. Cintai bahasamu! Ketika
Anda mencintainya, maka Anda akan menggunakannya. Apabila Anda, saya dan kita semua
masih tetap menggunakan bahasa kita masing-masing, maka bahasa-bahasa tersebut akan
tetap lestari lintas generasi.

Anda mungkin juga menyukai