a silhouette of a fish
hat
Menurut data pada laman World Atlas of Languages (WAL) dalam situs web UNESCO saat ini
terdapat 8.324 bahasa tutur dan isyarat. Ribuan bahasa dimaksud didokumentasikan oleh pihak
pemerintah, lembaga publik, dan komunitas akademik. Dari 8.324 bahasa, sekitar 7.000 masih
digunakan.
Situs web Ethnologue, Languages of the World, salah satu situs yang otoritatif dan banyak dikutip
oleh linguis, mencatat bahwa bahasa yang digunakan di dunia berjumlah 7.168. Namun demikian, 40
persen lebih bahasa dunia kini dalam keadaan terancam (endangered). Pengguna suatu bahasa
kerap tinggal kurang dari 1.000 penutur.
Keterancaman keberadaan bahasa merupakan suatu masalah tersendiri dalam perkembangan dunia.
Tidak terkecuali Indonesia. Mengingat Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah (indigenous
languages).
Menurut Ethnologue, Indonesia memiliki 715 bahasa daerah dan merupakan negara pemilik
terbanyak kedua setelah Papua Nugini dengan 840 bahasa daerah. Sementara itu, menurut laman
Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia pada situs web resmi Badan Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa jumlah bahasa daerah (tidak termasuk dialek dan subdialek) di Indonesia yang telah
diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 718 bahasa.
Editor Campbell dan Belew dalam bab pengantar pada buku Cataloguing the World’s Endangered
Languages menyebutkan terdapat banyak penyebab keterancaman bahasa (languages
endangerment). Mereka mengategorikannya ke dalam empat faktor. Keempat faktor penyebab
masalah tersebut sejatinya lebih merupakan faktor-faktor nonlinguistik.
Pertama adalah faktor ekonomi. Hal ini mencakup antara lain tiadanya kesempatan ekonomi,
perubahan ekonomi yang cepat, pergeseran dalam pola kerja, berkurangnya sumber daya,
perubahan paksa dalam pola pencarian nafkah, komunikasi dengan kawasan luar, pemukiman
kembali, perusakan habitat, globalisasi, dan seterusnya.
Kedua adalah faktor politik dan sosial. Hal ini meliputi di antaranya diskriminasi, represi, kebijakan
bahasa resmi, tingkat pendidikan yang tersedia, pengusiran penduduk, dan lain-lain.
Ketiga adalah faktor sikap. Hal ini antara lain sikap para penutur terhadap bahasa-bahasa dalam
ancaman dan terhadap bahasa nasional resmi dan bahasa dominan yang mengelilinginya, sikap
anggota masyarakat arus utama terhadap minoritas dan bahasanya, gengsi dan stigma yang
diasosiasikan dengan bahasa terancam dan bahasa dominan, dan seterusnya.
Terakhir adalah faktor tiadanya dukungan kelembagaan. Hal ini sebagaimana tergambarkan pada
peran bahasa dalam pendidikan, pemerintahan, agama, dan media, atau bahkan kegiatan
rekreasional seperti pertandingan olahraga, budaya populer, konser musik, dan lain-lain.
(Safe, not endangered) 5 Bahasa ditutur oleh seluruh tingkat usia, dari anak-anak ke atas.
Transmisi antargenerasi tidak ada gangguan.
Rawan
(Vulnarable) 4 Kebanyakan anak menutur suatu bahasa, tapi mungkin terbatas pada
tempat tertentu.
Terancam
(Definitely endangered) 3 Anak-anak tidak lagi memelajari suatu bahasa sebagai bahasa ibu di
rumah
Terancam parah
(Severely endangered) 2 Bahasa ditutur oleh kakek-nenek dan generasi yang lebih tua. Meski
generasi orang tua mungkin memahaminya, mereka tidak menuturkannya pada anak-anak atau
antara mereka sendiri
Kritis
(Critically endangered) 1 Penutur termuda adalah kakek-nenek dan yang lebih tua, dan
mereka bertutur secara terpisah dan tidak sering.
Punah
Menurut Mendikbudristek di Indonesia masih terdapat sekitar 718 bahasa daerah. Namun, banyak
bahasa daerah yang kondisinya terancam punah dan kritis. Penyebab utama kepunahan bahasa
daerah adalah karena para penutur jatinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya
kepada generasi berikutnya.
Kemendikbudrisktek menyusun tiga model revitalisasi bahasa daerah dan merancang upaya untuk
melestarikan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Model A
Pembelajaran dilakukan secara integratif, kontekstual, dan adaptif, baik melalui muatan lokal
maupun ekstrakurikuler.
Model B
Daya hidup bahasa tergolong rentan.
Pewarisan dapat dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah (berbasis sekolah) jika
wilayah tutur bahasa itu memadai.
Pewarisan dalam wilayah tutur bahasa juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis
komunitas.
Model C
Daya hidup bahasanya kategori mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis.
Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku
Utara, dan Papua.
Pewarisan dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa
yang terbatas dan khas.
Pembelajaran dilakukan dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar
atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat, seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman
bacaan masyarakat.
Punahnya bahasa bukan hanya hilangnya unsur bahasa, tapi juga hilangnya unsur nonbahasa.
Sebagaimana kata Mendikbudristek bahwa bahasa bukan sekadar sekumpulan kata atau
seperangkat kaidah tata bahasa, tetapi sebagai khazanah kekayaan budaya, pemikiran, dan
pengetahuan. Kepunahan bahasa berarti hilangnya kekayaan batin para penutur bahasa tersebut.
Program kegiatan Revitalisasi Bahasa Daerah yang diluncurkan oleh Kemendikbudristek telah
memberikan kebermanfaatan dan praktik baik Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya. Indonesia
yang memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia kini mempunyai arah kegiatan yang jelas dan
solutif. Merdeka Belajar melalui Revitalisasi Bahasa Daerah merupakan pendidikan nasional
berkesinambungan yang hakiki.
Kepustakaan
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2019. “Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia”. Versi
daring: https://petabahasa.kemdikbud.go.id/index.php.
Campbell, Lyle and Anna Belew (eds.). 2018. Cataloguing the World’s Endangered Languages.
London: Routledge.
Eberhard, David M., Gary F. Simons, and Charles D. Fennig (eds.). 2023. Ethnologue: Languages of
the World. Twenty-sixth edition. Dallas, Texas: SIL International. Online version:
http://www.ethnologue.com.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 2022. Merdeka Belajar Episode Ketujuh
Belas: Revitalisasi Bahasa Daerah. Jakarta: Kemendikbudristek.
UNESCO. Atlas of the World’s Languages in Danger. 1996, 2001, 2010. Paris: UNESCO Publishing.
*) Linguis Terapan/Penerjemah Ahli Madya pada Asisten Deputi Bidang Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Bidang Dukungan Kerja Kabinet, Sekretariat Kabinet
KOMPAS.com - Indonesia dikenal memiliki kekayaan budaya yang tidak terhingga, salah satunya
adalah keragaman bahasa daerah. Bahasa daerah di Indonesia berkembang di suatu wilayah, namun
dalam prosesnya penuturnya juga membawanya tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Baca
juga: 7 Fakta Menarik Bahasa Sunda yang Ternyata Salah Satu Bahasa Daerah Tertua di Indonesia
Sebagai hasilnya, terdapat provinsi yang diketahui memiliki lebih dari satu bahasa daerah. Menurut
data labbineka.kemdikbud.go.id, terdapat sekitar 718 bahasa daerah yang tersebar di seluruh
Indonesia, berikut adalah daftarnya. Baca juga: Ucapan Selamat Natal dalam Bahasa Daerah, Ada
Bahasa Batak dan Bahasa Jawa
Bahasa Daerah di Pulau Sumatra 1. Aceh Provinsi Aceh dengan ibu kota Banda Aceh memiliki tujuh
bahasa daerah yaitu: - Aceh - Devayan - Sigulai - Batak - Gayo - Jawa - Minangkabau
2. Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara dengan ibu kota Medan memiliki lima bahasa daerah
yaitu: - Batak - Minangkabau - Melayu - Nias - Bugis - Jawa
3. Sumatera Selatan Provinsi Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang memiliki sembilan
bahasa daerah yaitu: - Ogan - Pedamaran - Komering - Lematang - Kayu Agung - Banjar - Bugis - Jawa
- Melayu
4. Sumatera Barat Provinsi Sumatera Barat dengan ibu kota Padang memiliki delapan bahasa daerah
yaitu: - Mentawai - Minangkabau - Batak - Melayu - Bugis - Jawa - Bali - Sunda
5. Bengkulu Provinsi Bengkulu dengan ibu kota Bengkulu memiliki enam bahasa daerah yaitu: -
Bengkulu - Enggano - Rejang - Minangkabau - Jawa - Sunda
6. Riau Provinsi Riau dengan ibu kota Pekanbaru memiliki enam bahasa daerah yaitu: - Banjar - Batak
- Bugis - Melayu - Minangkabau
7. Kepulauan Riau Provinsi Kepulauan Riau dengan ibu kota Tanjung Pinang memiliki satu bahasa
daerah yaitu bahasa Melayu.
8. Jambi Provinsi Jambi dengan ibu kota Jambi memiliki tujuh bahasa daerah yaitu: - Bajau Tungkal
Satu - Kerinci - Banjar - Bugis - Jawa - Melayu - Minangkabau
9. Lampung Provinsi Lampung dengan ibu kota Bandar Lampung memiliki tujuh bahasa daerah yaitu:
- Basemah - Lampung - Lampung Cikoneng - Bugis - Jawa - Sunda - Bali
10.Bangka Belitung Provinsi Bangka Belitung dengan ibu kota Pangkal Pinang memiliki dua bahasa
daerah yaitu: - Kayu Agung - Melayu Bahasa Daerah di Pulau Jawa
11. Banten Provinsi Banten dengan ibu kota Serang memiliki tiga bahasa daerah yaitu: - Jawa -
Lampung Cikoneng - Sunda
12. DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta dengan ibu kota Jakarta memiliki empat bahasa daerah yaitu: -
Bugis - Mandarin DKI Jakarta - Melayu - Sunda
13. Jawa Barat Provinsi Jawa Barat dengan ibu kota Bandung memiliki tujuh bahasa daerah yaitu: -
Sunda - Jawa - Bajo - Bali - Bugis - Madura - Melayu
14. Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kota Semarang memiliki enam bahasa daerah
yaitu: - Jawa - Sunda - Bajo - Bali - Bugis - Melayu
15. DI Yogyakarta Provinsi DI Yogyakarta dengan ibu kota Yogyakarta memiliki satu bahasa daerah
yaitu bahasa Jawa.
16. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur dengan ibu kota Surabaya memiliki enam bahasa daerah yaitu: -
Jawa - Madura - Melayu - Bajo - Bugis Bahasa Daerah di Pulau Kalimantan
17. Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat dengan ibu kota Pontianak memiliki dua belas
bahasa daerah yaitu: - Bakatik - Bukat - Galik (Golik) - Kayaan - Melayu - Punan - Ribun (Rihun) -
Taman - Uud Danum (Ot Danum) - Bali - Bugis - Jawa
18. Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur dengan ibu kota Samarinda memiliki enam belas
bahasa daerah, diantaranya yaitu: - Pasir (Paser) - Punan Long Lamcin - Punan Merah - Segaai -
Tunjung - Aoheng (Penihing) - Bahau Diaq Lay - Bahau Ujoh Bilang - Bajau Pondong
19. Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibu kota Banjarmasin memiliki sebelas
bahasa daerah yaitu: - Samihin - Dusun Deyah - Berangas - Bajau Semayap - Bakumpai - Banjar -
Bugis - Lawangan - Maanyan - Jawa - Melayu
20. Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibu kota Palangkaraya memiliki dua
puluh lima bahasa daerah, diantaranya yaitu: - Dayak Bara Injey - Dayak Baream - Dayak Kapuas -
Dayak Ngaju - Dayak Pulau Telo - Dayak Sei Dusun - Dusun Kalahien - Balai - Mentaya - Pembuang -
Sampit - Tamuan
21. Kalimantan Utara Provinsi Kalimantan Utara dengan ibu kota Tanjung Selor memiliki tiga belas
bahasa daerah yaitu: - Abai - Punan Paking - Saban - Tenggalan - Tidung - Uma Lung - Bulungan -
Long Pulung - Lundayeh - Kenyah - Bugis - Jawa - Melayu Bahasa Daerah di Pulau Nusa Tenggara &
Bali
22. Bali Provinsi Bali dengan ibu kota Denpasar memiliki sepuluh bahasa daerah yaitu: - Bali - Sasak
Bali - Bajo - Bugis - Jawa - Lampung Cikoneng - Madura - Mandarin DKI Jakarta - Melayu - Sunda
23. Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kota Kupang memiliki tujuh
puluh lima bahasa daerah, diantaranya yaitu: - Abui (Aboa) - Adang - Alor - Anakalang - Nage -
Namut - Ndao - Ndora - Nedebang - Ngada - Omesuri - Palu e - Pura - Raijua - Retta
24. Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kota Mataram memiliki dua belas
bahasa daerah yaitu: - Sumba Barat - Sumbawa (Samawa) - Mandarin Ampenan - Bima (Mbojo) -
Sasak - Bajo - Bali - Bugis - Jawa - Madura - Makassar - Melayu Bahasa Daerah di Pulau Sulawesi
25. Gorontalo Provinsi Gorontalo dengan ibu kota Gorontalo memiliki empat bahasa daerah yaitu: -
Bajo - Gorontalo - Minahasa
26. Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Barat dengan ibu kota Mamuju memiliki tujuh belas bahasa
daerah yaitu: - Baras - Benggaulu - Budong-Budong (Tangkou) - Kone-Konee - Mamasa - Mamuju -
Pannei - Topoiyo - Bajo - Bali - Bugis - Jawa - Makassar - Mandar - Melayu - Sasak - Sunda
27. Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah dengan ibu kota Palu memiliki dua puluh lima bahasa
daerah, diantaranya yaitu: - Bada - Balaesang - Balantak - Banggai - Besoa - Bungku - Buol - Dondo -
Kaili - Kulawi - Lauje Malala - Pamona - Pipikoro
28. Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado memiliki tiga belas bahasa
daerah yaitu: - Minahasa - Minahasa Tonsawang - Minahasa Tonsea - Pasan - Ponosakan - Sangihe
Talaud (Satal) - Bantik - Bolaang Mongondow (Bolmong) - Bajo - Bugis - Gorontalo - Jawa - Melayu
29. Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara dengan ibu kota Kendari memiliki tujuh belas
bahasa daerah yaitu: - Tolaki - Wolio - Morunene (Moronene) - Muna - Pulo (Wakatobi) - Kulisusu -
Lasalimu-Kamaru - Cia-Cia - Culambacu (Tulambatu) - Bajo - Bali - Bugis - Jawa - Makassar - Melayu -
Sasak - Sunda
30. Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan dengan ibu kota Makassar memiliki enam belas
bahasa daerah yaitu: - Toraja - Wotu - Rampi - Bonerate - Bugis De - Konjo - Laiyolo - Lemolang -
Massenrengpulu - Bajo - Bugis - Jawa - Makassar - Mandar - Melayu - Seko Bahasa Daerah di Pulau
Maluku dan Papua
31. Maluku Utara Provinsi Maluku Utara dengan ibu kota Ternate memiliki sembilan belas bahasa
daerah yaitu: - Bacan - Bajo - Buli - Galela - Gane - Gorap - Ibu (Ibo) - Kada - Makiam Dalam - Makian
Luar - Melayu - Modole - Patani - Sahu - Sawai - Sula - Taliabu - Ternate - Tobelo
32. Maluku Provinsi Maluku dengan ibu kota Ambon memiliki enam puluh dua bahasa daerah,
diantaranya adalah: - Alune - Ambalau - Asilulu - Balkewan - Banda - Barakai - Buru - Damar Timur -
Dawelor - Dobel - Tagalisa - Teon - Wemale - Woda-Woda - Yalahatan - Yamdena - Yatoke
33. Papua Barat Provinsi Papua Barat dengan ibu kota Manokwari memiliki seratus bahasa daerah,
diantaranya yaitu: - Abun - Abun Gii (Abun Jii) - Abun Ji (Karon Pantai) - Air Matoa - Arandai - Arguni
(Taver) - As - Batanta - Bedoanas (Baruan-Erokwanas) - Damban (Ndamban) - Dusner (Usner) - Efpan
- Esaro (Kawit) - Fkour - Gebe - Girimora - Gua - Koiwai - Kokoda - Kuri (Nabi) - Maibrat - Mairasi -
Maisomara - Mansim Borai - Mare - Napiti - Napiti Pantai-Busama (Napiti Pantai) - Numfor
(Mansinam) - Palamul - Pokoro - Puragi-Saga - Ron - Roswar (Saref) - Sabakor (Buruwai) - Salafen
Matbat - Selegof - Somu (Toro) - Soon - Sou - Sough (Manikion) - Sough Bohon - Tehit Dit (Tehit Tua)
- Tepin - Ure (Mere)
34. Papua ( Daerah Khusus ) Provinsi Papua dengan ibu kota Jayapura memiliki lebih dari seratus
bahasa daerah, di antaranya adalah: - Aabinomin - Abrap - Adagum (Citak Wagabus) - Afilaup -
Aframa - Arui-Mor - Asmat Bets Mbup - Asmat Unir Sirau - Asmat Waijens - Atam (Temma) - Baedate
- Barapasi - Batero - Buagani - Burate - Burukmakot - Burumeso - Busami - Citak - Dabe - Dabra -
Damal - Dani - Daranto (Deranto) - Dasigo - Dem - Dubu - Duvle Sampai saat ini masih dilakukan
penelitian tentang bahasa yang ada di tiap daerah sehingga dimungkinkan jumlah bahasa daerah ini
akan terus bertambah.
Adapun 10 bahasa daerah yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah, Bahasa Jawa, Bahasa
Sunda, Bahasa Madura, Bahasa Minangkabau, Bahasa Musi, Bahasa Bugis, Bahasa Banjar, Bahasa
Aceh, Bahasa Bali dan Bahasa Betawi.
Sumber: labbineka.kemdikbud.go.id kids.grid.id Dapatkan update berita pilihan dan breaking news
setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update",
caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi
Telegram terlebih dulu di ponsel.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Daftar Bahasa Daerah 34 Provinsi di
Indonesia", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2022/01/29/151815878/daftar-
bahasa-daerah-34-provinsi-di-indonesia?page=all.
Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat
ditelusuri runut melalui peninggalan-peninggalan yang diteliti oleh para ahli epigrafi. Akar
tertua aksara Jawa adalah aksara Brahmi dari India yang berkembang menjadi aksara Pallawa
di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian
berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha
Indonesia antara abad ke-8 hingga 15.
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring
waktu. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam
bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan
media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang
telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi
panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga
80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar
empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan
dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan
yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan
penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format
buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15,
bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi
lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.
Sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk
tembang, sehingga teks sastra tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tapi juga dari
pelantunan dan pembawaan sang pembaca. Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan
dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis;
akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau 19
meski isinya sering kali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring
waktu. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam
bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan
media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang
telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi
panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga
80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar
empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan
dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan
yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan
penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format
buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15,
bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi
lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.
Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas
produksi lokal yang disebut daluang, dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: dluwang)
adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon saéh (Broussonetia papyrifera, disebut
juga pohon glugu). Daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna
cokelatnya yang khas dan karakter seratnya. Daluang yang dibuat dengan telaten akan
memiliki permukaan mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama
serangga). Sedangkan yang kurang berkualitas memiliki permukaan tidak rata dan mudah
rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di keraton dan pesantren Jawa
antara abad ke-16 dan 17.
Sebagian besar kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari
Eropa. Pada awalnya, kertas Eropa hanya digunakan sebagian kecil juru tulis Jawa karena
harganya yang mahal – kertas yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa
diimpor dalam jumlah terbatas. Dalam administrasi kolonial sehari-hari, penggunaan kertas
Eropa perlu digabung dengan kertas daluang Jawa serta kertas impor Tiongkok setidaknya
hingga abad ke-19. Seiring meningkatnya jumlah kertas impor dan pengiriman yang lebih
berkala, juru tulis di keraton dan permukiman urban makin memilih kertas Eropa sebagai
media tulis utama sementara daluang kian diasosiasikan dengan naskah yang dibuat di
pesantren dan desa.
Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa, teknologi cetak aksara Jawa juga mulai
dirintis oleh sejumlah tokoh Eropa dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1825. Dengan
adanya teknologi cetak, materi beraksara Jawa dapat diperbanyak sehingga menjadi lumrah
digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, seperti surat-
surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara
Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari
maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang
kuat, teks sastra tradisional Jawa hampir selalu disusun dalam bentuk tembang yang
dirancang untuk dilantukan, sehingga teks Jawa tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya,
namun juga dari irama dan nada pelantunan. Pujangga sastra Jawa umumnya tidak dituntut
untuk menciptakan cerita dan karakter baru. Peran pujangga adalah untuk menulis dan
menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan sesuai dengan selera lokal dan
perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti Cerita Panji bukanlah sebuah
teks dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi
cerita dengan benang merah tokoh Panji. Genre sastra dengan akar paling kuno adalah
wiracarita atau epos Sanskerta seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah disadur sejak
periode Hindu-Buddha dan memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna,
Srikandi, Gatotkaca, dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab kita kenal. Cerita makin
beragam sejak masuknya Islam di Jawa. Tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah seperti
Amir Hamzah dan Nabi Yusuf juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan.
Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa
masa lampau, misal Pangeran Panji, Damar Wulan, dan Calon Arang.
Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan
Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan menciptakan aksara Jawa cetak agar materi
sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal menghasilkan
aksara Jawa cetak dirintis Paul van Vlissingen yang karyanya pertama kali digunakan dalam
surat kabar Bataviasch Courant edisi Oktober 1825. Meski diakui sebagai suatu pencapaian
teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki
gubahan bentuk yang canggung, sehingga perlu berbagai upaya penyempurnaan.
Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan fon cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah
berdasarkan langgam penulisan Surakarta dengan sedikit campuran elemen tipografi Eropa.
Rancangan Roorda disambut baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak
segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan fon Jawa yang
digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam
berbagai materi selain sastra.
Dalam ranah kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi bagian dari pengajaran
muatan lokal di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Beberapa surat kabar dan
majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Aksara Jawa dapat
ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu.
Sayangnya, penggunaan Aksara Jawa masih dinilai bersifat simbolik dan tidak fungsional,
seperti tidak ada lagi, publikasi berkala Majalah Kajawèn yang sepenuhnya menggunak
aksara Jawa. Akibat makin jarang digunakan, maka penerapannyapun sering keliru.
Misalnya, sampai tahun 2019 sering ditemukan papan nama beraksara Jawa di tempat umum
yang penulisannya memiliki banyak kesalahan dasar.
Untungnya, masih ada sejumlah komunitas dan tokoh masyarakat yang tidak menyerah dan
telaten memperkenalkan kembali aksara Jawa dalam penggunaan sehari-hari, terutama dalam
sarana digital. Untuk mendukung perkuatan pelestarian, pada bulan Februari 2020, PANDI
yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, mengajukan proposal kepada ICANN untuk membuat nama
domain dengan aksara Jawa. Menurut PANDI, domain ini diperkirakan dapat digunakan pada
pertengahan tahun 2020.
Aksara Lainnya
Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan
berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan
sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali
sebagai bagian dari muatan lokal.
Aksara ini berasal dari daerah Sumatera Utara dan mulai muncul sekitar abad ke-14 Masehi.
Awalnya, aksara yang digunakan untuk menulis bahasa Batak, meski dalam penggunaan sekarang
dapat pula digunakan untuk menulis bahasa lain.
Aksara ini berkembang di Sulawesi Selatan, disebut juga aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau
aksara Lontara Baru. Aksara Lontara terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis dan Makassar,
namun dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-
Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi.
Aksara ini dikenal juga sebagai Ukiri' Jangang-jangang dalam bahasa Makassar, pernah digunakan di
Sulawesi Selatan untuk penulisan bahasa Makassar antar abad 17 M hingga abad 19 M.
Pegon digunakan di kalangan umat Muslim, yang hidup dari pendidikan agama di pesantren. Pegon
sendiri muncul bersama Islam di Jawa.
Sejarah dan Perkembangan Aksara Sunda
Kecakapan masyarakat dalam tulis-menulis di wilayah Sunda telah diketahui keberadaannya sejak
sekitar abad ke-5 Masehi. Hal itu tampak pada prasasti-prasasti dan naskah kuno dari zaman itu.
Sejak April 2008, aksara Sunda secara resmi masuk ke dalam standar Unicode.
Merajut Indonesia merupakan sebuah program yang di inisiasi PANDI dimana nantinya seluruh
Aksara yang ada di Indonesia akan di digitalisasikan ke dalam bentuk digital sehingga bisa
dipergunakan di Internet melalui perangkat pintar seperti laptop, telfon genggam dan lainnya.
Kontak
Icon Business Park Unit L1-L2 BSD City, Sampora, Kec. Cisauk, Tangerang, Banten
15345 Telepon:+62 21
30055777 Emailinfo@merajutindonesia.id Web:https://merajutindonesia.id
Rilis Terbaru
https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Surakarta
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/03/22/bahasa-jawa-dan-berbagai-variasianya-yang-
luar-biasa
https://dapobas.kemdikbud.go.id/homecat.php?show=url%2Frbd&thn=2023&provinsi=14
Museum Bahasa Melampaui Pandangan Barat: Museum Bahasa Dunia di Shanghai International
Studies University
https://en.wikipedia.org/wiki/Museum_of_the_Portuguese_Language
https://travel.detik.com/international-destination/d-5172067/unik-museum-khusus-kata-dan-
bahasa-ada-di-washington-dc
https://altalang.com/beyond-words/5-language-museums/
https://planetwordmuseum.org/
https://id.wikipedia.org/wiki/Yawadwipa
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Yawadwipa
https://id.wikipedia.org/wiki/Jawa