Anda di halaman 1dari 20

BAB I

WAWASAN KEBAHASAAN

KOMPETENSI DASAR
(1) menghayati bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa, (2) memahami kedudukan
dan fungsi bahasa Indonesia, (3) memiliki sikap berbahasa Indonesia yang baik, (4)
menyadari pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan (5) menggunakan
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi keilmuan.

INDIKATOR
(1) Mahasiswa memiliki wawasan kebahasaindonesiaan yang benar yang meliputi
sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia sebagai perwujudan kecintaan
terhadap bahasa Indonesia;
(2) Mahasiswa mampu memahami kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
(3) Mahasiswa memiliki sikap berbahasa Indonesia yang baik

Peta Konsep Bab 1


Bahasa
Indonesia

Bahasa Kedudukan dan Sikap Pemakai Pentingnya Bahasa


Indonesia Fungsi Bahasa Bahasa Berbahasa Indonesia
sebagai Indonesia Indonesia yang yang Baik dan sebagai Alat
Identitas Negatif Benar Komunikasi
Bangsa Keilmuan

- Sejarah Bahasa
Indonesia
- Soempah
Pemoeda
- Perkembangan
Bahasa
Indonesia

1
A. URAIAN MATERI

1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Bangsa


Sejarah mencatat bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau, salah satu bahasa
daerah yang berada di Indonesia. Bahasa Melayu-Riau ini yang diangkat oleh para
pemuda pada “Konggres Pemoeda” 28 Oktober 1928 di Solo, menjadi bahasa
Indonesia. Pengangkatan dan penamaan bahasa Melayu-Riau menjadi bahasa Indonesia
oleh para pemuda pada saat itu lebih “bersifat politis” daripada “bersifat linguistis”.
Tujuannya adalah ingin mempersatukan para pemuda Indonesia, alih-alih disebut
bangsa Indonesia. Ketika itu, yang mengikuti “Kongres Pemoeda” adalah wakil-wakil
pemuda Indonesia dari Jong Jawa, Jong Sunda, Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong
Selebes. Jadi, secara linguistis, yang dinamakan bahasa Indonesia saat itu sebenarnya
adalah bahasa Melayu. Ciri-ciri kebahasaannya tidak berbeda dengan bahasa Melayu
pada umumnya. Akan tetapi, untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia, para pemuda Indonesia pada saat itu “secara politis” menyebutnya bahasa
Indonesia. Nama bahasa Indonesia yang dianggap dapat memancarkan inspirasi dan
semangat nasionalisme, bukan nama bahasa Melayu yang berbau kedaerahan.
Ikrar yang dikenal dengan nama “Soempah Pemoeda” pada butir ketiga
berbunyi “Kami poetera-poeteri Indonesia, mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean,
bahasa Indonesia” (Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa
persatuan, bahasa Indonesia). Ikrar yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia
ini juga memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Bahasa sebagai

2
alat komunikasi mutlak diperlukan setiap bangsa. Tanpa bahasa, bangsa tidak mungkin
berkembang, bangsa tidak mungkin menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara
utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu akan lenyap
ditelan masa. Jadi, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian
kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Bahasa
menggambarkan seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikrar berupa
“Soempah Pemoeda” ini yang menjadi dasar yang kokoh bagi kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, dalam perjalanan sejarah selanjutnya,
bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa persatuan tetapi juga berkembang sebagai
bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Setelah hampir satu abad menjadi bahasa persatuan, bahasa Indonesia
memperlihatkan ciri-cirinya sebagai alat komunikasi yang mutlak diperlukan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri sebagai bahasa yang tahan uji.
Bahasa Indonesia telah menunjukkan identitas bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia
berperan dalam mempersatukan pelbagai suku bangsa yang beraneka adat dan
budayanya. Dalam mengemban misinya, bahasa Indonesia terus berkembang seiring
dengan perkembangan bangsa Indonesia yang menggembirakan, menyedihkan atau
bahkan membahayakan. Perkembangan tersebut memang merupakan dinamika dan
konsekuensi bahasa yang hidup. Akan tetapi, karena bahasa Indonesia sudah ditetapkan
sebagai bahasa yang berkedudukan tinggi oleh bangsa Indonesia, maka ia harus dipupuk
dan disemaikan dengan baik dan penuh tanggung jawab agar dapat benar-benar menjadi
“cermin” bangsa Indonesia.
Sebelum Perang Dunia Kedua, bahasa Indonesia tidak dihargai dengan
sepantasnya walaupun dunia pergerakan politik semakin banyak menggunakan bahasa
Indonesia. Dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan belum menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik. Pada waktu itu, bukan bahasa Indonesia yang digunakan,
melainkan bahasa Belanda sebagai bahasa kaum penjajah. Bahasa pengantar ilmu
pengetahuan adalah bahasa Belanda. Apabila sesorang ingin dihormati dan disegani
dalam pergaulan, dia harus menguasai bahasa Belanda dengan baik. Bahasa Belanda
benar-benar menentukan status pemakainya. Akibatnya, pemakai bahasa Indonesia
merasa apatis atau masa bodoh melihat kekangan-kekangan yang hebat terhadap bahasa
Indonesia ketika itu. Seolah-olah bahasa Indonesia tidak akan mampu menjadi bahasa

3
ilmu pengetahuan. Ketika itu kaum penjajah memang menginginkan seperti itu sehingga
pemakai bahasa Indonesia merasa dirinya tidak berguna mempelajari dan menguasai
bahasa Indonesia. Ketika itu orang Indonesia merasa lebih terpelajar dan terhormat
apabila menguasai dan menggunakan bahasa Belanda dengan baik. Orang Indonesia
tidak merasa malu apabila tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, tetapi akan
merasa ada yang kurang apabila tidak menguasai bahasa Belanda dengan baik.
Akibatnya, tidak banyak orang Indonesia yang mau mempelajari bahasa Indonesia
dengan serius dan hanya mampu menguasai bahasa Indonesia ala kadarnya untuk
komunikasi umum. Akhirnya, banyak pula orang Indonesia yang tidak mahir berbahasa
Indonesia, tetapi sangat mahir berbahasa Belanda.
Pada zaman pendudukan Jepang, pemakaian bahasa Belanda dilarang dan
harus diganti dengan bahasa Indonesia. Ketika itu, sebagian orang masih meragukan
kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk kaum
cendekiawannya. Akan tetapi, karena dipaksa oleh pemerintah Jepang dan didorong
oleh pemuda-pemuda Indonesia, orang-orang Indonesia terpaksa menggunakan bahasa
Indonesia untuk setiap ranah pembicaraan. Bahasa Indonesia mulai populer dan
diperhatikan para pemakainya dengan baik. Pada perkembangannya, bahasa Indonesia
terus dipakai dengan teratur dan lebih luas sehingga dapat bersaing dengan bahasa-
bahasa asing lainnya.
Sesudah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia menjadi lebih berkembang serta
lebih baik dan luas lagi. Bangsa Indonesia merasa betapa perlunya membina dan
memperhatikan perkembangan bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia mulai sadar bahwa
tanpa bahasa Indonesia, bangsa Indonesia tidak akan memperoleh kemajuan. Minat
bangsa Indonesia untuk mempelajari bahasa Indonesia dengan baik terus meningkat
setiap tahun. Akibatnya, bahasa Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Kemudian, muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut berikut:
- Apakah setiap bangsa Indonesia sudah merasa bangga berbahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional?
- Apakah setiap bangsa Indonesia sudah mencintai dan menghormati bahasa
Indonesia?
- Adakah rasa kebanggaan itu timbul dari hati nurani setiap orang yang mengaku
berbangsa Indonesia?

4
- Apabila setiap bangsa Indonesia sudah mencintai, menghormati, dan bangga
berbahasa Indonesia, apakah mereka sudah membina bahasa Indonesia dengan baik?
- Adakah pemakai bahasa Indonesia yang sudah mematuhi kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang benar?
- Apakah setiap orang yang mengaku bangsa Indonesia sudah menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar?
Jawaban untuk semua pertanyaan ini tentu ada di dalam dada setiap orang yang
menganggap, mengaku, dan menjadikan dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

2. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


Secara formal saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai
bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam
perkembangan lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa
budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda,
walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersamaan dalam suatu peristiwa,
atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan

Bahasa Indonesia sebagai bahasa


nasional

Bahasa Indonesia sebagai bahasa


negara
Kedudukan Bahasa
Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi

Bahasa Indonesia sebagai bahasa


budaya

Bahasa Indonesia sebagai bahasa


persatuan

Gambar Peta Konsep Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak “Soempah Pemoeda” 28 Oktober
1928. Momentum bersejarah inilah yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa

5
persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai
bahasa Indonesia. Mereka melihat bahwa bahasa Indonesia memiliki potensi
mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa atau etnik.
Pengangkatan status ini ternyata tidak hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia mampu
menjalankan fungsinya sebagai pemersatu bangsa. Dengan menggunakan bahasa
Indonesia, rasa persatuan dan kesatuan bangsa dari berbagai etnis dapat terpupuk.
Kehadiran bahasa Indonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan
sentimen kedaerahan bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, kehadiran bahasa
Indonesia justru dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai
penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang
mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru
dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas
kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa
etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan, maka kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan
daerah dan golongan.
Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk
menghambat hubungan antardaerah dan antarbudaya. Akan tetapi, berkat bahasa
Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia, apa pun latar
belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan
dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai alat
penghubung antardaerah dan antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya
sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum,
bertambah banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan bertambah banyaknya
perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain
karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulai dikenal sejak 17 Agustus 1945
ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau

6
lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang
mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan
harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar
kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia.
Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oleh
bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung
tinggi di samping bendera nasional, “Merah-Putih” dan lagu nasional bangsa Indonesia,
“Indonesia Raya”. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus
memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya.
Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya
membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur
bahasa lain yang memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/ kata dari
bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah/ kata tersebut sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat penghubung antardaerah dan
antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat
pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang
berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa
perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama,
baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan, betapa pun halusnya dapat diungkapkan
secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini
tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa
kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan
bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya
sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan
kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-
undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan
instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan
ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi
komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato

7
kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga
masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa
kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai
bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa
Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan
ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru, kenaikan pangkat,
maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus
diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa
Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia
tidak saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan
masyarakat luas, dan tidak saja dipakai sebagai alat penghubung antardaerah dan
antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat penghubung secara formal dalam
pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya, misalnya surat-menyurat
antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah
pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah.
Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah
nasional dan dalam situasi formal, kecenderungan menggunakan bahasa Indonesia.
Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,
misalnya antara bawahan-atasan, mahasiswa–dosen, kepala dinas–bupati atau walikota,
kepala desa–camat, dan sebagainya.
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945,
bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu.
Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai
bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan
untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga
bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan
kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk
menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia
telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam
kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa
pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan

8
nasional. Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan
di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi
bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha
mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia
bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia pun dipakai bangsa
Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada
berbagai kalangan dan tingkat pendidikan.
Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai
dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali
daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Daerah-daerah tersebut masih memperbolehkan menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga
(kelas tiga). Setelah itu, bahasa yang harus digunakan adalah bahasa Indonesia. Karya-
karya ilmiah di perguruan tinggi (baik buku rujukan, skripsi, tesis, disertasi, dan hasil
atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia,
menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek,
dan sekaligus menepis anggapan bahsa bahasa Indonesia belum mampu mewadahi
konsep-konsep iptek.

3. Sikap Pemakai Bahasa Indonesia yang Negatif


Bangsa Indonesia, sebagai pemakai bahasa Indonesia, seharusnya bangga menggunakan
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Dengan bahasa Indonesia, mereka bisa
menyampaikan perasaan dan pikirannya dengan sempurna dan lengkap kepada orang
lain. Mereka semestinya bangga memiliki bahasa yang demikian itu. Namun, berbagai
kenyataan yang terjadi, tidaklah demikian. Rasa bangga berbahasa Indonesia belum lagi
tertanam pada setiap orang Indonesia. Rasa menghargai bahasa asing (dahulu bahasa
Belanda, sekarang bahasa Inggris) masih terus terlihat pada sebagian besar bangsa
Indonesia. Mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada

9
bahasa Indonesia. Bahkan, mereka seolah tidak mau tahu perkembangan bahasa
Indonesia.
Fenomena negatif yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia
antara lain sebagai berikut:
a. Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya
menggunakan bahasa Inggris, walaupun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia
dengan baik.
b. Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (bahasa
Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa
Indonesia.
c. Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau
mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan
baik.
d. Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah
menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa
Indonesianya kurang sempurna.
Kenyataan-kenyataan tersebut merupakan sikap pemakai bahasa Indonesia
yang negatif. Hal itu akan berdampak negatif pula pada perkembangan bahasa
Indonesia. Sebagian pemakai bahasa Indonesia menjadi pesimis, menganggap rendah,
dan tidak percaya kemampuan bahasa Indonesia dalam mengungkapkan pikiran dan
perasaannya dengan lengkap, jelas, dan sempurna yang akan berdampak sebagai
berikut:
a. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan
ungkapan-ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan
itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai
dalam bahasa Indonesia, misalnya page, background, reality, alternatif, airport,
masing-masing untuk “halaman”, “latar belakang”, “kenyataan”, “(kemungkinan)
pilihan”, dan “lapangan terbang” atau “bandara”.
b. Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga
ditemukan kata dan istilah asing yang “amat asing”, “terlalu asing”, atau “hiper
asing”. Hal ini terjadi karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing
tersebut, misalnya rokh, insyaf, fihak, fatsal, syarat (muatan), (dianggap) syah.

10
Padahal, kata-kata tersebut cukup diucapkan dan ditulis roh, insaf, pihak, pasal,
sarat (muatan), dan (dianggap) sah.
c. Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi
menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia
yang mempunyai bermacam-mecam kamus bahasa asing tetapi tidak mempunyai
satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata bahasa Indonesia
telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya, kalau mereka kesulitan menjelaskan atau
menerapkan kata-kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia, mereka akan mencari
jalan pintas dengan cara sederhana dan mudah, misalnya pengggunaan kata yang
mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan,
pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.
Hal-hal tersebut kalau tidak diperbaiki akan menghambat perkembangan
bahasa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, seharusnya bahasa
Indonesia itu dicintai dan dijaga. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan
dengan baik karena bahasa Indonesia itu merupakan salah satu identitas atau jati diri
bangsa Indonesia. Setiap orang Indonesia patutlah bersikap positif terhadap bahasa
Indonesia dan tidak menganggap remeh atau bersikap negatif. Setiap orang Indonesia
harus berusaha agar selalu cermat dan teratur menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai
warga negara Indonesia yang baik, seharusnya dikembangkan budaya malu apabila
tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Anggapan bahwa
penggunaan bahasa Indonesia yang dipenuhi oleh kata, istilah, dan ungkapan asing
merupakan bahasa Indonesia yang “canggih” adalah anggapan yang keliru. Begitu juga,
penggunaan kalimat yang berpanjang-panjang dan berbelit-belit, sudah tentu
memperlihatkan kekacauan cara berpikir orang yang menggunakan kalimat itu. Apabila
seseorang menggunakan bahasa dengan tidak teratur, maka hal tersebut juga
menggambarkan jalan pikiran yang tidak teratur pula. Sebaliknya, apabila seseorang
menggunakan bahasa dengan teratur, jelas, dan sistematis, maka cara berpikir orang
tersebut juga teratur dan jelas pula. Oleh sebab itu, sudah seharusnya setiap orang
Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang teratur, jelas, sistematis, dan benar agar
jalan pikiran orang Indonesia (sebagai pemilik bahasa Indonesia) juga teratur dan
mudah dipahami orang lain.

11
4. Pentingnya Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok tertentu yang
membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing maupun
bahasa daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok ini pulalah dapat
dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa asing ataupun bahasa daerah. Oleh
karena itu, ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok tersebut merupakan jati diri bahasa
Indonesia. Ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok yang dimaksud antara lain sebagai
berikut:
a. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis
kelamin. Apabila kita ingin menyatakan jenis kelamin, cukup diberikan kata
keterangan penunjuk jenis kelamin. Perhatikan contoh berikut.
- Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita.
- Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina.
Dalam bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa
Sanskerta, untuk menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk
kata.
Contoh:
Bahasa Inggris : lion – lioness, host – hostess, steward –stewardness.
Bahasa Arab : muslimin – muslimat, mukminin – mukminat, hadirin –
hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa – siswi, putera – puteri, dewa – dewi.
Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah
beberapa kata yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, sedangkan
perubahan bentuk dalam bahasa Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta pun dilakukan secara
leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian, dalam bahasa Arab, selain kata
muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain mukmin, diserap juga kata
mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna ‘datang’, bukan ‘orang yang
datang’), diserap juga kata hadirin dan hadirat. Dalam bahasa Sanskerta, selain dewa,
diserap juga dewi; selain siswa diserap juga siswi. Sistem perubahan bentuk dari kedua
bahasa tersebut tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, maka tidaklah mungkin kita
menyatakan kuda betina dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk

12
kata dombi atau dombarat. Untuk menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa
Indonesia, cukup dengan penambahan jantan atau betina, yaitu kuda jantan, kuda
betina, domba jantan, domba betina. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku dalam
bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga bahasa Inggris tidak bisa diterapkan ke
dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu struktur bahasa Indonesia akan
rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu.
b. Bahasa Indonesia menggunakan kata tertentu untuk menunjukkan jamak. Bahasa
Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jamak. Sistem ini
pulalah yang membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa asing lainnya, misalnya
bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain. Untuk
menyatakan jamak, antara lain mempergunakan kata segala, seluruh, para, semua,
sebagian, beberapa, dan kata bilangan dua, tiga, empat, dan seterusnya; misalnya
segala urusan, seluruh tenaga, para siswa, semua persoalan, sebagian pendapat,
beberapa anggota, dua teman, tiga pohon, empat mobil.
Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men
ketika menyatakan jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk bukus
(jamak dari kata buku), mahasiswas (jamak dari mahasiswa), dan penas (jamak dari
pena) tidak dikenal dalam bahasa Indonesia karena memang bukan kaidah bahasa
Indonesia.
c. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan waktu.
Kaidah pokok inilah yang juga membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa asing
lainnya. Dalam bahasa Inggris, misalnya kita temukan bentuk kata eat (untuk
menyatakan sekarang), eating (untuk menyatakan sedang), dan eaten (untuk
menyatakan waktu lampau). Bentuk kata tersebut tidak ditemukan dalam bahasa
Indonesia. Bentuk kata makan tidak pernah mengalami perubahan bentuk yang terkait
dengan waktu, misalnya menjadi makaning (untuk menyatakan waktu sedang) atau
makaned (untuk menyatakan waktu lampau). Untuk menyatakan waktu, cukup
ditambah kata-kaa aspek akan, sedang, telah, sudah atau kata keterangan waktu
kemarin, seminggu yang lalu, hari ini, tahun ini, besok, besok lusa, bulan depan, dan
sebagainya.
d. Susunan kelompok kata dalam bahasa Indonesia biasanya menggunakan hukum D-M
(hukum Diterangkan–Menerangkan). Kelompok kata dalam bahasa Indonesia, kata

13
yang diterangkan (D) di muka yang menerangkan (M). Kelompok kata rumah sakit, jam
tangan, mobil mewah, baju renang, kamar rias merupakan contoh hukum D-M ini.
Oleh karena itu, setiap kelompok kata yang diserap dari bahasa asing harus disesuaikan
dengan kaidah ini. Dengan demikian, bentuk-bentuk Garuda Hotel, Bali Plaza,
International Tailor, Marah Halim Cup, Jakarta Shopping Center yang tidak sesuai
dengan hukum D-M harus disesuaikan menjadi Hotel Garuda, Plaza Bali, Penjahit
Internasional, Piala Marah Halim, dan Pusat Perbelanjaan Jakarta. Saya yakin,
penyesuaian nama ini tidak akan menurunkan prestise atau derajat perusahaan atau
kegiatan tersebut. Sebaliknya, hal inilah yang disebut dengan penggunaan bahasa
Indonesia yang taat asas, baik dan benar.
e. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku, yaitu lafal yang tidak dipengaruhi oleh
lafal asing dan lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa Indonesia lisan dan
lewat lafalnya dapat diduga atau dapat diketahui dari suku mana ia berasal, maka lafal
orang itu bukanlah lafal bahasa Indonesia baku. Dengan kata lain, kata-kata bahasa
Indonesia harus bebas dari pengaruh lafal asing dan lafal daerah. Kesulitan yang dialami
oleh sebagian besar pemakai bahasa Indonesia adalah sampai saat ini belum disusun
kamus lafal bahasa Indonesia yang lengkap. Akibatnya, sampai sekarang belum ada
patokan yang jelas untuk pelafalan kata peka, teras, perang, sistem, elang. Akan tetapi,
pengucapan semangkin (untuk semakin), mengharapken (untuk mengharapkan), semua
(untuk semua), mengapa (untuk mengapa), thenthu (untuk tentu), therima kaseh (untuk
terima kasih), mBandung (untuk Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal
baku bahasa Indonesia.

5. Bahasa Indonesia sebagai Alat Komunikasi Keilmuan


Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan
oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak
terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai, bahkan tidak
cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh
asing ini sangat besar kemungkinannya terjadi pada era globalisasi. Batas antarnegara
yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu
canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk
jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang

14
kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yang berlaku dalam
bahasa Indonesia dengan memperhatikan situasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan
kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia
yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai
dengan situasi dan kondisinya.
Setiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya
adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama
pembinaan bahasa Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap
bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap
kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia. Sikap
kesetiaan berbahasa Indonesia terungkap jika bangsa Indonesia lebih suka memakai
bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar pengaruh asing tidak
terlalu berlebihan. Sikap kebanggaan berbahasa Indonesia terungkap melalui kesadaran
bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat
dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah
sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup
dan kaku. Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia
(sebagaimana aliran purisme) dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa
daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan
mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan
bahasa Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri
bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa asing
lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif
terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya
disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu
bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif pihak asing atas
kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan
antarbangsa dan era globalisasi ini.
Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta
kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga
negara Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan menggunakannya
dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa

15
nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang baik
mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan
terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan
tidak terpuji, maka akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang
terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan prinsip “asal orang
mengerti”. Hal tersebut memunculkan adanya pemakaian bahasa Indonesia sejenis
bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung
perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mereka tidak lagi
memedulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa Indonesia
mengenal ungkapan “Bahasa menunjukkan Bangsa” yang membawa pengertian bahwa
bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila
pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun
kurang berdisiplin dalam berpikir. Lebih lanjut dapat diduga bahwa sikap pemakai
bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal,
kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa
Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan, maka akan mengakibatkan
kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi,
kemajuan bangsa Indonesia pasti akan terhambat dan kalah bersaing dengan bangsa
lain.
Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat
mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk
itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang
diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa
bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana. Tata bahasanya mempunyai sistem
sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan inilah
salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia.
Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu
yang cukup singkat. Namun, kesederhanaan dan ketidakrumitan tersebut tidak
mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia
kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia

16
telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang
rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia
menjadi ciri budaya bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era
globalisasi ini. Saat ini bahasa Indonesia pun menjadi bahan pembelajaran di negara-
negara asing seperti Australia, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan
Korea Selatan.

B. RANGKUMAN
Tanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia terletak di
tangan pemilik bahasa Indonesia sendiri. Baik-buruknya, maju-mundurnya, dan teratur-
kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku
sebagai bangsa Indonesia. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan
serta membina dan mengembangkan bahasa Indonesia ke arah yang positif. Usaha-
usaha ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia yang saat
ini bersaing ketat dengan bahasa lain di berbagai sektor kehidupan. Maju bahasa,
majulah bangsa. Kacau bahasa, kacau pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari
setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab membina dan
mengembangkan bahasa Indonesia tumbuh dengan subur dalam sanubari setiap
pemakai bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah
besar dan mendalam. Sudah barang tentu, semua ini merupakan harapan bersama,
harapan setiap orang yang mengaku sebagai bangsa Indonesia.
Jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri bangsa Indonesia yang harus
dipertahankan. Pergaulan antarbangsa memerlukan alat komunikasi yang sederhana,
mudah dipahami, dan mampu menyampaikan pikiran yang lengkap. Oleh karena itu,
bahasa Indonesia harus terus dibina dan dikembangkan sehingga menjadi kebanggaan
bagi bangsa Indonesia dalam pergaulan antarbangsa. Apabila kebanggaan berbahasa
Indonesia dengan jati diri yang ada tidak tertanam dalam sanubari setiap warga negara
Indonesia, bahasa Indonesia akan mati dan ditinggalkan pemakainya karena adanya
kekacauan dalam pengungkapan pikiran. Akibatnya bangsa Indonesia akan kehilangan
salah satu jati dirinya. Kalau sudah demikian, bangsa Indonesia “akan ditelan” oleh
bangsa lain yang selalu melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan menggunakan
bahasa yang teratur dan berdisiplin tinggi. Untuk itu, hal tersebut harus dapat

17
dihindarkan pada era globalisasi ini. Apalagi, keadaan seperti ini bukan merupakan
keinginan dan cita-cita bangsa Indonesia.

C. LATIHAN
Saat ini, fenomena penggunaan bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan oleh
generasi muda dapat dijumpai di mana-mana. Bukan hanya para selebriti, bintang iklan,
atau tokoh-tokoh dalam sinetron yang berbahasa Indonesia dengan ragam tersebut,
tetapi juga generasi muda di hampir seluruh pelosok Indonesia.
(1) Tuliskan pendapat Anda mengenai latar belakang maraknya penggunaan ragam
bahasa Indonesia yang demikian (keinggris-inggrisan)!
(2) Tuliskan pendapat Anda mengenai cara mengurangi pengaruh bahasa Inggris dalam
penggunaan bahasa Indonesia yang menyebabkan kacaunya bahasa Indonesia kaum
muda tersebut!

D. GLOSARIUM
K
Kongres Pemuda: pertemuan para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia pada
tanggal 28 Oktober 1928 yang bertujuan mempersatukan para pemuda/ bangsa
Indonesia.
S
Sumpah Pemuda: sebutan ikrar para pemuda yang dicanangkan pada saat Kongres
Pemuda tanggal 28 Oktober yang salah satu butirnya adalah “Kami poetera-poeteri
Indonesia, mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia”.

E. INDEKS

bahasa, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18


baku, 14
Kongres Pemoeda, 2
linguistis, 2
nasionalisme, 2, 16
politis, 2
purisme), 15
Sanskerta, 12
Soempah Pemoeda, 2, 5

18
DAFTAR PUSTAKA
Christin, Donna. 1988, "Language planning the view from linguistics" dalam
Newmeyer, F. J. Ed. Linguistics the Cambridge Survey. Cambridge University
Press (193-109).

Crystal, David. 1997. The Cambridge Encyclopedia of Language. Second edition.

Fasold, Ralp. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.

__________. 1990 The Sociolinguistic of Language. Cambridge: Basil Blackwell.

Fishman, Joshua, A. 1975. Sociolinguistics. Rowbury House Publ.

Gumperz, John dan Gumperz Jennie Cook. 1985. Language and Social Identity.
Cambridge: Cambridge University Press.

Hassan, Abdullah. Ed. 1994. Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.

Makagiansar, M. 1990. "Dimensi dan Tantangan Pendidikan dalam Era Globalisasi"


dalam Mimbar Pendidikan. Th. IX/4. Bandung: University Press IKIP
Bandung.

Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif


di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

_________. 1991. "Aspek Pembakuan dalam Perencanaan Bahasa". Makalah Munas V


dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia Penyelenggara.

Muslich, Masnur dan Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Pembinaan dan


Pengembangannya. Banung: Jemmars.

Newmeyer, Frederick, J. 1988. Language: The Sociocultural Context. Cambridge:


Cambridge University Press.

Noss, Richard B. 1994. "The Unique Context of Language Planning in Southeast Asia."
Dalam Hassan, Abdullah. Ed. Language Planning in Southeast Asia. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hlm. 1-51.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

__________. 1991. “Pengaruh Arus Globalisasi terhadap Pembinaan Bahasa di


Indonesia". Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI: Padang: Panitia
Penyelenggara.

19
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1975. Seminar Politik Bahasa Nasional.
Jakarta: Pusat Bahasa

Rubin, Joan and Bjorn H. Jernudd (Eds.). 1971. Can Language Be Planned?
Sociolinguistic Theory and Practice for Developing Nations. Honolulu: The
University Press of Hawaii

Salim, Emil, 1990. "Pembekalan Kemampuan Intelektual untuk Menjinakkan


Gelombang Globalisasi" dalam Mimbar Pendidikan, Th. IX/4. Bandung:
University Press IKIP Bandung (8-15)

Verhaar, J. W. M. 1989. Identitas Manusia. Yogyakarta: Kanisius.

20

Anda mungkin juga menyukai