SESI MATERI
1. Pendahuluan
Berdasarkan data WHO 2021, secara global depresi merupakan gangguan psikiatri
yang banyak dialami dan menimbulkan disabilitas bagi orang yang mengalami. Sekitar 3,8%
dari populasi di dunia mengalami depresi, termasuk 5,0% diantaranya orang dewasa dan
5,7% lansia. Kurang lebih sekitar 280 juta orang di dunia mengalami depresi.
Di Indonesia, khususnya di RSCM ditemukan bahwa gangguan depresi termasuk 5
besar kasus terbanyak, sekitar 2000 kasus di poliklinik jiwa RSCM pada tahun 2018-2022 dan
165 kasus pasien dengan gangguan depresi yang cukup berat sehingga harus di rawat inap
RSCM pada tahun 2019-2022 seperti perilaku menyakiti diri sendiri yang tidak bisa dikontrol,
atau perilaku mengakhiri hidup.
Depresi merupakan gangguan mood atau suasana perasaan yang ditandai dengan
gejala utama berupa:
- Afek depresif
- Kehilangan minat maupun anhedonia. Awalnya senang beraktivitas dan
menekuni hobi, kemudian ketika mengalami depresi menjadi malas dan tidak
ingin melakukan hal-hal tersebut.
- Kehilangan energi yang ditandai dengan cepat lelah dan menurunnya aktivitas.
Contohnya dapat ditemukan pasien cepat lelah bahkan ketika belum
melakukan aktivitas apapun.
Selain itu terdapat gejala tambahan lain, seperti :
- Konsentrasi atau perhatian yang berkurang.
- Harga diri maupun kepercayaan diri yang berkurang
- Rasa bersalah atau rasa tidak berguna
- Memiliki pandangan tentang masa depan yang suram serta pesimistis.
Contohnya pasien yang sedang sakit kronis merasa tidak ada harapan untuk
membaik.
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.
Kemudian secara klinis, depresi dapat dibedakan menjadi depresi ringan, sedang,
berat dan bisa bisa dikategorikan menjadi depresi dengan gangguan psikotik.
Psikoterapi
Gangguan psikiatri terdiri atas aspek organo-biologik, psiko-edukatif, serta sosio-
kultural-spiritual, sehingga penatalaksanaannya melibatkan terapi biologik/farmakologi dan
juga intervensi psikososial termasuk psikoterapi. Psikoterapi merupakan senjata utama bagi
psikiater untuk mengidentifikasi dan memahami kebutuhan pasien, sehingga dapat
menentukan pertolongan psikologis yang paling sesuai bagi pasien, dan dapat mendukung
keberlanjutan terapi. Selain itu psikoterapi sering disebut “treatment for the mind”. Dalam
praktiknya, psikoterapi dilakukan dengan percakapan dan observasi Percakapan psikoterapi
antara dokter dan pasien dapat mengubah pandangan, keyakinan serta perilaku pasien.
Pasien belajar mengenal diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain melalui interaksinya
dengan terapis. Diharapkan dengan keberhasilan psikoterapi, pasien dapat meningkatkan
fungsi dan kualitas hidupnya. Tentunya proses membantu pasien melalui psikoterapi
memerlukan waktu yang tidak sebentar, teknik yang spesifik, dan jumlah sesi yang banyak,
sehingga pelaksanaannya dalam praktik sehari-hari menjadi tantangan tersendiri. Menjamin
keberlangsungan terapi bagi pasien dengan memberikan psikoterapi yang baik dan tepat,
merupakan hal yang wajib dilakukan oleh psikiater dan dokter umum. Manfaat dari psikoterapi
pada orang dengan depresi sudah terbukti secara empiris, pada suatu RCT (Randomized
Clinical Trial) ditemukan pemberian psikoterapi supportif selama 32 sesi menghasilkan luaran
penurunan gejala dan perbaikan kualitas hidup pasien.
Dapat dilihat bahwa fokus dari psikoterapi suportif ada tigas yaitu self-esteem, fungsi
ego, dan cara beradaptasi.
- Self-esteem menyangkut penilaian pasien terhadap dirinya tentang apakah dirinya
efektif, cukup percaya diri, dan memiliki harapan. Sudah dibahas dalam sesi seminar
bagaimana seseorang menilai dirinya seberapa berharga.
- Fungsi ego merupakan fungsi psikologik yaitu fungsi relasi terhadap realitas, berpikir,
mekanisme defensi / adaptasi, regulasi afek (mengatur/mengelola perasaan), serta
fungsi sintesis.
- Keterampilan adaptasi merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk berfungsi
secara baik dalam lingkungan kehidupannya termasuk ketika menghadapi masalah di
lingkungannya.
Teknik yang bisa dilakukan adalah untuk mengembangkan aliansi terapi, maka terapis
perlu :
- Menunjukkan ketertarikan,
- Menunjukkan empati,
- Menunjukkan pengertian,
- Mendukung pasien untuk berkomentar lebih jauh,
- Selalu membangun gaya percakapan yang giliran pasien, sehingga terapi selalu
memfasilitasi pasien untuk menarasikan ceritanya, bukan mengobrol secara
bergantian.
- Jika sudah berhasil membangun aliansi terapi, bisa jadi aliansi terapi yang timbul
kurang baik atau disebut ruptura karena menjauh yang perlu diperbaiki oleh terapis.
P: Saya bingung dengan perasaan saya ketika ayah saya meninggal. Saya tidak menangis
sama sekali. (Terdapat perasaan cemas dan rasa bersalah)
T: Apakah Anda merasa sedih ketika ayah Anda meninggal? Beberapa orang tidak
terlalu merasakannya... dan hal itu tidak apa-apa. (ungkapan verbal padding)
Namun, beberapa orang tidak merasakan apa- apa karena mengubur perasaannya
dalam-dalam, dan hal itu dapat menjadi suatu masalah. (terapis mencoba mengeksplor
lebih jauh)
● Menamakan Masalah
Menamakan masalah penting untuk meredakan kecemasan membuat pasien lebih
memahami kondisi yang dialaminya.
P: Saya memang payah. Saya mengundang banyak orang untuk makan malam, tapi saya
tidak mempersiapkan dengan baik, saya tidak memperhitungkan ada tamu yang tidak makan
daging, nasi pun belum matang benar. Bagaimana saya bisa memberi contoh yang baik ke
anak perempuan saya?
T: Tampaknya Anda mengalami kesulitan untuk mengatur sesuatu. (terapis melakukan
dekatastrofisasi yaitu mereduksi apa yang tampak seperti masalah multipel/banyak,
menjadi satu masalah yang memiliki nama)
Sesungguhnya Anda telah mengalami perbaikan dengan mengungkapkan masalah ini
lebih jelas kepada saya… Mari kita diskusikan lebih spesifik tentang yang dapat Anda
lakukan secara berbeda… (terapis mendorong pasien untuk berkomentar lebih jauh)
● Reframing
P: Pada awalnya presentasi saya berjalan lancar, hingga saya mulai cemas dan saya sadar
bahwa saya kembali bicara tanpa arah. Saya sering sekali mengalami hal ini. Rasanya seperti
tidak punya kendali. (pasien menyampaikan kalimat negatif bahwa dirinya gagal)
T: Bila dibandingkan dengan dulu, Anda tidak tahu Anda melakukan hal tersebut, dan
baru menyadarinya setelah beberapa lama. (terapis melakukan reframe) Saat ini Anda
sadar ketika hal itu terjadi... Itu suatu kemajuan. (terapis memberikan pujian)
Pada contoh kasus di atas, terapis melakukan reframe kemudian memperlihatkan
perkembangannya dan memberikan pujian.
● Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah mengajak pasien untuk berpikir secara rasional sehingga bisa
meredakan kecemasannya.
P: Anak saya jarang datang. Mereka selalu sibuk sendiri. (Seorang ibu yang merasa bahwa
anaknya sibuk sendiri)
T: Ya... Banyak anak muda zaman sekarang bekerja sampai larut malam dan sangat
sibuk dalam pekerjaannya… (terapis melakukan rasionalisasi) Namun, tampaknya
Anda berhasil mengurus semuanya tanpa bantuan anak-anak… (terapis memberikan
dukungan dan apresiasi berupa pujian bahwa pasien mampu mengurus semuanya
sendiri)
3. Relasi Teurapeutik
Relasi teurapeutik dalam psikoterapi merupakan hal yang sangat penting. Hal yang
perlu diperhatikan antara lain :
- Terapis perlu bersikap hangat, empatik, memberikan penentraman
- Menciptakan suasana terapeutik yang mengayomi (holding environment).
Pada situasi ini terapis hadir dan mendengarkan secara aktif sehingga pasien
dapat merasakan kehadiran terapis, serta merasa didengarkan dan dianggap.
Jangan sampai pasien bercerita namun terapis memberikan komentar yang
tidak menentramkan.
- Menciptakan aliansi terapeutik atau hubungan dokter pasien yang berdampak
teurapeutik terhadap pasien, sehingga pasien bisa lebih memahami dirinya
dan mendapatkan manfaat.
Kemudian terdapat hal-hal yang penting dalam proses terapi :
- Transferensi, dimana pasien menganggap atau mempersepsi terapis sebagai
sosok yang bermakna dalam hidupnya. Contohnya terapis dipersepsi sebagai
ibunya, sehingga pasien ingin bermanja-manja atau ibunya dianggap sebagai
tokoh yang buruk, sehingga pasien marah-marah. Hal ini dapat mengganggu
aliansi teurapeutik.
- Kontratransferensi, perasaan dari diri terapis yang muncul terhadap pasiennya,
sehingga terapis bisa memiliki rasa terlalu ingin menolong, marah atau bosan.
Hal ini perlu diamati oleh terapis sehingga proses terapi tetap dapat
berlangsung dengan baik.
- Resistensi, sebenarnya pasien datang ingin menolong. Namun pasien
melakukan resistensi seperti enggan untuk menceritakan masalahnya atau
enggan untuk berubah. Pasien juga berharap bahwa terapis bisa langsung
mengobati dirinya, tanpa harus tanya-tanya, namun tentu saja hal ini tidak
mungkin. Resistensi dari pasien ini dapat menyebabkan resistensi dari terapi
sehingga perlu diperhatikan.
- Misalliance. Aliansi terapi antara dokter dan pasien bisa dibangun menjadi dekat ,
namun juga bisa menjauh atau ruptura (misaaliance). Jika terjadi ruptura diskusikan
dengan pasien apakah respon terapis tidak sesuai harapan pasien dan bagaimana
harapan pasien, sehingga aliansi terapi bisa dibangun kembali.
4. Psikoterapi Suportif pada kasus Depresi
Tujuan psikoterapi suportif adalah meningkatkan fungsi kehidupan pasien,
membantu pasien menentukan suatu keputusan dan memunculkan harapan akan adanya
penyembuhan.
Strategi Terapi
- Mengenali distres yang dialami pasien ketika melakukan aliansi terapi
- Meningkatkan keterampilan kognitif dan interpersonal
- Meningkatkan self image
- Mengatasi penurunan self esteem yang muncul terkait kondisi penyakit kronis
- Meningkatkan kepatuhan berobat dan membantu pasien menoleransi efek samping
obat
- Edukasi pasien dan keluarga tentang aspek biologi dan perjalanan penyakit
- Menawarkan dukungan untuk mengatasi situasi krisis
- Membantu pasien menghilangkan ide/pikiran bunuh diri
SESI MINI-LOKAKARYA
Ilustrasi Kasus
● Ny. A/ Tn. A, usia 30 tahun datang ke poli psikiatri dengan keluhan sedih terus
menerus sejak 1 bulan terakhir.
● Pasien mengatakan bahwa ia telah kehilangan sahabatnya yang meninggal karena
COVID-19 ketika 1 bulan lalu. Rasa sedih tersebut membuat pasien kehilangan minat
dalam aktivitas sehari-hari sehingga pekerjaannya sebagai humas perusahaan
menjadi terbengkalai. Pasien juga kehilangan nafsu makan hingga beratnya turun
sekitar 5 kg, serta sulit tidur ketika malam hari.
● Pasien ada perasaan bersalah terkait meninggalnya sahabatnya tersebut.
● Sejak pasien menikah 1 tahun lalu, komunikasi pasien dengan sahabatnya tersebut
menjadi terputus karena ia sibuk dengan keluarga baru dan pekerjaannya. Pasien juga
baru mengetahui bahwa sahabatnya sakit dan sempat berusaha menghubunginya,
namun ternyata kondisi sahabatnya sudah memburuk hingga akhirnya meninggal
dunia.
● Pasien merasa ia telah menerima kepergian sahabatnya tersebut, dan bahwa
sahabatnya yang tadinya telah menderita karena sakitnya tersebut sudah damai saat
ini, namun ia cenderung menyalahkan dirinya bahwa seharusnya ia bisa terus
menjaga komunikasi dengan sahabatnya tersebut serta ia harusnya lebih perhatian
terhadap kondisi sahabatnya.
● Pasien telah bersahabat dengan temannya tersebut sejak TK, dan terus bersama
hingga selesai kuliah di universitas yang sama. Hubungan Ny. A/Tn. A dan sahabatnya
sangat dekat.
● Pasien ingin menghubungi keluarga dari sahabatnya tersebut untuk menyampaikan
bela sungkawa, namun ia merasa takut bahwa keluarga sahabatnya akan bersikap
tidak baik pada pasien karena sudah lama tidak menjalin komunikasi dengan sahabat
dan keluarganya.
● Perasaan bersalah pasien juga membuat dirinya tidak nyaman apabila menghubungi
pihak keluarga sahabatnya. Pasien juga merasa mungkin akan percuma baru menjalin
silaturahmi saat ini ketika sahabatnya sudah tidak ada.
● Untuk mengurangi rasa sedihnya, pasien mencoba untuk bercerita pada
suami/istrinya. Ia merasa suami/istrinya dapat memberikan ketenangan bagi dirinya.
Selain itu, pasien juga mencoba untuk berdoa kepada tuhan agar sahabatny diberikan
tempat yang terbaik di sisi- Nya.
● Diagnosa pasien : depresi sedang
SESI DISKUSI
Pemberian nasehat tidak boleh terlihat menggurui salah satu caranya dengan
memberikan nasehat menggunakan materi atau perkataan yang disampaikan
pasien. Jika ide atau perkataan berasal dari kita bisa jadi tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien.
Contohnya pada diskusi kasus sebelumnya, pasien ingin mendatangi keluarga
sahabatnya namun merasa takut. Kita bisa memberikan nasehat karena kita tahu
bahwa pasien mau mendatangi keluarganya “Anda mengatakan bahwa rasa bersalah
itu bisa terobati jika bertemu dengan keluarganya, Silahkan Anda datang”
Contoh lain, ketika pasien sedang menangis dan mengatakan “Saya merasa
bersalah terhadap sahabat Saya, Apakah saya nanti akan dimarahi oleh
keluarganya?” kemudian terapis malah memberikan nasehat “Anda kan bisa meminta
maaf kepada keluarganya” sehingga terkesan menggurui.
- Oleh karena itu diharapkan terapis mendengarkan pasien dan membina aliansi terapi
terlebih dahulu. Kemudian setelah pemahaman akan kondisi pasien sudah terbentuk,
terapis dapat memberikan nasehat sesuai kebutuhan pasien. Selain itu perlu
diperhatikan, bahwa saran atau nasehat dapat dilakukan dan tidak memberatkan
pasien. Jika terlalu susah maka pasien akan merasa tidak berdaya. Kemudian dalam
pemberian nasehat harus ada evidence atau buktinya, seperti saran untuk
berolahraga yang terbukti dapat mengurangi depresi dan menurunkan dosis obat.
Selain itu sebagai terapis perlu mengetahui resource dari pasien (kondisi keluarga,
lingkungan), sehingga saran yang diberikan mungkin dilakukan.
2. Dalam berinteraksi dengan pasien seringkali lancar dan dinamis, sehingga tidak
bisa menerapkan teknik yang baku. Bagaimana dapat mengevaluasi efek dari
psikoterapi yang diberikan kepada pasien?
Aliansi terapi merupakan hal pertama yang harus dibina, dengarkan dan
pahami pasien. Semakin kita mendengarkan kita mengetahui materi mana yang harus
didukung agar perilaku adaptasi semakin baik atau justru pasien mengulang hal yang
sama, dimana terdapat gap, antara yang dilakukan dan dikatakan berbeda, Ketika
relasi terapi sudah terbina dengan baik, dan pasien sudah percaya dengan kita, maka
sebenarnya tidak apa-apa dilakukan konfrontasi. Orang itu berkembang bukan karena
selalu dikatakan hal-hal baik saja, justru pasien harus diberi tahu keterbatasannya.
Pasien berkembang karena diberikan pemahaman oleh dokter yang terpercaya dalam
situasi yang aman dan merasa tidak disalahkan/dihakimi. Terapis harus
mengekspresikan dengan jelas gap yang ada. Contohnya, “Anda tadi mengatakan
bahwa Anda memiliki perasaan bersalah, Anda ingin menjelaskan kepada keluarga
Anda, Namun Anda masih menunda untuk datang ke sana. Jika demikian kira-kira apa
mungkin bisa terselesaikan perasaan bersalah Anda dan masalahnya ?” Hal ini bisa
dilakukan ketika pasien sudah aman bercerita dan kita sebagai terapis sudah paham
tentang hal tersebut.
Ketika sudah menjalani aliansi terapi dengan baik dan sudah mengeksplorasi
pasien. Mungkin kita bisa melihat bahwa pasien tampak sudah ada insight tentang
kondisinya. Apa yang sedang terjadi pada dirinya, mengapa dirinya bisa seperti ini.
Hal ini bisa menjadi clue bahwa pasien dapat dilakukan pendekatan yang lebih invasif
(klarifikasi, konfrontasi, atau interpretasi). Dengan melakukan hal tersebut mungkin
bisa muncul situasi pasien “Oh iya, padahal Saya rasanya sudah menerima, tapi
ternyata perasaan bersalah ini bagian dari Saya belum menerima”
Pada praktiknya ketika mencoba melakukan konfrontasi, walaupun aliansi
terapi sudah terbina dengan baik, namun kadang-kadang ada respon yang tidak
nyaman dalam sesi, seperti pasien merasa kesal “terapis kok tidak menvalidasi Saya”.
Tetapi memang tetap harus disampaikan agar terapi berjalan maju. Pada beberapa
pasien, mereka setelah pulang dari sesi memikirkan kembali, dan pada pertemuan
berikutnya menyatakan “setelah dipikirkan kembali memang benar apa yang
disampaikan oleh terapis” Sehingga tidak apa-apa jika kita tetap mencoba melakukan
konfrontasi.