Anda di halaman 1dari 78

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/347517655

Pemberdayaan Keluarga Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa

Book · December 2020

CITATIONS READS

0 2,298

4 authors, including:

Wardiyah Daulay Nurmaini Nurmaini


University of Sumatera Utara University of Sumatera Utara
41 PUBLICATIONS   10 CITATIONS    24 PUBLICATIONS   35 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Elmeida Effendy
Universitas Sumatera Utara, Medan , Indonesia
114 PUBLICATIONS   156 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pemberdayaan Keluarga untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa View project

All content following this page was uploaded by Wardiyah Daulay on 31 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMBERDAYAAN KELUARGA
PADA ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA

Prof. Drs. Heru Santosa, MS., Ph.D


Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D
Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked, Sp.KJ (K)
Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep.

2020
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Universitas Sumatera Utara, Jl. Pancasila, Padang Bulan,
Kec. Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara 20155

Telp. 0811-6263-737

usupress.usu.ac.id

© USU Press 2020

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak


menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa
atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 978-602-465-279-1

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pemberdayaan Keluarga pada Orang dengan Gangguan Jiwa/Heru


Santosa [et.al.] -- Medan: USU Press 2020.

v, 71 p.; ilus.: 25 cm

Bibliografi
ISBN: 978-602-465-279-1

Dicetak di Medan
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan


karuniaNya sehingga buku dengan judul “Pemberdayaan
Keluarga pada Orang Dengan Gangguan Jiwa” ini dapat
diselesaikan. Buku ini merupakan luaran penelitian yang didanai
oleh Non PNBP USU Tahun Anggaran 2020.

Dalam penyusunan buku ini, tim pelaksana banyak mendapat


bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang
setulusnya kepada yang terhormat Rektor Universitas Sumatera
Utara, Ketua Lembaga Penelitian, keluarga yang telah menjadi
partisipan dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang telah membantu dalam penyelesaian buku ini.
Akhir kata kami mengharapkan semoga buku ini dapat
bermanfaat.

Medan, September 2020

iii
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar ......................................................... iii
Daftar isi .................................................................. iv

Bab 1 Pendahuluan ..................................................... 1

Bab 2 Konsep Pemberdayaan ....................................... 5


2.1. Definisi Pemberdayaan ................................ 5
2.2. Domain Pemberdayaan ............................... 6
2.3. Tahap Pemberdayaan ................................. 8
2.4. Dimensi Pemberdayaan ............................... 9
2.5. Model Pemberdayaan ................................ 10
2.6. Tujuan Pemberdayaan .............................. 11
2.7. Proses Pemberdayaan ............................... 13
2.8. Metode Pemberdayaan .............................. 15
2.9. Hasil Pemberdayaan ................................. 17

Bab 3 Konsep Keluarga ............................................. 20


3.1. Pengertian Keluarga ................................. 20
3.2. Bentuk Keluarga ...................................... 21
3.3. Peranan dalam Keluarga ........................... 23
3.4. Fungsi Keluarga ....................................... 24
3.5. Karakteristik Keluarga............................... 25
3.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keluarga 26

Bab 4 Konsep Pemberdayaan Keluarga ........................ 27


4.1. Defenisi Pemberdayaan Keluarga ............... 27
4.2. Tujuan Pemberdayaan Keluarga ................. 28
4.3. Prinsip Pemberdayaan Keluarga ................. 29
4.4. Model Pemberdayaan Keluarga .................. 31
4.5. Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga ...... 32

iv
Bab 5 Konsep Gangguan Jiwa .................................... 35
5.1. Defenisi Gangguan Jiwa ............................ 35
5.2. Penyebab Gangguan Jiwa .......................... 35
5.3. Jenis-jenis Gangguan Jiwa ......................... 38
5.4. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa ............... 41
5.5. Jenis-jenis Terapi Gangguan Jiwa ............... 44
5.6. Macam-macam Program Pengobatan pada
Pasien Gangguan Jiwa .............................. 49

Bab 6 Fungsi, Dukungan dan Pemberdayaan Keluarga


Pada Orang dengan Gangguan Jiwa ................... 51
6.1. Fungsi Keluarga ....................................... 51
6.2. Dukungan Keluarga .................................. 53
6.3. Pemberdayaan Keluarga sebagai Intervensi
Keperawatan ........................................... 60

Daftar Pustaka ......................................................... 69

v
vi
BAB 1
PENDAHULUAN

Kesehatan jiwa telah menjadi bagian dari masalah


kesehatan masyarakat di Indonesia. Dengan berbagai
masalah yang terus dihadapi masyarakat seperti masalah
ekonomi, bencana alam, dan wabah penyakit merupakan
faktor pencetus terjadinya masalah kesehatan jiwa
masyarakat. Masalah kesehatan jiwa di masyarakat
dampaknya sangat luas dan kompleks. Meskipun secara
tidak langsung menyebabkan kematian, namun akan
mengakibatkan si penderita gangguan jiwa menjadi tidak
produktif, menimbulkan beban bagi keluarga dan
lingkungan masyarakat di sekitarnya (Ririn, 2013).
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual
dan social sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya. Sedangkan Orang Dengan
Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah
orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk
sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (UU
Kesehatan Jiwa No.18 Tahun 2014)
Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh
Kementrian Republik Indonesia menyimpulkan bahwa
prevalensi rumah tangga ODGJ (skizofrenia atau psikosis)
pada provinsi Sumatera Utara mengalami kenaikan dari
0,09% pada tahun 2013 menjadi 0,6% pada tahun 2018,
sedangkan prevalensi gangguan mental emosional pada

1
penduduk usia 15 tahun ke atas didapatkan hasil tertinggi
pada provinsi Sulawesi Tengah (19,8%) dan yang terendah
Jambi (3,6%) provinsi Sumatera Utara menempati urutan
kesepuluh (12%) dari seluruh provinsi di Indonesia (Riset
Kesehatan Dasar, 2018).
Angka prevalensi ini akan terus mengalami kenaikan
dari tahun ke tahun apabila tidak dilakukan upaya
penanganan kesehatan jiwa yang komprehensif. Upaya
kesehatan jiwa adalah suatu kegiatan untuk mewujudkan
derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu,
keluarga dan masyarakat dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative yang diselenggarakan
secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Keberhasilan pelayanan kesehatan jiwa dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain adanya stigma gangguan
jiwa, terbatasnya informasi mengenai gangguan jiwa dan
kurangnya akses ke pelayanan kesehatan (Mohr, 2006).
Paradigma pelayanan kesehatan jiwa mengalami
perubahan dari kesehatan jiwa berbasis rujukan menjadi
kesehatan jiwa berbasis komunitas di layanan primer.
Pelayanan kesehatan berbasis komunitas bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat,
mempertahankan kesehatan jiwa individu, mencegah
munculnya gangguan kesehatan pada kelompok berisiko
dan meningkatkan kualitas hidup penderita gangguan jiwa
sehingga menjadi mandiri dan produktif.
Piramida pelayanan kesehatan jiwa yang ditetapkan
oleh Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan menjabarkan
bahwa pelayanan kesehatan jiwa berkesinambungan dari
komunitas ke rumah sakit dan sebaliknya pelayanan dari
rumah sakit ke komunitas. Dalam hal ini komunitas yang
dimaksud adalah lingkungan keluarga. Keluarga terutama
orangtua adalah orang terdekat yang diharapkan dapat
merawat ODGJ. Perawatan berfokus keluarga merupakan
konsep utama dalam penanganan ODGJ, karena pada

2
dasarnya ODGJ tidak mungkin lepas dari keluarga.
Menempatkan keluarga sebagai mitra dapat meningkatkan
kualitas hidup dalam memenuhi kebutuhan, menyelesaikan
masalah dan menggunakan sumber-sumber yang tepat
dalam memenuhi kebutuhan kesehatan (Gibson, 1991).
Resendez, Quist, dan Matshaji (2000) menjelaskan
bahwa dengan memberdayakan keluarga, keluarga lebih
kompeten, lebih tahu, lebih percaya diri serta dapat
berperan sebagai pelindung untuk anggota keluarga yang
mengalami sakit, dapat meningkatkan kepuasan keluarga
terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. Man dan
Bard (2003) melakukan studi tentang pemberdayaan
keluarga namun berfokus pada pengembangan kuesioner
pemberdayaan keluarga. Pada studi tersebut ada empat
dimensi yang dilihat dari kemampuan keluarga dalam
membantu anggota keluarga. Dimensi tersebut adalah
dimensi pengetahuan, keterampilan, dukungan dan
aspirasi. Dimensi pengetahuan mengeksplorasi tentang
informasi pelayanan rehabilitasi, akses, tenaga professional
dan non professional, serta kemungkinan kontribusi
anggota keluarga dalam rehabilitasi. Untuk dimensi
keterampilan berisi bagaimana keluarga mengatur dan
menangani anggota keluarga yang sakit termasuk
keuangan. Dimensi dukungan memuat tentang perasaan,
kekuatan mental keluarga, keyakinan dan solusi saat
mengahadapi masalah. Dimensi yang terakhir aspirasi
berisi tentang kesulitan emosi, kemampuan koping dan
bagaimana mengontrol emosi.
Saat ini, studi tentang pemberdayaan keluarga
dalam merawat ODGJ sangat terbatas. Studi yang
ditemukan lebih mengeksplorasi pemberdayaan keluarga
dalam merawat anggota keluarga yang sakit secara fisik.
Nurhaeni (2014) melakukan studi tentang pemberdayaan
keluarga pada anak yang menderita Pneumonia ditemukan
bahwa motivasi, caring dan dukungan sosial membentuk

3
efikasi diri keluarga yang mempengaruhi pemberdayaan
keluarga baik secara langsung maupun melalui efikasi diri.
Pendekatan pemberdayaan pada pelayanan
kesehatan digunakan dengan beberapa asumsi yaitu
pendekatan pemberdayaan akan berdampak baik pada
pasien karena status kesehatan lebih terkontrol dan pasien
mampu memutuskan pilihan terbaik untuk mengatasi atau
meningkatkan status kesehatannya dengan dukungan dari
tenaga kesehatan.
Model pemberdayaan keluarga adalah kerangka
konseptual yang digunakan dalam memampukan dan
memberdayakan keluarga untuk mengambil keputusan
dalam mengontrol hidup keluarga (Rodwel, 1999).
Komponen-komponen model ini dalam prosesnya
mencakup tingkat kesadaran, pencarian dukungan, adanya
partisipasi, kolaborasi (Dixon, 1996; Hulme, 1999) serta
komponen pengetahuan dan keterampilan (Falk-Rafael,
2001).
Hidup dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa merupakan masalah bagi keluarga.
Ketakutan akan gejala berulang menyebabkan keluarga
merasa tidak nyaman jika ODGJ di rumah. Hal ini sesuai
dengan studi yang menyatakan ada hubungan erat antara
perilaku kekerasan yang dialami oleh ODGJ dengan
ketakutan keluarga. Stigmatisasi gangguan kesehatan jiwa
menciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje & Pryor, 2011).

4
BAB 2
KONSEP PEMBERDAYAAN

2.1. Definisi Pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata


power (kekuasaan atau keberdayaan), karena ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai
kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan
kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa
yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat
mereka. Kekuatan (power) adalah suatu konsep yang dekat
hubungannya dengan konsep pemberdayaan
(empowerment) (Rao, 2012). Power merujuk pada
kemampuan melatih diri untuk mempengaruhi dan
memotivasi melalui tindakan yang bertujuan untuk
mencapai tujuan utama yang diinginkan. Struktur power
dalam masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan
dalam organisasi yang dipertahankan oleh individu yang
memiliki peran dengan kekuatan penuh (powerfull) juga
individu yang memenuhi konstruk yang ada. Pemberdayaan
individu dalam konstruksi ini memerlukan mobilisasi
kekuatan (power) (Rao, 2012)
Dalam istilah yang sederhana pemberdayaan dapat
diartikan juga sebagai suatu proses memampukan orang
lain melalui proses transfer dari satu individu kepada
individu atau kelompok lain yang termasuk didalamnya
adalah transfer kekuatan/power, otoritas, pilihan dan
perijinan sehingga mampu menentukan pilihan dan
membuat keputusan dalam mengontrol hidupnya (Rodwell,
1996). Atribut pemberdayaan termasuk proses menolong
orang lain, adanya kerjasama, saling menghargai antara
satu dengan yang lain, pengambilan keputusan

5
menggunakan otoritas, adanya kesempatan, sumber yang
ada, dan adanya kebebasan untuk membuat keputusan dan
menerima tanggungjawab dijelaskan Rodwell (1996).
Atribut pemberdayaan menurut Byrt dan Dooher (2002)
termasuk didalamnya adalah aspek partisipasi, pelibatan
pengguna atau pemberi asuhan dalam tanggungjawabnya
dan atau dalam pengambilan keputusan, dan yang paling
penting adalah bagaimana seseorang berkontribusi
terhadap hasil yang diinginkan. Oleh karena itu,
pemberdayaan memerlukan saling ketergantungan antara
individu dan masyarakat dimana individu tersebut tinggal
(Byrt & Dooher, 2006) dan kontrol (Suharto, 2005).

2.2. Domain Pemberdayaan

Laverack (2006), menyatakan ada 9 domain dalam


pemberdayaan, yakni
1. Partisipasi
Hanya dengan berpartisipasi dalam kelompok kecil atau
organisasi yang lebih besar anggota masyarakat dapat
bertindak atas isu isu yang menjadi perhatian umum
kepada masyarakat luas.
2. Kepemimpinan Lokal
Partisipasi dan kepemimpinan berhubungan erat.
Kepemimpinan membutuhkan partisipasi, demikian
juga partisipasi memerlukan kepemimpinan yang kuat.
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi dalam suatu masyarakat mewakili
cara cara dimana orang-orang datang bersama-sama
dalam rangka untuk bersosialisasi dan untuk
menangani keprihatinan dan masalah mereka.

6
4. Penilaian masalah
Pemberdayaan dimulai dengan identifikasi masalah,
pemecahan masalah dan tindakan untuk
menyelesaikan masalah.
5. Mobilisasi Sumber Daya
Kemampuan masyarakat untuk memobilisasi sumber
daya baik dari dalam dan kemampuan untuk
bernegosiasi sumber daya dari luar itu sendiri
merupakan factor penting pada kemampuannya untuk
mencapai sukses.
6. ‘Bertanya mengapa’
Kemampuan masyarakat untuk membahas secara kritis
factor-faktor social, politik, ekonomi dan factor lain
yang menjadi penyebab kesenjangan sendiri.
7. Jaringan dengan Pihak Lain
Hubungan dengan orang-orang dan organisasi,
termasuk kemitraan, koalisi dan aliansi sukarela antara
masyarakat dan lain-lain, dapat membantu masyarakat
dalam menangani isu-isunya.
8. Peran agen dari luar
Agen dari luar memungkinkan masyarakat tumbuh
kemampuannya untuk memecahkan problematika
masyarakat.
9. Manajemen Program
Pengelolaan program yang memberdayakan
masyarakat termasuk kontrol oleh para pemangku
kepentingan atas keputusan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, keuangan, pelaporan dan
resolusi konflik.

7
2.3. Tahap Pemberdayaan

Kegiatan pemberdayaan merupakan intervensi yang


sistematik dan terukur, berkelanjutan merujuk pada
kemampuan masyarakat untuk mengambil alih program
yang ada dengan sumber daya sendiri dan berlangsung
secara terus menerus (Nadimin, 2007). Kegiatan
pemberdayaan yang baik dilakukan melalui tiga tahap,
yaitu:
1. Tahap awal (membuat kesepakatan antara petugas
kesehatan dengan penderita tentang fokus, waktu, dan
cara melakukan pemberdayaan),
2. Tahap pelaksanaan (mengumpulkan data melalui
observasi, wawancara, pencatatan)
3. Tahap pasca pemberdayaan (melakukan refleksi,
konfirmasi temuan pemberi pemberdayaan, diskusi
untuk melakukan perbaikan, dan membuat
kesepakatan baru untuk pemberdayaan berikutnya).
Semua tahapan dilakukan dengan prinsip:
kepercayaan, kesejawatan, keterbukaan, terarah, dan
antusias.
Pemberdayaan pasien dalam layanan kesehatan
berarti meningkatkan kapasitas manajemen diri mandiri
(pengaturan diri secara otonom) sehingga potensi individu
akan kesehatan dan kesejahteraan dimaksimalkan.
Pemberdayaan pasien ini diawali dengan informasi dan
pendidikan termasuk mencari tahu informasi tentang sakit
atau kondisi seseorang dan secara aktif berpartisipasi
dalam keputusan terapi.
Kunci utama pemberdayaan adalah pengetahuan,
keterampilan perilaku dan tanggung-jawab personal. Untuk
itu dibutuhkan peningkatan kemitraan antara pasien dan
tenaga kesehatan. Menemukan apa yang bermasalah bagi
pasien, menggunakan teknologi informasi untuk
menyebarkan pengetahuan, menentukan standar untuk

8
manajemen penyakit serta mempromosikan hasil penelitian
klinis dimungkinkan.
Pemberdayaan sebagai proses sosial dalam
mengenali, meningkatkan dan memampukan kapasitas
seseorang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri,
menyelesaikan masalah mereka dan memobilisasikan
sumber sumber yang ada untuk dapat mengontrol
kehidupan mereka. Dengan kata lain, pemberdayaan
pasien adalah sebuah proses menolong orang lain untuk
memastikan terkendalinya faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan mereka.
Persepsi keperawatan tentang pemberdayaan adalah
suatu proses pertumbuhan internal yang aktif bersumber
dari kepercayaan personal / kultural, dalam mencapai
aktualisasi dari kemampuan seseorang dan terjadi melalui
hubungan asuhan antara perawat dan klien (Falk-Rafael,
2002). Perawat mengidentifikasi partisipasi aktif klien,
meningkatkan kesadarannya, meningkatkan pengetahuan
dan keterampilannya. Pemberdayaan ini akan memberikan
hasil positif yang mempengaruhi orang lain.

2.4. Dimensi Pemberdayaan

Ada 2 (dua) dimensi dalam proses pemberdayaan


pasien yaitu dimensi inter-personal dan intra-personal;
sedangkan sebagai sebuah hasil, pemberdayaan dapat
dilihat dari sudut pandang interaksi pemberi layanan
kesehatan dengan pasien atau dari sudut pandang pasien
sendiri atau bahkan dari gabungan kedua sudut pandang
tersebut. Dilihat dari sudut pandang interaksi pemberi
layanan kesehatan dan pasien; pemberdayaan dianggap
sebagai suatu proses komunikasi dan edukasi dimana
pengetahuan, nilai-nilai dan kekuatan diberikan. Dalam
interaksi, daya diberikan dari seseorang pada orang yang

9
lain. Jika proses pemberdayaan dilihat dari sudut pandang
pasien maka pemberdayaan dianggap sebagai proses
transformasi personal dimana daya dibentuk dalam diri
seseorang. Sekalipun hasil yang diperoleh sama-sama
mendapatkan daya atas kehidupan seseorang namun
kedua proses ini sangat berbeda.

2.5. Model Pemberdayaan

Pemberdayaan pasien dimaksudkan terutama pada


kemampuan pasien untuk membuat keputusan dan
mengontrol keputusan personalnya. Pada masa lalu, klien
diasumsikan mematuhi arahan dari profesional layanan
kesehatan; yang disebut dengan model biomedik dimana
jika rencana perawatan gagal maka menjadi
tanggungjawab/kesalahan klien. Pada model tradisional ini,
pasien hanya dilihat sebagai penerima keputusan medis
dan terapi medis. Persuasi dan manipulasi (koersi) menjadi
strategi komunikasi primer dalam upaya klien menelola
kondisi sakitnya. Pengalaman menunjukkan bahwa strategi
tersebut tidak efisien terutama pada klien dengan penyakit
kronis dan ini terjadi pada klien yang masih kurang pasti
dengan perubahan yang perlu dilakukan atau kurang
percaya diri dalam hal tersebut. Dalam kenyataannya,
strategi ini mengakibatkan klien tetap bertahan dengan
perilakunya meski berusaha diubah oleh profesional
kesehatan. Klien akan tampak sebagai klien yang
menyulitkan. Hambatan ini dianggap sebagai hal buruk dan
perlu disingkirkan.
Dalam model pemberdayaan, istilah yang digunakan
adalah kepatuhan yaitu suatu kontrak kerjasama antara
pasien dan tenaga kesehatan dimana upaya bersama ini
dilakukan untuk mendapatkan hasil bersama. Petugas
kesehatan menghormati klien dan membantu klien

10
membuat keputusan yang bermakna bagi klien. Otonomi
klien lebih ditekankan dibandingkan kemandirian. Klien
dianjurkan untuk bertindak dalam batas otonominya
dengan berbagi informasi dan kolaborasi mutual untuk
pembuatan keputusan. Pasien menjadi bertanggungjawab
atas pilihan mereka dan segala konsekuensi yang terjadi
akibat pilihan mereka. Memahami bagaimana klien melihat
sakit dan perawatan mereka menjadi lebih positif dan
memberikan hasil yang lebih baik. Dalam model
pemberdayaan, hambatan dilihat sebagai suatu informasi
yang berharga. Tenaga kesehatan profesional perlu
mengeksplorasi hambatan yang terjadi pada klien,
mendiskusikan alasan terjadinya hambatan tersebut,
mengidentifikasi kemungkinan jalan keluarnya dan
bersama – sama merencanakan perubahan.
Dalam model pemberdayaan tidak ada konfrontasi
ataupun menghakimi perilaku pasien, melainkan bersama-
sama mencari solusi dengan pasien. Model pemberdayaan
merupakan perwujudan dari saling menghargai dan
membangun hubungan yang baik antara pasien dan
pemberi layanan kesehatan.

2.6. Tujuan Pemberdayaan

Tujuan dari pemberdayaan adalah membangun


kapasitas pasien untuk membentuk mereka menjadi mitra
aktif dalam perawatan diri mereka sendiri, memampukan
mereka berbagi dalam pembuatan keputusan klinis dan
berkontribusi pada pandangan yang lebih luas dalam sistem
layanan kesehatan menyatakan bahwa tujuan
pemberdayaan adalah meningkatkan otonomi dan
keterlibatan pasien. Pemberdayaan pasien dapat dicapai
melalui pelayanan yang berpusat pada pasien (patient
centredness) dimana di dalamnya ditetapkan tujuan

11
bersama antara perawat dan pasien yang berpusat pada
pasien. Melalui patient centredness, tujuan yang ditentukan
bersama akan lebih berhasil dalam pencapaiannya dan
lebih efisien.
Karakteristik utama dari pemberdayaan yang
berorientasi pada tujuan edukasi tidak hanya terbatas pada
penyakit atau terapi tertentu. Intervensi berbasis
pemberdayaan lebih menekankan pada pentingnya
mendapatkan keterampilan psikososial pasien dimana
keterampilan ini tidak hanya berguna dalam kehidupan
sehari-hari seseorang tetapi dapat juga diterapkan pada
penyakit dan isu terkait terapi termasuk isu terkait interaksi
petugas kesehatan dan pasien. Pendekatan berbasis
pemberdayaan ini bertujuan menguatkan kemampuan
seseorang secara umum seperti:
- Mengidentifikasi kebutuhan dan masalah psikososial
- Menentukan tujuan personal
- Mendefinisikan strategis untuk mencapai tujuan yang
telah dipilih sendiri
- Menyelesaikan masalah
- Mengelola stres dan beradaptasi dengan emosi
- Mencari dan mendapatkan dukungan sosial
- Termotivasi
- Mencari informasi
- Bernegosiasi
- Mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan pilihan
yang diambil
- Berkomunikasi
Melalui pendekatan berbasis pemberdayaan yang
menghasilkan keterampilan tersebut akan menyebabkan
efikasi diri, ketegasan, kesadaran diri, dan rasa otonomi
dimaksimalkan.

12
2.7. Proses Pemberdayaan

Proses pemberdayaan dapat dicapai dengan pelatihan


dan dukungan, diantaranya membagikan lembar informasi,
program multimedia, penggunaan teknologi informasi, dan
membangun keterampilan pasien. Langkah awal untuk
mendapat kepercayaan dari pasien dan memenuhi
kebutuhan / keinginan pasien adalah dengan mendapatkan
pandangan mereka dan mendengar yang mereka
sampaikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien
yang terlibat dalam keputusan akan perawatan diri mereka
dan pengelolaan kondisi mereka memiliki hasil yang lebih
baik dibandingkan mereka yang tidak terlibat.
Pemberdayaan dimulai dengan pemberian informasi
dan pendidikan, mencari tahu informasi tentang kondisi
kesehatan seseorang dan meningkatkan partisipasi aktif
mereka dalam pembuatan keputusan. Pemberdayaan
mempersyaratkan individu untuk merawat diri sendiri dan
menentukan pilihan akan layanan kesehatan dari berbagai
pilihan yang telah diidentifikasi oleh dokter.
Pendidikan merupakan hal penting dalam
memberdayakan pasien, namun perlu keberlanjutan. Agar
pemberdayaan pasien tercapai, maka diperlukan empati
sebagai fase awal, mengingatkan pasien bahwa mereka
adalah sentral pelayanan kesehatan mereka
sendiri,menganjurkan pasien terlibat dalam media sosial,
memberi info terpercaya untuk sumber data dan secara
aktif memotivasi pasien untk pemberdayaan diri.
Pendidikan pasien adalah hal terpenting karena
melalui pendidikan, pasien akan menjadi lebih patuh dan
pasien yang berdaya adalah pasien yang terdidik. Pada
masa kini, dengan jumlah arus informasi yang luar biasa,
maka pasien dapat tersesat dalam lautan informasi; untuk
itu perawat perlu memberikan daftar sumber informasi
yang terpercaya (Kristi, 2008).

13
Penekanan pada pemberdayaan adalah lebih pada
“siapa anda” dibandingkan “apa yang anda kerjakan”. Jenis
dan fitur hubugan antara petugas kesehatan dan pasien
memungkinkan dilakukannya pemberdayaan. Proses
pemberdayaan terjadi saat pasien menceritakan kisahnya
dan petugas kesehatan memfasilitasi pemahaman yang
mereka berdua peroleh dari situasi dan keberadaan pasien
sehingga menambah teriptanya makna bagi pengalaman
pasien. Fitur utama disini adalah hubungan pemberdayaan
yang berkesinamabungan, berpusat pada pasien, saling
menghargai, dan saling terkait. Di sisi lain, pengetahuan
yang terbatas dan pemberian sumber yang kurang
memadaiterutama terkait waktu dan keberlanjutan
mengakibatkan hubungan pemberdayaan tidak efektif. Hal
lain yang dilaporkan berkontribusi terhadap pemberdayaan
adalah :
a. Terciptanya atmosfir yang positif, menunjukkan
ketertarikan dan memberpenghargaan positif serta
respon yang tidak menghakimi
b. Memperhatikan prioritas dan keinginan pasien terutama
melalui mendengar secara aktif akan pengalaman hidup
mereka dan diikuti dengan dialog refleksi diri
c. Mendukung otonomi pasien dan secara aktif
menganjurkan mereka berpartisipasi dalam konsultasi
dan keputusan terkait kesehatan
d. Menawarkan informasi dan nasihat pada masing-
masing individu
e. Membiarkan pasien mengekspresikan emosinya dan
petugas berada disana untuk memberikan dukungan
emosi
f. Menyadari bahwa pasen membutuhkan waktu dan
ijinkan pasien memperoleh waktu yang cukup untuk
membuat keputusan atau mempraktekkan tugas
g. Memfasilitasi evaluasi perubahan pada diri seseorang
(pasien)

14
Yang membedakan pemberdayaan sebagai sebuah
proses yang muncul dari hubungan/interaksi edukatif
dibandingkan dengan proses yang terjadi karena
pemberian informasi/edukasi adalah peran dari petugas
kesehatan yang terlibat dalam pemberdayaan tersebut.
Bukan hanya pasien saja tetapi baik pasien dan tenaga
profesional berubah akibat proses pemberdayaan dimana
dalam hubungan ini tenaga profesional belajar
meninggalkan kebiasaan untuk tidak selalu mengontrol.
Pasien membuat perubahan fokus agar dapat lebih
bertanggung jawab akan perawatan jangka panjang.
Proses pendekatan yang dilakukan bersifat individual dan
berpusat pada klien. Model praktek yang akan ditekankan
adalah keterlibatan pasien termasuk perilaku perawatan
diri seperti monitor gejala sendiri dan mengelola terapi,
integrasi beberapa intervensi yang dapat dilakukan sesuai
kondisi kelelahan yang dihadapi.
Lima elemen kunci proses perawatan diri pada
penderita kanker yaitu 1) keterampilan pemecahan
masalah dasar, 2) pembuatan keputusan, 3) kemampuan
menemukan dan menggunakan sumber, 4) membentuk
kemitraan antara pasien dan petugas kesehatan serta 5)
mengambil tindakan.

2.8. Metode Pemberdayaan

Perawat memfasilitasi pemberdayaan dengan


menggunakan 4 (empat) strategi (Falk-Rafael, 2002).
a. Mengembangkan hubungan saling percaya
Diperlukan adanya rasa hormat, empati dan terciptanya
lingkungan yang aman. Karakteristik hubungan ini
adalah mutualitas, dimana perawat membantu klien
mengidentifikasi tujuan kesehatan dan menegoisasikan

15
peran mereka dalam mencapai tujuan tersebut. Klien
mengidentifikasi pentingnya keberadaan perawat.
b. Advocacy
Perawat menghubungkan klien pada sumber-sumber di
sekitar dan bertindak atas nama mereka untuk
membantu mereka mencapai tujuan yang telah
ditentukan
c. Menyediakan informasi dan mengembangkan
keterampilan Informasi lisan maupun tulisan termasuk
contoh melalui model peran membantu klien membuat
lebih banyak pilihan dan lebih banyak tindakan yang
lebih efektif untuk tujuan kesehatan mereka serta
menegaskan keberadan
d. Membangun kapasitas
Kapasitas yang dibangun meliputi mendengarkan
secara reflektif dan pendekatan empatik, yang
membantu klien menidentifikasi sumber-sumber atau
kapasitas dalam mencapai tujuan mereka. Perawat
berfokus pada kekuatan bukan keterbatasan, dan
mengkomunikasikan harapan akan akuntabilitas klien
dalam melakukan tindakan dan mengambil keputusan.
Pemberdayaan terutama sekali terjadi melalui refleksi
diri yang terfasilitasi melalui pemberian pengetahuan
yang memadai atau menggunakan alat refleksi diri.
Intervensi berbasis pemberdayaan ini kebanyakan
dilakukan melalui intervensi dalam kelompok dan
terutama pendekatan berpusat pada pasien; dimana
topik dijelaskan dan didiskusikan dalam kelompok,
kemudian dilatih / dipraktekkan, dilakukan refleksi diri
pada tiap individu agar secara personal mereka dapat
menentukan tujuan dan rencana praktek di rumah.
Cara lain yang digunakan juga dengan menganjurkan
pasien membawa anggota keluarga/teman/relasi lain
untuk berpartisipasi dalam diskusi kelompok.

16
Penderita kanker payudara butuh dukungan dari
petugas kesehatan agar dapat merawat diri sendiri
sehingga pemberdayaan tidak dapat dicapai dengan
metode paternalistik. Merekomendasikan penggunaan
support group (kelompok pendukung) dan pembelajaran
singkat yang difasilitasi oleh pasien sendiri dibandingkan
diberikan oleh petugas kesehatan karena pasien adalah
orang yang paling mengetahui (ahli) dalam kondisi tersebut
dan ini dapat lebih memenuhi kebutuhan pasien.

2.9. Hasil Pemberdayaan

Perawat mengidentifikasi adanya 3 (tiga) kategori hasil


pemberdayaan yang didukung oleh naratif klien:
a. Perubahan dalam diri sendiri termasuk kepercayaan diri
dan harga diri
b. Perubahan dalam hubungan dengan orang lain
termasuk membaiknya hubungan dengan keluarga dan
teman dan menjadi lebih asertif dengan pemberi
layanan kesehatan
c. Perubahan dalam perilaku dimana klien membuat
pilihan yang lebih sehat bagi diri mereka sendiri dan
keluarga mereka.
Hasil yang paling sering didapatkan dari proses
pemberdayaan biasanya berhubungan erat dengan
penyakit dan terapinya antara lain:
d. Manajemen diri, determinasi diri serta efikasi diri akan
kesehatan dan terapinya melalui partisipasi dan
negosiasi
e. Peningkatan kualitas hidup dan aspek psikososial,
adaptasi terhadap pikiran negatif, transformasi diri
seseorang pada lingkungan yang berbeda, serta
adaptasi psikososial yang kadang-kadang didefinisikan

17
sebagai kapasitas untuk kembali dalam aktifitas hidup
sesegera mungkin
f. Respon lain yang dihasilkan tanpa terduga adalah
keputusan dan implementasi perubahan perilaku,
perbaikan kontrol diri, kepuasan dan tanggung-jawab
seseorang.
Dampak dari pemberdayaan berdasarkan evaluasi
atas kriteria yang telah ditetapkan diantaranya:
a. Indikator penyakit dan terapi terkait terpenuhi seperti
hasil klinis, perasaan dapat mengontrol penyakit,
kepercayaan kesehatan pada penyakit, kepuasan akan
terapi dan terbukanya pandangan kesehatan akan
penyakit dan terapi terkait. Pasien mengatakan dapat
memahami penyakitnya dan mampu beradaptasi dalam
kehidupan mereka dengan cara yang lebih positif.
b. Indikator terkait interaksi pemberi layanan kesehatan
(profesional) dengan pasien seperti kepuasan pasien
terhadap konsultasi atau intervensi, jumlah pertanyaan
yang diajukan pasien selama konsultasi, tingkat efikasi
diri dalam mengajukan pertanyaan, preferensi seseorang
saat berpartisipasi dalam konsultasi. Pasien mengatakan
bahwa mereka merasa lebih nyaman dalam mengajukan
pertanyaan pada dokter.
Indikator terkait psikososial dan kehidupan seperti
kualitas kehidupan pasien, tingkat kecemasan, depresi dan
tekanan emosional, jumlah hari tidak bekerja karena sakit,
tanggapan pasien akan kesehatan fisik dan emosionalnya,
perubahan pada perilaku atau diri pasien. Pasien menjadi
lebih percaya diri, secara aktif terlibat dalam
menegosiasikan tujuan dari rencana asuhan mereka,
berkeinginan lebih untuk merevitalisasi hidup mereka
sendiri dan menjalani hidup serta mempunyai kekuatan
lebih untuk juga dapat menolong orang lain.
Hasil pemberdayaan ini diukur dengan menggunakan
skala yang dikembangkan untuk mengukur proses

18
konseling pemberdayaan, mengukur efikasi diri aspek
psikososial yang berhubungan dengan perilaku manajemen
penyakit serta mengukur hasil dari intervensi
pemberdayaan dengan menghubungkan tingkat kepuasan
pasien secara umum dengan intervensi pemberdayaan itu
sendiri.
.

19
BAB 3
KONSEP KELUARGA

3.1. Pengertian Keluarga

Keluarga secara harfiah berasal dari bahasa


Sansakerta, yaitu “kuluwarga”. Kata kulu berarti “ras” dan
warga yang berarti “anggota”. Jadi, keluarga adalah
kumpulan dari ras. Dengan kata lain, keluarga adalah
anggota dari lingkungan yang terdiri dari beberapa orang
yang masih memiliki hubungan darah (Sunaryo, 2014).
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang
terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang
tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan
saling ketergantungan. Selain itu, Pusdiknakes Depkes
(2013) merumuskan definisi keluarga sebagai kumpulan
individu yang terikat dengan perkawinan hidup dalam satu
rumah, saling berinteraksi, dan setiap individu mempunyai
tanggung jawab masing-masing.
Ballon & Maglaya (1989) mengungkapkan bahwa
keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam
satu rumah tangga karena adanya hubungan darah,
perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi,
mempunyai peran masing-masing, menciptakan dan
mempertahankan suatu budaya. Sementara itu, Effendy
(1998) menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil
masyarakat, yang terdiri atas dua orang atau lebih. Mereka
hidup dalam satu rumah, terdapat ikatan perkawinan dan
pertalian darah, dan saling berinteraksi di antara sesama
anggota keluarga dan memiliki seseorang kepala rumah
tangga. Selain itu, setiap anggota keluarga mempunyai
peran dalam menciptakan dan mempertahankan suatu
kebudayaan (Sunaryo, 2014).

20
Dari beberapa definisi tersebut, penulis
menyimpulkan keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang dibentuk oleh ikatan perkawinan, adopsi
atau hubungan darah, tinggal dalam satu rumah dan saling
berinteraksi antara anggota keluarga satu dan lainnya,
serta memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing
dalam menciptakan dan mempertahankan budaya.

3.2. Bentuk Keluarga

Menurut Sunaryo, 2014 bentuk keluarga memiliki


beberapa macam, yaitu:
1. Keluarga dari sudut pandang keturunan, dibedakan
menjadi: a. Keluarga patrilineal adalah keluarga
sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi, hubungan tersebut
menurut jalur garis ayah. Keluarga patrilineal dapat
dijumpai di daerah Batak, Bali, dan beberapa suku di
Papua; b. Keluarga matrilineal adalah keluarga yang
terdiri dari sanak saudara sedarah yang terdiri dari
sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi,
hubungan itu disusun menurut jalur garis ibu. Dalam
keluarga bentuk ini, anak dan ayah tidak memiliki
hak dan kekuasaan atas harta pusaka. Suami harus
tinggal dalam keluarga istri dan bekerja keras untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga, istri, dan anak-
anaknya. Orang yang berhak mengatur segalanya
termasuk dalam perkawinan dan pembagian warisan
adalah saudara laki-laki dari ibu yang disebut ninik
mamak. Dalam adat perkawinan, jodoh harus dipilih
dari luar sukunya. Pengantin laki-laki tidak
memberikan mas kawin, namun menerima uang
jemputan. Bentuk kelurga matrilineal terdapat pada
suku Minangkabau.

21
2. Keluarga dari sudut pandang jenis perkawinan,
meliputi: a. Keluarga monogamy adalah keluarga
terdiri dari seorang suami dengan seorang istri; b.
Keluarga poligami adalah keluarga yang terdiri dari
suami dengan beberapa istri.
3. Keluarga ditinjau dari kekuasaan dalam keluarga,
meliputi: a. Keluarga patriakal (keluarga kebapakan)
yaitu keluarga dengan kekuasaan berada di tangan
suami; b. Keluarga matrikal (keluarga keibuan)
adalah keluarga dengan kekuasaan di dominasi oleh
istri; c. Keluarga ekualitarium (keluarga setaraf)
adalah keluarga dengan peranan suami dan istri
seimbang.
4. Keluarga ditinjau berdasarkan pemukiman: a.
Keluarga patrilokal adalah suami istri yang tinggal
bersama keluarga sedarah suami; b. Keluarga
matrilokal adlah suami istri yang tinggal bersama
keluarga sedarah istri; c. Keluarga neolokal adalah
suami istri yang tinggal jauh dari keluarga suami dan
istri.
5. Keluarga ditinjau dari jenis anggota keluarganya: a.
Keluarga inti (muclear family) adalah keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak; b.Keluarga besar
(estender family) adalah keluarga inti ditambah
dengan sanak saudara misalnya nenek, kakek,
keponakan, saudara sepupu, dan paman; c. Keluarga
berantai (serial family) adalah keluarg yang terdiri
dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali
dan merupakan satu keluarga inti; d. Keluarga
duda/janda (single family) adalah keluarga Keluarga
inti (muclear family) adalah keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak; e. Keluarga besar (estender
family) adalah keluarga inti ditambah dengan sanak
saudara misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara
sepupu, dan paman; f. Keluarga berantai (serial

22
family) adalah keluarg yang terdiri dari wanita dan
pria yang menikah lebih dari satu kali dan
merupakan satu keluarga inti; g. Keluarga
duda/janda (single family) adalah keluarga yang
terjadi karena perceraian atau kematian; h. Keluarga
berkomposisi (composite family) adalah keluarga
yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara
bersama; i. keluarga kohabilitas (cohabitation)
adalah keluarga tempat laki-laki dan perempuan
hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dan
membentuk satu keluarga.

3.3. Peranan dalam Keluarga

Keluarga berperan sebagai seperangkat perilaku


interpersonal sifat, kegiatan yang berhubungan dengan
individu dalam posisi dan situasu tertentu. Peran individu
dalam keluarga berdasarkan pada harapan dan pola
perilaku keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Peranan dalam keluarga, menurut Effendy (1998),
meliputi: 1. Peranan ayah. Ayah sebagai suami dari istri
dan ayah dari anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah,
pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman. Ayah juga
berperan sebagai kepala keluarga, anggota dari kelompok
sosialnya, serta anggota masyarakat dari lingkungannya;
2. Peranan ibu. Sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-
anaknya, ibu mempunyai peranan penting untuk mengurus
rumah tangga, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.
Ibu juga dapat berperan sebgai pencari nafkah tambahan
dalam keluarga; 3. Peranan anak. Anak-anak
melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat
perkembangannya, baik fisik, mental, sosial maupun
spiritual.

23
3.4. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga menurut Friedman (2010) meliputi:


1. Fungsi afektif : Fungsi keluarga yang utama untuk
mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan
anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi
ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan
psikososial anggota keluarga; 2. Fungsi sosialisasi dan
tempat bersosialisasi: Keluarga sebagai tempat
mengembangkan dan tempat melatih anak untuk
berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk
berhubungan dengan orang lain di luar rumah; 3. Fungsi
reproduksi: Fungsi keluarga untuk mempertahankan
generasi dan menjaga kelangsungan keluarga; 4. Fungsi
ekonomi: Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga; 5.
Fungsi perawatan kesehatan: Fungsi keluarga untuk
mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga
agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini
dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang
kesehatan.
Terkait dengan fungsi perawatan kesehatan,
Friedman (2010) mengungkapkan bahwa keluarga memiliki
lima tugas yang harus dijalankan dalam bidang kesehatan,
yaitu: a. Mengenal masalah kesehatan keluarga. Artinya,
keluarga harus mengetahui apa itu penyakit, apa
peyebabnya, apa gejalanya, bagaimana merawatnya, dan
apa komplikasinya; b. Memutuskan tindakan kesehatan
yang tepat bagi keluarga. Artinya, keluarga dapat
mengambil tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan
yang dihadapi. Misalnya, membawa anggota keluarga yang
sakit berobat ke fasilitas kesehatan, seperti dokter,
puskesmas, ataupun ke rumah sakit; c. Merawat keluarga

24
yang mengalami gangguan kesehatan. Artinya, keluarga
diharapkan mampu merawat dengan benar anggota
keluarganya yang sakit agar segera sehat seperti
sebelumnya; d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk
menjamin kesehatan keluarga. Misalnya, dengan
memlihara lingkungan tempat tinggalnya agar tidak
menimbulkan penyakit; e. Memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Artinya,
keluarga akan membawa anggota keluarganya yang sakit
ke fasilitas kesehatan terdekat atau fasilitas kesehatan
yang disukai.

3.5. Karakteristik Keluarga

Keluarga memiliki karakteristik yang bersifat


universal. Keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu
karena ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Anggota
keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah
dan mereka membentuk satu rumah tangga. Keluarga
merupakan satu kesatuan dari orang-orang yang saling
berinteraksi dan berkomunikasi, yang terdapat peran suami
dan istri, bapak dan ibu dan saudara. Keluarga
mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang
sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih
luas (Sunaryo, 2014).
Salah satu subsistem yang menjadi sebuah kesatuan
adalah karakteristik keluarga yang mendukung untuk
perkembangan anak dikeluarga tersebut. Karakteristik
keluarga tersebut diantaranya adalah tingkat pendidikan
orangtua, pendapatan keluarga, jenis pekerjaan orangtua,
dan besar keluarga.

25
3.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keluarga

Keluarga adalah wadah individu untuk berinteraksi


dan berkomunikasi, setiap peran yang dilakukan oleh
anggotanya paling tidak akan memberikan pengaruh pada
anggota keluarga lainnya. Ahmadi (2013) menyebutkan
bahwa ada tiga faktor yang memengaruhi keluarga, yaitu:
1. Status sosial-ekonomi keluarga: Keadaan sosial-ekonomi
keluarga mempunyai peranan penting dalam
perkembangan anak-anak. Misalnya, anak yang berasal
keluarga yang berkecukupan mendapatkan kesempatan
yang lebih luas dalam mengembangkan berbagai macam
kecakapannya karena memiliki cukup materi; 2. Faktor
keutuhan keluarga: Keutuhan keluarga juga merupakan
faktor lain yang dapat memengaruhi perkembangan anak.
Keutuhan keluarga berarti bahwa struktur keluarga masih
lengkap. Di samping itu, keutuhan interaksi antara anggota
keluarga yang satu dengan yang lain juga menentukan
perkembangan anak; 3. Sikap dan kebiasaan keluarga:
Sikap dan kebiasaan orang tua akan berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Misalnya, sikap orang tua yang
otoriter membuat anak-anak menjadi manusia yang pasif,
kurang percaya diri, ragu-ragu, penakut, dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan yang baik dari keluarga akan
dicontoh oleh anak-anaknya, atau sebaliknya.

26
BAB 4
KONSEP PEMBERDAYAAN KELUARGA

4.1. Defenisi Pemberdayaan Keluarga

Pemberdayaan adalah proses yang melibatkan


tingkat kesadaran seseorang untuk ikut serta dalam
perawatan. Dalam proses ini, tidak hanya tingkat
kesadaran yang mempengaruhi hubungan antara perawat
dengan pasien namun termasuk didalamnya partisipasi
aktif, pengetahuan, dan keterampilan. Adapun dampak
yang diperoleh dari proses pemberdayaan adalah 1) adanya
perubahan diri termasuk meningkatnya rasa percaya diri
dan harga diri; 2) perubahan dalam berhubungan dengan
keluarga dan teman serta dengan tenaga kesehatan; dan
3) perubahan dalam perilaku yang ditunjukkan dengan
berperilaku lebih sehat dan menjadi advokasi bagi diri
sendiri. (Falk-Rafael, 2001)
Pemberdayaan sebagai suatu intervensi
keperawatan yang ditujukan pada keluarga dirancang guna
mengoptimalkan kekuatan dan kemampuan keluarga dan
anggota keluarga dalam merawat anak secara efektif atau
untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan keluarga
(Hulme, 1999). Pemberdayaan dapat dipandang sebagai
suatu proses (menjadi berdaya), suatu hasil (berdaya), dan
suatu intervensi (memberdayakan orang lain). Dalam
memberdayakan keluarga, aktivitas keperawatan yang
dilalui pada anak dengan kondisi kronik (Hulme, 1999)
adalah:
1. Membangun kepercayaan dengan menjadi
pendengar aktif, berempati, dan menerima anggota
keluarga.
2. Mempertahankan hubungan langsung dengan anak.

27
3. Memprioritaskan pemenuhan kebutuhan yang
dirasakan keluarga
4. Membantu keluarga menentukan bagaimana
merawat anak melalui pengajaran/pelatihan.
5. Memberikan informasi yang akurat dan lengkap
tentang kondisi anak.
6. Membantu keluarga mencapai tujuan yang
diinginkan.
7. Mengarahkan keluarga dalam mengkaji sistem
dukungan dan sumber- sumber yang dapat
digunakan keluarga.
8. Mengarahkan keluarga dalam mengkaji kekuatan
dan menggunakannya dalam menyelesaikan
masalah.
9. Membantu keluarga membangun kelompok
dukungan sebaya dengan kondisi kronik yang sama.
10. Menguatkan kemampuan keluarga untuk
mengidentifikasi pilihan dalam perawatan anak.
11. Mendiskusikan dengan anggota keluarga tentang
sistem pelayanan kesehatan yang ada yang dapat
digunakan.
12. Membangun keterampilan bernegosiasi dengan
profesi kesehatan lain.
13. Menjelaskan pada keluarga tentang pelayanan yang
baik yang diberikan pada anak

4.2. Tujuan Pemberdayaan Keluarga

Tujuan Pemberdayaan Keluarga dijelaskan


berdasarkan pengertian pemberdayaankeluarga, memiliki
dimensi yang luas. (Sunarti, 2008) menjelaskan tentang
tujuanpemberdayaan keluarga sebagai berikut :
1. Membantu keluarga untuk menerima, melewati dan
mempermudah proses perubahan yang akan ditemui

28
dan dijalani oleh keluarga.
2. Membangun daya tahan daya adaptasi yang tinggi
terhadap perubahan agar mampu menjalani hidup
dengan sukses tanpa kesulitan dan hambatan yang
berarti.
3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hidup
seluruh anggota keluarga sepanjang tahap
perkembangan keluarga dan siklus hidupnya.
4. Menggali kapasitas atau potensi tersembunyi
anggota keluarga yang berupa kepribadian,
keterampilan manajerial dan keterampilan
kepemimpinan.
5. Membina dan mendampingi proses perubahan
sampai pada tahap kemandirian dan tahapan tujuan
yang dapat diterima.

4.3. Prinsip Pemberdayaan Keluarga

Pelaksanaan intervensi keperawatan pemberdayaan


keluarga diawal paradigma ini dikenalkan, memandang
keluarga untuk dapat berperilaku dan mampu merawat
anggota keluarga yang sakit di dikte atau diarahkan
sepenuhnya oleh tenaga kesehatan. Dalam paradigma baru
intervensi keperawatan pemberdayaan keluarga berpusat
pada perwatan dan interaksi kolaboratif antara keluarga
dengan tenaga kesehatan.
Dalam sebuah review intervensi keperawatan yang
berhubungan dengan keluarga dan penyakit kronis,
Robinson (1994), menggambarkan sebuah kontinum dari
sebuah pendekatan yang dikategorikan sebagai
pendekatan tradisional, transisi, dan non-tradisional.
Dalam pendekatan tradisional, dasar keyakinan yang
digunakan adalah bahwa penyakit yang diderita anggota
keluarga hanya dapat diatasi oleh perawat saja. Sedangkan

29
pendekatan non-tradisional, berkeyakinan bahwa penyakit
yang diderita anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak
faktor dan dapat diselesaikan tidak hanya oleh intervensi
keperawatan. Robinson (1994), menggambarkan
pendekatan non-tradisional sebagai kemampuan keluarga
sebagai arsitek perubahan. Keluarga memiliki kemampuan
mengkombinasikan intervensi keperawatan dengan
permintaan keluarga dalam sebuah pilihan intervensi yang
mempengaruhi kondisi anggota keluarga yang sakit,
pengalaman-pengalaman terhadap tindakan dan dampak
terhadap sistem keluarga (Hulme P. A., 1999).
Pemberdayaan keluarga harus dilaksanakan
dengan mempertimbangkan hasil positif yang hendak
dicapai oleh keluarga, sehingga perlu memperhatikan
prinsip-prinsip pemberdayaan keluarga sebagai berikut :
1. Pemberdayaan keluarga hendaknya tidak
memberikan bantuan atau pendampingan yang
bersifat Charity yang akan menjadikan
ketergantungan dan melemahkan, melainkan
bantuan, pendampingan, dan atau pelatihan yang
mempromosikanm Self reliance dan meinigkatakan
kapasitas keluarga.
2. Menggunakan metode pemberdayaan yang
menjadikan keluarga menjadi lebih kuat (koping
yang tepat), melalui pelatihan terhadap daya tahan
dan adaya juang menghadapi masalah (stressor).
3. Meningkatkan partisipasi yang menjadikan
keluargameningkat kapasitasnya dan mampu
mengambil kontrol penuh, pengambilan keputusan
penuh, dan tanggungjawab penuh untuk melakukan
kegiatan.

30
4.4. Model Pemberdayaan Keluarga

Model didefenisikan oleh Science Dictionary (2005)


sebagai suatu deskripsi yang sistematik terhadap suatu
objek atau fenomena yang membagikan karakteristik
penting terhadap suatu objek atau fenomena. Model ilmiah
dapat berupa material, visual, matematika, atau
komputerisasi dan seringkali digunakan dalam penyusunan
teori ilmiah. Model menurut Irawan (2006) model
didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang diperlukan
peneliti untuk menggambarkan atau menjelaskan variabel-
variabel penelitiannya.
Pemberdayaan merupakan model khusus dimana
keluarga dapat mengembangkan kekuatan dan strategi
untuk menghadapi masalah yang dihubungkan dengan
caring terhadap pasen (Lam & Barth, 2003). Model
pemberdayaan ini merujuk pada proses akibat munculnya
perasaan kehilangan power (powerlessness). Pada konsep
pemberdayaan, individu atau keluarga diizinkan merasa
dirinya kompeten dan dapat merawat atau membantu
anggota keluarga dan pasen untuk menjalankan fungsinya
secara mandiri (Man, 1998).
Quade (1989) mengartikan model sebagai suatu
abstraksi nyata, substitusi, atau representasi realita dalam
bentuk peta, diagram organisasi, persamaan matematika
dan lain-lain. Model dapat digunakan sebagai alat bantu
untuk menyelesaikan fenomena nyata yang kompleks dan
mahal jika dikaji secara langsung. Model dapat
dimanifestasikan sebagai suatu cara alamiah dalam
memperoleh gambaran dunia nyata dengan mempelajari
replika yang mencerminkan fenomena. Model dapat
diklasifikasikan menjadi: 1) model eksplisit eksplanatoris-
prediktif yang mendeskripsikan gambaran dunia nyata dan
2) model implisit yang bersifat mental. Beberapa klasifikasi
model eksplanatoris-prediktif adalah model analitis, model

31
simulasi, model judment, model skematik, dan model fisik
(Quade, 1989). Model pemberdayaan keluarga dapat
dimaknai sebagai suatu kerangka kerja yang dapat
digunakan tenaga kesehatan untuk memampukan keluarga
berdasarkan kekuatan dan caring yang dimiliki sehingga
kompeten dalam merawat dan mengasuh anak agar anak
tetap sehat dan sejahtera melalui tahapan yang ada dalam
model baik dalam konteks di rumah sakit maupun di
masyarakat.
Dalam model pemberdayaan keluarga, Hulme (1999)
juga menjelaskan ada empat tahap dalam pengambilan
keputusan yang dilalui dalam suatu proses pemberdayaan
keluarga yaitu tahap dominasi tenaga profesional, tahap
partisipasi, tahap tantangan, dan tahap kolaborasi dalam
merawat anak dengan masalah kesehatan kronik dengan
sentral modelnya adalah situasi pelayanan kesehatan

4.5. Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga

Pemberdayaan Keluarga mencakup dimensi yang


luas dari kebutuhan keluarga yang bersifat
biopsikososiokultural dan spiritual. Munurut Sunarti (2008)
menjelaskan bahwa runag lingkup pemberdayaan keluarga
meliputi aspek-aspek :
1) Ketahanan Keluarga Peningkatan ketahanan keluarga
meliputi ketahanan fisik,sosial, dan ketahanan
psikologis keluarga. Ketahanan keluarga merupakan
konsep luas kehidupan keluarga yang meliputi konsep
berfungsinya keluarga, pengeloaan stress keluarga,
kelentingan keluarga dan tahap perkembangan
keluarga.
2) Fungsi, Peran dan Tugas Keluarga Peningkatan
kapasitas dan potensi keluarga dalam memenuhi
fungsi kesehatan dan perawatan kesehatan keluarga,

32
melaksakana peran keluarga baik peran formal
maupun informal, serta mampu melaksanakan tugas
kesehatan keluarga sesuai tahap perkembangan
keluarga.
3) Sumber Daya Keluarga Rice dan Tucker 1987 dalam
Sunarti 2007, mengelompokan sumber daya keluarga
dalam tiga kelompok yaitu : sumber daya manusia,
meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor, serta
sumber daya waktu. Sumber daya ekonomi seperti
pendapatan, kesehatan, keuntungan pekerjaan dan
kredit. Sumber daya lingkungan meliputi lingkungan
sosial, serta lembaga politik.
4) Pengeloaan Masalah dan Stress Keluarga Kemampuan
keluarga dalam menghadapi stressor (penyebab
stress) yang berpotensi menyebabkan stress dan
krisis, termasuk dalam hal ini adalah kemampuan
keluarga menggunakan mekanisme koping.
Pemberdayaan keluarga diarahkan meningkatkan
tipologi efektif, meningkatkan kemampuan
memperbanyak alternatif pilihan stragi dan
mekanisme koping dalam keluarga dalam menghadapi
krisis keluarga.
5) Interaksi dan Komunikasi Keluarga Beberapa
pendekatan dapat digunakan untuk menjelaskan
interaksi dan komunikasi keluarga, seperti
pendekatan sistem yang meliputi interaksi antara
suami dan istri, interaksi antara orang tua dan anak,
interaksi antara saudara kandung. Interaksi keluarga
juga dapat dipandang sebagai sebuah proses yang
dapat mempengaruhi kualitas hidup keluarga. Proses
keluarga memerlukan komunikasi yang fungsional
dalam keluarga, beberapa pola komunikasi yang tidak
fungsional dalam keluarga dapat terjadi karena :
adanya pesan yang tidak jelas atau pesan ganda,

33
stereotipe, yaitu pemberian nilai pada anggota
keluarga yang lain untuk menghindari konflik.
6) Tipologi Keluarga Mc Cubbin dan Thompson (1987),
mengidentifikasi keluarga kedalam empat dimensi,
yaitu ; Family Regenerative (kemampuan keluarga
tumbuh kembang), Family Resilient (Kelentingan
keluarga), Rhytmic Family (Kebersamaan keluarga),
dan Tradisionalistic Family(tradisi keluarga).
7) Kelentingan Keluarga (Family resillience) Kelentingan
Keluarga didefinisikan sebagai kemampuan keluarga
untuk merespon secara positif terhadap situasi yang
menyengsasrakan atau merusak kehidupan keluarga,
sehingga memunculkan perasaan kuat, tahan dan
lebih berdaya, lebih percaya diri dibanding situasi
sebelumnya. Pada kondisi dimana keluarga
mengalami krisis dan keluarga mencoba untuk
mengatasinya, maka saat anggota keluarga merasa
percaya diri, kerja keras, kerja sama maka keluarga
sebenarnya telah menunjukan kelentingan keluarga
yang baik, yang dapat digunakan dalam menghadapi
stressor sepanjang kehidupan keluarga (Simon,
Murphy, Smith; 2005 dalam Sunarti,2007).
8) Tahap Perkembangan Keluarga Dalam siklus
kehidupan keluarga terdapat tahap-tahap yang dapat
diprediksi. Formulasi tahap-tahap perkembangan
keluarga yang paling banyak digunakan untuk
keluarga inti dengan dua orang tua adalah delapan
tahap siklus kehidupan keluarga dari Duvall (1977)
yaitu ; Keluarga pemula, keluarga sedang mengasuh
anak, keluarga dengan anak prasekolah, keluarga
dengan anak sekolah, keluarga dengan anak remaja,
keluarga dengan melepas anak dewasa muda,
keluarga dengan orang tua pertengahan dan keluarga
dalam masa pensiun atau lansia.

34
BAB 5
KONSEP GANGGUAN JIWA

5.1. Defenisi Gangguan Jiwa

Menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa adalah


gangguan alam: cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor).
Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-
keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan
dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan
tersebut dibagi ke dalam dua golongan yaitu : gangguan
jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa). Keabnormalan
terlihat dalam berbagai macam gejala yang terpenting
diantaranya adalah ketegangan (tension), rasa putus asa
dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang
terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu
mencapaitujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.
Gangguan Jiwa menyebabkan penderitanya tidak
sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi
menguasai dirinya untuk mencegah mengganggu orang lain
atau merusak/menyakiti dirinya sendiri (Yosep, 2009).
Gangguan Jiwa sesungguhnya sama dengan gangguan
jasmaniah lainnya, hanya saja gangguan jiwa bersifat lebih
kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas, takut
hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa atau lebih kita
kenal sebagai gila (Budiman, 2010).

5.2. Penyebab Gangguan Jiwa

Gejala utama atau gejala yang paling menonjol pada


gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi

35
penyebab utamanya mungkin dibadan (somatogenik), di
lingkungan sosial (sosiogenik), ataupun psikis (psikogenik)
(Maramis, 2010). Biasanya tidak terdapat penyebab
tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari
berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau
kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan
badan ataupun gangguan jiwa.
Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab
gangguan jiwa dapat dibedakan menjadi beberapa sebagai
berikut:
a. Faktor Biologis/Jasmaniah
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas,
mungkin terbatas dalam mengakibatkan kepekaan
untuk mengalamigangguan jiwa tapi hal tersebut
sangat ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan
yang tidak sehat.
2) Jasmaniah
Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh
seseorang berhubungan dengan ganggua jiwa
tertentu.Misalnya yang bertubuh gemuk/endoform
cenderung menderita psikosa manik depresif, sedang
yang kurus/ectoform cenderung menjadi skizofrenia.
3) Temperamen
Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya
mempunyai masalah kejiwaan dan ketegangan yang
memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.
4) Penyakit dan Cedera Tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit
jantung, kanker, dan sebagainya mungkin dapat
menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian
pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan
rasa rendah diri.

36
b. Ansietas dan Ketakutan
Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan
perasaan yang tidak menentu akan sesuatu hal
menyebabkan individu merasa terancam, ketakutan hingga
terkadang mempersepsikan dirinya terancam.

c. Faktor Psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan
keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan
dan sifatnya. Pemberian kasih sayang orang tua yang
dingin, acuh tak acuh, kaku dan keras akan menimbulkan
rasa cemas dan tekanan serta memiliki kepribadian yang
bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.

d. Faktor Sosio-Kultural
Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012)
yaitu:
1) Penyebab Primer (Primary Cause)
Kondisi yang secara langsung menyebabkan
terjadinya gangguan jiwa, atau kondisi yang tanpa
kehadirannya suatu gangguan jiwa tidak akan muncul.
2) Penyebab yang Menyiapkan (Predisposing Cause)
Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu
bentuk gangguan jiwa.
3) Penyebab Pencetus (Precipatating Cause)
Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian
traumatik yang langsung dapat menyebabkan
gangguan jiwa atau mencetuskan gangguan jiwa.
4) Penyebab Menguatkan (Reinforcing Cause)
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau
mempengaruhi tingkah laku maladaptif yang terjadi.
5) Multiple Cause
Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta
saling mempengaruhi.Dalam kenyataannya, suatu
gangguan jiwa jarang disebabkan oleh satu penyebab

37
tunggal, bukan sebagai hubungan sebab akibat,
melainkan saling mempengaruhi antara satu faktor
penyebab dengan penyebab lainnya.

e. Faktor Presipitasi
Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam
kejiwaan seseorang.Sebagai faktor stimulus dimana setiap
individu mempersepsikan dirinya melawan tantangan,
ancaman, atau tuntutan untuk koping.Masalah khusus
tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi dimana
individu tidak mampu menyesuaikan.Lingkungan dapat
mempengaruhi konsep diri dan komponennya. Lingkungan
dan stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri dan
hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi
penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses
tumbuh kembang, dan prosedur tindakan serta pengobatan
(Stuart&Sundeen, 2008).

5.3. Jenis-jenis Gangguan Jiwa

Klasifikasi berdasarkanDiagnosis gangguan jiwa


menurut Joseph (2009) dibagi menjadi:
A. Gangguan Jiwa Psikotik
Gangguan jiwa psikotik yang meliputi gangguan otak
organik ditandai dengan hilangnya kemampuan menilai
realita, ditandai waham (delusi) dan halusinasi, misalnya
skizofrenia dan demensia.
1) Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai
dengan berbagai tingkat kepribadian diorganisasi yang
mengurangi kemampuan individu untuk bekerja secara
efektif dan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Gejala
klinis skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri atau
cemas.Hal ini berdampak pada keinginan dan kemampuan

38
untuk meakukan tindakan oral hygiene.Jenis-jenis
skizofrenia menurut Maramis (2004) jenis-jenis skizofrenia
meliputi:
a. Skizofrenia Residual, merupakan keadaan skizofrenia
dengan gejala-gejala primernya, tetapi tidak jelas
adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul
sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.
b. Skizofrenia Simpleks, sering timbul pertama kali pada
masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi
dankemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi
jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan.
Pada permulaan mungkin penderita kurang
memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam
kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi
pengangguran, dan bila tidak ada orang yang
menolongnya ia akan mungkin akan menjadi
“pengemis”, “pelacur” atau “penjahat”.
c. Skizofrenia Hebefrenik atau disebut juga Hebefrenia,
menurut Maramis (2004) permulaannya perlahan-lahan
dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–
25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan
proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku
kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini.
Waham dan halusinasi banyak sekali.
d. Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia,
timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan
biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik
atau stupor katatonik.
e. Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala
skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan,
jugagejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania.

39
Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek,
tetapi mungkin juga timbul lagi serangan.
2) Demansia
Demansia diklasifikasikan sebagai gangguan medis
dan kejiwaan, demensia terkait dengan hilangnya fungsi
otak.Demensia melibatkan masalah progresif dengan
memori, perilaku, belajar, dan komunikasi yang
mengganggu fungsi sehari-hari dan kualitas hidup. Ada dua
jenis demensia, yaitu :
a. Kerusakan Kognitif Reversibel
Sering dikaitkan dengan obat-obatan, resep atau
lainnya, endokrin, kekurangan gizi, tumor, dan infeksi.
b. Kerusakan Kognitif Ireversibel
Alzheimer dan vaskular demensia merupakan
kerusakan kognitif ireversibel yang paling umum. Alzheimer
memiliki resiko meliputi usia, genetika, kerusakan otak,
sindroma down. Demensia vaskular melibatkan kerusakan
kognitif yang permanen akibat penyakit
serebrovaskuler.Tingkat keparahan dan durasi gangguan
tergantung pada penyakit serebrovaskular dan respon
individu terhadap pengobatan.

B. Gangguan Jiwa Neurotik


Gangguan kepribadian dan gangguan jiwa yang
lainnya merupakan suatu ekspresi dari ketegangan dan
konflik dalamjiwanya, namun umumnya penderita tidak
menyadari bahwa ada hubungan antara gejala-gejala yang
dirasakan dengan konflik emosinya. Gangguan ini tanpa
ditandai kehilangan intrapsikis atau peristiwa kehidupan
yang menyebabkan kecemasan (ansietas), dengan gejala-
gejala obsesi, fobia, dan kompulsif.

C. Depresi
Depresi merupakan penyakit jiwa akibat dysphoria
(merasa sedih), tak berdaya, putus asa, mudah

40
tersinggung, gelisah atau kombinasi dari karakteristik ini.
Penderita depresi sering mengalami kesulitan dengan
memori, konsentrasi, atau mudah terganggu dan juga
sering mengalami delusi atau halusinasi. Ketika seseorang
dalam keadaan depresi ada penurunan signifikan dalam
personal hygiene dan mengganggu kebersihan mulut.
1) Gangguan Jiwa Fungsional
Gangguan jiwa fungsional tanpa kerusakan
struktural dan kondisi biologis yang diketahui jelas
sebagai penyebab kinerja yang buruk.
2) Gangguan Jiwa Organik
Gangguan jiwa organik adalah kesehatan yang buruk
diakibatkan oleh suatu penyebab spesifik yang
mengakibatkan perubahan struktural di otak, biasanya
terkait dengan kinerja kognitif atau demensia.
3) Gangguan retardasi mental
Gangguan retardasi mental adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti dan tidak lengkap
yang terutama ditandai oleh rendahnya keterampilan
yang berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu
kemampuan kognitif (daya ingat, daya pikir, daya
belajar), bahasa, motorik, dan sosial.

5.4. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Gejala-gejala gangguan jiwa adalah hasil interaksi


yang kompleks antara unsur somatic, psikologik, dan sosio-
budaya. Gejala-gejala inilah sebenarnya menandakan
dekompensasi proses adaptasi dan terdapat terutama
pemikiran, perasaan dan perilaku (Maramis, 2010).
Gangguan mental dan penyakit mental dalam taraf awal
gejala-gejalanya sulit dibedakan, bahkan gejala itu
kadangkala menampak pada orang normal yang sedang
tertekan emosinya dalam batas-batas tertentu.Pada taraf

41
awal sulit dibedakan dengan gejala pada gangguan mental
gejala umum yang muncul mengenahi keadaan fisik,
mental, dan emosi. Tanda dan gejala gangguan jiwa secara
umum menurut Yosep (2009) adalah sebagai berikut :
1) Ketegangan (tension), Rasa putus asa dan murung,
gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa
(convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu
mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.
2) Gangguan kognisi pada persepsi merasa mendengar
(mempersepsikan) sesuatu bisikan yang menyuruh
membunuh, melempar, naik genting, membakar
rumah, padahal orang disekitarnya tidak
mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak
ada hanya muncul dari dalam individu sebagai bentuk
kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini
sering disebut halusinasi, klien bisa mendengar
sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada menurut orang lain.
3) Gangguan kemauan klien memiliki kemauan yang
lemah (abulia) usah membuat keputusan atau memulai
tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi,
merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau, dan
acak-acakan.
4) Ganggaun emosi klien merasa senang, gembira yang
berlebihan (Waham kebesaran). Klien merasa sebagai
orang penting, sebagai raja, pengusaha, orang kaya,
titisan Bung Karno tetapi dilain waktuia bisa merasa
sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi) samapai
ada ide ingin mengakhiri hidupnya.
5) Gangguan psikomotor Hiperaktivitas, klien melakukan
pergerakan yang berlebihan naik keatas genting berlari,
berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan
apaapa yang tidak disuruh atau menentang apa yang
disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan
gerakan aneh.

42
Menurut Yosep, (2009) dalam keadaan fisik dapat
dilihat pada anggota tubuh seseorang yang menderita
gangguan jiwa, diantaranya sebagai berikut :
1) Suhu Badan berubah
Orang normal rata-rata mempunyai suhu badan
sekitar 37 derajat celcius.Pada orang yang sedang
mengalami gangguan mental meskipun secara fisik tidak
terkena penyakit kadangkala mengalami perubahan suhu.
2) Denyut nadi menjadi cepat
Denyut nadi berirama, terjadi sepanjang hidup.
Ketika menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan,
seseorang dapat mengalami denyut nadi semakin cepat.
3) Nafsu makan berkurang
Seseorang yang sedang terganggu kesehatan
mentalnya akan mempengaruhi pula dalam nafsu makan.
4) Gangguan Keadaan Mental
Keadaan mental dan emosi nampak ditandai dengan
beberapa hal dibawah ini :
a. Delusi atau Waham yaitu keyakinan yang tidak
rasional (tidak masuk akal) meskipun telah
dibuktikkan secara obyektif bahwa keyakinannya itu
tidak rasional, namun penderita tetap meyakini
kebenarannya.
b. Halusinasi yaitu pengelaman panca indera tanpa ada
rangsangan misalnya penderita mendengar suara-
suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak
ada sumber dari suara/bisikan itu.
c. Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi
pembicaraannya, misalnya bicaranya kacau sehingga
tidak dapat diikuti jalan pikirannya.
d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir,
agresif, bicara dengan semangat dan gembira
berlebihan.
e. Tidak atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada
inisiatif, tidak ada upaya usaha, tidak ada spontanitas,

43
monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas
dan selalu terlihat sedih.

5.5. Jenis-jenis Terapi Gangguan Jiwa

Ada beberapa jenis terapi yang digunakan dalam


menjalankan pengobatan atau pengembalian
keberfungsian sosial klien. Diantaranya dengan beberapa
cara medis maupun spiritual keagamaan. Farida (2011)
dalam bukunya menyebutkan 10 jenis-jenis terapi bagi
gangguan jiwa diantaranya; 1) Psikofarmakoterapi, 2)
Terapi somatis, 3) Pengikatan, 4)Isolasi, 5) Fototerapi, 6)
Terapi deprivasi tidur, 7) Terapi keluarga, 8) Terapi
rekreasi, 9) Psikodrama, 10) terapi lingkungan.
1. Psikofarmakoterapi adalah terapi gangguan jiwa
dengan menggunakan obat-obatan. Obat yang
diberikan adalah jenis psikofarmaka atau psikotropika,
yang memberikan efek terapeutik secara langsung
kepada proses mental klien. Terapi ini bermanfaat
untuk memberikan efek tenang pada pasien.
2. Terapi somatis adalah terapi yang ditujukan pada fisik
klien gangguan jiwa, dengan tujuan dapat merubah
perilaku maladatif menjadi adaptif. Walaupun
perlakuannya terhadap fisik klien, yang menjadi target
adalah perubahan perilakunya. Adapun caranya dengan
diikat, isolasi dan fototerapi. Terapi ini digunakan untuk
memberikan efek jera supaya klien dapat merubah
perilakunya menjadinormal.
3. Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik
atau manual yang menbatasi aktivitas klien, bertujuan
menghindarkan cedera fisik pada diri klien atau orang
lain. Tentunya dengan prosedur yang telah ditentukan
oleh terapis yang memang sudah mengerti
prosedurnya. Pengikatan ini dilakukan pada gangguan

44
jiwa yang apabila dibiarkan perilakunya dapat
membahayakandiri.
4. Isolasi adalah terapi dimana klien diberikan ruangan
tersendiri untuk mengendalikan perilaku dan
melindungi orang lain disekitarnya dari bahaya
potensial yang mungkin terjadi. Akan tetapi terapi ini
tidak cocok untuk klien yang berpotensi bunuh diri,
karena dengan diisolasi bisa saja pasien tersebut malah
bunuhdiri.
5. Fototerapi adalah cara memaparkan klien pada sinar
terang 5-20x lebih terang dari sinar ruangan, dengan
posisi duduk, mata terbuka, pada jarak 1,5 meter di
depannya diletakan lampu setinggimata. Terapi ini
berhasil mengurangi 75% dengan efek seperti
ketegangan pada mata, sakit kepala, cepat terangsang,
mual, kelelahan dan sebagainya.
6. Terapi deprivasi tidur yaitu terapi yang dilakukan
dengan cara mengurangi tidur klien sepanjang 3,5 jam.
Cocok untuk yang depresi, karena terapi ini bertujuan
untuk memperbanyak aktifitas klien supaya tidak
terlalu berfikir keras tentang masalahnya. Setelah
dikurangi tidurnya selama 3,5 jam, maka klien tersebut
akan tertidur dengan lelap di malam berikutnya.
Apabila tidak berhasil, terapi ini dilakukan berulang-
ulang kali.
7. Terapi keluarga, merupakan sistem utama dalam
memberi perawatan, baik dalam keadaan sakit maupun
sehat. Keluarga harus tahu bagaimana keadaan
anggota keluarga yang lain. Supaya dapat saling
mengontrol dan memberikan masukan. Adapun tujuan
dari terapi keluarga adalah menurunkan konflik dan
kecemasan, meningkatkan kesadaran akan kebutuhan
masing-masing angota keluarga, meningkatkan
kemampuan dalam menangani krisis, membantu
menangani tekanan dari luar maupun dalam, dan

45
meningkatkan kesehatan jiwa. Keluarga merupakan
komponen yang penting dalam proses penyembuhan,
karena merupakan orang terdekat klien.
8. Terapi rehabilitasi merupakan terapi yang terdiri atas
terapi okupasi (bekerja), rekreasi, terapi gerak dan
terapi musik. Terapi okupasi yaitu suatu ilmu dan seni
untuk mengarahkan partisipasi dari klien, untuk proses
pengembangan diri, supaya dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan. Tujuannya adalah untuk
mengembalikan fungsi fisik dan mental, penyesuaian
diri klien terhadap aktifitasnya, meningkatkan toleransi
kerja dan menyalurkan minat dan bakat dari klien
tersebut. Terapi rekreasi adalah terapi yang
menggunakan kegiatan-kegiatan seperti pertandingan,
tarian, pesta, hiburan dan permaianan sebagai media
terapi. Terapi musik merupakan cara untuk
memberikan situasi menyenangkan bagi pasien
gangguan jiwa.
9. Terapi psikodrama mengunakan masalah emosi atau
pengalaman klien dalam suatu drama. Terapi ini
memberikan kesempatan kepada klien untuk
menyadari pikiran, perasaan, perilaku yang
mempengaruhi orang lain. Terapi bermain peran ini
bertujuan memfokuskan pemikiran klien supaya sadar
akan fungsi dan keberadaan dirinya. Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) Terapi aktivitas kelompok (TAK)
merupakan terapi yang bertujuan mengubah perilaku
pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok.
Cara ini cukup efektif karena di dalam kelompok akan
terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling
memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu
persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga
terbentuk suatu sistem sosial yang khas yang di
dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan
interdependensi.Terapi psikodrama dapat berbentuk

46
terapi aktivitas kelompok, Terapi Kognitif dan dengan
Menngunakan Teknik Ekonomi Token.
a. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) bertujuan
memberikan fungsi terapi bagi anggotanya, yang
setiap anggota berkesempatan untuk menerima
dan memberikan umpan balik terhadap anggota
yang lain, mencoba cara baru untuk meningkatkan
respons sosial, serta harga diri. Keuntungan lain
yang diperoleh anggota kelompok yaitu adanya
dukungan pendidikan, meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah, dan meningkatkan hubungan
interpersonal.
b. Terapi Kognitif adalah terapi jangka pendek dan
dilakukan secara teratur, yang memberikan dasar
berpikir pada pasien untuk mengekspresikan
perasaan negatifnya, memahami masalahnya,
mampu mengatasi perasaan negatifnya, serta
mampu memecahkan masalah tersebut.
c. Teknik Ekonomi Token adalah salah satu teknik
modifikasi perilaku dengan cara pemberian token
atau kepingan untuk menguatkanperilaku positif.
10.Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan
dimana lingkungan menjadi faktornya, dengan cara
manipulasi lingkungan yang dapat mendukung
kesembuhan klien. Seperti adanya udara bersih (pure
air), air jernih dan sehat (pure water), pembuangan
yang aman dan memadai (efficient drainage),
lingkungan yang bersih (cleanliness), sinar matahari
yang memadai (light). Adapun jenis-jenis terapi
lingkungan yaitu;
a. Terapi rekreasi yaitu mengisi waktu luang dengan
kegiatan yang menyenangkan serta meningkatkan
hubungansosial.
b. Terapi kreasi seni yaitu mengekspresikan perasaan
diri klien melaluiseni.

47
c. Menggambar dan melukis, bertujuan menurunkan
ketegangan dan konsentrasi pada kegiatan
yangdilakukan.
d. Literatur atau biblio therapy, dengan cara membaca
novel atau majalah, kemudianmendiskusikannya.
e. Pet therapy, yaitu menggunakan objek binatang
sebagai ganti penyesuaian diri dengan oranglain.
f. Plant therapy, yaitu dengan memelihara
sesuatu/makhluk hidup seperti tumbuhan, mulai
dari proses penanaman, perawatan dan
menggunakan tumbuhan tersebut. Terapi
lingkungan dapat dilakukan dengan keadaan
lingkungan yangmendukung.
Selain jenis terapi yang disebutkan diatas, terapi
dengan pendekatan humanis-eksistensial menjadi cara
untuk penyembuhan gangguan jiwa. Terapi-terapi
humanis-eksistensial lebih memusatkan perhatian pada
apa yang dialami pasien pada masa-masa sekarang “disini
dan kini”, bukan pada masa lalu atau lampau. Pendekatan
terapi humanistik eksistensial, melahirkan beberapa terapi
diantaranya terapi Person-Centered (berpusat pada klien)
dengan cara terapis menghargai tanggung jawab pasien
terhadap tingkah lakunya sendiri, mengakui bahwa pasien
memiliki dorongan yang kuat untuk menggerakan dirinya
ke arah kedewasaan dan independensi diri pasien. Terapi
ini lebih mengarah kepada personal pasien dan lingkungan.
Selanjutnya terapi gestalt, yaitu terapi yang menuju
kesempurnaan jiwa.
Terapi-terapi tersebut diatas merupakan jenis-jenis
terapi yang dilakukan untuk menyembuhkan pasien.
Keterampilan dan keahlian dari terapis tidak terlepas dari
berhasilnya proses terapi yang dilakukan.

48
5.6. Macam-macam Program Pengobatan pada
Pasien Gangguan Jiwa

Dalam menunjang tercapainya kesembuhan tidak


hanya terapi yang dibutuhkan, tetapi juga program
pengobatan pada pasien gangguan jiwa. Menurut Farida
(2011) macam-macam pengobatan pada pasien gangguan
jiwa diantaranya :
a. Pengobatan Rawat Inap Dirumah Sakit
Perawatan psikiatri rawat inap disebuah rumah sakit
merupakan cara utama untuk orang dengan penyakit
mental. Unit psikiatri menekankan terapi bicara atau
interaksi antara pasien dengan staf dan lingkungan yang
ada. Terapi lingkungan juga mrupakan salah satu aspek
dalam pengobatan rawat inap dirumah sakit untuk
membantu pasien dalam menstabilkan pasien dengan
gangguan jiwa yang lebih akut. Dalam init rawat inap
ditujukan untuk mengidentifikasi gejala dan ketrampilan
dalam menangani gejala yang muncul, serta
mengidentifikasi masalah jangka panjang untuk menjalani
terapi rawat jalan.
b. Pengobatan Rawat Jalan
Rawat jalam adalah salah satu unit kerja dirumah
sakit atau suatu pelayanan kesehatan yang melayani
pasien berobat jalan dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan,
termasuk seluruh prosedur diagnostik dan terapeutik.
Pelayanan rawat jalan merupakan pelyanan kepada pasien
untuk observasi, diagnosa pengobatan, rehabilitasi medik
dan peayanan kesehatan lainnya yang bersifat umum,
spesialistik, sub spesialistik yang dilaksanakan di suatu
rumah sakit atau layanan kesehatan tanpa tinggal rawat
inap (Agustiawan & Andri) Salah satu program dalam rawat
jalan adalah rehabilitasi kejiwaan yang mengacu pada
layanan yang dirancang untuk mempromosikan proses
pemulihan untuk orang dengan penyait mental. Program

49
rawat jalan bertujuan untuk mengontrol gejala dan
memanajemen pengobatan untuk pemberdayaan dan
pningkatan kualitas hidup. Pelayanan rawat jalan lebih
mengedepankan komunitas yang berbasis masyarakat.

50
BAB 6
FUNGSI, DUKUNGAN DAN
PEMBERDAYAAN KELUARGA PADA
ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA

6.1 Fungsi Keluarga

Friedman (2010) mengatakan bahwa keluarga


memiliki fungsi yang merupakan fungsi dasar keluarga
sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga itu sendiri.
Terdapat lima fungsi keluarga, yaitu:
6.1.1 Fungsi afektif
Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga
untuk memenuhi psikososial anggota keluarga
(Friedman, 2010). Fungsi ini dapat dikatakan
berkaitan dengan persepsi keluarga dan
kepeduliannya terhadap suatu kebutuhan
sosioemosional dari semua anggota keluarganya
termasuk di dalamnya ketegangan dan
mempertahankan moral (Friedman, 2010). Untuk
pemenuhan fungsi ini, keluarga memberikan
kenyamanan emosional anggota, membantu anggota
untuk membentuk identitas kepribadian serta
mempertahankan saat terjadi stres (Susanto, 2012).

6.1.2 Fungsi sosialisasi


Didalam keluarga fungsi sosialisasi ini adalah
pembelajaran yang diberikan oleh keluarga dalam
mengajarkan setiap anggota keluarga dan melatihnya
agar bisa mengemban peran orang dewasa dalam
masyarakat. Dalam hal ini keluarga mengajarkan
tentang norma sosial, budaya, dan harapan mengenai

51
apa yang benar dan salah (Friedman, 2010). Dalam
hal ini juga keluarga mengajarkan tentang mekanisme
koping, dan memberikan feedback ataupun umpan
balik serta memberikan petujuk dalam pemecahan
suatu masalah yang di hadapi (Susanto, 2012).

6.1.3 Fungsi perawatan kesehatan


Keluarga juga memiliki peran dalam memberikan,
kenyamanan lingkungan sebagai penyembuhan,
perkembangan dan istirahat ini juga termasuk dalam
penyembuhan sakit (Friedman, dalam Susanto,
2012). Menurut Prat dalam Friedman (2010) Keluarga
merupakan suatu sistem dasar tempat perilaku
kesehatan dan perawatan diatur, dilakukan dengan
memberikan promosi kesehatan, dan perawatan
kesehatan, preventif ataupun pecegahan suatu
penyakit, serta perawatan bagi anggota keluarga yang
sakit demi mendapatkan kesehatan yang optimal.

6.1.4 Fungsi ekonomi keluarga


Keluarga disini sangat berfungsi dalam memenuhi
kelangsungan hidup keluarga serta memberikan
kebutuhan keluarga baik secara ekonomi seperti
kebutuhan finansial, materi, ruang, ataupun alokasi
sesuai proses pengambilan keputusan (Friedman,
2010).

6.1.5 Fungsi reproduksi


Fungsi reproduksi menurut Friedman (2010) yaitu
keluarga memiliki tugas untuk menjamin kontinuitas
antar generasi keluarga dan masyarakat, memelihara
kemudian membesarkan, memenuhi kebutuhaan,
serta menjaga kelangsungan hidup keluarga.

52
6.2 Dukungan Keluarga

6.2.1 Definisi Dukungan Keluarga


Menurut Friedman (2010) keluarga adalah dua
individu atau dimana mereka disatukan oleh
kebersamaan dan kedekatan emosional serta bisa
mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai bagian
dari keluarga sehingga dapat memperoleh fungsi dan
tujuan keluarga. Keluarga merupakan gabungan dari
beberapa manusia bisa lebih dari dua orang yang
mempunya ikatan darah antara satu sama lain. Dapat
pula terjadi karena pernikahan, mengasuh anak orang
lain, dan bisa tinggal dalam satu atap kalaupun
berpisah harus tetap memiliki kepedulian kepada satu
sama lain (Muhlisin, 2012).
Dukungan keluarga sangatlah dibutuhkan oleh
semua individu di dalam setiap siklus kehidupannya.
Dukungan keluarga juga memiliki manfaat yang
sangat besar pula sebagai koping keluarga khususnya
pada saat seseorang sedang menghadapi suatu
masalah, jenis dukungan ini bisa berupa dukungan
keluarga internal (seperti dukungan dari ayah atau
dukungan dari saudara kandung) dan dukungan
keluarga eksternal seperti teman, tetangga, keluarga
besar dan kelompok sosial (Efendi dan Makhfudli,
2009).
Pada hakekatnya dukungan dapat digambarkan
perasaan memiliki atau keyakinan bahwa seseorang
merupakan peserta aktif dalam kegiatan sehari-hari
(Friedman, 2010).

6.2.2 Jenis Dukungan Keluarga


Menurut Friedman (2010) menjelaskan bahwa
keluarga memiliki beberapa jenis dukungan antara
lain:

53
6.2.2.1 Dukungan emosional
Menurut Sarafino (2011) keluarga merupakan
sumber kenyamanan, kehangatan, dukungan, cinta
dan penerimaan pada saat seseorang mengalami
stres. Menurut Viatin (2010) menjelaskan bahwa
dukungan emosional merupakan dukungan yang
membuat keluarga sebagai tempat yang aman dan
damai pada saat seseorang sedang istirahat dan bisa
membantu dalam pengontrolan terhadap emosi
seperti memberikan kepedulian kepada anggota
keluarga terhadap kemandirian klien ODGJ dalam
melaksanakan aktivitas sehari-harinya. Serta
dukungan emosional ini juga melibatkan ekspresi,
rasa empati dan perhatian terhadap seseorang
sehingga seseorang yang mendapat dukungan
emosional ini merasa lebih baik, memperoleh
keyakinan, merasa dimiliki dan dicintai. Selama ODGJ
mengalami masalah pada perawatan diri nya,
kemungkinan klien ODGJ akan memiliki permasalahan
dalam emosionalnya seperti perasaan sedih, cemas,
mengalami gangguan citra tubuh serta kehilangan
harga diri (Sutanto, 2013).
Bentuk dukungan emosional yang dapat diberikan
keluarga menurut Kaakinen et al (2010) meliputi
keluarga dapat mendengarkan dengan seksama,
dengan memberi pujian, tetap berusaha ada disaat
anggota keluarga membutuhkan. Menurut Friedman
(2010) dengan adanya dukungan emosional di dalam
keluarga secara positif dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anggotanya.
Dukungan emosional bisa membuat seseorang
tersebut merasa lebih baik, mendapatkan kembali
keyakinannya, merasa dimiliki dan dicintai oleh orang
lain.

54
6.2.2.2 Dukungan informasional
Keluarga juga berfungsi sebagai sebuah penyebar
atau sumber informasi kepada anggota keluarga
lainnya. Dari bentuk dukungan ini memiliki tujuan
agar dapat digunakan oleh seseorang dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut
Viatin (2010) menjelaskan bahwa dukungan
informasional adalah dukungan yang memiliki fungsi
sebagai pemberi informasi mengenai segala sesuatu
yang dipergunakan untuk mengungkapkan suatu
masalah..Bentuk dari dukungan informasional yang
diberikan oleh keluarga menurut Kaakinen et al
(2010) adalah pemberi semangat, pemberian nasehat
bagi keluarga yang tengah mengalami suatu masalah,
dan juga pemberian informasi dari berbagai sumber
yang didapat keluarga serta mengawasi rutinnya
melakukan perawatan diri dan pengobatan. Pada
dukungan informasi ini fungsi keluarga sangatlah
besar dalam pemberi informasi kepada klien ODGJ
sehingga dapat menerapkan perawatan diri dengan
baik.
6.2.2.3 Dukungan instrumental
Menurut Friedman (2010) dukungan instrumental
adalah suatu dukungan yang menetapkan keluarga
sebagai pemberi pertolongan praktis dan konkrit
seperti bantuan yang langsung diberikan oleh orang
yang bisa diandalkan seperti materi, tenaga, dan
sarana. Dukungan ini memiliki manfaat yaitu individu
akan merasa mendapat perhatian atau kepedulian,
dan dukungan yang penuh dari keluarga.
6.2.2.4 Dukungan penilaian
Dukungan penilaian merupakan tindakan dari
keluarga guna untuk membimbing dan menengahi jika
terdapat suatu masalah dan sebagai pemecahan
masalah tersebut, dan juga dapat sebagai sumber dan

55
validator identitas diri dari anggota keluarga
diantaranya seperti memberikan sebuah support
ataupun dukungan, penghargaan, dan perhatian. Dari
dukungan penilaian ini yang dapat dilakukan oleh
keluarga diantaranya adalah dengan memberikan
motivasi yang baik sehingga seseorang yang
mendapatkan dukungan penilaian ini bisa
medapatkan motivasi dalam hidupnya, pengakuan,
penghargaan, serta mendapatkan perhatian pada
anggota keluarga.

6.2.3 Macam-macam Bentuk Dukungan Keluaraga


Menurut Indriyani (2013), membagi jenis-jenis
dukungan keluarga menjadi 3 yaitu :
6.2.3.1 Dukungan Fisiologis
Dukungan fisiologis adalah suatu bentuk
dukungan yang dilakukan dalam bentuk pemberian
pertolongan didalam kegiatan keseharian seseorang
yang mendasar, contohnya seperti dalam kegiatan
mandi, mempersiapkan makanan dan memperhatikan
gizi, toileting, memfasilitasi tempat tertentu atau
ruang khusus, merawat seseorang bila mengalami
suatu penyakit, membantu kegiatan fisik yang sesuai
dengan kemampuannya, seperti yoga, serta
menciptakan suasana lingkungan yang aman
sehingga terhindar dari bahaya, dan lain-lain.
6.2.3.2 Dukungan Psikologis
Dukungan psikologis merupakan dukungan yang
ditunjukkan dengan cara memberikan perhatian dan
kasih sayang kepada anggota keluarga, pemberian
rasa aman, membantu keluarga untuk menyadari, dan
memahami tentang identitas. Selain dari itu dukungan
psikologis dapat juga diberikan dengan cara meminta
pendapat orang atau dengan melakukan diskusi,
meluangkan waktu berbincang- bincang sehingga

56
terjaga komunikasi yang baik dengan intonasi atau
nada bicara jelas, dan sebagainya. Sedangkan Stolte
(2003) berpendapat bahwa keluarga mempunyai
fungsi proteksi atau pertahanan yang melingkupi
selain dari memenuhi kebutuhan pangan dan tempat
tinggal, juga dapat memberikan dukungan dan
menjadi tempat yang aman dariberbagai bahaya di
dunia luar.
6.2.3.3 Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah dukungan yang diberikan
dengan cara memberikan saran kepada seseorang
agar menjalankan kegiatan spiritual seperti sholat,
pengajian, perkumpulan arisan, mengajak seseorang
untuk melakukan gotong royong bersama,
memberikan kesempatan untuk memilih fasilitas
kesehatan sesuai dengan yang di inginkan, saling
menjaga interaksi dengan orang lain, dan
memperhatikan dan menjalankan norma-norma yang
berlaku di lingkungannya.

6.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dukungan


Keluarga
Menurut Purnawan (2008), faktor-faktor yang
mempengaruhi dukungan keluarga adalah:
6.2.4.1 Faktor Internal
a. Tahap Perkembangan
Tahap perkembangan yang memiliki artian seperti
dukungan yang dapat tetapkan oleh rentang usia
semisal dari bayi sampai lansia yang memiliki tingkat
pengetahuan atau pemahaman dan respon terhadap
perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
b. Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan
Seseorang yang memiliki keyakinan terhadap
adanya suatu dukungan akan terbentuk oleh
intelektual yang terdiri atas pengetahuan, latar

57
belakang pendidikan, serta pengalaman masa lalu
yang dialami. Kemampuan kognitif yang dimiliki
tersebut akan membangun cara berfikir seseorang
termasuk kemampuan dalam memahami faktor-
faktor yang berkaitan dengan suatu penyakit dan akan
menjaga kesehatan nya sesuai dengan kemampuan
dan tingkat pengetahuan yang dimiliki.
c. Faktor Emosi
Faktor yang lain yang dapat mempengaruhi
keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara
melaksanakannya adalah faktor emosional. Jika
seseorang yang mengalami respon stres dalam segala
perubahan hidupnya cendrung akan berespon sebagai
tanda sakit, hal tersebut akan dilakukan dengan cara
selalu khawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat
mengancam kehidupannya dan tidak dapat untuk di
sembuhkan. Namun sebaliknya jika seseorang yang
secara umum selalu berusaha untuk tetap tenang
mungkin bisa saja memiliki respon emosional yang
kecil selama sakit. Seorang individu yang tidak dapat
melakukan koping yang baik secara emosional
terhadap suatu ancaman penyakit bisa saja individu
tersebut memiliki pemikiran bahwa adanya gejala
penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani
pengobatan.
d. Faktor Spiritual
Spiritual merupakan bagaimana seseorang
menjalani kehidupan sehari- harinya, dan mencakup
semua nilai-nilai dan keyakinan yang
dilaksanakannya, ataupun dapat pula seperti
hubungan dengan keluarga atau teman dan
kemampuan dalam mencari harapan dan arti dalam
kehidupan.

58
6.2.4.2 Faktor Eksternal
Didalam faktor eksternal ini terbagi lagi menjadi
beberapa kelompok yakni :
a. Praktik Dikeluarga
Yang dikatakan praktik dikeluarga disini adalah
tentang bagaimana keluarga dalam memberikan
dukungan yang biasanya bisa mempengaruhi klien
dalam melaksanakan kesehatannya. Sebagai
contohnya jika keluarga sering melakukan melakukan
tindakan pencegahan maka bisa saja klien juga akan
melakukan hal yang sama. Misalnya anak yang sering
diajak oleh orang tuanya untuk melakukan
pemeriksaan secara rutin, maka ketika anak tersebut
memiliki keturunan maka dia akan melakukan hal
yang sama.
b. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial dan psikososial ini bisa saja
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya suatu
penyakit dan dapat mempengaruhi cara seseorang
mengartikan dan bereaksi tehadap penyakitnya. Yang
dimaksud dalam psikososial ini mencakup: stabilitas
perkawinan, gaya hidup dan lingkungan kerja.
Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan
persetujuan dari kelompok sosialnya. Hal ini yang bisa
mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara
pelaksanannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi
seseorang maka orang tersebut akan lebih cepat
tanggap terhadap gejala penyakit yang dialami.
Sehingga dia akan segera mencari pertolongan karena
dia merasa ada sesuatu yang tidak normal terjadi
pada kesehatannya.
c. Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya juga bisa mempengaruhi
keyakinan seseorang, nilai dan kebiasaan individu
dalam pemberian dukungan termasuk cara

59
pelaksanaan kesehatan pribadi.

6.2.5 Manfaat Dukungan Keluarga


Menurut Setiadi (2008), dukungan sosial keluarga
memiliki dampak kepada kesehatan dan
kesejahteraan yang berjalan secara bersamaan.
Dengan adanya dukungan keluarga yang kuat dapat
membuat menurunnya mortalitas, lebih cepat sembuh
dari penyakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan
emosi. Selain itu, dukungan keluarga ini juga memiliki
pengaruh yang baik dan positif pada kehidupan,
seperti membuat fikiran baik pada saat mengalami
stres . Dukungan sosial keluarga merupakan suatu
proses yang kita alami sepanjang masa dalam
kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial keluarga
juga berbeda-beda pada setiap orang dan keluarga
ataupun pada siklus kehidupan. Namun walaupun
demikian yang terjadi dalam semua tahap siklus
kehidupan, dukungan sosial keluarga akan membuat
keluarga dapat berfungsi dalam berbagai keahlian dan
akal yang dimiliki. Sehingga hal tersebut akan
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga
(Friedman, 2013)

6.3 Pemberdayaan Keluarga sebagai Intervensi


Keperawatan

Dunst, Trivette (1988), mengusulkan pemberdayaan


keluarga sebagai intervensi keperawatan dengan
menyajikan model intervensi berdasarkan tiga komponen
utama pemberdayaan yang berasal dari pengamatan ilmiah
dan sintesa lieratur. Komponen pertama adalah ideologi
pemberdayaan, yang menjelaskan bahwa semua individu
dan keluarga meyakini memiliki kekuatan dan kemampuan

60
serta kapasitas untuk menjadi kompeten. Komponen
kedua, partisipasi pengalaman, merupakan proses
membangun kekuatan dari kelemahan yang ada secara
benar, komponen ini merupakan bagian dari model
intervensi keluarga. Komponen ketiga, hasil
pemberdayaan, kompenen ini terdiri dari perilaku yang
diperkuat atau dipelajari, penilaian terhadap peningkatan
pengawasan misal ; konsep diri dan motivasi instrinsik.
Intervensi Pemberdayaan Keluarga menurut Dunst et al’s.
(1988) yang diadaptasi oleh Nissim dan Sten (1991)
Intervensi Pemberdayaan Keluarga mencakup :
1. Membangun kepercayaan dengan membentuk
hubungan dengan keluarga, membangun komunikasi
empatik dan mendengarkan serta menerima seluruh
anggota keluarga.
2. Membangun hubungan langsung dengan anggota
keluarga yang menderita sakit (Penderita/klien)
3. Prioritaskan kebutuhan keluarga yang dirasakan oleh
keluarga untuk segera ditangani terlebih dahulu
4. Membantu keluarga menentukan praktek perawatan
keluarga dengan memperhatikan praktek perawatan
yang telah dilakukan keluarga dan kebutuhan akan
pendidikan kesehatan.
5. Menyediakan informasi yang akurat dan lengkap
mengenai kondisi klien atau penderita menyangkut
gejala, kontrol, dan masa depan implikasi kondisi
kronis.
6. Membantu keluarga dalam menetapkan tujuan yang
realistic
7. Membimbing Keluarga dalam menilai dukungan
internal keluarga dan sumber daya dalam
memobilisasi untuk memenuhi kebutuhan
pertolongan yang dirasakan keluarga.

61
8. Membimbing keluarga dalam menilai kekuatan
keluarga dan memobilisasinya untuk memecahkan
masalah.
9. Memperkuat kemampuan keluarga untuk
mengidentifikasi beberapa alternatif pilihan
keperawatan.
10.Mendiskusikan dengan keluarga mendapatkan
pelayanan dan perawatan dari fasilitas-fasiltas
kesehatan yang tersedia.
11.Berikan penilaian yang tepat (reinforcemet positif)
terhadap kemampuan dan keterampilan merawat
anggota keluarga yang sakit.
12.Perawat dapat melakukan promosi perawatan diri
pada keluarga melalui pendidikan, negosiasi dan
melakukan evaluasi pemberdayaan keluarga.

6.3.1 Pemberdayaan dan Tugas Keluarga Pada Orang


Dengan Gangguan Jiwa
Tugas keluarga dalam kesehatan adalah sebagai berikut
(Friedman, 2010) :
1. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota
keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan
tanggungjawab keluarga, maka apabila menyadari
adanya perubahan perlu segera dicatat kapan
terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan sebesar apa
perubahannya.
2. Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat
bagi keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama
untuk mencari bantuan yang tepat sesuai dengan
masalah kesehatan yang menimpa keluarga. Sumber
daya internal keluarga yang dianggap mampu
memutuskan akan menentukan tindakan yang tepat
dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami. Jika

62
secara internal keluarga memiliki keterbatasan sumber
daya, maka keluarga akan mencari bantuan dari luar.
3. Merawat anggota keluarga yang sakit
Perawatan ini dapat dilakukan dirumah apabila
keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan
pertolongan pertama atau ke pelayanan kesehatan
untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah
yang lebih parah tidak terjadi.
Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin
kesehatan keluarga. Tugas ini merupakan upaya
keluarga untuk mendayagunakan potensi internal yang
ada di lingkungan rumah untuk mempertahankan
kesehatan atau membantu proses perawatan anggota
keluarga yang sakit.
4. Menggunakan fasilitas kesehatan
Tugas ini berupaya untuk mengatasi masalah
kesehatan anggota keluarga dengan memanfaatkan
fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Salah satu tugas keluarga dalam masalah kesehatan
adalah merawat anggota keluarga yang sakit yang
dalam hal ini adalah anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa. Untuk dapat merawat anggota keluarga
yang mengalami Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ),
keluarga harus memiliki pengetahuan yang baik
sehingga sikap dan motivasi keluarga meningkat dan
pada akhirnya merubah perilaku keluarga dalam
merawat ODGJ. Untuk dapat meningkatkan
pengetahuan dalam merawat tersebut dibutuhkan
suatu intervensi yang sesuai dengan kondisi
masyarakat. Intervensi tersebut dapat dilakukan
melalui pendidikan kesehatan.
Peran keluarga merupakan serangkaian tingkah laku
antar perseorangan, karakter dimana umumnya
berkaitan dengan indivdu dalam situasi dan posisi
tertentu. Peranan individu pada keluarga dilandasi atas

63
hasrat juga kebiasaan dalam keluarga (Setiadi,2014).
Peranan Keluarga pada ODGJ antara lain:
1. Motivator
Keluarga berfungsi sebagai pelaksana perilaku untuk
menggapai sebuah harapan yang berlandaskan akan
adanya sebuah keinginan bersama dalam keluarga
dimana sangat memerlukan support keluarga agar
pemenuhan personal hygiene ODGJ terpenuhi.
2. Edukator
Suatu usaha keluarga ketika mengajarkan sesuatu
pada anggota keluarga lain termasuk ODGJ karena
personal hygienenya yang kurang. Karna itu keluarga
bisa berperan sebagai sumber informasi yang efektif
mengenai hidup sehat terutama bagaimana keluarga
berperan dalam pemenuhan personal hygiene ODGJ.
3. Fasilitator
Keluarga yang sakit memerlukan sarana untuk
mencukupi kebutuhan sehingga keberhasilan tercapai.
Karna hal tersebut, dianjurkan keluarga untuk selalu
berbenah diri dalam mefasilitasi personal hygiene
anggota keluarga yang kurang baik itu alat mandi, sikat
gigi, sabun, shampoo, pasta gigi ataupun yang lainnya.
Keluarga merupakan sarana utama dalam proses
pemenuhan kesehatan semua anggota keluarga bukan
individu sendiri yang berusaha mencapai derajat
kesehatan yang dimaksud (Friedman, 1998).
Menurut beberapa sumber lain keluarga juga memiliki
peranan lain, yaitu:
1. Menyikapi ODGJ dengan perilaku yang mampu
menumbuhkan munculnya optimis dan harapan.
Optimis dan harapan bisa menjadi suatu pendorong
penyembuhan ODGJ, disisi lain memandang rendah,
ujaran hinaan, pesimis akan berdampak memperlambat
proses penyembuhan. Adanya keluarga, saudara dan
teman merupakan salah satu faktor utama dalam

64
proses penyembuhan ODGJ melalui harapan yang
disalurkan bahwa ODGJ bisa sembuh dan hidup kembali
secara produktif di masyarakat. Mampu memberikan
semangat, harapan serta dukungan sumber daya yang
dibutuhkan untuk penyembuuhan. Lewat dukungan
yang terbentuk dari pertemanan dan persaudaraan
diharapkan ODGJ mampu perlahan mengubah hidup
dari yang kurang sehat menjadi lebih sejahtera hingga
memiliki peranan di masyarakat.
ODGJ akan mampu hidup mandiri, melalui peranan
dan partisipasinya di masyarakat. Optimis dan harapan
mampu menjadi pendorong penyembuhan ODGJ. Di sisi
lain, memandang rendah, ujaran kehinaan,
menunjukkan pesimis akan memperlambat proses
penyembuhan (Setiadi,2014).
2. Merawat ODGJ dalam memberi, mengawasi minum
obat serta mengurangi ekspresi keluarga. Keluarga
berperan sebagai “perawat utama” untuk ODGJ.
Dimana keluarga memiliki peran dalam memilih
perawatan apa yang akan diberikan pada ODGJ, jika
perawatan di rumah tidak sesuai (sia-sia) maka klien
akan dirawat kembali di Rumah Sakit (Keliat, 1996).
3. Mampu mengontrol ekspresi emosi keluarga. Hal ini
bisa diwujudkan melalui pengontrolan kritikan,
permusuhan yang bisa berdampak tekanan pada
klien Andri (2008) berasumsi sama halnya dengan
yang disampaikan David (2003), yang mengatakan
bahwa dinamika dan kekacauan anggota keluarga
berperan penting dalam timbulnya kekambuhan
pada ODGJ (Made Ruspawan dkk, 2011).
4. Meminimalisir terjadinya kekambuhan. Hal ini
diusahakan dengna cara meningkatkan fungsi
berpikir melalui motivasi, mendengar dengan baik,
kesempatan rekreasi, menciptakan rasa bahagia,

65
Keluarga mmeiliki kewajiban dan tanggung jawab
dalam memberi asuhan (Wuryaningsih dkk, 2013).
Sedangkan peran keluarga dalam mengasuh odgj di
rumah (Ngadiran, 2010) :
1. Menciptakan situasi rumah yang bersih, sehat, dan
menyenangkan sehingga memfasilitasi proses
penyembuhan pasien baik secara fisik, psiko, dan
sosial secara optimal.
2. Ikut serta bertanggung jawab dalam tindak lanjut
pengobatan di fasilitas layanan kesehatan yang
tersedia dan turut mengawasi kepatuhan minum
obat di rumah.
3. Membantu melaksanakan aktivitas sebelum dan
sesudah perawatan klien serta bertanggung jawab
atas kemandirian klien.
4. Mampu bekerja sama dengan baik terhadap tenaga
kesehatan dalam hal turut berpartisipasi dalam tahap
pemulihan klien dirumah.
5. Menciptakan hubungan situasi dan kondisi yang baik
dengan keluarga dan tetangga. Diharapkan
masyarakat mampu mengerti akan kondisi, sikap,
dan penyakit klien sehingga apabila klien melakukan
hal yang tidak wajar masyarakat bisa maklum,
bersikap positif, serta mendukung kesembuhan
klien.
6. Membantu untuk tetap memberikan aktivitas pada
klien sehingga bisa mempertahankan kondisi yang
baik pada klien.
7. Aktif berpartisipasi dalam proses terapi keluarga.
Sedangkan peran keluarga dalam merawat orang sakit
antara lain, yaitu: Menurut Setyowati dan Murwani (2007),
sejalan dengan fungsi memelihara kesehatan, keluarga
memiliki kewajiban di bidang kesehatan yang perlu
diketahui dan dilaksanakan, antara lain:

66
1. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan adalah kebutuhan yang tidak boleh
diabaikan sebab jika kesehatan terganggu maka hal
yang lain jadi tidak berarti karena kesehatan terkadang
semua kekuatan daya dan dana keluarga habis.
Keluarga perlu memahami kondisi sehat sekaligus
perubahan yang akan dirasakan anggota keluarga
secara tidak langsung akan menjadi fokus keluarga.
Jika keluarga sadar kapan terjadi perubhaan itu terjadi
maka perlu dicatat, bagaimana perubahan terjadi,
perubahannya seberapa besar. Sedetail apa keluarga
memahami mengenai fakta-fakta dari masalah
tersebut, apa saja yang bisa mempengaruhi dan
penyebabnya serta tanggapan keluarga terhadap
tersebut.
2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi
keluarga
Hal ini merupakan upaya pertama keluarga ketika
mencari bantuan yang tepat sesuai dengan kondisi
keluarga, melalui pertimbangan diantara keluarga siapa
yang memiliki kemampuan memutuskan untuk
menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan
yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat, agar
masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan dapat
teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat
meminta bantuan kepada orang di lingkungan tinggal
keluarga agar memperoleh bantuan.
3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan
Keluarga biasanya telah memilih tindakan yang benar,
namun keluarga mempunyai keterbatasan dan biasanya
telah diketahui keluarga itu sendiri. Maka dari itu,
keluarga yang memiliki masalah kesehatan tadi perlu
ditindak lanjuti melalui perawatan agar masalah tidak
semakin parah. Hal ini bisa dipenuhi di pelayanan

67
kesehatan apabila keluarga tidak mampu melakukan
pertolongan pertama.
4. Menciptakan lingkungan sehat untuk menjamin
kesehatan keluarga
Buat kondisi lingkungan yang aman dan nyaman. Bisa
dengan cara membuat suasana rumah yang selalu
bersih, tenang, banyak tanaman serta bebas dari
kebisingan.
5. Memanfaatkan layanan fasilitasi kesehatan yang ada
Adanya fasilitas layanan kesehatan seperti
puskesmas bisa dimanfaatkan sebagai sumber informasi
kesehatan sekaligus pengobatan pertama bagi keluarga
yang membutuhkan.

68
DAFTAR PUSTAKA

Asih,Olivia & Ola Atanilla.2019. Peran Keluarga Terhadap


Anggota Keluarga Dengan Gangguan Jiwa Di
Kecamatan Tobelo, Halmahera Utara, Volume 3,
No.2 Tahun 2019
Ayllon, T. (1999). How to Use Token Economy and Point
Systems. 2nd ed. Austin, Texas: Pro-Ed.
Budiman.(2010). Jumlah Gangguan Jiwa.
http://www.suarabandung.com. diakses pada 26
Oktober 2019.
Depkes RI. (2010). Pengertian Gangguan Jiwa.Diakses
pada tanggal 26 Oktober 2019 dari
http://www.depkes.co.id.
Edi Purwanta. (2005). Modifikasi Perilaku. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan
Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan
Tinggi.
Eford, B.T. (2015). Forty Techniques Every Counselor
Should Know / Bradley T. Erford.-Second Edition.
Hoboken: Pearson Education, Inc
Fahrudin, A. (1997). Pengubahan Perilaku Penderita Cacat:
Modul Program D1 Pekerjaan Sosial Bidang Kajian
Rehabilitasi Sosial. Bandung: STKS Bandung.
Fahrudin, A. (2010). Panduan Terapi Psikososial
Menggunakan Teknik Ekonomi Token di Panti Sosial.
Bandung: Jurusan Rehabilitasi Sosial STKS Bandung.
Garry, M. (1999). Behavior Modification: What It Is and
How to Do It. 6th ed. Upper Saddle River, New
Jersey: Prentice-Hall.
Maramis, W.F. (2010). Ilmu kedokteran jiwa, Erlangga
Universitas Press.

69
Miltenberger, R. G. (2001). BehaviorModification: Principles
and Procedures. 2nd ed. Belmont, California:
Wadsworth/Thomson Learning.
Notoatmodjo, S. (2007). Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan Cetakan Kedua. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan Dan Perilaku
Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nurhaeni,N. 2014. Konsep Model Dan Pengukuran
Pemberdayaan Keluarga Pada Anak Balita Penderita
Pneumonia Dalam Penanganan Keperawatan Di
Rumah Sakit. Disertasi.Universitas Indonesia
Nurhaeni, N., Sutadi, H., Rustina, Y., & Supriyatno, B.
(2011). Pemberdayaan keluarga pada anak balita
pneumonia di rumah sakit: Persepsi perawat anak
dan keluarga. Makara of Health Series, 15(2), 58-64.
Pratiwi, A. dkk. 2015. Penyakit Jiwa Di Komunitas. WARTA.
Vol 18 No. 2
Sears, D. O, Freedman, J dan Peplau, A. (1988). Psikologi
Sosial. Jakarta : Erlangga
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa Edisi Refisi. Bandung:
PT.Refika Aditama.
Miltenberger, Raymon G. (2004). Behavior Modification:
Principle and Procedures Third Edition. United States
of America: Wadsworth.
Soekadji, Soetarlinah. (1983). Modifikasi Perilaku:
Penerapan Sehari-hari dan Penerapan Profesional.
Yogyakarta: Liberty.
Jenson, W. R., Sloane, H., & Young, R. (1988). Token
economies. Applied behavior analysis in education: A
structured teaching approach. New York: Prentice
Hall.
Sulzer-Azaroff, B., & Mayer, G. R. (1996). Applying
behavior-analysis procedures with children and
youth. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

70
Walker, H. M., & Buckley, N. (1974). Token reinforcement
techniques. Eugene, OR: E-B Press.
Wiyati, R. 2010. Pengaruh Psikoedukasi keluarga
terhadapKemampuan Keluarga Merawat Pasien
Isolasi Sosial. Jurnal Keperaatan Soedirman, Volume
5, No 2 Juli 2010

71

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai