Anda di halaman 1dari 8

Paper UAS Makrois

Outline: (25 halaman)


1. Masalah, isu → sebagai pengantar awal (Emir)

- Overview Debt-issue (USA, Indonesia, Global) → Datcomm

- Pin-point masalahnya → 3 masalah utama → paragraf


- Bridging ke solusi debt-issue
2. Fondasi Islam mengenai Fiskal (Murod)
- Prinsip → jabarin beberapa poin → jelaskan

- Pendapat ahli → Faridi, Kahf, Chapra → breakdown


3. Isu Deficit-financing dalam perspektif Islam (Ali)
-
4. Framework Deficit-financing dalam perspektif Islam (Ali)
- Longer time-frame
- Sukuk issuance

5. Dalam kerangka kebijakan ekonomi Islam, lebih fokus pada sektor fiskal

dibandingkan moneter? → sabi dijelasin ajaa alasannyaaa

Deadline: Jum’at, 11 November 2022

Rencana: Nambahin isu lain + praktik/implementasi

Debt Issue Berbagai Negara

(Intro apa itu debt issue, mengapa bisa terjadi, dan apa dampaknya)
Kedua grafik di atas memperlihatkan kondisi utang salah satu negara superpower di
dunia yaitu Amerika Serikat dari sisi debt increase dan deficit-to-GDP ratio dengan data
diperoleh dari US Department of Treasury. Pada grafik di sebelah kiri (debt increase)
kenaikan utang pemerintah AS terlihat stabil selama abad ke-20 yaitu mulai tahun 1929
sampai tahun 1998. Kenaikan signifikan hanya terjadi pada tahun 1941-1945 yakni sebagian
besar utang negara terbebani untuk membiayai sektor militer dalam Perang Dunia 2 dan pada
tahun 1980-1998. Selanjutnya, pada abad ke-21 kenaikan utang negara US yang terjadi
sangat signifikan, fluktuatif, dan bahkan bisa dikatakan meroket. Kenaikan signifikan terjadi
dua kali yakni pada tahun 2008 yaitu saat terjadi Global Financial Crisis yang awalnya
memang bermula di AS dan pada tahun 2020 yaitu saat dunia termasuk AS dilanda oleh
pandemi Covid-19.
Pada grafik di sebelah kanan (deficit-to-GDP ratio) beban utang pemerintah AS lebih
terefleksikan karena disandingkan dengan total GDP sebagai rasio total besaran utang dengan
tingkat perekonomian yang diciptakan oleh negara adidaya tersebut. Angka deficit-to-GDP
ratio terlihat fluktuatif selama kurun waktu tahun 1929 sampai tahun 2020. Kenaikan
signifikan terjadi tiga kali. Pertama, pada tahun 1941-1945 yakni sebagian besar utang negara
terbebani untuk membiayai sektor militer dalam Perang Dunia 2. Kedua, pada tahun 2009
yakni saat terjadi Global Financial Crisis. Ketiga, pada tahun 2020 yakni saat terjadi pandemi
Covid-19. Baik secara debt increase maupun deficit-to-GDP ratio kenaikan terjadi pada
rentang waktu atau kejadian yang sama yaitu pada Perang Dunia 2 (1939-1945), Global
Financial Crisis (2008), dan pandemi Covid-19 (2020).
Hal ini disebabkan karena ketiga kejadian tersebut mendorong pemerintah AS untuk
memberikan stimulus fiskal yang besar-besaran ke beberapa sektor tertentu. Pada Perang
Dunia 2 stimulus fiskal diberikan pada sektor militer untuk mendanai peperangan, pada
Global Financial Crisis stimulus fiskal diberikan pada sektor keuangan yang lumpuh dan
demi memulihkan perekonomian, dan pada pandemi Covid-19 stimulus fiskal diberikan pada
sektor kesehatan dan ekonomi agar perekonomian juga dapat kembali pulih. Tak jarang
kebijakan fiskal berupa stimulus juga diiringi dengan kebijakan moneter bercorak ekspansif
sebagai upaya membantu mendorong perekonomian dengan menambah beban utang
pemerintah semakin berat.

Keadaan yang sama juga terjadi di Indonesia walaupun berbeda penyebab dan rentang
waktu terjadinya peningkatan utang. Kedua grafik di atas memperlihatkan kondisi utang
negara Indonesia dari sisi debt increase dan deficit-to-GDP ratio dengan data diperoleh dari
World Bank dan International Monetary Fund. Pada grafik di sebelah kiri (debt increase)
kenaikan utang pemerintah Indonesia terlihat meningkat dengan stabil selama rentang waktu
tahun 2008 sampai 2020. Walaupun meningkat dengan stabil tetapi seiring dengan waktu
terjadi kenaikan utang pemerintah yang semakin signifikan yang terlihat dengan semakin
curamnya garis pada grafik debt increase. Hal ini memperlihatkan bahwa kebutuhan
pemerintah Indonesia akan utang semakin besar dengan berbagai macam motif dan
alasannya, baik itu sebagai pembiayaan untuk beberapa sektor tertentu maupun demi
mendorong perekonomian.
Pada grafik di sebelah kanan (deficit-to-GDP ratio) beban utang pemerintah Indonesia
lebih terefleksikan karena disandingkan dengan total GDP sebagai rasio total besaran utang
dengan tingkat perekonomian yang diciptakan oleh negeri bumi pertiwi. Angka deficit-to-
GDP ratio terlihat fluktuatif selama kurun waktu tahun 1970 sampai tahun 2020. Kenaikan
signifikan terjadi selama beberapa kali, yaitu pada tahun 1985-1990, tahun 1998-2000, dan
tahun 2020. Rentang waktu yang perlu dicermati yaitu pada tahun 1998-2000 dimana terjadi
Reformasi 1998 sekaligus Asian Financial Crisis dan tahun 2020 dimana terjadi pandemi
Covid-19.
Sama sepertinya halnya negara AS hal ini disebabkan karena kedua kejadian tersebut
mendorong pemerintah Indonesia untuk memberikan stimulus fiskal yang besar-besaran ke
beberapa sektor tertentu. Pada reformasi 1998 sekaligus Asian Financial Crisis stimulus fiskal
diberikan pada sektor ekonomi sebagai upaya memulihkan perekonomian dari kekacauan
pembenahan sistem politik dan pemerintahan yang sedang terjadi di Indonesia. Salah satu
penyebab kekacauan ekonomi yang terjadi saat itu adalah semakin menumpuknya utang
pemerintah Indonesia yang diiringi dengan inflasi yang terus-menerus. Menariknya,
permasalahan menumpuknya utang ini diselesaikan dengan menambah utang baru dengan
jangka waktu yang lebih panjang. Oleh karenanya, pada krisis ini terlihat bahwa utang
diselesaikan oleh utang atau dengan kata lain ‘gali lubang tutup lubang’. Pada tahun 2020
saat terjadi pandemi Covid-19 stimulus fiskal diberikan pada sektor kesehatan dan ekonomi
agar perekonomian dapat kembali pulih. Sama seperti negara lainnya, tak jarang kebijakan
fiskal berupa stimulus juga diiringi dengan kebijakan moneter bercorak ekspansif sebagai
upaya membantu mendorong perekonomian dengan menambah beban utang pemerintah
semakin berat.
Debt issue yang dilihat dari debt increase dan deficit-to-GDP ratio tak hanya terjadi
di negara AS dan Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Grafik di atas
memperlihatkan kondisi utang di hampir seluruh negara di dunia dari sisi central government
debt dalam bentuk percent of GDP dengan data diperoleh dari International Monetary Fund.

(Solusi debt issue dan deficit financing)


Pembiayaan defisit yang bertanggung jawab (responsible deficit financing) adalah ketika
pemerintah sentral suatu negara yang meminjam dana dengan menerbitkan (menjual) utang
pemerintah. Hal ini adalah tagihan dan obligasi keuangan negara yang juga dikenal sebagai
utang negara.
Berdasarkan Dornbusch Model of Sustainability besaran deficit-to-GDP ratio yang aman atau
agar dapat dikatakan berkelanjutan saat berada di bawah 5%.
Masalah mulai terjadi saat peminjam berhenti memberhentikan pinjaman dan rasio deficit-to-
GDP melebihi 5% sehingga defisit menjadi non-sustainable.

(Bridging ke solusi yang ditawarkan Islam)

Prinsip Muamalah dalam Islam


Muamalah merupakan bentuk dari wazn mufa’alah (saling berbuat) dari kata amal
yang berarti kegiatan. Muamalah menggambarkan kegiatan manusia sehari-hari dalam
kaitannya dengan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya, antara satu individu
dengan kelompok, dan juga hubungan antar kelompok manusia. Dalam konteks ajaran agama
Islam, Muamalah merupakan seperangkat hukum syara’ yang mengatur perilaku manusia
dalam urusan keduniaan (Harun, 2000).

Berbeda dengan bidang ajaran agama Islam lainnya seperti Aqidah, Ibadah, dan
Akhlak yang mana tidak memberikan ruang kebebasan berkreasi sama sekali bagi manusia
yang disebabkan oleh Allah lebih mengetahui maslahat dalam bidang-bidang tersebut, Islam
memberikan ruang kreasi dalam bidang Muamalah bagi para pengikutnya. Di satu sisi Islam
mempunyai sifat konfirmasi terhadap berbagai kreasi yang dilakukan oleh manusia. Di sisi
lainnya, ajaran Islam melakukan perubahan-perubahan bagi jenis muamalah yang ada, yang
mana terkadang Islam membatalkan jenis muamalah tertentu (Harun, 2007). Ruang kreasi ini
kemudian dibakukan dalam sebuah kaidah atau prinsip ushul fiqh yang berbunyi “segala
sesuatu dalam bidang muamalah itu diperbolehkan, sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.”

Dengan berpegang pada kaidah tersebut, maka setiap pemeluk ajaran agama Islam
diberi kebebasan untuk beraktivitas dalam bidang ekonomi selama tidak mengandung unsur-
unsur yang diharamkan dalam ajaran Islam (Azhari, 2015).

Ajaran Islam mengajarkan pengikutnya untuk mengutamakan menghindari mafsadah


(kerusakan) daripada menggapai maslahah (kebaikan). Ajaran ini menyebabkan orang Islam
untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalani kehidupannya, tidak mencari suatu keutamaan
yang meskipun memiliki maslahah namun memiliki potensi mafsadah yang tidak dapat
ditolerir. Ajaran ini apabila dikontekstualisasi dalam ilmu ekonomi maka akan melahirkan
sebuah prinsip yakni “maksimisasi maslahah dan minimisasi mafsadah.”

Lebih lanjut, ajaran Islam mengutamakan maslahah yang lebih besar dalam artian
menyangkut kehidupan orang ramai daripada maslahah perseorangan atau kelompok kecil.
Pengutamaan maslahah yang lebih besar daripada yang kecil merupakan jawaban Islam
terhadap trade off dari konflik kepentingan yang seringkali terjadi dalam kehidupan manusia.
Pengutamaan ini juga merupakan bentuk keadilan dalam Islam yang menempatkan segala
sesuatu pada porsinya masing-masing. Kondisi ini memunculkan sebuah prinsip yang apabila
dikaitkan dengan ilmu ekonomi maka akan sebagai berikut “Individual losses are tolerated to
ward off public loss.”

Ketiga prinsip di atas jika dielaborasikan lebih lanjut akan membentuk suatu
perspektif Islam terhadap permasalahan ekonomi secara terang. Secara spesifik, berikut
merupakan pandangan ahli-ahli ekonomi Islam mengenai kebijakan fiskal dalam
perekonomian.

Pandangan Pakar Ekonomi Islam Mengenai Kebijakan Fiskal


Faridi (1983) menyatakan bahwa Ekonomi Islam memiliki ciri sebagai ekonomi yang
memiliki tiga sektor, yaitu sektor swasta, sukarela, dan publik (pemerintah). Ketiga sektor
tersebut bekerja bersama-sama untuk melengkapi kerangka lembaga Ekonomi Islam. Fungsi
alokasi, distribusi, dan stabilisasi dijalankan oleh ketiga sektor tersebut. Sehingga, kebijakan
fiskal dalam Ekonomi Islam merupakan bagian dari kerangka kebijakan sosial-ekonomi yang
memiliki tujuan untuk menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pertumbuhan ekonomi yang menjadikan zakat sebagai basis sistem fiskal negara Islam.
Kahf (1982) berpendapat bahwa dalam suatu perekonomian berbasis Islam
diperbolehkan untuk mengambil pajak di luar pungutan zakat. Namun, sebelum penarikan
pajak dilakukan, pemerintah perlu untuk memaksimalkan pendapatan lainnya, seperti rental
fee on state-owned property, pendapatan BUMN, utang publik, dan pembiayaan modal.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kahf, Chapra (1979) membolehkan
pemerintah untuk mengenakan pajak di samping zakat guna mewujudkan pembangunan dan
keseimbangan ekonomi. Pada gilirannya kelak, pembangunan dan keseimbangan ekonomi
yang diupayakan ini kelak akan mencapai tujuan sosial-ekonomi.

Isu Deficit Financing dalam Perspektif Islam


Solusi deficit reduction financing yang dijelaskan oleh Pettifor akan meningkatkan
total pendapatan dan menurunkan total utang tergantung bukan hanya pada kuantitas, namun
juga kualitas pengeluaran pemerintah. Karenanya dalam menghadapi permasalahan ini,
framework yang dibangun perlu mempertimbangkan dua hal besar. Pertama, perlunya
pemisahan antara belanja rutin (current expenditures) dan belanja modal (capital
expenditures). Kedua, tujuan utama kebijakan fiskal dan pengeluaran pemerintah perlu
ditujukan untuk mencapai redistribusi pendapatan, pengeluaran untuk layanan pemerintah,
penyediaan barang publik (seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial), dan penyediaan
infrastruktur untuk meningkatkan perekonomian.
Peran redistribusi pendapatan yang ditanggung oleh pemerintah dalam kerangka
keuangan publik Islam ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan beberapa instrumen
penting, khususnya zakat. Instrumen ini memang dimaksudkan untuk melakukan perbaikan
redistribusi pendapatan di antara masyarakat, karenanya upaya untuk mengoptimalkan proses
pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat perlu dimasifkan. Adapun pengeluaran
untuk layanan pemerintah perlu didanai oleh instrumen pajak, hal ini akan didiskusikan
kemudian. Selain itu, pendanaan untuk barang publik bersifat fleksibel yakni menyesuaikan
dengan bentuk dan sifat barang publik tersebut. Terakhir, tujuan pemisahan antara belanja
rutin dan belanja modal ialah disebabkan oleh sumber pendanaan yang berbeda. Di mana
belanja rutin seyogyanya dapat didanai oleh instrumen pajak dari masyarakat, sedangkan
belanja modal seperti pembangunan infrastruktur dapat menggunakan instrumen raising
funds seperti wakaf, sukuk, ataupun model pembiayaan bauran yakni Islamic Blended
Financing yang akan dijelaskan lebih detail kemudian.
Menyoal perihal bagaimana kebijakan fiskal Islam menjawab hal ini, Ahmed (2021)
menekankan bahwa terdapat dua hal utama yang perlu untuk diluruskan dalam framework
dibangun. Pertama, framework fiskal yang disusun perlu untuk mempertimbangkan siklus
bisnis yang lebih panjang daripada sekadar hanya setahun (year-on-year basis). Hal ini
dimaksudkan agar pemerintah mampu mengoptimalkan peran fiskal sebagai shock absorber,
di mana ketika kondisi perekonomian sedang dalam keadaan booming atau ekspansif, maka
pemerintah perlu berhemat. Sehingga ketika ekonomi berada pada kondisi resesi, pemerintah
tidak perlu menaikkan pajak yang akan membebani masyarakat, melainkan pemerintah dapat
memanfaatkan surplus

Daftar Pustaka
Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah.
Chapra, M. U. (1979). The Islamic welfare state and its role in the economy. Islamic
Foundation.
Faridi, F. R. (1983). Theory of fiscal policy in an Islamic State. Journal of King Abdulaziz
University: Islamic Economics, 1(1).
Harun, M. H. (2007). Fiqh muamalah. Muhammadiyah University Press.
Kahf, M. (1982). Fiscal and monetary policies in an Islamic economy. Monetary and Fiscal
Policy of Islam, International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul
Aziz University, Jeddah, 125-40.

Anda mungkin juga menyukai