Anda di halaman 1dari 4

DESAIN SISTEM PERPAJAKAN INDONESIA : TINJAUAN ATAS

KONSEP DASAR DAN PENGALAMAN INTERNASIONAL

BAB I
PERKEMBANGAN TERKINI, TANTANGAN DAN OUTLOOK SEKTOR
PERPAJAKAN
A. Pandemi, Tekanan Ekonomi, dan Tren Lanskap Perpajakan Global

Lanskap perpajakan global terkini tidak bisa dipisahkan dari hadirnya pandemi
Covid-19. Persoalan kesehatan tersebut secara cepat mengakibatkan tekanan
ekonomi di berbagai negara. Meskipun seluruh dunia mengalami goncangan
ekonomi selama periode 2020—2021, setiap negara memiliki kecepatan pemulihan
dan tantangan sektoral yang berbeda. Terdapat variasi dalam hal penanganan dan
dinamika pandemi, termasuk kebijakan pembatasan mobilitas dan vaksinasi.

Demi mencegah semakin besarnya dampak negatif yang timbul, sektor fiskal
langsung dijadikan “bantalan” pertama melawan benturan dan goncangan ekonomi.
Sama halnya dengan pengalaman berbagai krisis sebelumnya—mulai dari depresi
besar 1930 hingga krisis keuangan global 2008—kebijakan fiskal yang ekspansif
kembali menjadi opsi yang diambil oleh berbagai negara.[1] Belanja yang besar dan
relaksasi pemungutan pajak adalah jurus utamanya. Tujuannya, menyelamatkan
ekonomi.

Dalam kondisi ini, pajak tidak hanya berperan sebagai sumber pendanaan dalam
memitigasi risiko, tetapi juga diwujudkan melalui berbagai fasilitas dan keringanan
beban maupun administrasi yang ditawarkan. Hal yang perlu kita ingat ialah bahwa
—setidaknya pada tahun 2020—tidak ada satupun pihak yang mengetahui seberapa
lama pandemi ini akan berlangsung dan juga seberapa dalam dampak yang
ditimbulkannya bagi aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat.

Kedua pertanyaan tersebut jelas akan menentukan prospek ekonomi pada tahun
yang akan datang.[2] Di tengah ketidakpastian tersebut, instrumen pajak kian dipacu
untuk dapat secara cepat menyesuaikan perkembangan ekonomi, sosial, dan
kesehatan yang berubah-ubah dan sulit untuk diprediksi.

Dari sisi makroekonomi, pandemi setidaknya telah berdampak serius bagi tren
pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) yang melambat, jika tidak
terkontraksi. Banyak negara, termasuk Indonesia, masuk dalam zona resesi.[3]
Pandemi juga menurunkan kemampuan negara untuk memobilisasi penerimaan.
Data yang diolah dari International Monetary Fund (IMF) Fiscal Monitor 2021 bahkan
menunjukkan bahwa mayoritas negara-negara emerging economies serta negara
berpenghasilan rendah di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Sub-Sahara Afrika akan
mengalami kesulitan untuk mengembalikan tax ratio ke titik sebelum krisis hingga
tiga tahun mendatang.[4]

Melemahnya penerimaan sekaligus meningkatnya belanja stimulus turut berdampak


bagi tren utang publik yang meningkat baik di negara maju, emerging economies,
maupun negara berpenghasilan rendah. IMF memproyeksikan bahwa rasio utang
terhadap PDB di mayoritas negara meningkat drastis dan agaknya akan mengalami
tantangan untuk dapat kembali ke titik sebelum krisis setidaknya hingga tahun 2024.
[5]

Tidak hanya itu, pandemi mengancam tercapainya target sustainable development


goals (SDGs). Sebagai informasi, SDGs terdiri atas 17 sasaran dan 169 target yang
diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Ancaman terhadap target SDGs dapat
diatasi selama pemerintah di tiap negara mengalokasikan dana pembangunan bagi
sektor-sektor tertentu. Artinya, ketersediaan dana pembangunan yang berkelanjutan
memiliki peran yang krusial.

Satu kondisi yang pasti—di tengah situasi pandemi—peran sentral pemerintah


dalam mendorong perekonomian jelas sangat penting. Pasalnya, kegiatan konsumsi
(C), investasi (I), dan perdagangan internasional (X-M) praktis terganggu dan
cenderung menurun. Oleh karena itu, pemerintah melalui berbagai kebijakan—
khususnya fiskal—akan sangat menentukan agenda pemulihan ekonomi nasional.

Dalam rangka menghadapi dampak pandemi, banyak negara kemudian mengambil


langkah yang selaras dengan pendapat Blanchard (2020).[6] Menurutnya, kebijakan
fiskal pemerintah di saat pandemi Covid-19 harus fokus pada tiga aspek. Pertama,
fokus pada upaya menanggulangi aspek kesehatan masyarakat. Instrumen fiskal
bagi sektor kesehatan harus jadi perhatian dalam rangka mencegah penularan,
memonitor, perawatan, ketersediaan fasilitas, hingga riset pengobatan.

Kedua, instrumen fiskal haruslah berperan sebagai aid atau membantu pihak-pihak
yang terdampak pelemahan ekonomi. Setiap sektor atau kelompok masyarakat yang
kegiatan ekonominya terpengaruh pandemi harus segera “diselamatkan”. Ketiga,
perlunya untuk mendorong permintaan total (aggregate demand). Ketersediaan
permintaan dalam masyarakat akan tetap menjamin berputarnya roda
perekonomian.
Lebih lanjut, dari studi komparasi yang dilakukan DDTC Fiscal Research & Advisory
(FRA) per Agustus 2020, sebanyak 122 negara di dunia turut menggunakan
instrumen pajak untuk mengantisipasi dampak Covid-19. Dari data yang
dikumpulkan melalui Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD), IMF, International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD), dan sebagainya,
terdapat 1.033 instrumen pajak baru secara global yang dirilis oleh berbagai
pemerintah. Tiap negara merilis setidaknya delapan instrumen pajak yang bersifat
merelaksasi, baik melalui kebijakan ataupun administrasi (prosedur).

Mayoritas instrumen pajak bertujuan untuk menjaga likuiditas perusahaan (57%),


termasuk dengan memberikan penangguhan kewajiban pembayaran dan pelaporan
pajak. Dua tujuan dominan lainnya ialah dukungan bagi sektor kesehatan (11%)
serta untuk menjaga arus kas dan daya beli rumah tangga (10%).

Sementara itu, ditinjau dari sisi jenis pajak yang dipergunakan sebagai sarana
relaksasi, mayoritas menggunakan relaksasi prosedur administrasi. Di banyak
negara, umumnya diberikan melalui penundaan kewajiban administrasi perpajakan
yang diperpanjang antara 1 hingga 6 bulan setelah tenggat waktu.[7] Selain itu,
kebijakan lainnya seperti kompensasi kerugian, pengurangan angsuran, pajak atas
impor barang penanggulangan kesehatan, insentif bagi sumbangan, insentif
keringanan PPh orang pribadi, dan pajak pertambahan nilai (PPN) juga menjadi
andalan berbagai negara. Berbagai relaksasi pajak tersebut pun terus berubah
seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi tiap negara.

Jika pada awalnya kebijakan pajak di mayoritas negara berorientasi bagi


penanggulangan dampak kesehatan serta mencegah tekanan ekonomi—
menariknya—belakangan ini kita juga melihat adanya motif lain yang ingin dicapai
oleh berbagai negara di dunia.[8] Singkatnya, seiring berjalannya waktu, terdapat
pergeseran tujuan instrumen pajak di saat pandemi.

Dalam laporan OECD bertajuk OECD Secretary—General Tax Report to G20


Finance Ministers and Central Bank Governors yang dirilis April 2021, tipologi
instrumen pajak (tax measures) dalam merespons pandemi diklasifikasikan menjadi
tiga. Pertama, menangkal dampak negatif pandemi terhadap ekonomi, sosial, dan
kesehatan. Ini mencakup kebijakan penangguhan pembayaran pajak, restitusi
dipercepat, perpanjangan kewajiban administrasi perpajakan, dan sebagainya.

Kedua, instrumen pajak untuk persiapan masa pemulihan khususnya menstimulus


permintaan konsumsi dan investasi. Kelompok kedua ini mencakup berbagai insentif
untuk menarik investasi, penurunan tarif PPN secara sementara, penurunan tarif
PPh badan, dan sebagainya. Ketiga, instrumen pajak dalam rangka mendanai
anggaran pemerintah pada saat krisis atau berorientasi bagi penerimaan.

Kelompok terakhir ini cukup menarik untuk disimak. Pasalnya, narasi kebijakan
pemerintah pada saat pandemi cenderung berada di area yang bersifat ekspansif
melalui relaksasi pajak. Agaknya, tekanan daya tahan anggaran serta urgensi dalam
mengantisipasi risiko fiskal, mau tidak mau mendorong terobosan. Artinya, tidak
menunggu pemulihan penerimaan pajak yang sejalan dengan pemulihan ekonomi,
tetapi justru mencari cara-cara baru.

Survei OECD yang dilakukan pada 66 negara—seluruh negara OECD, seluruh


anggota G20, dan 21 negara Inclusive Framework lainnya—dapat dipergunakan
untuk memetakan hal tersebut.[9] Dari 66 negara yang disurvei, 26 di antaranya
ternyata melakukan terobosan untuk meningkatkan penerimaan.[10] Data tersebut
kemudian dikelompokkan kembali berdasarkan jenis instrumen pungutan (pajak)
yang dipergunakan. Dengan demikian, terdapat kemungkinan bahwa satu negara
memiliki berbagai instrumen pajak yang berorientasi bagi penerimaan. Pemilahan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Lambat laun, kita menyaksikan berbagai negara yang sudah mulai menjalankan
kebijakan fiskal yang konsolidatif, yang salah satunya bertujuan untuk
mengoptimalkan penerimaan pajak. Oleh karena itu, fenomena negara-negara di
dunia “berburu pajak”, agaknya menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.

Anda mungkin juga menyukai