Anda di halaman 1dari 8

2.

BAB I PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir mengakibatkan beberapa


efek yang sangat penting seperti kemakmuran atau taraf hidup yang semakin
meningkat, dan juga kesempatan kerja bagi penduduk yang kian bertambah
jumlahnya.

Ekonomi pembangunan pada dasarnya telah melewati tiga fase yang berbeda-beda,
yang pertama adalah fase ekonomi pembangunan klasik yang mencoba
menjelaskan terkait dengan ekonomi jangka panjang dalam kerangka kerja
kapitalisme, Fase ini bertahan kurang lebih satu abad sejak publikasi The Wealth of
Nation, karya Adam Smith tahun 1776 (Michael P.Todaro., 1989). Fase kedua
dimulai setelah perang dunia kedua dan ketika sejumlah negara dunia memperoleh
kemerdekaannya. Pada fase ini fokus perhatian berpindah dari ekonomi liberalisme
klasik kepada Neo Klasik. Strategi yang dipegang adalah ketergantungan yang lebih
kecil kepada pasar dan peranan yang lebih besar dari pemerintah dalam
perekonomian. Sedangkan dalam fase ketiga perhatian Ekonomi Pembangunan
cenderung anti kekuasaan (negara) dan kembali pro kepada kebebasan pasar
(Juliana et al., 2018, p. 2).

Ketiga fase tersebut menunjukan adanya ketidak konsistenan dalam pembangunan


di negara-negara berkembang, negara-negara berkembang yang hendak
melaksanakan pembangunan dengan model Barat mengalami kebingungan karena
pertentangan-pertentangan konsep antara neo klasik ala Keynes dengan liberalisme
klasik (ekonomi pasar yang mereduksi peran negara dalam ekonomi) yang
diajarkan Adam Smith. Kebingungan negara-negara berkembang itu juga
dipengaruhi oleh konsep-konsep pembangunan dari negara-negara yang
menerapkan sistem sosialis. (Juliana et al., 2018, p. 3).

Hal tersebutlah yang mengakibatkan rumitnya permasalahan yang harus dihadapi


oleh negara-negara berkembang, sebab tidak hanya mengembangkan ekonomi
dengan cara yang tepat saja tapi juga dihadapkan dengan permasalahan ketidak
merataaan pembangunan yang ada. Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang memiliki permasalahan serupa, dalam kenyataanya lebih dari 20 juta

1
orang masyarakat Indonesia tergolong kedalam penduduk atau masyarakat miskin
(BPS, 2023).

Upaya pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan dalam rangka


meningkatkan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan meningkatkan
produktivitas dan daya saing perekonomian, sering dihadapkan pada situasi global
yang dinamis. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah merupakan salah satu
instrumen penting dalam meningkatkan kinerja ekonomi dalam bentuk
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produktivitas dan daya saing, serta
memerangi kemiskinan dan menurunkan kesenjangan.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2023 mengalami penurunan,


Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat pada Bulan Maret 2023 persentase
penduduk miskin sebesar 7,29% menurun bila dibandingkan pada Bulan September
2022 persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 7,53% (BPS,2023). Bila
dilihat dari garis kemiskinan, pada Bulan Maret 2023 sebesar Rp550.458,-
/kapita/bulan. Namun hal tersebut dirasa belum mampu menggambarkan
pemerataan pertumbuhan ekonomi yang ada di Indonesia, jurang pemisah antara
barat dan timur masih cukup terlihat jelas, terutama pada wilayah-wilayah yang
masih sulit dijangkau.

2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa, konsep dan kebijakan yang diterapkan di negara-negara
berkembang khususnya di Indonesia belum mampu mewujudkan perekonomian
yang bersifat adil dan merata, sehingga timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Konsep dan kebijakan apa yang sesuai untuk diterapkan pada negara
berkembang?
2. Bagaimana perspektif Islam terkait dengan pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi?

2
2.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah untuk mengetahui konsep dan kebijakan
apa yang sesuai untuk diterapkan pada negara berkembang dan bagaimana
perspektif islam terkait dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

3
3. BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal meruapak suatu langkah yang digunakan oleh pemerintah untuk
membuat perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya yang
bertujuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi (Sukirno, 2006:184).
Prinsip Islam dalam kebijakan fiskal bertujuan untuk mengembangkan suatu
masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan dengan tetap menempatkan
nilai-nilai material dan spritual pada tingkat yang sama atau seimbang. Kebijakan
fiskal sendiri dianggap sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku
manusia yang dipengaruhi melalui insentif yang disediakan dengan meningkatkan
pemasukan pemerintah (melalui perpajakan, pinjaman atau jaminan terhadap
pengeluaran pemerintah). Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentulah diharapkan
sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai Islam karena tujuan pokok agama Islam adalah
mencapai kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan (Rozalinda, 2014:210).

Dalam pemahaman ekonomi secara umum kebijakan fiskal merupakan langkah


pemerintah untuk melakukan perubahan dalam sistem pajak atau dalam konsep
makro disebut government expenditure (Nasution, 2006:203). Secara umum
kebijakan fiskal islami memiliki kesamaan dari segi tujuan, yaitu untuk
mendapatkan kesejahteraan hidup manusia, akan tetapi yang membedakan adalah,
dalam konsep Islami kesejahteraan memiliki arti yang sangat luas didalamnya
meliputi kehidupan di dunia dan di akhirat serta peningkatan spiritual lebih
ditekankan daripada pemilikan material (Aini, 2019, pp. 1–2).

Kebijakan fiskal menurut ekonomi Islam memiliki ciri sebagai berikut (Rozalinda,
2014:211):

1. Pengeluaran negara dilakukan berdasarkan pendapatan, sehingga jarang


terjadi defisit anggaran.
2. Sistem pajak proporsional, pajak dalam ekonomi Islam dibebankan
berdasarkan tingkat produktifitas. Misalnya kharaj, besarnya pajak
ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah, metode irigasi maupun
jenis tanaman.

4
3. Penghitungan zakat berdasarkan hasil keuntungan bukan pada jumlah
barang. Misalnya zakat perdagangan, yang dikeluarkan zakatnya adalah
hasil keuntungan, sehingga tidak ada pembebanan terhadap biaya produksi.

Dalam sejarah Islam, kebijakan fiskal merupakan strategi kebijakan yang sering
digunakan dalam membangun tata kelola keuangan. Dalam buku Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam Azwar Karim menyebutkan bahwa instrument kebijakan fiskal
yang ada di awal pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:

a. Dalam peningkatan pendapatan nasional dant ingkat partisipasi kerja.


Rasulullah SAW, telah mengantongi langkah-langkah perencanaan untuk
memulai intensifikasi pembangunan masyakarakat. Ukhuwwah islamiyah,
persaudaraan sesama muslim, antara golongan Muhajirin dan golongan
Anshor dijadikan kunci oleh Rasulullah SAW untuk meningkatkan
pendapatan nasional. Hal ini merupakan penyeab terjadinya distribusi
pendapatan yang berdampak pada peningkatan permintaan total di
Madinah. Selain itu, persaudaraan ini berdampak positif terhadap
tersedianya lapangan kerja, terutama bagi kaum Muhajirin. Dalam
aplikasinya, menggunakan akad muzara‟ah, musaqah, dan mudharabah.
b. Didalam kebijakan pajak. Penerapan kebijakan pajak yang dilakukan
Rasulullah SAW seperti kharaj, jizyah, khums, dan zakat menyebabkan
terciptanya kestabilan harga dan mengurangi tingkat inflasi. Pajak ini,
khususnya khums, mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total pada
saat terjadi penurunan permintaan.
c. Dalam menyusun anggaran, Rasulullah SAW selalu memprioritaskan untuk
pembelanjaan yang mengarah pada kepentingan umum, seperti
pembangunan dan infrastruktur. Sehingga dapat menciptakan pertumbuhan
dan pemerataan ekonomi masyarakat.

Dalam mekanisme penggunaannya instrument penggunaan dana ada yang memiliki


sifat terikat dan sifat tidak terikat.Penggunaan dana yang sifatnya terikat ialah
penggunaan yang harus merujuk pada petunjuk yang telah ditetapkan oleh dalil-
dalil syariat. Misalnya zakat, dimana penggunaan dana hanya dapat dilakukan pada
delapan glongan masyarakat saja (mustahik). Sedangkan penggunaan dana yang

5
tidak terikat, penggunaan dana dapat digunakan untuk hal-hal apa saja dalam
pembangunan negara, sesuai dengan prioritas pembangunannya. Sumber dana yang
dapat digunakan antara lain berasal dari kharaj, jizyah, infaq, shadaqah dan wakaf,
serta penerimaan yang bersifat tidak terikat lainnya.

Secara garis besar dapat dipahami bahwa sistem penggunaan dana atau anggaran
belanja memiliki perbedaan dengan sistem anggaran belanja pada umumnya.
Sistem anggaran belanja dalam Islam menitik beratkan pada masalah pelayanan
terhadap urusan ummat, yang telah diserahkan oleh syara‘ dan ditetapkan sesuai
dengan apa yang menjadi pandangan agama Islam. Berbeda dengan anggaran
belanja modern lebih menekankan pada suatu campuran rumit antara rencana dan
proyek yang akan dikembangkan.

3.2 Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Menurut Islam

Sistem ekonomi islam merupakan sebuah kesadaran tentang etika seorang muslim
dalam berekonomi sedangkan bila dibandingkan dengan sistem ekonomi lain
seperti kapitalisme maupun sosialisme lebih mementingkan kepentingan saja
(Fadlan, 2010). Pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Islam bukan sekedar
peningkatan akan barang dan jasa saja, namun lebih dari itu juga terkait dengan
moralitas dan akhlak umat, pertumubuhan ekonomi berdasarkan sudut pandang
Islam lebih mementingkan keseimbangan antara tujuan dunia dan akhirat.

Keseimbangan antara dunia dan akhirat merupakan sesuatu yang sangat diidam-
idamkan khususnya bagi umat muslim, berdasarkan hal tersebut Islam
menganjurkan bahwa pertumbuhan ekonomi harus menjadi satu sarana yang dapat
menjamin keadilan sosial bagi seluruh umatnya. Kebijakan pertumbuhan
perekonomian harus bertujuan untuk dapat menyeimbangkan distribusi pendapatan
untuk semua manusia tanpa memandang bulu atau tindakan diskriminatif antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Dalam ekonomi Islam pertumbuhan ekonomi yang dituju adalah pertumbuhan


optimal, baik dari segi kesejahteraan materi maupun rohani, Islam tidak
memperkenankan konsumsi modal dan pertumbuhan yang melampaui batas yang
memaksakan pengorbanan yang tidak alamiah bagi manusia. Jadi menurut Islam
tingkat pertumbuhan yang rendah yang diiringi dengan distribusi pendapatan yang

6
merata akan lebih baik daripada tingkat pertumbuhan yang tinggi tapi tidak
dibarengi dengan distribusi yang merata (Juliana et al., 2018, p. 18). Al– Qur’an
dengan tegas mengatakan bahwa, “kekayaan hendaknya tidak terus menerus
beredar di kalangan orang-orang kaya saja”. (QS. 59 : 7).

7
4. BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan


fiskal islami merupakan salah satu upaya yang sesuai untuk diterapkan di negara
berkembang, kebijakan fiskal islami sendiri merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk membuat perubahan dalam sistem pajak dan sistem
perbelanjaannya. Tujuan kesejahteraan hidup yang ingin dicapai oleh sistem fiskal
islami memiliki arti yang lebih luas, didalamnya meliputi kehidupan di dunia dan
di akhirat serta peningkatan spiritual lebih ditekankan daripada pemilikan material.

Hal ini selaras dengan perspektif islam terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Islam
bukan sekedar peningkatan akan barang dan jasa saja, namun lebih dari itu juga
terkait dengan moralitas dan akhlak umat, pertumubuhan ekonomi berdasarkan
sudut pandang Islam lebih mementingkan keseimbangan antara tujuan dunia dan
akhirat.

Kebijakan pertumbuhan perekonomian harus mampu menyeimbangkan distribusi


pendapatan untuk semua manusia, Islam tidak memperkenankan konsumsi modal
dan pertumbuhan yang melampaui batas, menurut Islam tingkat pertumbuhan yang
rendah yang diiringi dengan distribusi pendapatan yang merata akan lebih baik
daripada tingkat pertumbuhan yang tinggi tapi tidak dibarengi dengan distribusi
yang merata.

Anda mungkin juga menyukai