Anda di halaman 1dari 4

PROFIL H. AZMI ROZALI, S.IP., M.Si.

Sederhana Berintegritas

Pada suatu hari di kampus Universitas Riau Jl. Patimura, Gobah, Pekanbaru, Dekan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), berbicara dengan seorang mahasiswa. Yang diajak bicara
oleh sang dekan adalah mahasiswa yang sejak tahun 1994 adalah pemimpin berbagai aksi
unjukrasa di dalam dan di luar kampus. Dekan yang berwajah bijaksana ini membahas tentang
masa studi si mahasiswa, dan bertanya kapan dia akan menyelesaikan kuliah. Sang mahasiswa
hanya berbicara satu-satu, sesuai dengan pertanyaan dekannya. Hal itu terjadi di awal tahun
1996.

Setelah berbicara cukup lama, sang dekan berkata: “Saya memanggil Anda karena membawa
pesan dari Gubernur, beliau minta agar Anda berhenti memimpin unjukrasa. Jika setuju, kita
dapat berjumpa secara khusus dengan beliau. Pak Gubernur titip salam buat Anda”.

Mahasiswa yang diajak bicara oleh dekannya ini menarik napas dalam. Lama dia terdiam,
mendengar dan menyerap kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh pemimpin fakultasnya.
Sang dekan tetap mempertahankan senyumnya sebagai ciri khas wajahnya yang tampan.
“Bagaimana? Anda dapat minta kompensasi yang dapat digunakan sebagai tabungan hidup
Anda. Terus terang, tidak banyak mahasiswa yang mendapat kesempatan seperti ini,” ujarnya.

Sang mahasiswa tampak gugup dan berhati-hati, terlihat jelas kebimbangan di wajahnya. Di
benaknya terbayang ribuan mahasiswa yang mengangkat poster. Berunjukrasa menentang
kebijakan pemerintah provinsi yang sedang mempertimbangkan proposal dari sebuah
perusahaan di ibukota yang akan membangun pabrik pengalengan babi di sebuah kabupaten di
Riau. Mahasiswa menentang rencana tersebut, dan berunjukrasa. Dan dialah yang sedang
diajak bicara oleh dekan ini.

“Bagaimana?” tanya sang Dekan mendesak. “Kalau Anda setuju, saya akan atur pertemuan
dengan Pak Gubernur. Saya langsung yang akan mengantar Anda,” katanya. Sang mahasiswa
yang terus menerus didesak untuk setuju dengan ajakan dekannya, akhirnya berkata dengan
sangat perlahan. “Maafkan saya Pak! Tak sampai hati saya. Ribuan mahasiswa mempercayai
saya sebagai pemimpin mereka. Jika sampai mereka tahu saya mengkhianati mereka, seumur
hidup mereka tidak percaya dengan saya. Maafkan saya…”

Kemudian Sang Dekan berkata dengan nada tinggi, “Anda ini bagaimana? Semua orang di
provinsi ini ingin berjumpa dengan Gubernur. Mereka yang berhasil berjumpa dengan
Gubernur selalu mendapatkan apa yang diminta. Anda tidak perlu berusaha berjumpa dengan
beliau. Saya yang akan mengantarkan Anda berjumpa dengannya. Anda tinggal mengatakan
permintaan Anda!”
Sang mahasiswa kembali minta maaf. “Saya tidak akan mengkhianati perjuangan mahasiswa
untuk kepentingan pribadi. Maafkan saya. Tapi inilah pendirian saya. Mohon hargai sikap saya
ini. Saya tidak akan mengkhianati kawan-kawan saya. Kami sama-sama berunjukrasa di bawah
panas terik matahari, sama-sama kehausan, sama-sama dikejar polisi, sama-sama dipukuli saat
berunjukrasa. Mahasiswa tidak akan lagi percaya, jika sekali saja saya mengkhianati mereka.
Kepercayaan mahasiswa lebih penting bagi saya daripada yang bapak tawarkan…”

Dekan itu akhirnya terdiam, sadar bagaimana sikap dan pendirian sang pemimpin mahasiswa
ini. Dan di dalam hatinya, dia berkata: “Pantas saja gerakan mahasiswa selama 2 tahun ini
berlangsung secara konsisten dan murni, tanpa diembel-embeli kepentingan. Mereka memiliki
pemimpin yang berintegritas!”

Demikianlah sosok Azmi Rozali dikenal di kalangan kampus Universitas Riau. Dia adalah figur
utama penyebab terjadinya beberapa kali unjukrasa mahasiswa Riau sepanjang tahun 1994-
1996. Oleh karena seringnya memimpin aksi unjukrasa mahasiswa, nama Azmi masuk dalam
daftar black-list nomor satu oleh Korem (Komando Rayon Militer) Wirabima Pekanbaru. Artinya
jika terjadi kerusuhan saat unjukrasa, maka orang pertama yang ditangkap aparat keamanan
adalah anak muda yang lahir pada 7 Mei 1971 ini.

Tidak lama setelah unjukrasa mahasiswa tahun 1995, di kampus IAIN Susqa Jl. KH. Ahmad
Dahlan, mahasiswa sedang mengadakan kegiatan kesenian pada malam hari. Azmi berada di
kampus itu untuk suatu keperluan. Dia memang biasa di kampus itu untuk memberi bimbingan
jurnalistik kepada calon reporter koran kampus tersebut. Ternyata di kampus itu ada beberapa
intel Korem mencari mahasiswa bernama Azmi. Segera saja rekan-rekan mahasiswa IAIN Susqa
menyembunyikannya dalam satu ruangan, dan pada malam itu dia tidak dibenarkan pulang ke
rumah kosnya, melainkan diminta menginap di sebuah rumah di sekitar kampus IAIN Susqa.

Pernah dalam acara pisah sambut antara Komandan Korem yang lama dan baru, seluruh
pentolan aktivis mahasiswa diundang dan diperlihatkan seluruh foto-foto unjukrasa yang
dijepret oleh kamera petugas intel korem. Dari album foto itu terlihat masing-masing tokoh
mahasiswa diberi nomor, dan pada foto Azmi, tertera nomor satu, sebagai pertanda dialah yang
paling bertanggungjawab terhadap sebuah aksi unjukrasa.

Sepanjang tahun 1994-1996, Azmi Rozali adalah Pemimpin Redaksi Surat Kabar Kampus Bahana
Mahasiswa, sebuah koran kampus yang disegani di Tanah Air karena usia yang mencapai lebih
dari 30 tahun. Dengan posisinya sebagai pemimpin redaksi dan ditambah aktivitasnya di Senat
Mahasiswa Universitas Riau, Azmi membangun jaringan pergerakan mahasiswa yang
melibatkan 3 universitas besar, yaitu Universitas Riau, Universitas Islam Riau dan IAIN (sekarang
menjadi Universitas Islam Negeri) Susqa. Saat itu sosok Azmi cukup disegani di kalangan
mahasiswa, masyarakat umum maupun pejabat pemerintah provinsi Riau.
Oleh karena sikapnya yang kukuh dalam mempertahankan prinsip dan idealisme, seorang
pejabat Pemerintah Riau, Kaditsospol, pernah berkata, “Yang namanya Azmi itu tidak akan
pernah mendapat pekerjaan di Riau,” ujarnya. Hal itu yang merupakan salah satu penyebab
anak muda ini meninggalkan tanah kelahiran dan hijrah ke Jakarta pada tahun 1997 dan
menjalani profesi sebagai wartawan sebuah majalah berskala nasional : TIRAS. Walaupun
tinggal dan menetap di Jakarta selama lebih kurang 5 tahun, tulisannya kerap mengisi halaman
opini surat kabar Riau Pos dan koran lain yang terbit di Pekanbaru. Sewaktu menjadi
mahasiswa, dari honor tulisan itulah dia mendapatkan penghasilan tambahan untuk membiayai
hidupnya sebagai mahasiswa.

Waktu berputar hari berganti, 29 tahun kemudian terbit peristiwa yang membuat bulu
kuduknya merinding, yaitu pada hari Sabtu malam, 10 April 2021, di sebuah masjid di desa Salo
Timur, Kabupaten Kampar. Seusainya mengisi ceramah di masjid bernama Alfalah itu, ada
seorang laki-laki tua pensiunan TNI Angkatan Darat yang bertugas di Korem 031 Wirabima,
mendekatinya. Orangtua kekar berkumis ini mengajaknya bicara. “Azmi, bapak ingin meminta
maaf padamu,” ujarnya. Orang yang ditanya merasa heran, “Bapak ada kesalahan apa? Rasa-
rasanya saya tidak mengenal Bapak,” ujarnya.

Orangtua ini, menurut pengakuannya, pernah datang ke kota Bengkalis untuk mencari dirinya
agar bisa berjumpa. “Anda memang tidak kenal dengan saya, tapi saya sangat kenal dengan
Anda,” ujarnya sambil menyebut beberapa nama pentolan pengunjukrasa yang dikenalnya.
“Azmi, jika saya tidak minta maaf, maka seumur hidup saya tidak bisa merasa tenang. Sayalah
orang yang ditugaskan oleh pimpinan kami untuk menghabisi Anda,” ujarnya. Orang tua kekar
berkumis ini dalam pengakuannya merasa sangat bersalah dalam hidupnya karena ditugaskan
membunuh anak muda pemimpin aksi unjukrasa ini.

Azmi menarik napas dalam sambil memandang wajah pak tua bekas tentara ini. “Ternyata
kejadian di kampus UIN Jl. KH Ahmad Dahlan pada malam itu benar-benar mencekam. Pantas
saja saya tidak dibenarkan keluar dari ruangan, ternyata diluar banyak polisi dan tentara
mencari saya,” ucapnya sambil memejamkan mata. Akhirnya mereka berdua saling
berangkulan, saling memaafkan dan saling bersyukur karena peristiwa yang mengerikan itu
tidak terjadi.

Pemilu tahun 2004 telah mengantarkan Azmi Rozali ke DPRD Kabupaten Bengkalis. Ternyata
sikap dan watak pemberontaknya tidak berubah dan sempat mengguncangkan perpolitikan
daerah ketika dirinya beroposisi dengan Bupati Bengkalis tahun 2000-2010 Drs. Syamsurizal.
Berbagai bujukan dan ancaman datang kepada dirinya untuk mengubah pendiriannya yang
membatu dan secara lantang menyuarakannya di media massa, di daerah maupun di ibu kota.
Tapi semua itu tidak dapat menggoyahkan pendirian dan integritasnya.
Kepada penulis, dia berkata: “Saya pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidup;
terhempas, terbuang dan terancam! Tapi semuanya tidak mengubah pendirian dan integritas
diri. Pada satu lembar halaman skripsi S1 saya, tertulis ungkapan seorang pejuang kemerdekaan
Chechnya, Syamil Basavey, yang menjadi inspirasi: Bagi kami, tidak penting kapan kami akan
mati, tapi bagaimana kami mati secara terhormat, menjadi pahlawan bangsa kami…” ( *** )

Anda mungkin juga menyukai