id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
BAB II
LANDASAN TEORI
11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12
vokal, diatur pada tahun 1925-1939 dan klimaks dengan deklarasi Inggris perang
melawan Nazi Jerman.
Pada saat sebelum menjadi Raja George VI, Bertie ditugaskan oleh
ayahnya, Raja George V untuk menyampaikan pidato pertamanya di hadapan
umum, namun dia terlihat tidak percaya diri. Ternyata penyebab dari
ketidakpercayaannya terletak pada kegagapannya dalam berbicara yang membuat
penyampaian pidato tersebut berubah menjadi sesuatu hal yang memalukan
baginya. Istrinya, Elizabeth kemudian mendatangkan beberapa dokter untuk
menyembuhkan kegagapan suaminya, namun usahanya tidak membuahkan hasil.
Lantas dia mencoba menemui Lionel Logue, seorang terapis pidato asal Australia
yang memiliki teknik yang aneh dan tidak ditemukan pada dokter-dokter yang
telah menangani Bertie. Dengan teknik-teknik tersebut hubungan Bertie dan
Lionel pada awalnya berjalan tidak baik.
Namun, ketika ayahnya, Raja George V meninggal dunia dan kakaknya,
David yang seharusnya menggantikan ayahnya melepas takhta demi menikahi
wanita pujaan hatinya yang seorang janda yang akan bercerai untuk kedua kalinya
dari Amerika, Wallis Simpson, Bertie harus siap untuk naik takhta. Bertie
memang tak pernah berharap menjadi raja Inggris karena dia tahu benar
keterbatasan yang dimilikinya yang tak memungkinkan dia memimpin sebuah
negara sebesar Inggris sementara berbicara di depan umum saja dia telah berjuang
sekuat tenaga. Pada akhirnya, Bertie menjalankan seluruh teknik yang diajarkan
oleh Lionel. Setelah resmi naik takhta dan menjadi Raja George VI, ujian besar
pertamanya dalam memberikan sebuah pidato di depan rakyat Inggris yang
nantinya akan diingat rakyat Inggris sebagai sebuah pidato yang mampu
menyatukan negara tersebut dalam mendeklarasikan perang kepada Jerman pada
Perang Dunia II.
penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Dalam
Hoed (2011:3) disebutkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda
dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita
dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Hasan (2011:60),
semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam
percakapan sehari-hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-
bentuk lain, seperti kata-kata, gambar, suara, gesture, dan objek. Bungin
(2011:175), fokus utama semiotika adalah tanda. Studi tentang tanda dan cara
tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi.
Semiotika dipopulerkan oleh seorang filsuf Italia terkenal, Umberto Eco.
Menurut Eco (1979:7) dalam Ratna (2007:117) semiotika dikaitkan dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Dalam Berger (2010:4-5) menyebutkan
pernyataan Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics seperti berikut.
Semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda.
Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai
penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini
tidak terlalu mengharuskan perihal adanya atau mengaktualisasikan perihal
di mana dan kapan suatu tanda memaknainya. Jadi semiotika ada dalam
semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi, termasuk dapat pula
digunakan untuk menipu bila segala sesuatu tidak dapat dipakai untuk
menceritakan (mengatakan) segala sesuatu (semuanya). Saya berpendapat
bahwa definisi “teori penipuan” seharusnya diambil seperti program
komprehensif yang memadai bagi suatu semiotika umum (1976:7).
sebagai „disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk
berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu
tidak bisa dipakai untuk berkata jujur; dan pada kenyataannya tidak bisa dipakai
untuk apapun juga‟.
Eco menanamkan penemuannya itu sebagai fungsi lambang atau sign-
function. Kemunculan fungsi lambang ini dapat diterangkan melalui pembinaan
kode-kode. Eco melihat lambang sebagai unit yang tersendiri dan hampir
autonomikal sifatnya. Lantaran inilah juga mengapa sering kedapatan setengah-
setengah lambang yang serupa akan tetapi membawa arti yang jauh berbeda.
Sebagai unit kebudayaan, makna-makna itu boleh ditafsirkan secara semiotik
yaitu sebagai sebuah unit semantik yang telah disisipkan ke dalarn sebuah sistem
oleh sekumpulan atau seorang manusia. Selanjutnya, Eco berujar dengan
mengatakan sebuah unit budaya selalu terdapat dalarn sistem budaya-budaya lain-
pengaruh-mempengaruhi – yakni hubungan timbal balik yang akan melahirkan
nilai-nilai kehidupan secara umum. Dengan itu, melahirkan pula tanda, penanda,
serta petanda yang berbeda.
Umberto Eco menyebutkan beberapa wilayah kajian yang masuk
semiotika seperti semiotika hewan (zoosemiotics), tanda-tanda berupa bebauan
(olfactory sign), komunikasi rabaan (tactile communication), kode-kode cecapan
(codes of taste), paralinguistic (paralinguistics), semiotika medis, kinesika dan
proksemika (kinesics and proxemics), bahasa-bahasa formal, bahasa tulis
(termasuk alphabet tak dikenal dan kode rahasia), bahasa alami, komunikasi
visual, sistem objek-objek, struktur alur, teori teks, kode-kode kultural, teks-teks
estetis, komunikasi massa, dan retorika. Dalam hal ini, komunikasi tubuh dapat
masuk pada beberapa wilayah kajian tersebut, terkait bentuk dalam pesan bahasa
tubuh yang hendak disampaikan (Hidayat, 2010:225).
Eco mengawinkan pemikiran dua perintis semiotika modern, yaitu ahli
linguistik Swiss, Ferdinand de Saussure dan filsuf pragmatisme Amerika Serikat,
Charles Sanders Pierce. Eco mengembangkan tesis bahwa semiotika merupakan
studi yang mengkaji seluruh proses kehidupan bermasyarakat sebagai proses
commit
komunikasi. Semiotika komunikasi to user pada pemikiran Saussure yang
bersumber
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
Skripsi Abu Amar Fauzi, mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang (2012) yang berjudul “Hedges Seen in the Main
Characters of The King‟s Speech Movie”. Skripsi Dimyati Putika, mahasiswi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (2012) yang berjudul
“Analisis Semiotika Representasi Gaya Komunikasi Raja George VI dalam Film
The King‟s Speech”. Skripsi Monita Indayarti, mahasiswi Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar (2012) yang berjudul “The
Flouting of Implicature in The King‟s Speech Movie (Pragmatic Approach)”.
Skripsi Fadhliah Anwar, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris Fakultas Adab
dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2013)
yang berjudul “The Childhood Trauma of Prince Albert as Seen in David
Seidler‟s The King‟s Speech”. Skripsi Dian Iftitah Sari, mahasiswi Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (2014) yang
berjudul “A Psycholinguistic Analysis on Stuttering Portrayed in The King‟s
Speech Movie”.
Namun skripsi-skripsi tersebut tidak menjadi landasan penelitian terdahulu
tentang film The King‟s Speech karena ditemukan pula tesis yang berhubungan
dengan film The King‟s Speech yang dilakukan oleh Rachmat Efendi, mahasiswa
Program Pascasarjana Jurusan S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta (2012) yang berjudul “Metafora dalam Percakapan
Antartokoh pada Film The King‟s Speech”. Penelitian tersebut
menginterpretasikan metafora yang digunakan pada film The King‟s Speech dan
mengungkap jenis metafora, fungsi atau peran elemen penyusun metafora, dan
konteks penggunaan metafora dalam film The King's Speech. Penelitian tersebut
menggunakan metode deskriptif kualitatif dan metode analisis padan ekstralingual
yaitu metode penelitian yang menghubungbandingkan data dengan unsur-unsur di
luar bahasa, seperti makna, informasi, konteks tuturan, dan lain-lain, bukan
melalui lambang-lambang atau simbol-simbol tertentu.
Sebuah buku yang sangat menunjang penelitian ini dalam kaitannya
dengan film The King‟s Speech adalah “The King's Speech: How One Man Saved
commit
the British Monarchy” karya Mark to user
Logue yang merupakan cucu Lionel Logue
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23
dari ayahnya yang bernama Antony Logue serta bekerja sama dengan Peter
Conradi, seorang pengarang buku dan jurnalis veteran yang diterbitkan oleh
Sterling Publishing Co., Inc Amerika Serikat pada tahun 2010. Isi dari buku ini
berdasarkan buku harian Lionel Logue dan beberapa koleksi catatan serta foto-
foto yang ditemukan, terinspirasi dari film dengan judul yang sama namun Mark
menambahkan cerita tentang kehidupan Lionel Logue dari lahir sampai meninggal
dan tentu saja tidak terlepas dari hubungannya dengan Raja George VI.
mendalam ideologi yang terdapat dalam sebuah naskah drama karya Bambang
Widoyo Sp, mengetahui fungsi wacana dalam sebuah pendialogan drama sebagai
alat untuk menyampaikan ideologi pengarang, dan tanggapan serta pengaruh
ideologi tersebut terhadap masyarakat yang telah disampaikan melalui naskah
drama karya Bambang Widoyo Sp. Penelitian ini berusaha mengungkapkan
ideologi yang terdapat di dalam naskah drama “Leng” kemudian dibongkar
sehingga membentuk wacana baru serta pengaruh dan tanggapan naskah drama
tersebut terhadap masyarakat. Penelitian ini menggunakan teori wacana Michel
Foucault dan teori semiotika Roland Barthes serta pendekatan secara
interdisipliner untuk mengungkap produksi makna dalam pendialogan drama.
Hasil penelitian berikutnya dilakukan oleh Farid Pribadi dalam tesis
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Program Studi Sosiologi Program Pascasarjana
Universitas Airlangga Surabaya (2011) yang berjudul “Diskursus Pelaku pada
Kasus Video Porno Ariel, Luna dan Cut Tari (Diskursus mulai Negara, Pelaku,
Aktivis, Akademisi, Guru, Agamawan hingga Pakar di Indonesia)”. Penelitian
tersebut menggunakan teknik analisis wacana menggunakan perspektif
Foucauldian dan menjelaskan bagaimana kompetisi wacana di kalangan negara,
pelaku, masyarakat intelektual di Indonesia tentang pelaku kasus Ariel „Peterpan‟,
Luna Maya dan Cut Tari.
Hasil penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sumantri Raharjo dalam tesis
Program Studi Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta (2010) yang berjudul “Wacana Kritis Komodifikasi Budaya Lokal
dalam Televisi (Studi Kasus Komodifikasi Pangkur Jenggleng di TVRI
Yogyakarta)”. Penelitian tersebut berusaha mengungkap proses komodifikasi,
bentuk-bentuk komodifikasi dalam acara Pangkur Jenggleng, serta mengungkap
mengapa komodifikasi tersebut dilakukan. Penelitian tersebut menggunakan teori
analisis wacana kritis (critical discourse analysis) Norman Fairclough. Teori
analisis wacana kritis Fairclough dilakukan dalam tiga tahap yaitu analisis teks,
praktik wacana (discourse practice), dan praktik sosiokultural (sosiocultural
practice).
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
commit to user