Anda di halaman 1dari 15

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Konseptual


Untuk menjelaskan dan memberikan batasan tentang pusat perhatian
penelitian ini, perlu dijelaskan konsep-konsep yang akan digunakan. Terdapat dua
konsep yang digunakan yang juga menjadi kunci pokok dalam penelitian ini, yaitu
diskursus kepemimpinan dan film The King‟s Speech karya Tom Hooper.

2.1.1 Diskursus Kepemimpinan


Konsep diskursus kepemimpinan mempunyai dua unsur yaitu, diskursus
dan kepemimpinan. Pertama, diskursus yang merupakan istilah umum yang
sering digunakan. Rosidi (2007:6) menyebutkan bahwa istilah wacana (discourse)
yang berasal dari bahasa Latin, discursus, telah digunakan baik dalam arti terbatas
maupun luas. Secara terbatas, istilah ini menunjuk pada aturan-aturan dan
kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa baik dalam komunikasi
lisan maupun tulisan. Secara lebih luas, istilah wacana menunjuk pada bahasa
dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam
tindakan.
Menurut Michel Foucault (2002:9) dalam Sutrisno dan Putranto
(2005:150), diskursus-yang dipahami sebagai penjelasan, pendefinisian,
pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistem-sistem
abstrak pemikiran-menurutnya tidak terlepas dari relasi kekuasaan. White dalam
Foucault (2007:xiv), apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus – seperti
yang terjadi dengan yang lain – adalah selalu „kehendak dan kekuasaan‟, tetapi
untuk menyadari tujuan kehendak dan kekuasaan, diskursus haruslah
mengabaikan dasarnya sendiri. Dalam Giddens dan Turner (2008:20), Foucault
(1973) mengidentifikasi praktik-praktik intelektual, ilmiah dan politis sebagai
„diskursus‟, menolak status yang selama ini dianggap induktif dan empiris.
commit to user

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Diskursus sendiri oleh Foucault didefinisikan sebagai sistem inklusi,


eksklusi yang aturan-aturannya tidak hanya menentukan apa yang bisa dikatakan,
tetapi juga siapa yang dapat mengatakannya (Adian, 2006:110). Dengan kata lain
diskursus merupakan usaha untuk merepresentasikan dan mengkonstruksikan
kembali dunia sosial. Dalam Connors (2010:9), konsep Foucault menjelaskan
bahwa diskursus sebagai aktivitas pembentukan makna merupakan esensi
hubungan manusia sebagai pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan
(power/pouvoir). Menurut Foucault, kehendak untuk kebenaran sama dengan
kehendak untuk berkuasa (Afandi, 2011:133). Seperti dijelaskan pada kutipan
berikut.
Discourse is the means by which institution wield their power through a
process of definition and exclusion, ineligibility and legitimacy. What he
means by this is the way particular discourse or discursive formation
define what it is possible to say on any given topic. A discursive formation
consists of a body of unwritten rules, and shared assumptions which
attempt to regulate what can be written, thought and acted upon a
particular field (Storey, 2001:78 dalam Purbani, 2005:7).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa diskursus adalah cara di mana institusi


memegang kekuasaan mereka melalui proses definisi dan eksklusi, dapat dipilih
dan mempunyai legitimasi. Apa yang di maksud dengan ini adalah cara diskursus
tertentu atau formasi diskursif mendefinisikan kemungkinan mengatakan pada
setiap topik yang diberikan. Sebuah formasi diskursif terdiri dari badan aturan
yang tidak tertulis, dan asumsi bersama yang mencoba untuk mengatur tentang
apa yang dapat ditulis, pikiran dan menindaklanjuti pada bidang tertentu.
Kedua, kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil
dari sebuah proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri
seseorang (Sukatno, 2014:145). Kepemimpinan merupakan sebuah proses
mempengaruhi agar mendapatkan suatu tujuan yang diinginkan. Kepemimpinan
tidak ditentukan oleh pangkat ataupun jabatan seseorang, karena kepemimpinan
berasal dari keputusan seseorang memimpin diri sendiri, keluarga, serta
lingkungan sekitarnya.
Dalam Kartono (2005:6), kepemimpinan berfungsi atas dasar kekuasaan
commit to user
pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi, dan menggerakkan orang-orang lain
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

guna melakukan sesuatu, demi pencapaian satu tujuan tertentu. Kepemimpinan


yang baik adalah mengerjakan sedikit dan menjadi semakin lebih baik (Lao Tzu
dalam Sashkin dan Molly, 2011:7).
Pamudji (1986:6-7) menjelaskan beberapa definisi kepemimpinan sebagai
berikut:
a. Nuansa kepemimpinan mengarah pada kemampuan individu, yaitu
kemampuan dari seorang pemimpin.
b. Kepemimpinan merupakan kualitas hubungan atau interaksi antara pemimpin
dan pengikut dalam situasi tertentu, kepemimpinan menekankan pada
pengaruh (wibawa) terhadap pengikut.
c. Kepemimpinan menggantungkan diri pada sumber-sumber yang ada dalam
dirinya (kemampuan dan kesanggupan) untuk mencapai tujuan.
d. Kepemimpinan mengarah pada terwujudnya keinginan pemimpin, walaupun
akhirnya mengarah pada tercapainya tujuan organisasi.
e. Kepemimpinan lebih bersifat hubungan personal yang berpusat pada diri
pemimpin, pengikut dan situasi.

2.1.2 Film The King’s Speech Karya Tom Hooper


Film The King‟s Speech (2010) merupakan salah satu film karya sutradara
Tom Hooper dan penulis skenario David Seidler yang menceritakan tentang kisah
nyata seorang raja Inggris, Raja George VI, ayah dari Ratu Elizabeth II (Ratu
Inggris sekarang) dan Putri Margaret. Latar (setting) film ini berada pada kerajaan
Inggris di Britania Raya pada masa menjelang Perang Dunia II tahun 1925. Dalam
Corliss (2010) disebutkan pada kutipan berikut.
The King's Speech adheres to every rule in the Oscar playbook. It's a fact-
based drama about a British monarch with a crippling vocal handicap, set
in the years 1925 to 1939 and climaxing with Britain's declaration of war
against Nazi Germany.

Kutipan di atas menjelaskan tentang film The King‟s Speech yang


mematuhi setiap aturan dalam pedoman penghargaan Oscar. Film tersebut
merupakan sebuah drama berdasarkan fakta tentang raja Inggris dengan cacat
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

vokal, diatur pada tahun 1925-1939 dan klimaks dengan deklarasi Inggris perang
melawan Nazi Jerman.
Pada saat sebelum menjadi Raja George VI, Bertie ditugaskan oleh
ayahnya, Raja George V untuk menyampaikan pidato pertamanya di hadapan
umum, namun dia terlihat tidak percaya diri. Ternyata penyebab dari
ketidakpercayaannya terletak pada kegagapannya dalam berbicara yang membuat
penyampaian pidato tersebut berubah menjadi sesuatu hal yang memalukan
baginya. Istrinya, Elizabeth kemudian mendatangkan beberapa dokter untuk
menyembuhkan kegagapan suaminya, namun usahanya tidak membuahkan hasil.
Lantas dia mencoba menemui Lionel Logue, seorang terapis pidato asal Australia
yang memiliki teknik yang aneh dan tidak ditemukan pada dokter-dokter yang
telah menangani Bertie. Dengan teknik-teknik tersebut hubungan Bertie dan
Lionel pada awalnya berjalan tidak baik.
Namun, ketika ayahnya, Raja George V meninggal dunia dan kakaknya,
David yang seharusnya menggantikan ayahnya melepas takhta demi menikahi
wanita pujaan hatinya yang seorang janda yang akan bercerai untuk kedua kalinya
dari Amerika, Wallis Simpson, Bertie harus siap untuk naik takhta. Bertie
memang tak pernah berharap menjadi raja Inggris karena dia tahu benar
keterbatasan yang dimilikinya yang tak memungkinkan dia memimpin sebuah
negara sebesar Inggris sementara berbicara di depan umum saja dia telah berjuang
sekuat tenaga. Pada akhirnya, Bertie menjalankan seluruh teknik yang diajarkan
oleh Lionel. Setelah resmi naik takhta dan menjadi Raja George VI, ujian besar
pertamanya dalam memberikan sebuah pidato di depan rakyat Inggris yang
nantinya akan diingat rakyat Inggris sebagai sebuah pidato yang mampu
menyatukan negara tersebut dalam mendeklarasikan perang kepada Jerman pada
Perang Dunia II.

2.2 Landasan Teoretis


Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya (cultural studies) yang
meneliti tentang wacana dengan menjadikan film The King‟s Speech sebagai
objek penelitian. commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

Dalam penelitian ini, teori wacana Michel Foucault diposisikan sebagai


teori utama (grand-theory) dalam menganalisis “Diskursus Kepemimpinan dalam
Film The King‟s Speech Karya Tom Hooper”. Kemudian teori semiotika
komunikasi visual Umberto Eco diposisikan sebagai teori pendukung (middle-
theory).

2.2.1 Teori Wacana


Kata “wacana” banyak digunakan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan
mulai dari ilmu bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra, dan
sebagainya. Namun demikian, secara spesifik pengertian, definisi, dan batasan
istilah wacana sangat beragam. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan lingkup
dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut (Badara, 2012:16).
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Ini berarti bahwa mempunyai
konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca
(dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) (Chaer, 2007:267).
Secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sansekerta), berarti kata-kata, cara
berkata, ucapan, pembicaraan, perintah, dan nasihat (Ratna, 2011:244).
Wacana dipopulerkan oleh seorang filsuf Perancis terkenal, Michel
Foucault (1926-1984). Teori wacana mengetengahkan relasi antara kekuasaan dan
pengetahuan (pouvoir dan savoir dalam bahasa Perancis) dan (power dan
knowledge dalam bahasa Inggris). Dalam Lubis (2004:147), istilah wacana
(discours, discourse) dipopulerkan oleh Foucault dan merupakan konsep penting
dalam pemikirannya. Dalam bahasa Indonesia selain istilah „wacana‟ ada istilah
„diskursus‟ yang keduanya mengandung makna yang sama. Istilah diskursus ini
dianggap paling sesuai dengan istilah aslinya (bahasa Latin). Dalam Piliang
(2003:107), Foucault mengemukakan, bahwa di dalam satu masyarakat, peristiwa-
peristiwa berbeda (misalnya praktik bahasa), badan pengajaran yang berbeda,
gagasan filsafat, opini sehari-hari, sebagai institusi, praktik komersial,
penggunaan ruang dan objek, serta penggunaan tubuh – semuanya berlandaskan
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

pada pengetahuan implisit yang khusus pada masyarakat tersebut, yang


disebutnya savoir (knowledge atau pengetahuan).
Dalam Jorgensen dan Phillips (2007:24) Foucault mendefinisikan wacana
pada kutipan berikut.
Kita akan menyebut wacana sebagai sekelompok pernyataan yang sejauh
ini merupakan milik formasi kewacanaan yang sama [...Wacana] terdiri
dari sejumlah kecil pernyataan tempat bisa ditetapkannya sekelompok
kondisi eksistensi. Dalam pengertian ini wacana bukanlah bentuk tanpa
waktu yang ideal [...], dari awal sampai akhir, wacana bersifat historis –
penggalan sejarah [...] yang memiliki batas, pembagian, transformasi,
mode khusus temporalitasnya sendiri.. (Foucault, 1972:177).

Dalam perkembangannya, istilah wacana dipakai secara luas oleh bidang-


bidang lain seperti politik, sosiologi, antropologi, psikologi, di samping linguistik
dan sastra. Foucault melihat wacana (discourse) dalam hubungan dengan kuasa
(power) (Rumahuru, 2009:285-286). Best dan Kellner (2003:43), Foucault
percaya bahwa „Wacana....merupakan sebuah realitas sangat kompleks yang kita
tidak hanya dapat tapi juga harus mendekatinya pada level-level berbeda dengan
metode berbeda pula‟ (1973b:xiv). Sehingga tidak ada teori atau metode
interpretasi tunggal yang dapat menangkap pluralitas wacana, institusi dan model-
model kekuasaan yang membentuk masyarakat modern. Dalam Strinati
(2009:372) menurut Foucault, wacana ialah cara-cara tertentu dalam
mengorganisasi pengetahuan dalam konteks melayani jenis-jenis khusus
hubungan kekuasaan. Foucault (1972) dalam Barker (2011:83), menjelaskan
menentang teori formalis bahasa yang memahami bahasa sebagai suatu sistem
otonom dengan aturan dan fungsinya sendiri (yaitu semiotika strukturalis). Dia
juga menentang metode interpretatif dan hermeneutis yang berusaha mengungkap
makna „tersembunyi‟ bahasa. Sebaliknya dia lebih memberikan perhatian kepada
deskripsi dan analisis permukaan diskursus dan efeknya.
Menurut Foucault wacana merupakan segenap pemikiran ataupun tulisan
yang menggunakan bahasa yang sama untuk membicarakan suatu topik tertentu.
Wacana mencakup konsep yang digunakan untuk memahaminya dan metode yang
digunakan untuk memeriksanya. Wacana dapat ditemukan dalam praktik
commit to user
kehidupan sehari-hari tatkala sekelompok masyarakat berbicara tentang topik
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

tersebut, misalnya dalam percakapan, wawancara, komentar, pidato, tulisan-


tulisan, artikel, pengumuman, bagian dari buku, dan lain sebagainya. Tetapi
wacana bukanlah sekadar koleksi pernyatan-pernyataan yang tidak dikemukakan
secara terbuka, melainkan sekumpulan ujaran-ujaran, kalimat atau pernyataan
yang ada atau terjadi, dan ditentukan oleh konteks sosial sebagai hal yang
memberi sumbangan bagi keberlangsungan konteks sosial tersebut. Dengan
demikian lembaga dan konteks sosial memainkan peran yang penting sekaligus
menentukan dalam perkembangan, pemeliharaan serta sirkulasi wacana (Purbani,
2009:3-4).
Foucault tidak memandang wacana sebagai serangkaian kata atau preposisi
dalam teks tetapi memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep, atau efek).
Wacana secara sistematis dalam ide, opini, konsep, dan pandangan hidup di
bentuk dalam konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan
bertindak. Wacana dalam perspektif Foucault bukanlah sebagai rangkaian kata
atau proposisi dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang
lain. Giddens (1987:206) dalam Lubis (2004:153) menyebutkan bahwa teori
wacana (diskursus) Foucault jelas menolak adanya pusat atau titik tolak
pemikiran. Bagi Foucault kalaulah pusat itu ada, maka pusat itu adalah bahasa
atau teks. Wacana yang dipraktekkan dalam ilmu pengetahuan (baik sosial
maupun ilmu-ilmu alam), menurut Foucault, adalah yang paling
bertanggungjawab dalam membentuk/menyitrakan apa yang disebut subyek dan
obyek dalam epistemologi, khususnya yang membentuk subyek (manusia). Best
dan Kellner (2003:28) menyebutkan bahwa masalah penting teori wacana adalah
menganalisa basis-basis institusional wacana, sudut pandang dan posisi darimana
mereka berbicara, serta hubungan kekuasaan yang terjadi. Teori wacana juga
menginterpretasikan wacana sebagai sebuah era dan obyek pertentangan dimana
kelompok-kelompok yang berbeda memunculkan hegemoni dan produksi makna
serta ideologi.
Pada kutipan berikut dijelaskan bahwa analisis wacana kritis memandang
wacana sebagai sebuah bentuk praktik sosial.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

Analisis wacana kritis memandang wacana – penggunaan bahasa dalam


tuturan dan tulisan – sebagai sebuah bentuk „praktik sosial‟. Menjelaskan
wacana sebagai praktik sosial menyiratkan suatu hubungan dialektik antara
peristiwa diskursif tertentu dengan situasi-situasinya, institusi-institusi, dan
struktur sosial yang mewadahinya. Suatu hubungan dialektik merupakan
sebuah hubungan dua jalur: peristiwa diskursif dibentuk oleh situasi,
institusi dan struktur sosial, namun juga membentuk ketiganya (Fairclough
dan Wodak, 1997:55 dalam Titscher dkk, 2009:240-241).

Wacana tidak dapat dibiarkan secara bebas berkembang, melainkan harus


selalu ada institusi yang berperan untuk mengarahkan bahkan menguasainya. Pada
formasi sosial tertentu selalu akan muncul manusia kehendak man of desire yang
berperan sebagai kunci pada setiap subjektivasi (Jalal, 2007:67). Wacana dapat
dikatakan sebagai satu set bangunan oposisi biner, dimana set tersebut
menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Biner dimaknai sebagai dua
sisi yang berbeda, dikatakan oposisi karena saling membelakangi seperti dua sisi
mata uang. Dengan pendapat diskursus ini, Foucault beranggapan bahwa
pengetahuan manusia akan yang benar, adalah hasil dari penentuan mana yang
salah, sehingga yang benar dapat diterima. Namun perlu diingatkan lagi, benar-
salah dalam terminologi Foucault tidak dibentuk dalam rangka menjustifikasi.
Benar-salah dilihat sebagai objek yang saling berdialektik. Ada kalanya yang
benar menjadi salah, dan adakalanya yang salah menjadi benar. Menurut Foucault
benar-salah adalah hasil dari konstruksi kekuasaan.

2.2.2 Teori Semiotika Komunikasi Visual


Semiotika atau semiologi merupakan suatu ilmu yang mengkaji tentang
sistem tanda. Kata semiologi digunakan oleh para ahli semiotika yang berasal dari
seorang tokoh strukturalis, yaitu Ferdinand de Saussure dengan dikotomi tanda
petanda (signified) dan penanda (signifier). Istilah semiotika sendiri berasal dari
bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda „sign‟ yaitu ilmu yang mempelajari
tentang sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan
suatu informasi atau pesan, baik secara non verbal maupun verbal sehingga
commit
bersifat komunikatif. Hal tersebut to user suatu proses pemaknaan oleh
memunculkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Dalam
Hoed (2011:3) disebutkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda
dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita
dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Hasan (2011:60),
semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam
percakapan sehari-hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-
bentuk lain, seperti kata-kata, gambar, suara, gesture, dan objek. Bungin
(2011:175), fokus utama semiotika adalah tanda. Studi tentang tanda dan cara
tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi.
Semiotika dipopulerkan oleh seorang filsuf Italia terkenal, Umberto Eco.
Menurut Eco (1979:7) dalam Ratna (2007:117) semiotika dikaitkan dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Dalam Berger (2010:4-5) menyebutkan
pernyataan Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics seperti berikut.
Semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda.
Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai
penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini
tidak terlalu mengharuskan perihal adanya atau mengaktualisasikan perihal
di mana dan kapan suatu tanda memaknainya. Jadi semiotika ada dalam
semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi, termasuk dapat pula
digunakan untuk menipu bila segala sesuatu tidak dapat dipakai untuk
menceritakan (mengatakan) segala sesuatu (semuanya). Saya berpendapat
bahwa definisi “teori penipuan” seharusnya diambil seperti program
komprehensif yang memadai bagi suatu semiotika umum (1976:7).

Pandangan menurut Eco pemakaian bahasa dalam mewujudkan tanda dan


penanda dengan menggunakan pendekatan bahasa akan memudahkan untuk
menafsirkan tanda dan penanda yang sebenarnya. Kebenaran akan tanda dan
penanda itu dapat ditelusuri dari teks bahasa lisan maupun teks bahasa tulisan.
Perbedaan akan bahasa lisan dan bahasa tulisan akan dapat diketahui jika
pemakaian bahasa yang dipergunakan terjadi pergerseran dalam bentuk fonetik
dan semantiknya.
Dalam Piliang (2003:44 dan 2012:44), definisi semiotika yang
dikemukakan Umberto Eco mengatakan, bahwa semiotika “...pada prinsipnya
adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan
commit to user
untuk berdusta (lie)”. Eco (1976:12) dalam Danesi (2010:33), mendefinisikannya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

sebagai „disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk
berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu
tidak bisa dipakai untuk berkata jujur; dan pada kenyataannya tidak bisa dipakai
untuk apapun juga‟.
Eco menanamkan penemuannya itu sebagai fungsi lambang atau sign-
function. Kemunculan fungsi lambang ini dapat diterangkan melalui pembinaan
kode-kode. Eco melihat lambang sebagai unit yang tersendiri dan hampir
autonomikal sifatnya. Lantaran inilah juga mengapa sering kedapatan setengah-
setengah lambang yang serupa akan tetapi membawa arti yang jauh berbeda.
Sebagai unit kebudayaan, makna-makna itu boleh ditafsirkan secara semiotik
yaitu sebagai sebuah unit semantik yang telah disisipkan ke dalarn sebuah sistem
oleh sekumpulan atau seorang manusia. Selanjutnya, Eco berujar dengan
mengatakan sebuah unit budaya selalu terdapat dalarn sistem budaya-budaya lain-
pengaruh-mempengaruhi – yakni hubungan timbal balik yang akan melahirkan
nilai-nilai kehidupan secara umum. Dengan itu, melahirkan pula tanda, penanda,
serta petanda yang berbeda.
Umberto Eco menyebutkan beberapa wilayah kajian yang masuk
semiotika seperti semiotika hewan (zoosemiotics), tanda-tanda berupa bebauan
(olfactory sign), komunikasi rabaan (tactile communication), kode-kode cecapan
(codes of taste), paralinguistic (paralinguistics), semiotika medis, kinesika dan
proksemika (kinesics and proxemics), bahasa-bahasa formal, bahasa tulis
(termasuk alphabet tak dikenal dan kode rahasia), bahasa alami, komunikasi
visual, sistem objek-objek, struktur alur, teori teks, kode-kode kultural, teks-teks
estetis, komunikasi massa, dan retorika. Dalam hal ini, komunikasi tubuh dapat
masuk pada beberapa wilayah kajian tersebut, terkait bentuk dalam pesan bahasa
tubuh yang hendak disampaikan (Hidayat, 2010:225).
Eco mengawinkan pemikiran dua perintis semiotika modern, yaitu ahli
linguistik Swiss, Ferdinand de Saussure dan filsuf pragmatisme Amerika Serikat,
Charles Sanders Pierce. Eco mengembangkan tesis bahwa semiotika merupakan
studi yang mengkaji seluruh proses kehidupan bermasyarakat sebagai proses
commit
komunikasi. Semiotika komunikasi to user pada pemikiran Saussure yang
bersumber
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

mengandaikan adanya pengirim dan penerima pesan dalam setiap proses


komunikasi. Gagasan Eco mengenai semiotika sebagai teori kedustaan sangat
kreatif dan provokatif namun tampak terlampau menyederhanakan realitas
menjadi sekadar „hitam-putih‟. Dalam dunia kehidupan sosial yang sesungguhnya,
relasi antara tanda, makna, dan realitas jauh lebih kompleks daripada relasi
oposisi biner dusta atau kebenaran semata.

2.3 Landasan Orisinilitas


2.3.1 Hasil Penelitian Terdahulu tentang Film The King’s Speech
Penelitian tentang “Diskursus Kepemimpinan dalam Film The King's
Speech Karya Tom Hooper” yang dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian Budaya
ini, film The King‟s Speech merupakan objek material dari sebuah penelitian
mengenai diskursus kepemimpinan dalam film The King‟s Speech. Hasil
penelitian terdahulu tentang film The King‟s Speech ini kebanyakan berupa skripsi
yang menjelaskan tentang unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik di dalam film
tersebut.
Skripsi-skripsi yang ditemukan, antara lain skripsi Allen Septiano,
mahasiswa Program Studi Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Surabaya (2011) yang
berjudul “Representasi Kekuatan Retorika Raja dalam Film The King‟s Speech
(Studi Semiotik Representasi Kekuatan Retorika Raja dalam Film The King‟s
Speech)”. Skripsi Dian Luthfiyati, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang (2011) yang berjudul “A Psycholinguistics Study on the
Language Production of a Stuttered Man in The King‟s Speech Movie”. Skripsi
Garnis Trisnawati, mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Humaniora
Universitas Diponegoro Semarang (2011) yang berjudul “Directive Illocutionary
Acts in Relation to Politeness Strategy in the Historical Movie The King‟s
Speech”. Skripsi Warhamna Risqi, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Universitas Negeri Padang (2011) yang berjudul “An Analysis of Style and
commitMovie:
Register Found in “The King‟s Speech” to userA Sociolinguistics Analysis”.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

Skripsi Abu Amar Fauzi, mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang (2012) yang berjudul “Hedges Seen in the Main
Characters of The King‟s Speech Movie”. Skripsi Dimyati Putika, mahasiswi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (2012) yang berjudul
“Analisis Semiotika Representasi Gaya Komunikasi Raja George VI dalam Film
The King‟s Speech”. Skripsi Monita Indayarti, mahasiswi Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar (2012) yang berjudul “The
Flouting of Implicature in The King‟s Speech Movie (Pragmatic Approach)”.
Skripsi Fadhliah Anwar, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris Fakultas Adab
dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2013)
yang berjudul “The Childhood Trauma of Prince Albert as Seen in David
Seidler‟s The King‟s Speech”. Skripsi Dian Iftitah Sari, mahasiswi Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (2014) yang
berjudul “A Psycholinguistic Analysis on Stuttering Portrayed in The King‟s
Speech Movie”.
Namun skripsi-skripsi tersebut tidak menjadi landasan penelitian terdahulu
tentang film The King‟s Speech karena ditemukan pula tesis yang berhubungan
dengan film The King‟s Speech yang dilakukan oleh Rachmat Efendi, mahasiswa
Program Pascasarjana Jurusan S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta (2012) yang berjudul “Metafora dalam Percakapan
Antartokoh pada Film The King‟s Speech”. Penelitian tersebut
menginterpretasikan metafora yang digunakan pada film The King‟s Speech dan
mengungkap jenis metafora, fungsi atau peran elemen penyusun metafora, dan
konteks penggunaan metafora dalam film The King's Speech. Penelitian tersebut
menggunakan metode deskriptif kualitatif dan metode analisis padan ekstralingual
yaitu metode penelitian yang menghubungbandingkan data dengan unsur-unsur di
luar bahasa, seperti makna, informasi, konteks tuturan, dan lain-lain, bukan
melalui lambang-lambang atau simbol-simbol tertentu.
Sebuah buku yang sangat menunjang penelitian ini dalam kaitannya
dengan film The King‟s Speech adalah “The King's Speech: How One Man Saved
commit
the British Monarchy” karya Mark to user
Logue yang merupakan cucu Lionel Logue
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

dari ayahnya yang bernama Antony Logue serta bekerja sama dengan Peter
Conradi, seorang pengarang buku dan jurnalis veteran yang diterbitkan oleh
Sterling Publishing Co., Inc Amerika Serikat pada tahun 2010. Isi dari buku ini
berdasarkan buku harian Lionel Logue dan beberapa koleksi catatan serta foto-
foto yang ditemukan, terinspirasi dari film dengan judul yang sama namun Mark
menambahkan cerita tentang kehidupan Lionel Logue dari lahir sampai meninggal
dan tentu saja tidak terlepas dari hubungannya dengan Raja George VI.

2.3.2 Hasil Penelitian Terdahulu tentang Diskursus


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arif Hidayat berupa tesis Program
Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
(2012) yang berjudul “Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S.” adalah
salah satu kajian pustaka yang mengungkap wacana dalam perpuisian karya
Abdul Wachid B.S. Penelitian tersebut berusaha untuk mendeskripsikan secara
mendalam tentang strategi wacana, mengungkap secara mendalam rekonstruksi
wacana dan mampu memperebutkan makna, dan yang terakhir adalah tentang
memformulasikan secara mendalam transformasi wacana dari perpuisian Abdul
Wachid B.S. Kemudian pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut
dilakukan secara multiinterdisipliner dengan melibatkan lebih dari dua bidang
ilmu untuk digunakan dalam mengalisis masalah yang sama, yaitu disiplin mayor
menggunakan teks yang ditelaah berdasarkan wacana kritis. Teori wacana yang
dikemukakan oleh Michel Foucault didukung oleh teori stilistika untuk
mengungkap karakteristik teks, teori semiotika untuk mengungkap produksi
makna, dan teori strukturasi untuk mengungkap arah transformasi dalam
menganalisis perpuisian Abdul Wachid B.S. Teori yang digunakan pada
penelitian tersebut adalah teori wacana Michel Foucault, teori strukturasi Anthony
Giddens, teori semiotika Roland Barthes, dan teori stilistika Umar Junus.
Tesis yang berjudul “Membongkar Ideologi di balik Naskah “Leng” Karya
Bambang Widoyo Sp” yang dilakukan oleh Alfian Setya Nugraha (2013)
Magister Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas
commitberusaha
Maret Surakarta. Penelitian tersebut to user untuk mendeskripsikan secara
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

mendalam ideologi yang terdapat dalam sebuah naskah drama karya Bambang
Widoyo Sp, mengetahui fungsi wacana dalam sebuah pendialogan drama sebagai
alat untuk menyampaikan ideologi pengarang, dan tanggapan serta pengaruh
ideologi tersebut terhadap masyarakat yang telah disampaikan melalui naskah
drama karya Bambang Widoyo Sp. Penelitian ini berusaha mengungkapkan
ideologi yang terdapat di dalam naskah drama “Leng” kemudian dibongkar
sehingga membentuk wacana baru serta pengaruh dan tanggapan naskah drama
tersebut terhadap masyarakat. Penelitian ini menggunakan teori wacana Michel
Foucault dan teori semiotika Roland Barthes serta pendekatan secara
interdisipliner untuk mengungkap produksi makna dalam pendialogan drama.
Hasil penelitian berikutnya dilakukan oleh Farid Pribadi dalam tesis
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Program Studi Sosiologi Program Pascasarjana
Universitas Airlangga Surabaya (2011) yang berjudul “Diskursus Pelaku pada
Kasus Video Porno Ariel, Luna dan Cut Tari (Diskursus mulai Negara, Pelaku,
Aktivis, Akademisi, Guru, Agamawan hingga Pakar di Indonesia)”. Penelitian
tersebut menggunakan teknik analisis wacana menggunakan perspektif
Foucauldian dan menjelaskan bagaimana kompetisi wacana di kalangan negara,
pelaku, masyarakat intelektual di Indonesia tentang pelaku kasus Ariel „Peterpan‟,
Luna Maya dan Cut Tari.
Hasil penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sumantri Raharjo dalam tesis
Program Studi Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta (2010) yang berjudul “Wacana Kritis Komodifikasi Budaya Lokal
dalam Televisi (Studi Kasus Komodifikasi Pangkur Jenggleng di TVRI
Yogyakarta)”. Penelitian tersebut berusaha mengungkap proses komodifikasi,
bentuk-bentuk komodifikasi dalam acara Pangkur Jenggleng, serta mengungkap
mengapa komodifikasi tersebut dilakukan. Penelitian tersebut menggunakan teori
analisis wacana kritis (critical discourse analysis) Norman Fairclough. Teori
analisis wacana kritis Fairclough dilakukan dalam tiga tahap yaitu analisis teks,
praktik wacana (discourse practice), dan praktik sosiokultural (sosiocultural
practice).
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

Tesis Yuana Agus Dirgantara, mahasiswa Program Studi Pendidikan


Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
(2010) yang berjudul “Wacana Tutur dalam Upacara Pengantin Jawa”. Penelitian
tersebut mempunyai tujuan mendeskripsikan dan menjelaskan penonjolan topik
dalam upacara pengantin Jawa, penggunaan bahasa Jawa dalam upacara pengantin
Jawa, yang meliputi alih kode dan campur kode serta diksi, dan fungsi wacana
tutur dalam upacara pengantin Jawa.
Tesis Dian Marhaeni K., mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (2006) dengan judul
“Wacana Kapitalis dalam Iklan Anak-Anak di Media Televisi (Analisis
Wacana)”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menggambarkan bagaimana
wacana kapitalisme ada dan telah bekerja melalui tayangan iklan di media-media
massa televisi, dan bagaimana wacana ini dalam melibatkan anak-anak melalui
tayangan iklan komersial di media televisi. Penelitian tersebut menggunakan
model analisis wacana Teun Van Dijk yang menekankan pada bentuk analisis
critical linguistic.
Tesis Edy Sulistiono, mahasiswa Program Studi Magister Kajian Budaya
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (2015) yang berjudul
“Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram”.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengungkap kejelasan dipilihnya Arjuna
sebagai media diskursus, proses dibangunnya diskursus itu, serta implikasi-
implikasinya bagi masyarakat Jawa. Jenis penelitian yang digunakan adalah
kualitatif interpretatif yang menekankan analisis pengungkapan nilai-nilai di balik
relasi-relasi hubungan data material yang ada. Pendekatan hermeneutik berfungsi
mengarahkan terhadap filosofi interpretasi sejarah terjadinya diskursus Arjuna
zaman Sultan Agung yang masih berimplikasi terhadap budaya Jawa sekarang.
Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori wacana Michel
Foucault, teori hegemoni Antonio Gramsci, dan teori semiotika Roland Barthes.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai