Anda di halaman 1dari 11

6A: HAKIKAT, CIRI-CIRI, DAN ELEMEN-ELEMEN WICARA

A. TUJUAN KHUSUS PEMBELAJARAN


Setelah mengikuti sajian tentang topik pengertian dan ciri-ciri wicara ini
diharapkan mahasiswa dapat: (1) mendefinisikan dengan bahasanya sendiri tentang
pengertian wicara; dan (2) menyebutkan ciri-ciri wicara dengan tepat.

B. BAHAN AJAR
1. Pengertian Wicara
Pengertian wicara bermacam-macam tergantung dari dimensi mana seseorang
memandangnya. Berbagai pakar telah membuat definisi sendiri-sendiri sesuai dengan
pandangannya masing-masing. Selain itu, definisi atau batasan tentang wicara berdasarkan
kamus-kamus ilmiah juga amat bervariasai. Di bawah ini akan dipetikkan beberapa
pengertian wicara tersebut.

a. The American College Dictionary:


* Speech is the expression of ideas and thoughts by means of articulate vocal sound, or the
fakulty of thus expressing ideas and thoughts (wicara adalah pernyataan gagasan dan
pikiran dengan cara mengartikulasikan bunyi-bunyi vokal, atau penampilan terhadap
pernyataan gagasan dan pikiran tersebut).
* Speaking is a field of study devoted to the theory and practice of oral communication
(berbicara adalah suatu bidang studi yang berkaitan dengan teori dan praktik dalam
komunikasi lisan.
* To talk is make known or interchange ideas, information, etc., by means spoken word.
(berbicara atau bercakap-cakap adalah memberi tahu atau bertukar ga-gasan, informasi, dan
sebagainya dengan menggunakan bahasa lisan).
Berdasarkan definisi dalam kamus di atas, dapatlah dipetik kesimpulan bahwa
berbicara dapat dipandang sebagai suatu bentuk komunikasi lisan, suatu cabang ilmu
tentang hahasa lisan , atau suatu aktivitas berbahasa dengan meng-gunakana bahasa lisan.

1
b. Webster's Third New International Dictionary:
* Speech is the art or technigue of clear and effective speaking of study in organized
instruction (wicara adalah kiat atau teknik berbicara secara jelas dan efektif dari studi
dalam pembelajaran yang terorganisasi).
* Speaking is to utter words or articalate sounds with the ordinary modulation of the voice
(berbicara adalah melafalkan atau mengartikulasikan bunyi-bunyi bahasa dengan modulasi
suara yang wajar).
* To talk is a formal or prearranged discussion, negotiation, or exchange of view usually
of a political nature (wicara adalah sebuah diskusi resmi atau diskusi yang dipersiapkan
dengan matang, suatu perundingan, tukar pandangan yang biasanya dalam dunia politik).
Berdasarkan definisi dalam kamus di atas dapat dipetik kesimpulan bahwa wicara dapat
dipandang sebagai suatu kiat berbahasa, suatu pengujaran bunyi bahasa, atau bentuk
pertemuan resmi.

c. Kamus Linguistik (Kridalaksana, 1982):


* Wicara adalah perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu
ketrampilan dasar dalam berbahasa.
Berdasarkan definisi dalam kamus tersebut dapat disimpul-
kan bahwa wicara merupakan salah satu aspek ketrampilan berbahasa, yaitu aspek lisan--
produktif (menghasilkan bahasa secara lisan). Adapun ketiga aspek lain yang erat dengan
wicara adalah aspek lisan rerseptif (menyimak, yaitu menerima bahasa lisan), aspek tulis
re-septif (membaca, yaitu menangkap bahasa tulis), dan aspek tulis produktif (menulis,
yaitu menghasilkan bahasa tulis).

d. Thomas Mann (dalam Logan, 1972):


* Speech is civilization itself (Wicara adalah budaya itu sendiri). Dari pemeo ini dapat
disimpulkan bahwa wicara itu merupakan salah satu bentuk kebudayaan. Dengan demikian
wicara selalu melekat dengan adat-istiadat, kebiasaan, atau pranata sosial yang terdapat
pada kelompok sosial tertentu.

2
e. Brigance (1953):
* A speaker may learn the science of speaking from a text-book, but speaking itself is an
art, founded upon the sciences of rhetoric and psychology, and no art can be learned from
books (seorang pembicara dapat belajar dari pengetahuan tentang wicara dari buku teks,
tetapi wicara itu sendiri adalah sebuah kiat, yang diperoleh dari pengetahuan tentang
retorik dan psikologi, dan bukanlah kiat yang dapat dipelajari dari buku).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wicara merupakan sebuat kiat, atau
sebuah kajian yang didasarkan atas retorik (limu tentang cara bertutur secara efektif) dan
psikologi (ilmu jiwa).
Berdasarkan batasan-batasan di atas dapat dikatakan bahwa pengertian wicara itu
bersifat relative. Untuk itu, diperlukan adanya rambu-rambu tentang hakekat wicara. Di
dalam hal ini, Logan (1972: 104--105) membuat rambu-rambu tentang konsep dasar wicara
sebagai berikut.
(1) Wicara dan menyimak merupakan kegiatan yang berbalas-balasan (speaking and
listenning are reciprocal activities).
(2) Wicara merupakan proses berhubungan secara pribadi (speaking is process by which
individuals communi-cates).
(3) Wicara merupakan pernyataan yang kreatif (speech is creative expression).
(4) Wicara mencerminkan prilaku (speech is behavior).
(5) Wicara merupakan prilaku yang dapat dipelajari (speech is lerned behavior).
(6) Wicara dapat dirangsang oleh kakayaan pengalaman (speech is stimulated by rich
experiences).
(7) Wicara merupakan cara untuk memperluas cakrawala pengetahuan (speech is a means
of extending horizon).
(8) Ketrampilan berbahasa dan lingkungan selalu berhu-bungan (linguistic skills and
envoronment are inter-related).
(9) Wicara mencerminkan kepribadian (spech reflects personality).

Berbagai definisi dan berbagai konsep dasar tentang wicara selalu didasarkan atas
asumsi (anggap dasar) tertentu. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan hakekat wicata
tersebut antara lain sebagai berikut.

3
(1) Wicara sangat membedakan dan menentukan prilaku manusia (speech is man's most
distingtive and significant behavior).
(2) Seorang terpelajar membutuhkan banyak pemahaman terha-dap prilaku berbicara (an
educated person needs more than an understanding od speech behavior).
(3) Manusia tidak bisa menghindari diri dari hakekat dan kebermaknaannya sebagai
komunikator (man cannot avoid being essentially and significantly a communicator).
(4) Tindakan dan kiat berkomunikasi dalam wicara dan berbahasa bersifat manusiawi (the
acts and arts of communication in speech and language are humanistic) (Logan, 1972:
166).
Definisi-definisi wicara, konsep-konsep dasar wicara,dan berbagai asumsi terhadap
hakekat wicara selalu dapat didekati dengan menggunakan pendekatan tertentu, yaitu suatu
aksioma-aksima atau ancangan teoritis yang mendasari pemikiran tentang hakekat
berbicara. Di dalam hal ini pendekatan yang digunakan bertumpu pada dimensi-dimensi
yang melandasinya, antara lain sebagai berikut ini.
(1) Dimensi oral, yaitu dimensi yang dititiberatkan pada suara (the oral dimension --> is
concerned with the voice).
(2) Dimensi visual, yaitu kombinasi antara suara dengan bahasa tubuh (the visual
dimension --> two speeches simultancously -- one with his voice and one with body).
(3) Dimensi psikologis, yaitu dengan unsur-unsur kejiwaan dalam diri pembicara yang
meentukan sikap pendengar terhadap apa yang dikatakan (the psychological dimen-sion
--> with psychological elements within the speak-er with determine the attitude of
audience toward what he has to say) (Logan, 1972:136).

2. Ciri-ciri Wicara
Dengan berpijak atas definisi-definisi wicara, konsep-kosep dasar tentang wicara,
asumsi-asumsi tentang hakekat wicara, dan berbagai pendekatan tentang wicara, maka
dapatlah ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri umum wicara secagai berikut:
(a) wicara itu bertujuan; (b) wicara itu bersifat interaktif; (c) wicara itu bersifat sementara;
(d) wicara itu terjadi dalam bingkai-bingkai khusus. (e) wicara itu alpa tanda baca, (f)
wicara itu kata-katanya terbatas; dan (g) wicara itu diwarnai oleh perbendaharaan
pengalaman.

4
a. Wicara itu Bertujuan
Salah satu ciri penanda wicara adalah bertujuan; karena melalui wicara seseorang
dapat mencapai tujuan yang yang telah direncanakan. Adapun tujuan wicara tersebut antara
lain: (1) untuk memberi tahu atau memberi informasi; (2) untuk meyakinkan lawan bicara;
(3) untuk membujuk lawan bicara; (4) untuk memikat lawan bicara; dan (5) untuk
menyenangkan lawan bicara.

b. Wicara itu Bersifat Interaktif


Di dalam berkomunikasi, antara pembicara dengan lawan bicara sama-sama aktif
(interaktif). Pembicara aktif berbicara, sedangkan lawan bcara aktif mendengarkan. Di
dalam komunikasi perlu adanya usaha untuk saling memahami isi pembicaraan, usaha
untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh, usaha untuk menanggapi permasalahan,
dan sebagainya. Usaha aktif antara pembicara dengan lawan bicara inilah yang
menyebabkan kegiatan wicara lebih komunikatif.

c. Wicara itu Bersifat Sementara


Wicara hanya bersifat sementara, artinya komunikasi dalam kegiatan wicara hanya
berlangsung selama proses pembcaraan itu terjadi. Sesudah proses itu berakhir, komunikasi
itu tidak dapat ditemukan lagi atau diulangi persis dengan yang telah dibicarakan terdahulu.

d. Wicara itu Terjadi dalam Bingkai-bingkai Khusus


Wicaraitu biasanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, mempunyai wadah
tertentu, dan tidak selalu berlangsung setiap waktu. Bingkai-bingkai khusus itu meliputi:
(1) what (topik apa yang akan dibicarakan); (2) where (di mana pembicaraan itu
berlangsung); (3) who (dengan siapa ia berbicara); dan (4) when (kapan ia berbicara).

e. Wicara itu Alpa Tanda Baca


Wicara tidak menghiraukan tanda baca, karena tanda baca hanya berlaku dalam
bahasa tulis. Karena wicara itu kegiatan komunikasi dengan menggunakan bahasa lisan,
maka tak ada tanda bacanya. Sehubungan dengan itu, pembicaraan harus disertai dengan
intonasi yang tepat atau mimik yang serasi dengan isi pembicaraan.

5
f. Wicara itu Kata-katanya Terbatas
Terbatasnya kata-kata dalam sebuah penampilan wicara sulit untuk dihindari. Hal
ini disebabkan bahwa dalam pembicaraan sering terjadi spontanitas. Dengan demikian,
pembicara tidak dapat merevisi kata-kata seperti dalam menulis surat atau karangan.
Karena dalam pembicaraan itu cenderung spontanitas, maka pembicara tidak
mempunyai kesempatan untuk meneliti kata demi kata

g. Wicata itu Diwarnai Perbendaharaan Pengalaman


Pengalaman menentukan seseorang terhadap kelancaran berbicara di depan orang
banyak. Makin banyak variasi pengalaman seseorang makin pula warna wicara yang
ditampilkan. Dengan demikian orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
luas cenderung lebih lancar berbicara jika dibandingkan dengan orang yang kurang
pengalaman.

3. Elemen dan Model-Model Wicara


Di dalam komunikasi wicara selalu melibatkan elemen-elemen wicara, yaitu: (1)
pesan dari pengirim ide (sender); (2) sumber atau asal mula tempat pesan diperoleh
(source) ; (3) penerimaan dalam diri penerima informasi (receiver); dan (4) saluran
komunikasi (channel). Keempat elemen tersebut merupakan sarana pembangun model-
model komunikasi wicara.
Pada hakekatnya komunikasi wicara itu ada dua model, yaitu: (1) model wicara
searah, dan (2) model wicara dua arah. Model wicara searah adalah model wicara yang
menunjukkan adanya peran tunggal baik sebagai sender (pengirim ide) maupun sebagai
receiver (penerima ide). Adapun model wicara dua arah merupakan model wicara yang
menunjukkan adanya peran ganda. Di dalam model wicara dua arah ini terdapat adanya
interaksi timbal balik antara pembicara dengan lawan bicara. Kadang-kadang pembicara
berperan sebagai sender, tetapi lain waktu ia berperan sebagai receiver atau pendengar.
Begitu pula lawan bicara, kadang-kadang mereka berperan pula sebagai receiver dan
kadang-kadang sebagai sender. Secara diagramamatis kedua model wicara tersebut terlihat
sebagaimana berikut ini.

6
A. Model Wicara Searah

SENDER CHANNEL RECEIVER

B. Model Wicara Dua Arah

SEND CHANNEL RECEIVER


ER

Di dalam proses komunikasi wicara selalu berkaitan dengan: (1) materi komunikasi,
yaitu gagasan atau ide yang tertuang dalam penampilan wicara; (2) peran, yaitu manusia
yang terlibat dalam proses komunikasi wicara; dan (3) tujuan, yaitu maksud untuk
menyampaikan pikiran dan perasaan agar dapat dimengerti oleh orang lain. Di dalakm hal
ini proses komunikasi bisa berupa: (1) komunikasi internal, yaitu komunikasi yang secara
aktif tertjadi dalam diri seseorang; dan (2) komunkasi eksternal, yaitu proses komunikasi
antar individu. Di dalam proses komunikasi wicara itu biasanya terdapat proses kegiatan
berikut:
a. proses menggali pesan;
b. proses seleksi pesan;
c. proses memformulasikan pesan ke dalam bentuk bahasa;
d. proses menyampaikan atau mengirimkan pesan dengan meng-gunakan bunyi-bunyi
bahasa dengan berbagai ilustrasinya lewat saluran komunikasi;
e. proses penerimaan kode-kode verbal dan non-verbal;
f. proses penghayatan pesan secara hakiki;
g. proses mengasosiasikan pesan dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki;
h. proses perumusan dan penyampaian pesan; dan
i. proses pemberian balikan atau tanggapan.
Di dalam komunikasi lisan hubungan antara pembicara dan pendengar itu erat
sekali. Keeratan hubungan antara kedua peran tersebut terlukis sebagaimana apa yang
dikemupakan oleh Bryant (1947: 16) sebagai berikut.

7
(1) Pendengar bukanlah hanya memerlukan rangsangan di dalam penampilan komunikasi,
tetapi juga harus mahir dalam merespon (the audience is not only the necessary
stimulus in any act of communication, it also capable of response).
(2) Pembicara bukan hanya merespon pendengar sebagi sti-mulus, tetapi ia juga harus
menjadikan stimulus efek-tif untuk direspon pendengar (the speaker not only responds
to the audience as stimulus, he also becomes effective stimulus to which the audience
responds).

Dari uraian tersebut dapatlah digambarkan secara diagramatik bahwa eratnya hubungan
antara pembicara de-ngan pendengar tersebut sebagai berikut.

Audience (S) (R) Speaker


Audience (R (S) Speaker

dimana: S = Stimulus
R = Responds

Karena eratnya hubungan antara pembicara dengan pendengar tersebut, maka


dituntut adanya aktivitas mental yang tinggi dari kedua peran itu di dalam proses komu-
nikasi. Selain itu, setiap rangsangan pasti menghasilkan respon (balikan), yang mungkin
bersifat positif (mendu-kung), atau mungkin bersifat negatif (menentang). Agar komunikasi
lisan antara pembicara dengan pendengar terse-but berjalan lancar dituntut adanya sikap
dan ketrampilan yang baik dalam berkomunikasi. Di dalam hal ini pembicara harus
memiliki sikap dan ketrampilan yang bagus dalam menyampaikan kode-kode kebahasaan.
Adapun pendengar harus memiliki sikap dan ketrampilan yang bagus dalam menangkap
kode-kode kebahasaan. Ketrampilan menyampaikan kode-kode kebahasaan dalam
berkomunikasi disebut encoding skill, sedangkan ketrampilan menangkap kode-kode
kebahasaan dalam berkomunikasi disebut decoding skill. Secara diagramatis uraian itu
tercermin dalam model komunikasi yang dikemukakan oleh Miller seperti berikut ini.

8
The Miller Model of Communication

SPEAKER LISTENER

Attitude Attitude
Encoding Sikll Decoding Skill
FEEDBACK
Positif/negatif

Faktor penentu keberhasilan komunikasi ditentukan oleh ketiga unsur komunikasi,


yaitu: sender, receiver, dan channel. Oleh karena itu, di dalam proses komunikasi dipelukan
adanya: (1) ketrampilan komunikasi (communi-cation skill); (2) sikap yang baik dalam
berkomunikasi (attitudes); (3) pengetahuan yang luas (knowledge); (4) pemahaman sistem
sosial (social sistem); dan (5) pemahaman kebudayaan (culture). Selain memiliki
kemahiran tersebut, para pelaku komunikasi akan berhasil dengan baik jika mereka dapat
memusatkan panca inderanya melalui penglihat-an (seeing), pendengaran (hearing), peraba
(touching), penciuman (smelling), dan pengecap (tasting). Hal ini selaras dengan model
komunikasi yang telah dikemukakan oleh Berlo berikut ini.

Berlo's SMCR Model of Communication:

S OURCE M ESSAGE C HANNEL R ECEIVER

Communicatuion Skills Elements Structure Seeing Communication Skills


Attitude Treatment Hearing Attitude
Knowledge Content Touching Knowledge
Social Sistem Code Smelling Social Sistem
Culture Tasting Culture

9
Alur komunikasi mula-mula diperankan oleh pembicaraAkan tetapi pesan yang
dikemukakan oleh pembicara sebenar-nya berasal dari suatu sumber, mungkin sumber
insani (nara sumber) atau mungkin sumber taninsani (misalnya buku bacaan). Bahan
pembicaraan yang dikemukakan oleh pembicara kepada pendengar tersebut disalurkan
lewat saluran kommunikasi (channel) tertentu. Tujuan atau sasaran yang dituju dalam
proses komunikasi tersebut adalah agar pendengar memperoleh dampak langsung atau tak
langsung terhadap penerimaan isi komunikasi tersebut. Secara dia-gramatis alur
komunikasi itu terlihat dalam model komu-nikasi yang telah dikemukakan oleh Lasswell
sebagai berikut.

The Lasswell Model Communication

Sender Message Channel Receiver Efftect

Model komunikasi menurut Lasswell tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk


pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban untuk mencermikan peran-peran
tertentu. Secara sederhana pertanyaan-pertanyaan itu tersusun menurut alur sebagai
berukut:

Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect

Di dalam alur komunikasi dimulai dari adanya sumber informasi yang berisi pesan-pesan.
Pesan-pesan tersebut dipindahkan oleh alat pemindah (transmitter) berwujud signal-signal
bunyi bahasa. Signal-signal bunyi bahasa tersebut diterima oleh penerima informasi
(receiver). Dengan demikian receiver akan memperoleh pesan-pesan tersebut, sehingga
sampai pada sasaran yang dikehendaki-nya. Secara diagramatis alur komunikasi tersebut

10
terlihat dalam model komunikasi yang dikemukakan oleh Shannon dan Weaver sebagai
berikut.

The Shanon--Weaver Model of Communication

Information
Source Transmitter Receiver Destination
Signal Received
Message Signal Message

Noise
Source

Sumber informasi yang dimiliki oleh pengirim informasi (encoder) tergantung dari
bidang pengalaman setiap orang. Begitu pula penerimaan inforamsi tentang pesan-pesan
dari pembicara kepada pendengar juga dikaitkan pula dengan bidang pengalaman penerima
informasi (decoder). Signal-signal yang dikirimkan encoder kepada decoder sebenarnya
merupakan tukar-menukar berdasarkan bidang pengalamannya masing-masing. Dengan
demikian di dalam proses komunikasi dua arah kedua belah pihak sekaligus memiliki peran
ganda, yaitu sebagai encoder dan decoder, karena dalam komunikasi tersebut kedua belah
pihak dapat berperan sebagai penafsir informasi (interpreter). Secara diagramatis alur
komunikasi tersebut terlihat dalam model komunikasi yang telah dikemukakan oleh
Schramm sebagai berikut ini.

The Schramm Model of Communication

Encoder Decoder
Message

Interpreter Interpreter

Message
Decoder Encoder

11

Anda mungkin juga menyukai