Anda di halaman 1dari 5

PERBEDAAN BUDAYA MENJADI SUATU KONFLIK MIGRASI

Migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen. Substansi dari perpindahan
pada migrasi adalah sifat permanen. Migrasi umumnya dilakukan untuk mendapatkan
kualitaas hidup yang lebih baik, entah dari segi ekonomi, sosial maupun religious.
Migrasi merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kepadatan dan
persebaran penduduk. Wilayah yang lebih menarik untuk para migran (seseorang yang
melakukan migrasi) akan memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah yang tidak menarik.
Migrasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk.
Migrasi yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi pula sedangkan
angka emigrasi yang tinggi justru akan menyebabkan pertumbuhan penduduk negatif.
Emigrasi adalah tindakan meninggalkan negara asal seseorang atau wilayah untuk menetap di
negara lain (secara permanen meninggalkan negara asal).
Setidaknya, itulah yang diyakini oleh beberapa ahli ternama, salah satunya Everett S.
Lee. Mobilitas penduduk secara permanen ini memang merupakan sebuah fenomena yang
tidak dapat dihindari dalam beberapa abad terakhir ini.
Terdapat dua lingkup migrasi secara umum yaitu internal dan eksternal. Ruang lingkup
internal migrasi merujuk kepada perpindahan dalam negara sendiri antar wilayah sedengkan
eksternal meliputi perpindahan antar negara. Migrasi internal bersifat antar wilayah namun
tetap berada dalam negara yang sama. Pergerakan ini umumnya disebabkan oleh perbedaan
nilai faktor pendorong dan penarik wilayah.
Seiring dengan berkembangnya zaman, migrasi justru kian masif dilakukan, baik secara
terpaksa atau pun secara sadar. Masalah-masalah yang dilahirkan oleh mobilitas penduduk
secara permanen ini tentu mengalami perkembangan setiap waktunya, baik saat melakukan
migrasi keluar maupun masuk.
Secara umum, ingin mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan krisis kemanusian
nyatanya masih nyaman duduk di puncak klasemen sebagai 2 alasan utama terjadinya
migrasi manusia, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Dalam pelaksanaannya, migrasi, baik skala nasional maupun internasional, jauh dari
bukan tanpa persoalan. Benturan antara budaya sang pendatang dengan budaya tuan rumah
bukan hanya menjadi persoalan yang biasa, namun masih saja menjadi persoalan masa kini
yang belum dapat teratasi dan tentunya menjadi kian masif ketika agama tertentu ikut
membalut benturan antara budaya tersebut.
Meskipun akulturasi maupun asimilasi dapat menjadi pembauran yang positif, namun
ancaman konflik komunal yaitu konflik terjadinya pergeseran nilai dan disintegrasi norma
yang kecenderungan membangkitkan disharmoni (tidak Kesesuaian) sehingga mengarah ke
kegiatan dihedritasinya (alih fungsi) kepercayaan kepada identitas, karena perbedaan yang tidak
dapat diterima akibat benturan budaya senantiasa menanti di depan mata. 
Seperti yang kita pernah tahu, kita ambil contoh konflik yang sempat terjadi di Ambon
sebagai realita konflik yang disebabkan oleh benturan budaya yang dibalut dengan agama.
Migrasi sukarela yang menyebabkan populasi masyarakat Buton, Bugis, dan Makassar
menjadi begitu superior di Ambon, kemudian pada akhirnya memicu sedikit gesekan antara
si tuan rumah dengan si pendatang yang kemudian melahirkan konflik dengan balutan
agama.
Migrasi memang tidak dapat dihindarkan dalam beberapa abad terakhir. Migrasi zaman
sekarang memang jauh berbeda dari migrasi zaman dahulu yang erat kaitannya dengan
peperangan atau perbudakan.
Konflik dan menginginkan kehidupan yang lebih layak menjadi alasan utama kenapa
orang-orang pada masa kini melakukan migrasi keluar dari daerah asalnya. Krisis
kemanusiaan lagi-lagi menempati peringkat pertama alasan orang-orang bermigrasi keluar
dari tempat asalnya yang menurut imigran adalah pilihan yang terbaik dan dapat
menyelesaikan persoalanya..
Menurut lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengurus isu pengungsi,
UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), rekor mencatat ada lebih dari
60 juta jiwa yang pindah secara terpaksa di seluruh dunia pada 2015. Itu berarti, 1 dari
setiap 122 manusia adalah pengungsi. Migrasi secara masif tentu akan membawa perubahan
yang cukup masif juga terhadap daerah destinasi. Benturan budaya kemudian masih menjadi
akar dari segala persoalan yang bisa saja lahir karena migrasi dimana para imigrannya yang
masih kurang memamhami dari budaya itu sendiri.
Tindakan dan sikap preventif atau mencegah dari si tuan rumah untuk mencegah
benturan budaya kemudian menciptakan problem baru. Sikap anti migran bisa saja diakari
dari sikap preventif tuan rumah yang terlalu berlebihan. Isu Rohingya mungkin menjadi isu
yang teranyar belakangan ini. Dimana para warga muslim Rohingyah tidak diterima dimana-
mana untuk bermigrasi atau mengungsi.
Setelah diusir dari negaranya sendiri, warga muslim Rohingya nyatanya cukup kesulitan
untuk dapat mengungsi atau bermigrasi ke negara lain. Sebut saja Bangladesh, negara yang
mungkin paling menuai kontroversi karena dengan tegas sempat menolak para pengunsi
Rohingya. Ribuan pengungsi yang berniat melewati perbatasan Bangladesh bahkan lontang-
lantung tidak dapat masuk ke Bangladesh. Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina,
bahkan dalam salah satu wawancaranya di tahun 2012 sempat dengan tegas mengatakan
“Muslim Rohingya bukan urusan kita.”
Selain masalah kapasitas penduduk Bangladesh yang berlebih, stereotype rakyat
Bangladesh terhadap pengungsi Rohingya menjadi alasan utama penolakan Bangladesh.
Tidak hanya Bangladesh, meskipun Indonesia membuka pintu untuk pengungsi Rohingya,
jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas pada Juni 2015 menghasilkan 59,8%
responden asal Indonesia yang tidak setuju jika pengungsi Rohingya diberi izin tinggal
permanen dimana 79,3% khawatir jika terjadi gesekan antara migran Rohingya dengan
Warga Indonesia. Gesakan yang di maksud pun ada beberapa hal salah satunya perbedaan
budaya dan Bahasa. Banyak akhrinya warga Indonesia pun takut apabila para warga
Rohingya mengungsi di Indonesia.
Perbedaan budaya yang mampu menimbulkan konflik adalah problem migrasi masa
kini.  Di samping faktor demografi, maupun ekonomi, gesekan antara budaya si tuan rumah
dengan si pendatang yang ingin menetap secara permanen mampu melahirkan konflik-
konflik yang tentunya tidak diinginkan dengan tujuan agara tetap menjadikan wilayah
tersebut tetap aman.
Belakangan ini, sudah terlalu terlambat tentunya untuk sebuah bangsa atau suku dengan
budaya yang secara besar-besaran berusaha untuk melakukan mobilitas ke tempat tertentu
dan menjadi entitas yang menyaingi penduduk lokal mayoritas.
Bukannya disambut baik oleh tuan rumah, suku atau bangsa pendatang yang
bersangkutan justru akan dianggap sebagai penjajah entah secara budaya, ekonomi, maupun
aspek lainnya. Sebagai contoh, selain bangsa Tiongkok, bangsa India dapat dikatakan
sebagai salah satu bangsa yang memiliki migran 'sejahtera' terbanyak di dunia yang bahkan
banyak diantara migrannya yang telah berganti warga negara.
Malaysia tentunya menjadi negara yang cukup menjanjikan bagi orang-orang India
untuk pindah dan menetap sembari memulai bisnis atau bekerja karena populasi India
Malaysia memang cukup eksis.  Alasan Bangsa India dapat diterima dan minim konflik di
negara luar India lainnya seperti Malaysia tidak lain adalah karena Bangsa India telah
menetap di Malaysia secara masif jumlahnya sejak zaman penjajahan Inggris. Jumlah
populasi penduduk keturunan india pada 2016 lalu telah mencapai 7,9% atau sekitar lebih
dari 2.2 juta jiwa.
Bisa dibayangkan mungkin, apa jadinya ketika kita membalik fakta menjadi Malaysia
tidak memiliki orang keturunan India sama sekali, lalu di hari ini sebanyak lebih dari 2.2
juta jiwa populasi India pindah ke Malaysia dan berusaha menetap di Malaysia. Bohong
rasanya jika tidak ada perasaan takut akan benturan budaya ataupun ekonomi dalam diri
rakyat Malaysia ketika jutaan jiwa dengan budaya yang berbeda seketika hadir ingin
menetap di tanah air mereka. 
Substansi dari keberhasilan migrasi secara masif adalah waktu dan zaman. Sekarang,
mungkin bukan lagi zaman di mana sebuah bangsa atau suku dapat menetap di tempat lain
tanpa bergesekan dengan tuan rumahnya. Perbedaan dan benturan budaya mempengaruhi
segalanya. Persaingan dalam aspek lainnya seperti aktivitas ekonomi atau pun pendidikan
pada akhirnya juga dipengaruhi faktor stereotype atau penilaian terhadap seseorang yyang
hanya berdasarkan pandangan terhadap kelompok dari budaya.
Mobilitas penduduk secara permanen dan masif tentu selalu menawarkan
beranekaragam permasalahan, baik dari ekonomi seperti lapangan pekerjaan, rusaknya
tatanan demografi, sampai sengketa lahan. Seluruh perbedaan menjadi masalah yang serius
ketika perbedaan budaya mulai merangkulnya.
Kecemburuan sosial tentu akan semakain tercipta ketika melihat aktivitas ekonomi
sosial si pendatang yang berbeda budaya bisa lebih superior ketimbang si tuan rumah. Suatu
negara atau pun daerah destinasi migran harus benar-benar memiliki kesiapan seperti
kebijakan maupun fasilitas yang baik untuk dapat menghadapi migrasi masuk. Alasan
mengapa sampai saat ini ada banyak orang yang terombang-ambing di laut Mediterania
mencari tempat tinggal yang lebih layak adalah karena tidak semua negara yang ‘layak’ siap
untuk menampung para migran.
Terlebih, karena faktor budaya yang tentu akan berbeda dan butuh waktu yang cukup
lama tentunya untuk menemukan titik temu antara budaya si pendatang yang berniat
menetap dengan budaya si tuan rumah.
Banyak sekali orang-orang pendatang yang masih jarang mengikuti budaya ditempat
dia imigrasi.

Anda mungkin juga menyukai