Anda di halaman 1dari 11

Nama : Nurhasanah Waruwu

Nim : 20060006

Matkul : Ilmu Dilalah

#MEDAN MAKNA DALAM SEMANTIK#

Medan makna merupakan gabungan dari dua kata, yaitu medan dan makna. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013: 892) medan berarti tempat yang luas atau ruang
lingkup, sedangkan makna merupakan pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa.
Medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian
bidang kehidupan yang direalisasikan oleh unsur kata yang maknanya berhubungan
(Kridalaksana, 2008: 151). Salah satu contoh medan makna yang dapat diamati ialah
peralatan rumah tangga Peralatan rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari sangat erat
kaitannya dengan manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013:37) peralatan
berarti berbagai alat perlengkapan. Rumah tangga (KBBI, 2013:1189) berarti segala
sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah. Jadi, peralatan rumah
tangga adalah berbagai alat kelengkapan yang dibutuhkan dalam kehidupan berumah
tangga. Dengan menggunakan peralatan rumah tangga, manusia menata hidupnya dalam
keseharian, termasuk dalam mengolah makanan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
(Syahrir, 2015: 205). Peralatan rumah tangga memiliki ciri, bahan, dan tempat
diletakkannya yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dibedakan dengan menggunakan
teori medan makna untuk melihat klasifikasi atau pengelompokkan dalam peralatan
rumah tangga seperti, piring plastik, gelas plastik, ember, gayung, berada dalam satu
bidang peralatan, yaitu peralatan rumah tangga yang terbuat dari bahan plastik.

Setiap bahasa memiliki semantik, kosakata, dan sistem ekspresi yang unik (kecuali untuk
universalitas bahasa), yang dapat menggabungkan satu bahasa dengan bahasa lain
(bahasa yang berbeda).Artinya, pengalaman atau pemahaman tentang realitas yang
terbentuk dalam satu bahasa berbeda dengan pengalaman atau pemahaman yang
terbentuk dalam bahasa lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana pembentuk
identitas seseorang atau suatu bangsa. Suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain karena
pandangan bangsa itu tentang alam dan alam semesta berbeda dengan bangsa lain, dan
perbedaan pandangan ini disebabkan oleh perbedaan bahasa. Semantik adalah
komponen cabang linguistik yang mengkhususkan diri pada makna.

Makna bahasa, khususnya makna kata, dapat dipetakan menurut bagian-bagian


penyusunnya. Pandangan ini dapat dilihat dalam bidang teori makna, yang menunjukkan
bahwa kata-kata dalam bahasa tersusun dari frasa-frasa yang menunjuk pada suatu
makna yang sama, misalnya ketika kita mendengar seseorang menyebut alat pengganti
kereta api, tentu kita dapat membayangkan segala macamnya. Jenis alat pemindah
kereta api dalam hal ini, semua alat ganti sebenarnya terbagi atas ruangan yang disebut
ruang ganti.

Menurut Trier (1934), medan makna dapat diibaratkan dengan sebuah mosaik. Jika makna
suatu kata berubah, maka makna kata lain dalam bidang makna juga akan berubah.
Menurut Language Dictionary, bidang makna adalah kumpulan item leksikal, karena setiap
item leksikal muncul dalam konteks yang sama, makna item leksikal ini terkait satu sama
lain. Istilah, kata, atau hubungan antar kata digunakan untuk menggambarkan suatu
istilah, kata, atau hubungan antar kata, dapat diwakili oleh domain makna yang dimiliki
oleh kata lain dalam domain tertentu, dan dapat diwakili oleh kata-kata yang terkandung
di dalamnya, dalam domain tertentu. Komponen penting untuk diungkapkan. Kata-kata
yang termasuk dalam suatu kelompok biasanya disebut kata-kata dalam ranah makna atau
ranah leksikal. Arti ranah makna (ranah semantik) atau ranah leksikal adalah sekelompok
elemen leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan suatu
bagian, dari teks, budaya atau dunia nyata di alam semesta tertentu.

# TEORI KONTEKS DAN PEMBAGIANNYA DALAM ILMU SEMANTIK

Teori Makna Kontekstual

Menurut Hamsa,dkk (2021) dalam kajian ilmu semantik, sudah berbagai pakar
mengemukakan teori mengenai “makna”. Ilmu semantik tentu tidak akan pernah
terlepas dari makna, karena makna adalah sebuah objek dari kajian semantik itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna merupakan maksud dari seorang
pembicara atau seorang penulis yang diungkapkan dalam suatu kebahasaan, dan makna
akan lebih berkaitan dari segi ujaran.

Makna berkaitan dalam intrabahasa. Memberikan makna dalam suatu kata atau kalimat
merupakan cara untuk memahami kata atau kalimat tersebut yang berkenaan dengan
hubungan-hubungan dengan makna, sehingga kata-kata tersebut berbeda dengan yang
lainnya (Hamsa,dkk:2021).

Arti Kontekstual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kontekstual tentu mengacu pada konteks,
yaitu untuk mendukung kejelasan makna dan situasi yang ada hubungannya dalam suatu
peristiwa. Kemal.I (2013) mengungkapkan bahwa sebuah wacana akan sangat sulit
dipahami maknanya, jika kita tidak memahami ujaran-ujaran dalam wacana tersebut.
Untuk memahaminya perlu memperhatikan konteks situasi. Menurut Nababan (1997:37)
makna kontekstual disebut makna situasional (Pelawi.B.Y:2009). Untuk makna kontekstual
menurut Chaer (2003:290) merupakan makna leksem yang ada dalam suatu konteks
(Kemal.I:2013).

Contoh-Contoh Makna Kontekstual

Contoh dari makna kontekstual sendiri yakni “Ibu memasukan benang ke dalam mata
jarum” mata jarum sendiri memiliki makna lubang yang ada pada jarum, tentu bukan
jarum yang memiliki mata. Untuk Contoh yang kedua yaitu “Pagi ini, badanku terasa
seperti diinjak kaki gajah” arti dari kata badan adalah tubuh atau jasad dari manusia itu
sendiri. Tentu masih banyak lagi contoh dari makna kontekstual ini yang akan kita temui,
dalam keseharian pun jika kita mengobrol dengan lawan bicara atau dalam suatu
kelompok akan terdapat makna kontekstual didalamnya. Karena itulah makna
kontekstual adalah makna yang memperhatikan situasi-situasi pada saat kita mengobrol.

Makna Kontekstual Adalah makna yang mengacu pada konteks untuk mendukung
kejelasan makna dari suatu kalimat serta makna kontekstual sangat berhubungan
dengan situasi, karena situasilah kita akan paham maksud dari kalimat-kalimat yang
diucapkan atau ditulis dalam sebuah buku. Hamsa,dkk. (2021) menyatakan bahwa
makna dari sebuah kalimat sering tidak tergantung pada sistem leksikal dan gramatikal
saja, namun tergantung pada kaidah wacana. Dalam sebuah kalimat yang baik juga
belum tentu maknanya dipahami oleh seseorang, jika tidak mengaitkan dengan kalimat-
kalimat yang lain. Contoh dari makna kontekstual jika dilihat dari ekspresi seseorang
“Terima kasih” yang berarti tidak mau di dalam situasi jamuan makan. Karena itulah
seseorang harus mempelajari makna kontekstual ini jika tidak ingin terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, yang hanya disebabkan oleh kalimat atau ujaran dari seseorang.

# PERUBAHAN MAKNA DAN FAKTOR PENYEBABNYA

Perubahan makna (juga disebut pergeseran makna, pengembangan makna atau


penyimpangan makna) merupakan evolusi penggunaan kata — biasanya hingga
tahapan makna modern menjadi sangat berbeda dari makna aslinya. Dalam linguistik
diakronis (atau historis), perubahan makna merupakan perubahan pada salah satu
makna sebuah kata. Setiap kata memiliki beraneka makna dan konotasi yang dapat
ditambah, dikurang, atau diubah sepanjang masa sehingga kognat lintas ruang dan
waktu dapat memiliki makna-makna yang sangat berbeda. Pengkajian perubahan makna
menjadi bagian pengkajian etimologi, onomasiologi, semasiologi, dan semantik.
Contohnya, contredanse dalam bahasa Prancis mulanya berasal dari country dance dalam
bahasa Inggris.

Blank berpikir ada masalah apabila memasukkan ameliorasi dan peyorasi serta penguatan
dan pelemahan makna dalam klasifikasi. Menurutnya, keempatnya bukan fenomena yang
dapat diklasifikasikan secara obyektif, melainkan dapat diletakkan dalam kelompok-
kelompok lain sebagaimana ia contohkan.

Penyebab terjadinya perubahan makna

a.Tekanan burit

b. Tekanan psikologis

c. Tekanan sosial-budaya

d. Tekanan budaya/ensiklopedis

√ Kekaburan makna (kesulitan dalam mengelompokkan referen atau menemukan kata


yang tepat untuk referen sehingga mampuradukkan sebutan)

√ Dominansi prototipe (perbedaan samar antara istilah superordinat dan subordinat


karena monopoli anggota prototipikal dari suatu kategori di dunia nyata)

√ Alasan sosial (situasi persentuhan bahasa dengan dampak "nirdemarkasi")

√ Pra- dan proskriptivisme bahasa institusional dan nirinstitusional (contohnya, pra- dan
proskriptivisme bahasa legal dan kelompok-sebaya yang bertujuan "demarkasi")

√ Sanjungan

√ Cemoohan

√ Bahasa penyamaran ("salah nama")

√ Tabu (konsep-konsep yang tabu)

√ Alasan indah-resmi (penghindaran penggunaan kata yang secara fonetis serupa atau
sama dengan kata-kata bermakna buruk)

√ Alasan komunikatif-resmi (penghapusan bentuk-bentuk bertaksa dalam konteks, kata


kunci: "pertentangan homonimik dan pertentangan polisemik")

√ Permaikan kata-kata

√ Panjang kata yang berlebihan

√ Kesalahan penafsiran secara morfologis (kata kunci: "etimologi rakyat", penciptaan.


# SEMANTIK KONDISI KEBENARAN

Semantik Kondisi Kebenaran (SKK)

Teori SKK ini diperkenalkan oleh seorang ahli logika bernama Traski. Sampai sekarang
teori ini dipelajari secara meluas oleh para filusuf (Kempson, 1977). Dalam teori ini, Traski
mengemukakan sebuah postulat, bahwa makna suatu pernyataan dapat diperikan dengan
kondisi kebenaran. Sebuah pernyataan mempunyai arti bila ada kondisi kebenaran yang
menjamin kebenaran pernyataan itu. Jika kondisi kebenaran itu tidak ada, maka
pernyataan itu tidak bermakna apa-apa (Wahab, 1999a). Dalam melogikan teorinya,
Traski menggunakan rumus sebagai berikut.

(1) S benar, jika dan hanya jika P

Di mana S adalah makna kalimat dan P merupakan kondisi yang dapat menjamin
kebenaran kalimat itu (Kempson, 1977). Contoh klasik yang dijadikan ilustrasi oleh Traski
dalam menjelaskan rumus tersebut adalah:

(2) Snow is white benar, jika dan hanya jika salju itu putih

Kalimat tersebut memiliki kondisi kebenaran makna (truth condition), karena memang
salju tersebut hanya berwarna putih, tidak ada salju yang berwarna selain putih. Berbeda
dengan kalimat berikut ini.

(3) Kuning itu warna pelangi.

Kalimat (3) tersebut bila dilihat dari ‘kaca mata’ Traski, jelas tidak memiliki kebenaran
makna. Hal ini karena kalimat (3) tersebut tidak memiliki kondisi yang menjamin
kebenaran pernyataan tersebut. Artinya, bahwa pelangi itu berwarna selain warna
kuning, yakni berwarna biru, merah, dan hijau.

Formula atau postulat yang dikemukakan oleh Traski tersebut dianggap masih memiliki
kelemahan. Kelemahan pertama berkaitan dengan kondisi yang dipakai untuk menjamin
kebenaran suatu pernyataan. Kelemahan kedua terletak pada pendekatan filosofisnya
(Wahab, 1999a). Dalam kaitannya dengan kelemahan pertama, postulat Traski ini
tampaknya berputar-putar dan memibingungkan, sebab pernyataan aslinya dipakai lagi
sebagai kondisi yang menjamin kebenaran pernyataan itu sendiri. Kempson (1977)
berpendapat bahwa formula Traski sebagai formula yang sangat menyesatkan.

Sementara itu, kelemahan kedua terletak pada pendekatan Traski yang dipengaruhi oleh
aliran positivisme yang menyatakan: Either p or not p model Rudlof Carnaf. Dalam
konsep Rudlof Carnaf, pernyataan dianggap bermakna jika ada data sense-nya. Akan
tetapi, apabila pernyataan itu tidak dijamin oleh bukti-bukti yang dapat dipersepsi
dengan indera, maka pernyatan itu dianggap tidak bermakna (Wahab, 1999a). Berkaitan
dengan kelemahan formula atau postulat kebenaran makna yang dikemukakan oleh
Traski
tersebut, Kempson (1977) menyempurnakan formula tersebut dengan model formula baru
dengan memasukkan batas-batas kondisi wajib (necessary) sehingga kebenaran suatu
pernyataan tidaklah harus berupa pengulangan pernyataan itu sendiri (Wahab, 1999a).
Formula yang diusulkan oleh Kempson (1977|) tersebut adalah sebagai berikut.

(4) S berarti bahwa p = wajib S benar jika dan hanya p

Contoh pernyataan yang diberikan oleh Kempson dan formula tersebut adalah sebagai
berikut.

(5) A boy hurried to his home is true if and only if here is a male child quickly went to the
place where he lived.

Contoh yang diberikan oleh Kempson (1977) pada (5) tersebut menegaskan bahwa
pernyataan seorang anak laki-laki tergesa-gesa pulang memiliki kebenaran, karena
dijamin oleh adanya “seorang laki-laki, kecil (belum dewasa), dan pergi dengan cepat
menuju ke suatu rumah tempat dimana dia tinggal”.

# ANALISIS KOMPONEN PADA SEMANTIK

METODE ANALISIS KOMPONEN MAKNA

A. Hakekat Analisis Komponen Makna

Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau
semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu
atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur
leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak
memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain (Chaer, 2009:115).
Pengertian komponen menurut Palmer ialah keseluruhan makna dari suatu kata, terdiri
atas sejumlah elemen, yang antara elemen yang satu dengan yang lain memiliki ciri yang
berbeda-beda.

Analisis dengan cara seperti ini sebenarnya bukan hal baru, R. Jacobson dan Morris Halle
dalam laporan penelitian mereka tentang bunyi bahasa yang berjudul Preliminaries to
Speech Analysis: The Distinctive Features and Their Correlates telah menggunakan cara
analisis seperti itu. Dalam laporan itu mereka mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa
dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain.
Bunyi-bunyi yang memiliki sesuatu ciri diberi tanda plus (+) dan yang tidak memiliki ciri
itu diberi tanda minus (-). Konsep analisis dua-dua ini lazim disebut analisis biner oleh
para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata
yang lain.
B. Analisis Komponen Makna Kata

Berkaitan dengan analisis komponen makna terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yakni:

(1) Pembeda makna dan hubungan antarkomponen makna

(2) Langkah analisis komponen makna

(3) Hambatan analisis komponen makna

(4) Prosedur analisis komponen makna

B.1 Pembeda Makna dan Hubungan antarkomponen Makna

Untuk dapat menganalisi komponen makna seseorang perlu mengetahui hubungan-


hubungan makna yang ada di dalam kata-kata. Misalnya kata melompat dan melompat-
lompat mempunyai hubungan makna dan perbedaan makna, sehingga diperlukan
komponen pembeda. Lain halnya jika kata melompat dibandingkan dengan kata melihat,
terdapat kenyataan bahwa kedua kata itu tidak memperlihatkan hubungan makna.
Komponen pembeda makna akan jelas apabila diketahui komponen makna. Komponen
makna diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kedekatan, kemiripan, kesamaan, dan
ketidaksamaan suatu makna kata.

Berdasarkan hal tersebut di atas pembeda makna akan terjadi karena beberapa hal
berikut ini.

(1) Perbedaan bentuk akan melahirkan perbedaan makna; dan

(2) Perubahan bentuk akan melahirkan hubungan makna.

B.2 Langkah Analisi Komponen Makna

Menganalisis komponen makna memerlukan langkah-langkah tertentu. Nida (dalam


Sudaryat, 2009:57) menyebutkan enam langkah untuk menganalisis komponen makna.

1) Menyeleksi sementara makna yang muncul dari sejumlah komponen yang umum
dengan pengertian makna yang dipilih masih berada di dalam makna tersebut.
Misalnya, dalam kriteria marah terdapat leksem ‘mendongkol’, ‘menggerutu’,
‘mencaci maki’, dan ’mengoceh’.

2) Mendaftar semua ciri spesifik yang dimiliki oleh rujukannya. Misalnya, untuk kata
ayah terdapat cirri spesifik antara: [+insan], [+jantan], [+kawin], dan [+anak].
3) Menentukan komponen yang dapat digunakan untuk kata yang lain. Misalnya, ciri
‘kelamin perempuan’ dapat digunakan untuk kata ibu, kakak perempuan, adik
perempuan, bibi dan nenek.

4) Menentukan komponen diagnostik yang dapat digunakan untuk setiap kata. Misalnya
untuk kata ayah terdapat komponen diagnostik ‘jantan’, satu turunan di atas ego.

5) Mengecek data yang dilakukan pada langkah pertama.

6) Mendeskripsikan komponen diagnostiknya, misalnya dalam bentuk matriks.

B.3 Hambatan Analisis Komponen Makna

Dalam menganalisis komponen makna, terdapat beberapa kesulitan atau hambatan


sebagai berikut (Pateda, 2001:274).

1) Lambang yang didengar atau dibaca tidak diikuti dengan unsur-unsur suprasegmental
dan juga unsur-unsur ekstra linguistik.

2) Tiap kata atau leksem berbeda pengertiannya untuk setiap disiplin ilmu. Kata seperti
ini disebut istilah. Misalnya istilah kompetensi ada pada bidang linguistik, psikologi, dan
pendidikan. Meskipun istilah itu memiliki medan yang sama, tetapi pasti ada perbedaan
sesuai dengan disiplin ilmu tersebut.

3) Tiap kata atau leksem memiliki pemakaian yang berbeda-beda.

4) Leksem yang bersifat abstrak sulit untuk di deskripsikan. Misalnya: liberal, sistem.

5) Leksem yang bersifat dieksis dan fungsional sulit untuk dideskripsikan. Misalnya: ini, itu,
dan, di.

6) Leksem-leksem yang bersifat umum sulit untuk dideskripsikan. Misalnya:


binatang, burung, ikan, manusia.

Abdul Chaer (2009:118) menambahkan bahwa dari pengamatan terhadap data unsur-
unsur leksikal ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan analisis komponen
makna.

1).Ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat netral atau umum
sedangkan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya pasangan kata mahasiswa dan
mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk pria
dan wanita sedangkan kata mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya mengenai
wanita. Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata tersebut dikenal sebagai
amggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota yang tidak
bertanda ini diberi tanda 0 atau ±.
2). Ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang mungkin
tidak ada, tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh yang sukar
dicari pasangannya antara lain kata-kata yang berkenaan dengan warna.

3) Seringkali kita sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang
lebih bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri [jantan] dan
[dewasa] mana yang lebih bersifat umum. Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur
yang lebih tinggi dalam diagram yang berlainan. Ciri-ciri semantik ini dikenal sebagai
ciri- ciri penggolongan silang.

B.4 Prosedur Analisis Komponen Makna

Untuk menganalisis makna dapat digunakan berbagai prosedur. Nida (1975:64)


menyebutkan empat teknik dalam menganalisis komponen makna yakni penamaan,
parafrasis, pendefinisian dan pengklasifikasian (dalam Surayat, 2009:38).

1) Penamaan (Penyebutan)

Proses penamaan berkaitan dengan acuannya. Penamaan bersifat konvensional dan


arbitrer. Konvensional berdasarkan kebiasaan masyarakat pemakainya sedangkan arbitrer
berdasarkan kemauan masyarakatnya. Misalnya, leksem rumah mengacu ke ‘benda
yang beratap, berdinding, berpintu, berjendela, dan biasa digunakan manusia untuk
beristirahat’.

Ada beberapa cara dalam proses penamaan, antara lain: (1) peniruan bunyi, (2)
penyebutan bagian, (3) penyebutan sifat khas, (4) penyebutan apelativa, (5) penyebutan
tempat asal, (6) penyebutan bahan, (7) penyebutan keserupaan, (8) penyebutan
pemendekan, (9) penyebutan penemuan baru, dan (10) penyebutan pengistilahan.

2) Parafrasis

Parafrasis merupakan deskripsi lain dari suatu leksem, misalnya:

Paman dapat diparafrasis menjadi:

(a) adik laki-laki ayah

(b) adik laki-laki ibu

berjalan dapat dihubungkan dengan:

(a) berdarmawisata
(b) berjalan-jalan

(c) bertamasya

(d) makan angin

(e) pesiar

3) Pengklasifikasian

Pengklasifikasian adalah cara memberikan pengertian pada suatu kata dengan cara
menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lain. Klasifikasi atau taksonomi
merupakan suatu proses yang bersifat alamiah untuk menampilkan pengelompokan
sesuai dengan pengalaman manusia. Klasifikasi dibedakan atas klasifikasi dikotomis yaitu
klasifikasi yang terdiri atas dua anggota kelas atau subkelas saja dan klasifikasi
kompleks yaitu klasifikasi yang memiliki lebih dari dua subkelas.

4) Pendefinisian

Pendefinisian adalah suatu proses memberi pengertian pada sebuah kata dengan
menyampaikan seperangkat ciri pada kata tersebut supaya dapat dibedakan dari kata-
kata lainnya sehingga dapat ditempatkan dengan tepat dan sesuai dengan konteks.

C. Manfaat Analisis Komponen Makna

Kajian semantik lewat analisis komponen lebih lanjut juga melatari kehadiran semantik
interpretif seperti yang dikembangkan oleh Katz & Fodor. Jerrold J. Katz,
mengungkapkan bahwa pemahaman komponen semantis sangat berperanan dalam upaya
memahami pesan lewat penguraian fitur semantis suatu utterance. Selain itu,
pemahaman komponen semantis juga berperanan dalam memproduksi kalimat-kalimat
baru sehingga berbagai struktur sintaktik dan fonologis dapat dikembangkan dan
diwujudkan. Pengembangan struktur sintaktik yang dilatari penguasaan komponen
semantis yang dalam semantik interpretif, disebutkan memiliki hubungan erat dengan
penguasaan makna kata seperti yang terdapat dalam kamus (Aminuddin, 2008). Selain itu
Chaer (2009:116-117) juga memperinci manfaat analisis komponen makna sebagai
berikut.

1) Digunakan untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain.

Misalnya kata ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidak adanya ciri
jantan.

2) Perumusan di dalam kamus.

Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwodarminto mendefinisikan kata


kuda sebagai ‘binatang menyusui yang berkuku satu dan biasa dipiara orang untuk
kendaraan’. Menurut Wunderlich (dalam Pateda, 2001) untuk mendefinisi sesuatu dapat
digunakan definisi berdasarkan genus proximum (mengacu kepada rincian secara umum)
dan differentia specifica (mengacu kepada spesifikasi sesuatu yang didefinisikan). Jadi
ciri ‘binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa dipiara orang’ adalah yang menjadi
ciri umum dan ciri makna ‘kendaraan’ menjadi ciri khusus yang membedakannya
dengan sapi dan kambing.

3) Dapat menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal seperti dalam teori


medan makna.

4) Dapat digunakan untuk mencari perbedaan kata-kata yang bersinonim

Kata-kata bersinonim seperti kandang, pondok, rumah, istana, keraton, dan wisma. Kata
tersebut dianggap bersinonim dengan makna dasar ‘tempat tinggal’. Kata kandang
dapat dibedakan dari kelima kata lain berdasarkan ciri [+manusia] dan [-manusia].

Anda mungkin juga menyukai