BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM
KHOT ARAB
Sengaja saya tulis buku ini disamping karena permintaan beberapa pihak, saya ingin
menyampaikan tahui sebagiannya secara meluas, mudah-mudahan dapat menjelaskan
perkara-perkara yang belum jelas dan meluruskan hal-hal yang belum lurus, serta
menambah informasi-informasi yang bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Demikianlah prakata singkat yang perlu saya sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat
bagi semua pihak, dan saya berdoa dan berharap kepada Allah Ta’ala, semoga tulisan
ini dinilai-Nya sebagai amal sholih yang bermanfaat khususnya bagi penulisnya baik
di dunia terutama di akherat kelak dan penulisnya dijauhkan dari segala sifat-sifat
tercela seperti kibr, riya’, ujub, sum’ah dan sebagainya.
Allahumma Inni a’udzubika minannifaaq wa a’maalu minarriyaa’ wa lisaanu
minal kadzdzabu, fa innaka ta’lamu Nggak kebaca WAL
HAMDULILLAHIRABBIL ALAMIN..
Al-Faqir Ilallah
Abu Sittah
A. Pemahaman tentang Al-Islam
Alhamdulillah saya sejak kecil dididik orang tua saya dan ustadz-ustadz saya agar rela
Islam sebagai agama (jalan hidup) saya, maka saya dituntun dan di biasakan untuk
mengikrarkan dan membaca hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan imam At-
Tirmidzi dalam shahihnya III/141, sebagaimana yang telah saya sampaikan
sebelumnya yaitu, “ٌRodhitubillahi robba wabil Islâmidiina wabil
Muhammadinnabiyya wa Rasuulan-Arab” Aku rela Allah sebagai Rabbkuk, Islam
sebagai Dienku dan Muhammad saw sebaga Nabiku dan Rasulku.
Dari kerelaanku Islam sebagai ad-dien (jalan hidup)ku, mendorongku untuk
mengetahui Islam yang sebenarnya yang datang dari Allah ta’ala dan dibawa oleh
Rasulullah saw, didakwahkannya dan diperjuangkannya, maka saya berusaha dan
berupaya untuk mempelajarinya dengan tekun dengan berguru langsung (talaqqi,
mulazâmah, musyafahah) kepada seorang ustadz atau asy-syaikh dan secara autodidak
(belajar sendiri) denganmembaca kitab-kitab para ulama-dan masyayikh terdahulu
maupun yang terkemudian, mendengarkan ceramah dan sebagainya. Alhamdulillah
dua metode belajar tersebut masyru’ atau disyariatkan, ahlul ilmi menamakan metode
yang pertama dengan sebutan :
“At-Tu’alimu bittalaqqil ‘ulamaa’ musyaafahah.” (belajar secara langsung dengan
berhadapan dengan seorang syaikh)
” At-Tu’alimu bimuth-thoola’aatil kutubi au bil wijaadati” (belajar dengan menelaah
kitab-kitab atau dengan tulisan tanpa mendengarkan syaikh)
metode pertama tentu lebih afdhal, akan tetapi dalam kondisi tertentu kadangkala
metode kedua lebih baik dan lebih memungkinkan, jika dipenuhi syarat-syaratnya,
misalnya dalam keadaan sulit mendapatkan ulama dan masyayikh, ulama yang ada
merupakan ulama-ulama su’ dan ahli bid’ah dan ahwa’, sehingga jika belajar dengan
mereka akan disesatkan, atau karena alasan-alasan lain yang masyru’. Dalam
beberapa hadits disebutkan fadhilah dari pada metode ini antara lain sebagai berikut:
Rasulullah saw, bersabda,
Khot Arab.
“Makhluk apa yang imannya begitu menakjubkan? Mereka berkata, Malaikat, Beliau
berkata, Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka berada di sisi Tuhan
mereka? Mereka berkata, Anbiya’ (Para Nabi). Beliau berkata, Bagaimana mereka
tidak beriman sementara wahyu turun kepada mereka? Mereka berkata, Kami, Beliau
bersabda, Bagaimana kalian tidak beriman, sedang aku berada ditengah-tengah
kalian? Mereka berkata, Maka siapa wahai Rasulullah ? beliau berkata, suatu kaum
yang datang sesudah kalian, mereka menemukan lembaran danmereka beriman
dengan yang ada di dalamnya.”
Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim dari
hadits Abu Jum’ah Al-Anshari dinyatakan, “mereka adalah yang paling besar
pahalanya,” dan dalam hadits Umar r.a, riwayat Al-Hakim dinyatakan, “Mereka
adalah orang yang imannya paling afdhal” (selengkapnya bisa dirujuk pada kitab
Tadriiburr-Rowi oleh Imam As-Suyuthi II/60-64)
Sebagai catatan dalam masalah ini, supaya yang belajar dengan metode kedua tidak
tersesat, maka syarat minimalnya buku yang dibaca adalah buku yang ditulis
Ahlussunnah, danyang membaca terpenuhi, pada dirinya kemampuan untuk belajar
sendiri dari segala seginya, wallahu a’lam.
Dan dari belajar itu –Alhamdulillah- Allah ta’ala mengaruniakan kepada saya
petunjuk bahwasanya Islam yang benar itu adalah, sebagaimana Islam yang dipahami
oleh generasi yang paling alim dan faqih daripada ummat ini, yang paling baik
hatinya, yang paling dalam ilmunya, dan yang paling sedikit keperluan dan kebutuhan
keduniaannya, mereka adalah shahabat Rasulullah saw dan orang-oran gyang
mengikuti mereka dengan baik –rodhiyalloohu anhum ajmaain- yang telah dipuji
Allah ta’ala dan disucikan oleh Rasulullah saw.
Allah ta’ala berfirman
َّد لَ ُه ْم4َهُ َوَأع4وا َع ْن4ض
ُ َي هَّللا ُ َع ْن ُه ْم َو َر4ض
ِ ان َر
ٍ 4س َ سابِقُونَ اَأْل َّولُونَ ِمنَ ا ْل ُم َها ِج ِرينَ َواَأْل ْن
َ صا ِر َوالَّ ِذينَ اتَّبَ ُعو ُه ْم بِِإ ْح َّ َوال
)100(ت ت َْج ِري ت َْحتَ َها اَأْل ْن َها ُر َخالِ ِدينَ فِي َها َأبَدًا َذلِ َك ا ْلفَ ْو ُز ا ْل َع ِظي ُمٍ َجنَّا
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
(Q.S At-Taubah : 100)
7074155
C. I’tiqod atau Aqidah
Dalam masalah I’tiqod atau aqidah, saya mengikuti aqidah Salafussholih secara
global dan rinci, sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab salaf, (silakan
membaca dalam kitab-kitab salaf, misalnya syarhu Ushuulil I’tiqodi Ahlissunnah
wal Jamaah –oleh Abul Qosim al-Laalikaa’i- rhm (418H)), kitab-kitab I’tiqod
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rhm (728 H), Al-Ibanah Abul Hasan Al-Asy’ari
rhm (324H) dan lain sebagainya.)
Dalam memahami Iman sebagaimana yang telah disebutkan diatas, saya
memahami wasth (pertengahan) antara murji’ah dan khowarij, dan iman adalah
ucapan dan perbuatan dan begitu juga kufur adalah ucapan dan perbuatan, iman
mempunyai martabat dan cabang yang mana cabang-cabang itu seluruhnya masuk
di dalam martabat sesuai dengan sifat dan kedudukannya masing-masing.
Kufur itu terbagi menjadi kufur akbar dan kufur asghar, dan pendapat yang
menyatakan bahwa semua kufur perbuatan merupakan kufur asghar dan semua
kufur I’tiqodi merupakan kufur akbar, adalah bid’ah (istilah al-Kufrul Amali di
dalam kitab salaf maksudnya kufrun duna kufrin, atau kufru asghar, sedang al-
kufru bil amal adalah kufur akbar –lihat Kitabus-Shalah oleh Ibnul Qoyyim Al
Jauziyah rhm hal 24-26- dan A’laamus Sunnatil Mansyurah oleh Hafidz Hakami,
hal 80-83). Dan saya meyakini bahwa pendapat yang menyatakan kufur tidak akan
terjadi atas seseorang melainkan dengan juhud atau pengingkaran hati adalah
pendapat bid’ah kaum murji’ah dan saya meyakini bahwa yang tidak
mengkafirkan dengan dosa-dosa mukaffirah ucapan maupun perbuatan kecuali
dengan mengetahui adanya juhud dan istihlal di dalam hati adalah golongan
Ghullat Murji’ah atau golongan yang mengikuti paham dan I’tiqod Ghullat
Murji’ah.
Dan kekufuran menurut saya bisa dikelompokkan menjadi dua macam , yakni
kufur karena jahil dan kufur karena menentang dan berpeling, dan saya
mengimani bahwa pada umumnya kufurnya manusia adalah kufur menentang dan
berpaling yaitu kufur yang manusia diperangi oleh Rasulullah saw, karenanya,
dan pada umumnya kufurnya golongan ini adalah dalam peribadatan yakni nusuk
(ritual), wala’ (loyalitas), bara’ (pelepasan diri), hukm (berhukum) dan tasyri’
(membuat undang-undang atau syariat).
Dalam nama-nama Allah (Al-Asmaa’ul Husna) dan sifat-sifat Allah (Shifatul
Ulya’) saya beri’tiqod sebagaimana salaf ash-Shalih, yaitu wasth (pertengahan)
antara golongan mu’aththilah (yang meniadakan) dan golongan musyabbihah
(yang menyerupakan), maka saya tidak mensifati Allah Ta’ala, kecuali dengan
sifat-sifat yang Allah ta’ala mensifatkan dengannya kepada diri-Nya didalam
kitab-Nya dan diatas lisan Rasul-Nya saw, dengan tanpa tahrif (merubah atau
menyelewengkan), tidak juga dengan ta’thil (meniadakan), dan tidak juga dengan
takyif (memvisualisasikan atau menggambarkan kaifiyahnya) dan tidak juga
dengan tamtsiil (menyerupakan) akan tetapi saya menetapkan sifat-sifat itu
sebagaimana sifat-sifat itu datang, saya tidak melampauinya dan tidak
menambahnya, Allah ta’ala berfirman dalam surat Asy-Syura: 11,
Khot Arab
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Saya mengimani bahwasanya Allah Azza wa Jalla bersemayam diatas Arsy-Nya
diatas langit-langit-Nya. Dan sesungguhnya Dia Azza wa Jalla akan datang pada
hari kiamat untuk mengadili hamba-hamba-Nya. Dan ornag-orang beriman akan
melihat Rabb (Tuhan) mereka Azza wa Jalla dengan pandangan-pandangan
mereka di dalam Surga, adapun orang-orang kafir, mereka terhijab dari melihat-
Nya.
Dan saya mengimani bahwa Nabi Muhammad saw, adalah hamba-Nya dan Rasul-
Nya, beliau penutup para Nabi-Nabi dan sebaik-baiknya daripada makhluk-Nya,
Allah ta’ala mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien (agama) yang
benar, agar Dia memenangkannya, diatas segala agama-agama meskipun orang-
orang musyrik dan kafir benci. Dan bahwasanya seluruh Rasul yang diutus Allah
Ta’ala adalah benar, agama mereka satu, yaitu agama tauhid, meskipun syariatnya
berbeda-beda, Rasul pertama adalah Nuh a.s dan yang terakhir adalah Muhammad
saw.
Dan saya wasth (pertengahan) antara Murji’ah dan khowarij dalam bab al-wa’du
(Janji Allah Ta’ala) dan Al-Wa’iid (ancaman siksa-Nya). Janji dan ancaman Allah
Ta’ala seluruhnya benar, dan seorang muslim apabila bermaksiat dan belum
bertaubat dengan taubat yang nashuha, termasuk beristighfar, menunaikan
amalan-amalan yang baik dan diuji yang dengannya bisa menutupi dosa-dosanya,
maka nasibnya tertakluk kepad rahmat Allah Azza wa Jalla, jika Allah
menghendaki Allah akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, Allah
akan mengazabnya, sesuai dengan kadar dosa-dosanya, dan sesudah itu akan
dimasukkan ke dalam Surga-Nya.
Dan saya beri’tiqod bahwasanya semua perkara-perkara ghoib yang datang
dengannya Rasulullah saw, adalha diatas hakekatnya seperti Surga, Neraka, Kursi,
Arsy, Shirat, Mizan, Mahsyar, Azab Kubur dan lain sebagainya.
Dan saya wasth (pertengahan) dalam bab Al-Qodar (Takdir) antara golongan
Jabariyah dan golongan Qodariyah, maka perbuatan kita dan kehendak kita adalah
makhluk, dan manusia adalah pelaku perbuatan itu yang diberi pilihan baginya
berkemampuan dan berkehendak, dan dia adalah pelaku bagi perbuatan-
perbuatannya diatas hakekatnya.
Dan sesungguhnya Al-Quran adalah Kalamullah, dan bukan Makhluk.
Dan sesungguhnya sahabat r.a adalah generasi yang terbaik, dan yang paling baik
dari mereka adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Uthman, kemudian Ali
Radhiyalloohu anhum ajma’iin, dan saya mencintai Ahlul Bait Nabi saw, dan
istri-istrinya Radhiyalloohu anhum, dan saya tidak menyebutkan sahabat kecuali
dengan kebaikan, dan saya mencintai mereka seluruhnya dan membenci serta
melaknat orang-orang yang membenci mereka.
Dan saya tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin dengan dosa-dosa
maksiat selain syirik selama tidak menghalalkannya.
Dunia adalah kampung atau negeri perjalanan hidup manusia, tempat berikhtiar
dan tempat beramal, tidak boleh meninggalkannya bagi yang mampu meraihnya,
mencintai dan cenderung kepadanya, diatas kehidupannya di akhirat adalah syirik,
dan meninggalkan keduniaan adalah maksiat, dan tidak menggubris sama sekali
adalah zindiq. Dunia mesti diraih demi kehidupan di akherat.
Saya beri’tiqad bahwasanya aliran sufi adalah madzhab bid’ah yang batil dan
merusak keduniaan dan agama. Dan bahwasanya syi’ah Rafidhah secara muthlaq
adalah golongan kufur, mereka makhluk yang paling buruk yang ada di bawah
kolong langit, daripada kalangan kaum muslimi. Dan jamaahg-jamaah Islam yang
melibatkan diri dalam pemilihan-pemilihan Umum dan Dewan-Dewan Parlemen
atau Majlis-Majlis yang bertugas membuat syariat atau Undang-Undang adalah
jamaah jamaah bid’ah, saya berlepas diri dari mereka dan memasrahkan kepada
Allah atas perbuatan mereka, dan bahwasanya majelis-majelis parlemen di negara-
negara sekuler adalah satu perbuatan dari perbuatan-perbuatan kufur, dan begitu
juga segala amalan yang membantu wujudnya majelis-majelis tersebut dengan
tugasnya.
Dan saya beri’tiqod bahwasanya penguasa dan kelompoknya yang mengganti
syariat Allah Ta’ala mereka adalah kuffar murtaddin, dan keluar memberontak
mereka dengan senjata dan kekuatan adalah fadhu’ain bagi setiap muslim, dan
orang-orang yang meniadakan jihad terhadap mereka dengan apapun alasannya
seperti, karena tidak ada Imamul Muslimin atau berhujjah dengan hujjah-hujjah
yang bersifat taqdir, misalnya karena manusia rusak atau tidak adanya garis
pemisah dan perbedaan yang jelas antara dua belah kelompok, atau berhujjah
dengan madzhab anak Adam yang pertama (Qobil) “Sungguh kalau, kamu
menggerakkan tanganmu untuk membunuhku maka aku sekali-kali tidak akan
menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu” (Q.S Al-Maa’idah: 58)
mereka ini adalah orang-orang yang jahil, meereka mengada-adakan sesuatu atas
nama Allah tanpa ilmu.
Dan saya beri’tiqod bahwasanya jihad itu berlangsung hingga hari kiamat dibawah
pimpinan orang yang baik dan orang yang faajir (orang yang jahat dan banyak
dosa), dan tidak boleh mentaatinya dalam kemaksiatan kepada Allah.
Dan saya beri’tiqod bahwasanya golongan manusia yang manapun juga yang
berkumpul diatas dasar selain Islam adalah golongan yang murtad dan kufur,
seperti partai-partai kebangsaan, wathaniyah, qoumiyah, ba’tsiyah, sekuler dan
demokrasi. Dan sesungguhnya dalih tidak adanya perbedaan antara muslim dan
kafir dibawah dalih warga negara adalah dakwah jahiliyah yang batil, begitu juga
dalih adanya perbedaan yang didasarkan diatas ras atau negara sebagaimana
keadaan negara-negara pada hari ini.
Dan saya beri’tiqod bahwasanya janji-janji Allah Ta;ala yang termaktub dalam
Alquran dan Assunnah adalah merupakan perintah-perintah bagi kaum msulimin
agar menempuh sebab-sebabnya dan berusaha mencapainya, dan behwasanya
ungkapan “Tegakkanlah Daulah Islamiyah di dalam hati-hati kamu ia akan tegak
untukmu di negerimu” bagi para penyanjung ungkapan ini, baik sadar atau tidak,
ucapan ini adalha diatas makna Jabariyah (bahwa urusan tegaknya daulah adalah
semata-mata urusan Allah, tidak ada hubungannya dengan usaha hamba) dan
makna Irjaa’i (tidak perlu memerangi thaghut dan negaranya sebab mereka masih
muslim, karena tidak diektahui adanya juhud dan ishlal)
Dan saya meyakini bahwasanya seorang mufti atau seorang alim yang mengikuti
kemauan hawa nafsu penguasa, yang mana dia berfatwa sesuai dengan kehendak
penguasa itu yang menyelisihi syariat, dia menjadi pakturut, kemana penguasa
berputar dia ikut berputar, dia menolong yang haq maupun yang batil, ualam’
yang seperti ini adalah kafir murtad.
Dan saya beri’tiqod bahwasanya setiap orangyang beragama selain agama Islam,
dia adalah kafir, baik dakwah telah sampai kepadanya maupun belum sampai
kepadanya, jika dakwah telah sampai kepadanya berarti kufurnya kufur
menentang dan berpaling (I’naad wal I’raad), dan jika belum sampai kepadanya
berarti dia kafir kufur jahil.
Dan negara-negara kaum muslimin yang diberlakukan hukum-hukum kufur
didalamnya, ia adalah daarul kufri, penduduknya yang dzahirnya Islam, maka dia
seorang muslim secara hukum, orang yang seperti ini disebut muslim mastuurul
hal (muslim yang tidak diketahui keberadaannya) yaitu oran gyang melahirkan
satu tanda daripada tanda-tanda Islam dan tidak diketahui dariapdanya satu
pembatal dari pembatal-pembatalnya. Dan dzahirnya kafir, baik kafir asli maupun
murtad, dia adalah kafir secara hukum, seperti orang-orang nasrani, Yahudi,
Majusi, Atheis, Komunis, orang-orang murtad, seperti: kaum yang meninggalkan
sholat, yang mencela agama, yang menyembah kuburan, seperti berdo’a kepada si
mati, minta tolong dan bernadzar dan menyembelih untuknya dan sebagainya dari
hal-hal yang menyebabkan murtad. Dan yang tidak menampakkan sesuatupun
yang menunjukkan atas Islamnya dari kufurnya. Orang yang seperti ini disebut
Majhulul Hal (tidak diketahui keberadaannya), dan tidak boleh disebut muslim
majhulul hal, sebab dia tidak diketahui tanda Islamnya, maka orang yang seperti
ini disikapi dengan tawaqquf, dalam menghukumi keatasnya, artinya didiamkan
saja, tidak perlu dihukumi, muslim atau kafir, dan diselidiki keadaannya dan
urusannya ketika dihajatkan misalnya, untuk dijadikan saksi, sebab untuk menjadi
saksi bagi perkara seorang muslim mesti syaratnya muslim, mau menikah,
membayar zakat, wakaf yang tidak boleh diberikan kecuali kepada muslim dan
sebagainya
D. Manhaj Talaqqi
Sebagaiman saya mengikuti salaf sholeh dalam masalah Iman dan I’tiqod, maka
saya juga mengikuti merek adalam manhaj At-Talaqqi atau dalam masalah fiqih
dan ushul fiqih antara lain sebagai berikut:
1. wajib mengikuti dalildan mengembalikan kepadanya ketika terjadi
perselisihan.
2. ta’ashub kepada madzhab adalah batil, adapun bermadzhab hukumnya boleh
dan tidak wajib tidak juga haram.
3. martabat mukallaf ada tiga (1) Mujtahid (2) Muttabi’ dan (3) Muqallid,
Mujtahid dan muttabi’ terpuji kedudukannya, sedangkan muqallid amat
taqlidnya ada yang terpuji dan ada juga yang tercela, adapun taqlid yang
tercela antara lain sebagai berikut:
a. apabila seseorang mampu berijtihad (berdalil), tetapi dia menyeleweng
kepada bertaqlid saja.
b. Apabila dia mampu menjadi seorang muttabi’ tetapi dia mencukupkan diri
dengan bertaqlid saja.
c. Apabila telah jelas baginya hujjah dan dalilnya bahwa yang benar
menyelesihi pendapat orang yang ditaqlidinya dan dia tidak mau merujuk
kepada yang benar maka dalam keadaan seperti ini dia berdosa dengan
dosa yang besar.
d. Bertaqlid kepad aoran gyang tidak layak ditaqlidi, karena dia tidak ahli
berfatwa atau orang yang taqlid tidak meneliti sama sekali keahlian orang
yang ditaqlidi.
e. Apabila orang yang bertaqlid meyakini wajibnya bertaqlid kepada orang
yang ditaqlidinya.
f. Apabila seserang muqallid diuji dengan pendapat lain yagn menyelesihi
pendapat yang dia taqlidi, lalu dia tidak berusaha meneliti mana diantara
keduanya yang benar.
(Rujuk Al-Jami’ Fie Tholabil Ilmi Syarif oleh Abdul Qodir Abdul Aziz 5/71-
72 atau Madzhab, bermadzhab dan Wahabi oleh penulis hal 43)
Adapun taqlid yang boleh dan terpuji yaitu taqlid yang dilakukan oleh orang
yang mencurahkan mujahadahnya dalam mengikuti apa yang diturunkan oleh
Allah dan tersembunyi sebagiannya atasnya, lalu dia taqlid dalam perkara itu
kepada orang yang lebih mengetahui daripadanya, maka taqlid seperti ini
terpuji dan tidak tercela, memperoleh pahala dan tidak berdosa (I’laamul
Muwaqi’in oleh Ibnul Qoyyim II/417)
4. saya dalam berdalil mengikuti yang telah disepakati oleh jumhur Ahlussunnah
wal Jamaah yan gmana dalil-dalil secara global ada empat yaitu: 1. Al-Kitab,
2. Assunnah, 3. Al-Ijma’ (Al-Muktabar) 4. Al-Qiyas (Ash-Shahih).
5. Pentingnya fahmul waqi’ (memahami yang terjadi) seoran gmufti tidak
mungkin memiliki kemampuan berfatwa dengan baik dan begitu juga seorang
hakim tidak akan menghukumi dengan benar, melainkan dengandua macam
dari pemahaman,
Pertama : Fahmul waqi’ wal Fiqhu fiihi
Memahami yang terjadi dan memahami seluk beluk dalam kejadian itu, dan
menyimpulkan pengetahuan dari hakekat atau data-data yang terjadi
berdasarkan indikasi-indikasi, tanda-tanda dan alamat-alamat sehingga
seseorang mufti atau hakim benar-benar ilmunya meliputi dengannya)
Kedua: Fahmul Wajib fil Waqi’
Memahami yang wajib dalam waqi’ yaiut memahami hukum Allah ta’ala yang
Allah ta’ala menghukumi dengannya di dalam kitab-Nya atau diatas lisan
Rasul-Nya dalam waqi’ (kejadian) itu kemudian dari pemahaman dua hal
tersebut disesuaikan satu dengan yang lainnya (I’laamul Muwaqi’in Ibnul
Qoyyim I/71), sebagai contoh tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya
tentang memerangi orang-orang Tartar, beliau menjawab, “Ya, wajib
memerangi mereka berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan
kesepakatan imam-imam kaum muslimin.” fatwa beliau ini didasarkan atas
dua ushul pokok:
a. Memahami keadaan tartar dan seluk-beluk mereka, in disebut fahmul
waqi’ wal fiqhu fihi.
b. Memahami hukum allah ta’ala pada orang-oran gyang semisal mereka (ini
disebut fahmul wajib fil waqi’). (Majmu’ Fatawa 28/510). Pada masa kini
tidak sedikit fatwa-fatwa sesat dan menyesatkan disebabkan tidak
pedulinya dengan salah satu dari dua ushul pokok ini, bahkan kedua-
duanya, dan ini juga yang menjadikan semakin menjamurnya bid’ah dan
dholalah termasuk dalam masalah-masalah kontemporer yang dihadapi
oleh umat Islam masa kini.
6. Menyikapi Khilaf Atau Ikhtilaf
Khilaf atau ikhtilaf ada dua macam :
Khilaf yang mu’tabar (yang diakui syara)
Khilaf yang ghairu mu’tabar, disebut juga dengan istilah khilaf tanawwu’
yaitu khilaf atau perselisihan yang masing-masing pendapat yang ada
berdasarkan dalil syar’I yang mereka fahami hal ini terjadi karena kemampuan
manusia berbeda-beda dalam mendapatkan dalil-dalil dan memahaminya, ini
lah yangdisebut masalah ijtihad, maka dalam khilaf ini tidak ada pengingkaran
terhadap yang melakukannya, baik dia seorang mujtahid, maupun seorang
muqollid dengan taqlid yang dibolehkan. Adapun khilaf yang kedua biasa
disebut dengan istilah khilaf tadhadh yaitu pendapat yang lemah disebabkan
dalilnya tersembunyi atau tidak sampai kepada seorang mujtahid, khilaf yang
jenis ini, atau pendapat yang seperti ini disyariatkan untuk mengingkarinya,
akan tetapi pelakunya tidak keluar dari sifat adaalah (tidak fasik) jika
dilakukan oleh seorang mujtahid atau seorang muqallid yang taqlidnya
dibolehkan.
Adapun contohnya: Khilaf At-Tanawwu’ misalnya, sentuhan lain jenis yang
bukan muhrim membatalkan wudhu atau tidak, makmum membaca Al-fatihah
atau tidak dalam rokaat yang imam menjaharkan bacaan, dan lain sebagainya,
contoh khilaf tadhadh, jima’ tanpa keluar mani tidak wajib mandi, nikah
muth’ah boleh, alat-alat musik mubah, berdiri I’tidal sesudah ruku’ tidak
wajib, dan lain sebaginya. Dan sebagai catatan, Ikhtilaf tadhahdh adalah
kesalahan yagn dilakukan oleh seorang mujtahid dan salahnya ini masih
diganjar satu pahala, tetapi tidak boleh diikuti kesalahannya, dan bukan
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang zindiq dan ahluz-zaigh
dan ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ yang dnegan sengaja merubah-rubah syariat
dan menyesatkan manusia.
Apabila seorang muslim mendapati perselisihan pendapat antara mufti atau
faqih atau alim dalam suatu masalah, maka dia mesti mentarjih (memilih
pendapat yang paling kuat). Jika dia seorang muttabi’ yang mampu meneliti
dalil-dalil dari dua pendapat yang ada, maka dia wajib mentarjihnya sesuai
dengan kuatnya dalil. lalu mengikuti pendapat yang dalilnya lebih kuat itu.
Dan jika dia seorang muqollid yang tidak mampu meneliti dalil, maka dia
mentarjih berdasarkna kealiman dan keutamaan dua alim itu, maka pendapat
yang paling alim dan paling wara’ dari keduanya yang dia ikuti sebagai rasa
cinta kepada kebaikan dan kebenaran (lihat Risalah Khilaf Bainal Ulama’ Wa
Asbaabuhu oleh Asy-Syaikh Al-Utsaimin hal 32 dan al Faqih wal Mutafaqqih
2/204, atau Al-Khuththuth Al-Aridah hal 84)
7. beberapa panduan agar selamat dari terjatuh di dalam kesalahan dan kesesatan.
a. memahami nash-nash Al-Kitab dan Assunnah sebagaimana yang difahami
salafussholih, ini adalah pembeda antara Ahlussunnah dan Ahlul bid’ah,
dan pemahaman salaf serta pendapat-pendapatnya mengenai nash-nash
tersebut terdapat dalam kitab-kitab tafsir yang ma’tsur dan kitab-kitab
syarahan-syarahan hadits.
b. Menjamakkan atau mengumpulkan nash-nash yang membicarakan satu
masalah dan metode menjamakkan dan mengumpulkan nash (Thoriqatul
Jami’ dan ta’lif) telah dikenali di kalangan ahlul ilmi, dan lawan dari cara
atau metode ini adlah berdalil dengan sebagian nash dan meninggalkan
nash yang lain, ini adalah sandaran golongan-golongan sesat seperti
murji’ah, khowarij mu’tazilah dan lain sebagainya.
c. Mentarjih diantara nash-nash yang aqwaal ahlul ilmi yang kelihatan
bertentangan, dan mengamalkan yang lebih kuat darinya, dan tidak
mengakui ungkapan atau tidakmembenarkan pernyataan bahwasanya
ikhtilaf (perselisihan) adalah hujjah, sehingga bisa memilih mana saja yang
disukai dari penddapat-pendapat yagn ada, ini sikap yang salah.
d. Menolak fatwa dan membatalkan hukum yang menyuelisihi yang benar
dan yang betul, dan mendamprat orang-orang yang berlaku alim, yang
salah berkali-kali akibat dari mempermudah urusan dan menganggap
enteng dengan agama, dan mengumumkan kesalahan-kesalahannya dan
mentahdzir kaum muslimin agar tidak mengikutinya (rujuk Al-jami’ fie
tholabil ilmi syarif III/109)
E. Prinsip saya dalam Iqomatuddin secara global sebagai berikut:
Tujuan saya : Ridho Allah Ta’ala dengan memurnikan keikhlasan kepadanya dan
merealisasikan pengikutan (mutaba’ah) kepada Nabi-Nya.
Aqidah saya : Aqidah Salafusshalih secara global dan rinci.
Paham saya : saya memahami seluruh ajaran Islam, sebagaimana pemahaman para
ulama’ yang terpercaya dan mengikuti sunnah Nabi saw dan sunnah Khulafaur-
Rasyidin Al-Mahdiyin r.a
Target saya : Menghambakan manusia hanya kepada allah Azza wa Jalla dan
menegakkan kekhilafahan mengikuti Manhaj Nubuwwah
Jalan Saya : Melaksanakan dakwah, amar makruf nahi munkar dan jihad fie
sabilillah
Bekal Saya : taqwa dan ilmu, yakin dan tawakkal, syukur dan sabar, zuhud dan
mengutamakan akhirat, cintajihad dan syahadah fie sabilillah.
Wala’ saya : Kepada Allah ta’ala, Rasulullah saw, dan orang-orang yang beriman.
Permusuhan saya :Terhadap orang-orang yang dzalim.
Perhimpunan saya : Untuk satu tujuan, berdasarkan satu aqidah, dibawah satu
bendera dan kesatuan fikrah
Demikianlah pemahaman Islam saya, secara global dari beberapa contoh diatas Insya
Allah para pembaca yang budiman bisa menyimpulkan dengan sebaik-baiknya dan
lebih kurangnya –Wallahu a’lam bishshowab-