Anda di halaman 1dari 38

BAB IV

ANALISIS PANDANGAN ULAMA MADZHAB TENTANG

HADIS-HADIS WALI NIKAH

A. Analisis Hadis-Hadis tentang Wali Nikah

Dalam perspektif hadis wali nikah adalah seseorang

yang karena kedudukannya berwewenang untuk bertindak

terhadap atas nama orang lain. Ia dapat bertindak terhadap

dan atas nama orang lain itu karena orang lain itu memiliki

suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia

bertindak sendiri secara hukum, dalam perkawinan, wali

adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai wanita

dalam satu akad nikah. Akad nikah juga dilkakukan oleh dua

pihak yaitu dari pihak laki-laki sendiri dan pihak perempuan

yang dilakukan oleh walinya.

Wali merupakan suatu ketentuan umum yang dapat

dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidangnya, wali

terbagi menjadi dua macam yaitu wali umum dan wali

khusus, wali umum yaitu wali yang berekanaan dengan

70
71

mausia, sedangka yang khusus ialah berkenaan dengan

mausia dan harta benda.1

Wali nikah sangatlah penting bagi peranan dan

keberadaannya, sebab ada atau tidaknya wali nikah

menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Rasulullah

SAW bersabda dalam Hadisnya :

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم اَل نِ َك َ ِإاَّل ِ يِل‬ ِ ُ ‫ال رس‬


َ ‫ول اللَّه‬
ّ ‫اح ب َو‬ ُ َ َ َ‫ق‬

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah


nikah kecuali dengan adanya wali.”2

Konsep wali dalam konteks hadis diatas sangatlah

penting bagi perkawinan, bahkan mayoritas ulama juga

mengatakan bahwa nikah tanpa wali tidaklah sah. Keberadaan

wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah

suatu akad pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali, wali

dalam hadis diatas ditemptkan sebagai rukun perkawinan dan

sebagai prinsip.

1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 7, (PT. Alma’arif Cet pertama), p.
9
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 7, (PT. Alma’arif Cet pertama), p.
8
72

Dari penjelasan diatas wali memanglah sangat penting

bagi perkawinan, Adapun wali juga harus mempunyai syarat-

syarat dan asal-usul tertentu, diantaranya syarat-syarat wali

ialah:

1. Baligh dan berakal

2. Merdeka

3. Muslim (apabila yang dinikahkan itu muslim)

4. Laki-laki

5. Adil

6. Cerdas

7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah. Rasulullah

SAW bersabda:

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم اَل َيْن ِك ُح الْ ُم ْح ِر ُم َواَل‬ ِ ُ ‫ي ُقواُل قَ َال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ
‫ب‬
ُ ُ‫يُْن َك ُح َواَل خَي ْط‬
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang
yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk
menikahkan, dinikahkan dan meminang.”(Muslim 2522)
73

Dalam hadis ini terdapat keharaman mengumpulkan

orang yang disebutkan dalam hadis diatas, Imam Syafi’i

berkata: “Haram mengumpulkan orang yang disebutkan”.

Menurut jumhur ulama, wali nikah tidak dalam

keadaan terpaksa ketika menikahkan anaknya atau orang yang

berada dibawah perwaliannya. Tetapi menurut perspektif

hadis menambahkan syarat wali nikah haruslah mempunyai

kejelasan idenitas untuk mengetahui orang yang

diwakilkanya.

Wajib atas wakil untuk tidak keluar dari apa-apa yang

telah ditentukan oleh yang telah mewakilkan, seperti tentang

orang yang di pandang, mahar, dan kriteria-kriteria lainnya.

Jikalau tidak demikian maka akadnya menjadi akad fudhuli,

yang mana kesahannya bergatung pada keridhaan yang

mewakilkan.

Dalam perspektif hadis penulis juga menulis

bahwasannya perwalian atau perwakilan dalam wali nikah itu

terbagi menjadi beberapa macam yang mewakilkan calon

yang akan menikah, yaitu:


74

Wali nikah adalah Laki-laki dari keluarga mempelai

wanita, bukan dari keluarga laki-laki. Karenanya wanita

haruslah menikah dengan adanya wali seperti dijelaskan

dalam hadis, lihat hadis pada bab III.

Laki-laki yang disebutkan dalam pengertian diatas

adalah ayah, ayah kandung mempunyai hak wewenang untuk

menikahkan anaknya. Seperti disebutkan: “Umar bin Al

Khaththab berkata; Aku mendatangi Utsman bin Affan dan

menawarkan Hafshah padanya, maka ia pun berkata, "Aku

akan berfikir terlebih dahulu." Lalu aku pun menunggu

beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, "Aku

telah mengambil keputusan, bahwa aku tidak akan menikah

untuk hari-hari ini." Lalu aku pun menemui Abu Bakar Ash

Shiddiq dan berkata padanya, "Jika kamu mau, maka aku

akan menikahkanmu dengan Hafshah” diriwayatkan oleh

Bukhari nomor 47283 dijelaskan bahwa Umar bin Al Khattab

ayahnya Hafsah menawarkan anaknya untuk Ustma bin Affan

yang akan dinikahkan, maka ayah mempunyai wewenang

3
Lihat hadis Ayah yang menikahkan anaknya, Shahih Bukhari 4728,
pada bab III
75

untuk menikahkan jika anaknya pun menyetujui dengan

diamnya.

Wali nikah adalah ayah, jika ayah tidak ada baik

secara realita ataupun secara syari’at, maka digatikan oleh

ayahnya ayah hingga keatas. Firman Allah dalam surat Al-

Baqarah: 221 :

‫َأَلمةٌ ُمْؤ ِمنَةٌ َخْيٌر‬ ِ ِ


َ ‫َواَل َتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِر َكات َحىَّت ٰ يُْؤ م َّن ۚ َو‬
ِ
ۚ ‫ني َحىَّت ٰ يُْؤ ِمنُوا‬ ِ ِ
َ ‫َأع َجبَْت ُك ْم ۗ َواَل ُتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك‬ ْ ‫ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَ ْو‬
‫ك يَ ْدعُو َن ِإىَل‬َ ‫َأع َجبَ ُك ْم ۗ ُأولَِٰئ‬
ْ ‫َولَ َعْب ٌد ُمْؤ ِم ٌن َخْيٌر ِم ْن ُم ْش ِر ٍك َولَ ْو‬
ِ ‫النَّا ِر ۖ َواللَّهُ يَ ْدعُو ِإىَل اجْلَن َِّة َوالْ َم ْغ ِفَر ِة بِِإ ْذنِِه ۖ َويَُبنِّي ُ آيَاتِِه لِلن‬
‫َّاس‬
)٢٢١ : ‫لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّك ُرو َن (البقرة‬
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
76

manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”(Al-Baqarah:


221)4
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kaum

wanitatidak boleh mengawinka dirinya sendiri atau orang

lain. Jadi perkawinan yang diwakilkan oleh wanita sendiri

adalah tidak sah.

Pada ayat tersebut adalah bahwa Allah menyerahkan

perkara perkawinan terhadap kaum pria dan bukan pada kaum

wanita.

Selain Ayah, saudara laki-laki dan paman juga bisa

menjadi wali, jika wanita tersebut sudah tidak mempunyai

ayah kandungnya, Rasulullah SAW bersabda:

‫ا ِم ْن‬%% % %‫و َع ُّم َه‬%َ % % %‫ا َو ُه‬%% % %‫تَْأ ِذ ُن َعلَْي َه‬% % % %‫اءَ يَ ْس‬%% % %‫س َج‬
ِ ‫ا َأيِب الْ ُق َعْي‬%% % %‫َأخ‬ َ ‫َأْفلَ َح‬
َ‫اء‬%%‫ج‬%َ ‫هُ َفلَ َّما‬%% %َ‫ت َأ ْن آ َذ َن ل‬ ُ ‫ ََأبْي‬% % َ‫اب ف‬%
ُ %‫ج‬ %َ ِ‫ز َل احْل‬%َ % %‫د َأ ْن َن‬%َ % ‫اع ِة َب ْع‬
َ % %‫ض‬َ ‫الر‬
َّ
ِ ِ ِ ُ %‫رس‬
‫ ََأمريِن‬%َ‫ت ف‬
َ ُ ‫َن ْع‬%‫ص‬ َ ‫هُ بِالَّذي‬%ُ‫َأخَب ْرت‬ ْ ‫لَّ َم‬%‫ه َو َس‬%‫لَّى اللَّهُ َعلَْي‬%‫ص‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ُ‫َأ ْن آ َذ َن لَه‬
“Aflah saudara Abu Al Qu'aisi datang dan meminta izin
padanya, dan ia adalah paman sesusuannya. Aisyah berkata;
Maka aku pun menolak untuk memberi izin padanya, dan
ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang, aku
4
Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta, CV.
Pustaka Agung Harapan, 2006), p. 1
77

mengabarkan apa yang kulakukan, maka beliau


memerintahkanku untuk mengizinkannya”

Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa ‘Aisyah juga

menikah dengan seijin Pamannya, dan Rasulullah SAW pun

memerintahkan untuk pamannya untuk mengijinkannya ia

menikah dengan Calon Suaminya.

Siapakah yang termasuk wali nikah itu?

Wali nikah pada hakikatnya ialah keluarga laki-laki

dari wanita, ayah, paman, ataupun yang lainnya yang masih

berkaitan dengan ayah kadung wanita, tetapi dalam skripsi ini

penulis mengemukakan wali nikah itu bukan hanya keluarga

dari wanita tetapi kepala pemerintah dan pejabat juga bisa

menjadi wali nikah bagi wanita.

Dalam hadis di ceritakan bahwa ketika Rasulullah

SAW masih menjabat sebagai kepala pemerintah, Rasul juga

pernah menikahkan pasangan yang akan menikah dengan

seijin calon suami wanita tersebut5.

5
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer Analisis
78

Kepala pemerintah ini dalam artian ialah wali ‘aam

dalam masa Rasulullah menikahkan pasangan tersebut. Wali

nikah ‘aam adalah

‫ول اللَّ ِه‬ َ % %‫ة َف َق‬%ٍ % %‫اج‬ ِِ


َ % % %‫ا َر ُس‬%% % َ‫ل ي‬%
ٌ % %‫ال َر ُج‬% َ ‫اء م ْن َح‬% % %‫و َم يِف النِّ َس‬%ْ % %‫ا يِل الَْي‬%% %‫َم‬
‫ا‬%%ً‫و َخامَت‬%ْ %َ‫ا َول‬%‫ه‬%َ ‫َأع ِط‬
ْ ‫ال‬%َ %َ‫ال َما ِعْن ِدي َش ْيءٌ ق‬ َ َ‫ال َما ِعْن َد َك ق‬ َ َ‫َز ِّو ْجنِ َيها ق‬
‫ال‬%
َ %َ‫آن ق‬ِ ‫ر‬%%‫د َك ِمن الْ ُق‬%َ %‫ا ِعْن‬%%‫ال فَم‬% ِ ِ َ %َ‫د ق‬%ٍ %‫ِمن ح ِدي‬
ْ ْ َ َ %َ‫ ْيءٌ ق‬% ‫دي َش‬%%‫ا عْن‬%%‫ال َم‬% َ ْ
ِ‫ك ِمن الْ ُقرآن‬ ‫مِب‬
ْ ْ َ ‫َك َذا َو َك َذا قَ َال َف َق ْد َملَّكْتُ َك َها َا َم َع‬
"Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya." Maka
beliau bertanya: "Apa yang kamu miliki (untuk dijadikan
sebagai mahar)?" ia menjawab, "Aku tidak punya apa-apa."
Beliau bersabda: "Berikanlan ia (mahar) meskipun hanya
cincin besi." Laki-laki itu berkata, "Aku tak punya apa-apa."
Akhirnya beliau bertanya: "Apa yang kamu hafal dari Al
Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Surat ini dan ini." Beliau
bersabda: "Aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dan
sebagai maharnya adalah hafalan Al Qur`anmu."

Hadis tersebut menunjukkan bahwa calon suami itu

menyetujui untuk dikawinkan oleh Rasulullah, dengan

pengertian bahwa Rasulullah disetujui oleh lelaki itu untuk

bertindak sebagai wakilnya (wali nikah) dalam melakukan

akad nikah. Jadi hadis tersebut merupakan takwil atau

mewakilkan, Sayyid Sabiq mengemukakan hadis di atas


79

dalam bukunya Fiqh Sunnah sebagai dalil bagi keabsahan

berwakil dalam mengakadkan nikah. Juga menjelaskan bahwa

dalam praktik tersebut Rasulullah bertindak sekaligus menjadi

wakil dari kedua belah pihak yang menurutnya praktik seperti

itu adalah sah. Maksudnya pada waktu itu Rasulullah

bertindak sebagai wali ‘aam bagi wanita yang mau

dinikahkannya.6 (Hadis Abu Daud, Rasulullah Mewakilkan

wanita, Uqbah bin Amir)

Selain kepala pemerintah, hakim (pejabat) juga bisa

menjadi wali nikah, disebutkan dalam hadis:

ُ‫الس ْلطَا ُن َويِل ُّ َم ْن اَل َويِل َّ لَه‬


ُّ َ‫ف‬
“penguasa adalah wali bagi orang yang tidak

memiliki wali.”

Maksud dari hadis di atas ialah bahwa orang yang

memegang kewenangan, atau imam (kepala negara) adalah

para wali, jikalau wali tersebut tidak ada maka qadhi dan para

penggatinya dengan wali hakim. Tetapi wali hakim harus

6
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta:
Kencana, 2010, cet-3)., p. 11
80

menikahkan dengan laki-laki yang sepadan bukan dengan

selain itu.7 Hadis ini menunjukkan juga bahwa kepala

pemerintah dan pejabat adalah wali bagi orang yang tidak

mempunyai wali, baik karena tidak ada ataupun karena

menolak untuk menjadi wali. sama dengan mereka yang

walinya telah pergi. Yang dimaksud dengan kepala

pemerintah ialah orang yang berkuasa untuk semua urusan,

baik dia orang culas maupun adil, mengingat universital hadis

yang memberikan perintah untuk taat kepada kepala

pemerintah.

Imam Maliki mengatakan bahwa apabila tidak ada

wali yang dekat, maka hakim berhak mengawinkan anak laki-

laki dan perempuan kecil, orang gila laki-laki dan perempuan

dengan orang yang sekufu’, serta mengawinkan wanita

dewasa dan waras dengan ijin mereka.8

Al-qurtubi berkata dalam buku Syarh As-Sunnah,

“jika seorang wanita dalam kondisi tidak mempunyai

7
Zainuddin bin Abdul Aziz Al Ma’bari, Fathul Mu’in Tahqiq:
Bassam Abdul Wahhab Al jabi, (Pustaka Azzam, cet 1, 2016)., p. 775
8
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Penerbit
Lentera, Cet ke-29 2015), p. 346
81

pemimpin (tidak ada hakim) dan juga tidak mempunyai wali,

maka dia boleh menyerahka urusannya kepada orang yang

bisa dipercaya dari tetangganya, lalu orang tersebut

menikahkannya dan menjadi wali baginya dalam kondisi

seperti ini. Karena pada dasarnya manusia butuh menikah,

dan mereka melakukan hal ini karena pilihan dan solusi yang

baik dari kondisi yang ada.

Wali juga tidak jatuh kepada budak, baik keseluruhan

dirinya maupun sebagian dari dirinya, karena terjadinya

kekurangan pada dirinya. Perwalian juga tidak jatuh kepada

anak kecil dan orang gila karena terjadinya kekurangan pada

dirinya sekalipun gilanya terputus-putus akibat dipukul rataka

masa sembuhnya dengan masa gilanya mengakibatkan

hilangnya validitas pernyataan. Karena itu, yang menikahkan

adalah yang paling jauh tempo kegilaannya saja serta tidak

ditunggu sembuhnya.

Menurut Imam Al-Baghawi, bahwa seorang wanita

dengan statusnya sebagai gadis atas perawan tidak boleh

melaksanakan akad nikahnya sendiri. Sebab jika ia


82

melaksanaka hal tersebut maka pernyataan dalam akad

diperhitungkan. Selain itu, hak tersebut pasti akan diberikan

kepadanya, bukan kepada sulthan.

Yang dimaksud dengan perselisihan ialah dimana wali

tidak mau menikahkan. Sebab, jika wali tidak mau

menikahkan dan tidak ada wali yag sederajat dengannya,

dalam kasusu demikian hak perwalia nikah beralih ke sulthan,

buka ke wali yang hubungannya lebih jauh dibadingkan

dengan wali yang tidak mau menikahkan.9

Hak wali bagi pemimpin (hakim) karena dalam dua

kondisi ini yaitu:

1. Terjadi perselisihan diantara para wali, sehingga tidak

membuahka jalan keluar padahal pernikahan harus segera

diselenggarakan.

2. Jika wali secara mutlak tidak ada dan terbukti

ketiadaannya. Dalam kondisi demikian, jika datang laki-

laki kepada seorang wanita dewasa untuk menikahkanya,

laki-laki itu setara dengan wanita tersebut sementara tidak

ada seorang walipun dari wanita itu baik yang dekat


9
Imam Albaghawi, Syarh As-sunan, (Pustaka Azzam)., p. 328
83

maupun yang jauh, maka hakim dalam kondisi ini berhak

menikahkan wanita itu.

Dalam hadis juga Rasulullah SAW:

َ %‫ك ٍر َف َق‬%ْ َ‫ةَ ِإىَل َأيِب ب‬%‫ب َعاِئ َش‬


ُ‫ه‬%%َ‫ال ل‬%
ِ
َ َ‫لَّ َم َخط‬%‫ه َو َس‬%%‫لَّى اللَّهُ َعلَْي‬%‫ص‬ َّ
َ َّ ‫َأن النَّيِب‬
‫َأخي يِف ِدي ِن اللَّ ِه وكِتَاب ِِه َو ِهي يِل‬ ِ ‫ال َأنْت‬%
َ َ ‫وك َف َق‬% ُ ‫َأبُو بَ ْك ٍر ِإمَّنَا َأنَا‬
َ ‫َأخ‬
َ َ
‫َحاَل ٌل‬
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkhithbah
(meminang) Aisyah kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar pun
berkata pada beliau, "Sesungguhnya saya adalah saudara
Anda." Beliau bersabda: "Yang kumaksudkan kamu adalah
saudaraku di dalam Dinullah dan Kitab-Nya, maka Aisyah
adalah halal bagiku.”

Dalam hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah

telah meminang ‘Aisyah sewaktu ia masih berumur 9 tahun,

dan Abu bakr pun menerima pinangan Rasulullah tanpa

‘Aisyah mengetahui hal tersebut dikarenakan nikahnya

seorang gadis bisa menikahkan dengan diamnya meskipun dia

adalah budak perempuan yang dimerdekakan. Sesuai dengan

hadis:
84

.‫كر تُستَ َأم ُر َوِإذنُ َها ُس ُكو ُت َها‬ِ


ُ ‫َوالب‬
“Perawan itu diajak berunding dalam nikahnya, dan izinnya
adalah diamnya.”
(Hadis ini diriwayatkan dari Muslim no. 1421, At-tirmidzi no.
1108 dan An-Nasa’i no. 3260-3264)

Diajurkan bagi ayah atau kakek untuk meminta izin

kepada gadis baligh yang akan menikah untuk

menenteramkan hatinya. Adapun anak perempuan yang masih

kecil tidak perlu dimitakan izinnya meskipun gadis terssebut

menangis tidak sampai menjerit atau menampar pipi sendiri.

Diperbolehkan pula bagi ayah atau kakek menikahkan

anak perempuannya yag masih kecil tapa mendapatkan

izinnya, kerena pendapat anak seperti itu tidak bisa dianggap

(dijadikan dasar keputusan). Imam Al Baghawi berkata: Para

ulama sepakat menyatakan bahwa seorang ayah atau kakek

boleh menikahkan puterinya yang masih kecil dasarnya ialah

hadis ‘Aisyah “Bahwa Nabi Menikahinya pada saat ia

berusia tujuh tahun”. Sebagian ulama yang lain berpendapat

bahwa pernikahan yang demikian hukumnya tidak sah,

sehingga tidak masuk dalam kehidupan rumah tangga dalam


85

unsur paksaan. Ini merupakan pendapat dari Imam Syafi’i.10

dan jika ada wali selain keduanya menikahkan maka nikahnya

dianggap tidak sah. Dan dalam hadis bahwa Nabi SAW

menikahkan Umamah binti Hamzah yang masih kecil dan

memberikan hak pilih antara tetap bertahan atau berpisah

kepadanya ketika sudah besar.11

Dalam perbedaan gadis ataupun janda, gadis itu tidak

diperlukanya izin yang jelas, karena diamnya itu sudah cukup

sebagai bukti kecocokan. Aka tetapi dalam janda, janda harus

dimusyawarahka terlebih dahulu hingga ia menjawab iya.

Dalam hadis:

‫اَأْلب ِم ْن َغرْيِ َأ ْن‬


ُ ‫ا‬%% %‫تَْأ َمَر َوِإ ْن َز َّو َج َه‬% % %‫ز َّو ُج َحىَّت تُ ْس‬%َ % % ُ‫ب اَل ت‬
َ ِّ‫الثي‬
َّ ‫َأن‬َّ
‫ل الْعِْل ِم‬%ِ ‫َأه‬
%ْ ‫د َع َّام ِة‬%َ %‫وخ ِعْن‬
ٌ % ‫اح َم ْف ُس‬%
ُ ‫ك‬%َ ِّ‫لِك فَالن‬
َ َ‫ت ذ‬ ِ
ْ ‫ ِر َه‬%‫تَْأمَر َها فَ َك‬% ‫يَ ْس‬
ِ ‫ف َْأه ُل الْعِْل ِم يِف َت ْز ِو‬
‫يج اَأْلبْ َكا ِر‬ َ َ‫اخَتل‬
ْ ‫َو‬
“seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta
pendapat dan izinnya. Jika bapaknya menikahkannya tanpa
hal itu, lalu dia tidak menyukainya maka nikahnya adalah
rusak dan batal”.

10
Imam Albaghawi, Syarh As-sunan, (Pustaka Azzam)., p. 317
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 7, (PT. Alma’arif Cet pertama), p
86

Dengan kata “janda dengan persetubuhan”

dikecualikan dengan hilangnya selaput dara akibat semisal

jari, sehingga hukum perempuan itu sama saja seperti wanita

gadis dalam hal cukup dengan diam sesudah dimintai izin.12

Dalam hadis juga terdapat tuntutan untuk mendapat

perintah dari seorang janda, sehingga seorang janda tidak

boleh dinikahkan sampai wali meminta perintah dari sang

janda untuk memberikan izin melakukan akad nikah. Yang

dimaksudkan ialah ridha sang janda.

ِ ‫ق بِامر‬%َّ %‫ َأح‬%‫اُؤ ه‬%% %‫ا َن َأولِي‬%%‫ك‬%َ ‫ات‬%% ‫م‬% ‫ل ِإذَا‬%% ‫ج‬% ‫الر‬
ِّ ‫َأتِه ِم ْن َويِل‬ َْ َ ُ َ ْ َ َ ُ ُ َّ ‫ا َن‬%%‫ك‬%َ ‫ال‬% َ % %َ‫ق‬
ِ
ْ‫اءُوا مَل‬% % % %‫ا َوِإ ْن َش‬%% % %‫وه‬ ُ ‫اءَ َب ْع‬% % % %‫ َها ِإ ْن َش‬% % % %‫َن ْفس‬
َ ‫ا َْأو َز َّو ُج‬%% % %‫ ُه ْم َز َّو َج َه‬% % % %‫ض‬
‫ت‬ْ َ‫وها َفَنَزل‬ َ ‫يَُز ِّو ُج‬
“Apabila seorang laki-laki meninggal, maka para walinya
lebih berhak terhadap istrinya daripada wali wanita tersebut,
apabila sebagian mereka berkehendak maka mereka akan
menikahkannya dan apabila mereka berkehendak maka mereka
tidak menikahkannya.”.

Dalam hadis tersebut menjelaskan jikalau janda yang

ditinggal mati suaminya maka wali wanita tersebut (calon

suaminya) lebih berhak atas pernikahannya dibandingkan wali


12
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Ma’bari, Fathul Mu’in (Pustaka
Azzam, cet. 1. 2016)., p 775
87

ayah janda tersebut. Dalam Al-qur’an juga terdapat

pembahasan janda ditinggal mati yaitu dalam surat An-Nur ayat

32:

‫ني ِم ْن ِعبَ ِاد ُك ْم َوِإ َماِئ ُك ْم ۚ ِإ ْن‬ ِ‫ى ِمْن ُكم و َّ حِل‬% ‫ اَأْليام‬%‫وَأنْ ِكحوا‬
َ ‫الصا‬ َْ ََٰ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ْ َ‫ي ُكونُوا ُف َقراء ي ْغنِ ِهم اللَّه ِمن ف‬
)٣٢ : ‫يم (النور‬ ٌ ‫ضله ۗ َواللَّهُ َواس ٌع َعل‬ ْ ُ ُ ََُ َ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui.”13

Maksud Kata Al-Ayyim adalah, wanita yang ditinggal

wafat suaminya atau dicerai oleh suaminya. Wanita yang belum

pernah menikah juga disebut dengan istilah Al-Ayyim. Laki-laki

yang belum memiliki istri juga disebut Al-Ayyim.

Dari kata al mawaali dengan kalimat al-wali memiliki

makna yang sama. Kata al-mawaali juga mencakup anak-anak

paman dan juga mereka yang disebut dalam istilah mawaris

ialah ashahabah.

13
Kementerian Agama RI, Alqur’an dan terjemahnya, (Jakarta: CV,
Pustaka Agung Harapan, 2006) p. 24
88

Dalam perspektif hadis wali merupakan hal yang

penting untuk melangsungkan akad pernikahan, karena itu wali

juga mempunyai hak untuk mencarikan calon suami yang baik

bagi pasangan waitannya, disebutkan dalam hadis:

ِ ِ َّ‫ر بن اخْل ط‬%%‫َأن عم‬ ُ ‫د‬%% َ‫ا حُي‬%%‫ َي اللَّهُ َعْن ُه َم‬% %‫ر َر ِض‬%َ %‫عُ َم‬
‫ت‬ْ َ‫َأمَّي‬% %َ‫ني ت‬
َ ‫اب ح‬ َ َ ْ َ َ ُ َّ ‫ِّث‬
‫ا َن ِم ْن‬%% % %‫ ْه ِم ِّي َو َك‬% % % %‫ةَ ال َّس‬% % % %َ‫س بْ ِن ُح َذاف‬ ِ ‫ر ِم ْن ُخَنْي‬%َ % % %‫ت عُ َم‬ُ ‫ةُ بِْن‬% % % %‫ص‬
َ ‫َح ْف‬
َ %‫ة َف َق‬%ِ %َ‫ويِّفَ بِالْ َم ِدين‬%ُ %‫لَّ َم َفُت‬%‫ه َو َس‬%ِ %‫لَّى اللَّهُ َعلَْي‬%‫ص‬
‫ال‬% ِ ِ
َ ‫ول اللَّه‬%‫ َحاب َر ُس‬%‫ص‬
ِ ْ ‫َأ‬
ِ ِ َّ‫عُمر بْن اخْلَط‬
َ‫صة‬ َ ‫ت َعلَْيه َح ْف‬ ُ‫ض‬ ْ ‫ت عُثْ َما َن بْ َن َعفَّا َن َف َعَر‬ ُ ‫اب َأَتْي‬ ُ َُ
“Umar bin Al Khaththab berkata; Aku mendatangi Utsman bin
Affan dan menawarkan Hafshah padanya, maka ia pun berkata,
"Aku akan berfikir terlebih dahulu." Lalu aku pun menunggu
beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, "Aku
telah mengambil keputusan, bahwa aku tidak akan menikah
untuk hari-hari ini." Lalu aku pun menemui Abu Bakar Ash
Shiddiq dan berkata padanya, "Jika kamu mau, maka aku akan
menikahkanmu dengan Hafshah."

Hadis diatas menjelaskan bahwa Umar bin Khattab

menawarkan puterinya kepada Ustman bin Affan karena

Utsman bin Affan merupakan sahabat Rasulullah dan seseorang

yang sudah terlihat baik untuk menjadi calon suami bagi

Hafshah.
89

Namun, jika wanita tersebut tidak mau dinikahkan

dengan pilihan walinya maka boleh saja wanita tersebut

mencari calon suami sendiri dengan syarat harus dengan yang

sekufu’ (sepadan) dengan dirinya, tetapi jikalau calon yang

dibawa tidak sekufu’ maka hak wali boleh membatalkannya

menikah dengan piliha suaminya. Dalam hadis disebutkan:

‫اهلِيَّ ِة‬ِ ‫ا َن من َتبىَّن رجاًل يِف اجْل‬%%‫دا و َك‬%ً % ‫لَّم زي‬% ‫ه وس‬%ِ %‫لَّى اللَّه علَي‬% ‫النَّيِب ص‬
َ ُ َ َ َْ َ َْ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ
‫اِئ ِه ْم‬%%َ‫وه ْم آِل ب‬%
ُ %ُ‫}ادع‬ ْ ُ‫ث ِم ْن ِم َرياثِِه َحىَّت َأْنَز َل اللَّه‬ َ ‫َّاس ِإلَْي ِه َو َو ِر‬
ُ ‫َد َعاهُ الن‬
‫ِئ‬ ِ ِ
‫ا َن‬%%‫َأب َك‬ ٌ ُ‫ه‬%% %َ‫ا ِه ْم فَ َم ْن مَلْ يُ ْعلَ ْم ل‬%% َ‫ر ُّدوا ِإىَل آب‬%ُ % %‫والي ُك ْم{ َف‬%َ % ‫م‬%َ ‫ِإىَل َق ْولِه َو‬
‫ ِّي‬%‫م ٍرو الْ ُقَر ِش‬%ْ ‫ َهْي ِل بْ ِن َع‬%‫ت ُس‬ ُ ‫ ْهلَةُ بِْن‬%‫ت َس‬ ْ َ‫اء‬%‫دِّي ِن فَ َج‬%‫ا يِف ال‬%‫َأخ‬ً ‫وىًل َو‬%ْ ‫َم‬
‫ه‬%ِ % %‫لَّى اللَّهُ َعلَْي‬% % ‫ص‬ ِ ِّ ‫ام ِر‬%ِ % %‫مُثَّ الع‬
َ َّ ‫ةَ النَّيِب‬% % َ‫ ةَ بْ ِن عُْتب‬% %‫رَأةُ َأيِب ُح َذ ْي َف‬%َ % ‫ام‬%ْ ‫ي َوه َي‬ َ
ِ ‫ِإ‬ ِ
ُ‫ز َل اللَّه‬%َ %‫ول اللَّه نَّا ُكنَّا َنَرى َسال ًما َولَ ًدا َوقَ ْد َأْن‬ َ ‫ت يَا َر ُس‬ ْ َ‫َو َسلَّ َم َف َقال‬
‫فِ ِيه‬

“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjadikan Zaid


sebagai anak angkat. Beliau termasuk orang yang mengambil
anak angkat pada masa Jahiliyyah hingga orang-orang pun
menduga bahwa Zaid nantinya akan mewarisi hartanya, hingga
pada akhirnya Allah menurunkan ayat: "UD'UUHUM ILAA
`AABAA`IHIM.." hingga firman-Nya, "WA MAWAALIIKUM."
Akhinya mereka pun mengembalikan (nasabnya) kepada
bapak-bapak mereka. Dan siapa yang tidak diketahui
bapaknya, maka ia adalah maula (budak yang dimerdekakan)
dan saudara seagama. Kemudian datanglah Sahlah binti Suhail
bin Amru Al Qurasyii lalu Al 'Amiri -ia adalah isteri Abu
90

Hudzaifah bin Utbah- kepada Nabi shallallahu 'alaihi


wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
menganggap Salim sebagai anak, sementara Allah telah
menurunkan sebagaimana apa yang telah Anda kethaui."

Dari hadis diatas menjelaskan bahwa sekufu’ dalam

agama adalah hal yang sangat penting untuk mencarikan

calon suami, karena calon suami itu penting sekali untuk

kelangsungan hidup berumah tangga yang baik.

Arti kesekufuan atau kesepadanan bagi orang-orang

yang menganggapnya syarat dalam perkawinan, ialah

hendaknya laki-laki (calon suami) itu sama saja sederajatnya

dengan wanita (yang akan menjadi istrinya). Menurut para

ulama memandang penting adanya kafa’ah hanya pada laki-

laki da tidak pada wanita. Sebab, kaum laki-laki itu berbeda

dengan kaum wanita tidak direndahkan jika mengawini

wanita yang lebih rendah derajat dari dirinya.14

Sekufu dalam beragama dan sekufu’ dalam harta dalam

hadis:

ِ ‫وا يِف نِ َك‬%% ‫ال ر ِغب‬%


ٍ ٍ َ ‫ت َذ‬ ِ َّ
‫بِ َها‬% ‫ا َونَ َس‬%%‫اح َه‬ ُ َ %‫ال َو َم‬%%َ‫ات مَج‬ ْ َ‫ان‬%%‫ ةَ ِإ َذا َك‬%‫يم‬
َ ‫َأن الْيَت‬
ِ ‫م‬% ْ‫ا يِف قِلَّ ِة ال‬%‫ه‬% ‫ةً َعْن‬% ‫ت مرغُوب‬ ِ ‫م‬% ‫نَّتِها يِف ِإ ْك‬%‫وس‬
ِ َّ ‫ال ال‬%
‫ال‬% َ َ َ ْ َ ْ َ‫ان‬%‫ك‬%َ ‫ َداق َوِإ َذا‬%‫ص‬ َ َ َُ
14
Al-Imam As-Syafi’i R.A, Al-Umm Jilid 7, p.155
91

‫ا‬%‫ه‬%َ ‫ا َيْت ُر ُكو َن‬%‫م‬%َ ‫ت فَ َك‬ ِ ِ ِ


ْ َ‫ال‬%%َ‫اء ق‬%‫ا م ْن النِّ َس‬%‫ه‬%َ ‫َأخ ُذوا َغْيَر‬َ ‫وها َو‬ َ ‫َواجْلَ َمال َتَر ُك‬
‫ا ِإاَّل َأ ْن‬%%‫ فِ َيه‬%‫وا‬%% ُ‫ا ِإذَا َر ِغب‬%%‫وه‬ ِ
َ ‫س هَلُ ْم َأ ْن َيْنك ُح‬ َ ‫ي‬
َْ‫ل‬‫ف‬َ ‫ا‬%%‫ه‬َ ‫ن‬
ْ ‫ع‬
َ ‫ن‬
َ ‫و‬% % ‫ب‬
ُ ‫غ‬
َ ‫ر‬
ْ ‫ي‬
َ ‫ني‬
َ
ِ
‫ح‬
ِ‫الص َداق‬ ‫يِف‬ ‫اَأْلوىَف‬ ِ
َّ ْ ‫َّها‬ َ ‫وها َحق‬ َ ُ‫يُ ْقسطُوا هَلَا َويُ ْعط‬
“Bahwa jika ada anak perempuan yatim yang memiliki
kecantikan wajah dan harta, apabila mereka ingin
menikahinya, mereka diminta untuk menyempurnakan mahar.
Apabila anak puteri yatim itu tidak mereka senangi lantaran
tak memiliki harta dan kecantikan maka mereka pun
meninggalkannya dan mencari wanita lain. Karena itu,
sebagaimana mereka meninggalkannya ketika mereka tak
menyukainya, maka mereka pun tidak diizinkan untuk
menikahinya saat mereka berkeinginan kecuali dengan
berbuat adil pada mereka dan memberikan haknya yang
harus dipenuhi yakni Mahar."

Dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa wali haruslah

mencarikan calon suami yang sekufu dalam harta dan

kekayaan wanitanya.

Ulama sepakat bahwa wali tidak boleh menghalangi dan

menzhalimi wanita yang ada dalam kewaliannya dengan

melaragnya untuk menikah. Jika dia ingin menikahinya, maka

harus memberika mahar mitsil (sepadan seperti yang ia

berikan kepada istri yang lain) kepadanya. Dan jika ia

melarangnya menikah, maka wanita berhak melaporkan


92

perkaranya kepada hakim agar menikahkan dirinya, dan tidak

berpindah hak kewalia dalam kondisi seperti ini kepada wali

lain setelah wali yang dzalim. Tetapi perkaranya diserahkan

kepada hakim secara langsung karenma menghalangi untuk

menikah adalah dzalim, dan hakim menghilangkan

kedzaliman dari wali itu. Lihat hadis pada bab III

Dalam perwalian pernikahan haruslah jelas mengenai wali

nikah, dalam perspektif hadis, wali nikah diajurka untuk

menikahkan salah satu pasagannya saja, bukan mewakilkan

dari dua pasagan. Dijelaskan dalam hadis:

ِ ‫ا ِم ْن ر ُجلَنْي‬%%‫اع َبْي ًع‬% ِ َّ‫قَ َال َأمُّيَا امر ٍَأة َز َّوجها ولِي‬
ِ َّ ِ‫ان فَ ِهي ل‬
َ َ َ‫ل ب‬%ٍ ‫ا َر ُج‬%َ‫ا َوَأمُّي‬%‫م‬%َ ‫َأْلو ِل مْن ُه‬ َ َ ََ َْ
ِ َّ ِ‫َف ُه َو ل‬
‫َأْلو ِل مْن ُه َما‬

"Setiap wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka ia


menjadi hak bagi wali yang pertama di antara keduanya. Dan
setiap orang yang menjual sesuatu kepada dua orang, maka
barang tersebut menjadi hak bagi orang pertama (membeli)
di antara mereka berdua."

Jika dua orang wali menikahkan seorang wanita, bisa

jadi dua akad tersebut dalam waktu bersamaan, atau juga bisa

salah satunya dahulu dari yang lain. Jika akad itu terjadi
93

bersamaan maka akadnya batal. Dan jika akadnya terjadi dua

kali, maka wanita itu milik laki-laki yang melakukan akad

yang pertama baik yang kedua telah menggaulinya ataupun

belum. Jika dia menggaulinya padahal dia tau wanita itu

sudah diikat tali pernikahan oleh pria lain sebelum ia

menikahinya maka dia dianggap sebagai pelaku zina yang

berhak mendapat hukuman Had. Dan jika dia tidak

mengetahui maka dikembalikan kepada laki-laki yang

pertama yang telah menikahinya.15

Dalam penjelasan hadis diatas maka dapat disimpulkan

bahwa seseorang yang akan menikah baik dia gadis maupun

janda. Meskipun terjadi perbedaan tentang kewalian wanita

namun wajib bagi wali untuk saling berkomunikasi dengan

wanita yang akan menikah dibawah kewaliannya da

mengetahui keridhaannya sebelum melakukan akad nikah.

Karena syari’at melarang untuk memaksa wanita baik yang

masih perawan atau janda, untuk menikah dengan seseorang

dia tidak cintai.

15
Sayyid Sabiq, Ringkasan Fiqih Sunnah, ……… p. 453
94

B. PANDANGAN ULAMA MADZHAB TENTANG HADIS

WALI NIKAH

Secara garis besar, setidaknya terdapat dua kelompok

yang berseberangan pendapat. Diantaranya, kelompok

pertama (mayoritas ulama jumhur) berpendapat bahwa wali

nikah merupakan syarat dan rukun sahnya akad nikah.

Menurut kelompok ini, perempuan tidak boleh menikahkan

dirinya sendiri meskipun telah dewasa. Kelompok kedua

berpendapat bahwa perempuan yang telah dewasa boleh

menikahkan dirinya sendiri tanpa harus melalui walinya,

asalkan lelaki yang sederajat (kufu). Masing-masing dari

kedua kelompok tersebut sama-sama mengemukakan dalil

baik maqli maupun aqli, serta saling mengkritik pendapat

yang dikemukakan lawan kelompoknya.

Penulis melihat bahwa terdapat perbedaan pendapat

antara fuqaha tentang kedudukan wali dalam pernikahan

disebabkan oleh perbedaan dalam menginterpresentasikan

ketentuan normatif baik dalam Al-qur’an maupun Al-hadis.

Perbedaan itu lahir karena kerangka metodologis yang


95

digunakannya berbeda sehingga melahirkan kesimpulan

hukum yang berbeda pula. Berikut ini adalah pandangan para

ulama tentang wali nikah dalam argumentasi dalil masing-

masing.

1. Pemikiran Imam Hanafi tentang wali dalam pernikahan

Menurut imam Hanafi, yang berpendapat bahwa wali

tidak termasuk sebagai syarat perkawinan. sebagaimana

riwayat yang jelas dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf “bagi

perempuan berakal yang telah baligh boleh menikahkan

dirinya sendiri dan puterinya yang masih kecil. Juga boleh

menerima hak wakil dari orang lain. Akan tetapi seandainya

dia menikahkan dirinya dengan orang yang tidak selevel

dengannya maka walinya boleh menolaknya. Ini disebabkan

karena keberadaan wali hanya bersifat kesempurnaan dan

anjuran, buka menjadi syarat sahnya perkawinan.

Jika ayah atau kakek mengawinkan anak gadisnya

yang masih kecil, dengan orang yang tidak se-kufu dan

kurang dengan mahar mitsil, maka akad nikahnya sah jika ia

tidak dikenal sebagai pemilih yang jelek. Akan tetapi bila


96

yang mengawinkannya bukan ayah atau kakeknya dengan

orang yang tidak sepadan atau se-kufu atau kurang dari mahar

mitsil maka akad nikahnya tidak sah.16

Tidak ada seorangpun yang mempunyai wewenang

atas dirinya atau menentang pilihanya, dengan syarat, orang

yang dipilihnya itu kufu (sepadan) dengannya dan maharnya

tidak kurang dengan mahar mitsil. Tetapi jika wanita tersebut

kawin dengan laki-laki yang maharnya kurang dari mahar

mitsil, qadhi boleh meminta membatalkan akadnya bila mahar

mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.

Alasan lain yang dikemukakan imam Hanafi yaitu

dalam dalil Al-qur’an surat Al-baqarah ayat 230 sebagai

berikut:

Dalam surat Al-baqarah 230:

‫ِإ ْن‬% % َ‫رهُ ۗ ف‬%َ %‫ا َغْي‬%%‫ج‬%ً ‫د َحىَّت ٰ َتْن ِك َح َز ْو‬%ُ % %‫هُ ِم ْن َب ْع‬%% %َ‫ِل ل‬
ُّ ‫ا فَاَل حَت‬%%‫ه‬%َ ‫ِإ ْن طَلَّ َق‬% % َ‫ف‬
ۗ ‫ود اللَّ ِه‬ ِ ‫طَلَّ َق َها فَاَل جنَاح َعلَْي ِهما َأ ْن يَتر ِإ‬
َ ‫يما ُح ُد‬ َ ‫اج َعا ْن ظَنَّا َأ ْن يُق‬ َ ََ َ َ ُ
)٢٣٠ : ‫ود اللَّ ِه يَُبِّيُن َها لَِق ْوٍم َي ْعلَ ُمو َن (البقرة‬ ُ ‫ك ُح ُد‬ َ ‫َوتِْل‬

16
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab,
(Penerbit Lentera, Cet ke-29 2015), p.
97

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang


kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Mereka mendasarkan pada ayat diatas dengan

memahami bahwa sautu pernikahan dipertalikan kepada

kaum perempuan, sehingga tidak boleh orang lain

melarangnya, pada pokok pembahasannya mereka

mengaitkan pekerjaan kepada pelakunya dan bahwa dialah

pelaku hakikinya yaitu orag yag paling berhak menangani

pekerjaan yang dibebanka kepadanya.17

Jadi ayat diatas menurut madzhab Hanafiyah bahwa

ayat itu tertuju kepada suami buka pada wali. dan menurut

mereka ayat diatas bahwa yang membagsakan kepada wanita,

hal ini bahwa wanita berhak menikahkan dirinya sendiri.

Lebih jelas lagi dikatakan sebagai berikut:

‫أمر َوإذنُ َها ُس ُكو ُت َها‬ ِ ِ ِ ِ ِ


ُ َ‫كر تُست‬
ُ ‫ب اَ َح ُّق بَن ْفس َها م ْن َولّي َها َوالب‬
%ُ ‫اَ ّلثْي‬
17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,…… p. 17
98

“Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya,


sedangkan gadis ditawari, dan izinnya adalah diamnya.” 18
(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dikatakan:

: ‫كر حىَّت تُستَأ َذ َن قالو‬ ِ


ُ ‫ َواَل تُن َك ُح الب‬,‫اَل تُن َك ُح اَألمِّيُ َحىَّت تُستَ َأم ُر‬
ِ
‫ت‬ َ ‫ أن تَس ُك‬: ‫يف ِإذنُ َها ؟ قال‬ َ ‫ و َك‬,‫يا رسول اهلل‬
“janda tidak dinikahkan hingga ia ditawari. Dan gadis tidak
dinikahkan hingga ia dimintai izin.” Para sahabat bertanya:
“Wahai Rosulullah bagaimana ia mengijinkan? Beliau
menjawab, “Diam-diam”19

Menurut mereka kedua hadis tersebut dengan jelas

dan tegas menunjukkan bahwa wanita yang tidak bersuami

lagi dan gadis mempunai hak dalam masalah pernikahannya,

sehingga wali tersebut harus meminta izin si gadis untuk

menikahkanya.

Akan tetapi, melihat pada umumnya wanita tersebut

malu, maka syari’at mencukupkan untuk meminta ijin

kepadanya yang cukup untuk menunjukkan keridhaannya. Itu

18
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas (Subulussalam:
3/119)
19
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori Musim dari Abu Hurairah
(Subulussalam: 3/118)
99

bukan merupakan karena haknya dicabut akan tetapi ia

mempunyai kapasitas umum dalam hal itu.20

Terdapat pendapat yang moderat yang dilontarkan

oleh salah seorang pakar fiqih dalam kalangan Syafi’iyah,

yang bernama Abu Tsaur, yakni dalam pernikahan harus ada

ridha perempuan dan walinya sekaligus. Salah seorang dari

mereka berdua tidak boleh menerima pernikahan tanpa

persetujuan dan ridha yang lainnya. Kapanpun mereka berdua

ridha, masing-masing dari mereka boleh melangsungkan akad

karena perempuan juga mempunyai kapasitas sempurna untuk

melakukannya.

Menurut Ibnu ‘Abidin dan al-Kasani (pengikut

Hanafiyah), wali hanya menjadi syarat sah perkawinan bagi

orang yang belum dewasa, gila dan budak. Wali juga tidak

diperlukan lagi bagi pernikahan mukallaf (perempuan dewasa

yang berakal sehat) yang merdeka, sehingga tanpa adanya

wali pernikahan itu sah.21 Namun wali berhak menolak


20
Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Waadillatuhu, (Gema Insani
2007), p. 85
21
Dikalangan Hanafiyah, wilayah al-wali dibagi menjadi dua:
pertama, wilayah hatm atau ijab (keharusan), yaitu bagi orang yang belum
dewasa dan orang gila meskipun telah dewasa. Kedua, wilayah Nadb atau
100

selama perempuan belum melahirkan anak apabila pernikahan

tersebut tidak dengan laki-laki yang se-kufu. Wali hanya

dibutuhka bagi sabiyy (orag yang belum dewasa). Denga

kedewasaan, hilanglah kekuasaan wali.22

Urutan wali menurut madzhab Hanafi, bahwa urutan

perwalian itu ditangan anak laki-laki yang mau menikah itu,

jika memang dia mempunyai anak, sekalipun hasil zina.

Kemudian berturut-turut: Cucu laki-laki (dari pihak laki-laki),

ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-

laki seayah, anak saudara laki-laki sekadung, anak saudara

laki-laki seayah, paman, anak paman, dan seterusnya.

2. Pemikiran Imam Maliki tentang wali dalam pernikahan

Dalam pandangan Maliki, wali nikah juga berhak

mengawinkan anak laki-laki dan perempuan kecil, serta laki-

laki dan wanita gila (yang ada di bawah perwaliannya) mam

Maliki juga menganggap bahwa tidak akan sah pernikahan

Istihbab (bersifat anjuran) yaitu bagi orang dewasa yang berakal sehat.
22
La Ode Ismail Ahmad, Wali nikah dalam pemikiran Fuqaha dan
Muhadditsin Kontemporer, (Jurnal Al-Maiyyah, vol 8 No. 1 Januari-juni
2015), p. 52
101

jika didalamnya tidak terdapat syarat sahnya pernikahan yaitu

wali.

Urutan wali dalam pandangan Maliki adalah Ayah,

penerima wasiat dari ayah, anak laki-laki (sekalipun hasil

zina) jika wanita tersebut punya anak, lalu berturut-turut:

Saudara Laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, kakek,

paman, dan seterusnya. Jika semuanya itu tidak ada maka

wali beralih ke tangan hakim.

3. Pemikiran Imam Syafi’i tentang wali dalam pernikahan

Menurut Imam Syafi’i bahwa suatu pernikahan dapat

dikatakan sah apabila pernikahan tersebut didalamnya

terdapat wali, karena wali dalam suatu akad pernikahan

adalah sebagai syarat sah nikah. Baik yang menikah itu

wanita dibawah umur atau sudah melakukan pernikahan

maupun wanita yang sudah baligh (dewasa), dimana jika

wanita tersebut menikah tanpa dengan walinya maka

nikahnya tidak sah.

Jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih

gadis, maka hak mengawinkannya ialah ada pada wali, akan


102

tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali

tidak boleh mengawinkan waita janda itu tanpa

persetujuannya. Dan sebaliknya wanita itupun tidak boleh

mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali.

Tidak ada kewalian bagi seseorang bersama bapak.

Apabila bapak meninggal, maka yang berhak menjadi wali

ialah nenek bapak dari bapak. Apabila ia meninggal, maka

yang menjadi wali nenek bapak dari nenek. Karena mereka

semua adalah bapak. Dan kewalian itu juga bukan mewarisi.

Dalam surat An-Nisa ayat 34 Allah berfirman :

‫ا‬%%َ‫ض َومِب‬ َ ‫َّل اللَّهُ َب ْع‬


ٍ ‫ض ُه ْم َعلَ ٰى َب ْع‬ ‫ن علَى الن ِ مِب‬%َ ‫ال َق َّوامو‬
َ ‫ِّساء َا فَض‬ َ َ ُ ُ ‫الر َج‬ ِّ
‫ا َحفِ َظ‬%%َ ‫ب مِب‬ ِ ‫ات لِْلغَْي‬% ِ
ٌ َ‫ات َحافظ‬
ِ
ٌ َ‫ات قَانت‬
‫ ِمن َأمواهِلِم ۚ فَ َّ حِل‬%‫َأْن َف ُقوا‬
ُ َ ‫الصا‬ ْ َْ ْ
ِ %‫روه َّن يِف الْمض‬%‫ج‬ ِ
‫اج ِع‬ َ َ ُ ُ %ُ ‫وه َّن َو ْاه‬% َ ‫اللَّهُ ۚ َوالاَّل يِت خَتَافُو َن نُ ُش‬
ُ %ُ‫وز ُه َّن فَعظ‬
‫ا َن‬%%‫بِياًل ۗ ِإ َّن اللَّهَ َك‬% %‫وا َعلَْي ِه َّن َس‬%% ُ‫م فَاَل َتْبغ‬%ْ ‫ِإ ْن َأطَ ْعنَ ُك‬% %َ‫وه َّن ۖ ف‬
ُ ُ‫ ِرب‬% %‫ض‬
ْ ‫َوا‬
)٣٤ : ‫ (النساء‬%‫َعلِيًّا َكبِ ًريا‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab
itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
103

Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu


khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”23

Menurut ulama Syafi’i yang mengharuskan adanya

wali dalam pernikahan ayat di atas menunjukkan kepada para

wali anak perempuan, sehingga seorang wali mempunyai

otoritas penuh atas anak perempuannya untuk menikahkan.

Dalam hadis disebutkan juga pernikahan tanpa wali,

tidak dianggap sah oleh syari’at. Hal itu diperkuat hadis yang

diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra:

“Seorang perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya


maka nikahnya batal, disebutkan tiga kali. Jika sang sumi
telah bersenggama dengannya maka perempuan tersebut
berhak mendapatkan mahar karena untuk menghalalkan
kemaluanya. Jika terjadi perselisihan maka pemimpinlah wali
bagi yang tidak mempunyai wali.”

Hadis diatas jelas menjelaskan dalam posisi wali

dalam pernikahan sebagai syarat sahnya suatu pernikahan,

dan oleh karenanya wali adalah bagian dari rukun pernikahan.

23
Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta, CV.
Pustaka Agung Harapan, 2006), p. 3
104

Tidak adanya wali dalam pernikahan mengakibatkan tidak

sahnya pernikahan.

Aka tetapi hadis tersebut tidak boleh dipahami bahwa

pernikahan tanpa wali itu sekedar kurang sempurna, sebab

sabda nabi SAW harus dipahami sebagai hakikat syari’at

melainkan dengan seorang wali. sedangkan pernikahan yang

sah hanya dengan ijin wali, karena hal itu sudah umum

dilakukan. Juga tidak dapat di pahami, karena pada umumnya

perempuan menikahkan dirinya sendiri tanpa izin walinya.24

Oleh karena itu, wali dalam pernikahan harus ada dan

menikahkan, jika tidak ada wali dalam nikah maka suatu

pernikahan itu di anggap tidak sah (batal), untuk wali dalam

pernikahan menurut madzhab Syafi’i meski dengan

persetujuan wali, dan persetujuan perempuan tidak

diperlukan. Jikalau wali itu menginginkan sesuatu, maka

haruslah perempuan itu mengkabulkan keinginan wali

tersebut. Jika dilihatnya wanita itu membawa sekufu

(sebanding), maka tidak boleh wali itu melarang perempuan

24
Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Wqadillatuhu, (Gema Insani
2007), p.84
105

tersebut dengan lelaki yang diinginkanya tersebut. Dan kalau

wanita itu tidak membawa sekufu maka wali berhak melarang

menikahkanya.25

Jumhur ulama berkata bahwa pernikahan tidak

terlaksana dengan ungkapan dari kalangan perempuan. Jika

ada seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri atau

menikahka orang lain, atau mewakilkan kewalian atas dirinya

kepada orang lain untuk menikahkannya sekalipun dengan

seijin walinya maka pernikahannya tidaklah sah.

Dengan demikian, menurut madzhab Syafi’i bahwa

persetujuan suatu pernikahan yang mesti ada wali hanya

wanita yang masih kecil dan wanita yang sudah baligh,

sedangkan wanita yang masih kecil tetapi sudah melakukan

perkawinan, maka kawinnya tidak perlu memerlukan wali,

karena mereka sudah cukup untuk melakukan tindakan

hukum tanpa adanya wali, seperti jual beli dimana jual beli ali

tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaannya, namun yang

berhak menentukan pilihanya ialah wanita itu sendiri.26


25
Al-Imam As-Syafi’i R.A, Al-Umm Jilid 7, p. 150
26
Sumiroh, Pengaruh Madzhab Syafi’i dalam perkainan di Indonesia,
(SKRISPI) STAIN “Sultan Maulana Hasanuddin Banten” p.50
106

Dalam buku Syarh bulughul Marom, Madzhab Zahiri

mengatakan bahwa: “wali mempunyai kedudukan yang

dominan dalam menikahkan perawan, karena ada hadis yang

menyebutkan “janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri.”

Tetapi abu saur mengatakan bahwa seorang wanita boleh

menetujui dirinya dengan seijin walinya.

Damir atau kata ganti yang terdapat dalam teks

Fainisy Tajaru’(jika mereka bersitegang) merujuk kepada

wali mempelai wanita, karena mereka tidak mau menikahkan

mempelai wanita yang hak perwaliannya berada ditangan

mereka. Dengan demikian hak perwalian dialihkan kepada

sultan atau pejabat yang berkopenten dalam masalah ini, jika

wali yang terdekat dengan mempelai wanita menolak.

Namun, pendapat lain menyebutkan bahwa hak perwalian

beralih kepada kerabat mempelai wanita yang jauh.27

27
Rasyid Salim, Syarah Bulughul Maram, (Penerbit Nuansa Aulia,
cet. 1) p., 255
107

Anda mungkin juga menyukai