Anda di halaman 1dari 9

NAMA : SYAMSUL HUDA

KELAS : C

MATKUL : REKAYASA PRODUKSI PERTANIAN

Tanaman transgenik adalah tanaman hasil rekayasa genetik yang diperoleh dengan
bantuan bioteknologi. Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
(BBiogen), yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(Balitbangtan) memiliki salah satu mandat yaitu mengembangkan varietas unggul dengan
bantuan bioteknologi.

Prinsip dasar tentang pembuatan tanaman transgenik penting untuk dipahami agar tidak
terjadi salah paham dan asumsi-asumsi negatif yang dapat merugikan penggunaan produk
rekayasa genetik ini.

Pada dasarnya, teknologi rekayasa genetik terkait dengan perubahan genetik pada inang.
Perubahan genetik ini sebenarnya dapat terjadi secara alami. Contoh paling sederhana adalah
persilangan antara dua individu yang menghasilkan anakan yang memiliki materi genetik dari
tetuanya.

DNA (Deoxyribonucleic acid atau asam deoksiribonukleat)

Perubahan genetik pada individu berhubungan dengan perubahan DNA pada individu
tersebut. DNA merupakan molekul dalam sel yang dapat membentuk satuan gen yang
merupakan unit pewaris sifat bagi organisme seperti warna mata, warna mahkota bunga, besar
buah dan lainnya.

DNA memiliki untai ganda, bermuatan negatif karena gugus fosfat, sensitif terhadap
perubahan pH dan banyak memiliki domain untuk berikatan dengan molekul lain (DNA, RNA
atau protein).

Gen biasanya diturunkan (diwariskan) dari satu individu ke anakannya melalui proses
DNA rekombinasi yang biasanya terjadi pada saat pembelahan sel pada perkembangan
makhluk hidup.
DNA ini dapat dimodifikasi. Urutannya bisa diubah, ditambah atau dikurangi, sehingga
sifat yang dibawa oleh gen juga akan berubah. Artinya, individu tersebut bisa memiliki
penampakan atau sifat yang berbeda.

Misalkan, bila individu berupa tanaman padi yang rentan terhadap kekeringan ditambah
dengan gen yang membawa sifat tahan kekeringan, maka tanaman padi tersebut menjadi tahan
terhadap kekeringan.

Untuk memodifikasi DNA, digunakan bahan bahan yang berasal dari alam seperti enzim
restriksi yang dapat memotong DNA, ligase yang dapat menggabungkan DNA dan lainnya.
Sehingga, mekanisme yang berlangsung akan meniru mekanisme yang terjadi dalam sel
secara alami.

Seleksi genetik untuk pemuliaan tanaman (perbaikan kualitas/sifat tanaman) telah


dilakukan sejak tahun 8000 SM ketika praktik pertanian dimulai di Mesopotamia. Secara
konvensional, pemuliaan tanaman dilakukan dengan memanfaatkan proses seleksi dan
persilangan tanaman dengan waktu yang cukup lama dan hasil tidak menentu bergantung dari
mutasi alamiah secara acak. Contoh hasil pemuliaan tanaman konvensional adalah durian
montong. Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika
bakteri Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya
ke dalam tanaman. Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang
disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia. Sejak
saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan peningkatan
tanaman terus dilakukan manusia. Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan
dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Keduanya diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat
pada tahun 1996 (Sugianto, 2017).

Prinsip tanaman transgenik adalah mengisolasi gen yang diinginkan untuk kemudian
ditransfer ke tanaman dengan sistem transformasi genetik serta karakterisasi secara molekuler
dan biokimiawi untuk membentuk sifat baru pada tanaman. Gen yang digunakan dalam
pembuatan tanaman transgenik adalah gen yang mewakili sifat yang ingin dimunculkan pada
tanaman dan umumnya berasal dari virus, bakteri, jamur, maupun hewan. Gen tersebut
kemudian diisolasi untuk kemudian disisipkan ke genom tanaman setelah sebelumnya
dikonstruksikan ke dalam vector plasmid yang juga mengandung gen marka di dalamnya.
Proses tersebut berlanjut hingga tanaman beregenerasi dengan organogenesis atau
embryogenesis. Setelah itu, dilakukan karakterisasi tanaman secara molekuler dan biokimia
untuk menyelidiki perkembangan gen yang ditransformasi dan menentukan berfungsinya gen
tersebut. Karakterisasi sifat baru yang muncul pada tanaman dilanjutkan di rumah kaca dan
dapat dilakukan persilangan genetik untuk mengetahui apakah sifat baru tersebut dapat
diturunkan (Susilo, 2019).

Transgenik terdiri dari kata trans yang berarti pindah dan gen yang berarti pembawa
sifat. Jadi transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk hidup kemakhluk hidup
lainnya, baik dari satu tanaman ketanaman lainnya, atau dari gen hewan ke tanaman.
Transgenik secara definisi adalah the use of gene manipulation to permanently modify the cell
or germ cells of organism (penggunaan manipulasi gen untuk mengadakan perubahan yang
tetap pada sel makhluk hidup). Teknologi transgenik atau kloning juga dilakukan pada dunia
peternakan, separti domba dolly yang diambil dari gen sel ambing susu domba yang
ditransplantasikan ke sel telurnya sendiri. Pada ikan-ikan teleostei, menghasilkan ikan yang
resisten terhadap pembusukan dan penyakit.

Tanaman transgenik pertama kalinya dibuat tahun 1973 oleh Herbert Boyer dan Stanley
Cohen. Pada tahun 1988 telah ada sekitar 23 tanaman transgenik, pada tahun 1989 terdapat
30 tanaman, pada tahun 1990 lebih dari 40 tanaman. Secara sederhana tanaman transgenik
dibuat dengan cara mengambil gen-gen tertentu yang baik pada makhluk hidup lain untuk
disisipkan pada tanaman, penyisipaan gen ini melalui suatu vector (perantara) yang biasanya
menggukan bakteri Agrobacterium tumefeciens untuk tanaman dikotil atau partikel gen untuk
tanaman monokotil, lalu diinokulasikan pada tanaman target untuk menghasilkan tanaman yang
dikehendaki. Tujuan dari pe-ngembangan tanaman transgenik ini diantaranya adalah (1).
menghambat pelunakan buah (pada tomat); (2). tahan terhadap serangan insektisida, herbisida,
virus; (3). meningkatkan nilai gizi tanaman, dan (4). meningkatkan kemampuan tanaman untuk
hidup pada lahan yang ektrem seperti lahan kering, lahan keasaman tinggi dan lahan dengan
kadar garam yang tinggi. Antara tahun 1996-2001 telah terjadi peningkat an yang sangat
dramatis dalam adopsi atau penanaman tanaman GMO (Genetically Modified Organism) di
seluruh dunia. Daerah penanaman global tanaman transgenik meningkat dari sekitar 1,7 juta ha
pada tahun 1996 menjadi 52,6 juta ha pada tahun 2001.

Peningkatan luas tanam GMO tersebut mengindikasikan semakin banyaknya petani yang
menanam tanaman ini baik di negara maju maupun di  negara berkembang. Sebagian besar
tanaman transgenik ditanam di negara-negara maju. Amerika Serikat sampai sekarang
merupakan negara produsen terbesar di dunia. Pada tahun 2001, sebanyak 68% atau 35,7 juta
ha tanaman transgenik ditanam di Amerika Serikat. Sampai saat ini, kedelai merupakan produk
GMO terbesar yaitu 33,3 juta ha atau sekitar 63% dari seluruh tanaman GMO. Kedelai tahan
herbisida banyak ditanam di AS, Argentina, Kanada, Meksiko, Rumania dan Uruguay. Jagung
merupakan tanaman GMO terbesar kedua yang ditanam yaitu seluas 9,8 juta ha sedangkan
luas tanaman kapas GMO yang ditanam adalah sekitar 6,8 juta ha . Sifat yang terdapat dari
tanaman GMO pada umumnya adalah resisten terhadap herbisida, pestisida, hama serangga
dan penyakit serta untuk meningkatkan nilai gizi seperti yang terlihat di tabel di bawah ini.

Perkembangan tanaman transgenik di Indonesia


Indonesia merespon perkembangan tanaman transgenik pada tahun 1986
dengan mengeluarkan kebijakan untuk mendirikan pusat penelitian bioteknologi, yang
dikenal dengan Pusat Antar Universitas di IPB, UGM, dan ITB, disamping BB Libang
Bioteknologi, dan LIPI. Di Indonesia, produk pertanian atau pangan transgenik masih
berada di tataran riset dan pengembangan, belum pada tataran komersialisasi secara
besar-besaran. Padahal di dalam UU No.7/1996 tentang Pangan disebutkan penggunaan
produk pangan transgenik diperbolehkan di Indonesia. UU itu bahkan diperkuat dengan PP
No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan juga PP No. 28/2004 tentang Keamanan Mutu
dan Gizi Pangan yang menjelaskan definisi produk pangan transgenik, pemeriksaan
keamanan, serta persyaratan dan tata cara pemeriksaan pangan produk rekayasa genetika.

Disamping iu juga dilakukan kerjasama dengan lembaga luar negeri dengan


menghasilkan tanaman transgenik seperi kentang tahan Potato Tuber Moht (PTM). Kendala
yang dihadapi dalam perakitan tananam transgenik adalah perlu biaya yang besar, peralatan
laboratorium yang modern, sumberdaya manusia yang tanggguh dan handal, serta adanya
hak kekaayan intelektual, seperti gen interes pada gen Bt dan metode tranformasi seperti
.A umifaciens. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan memanfaakan fasiltator seperti
Agricultural Biotechnology for support Project (ABSP) atau International Service of
Acquisitio for Agrobiotech Application (ISAAA).
Tabel 1. Riset tanaman transgenik komoditi pertanian di Indonesia

Tanaman Karakteristik Gen Instusi

Jagung Tahan pengerek batan Protease inhibior II Balitbio


Kacang tanah Tahan virus Coat protein Balitbio. PPB IPB
Coklat Tahan frui borer Bt Biotek Park
Padi Tahan pengerek batang Bt Biotek LIPI,
balitbio
Kentang Patato Tumber Moht Bt Balitbio, Michigan

Keuntungan menanam tanaman transgenik

Hama serangga yang menyerang tanaman, secara konvensional dibasmi dengan


memakai insektisida (bahan kimia), atau dengan cara menggunakan predator, namun kedua
cara ini belum efisien. Penggunaan insektisida dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan,
disamping itu penggunaan insektisida juga dapa mengakibakan tergangunya kesehatan
manusia, yang lebih berbahaya adalah munculnya hama yang tahan terhadap
insektisida tersebut, sehingga hama tersebut tidak pernah dapat dibasmi. Terakhir,
penggunaan insektisida dalam membasmi hama akan menambah biaya produksi. Kelebihan
tanaman transgenik adalah hama akan terbasmi sendiri tanpa harus menggunakan insektisida
dalam jumlah besar. Kerusakan lingkungan akibat tercemarnya bahan kimia, biaya produksi
dapat ditekan karena tidak membeli pestisida. Contoh di lapangan, tanaman kapas transgenik
di Argetina memerlukan 63 % lebih rendah daripada tanaman kapas biasa, di
Caroline mencapai 72 % lebih rendah, namun di New jersey hanya menurunkan 30 %
penggunaan insektisida. Jadi, lokasi penanaman mempengaruhi performa tanaman transgenik.

Kekhawatiran tanaman transgenik

Disamping banyak keuntungan yang diperoleh dari pemanfataan tanaman transgenik,


ada beberapa dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh adanya tanaman ini, khususnya
terhadap lingkungan (Muladno, 2010), sehingga ini dijadikan isu oleh aktivis lingkungan
seperti :

1. Munculnya hama target yang tahan terhadap insekisida


Tanaman transgenik yang di rancang dapat membasmi hama perusak (target) dapat
berbalik menjadikan hama menjadi tahan terhadap insekisida. Ini memang fenomena
umum yang dapat terjadi pada semua tanaman, baik transgenik maupun nontransgenik.

2. Munculnya efek samping terhadap hama nontarget.


Gen yang disisipkan dalam tanaman transgenik dapat membunuh serangga lain yang
secara alami menguntungkan tanaman tersebut.

3. Terjadinya silang luar


Adanya fertilisasi antara tanaman transgenik dan nontransgenik lain khususnya gulma.
Jika ini terjadi ada peluang munculnya supergulma yang tahan terhadap herbisida.

4. Ada efek kompensasi


Tanaman transgenik yang tahan terhadap serangan hama tertentu, dapat mengakibatkan
berkembangnya hama lain.

Solusi Untuk Tanaman Transgenik di Indonesia

Pertumbuhan penduduk Indonesia yang selalu tumbuh, dengan jumlah penduduk 265
juta orang, diperlukan ketersedian pangan yang cukup, distribusi pangan mudah, dan harga
yang terjangkau oleh masyarakat. Tanaman transgenik adalah salah satu usaha dalam
menyelesaikan permasalahan pangan, khususnya di bidang pertanian. Prinsip kehati-hatian
yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan menjaga keberlanjutan kelestarian lingkungan,
teknologi tanaman transgenik dapat diterapkan di Indonesia.

Teknologi tanaman transgenik banyak digunakan oleh negara lain, dan produknya
juga masuk di Indonesia. Produk pertanian transgenik, seperti: kedelai, jagung, dan kapas,
hampir tiap hari dipakai oleh masyarakat Indonesia, dan masih aman untuk dikonsumsi.
Berdasarkan kondisi tersebut, sebagai sebuah solusi untuk meningkatkan produktivitas
pertanian adalah menerapkan teknologi tanaman transgenik di sektor pertanian, impor produk
pangan dapat bekurang. Seperti yang dilakukan di Philipina, dengan pengaturan pola tanam
80 % transgenik dan 20 % non transgenik. Hal ini sesuai dengan penelitian Deswita dkk
(2015), yang menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan produk tanaman transgenik harus
mengacu pada konsep pembangunan pertanian berkelanjutan, dengan memberikan contoh
kasus pengelolaan Padi Bt PRG yang berdasarkan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu
dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan.

Teknologi ini dapat diterapkan dengan syarat: aplikasi tanaman transgenik di


lapangan perlu manajemen yang dapat mengatur pola tanam tanaman transgenik dan non
transgenik, penyediaan bibit tanaman transgenik dikendalikan dalam bentuk paket kemasan
benih, perlunya kepastian hukum, dukungan pemerintah terhadap produk transgenik, dan
evaluasi rutin terhadap penerapan teknologi tanaman transgenik.

Jenis-jenis Tanaman Transgenik


(a). Tanaman Transgenik Tahan Kekeringan, tanaman tahan kekeringan memiliki akar
yang sanggup menembus tanah kering, kutikula yang tebal sehingga mengurangi kehilangan
air dan kesanggupan menyesuaikan diri dengan garam di dalam sel. Tanaman toleran
terhadap kekeringan ditransfer dari gen kapang yang mengeluarngkan enzim trehalose.
Tembakau adalah salah satu tanaman yang dapat toleran terhadap suasana kekeringan. 

(b). Tanaman Transgenik Resisten Hama, terdapat Bacillus thuringiensis yang


menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri memberntuk spora.
Dalam bentuk spora, berat toksin mencapai 20% dari berat spora. Apabila larva serangga
memakan spora, maka di dalam alat pencernaan larva serangga tersebut, spora bakteri pecah
dan mengeluarkan toksin. Toksin yang masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva
mengakibatkan sistem pencernaan tidak berfungsi dengan baik dan pakan tidak dapat
diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian diekstrak
dan dimurnikan, makan akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida) dalam bentuk
kristal. Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenik pertama yang
menggunakan gen BT toksin. Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt
toksin, tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi yang menghasilkan
gen yang menonaktifkan ampisilin. Pada jagung juga direkayasa adanya resistensi herbisida
dan resistensi insektisida sehingga tanaman transgenik jagung memiliki berbagai jenis
resistensi hama tanaman. Gen Bt toksin juga direkayasa ke tanaman kapas,
bahkan multiplegene dapat direkayasa genetika pada tanaman transgenik. Toksin yang
diproduksi dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahahari,
khususnya sinar ultraviolet.
(c). Tanaman Transgenik Resisten Penyakit dimana perkembangan yang signifikan
juga terjadi pada usaha untuk memproduksi tanaman transgenik yang bebas dari serangan
virus. Dengan memasukkan gen penyandi tanaman terselubung (coat protein) Johnson grass
mosaic poty virus  (JGMV) ke dalam suatu tanaman, diharapkan tanaman tersebut menjadi
resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan. Potongan DNA dari JGMV, misalnya
dari protein terselubung dan protein nuclear inclusion body (Nib) mampu diintegrasikan pada
tanaman jagung dan diharapkan akan menghasilkan tanaman transgenik yang bebas dari
serangan virus. Virus JGMV menyerang beberapa tanaman yang tergolong dalam
famili Graminae seperti jagung dan sorgum yang menimbulkan kerugian ekonomi yang
cukup besar. Gejala yang ditimbulkan dapat diamati pada daun berupa mosaik, nekrosa atau
kombinasi keduanya. Akibat serangan virus ini, kerugian para petani menjadi sangat tinggi
atau bahkan tidak panen
Sumber : https://lordbroken.wordpress.com/.../penggunaan-rekayasa-genetik

https://distan.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/tanaman-transgenik-dan-jenisnya-34
Susilo, H. (2019). ANALISIS POTENSI BUDIDAYA TANAMAN TRANSGENIK DI INDONESIA. Jurnal Lingkungan Dan
Sumberdaya Alam (JURNALIS), 2(1), 65-74. Retrieved from
http://ejournal.lppm-unbaja.ac.id/index.php/jls/article/view/535

Anda mungkin juga menyukai