3. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan, dikatakan oleh Detels, et al. (2015, p.234) berfungsi untuk mencegah
atau memperlambat onset kecacatan atau kematian, meredakan atau mengendalikan nyeri
atau penderitaan dan menyediakan informasi mengenai diagnosis dan prognosis.
Pelayanan kesehatan yang dimaksud dapat berupa dokter, perawat, bidan ataupun staf
administrasi yang bekerja di rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan primer atau praktek
pribadi.
Menjawab pertanyaan soal pemicu pada bab satu bahwa pelayanan kesehatan mungkin
pengaruhnya tidak sebesar lingkungan dan perilaku sehat terhadap status kesehatan,
namun semenjak memasuki abad ke-20, dimana penggunaan evidence-based medicine
seperti aplikasi intervensi berdasarkan hasil sebuah RCT digunakan, efektivitas pelayanan
kesehatan dapat dinilai dari rendahnya angka kematian ataupun cakupan imunisasi (Detels,
et al., 2015, pp.244-6). Donaldson dan Rutter (2017, p.171) menegaskan bila pelayanan
kesehatan harus berfungsi lebih dari sekedar menunggu pasien datang dan bergerak
proaktif untuk menangani masalah sebelum masalah itu ada dan mencari berbagai
determinan kesehatan yang berpengaruh dalam masyarakat. Pelayanan kesehatan dapat
berfungsi sebagai pengawas indikator, evaluasi efektivitas suatu intervensi dan penilaian
baiknya sebuah pelayanan kesehatan dalam populasi tertentu (Detels, et al., 2015, p.244).
Mahendradhata, et al. (2017, pp.212-238) membuat sebuah laporan evaluasi mengenai
tingkat kepuasan pasien, akses ke fasilitas kesehatan, distribusi tenaga kesehatan, angka-
angka indikator kesehatan dan distribusi dana dalam pelayanan kesehatan. Dalam laporan
evaluasi tersebut, Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dalam pelayanan
kesehatannya, namun masih banyak sektor-sektor yang harus ditingkatkan, seperti
pemerataan tenaga kerja, peningkatan efisiensi penggunaan dana kesehatan untuk usaha
preventif promotif dibandingkan kuratif dan kontrol jaminan kesehatan nasional yang
merata. Pemerataan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia akan meningkatkan
kesehatan masyarakat secara menyeluruh
4. Genetik
Karakteristik pribadi setiap orang, seperti jenis kelamin, usia dan ras, merupakan salah
satu penentu tingkat kesehatan masyarakat (Wibowo, 2015, p.26 dan Donaldson dan
Rutter, 2017, pp.161-2). Ariani, Soeharso dan Sjarif (2017, p.105) menyatakan bila
kelainan genetik masih belum dianggap sebagai masalah yang serius, namun data dari
WHO menunjukan bila 11% dari kematian anak di bawah 5 tahun disebabkan oleh
kelainan kongenital (WHO, 2015).
Menurut H.L Blum, faktor genetika memberikan pengaruh terhadap kesehatan individu,
walaupun faktor lingkungan dan gaya hidup adalah faktor penting secara umum, namun
ada beberapa kondisi tertentu dimana faktor genetika inilah yang sangat mempengaruhi
kesehatan individu. Kelainan genetik yang paling sering ditemukan adalah Down
Syndrome (78.6%) berdasarkan hasil pemeriksaan kromosom 103 pasien dengan
gangguan malformasi kongenital, selain itu juga umum ditemukan gangguan pembentukan
lempeng saraf, thalasemia dan defisiensi G6PD (Ariani, Soeharso dan Sjarif, 2017, p.105).
Penyakit tidak menular yang juga diketahui dapat diwarisi sifatnya seperti hipertensi,
stroke, gangguan jantung, kanker, asma dan diabetes mellitus juga terus mengalami
peningkatan dalam prevalensi (Riskesdas, 2007 dan Riskesdas, 2013).
Genetik dalam kesehatan masyarakat memiliki peran penting dalam proses deteksi dini,
skrining dan evaluasi faktor resiko, prediksi penyakit dan prediksi efek farmakogenetik.
Namun utilisasi proses ini masih perlu melalui berbagai proses kritisi dari berbagai aspek,
seperti aspek feasibility , etika dan hukum yang berlaku (Detels, et al., 2015, pp.141-50)
Faktor genetik sebagai determinan kesehatan di Indonesia masih belum mendapatkan
perhatian bila dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya (Ariani, Soeharso dan Sjarif,
2017, p.108). Hal ini disebabkan ilmu mengenai genetika masih belum mendapatkan
kodifikasi sendiri, miskonsepsi genetika, kurangnya tenaga pendidik dan kurangnya
kepercayaan diri dari petugas kesehatan sendiri (Wibowo, 2015, pp.27-8).
Mengingat bahwa biaya untuk menangani penyakit genetik ini sangatlah besar sehingga
dengan melalui konseling genetik dapat memprediksi pasangan memiliki faktor risiko
penyakit genetik dan dapat mencegah pengeluaran biaya besar untuk penanganan penyakit
genetik, sehingga sangat diharapkan kepada pelaku kebijakan di Indonesia untuk menaruh
perhatian dalam kebijakan kesehatan nasional terhadap pelayanan konseling genetik