Anda di halaman 1dari 7

LEMBAR TUGAS MAHASISWA

KESEHATAN MASYARAKAT INTERMEDIATE


DETERMINAN KESEHATAN
MAHENDRA DUTA APRIONO
NPM 2206004213

KONSEP DETERMINAN KESEHATAN


WHO menyatakan bahwa kesehatan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berinteraksi dengan individu dan kesehatannya saja. WHO mengakui bahwa faktor sosial,
politik, geografis, kultural, dan pendidikan turut menjadi penentu luaran perilaku kesehatan
dan derajat kesehatan sebuah komunitas. Faktor-faktor ini kemudian disebut sebagai
determinan kesehatan.
Pada akhir abad ke 20, negara berkembang ditengarai sebagai komunitas dengan kesenjangan
kesehatan yang besar dan memiliki determinan yang sangat kompleks. Indonesia, mendapatkan
kesempatan menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Promosi Kesehatan IV pada 21 – 25
Juli 1997. Inti rekomendasi dari konferensi ini adalah himbauan untuk menginvestasikan
kesehatan sebagai modal dasar produktifitas sebuah negara dan penentu outcome kesehatan
dunia. Peserta konferensi ini kemudian bersepakat untuk mendeklarasikan aksi kesehatan dan
dengan mengidentifikasi kembali determinan kesehatan sebagai langkah strategis
pembangunan kesehatan yang memperhatikan situasi lokal untuk mencapai luaran kesehatan
dalam skala global.
Kerangka konsep determinan kesehatan yang diterima luas dewasa ini adalah bahwa tingkat
kesehatan individu dan distribusi kesehatan yang adil dalam populasi ditentukan oleh banyak
faktor yang terletak di berbagai level. Dahlgren dan Whitehead (1991) menggambarkan
determinan sosial kesehatan terletak di berbagai level dalam model eko-sosial kesehatan
(Gambar 1). Perhatikan bahwa pelayanan kesehatan bukan satu-satunya determinan kesehatan,
melainkan hanya salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan individu dan
populasi.
Gambar 1 Model determinan eko-sosial kesehatan.
Sumber: Dahlgren and Whitehead (1991)
Lapisan pertama (level mikro, hilir/ downstream) determinan kesehatan meliputi perilaku dan
gaya hidup individu, yang meningkatkan ataupun merugikan kesehatan, misalnya pilihan untuk
merokok atau tidak merokok. Pada level mikro, faktor konstitusional genetik berinteraksi
dengan paparan lingkungan dan memberikan perbedaan apakah individu lebih rentan atau lebih
kuat menghadapi paparan lingkungan yang merugikan. Perilaku dan karakteristik individu
dipengaruhi oleh pola keluarga, pola pertemanan, dan norma-norma di dalam komunitas
Lapisan kedua (level meso) adalah pengaruh sosial dan komunitas, yang meliputi norma
komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas, modal sosial, jejaring sosial, dan sebagainya.
Faktor sosial pada level komunitas dapat memberikan dukungan bagi anggota-anggota
komunitas pada keadaan yang menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang ada
pada level komunitas dapat juga memberikan efek negatif bagi individu dan tidak memberikan
dukungan sosial yang diperlukan bagi kesehatan anggota komunitas
Lapisan ketiga (level ekso) meliputi faktor-faktor struktural: lingkungan pemukiman/
perumahan/ papan yang baik, ketersediaan pangan, ketersediaan energi, kondisi di tempat
bekerja, kondisi sekolah, penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, akses terhadap
pelayanan kesehatan yang bermutu, akses terhadap pendidikan yang berkualitas, lapangan
kerja yang layak
Lapisan terluar (level makro, hulu/ upstream) meliputi kondisi-kondisi dan kebijakan makro
sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya, serta lingkungan fisik. Termasuk faktor-faktor
makro yang terletak di lapisan luar adalah kebijakan publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan
politik, hubungan internasional/ kemitraan global, investasi pembangunan ekonomi,
peperangan/ perdamaian, perubahan iklim dan cuaca, eko-sistem, bencana alam (maupun
bencana buatan manusia/ man-made disaster seperti kebakaran hutan)
PENGERTIAN DETERMINAN KESEHATAN
Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui pembangunan di bidang kesehatan diharapkan
akan semakin meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan dapat
dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara memadai (SKN ). Akses terhadap pelayanan
yang masih rendah tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua faktor penentu
(determinan) yaitu determinan pelayanan dan determinan permintaan.
Determinan penyediaan terdiri atas organisasi pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat
pelayanan, ketersediaan, pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta mutu
pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor pengguna meliputi
rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta tingkat pendapatan
masyarakat yang rendah atau miskin. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu, kelompok,
dan komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi penuh dari individu, baik secara
fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi, pemenuhan ekspektasi peran seorang dalam
keluarga, komunitas, tempat bekerja, dan realisasi kebijakan makro yang dapat memperbaiki
kondisi lingkungan makro.
Pada tahun 1986, WHO dalam Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan (the Ottawa Charter
for Health Promotion) menegaskan bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia (human
right). Di samping itu, sesuai dengan model kesehatan Dahlgren dan Whitehead (1991), Piagam
Ottawa menegaskan bahwa untuk menciptakan kesehatan individu dan populasi dibutuhkan
sejumlah prasyarat. Prasyarat tersebut meliputi perdamaian, sumberdaya ekonomi yang cukup,
pangan dan papan yang cukup, ekosistem yang stabil, serta penggunaan sumberdaya yang
berkelanjutan. Rencana Aksi Kegiatan Pusat Analisis Determinan Kesehatan 3 Dengan
memahami prasyarat terjadinya kesehatan dapat disimpulkan, kesehatan tidak dapat dipisahkan
hubungannya dengan kondisi sosial ekonomi, lingkungan fisik, perilaku dan gaya-hidup
individu. Hubungan tersebut memberikan pemahaman yang holistik dan sistemik tentang
kesehatan. Holistik dalam arti kesehatan individu yang ingin ditingkatkan meliputi aspek
biopsikososial. Sistemik dalam arti kesehatan individu dan populasi dipengaruhi oleh faktor-
faktor pada berbagai level, yang tertata dalam suatu sistem di masing-masing level, dan lintas
level, suatu paradigma yang disebut “ekoepidemiologi” (Susser dan Susser, 2001). Implikasi
bagi kebijakan, diperlukan kebijakan publik yang sehat (“healthy public policy”), yakni
kebijakan publik yang secara langsung maupun tidak langsung (melalui perubahan dan
perbaikan determinan kesehatan pada level makro) dapat meningkatkan kesehatan individu dan
kesehatan kolektif komunitas, serta menciptakan distribusi kesehatan yang adil.
DETERMINAN KESEHATAN INDONESIA
1. Lingkungan
Lingkungan tempat dimana manusia bertempat tinggal atau bekerja memiliki dampak
langsung kepada kesehatannya. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana mekanisme
lingkungan dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan masyarakat baik
pada penyakit menular ataupun tidak menular, harus diketahui bahwa faktor lingkungan
sebagai determinan kesehatan memiliki cakupan yang sangat luas berupa udara, air, iklim,
polusi, kebisingan di tempat kerja sampai keamanan dari lingkungan tempat tinggal
(Wibowo, 2015, p.42; Donaldson dan Rutter, 2017, pp.162-3; Detels, et al., 2015, p.81).
Air dan sanitasi merupakan komponen yang vital dalam kehidupan manusia dan
penyebaran infeksi. Sebelum adanya proses sanitasi yang baik, parasit, protozoa, bakteri
dan virus dapat dengan mudah tersebar dan menginfeksi populasi dalam skala besar. Selain
itu air juga dapat menjadi media dimana zat-zat kimia yang bersifat toksik tersimpan.
Diare, tifus, trakoma hingga malnutrisi merupakan kondisi atau penyakit yang timbul
akibat pengelolaan air dan sanitasi yang buruk.
Makanan, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan seseorang dalam jangka panjang. Konsumsi makanan tinggi
garam atau gula dan mudahnya mendapatkan makanan tersebut berkontribusi pada
tingginya insidensi obesitas dan hipertensi yang berujung pada stroke dan gangguan
jantung. Paparan bunyi keras, bahan kimia hingga radiasi dari tempat tinggal dan tempat
kerja berpengaruh pada kesehatan pekerja. Isu pemanasan global dan perubahan iklim
yang terjadi juga merupakan faktor yang berkaitan dengan kematian akibat infeksi sistem
pernapasan atau gangguan sistem kardiovaskuler. (Detels, et al., 2015, pp.161-230;
Donaldson dan Rutter, 2017, pp.120-142).
2. Perilaku
Pengertian Perilaku menurut Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (1993) menyatakan bahwa
perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan
dapat dipelajari. Di dalam proses pembentukan atau perubahan perilaku tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri.
Faktor-faktor itu sendiri antara lain seperti persepsi, motivasi, proses belajar, lingkungan
dan sebagainya.
Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors)
Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku
seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya. Misalnya seorang ibu mau menggunakan alat kontrasepsi karena ibu tersebut
tahu dengan menggunakan alat kontrasepsi kelahiran anak dapat dibatasi. Tanpa adanya
pengetahuan-pengetahuan seperti ini mungkin ibu tersebut tidak akan menggunakan alat
kontrasepsi.
Faktor-faktor pendukung (Enabling factors)
Adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan.
Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah sakit, obat-obatan,
alat-alat kontrasepsi dan sebagainya.
Faktor-faktor penguat (Reinforcing factors)
Adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadangkadang,
meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.
Misalnya seorang ibu mengetahui banyak sekali manfaat yang Rencana Aksi Kegiatan
Pusat Analisis Determinan Kesehatan 16 dapat diperoleh dengan menggunakan alat
kontrasepsi tetapi ibu tersebut tidak menggunakan alat kontrasepsi karena, ibu lurah atau
ketua RT yang ada di desa mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi dan tetap sehat dan
dapat mengurus anak dengan baik. Hal ini berarti, bahwa untuk berperilaku sehat
memerlukan contoh dari para tokoh masyarakat. Dari defenisi diatas dapat disimpulkan
bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas dan sikap dan perilaku petugas
kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya
perilaku.

3. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan, dikatakan oleh Detels, et al. (2015, p.234) berfungsi untuk mencegah
atau memperlambat onset kecacatan atau kematian, meredakan atau mengendalikan nyeri
atau penderitaan dan menyediakan informasi mengenai diagnosis dan prognosis.
Pelayanan kesehatan yang dimaksud dapat berupa dokter, perawat, bidan ataupun staf
administrasi yang bekerja di rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan primer atau praktek
pribadi.
Menjawab pertanyaan soal pemicu pada bab satu bahwa pelayanan kesehatan mungkin
pengaruhnya tidak sebesar lingkungan dan perilaku sehat terhadap status kesehatan,
namun semenjak memasuki abad ke-20, dimana penggunaan evidence-based medicine
seperti aplikasi intervensi berdasarkan hasil sebuah RCT digunakan, efektivitas pelayanan
kesehatan dapat dinilai dari rendahnya angka kematian ataupun cakupan imunisasi (Detels,
et al., 2015, pp.244-6). Donaldson dan Rutter (2017, p.171) menegaskan bila pelayanan
kesehatan harus berfungsi lebih dari sekedar menunggu pasien datang dan bergerak
proaktif untuk menangani masalah sebelum masalah itu ada dan mencari berbagai
determinan kesehatan yang berpengaruh dalam masyarakat. Pelayanan kesehatan dapat
berfungsi sebagai pengawas indikator, evaluasi efektivitas suatu intervensi dan penilaian
baiknya sebuah pelayanan kesehatan dalam populasi tertentu (Detels, et al., 2015, p.244).
Mahendradhata, et al. (2017, pp.212-238) membuat sebuah laporan evaluasi mengenai
tingkat kepuasan pasien, akses ke fasilitas kesehatan, distribusi tenaga kesehatan, angka-
angka indikator kesehatan dan distribusi dana dalam pelayanan kesehatan. Dalam laporan
evaluasi tersebut, Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dalam pelayanan
kesehatannya, namun masih banyak sektor-sektor yang harus ditingkatkan, seperti
pemerataan tenaga kerja, peningkatan efisiensi penggunaan dana kesehatan untuk usaha
preventif promotif dibandingkan kuratif dan kontrol jaminan kesehatan nasional yang
merata. Pemerataan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia akan meningkatkan
kesehatan masyarakat secara menyeluruh
4. Genetik
Karakteristik pribadi setiap orang, seperti jenis kelamin, usia dan ras, merupakan salah
satu penentu tingkat kesehatan masyarakat (Wibowo, 2015, p.26 dan Donaldson dan
Rutter, 2017, pp.161-2). Ariani, Soeharso dan Sjarif (2017, p.105) menyatakan bila
kelainan genetik masih belum dianggap sebagai masalah yang serius, namun data dari
WHO menunjukan bila 11% dari kematian anak di bawah 5 tahun disebabkan oleh
kelainan kongenital (WHO, 2015).
Menurut H.L Blum, faktor genetika memberikan pengaruh terhadap kesehatan individu,
walaupun faktor lingkungan dan gaya hidup adalah faktor penting secara umum, namun
ada beberapa kondisi tertentu dimana faktor genetika inilah yang sangat mempengaruhi
kesehatan individu. Kelainan genetik yang paling sering ditemukan adalah Down
Syndrome (78.6%) berdasarkan hasil pemeriksaan kromosom 103 pasien dengan
gangguan malformasi kongenital, selain itu juga umum ditemukan gangguan pembentukan
lempeng saraf, thalasemia dan defisiensi G6PD (Ariani, Soeharso dan Sjarif, 2017, p.105).
Penyakit tidak menular yang juga diketahui dapat diwarisi sifatnya seperti hipertensi,
stroke, gangguan jantung, kanker, asma dan diabetes mellitus juga terus mengalami
peningkatan dalam prevalensi (Riskesdas, 2007 dan Riskesdas, 2013).
Genetik dalam kesehatan masyarakat memiliki peran penting dalam proses deteksi dini,
skrining dan evaluasi faktor resiko, prediksi penyakit dan prediksi efek farmakogenetik.
Namun utilisasi proses ini masih perlu melalui berbagai proses kritisi dari berbagai aspek,
seperti aspek feasibility , etika dan hukum yang berlaku (Detels, et al., 2015, pp.141-50)
Faktor genetik sebagai determinan kesehatan di Indonesia masih belum mendapatkan
perhatian bila dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya (Ariani, Soeharso dan Sjarif,
2017, p.108). Hal ini disebabkan ilmu mengenai genetika masih belum mendapatkan
kodifikasi sendiri, miskonsepsi genetika, kurangnya tenaga pendidik dan kurangnya
kepercayaan diri dari petugas kesehatan sendiri (Wibowo, 2015, pp.27-8).
Mengingat bahwa biaya untuk menangani penyakit genetik ini sangatlah besar sehingga
dengan melalui konseling genetik dapat memprediksi pasangan memiliki faktor risiko
penyakit genetik dan dapat mencegah pengeluaran biaya besar untuk penanganan penyakit
genetik, sehingga sangat diharapkan kepada pelaku kebijakan di Indonesia untuk menaruh
perhatian dalam kebijakan kesehatan nasional terhadap pelayanan konseling genetik

Anda mungkin juga menyukai