Anda di halaman 1dari 43

PENGARUH MODEL PROBLEM-BASED LEARNING BERBANTUAN

GOOGLE CLASSROOM TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN


MASALAH MATEMATIS DITINJAU DARI SELF-REGULATED
LEARNING SISWA SMA

Proposal Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Penulisan Skripsi

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:

ZULHA AZHARI AZIS

NPM 18505004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2022
PENGARUH MODEL PROBLEM-BASED LEARNING BERBANTUAN
GOOGLE CLASSROOM TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIS DITINJAUDARI SELF-REGULATED

oleh
ZULHA AZHARI AZIS
NIM 185050045

LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL

Disetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,

……………………………… …………………………
……. NIPY.
NIP.

Diketahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Matematika,

Dr. H. Beni Yusepa, G. P., S.Pd., M.Pd


NIPY. 15110320

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt karena dengan rahmat,
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi ini dengan judul
Pengaruh Model Problem-Based Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Ditinjau dari Self-regulated Learning siswa SMA. Salawat
dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarganya, sahabatnya serta
pengikutnya hingga akhir zaman, aamiin.
Penulis sangat menyadari akan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki,
meskipun demikian penulis berusaha dengan sekuat daya untuk menyusun
proposal skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Proposal skripsi ini tidak dapat
terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Beni Yusepa G. P.,
M.Pd. dan Ibu Dahlia Fisher M.Pd. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi
Pendidikan Matematika, para dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan
Matematika yang telah memberikan bimbingan dan nasehat sehingga proposal
skripsi ini dapat terselesaikan, juga kepada berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Meskipun demikian, penulis berharap proposal skripsi ini dapat berguna bagi
penulis pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
dan semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, Januari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL.......................................................................ii


KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
A. Judul..........................................................................................................................1
B. Latar Belakang Masalah..........................................................................................1
C. Identifikasi Masalah.................................................................................................6
D. Rumusan Masalah....................................................................................................7
E. Tujuan Masalah.......................................................................................................7
F. Manfaat Penelitian...................................................................................................8
G. Definisi Operasional.................................................................................................9
H. Kajian Teori............................................................................................................10
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis..................................................10
2. Model Problem-Based Learning.......................................................................11
3. Google Classroom...............................................................................................14
4. Self-regulated Learning.....................................................................................16
5. Model Discovery Learning.................................................................................17
6. Penelitian Relevan..............................................................................................17
I. Kerangka Pemikiran..............................................................................................18
J. Hipotesis Penelitian................................................................................................19
K. Metode dan Desain Penelitian...............................................................................20
L. Subjek dan Objek Penelitian.................................................................................21
M. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian.........................................21
1. Teknik Pengumpulan Data................................................................................21
2. Instrumen Penelitian..........................................................................................22
N. Teknik Analisis Data..............................................................................................26
1. Analisis Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis.............26
2. Analisis Pencapaian Self-regulated Learning...................................................29
3. Analisis korelasi antara Self-regulated Learning dngan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMA.............................................................31
iv
O. Prosedur Penelitian................................................................................................33
P. Jadwal Penelitian...................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................35

v
A. Judul
Pengaruh Model Problem-Based Learning Berbantuan Google Classroom
Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau dari Self-
regulated Learning Siswa SMA

B. Latar Belakang Masalah


Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
pendidikan dapat dijadikan usaha setiap manusia dalam mengembangkan
pengetahuan dan pembentukan karakter yang lebih baik. Maka dari itu pendidikan
dapat di definisikan sebagai kegiatan yang direncanakan untuk memberikan bekal
kepada manusia agar menjadi pribadi yang bisa mengembangkan dan
meningkatkan potensi yang ada pada dirinya. Negara Republik Indonesia adalah
termasuk Negara yang lebih mengupayakan bangsanya untuk memajukan Sumber
Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan. Tujuan dari pendidikan di Indonesia
adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan merupakan
proses prubahan sikap dan cara berperilaku seseorang ataupun kelompok kearah
yang lebih baik sebagai upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran
dan pelatihan.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan diberbagai
jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dalam
jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah matematika menjadi salah satu

1
mata pelajaran yang wajib. Karena matematika menjadi mata pelajaran dasar yang
bisa diterapkan dalam mata pelajaran lainnya serta dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun tujuan dari pembelajaran matematika salah satunya adalah untuk
memberikan kemampuan pemecahan masalah pada siswa. Hal ini sejalan dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang menyatakan bahwa mata
pelajaran matematika memiliki suatu tujuan dalam pembelajaran, salah satu
tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah,
memiliki rasa ingin tahu, ketertarikan dalam mempelajari matematika, rajin,
mandiri dan yakin dalam menyelesaikan pemecahan masalah (Kemendikbud,
2006, hlm. 346). Begitu juga pandangan NCTM (National Council of Teachers of
Mathematics, 2000, hlm. 29) menyatakan bahwa pemecahan masalah menjadi
salah satu standar proses dalam pembelajaran matematika.
Kemampuan pemecahan masalah sebagai salah satu kemampuan yang perlu
dimiliki oleh setiap siswa, karena dengan adanya kemampuan pemecahan masalah
ini dapat melatih siswa dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada
pada soal matematika. Polya (Hendriana, Rohaeti dan Sumarmo, 2017, hlm. 44)
menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah usaha untuk mencari jalan keluar
dari permasalahan yang ada untuk mencapai suatu tujuan. Pemecahan masalah ini
merupakan kemampuan dasar dalam proses pembelajaran matematika yang dapat
membantu siswa untuk berpikir kreatif, kritis serta mengembangkan kemampuan-
kemampuan matematis lainnya. Kemampuan pemecahan masalah ini menjadi
jantung daring belajar matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Branca (HD
Putra, dkk. 2018) menyatakan bahwa, kemampuan pemecahan masalah
merupakan suatu kemampuan dasar dalam proses pembelajaran yang dianggap
sebagi jantung dari matematika dan menjadi inti dari kurikulum matematika.
Kemampuan pemecahan masalah matematis ini merupakan salah satu
kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa, karena kemampuan pemecahan
masalah berguna untuk siswa ketika mendalami matematika begitupun dalam
kehidupan sehari-hari. Bersadarkan hal tersebut diharapkan setiap siswa dapat
memecahkan suatu permasalahan-permasalahan yang ada dalam pembelajaran.
2
Namun, Pada kenyataan kemampuan pemecahan masalah matematis pada tingkat
SMAmasih tergolong rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Merika
& Sujana (2017, hlm: 12) pada SMA kelas XII, banyak siswa ada 133 orang. Dua
soal uraian yang diujikan kepada peserta didik. Berdasarkan data yang diperoleh
terdapat 66 siswa yang kemampuannya dibawah rata-rata atau kemampunnya
tergolong kurang dengan persentase 50%, terdapat 33 siswa yang kemampuannya
tergolong cukup dengan persentase 25%, dan juga terdapat 33 siswa yang
kemampuannya tergolong tinggi atau diatas rata-rata dengan persentase 25%. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan, dkk (2017, hlm.
5) pada SMA kelas X, banyak peserta didik ada 38 orang. Empat soal yang
diujikan kepada peserta didik, terdapat 4 peserta didik dengan kemampuan
tergolong cukup dengan persentase 10,05%, terdapat 34 peserta didik dengan
kemampuan tergolong kurang dengan persentase 89,47%.
Berdasarkan uraian diatas dan hasil penelitian terdahulu terkait rendahnya
kemampuan pemecahan masalah matematis guru dituntut untuk lebih kreatif lagi
dalam menentukan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah model
problem-based learning. Model problem-based learning merupakan model
pembelajaran berbasis masalah yang mangaitkan pembelajaran kedalam
kehidupan nyata. Yuliasari dan Evi (2017) menyatakan bahwa, Problem-Based
Learning (PBL) merupakan suatu model yang dimulai dengan menghadapkan
peserta didik pada masalah keseharian yang nyata atau masalah yang
disimulasikan sehingga peserta didik diharapkan menjadi terampil dalam
memecahkan masalah. Penelitian yang ditulis oleh Panjaitan dan Rajagukgug
(2017) menujukan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based
Learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika
peserta didik. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sulaiman dkk (2016) dalam
penelitiannya menunjukan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematika peserta didik melalui strategi Problem Based Learning.
Berdesarkan beberapa hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan model Problem Based Learning dapat dijadikan sebagai
3
salah satu alternatif pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan matematik peserta didik.
Adapun tahapan model Problem-Based Learning menurut Trianto
( Isrok’atun, dkk. 2018: hlm 46) adalah sebagai berikut:
1. Orientasi peserta didik pada masalah
2. Mengorganisasikan peserta didik dalam belajar
3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
5. Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Sebelumnya kondisi Indonesia yang menjadi salah satu Negara yang
terserang dengan adanya virus covid-19 yang mengakibatkan pebelajaran
disekolah harus dilakukan secara online atau daring. Namun, saat ini dengan
pemulihan kondisi tersebut akhirnya pembelajaran disekolah mulai normal
kembali walaupun masih ada juga beberapa sekolah yang masih membatasi
pembelajaran tatap muka disekolah. Hal ini tentunya memberikan dampak yang
kurang baik bagi siswa. Banyak siswa yang merasa kesulitan dalam memahami
materi pembelajaran karena kurangnya penyampain guru dalam menjelaskan
materi pembelajaran, sehingga tujuan dari pembelajaran tidak sepenuhnya
Selain model pembelajaran, masih banyak hal yang mempengaruhi
kemampuan pemecahan masalah, salah satunya adalah self-regulated learning
(kemandirian belajar). Sumarmo (2006) menyatakan bahwa, self-regulated
learning sebagai proses perancangan dan pemantauan yang seksama terhadap
proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik. Dalam hal
ini, self-regulated learning bukan merupakan kemampuan mental atau
keterampilan akademik tertentu, melainkan merupakan proses pengarahan diri
dalam mentransformasikan kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik
tertentu. Schunk dan Zimmerman (Hendriana,dkk. 2017: hlm228) menyatakan
bahwa, kemandirian belajar sebagai proses belajar yang terjadi karena pengaruh
dari pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri yang berorientasi pada
pencapaian tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurt Asy’ari dan
Rahimah (2018) Kemandirian belajar merupakan suatu proses mengaktifkan dan
4
mempertahankan pikiran, tindakan dan emosi kita untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. selanjutnya Melisa (2016) didefinisikan kemandirian belajar sebagai
suatu proses dimana individu berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang
lain, mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajar;
mengidentifikasi sumber belajar yang dapat digunakannya; memilih dan
menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya.
Self-regulated learning siswa merupakan hal yang turut menentukan
pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, hal ini cukup
beralasan karena pembelajaran yang menciptakan situasi pemecahan masalah
sangat memerlukan self-regulated learning siswa dalam pembelajaran. Siswa
yang memiliki self-regulated learning yang lebih tinggi, akan mampu mengatur
waktu dan mengontrol diri dalam berpikir, merencanakan strategi, kemudian
melaksanakannya serta mengevaluasi. Namun, pada kenyataannya kemandirian
belajar siswa masih tergolong rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Septiana (dalam Savira & Suharsono, 2013 hlm.70) bahwa 45,8% siswa memiliki
kemandirian belajar tinggi, sedangkan 54,2% siswa memiliki kemandirian belajar
rendah. Tingkat kemandirian belajar matematis siswa dikatakan masih tergolong
rendah juga dapat dilihat pada penelitian Widiyastuti (dalam Annisa, 2017 hlm. 6)
bahwa diperoleh 46,36% siswa dengan kemandirian belajar sedang dan 35,45%
siswa dengan kemandirian belajar sangat rendah, yang berarti bahwa hanya 18,1%
siswa dengan kemandirian belajar baik.
Adapun indicator kemandirian belajar menurut Sumarmo (2004) diantaranya:
1. Berinisiatif dalam belajar
2. Merancang kebutuhan belajar
3. Menetapkan tujuan belajar
4. Memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar
5. Menganggap kesulitan sebagai tantangan
6. Memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan
7. Menetapkan strategi belajar
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
9. Memiliki konsep diri
5
Nurhayati (Yuliasari, 2017) menyatakan bahwa kemandirian belajar
merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju
demi kebaikan dirinya, mampu menggambil keputusan, berinisiatif untuk
mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki percaya diri dalam mengerjakan
tugas-tugas, dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Menurut Knowless
(Rusman, 2016) menyatakan bahwa, kemandirian belajar berkaitan dengan belajar
mandiri namun bukanlah belajar sendiri, peserta didik boleh bertanya, berdiskusi
ataupun meminta penjelasan dari orang lain. Namun pada kenyataanya
menunjukan bahwa kemandirian belajar peserta didik masih belum maksimal. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik membuat proposal penelitian
dengan judul “Pengaruh Model Problem-Based Learning Berbantuan Google
Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau dari
Self-regulated Learning Siswa SMA ”

C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang, didapatkan bahwa identifikasi dalam penelitian
ini adalah :
1. Kemampuan pemecahan masalah yang rendah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Merika & Sujana (2017, hlm: 12)
pada SMA kelas XII, banyak siswa ada 133 orang. Dua soal uraian yang diujikan
kepada peserta didik. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 66 siswa yang
kemampuannya dibawah rata-rata atau kemampunnya tergolong kurang dengan
persentase 50%, terdapat 33 siswa yang kemampuannya tergolong cukup dengan
persentase 25%, dan juga terdapat 33 siswa yang kemampuannya tergolong tinggi
atau diatas rata-rata dengan persentase 25%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan, dkk (2017, hlm. 5) pada SMA kelas X,
banyak peserta didik ada 38 orang. Empat soal yang diujikan kepada peserta
didik, terdapat 4 peserta didik dengan kemampuan tergolong cukup dengan
persentase 10,05%, terdapat 34 peserta didik dengan kemampuan tergolong
kurang dengan persentase 89,47%.
2. Self-regulated Learning siswa rendah
6
Masih banyak siswa yang bergantung pada informasi yang berasal dari guru
saja, siswa belum mempunyai inisiatif untuk belajar sendiri dengan memperoleh
dari buku cetak yang dimilikinya, serta sebagian siswa saat diberikan tugas saling
bergantung kepada temannya alih-alih bekerja sama untuk mengerjakan tugas
tersebut (Bungsu, 2018, hlm.383). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Septiana (dalam Savira & Suharsono, 2013 hlm.70) bahwa 45,8% siswa memiliki
kemandirian belajar tinggi, sedangkan 54,2% siswa memiliki kemandirian belajar
rendah. Tingkat kemandirian belajar matematis siswa dikatakan masih tergolong
rendah juga dapat dilihat pada penelitian Widiyastuti (dalam Annisa, 2017 hlm. 6)
bahwa diperoleh 46,36% siswa dengan kemandirian belajar sedang dan 35,45%
siswa dengan kemandirian belajar sangat rendah, yang berarti bahwa hanya 18,1%
siswa dengan kemandirian belajar baik.

D. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa SMA yang diberikan model Problem-Based Learning
berbantuan google classroom dengan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa SMA yang diberikan pembelajaran biasa ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
SMA yang memiliki Self-regulated Learning rendah, sedang dan tinggi ?
3. Apaah terdapat korelasi antara Self-regulated Learning dengan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMA ?

E. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah, yang menjadi tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan hal- hal sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
matematis siswa SMA yang belajar menggunakan model Problem-Based
Learning dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran biasa.
2. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
antara siswa SMA yang memiliki Self-regulated Learning tinggi, sedang dan
rendah.

7
3. Untuk mengetahui interaksi antara model Problem-Based Learning dengan
Self-regulated Learning terhadap kemampuan pemahaman pemecaan masalah
matematis siswa SMA.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut :
1. Mamfaat teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
peneliti lain dalam hal “Pengaruh Model Problem-Based Learning
Berbantuan Google Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis ditinjau Self-regulated Learning Siswa SMA”
2. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada beberapa pihak, diantaranya:
a. Bagi peneliti
Memberikan pengalaman langsung dalam menerapkan pembelajaran
dengan model Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis ditinjau dari Self-
regulated Learning dan bisa menjadi bekal sebagai mahasiswa dan calon guru
matematika dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas di
lapangan.
b. Bagi peserta didik
Dapat menjadi motivasi belajar matematika agar siswa merasa
pembelajaran matematika tidak membosankan dan kemampuan dalam belajar
sehingga hasil belajar matematika siswa memuaskan
c. Bagi guru
Dapat memberikan masukan dalam mengelola pembelajaran matematika
yang lebih kreatif dan inovatif salah satunya dengan menggunakan model
Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom
d. Bagi Sekolah

8
Dapat memberikan sumbangan ilmu dan informasi yang diharapkan bisa
dijadikan sebagai bahan kajian bersama agar dapat meningkatkan kualitas
sekolah.

G. Definisi Operasional
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak terjadi kesalah pahaman terhadap
istilah yang digunakan dalam penelitian ini, berikut ini diuraikan beberapa definisi
yang digunakan, diantaranya:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Pemecahan masalah merupakan kemampuan dalam menyelesaikan masalah
dengan mencari solusi penyelesaian dari suatu permasalahan yang dihadapi
sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Permasalahan-permasalahn
dalam bidang matematika maupun dalam kehidupan nyata.
2. Model Problem-Based Learning
Model Problem Based-Learning merupakan model pembelajaran yang lebih
berpusat terdahap peserta didik dan mengarahkan mereka dalam suatu
permasalahan keseharian yang nyata sehingga peserta didik lebih terampil
dalam memecahkan masalah.
3. Google Classroom
Google Classroom merupakan aplikasi berupa learning system management
yang disediakan google dan bisa dihubungkan dengan email, sehingga mudah
untuk diakses. Google Classroom ini didesain untuk membantu pengajar
membuat dan membagikan tugas kepada pelajar secara paperless.
4. Self-regulated Learning
self-regulated Learning (kemandirian belajar) adalah suatu proses belajar
yang terjadi karena pengaruh dari pikiran, perasaan, strategi, dan perilaku
sendiri dengan atau tanpa bantuan orang laiun untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
5. Model Pembelajaran Biasa
Model pembelajaran biasa yang dimaksdud dalam penelitian disini adalah
model pembelajaran yang biasa diterpkan leh guru disekolah dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar sehari-hari sesuai dengan kurikulum
9
yang berlaku di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil observasi peneliti dengan
guru matematika disekolah tempat penelitian, diperoleh informasi bahwa
sekolah telah menerapkan pembelajaran dengan kurikulum 2013 dan
pembelajaran biasa yang dilakukan disekolah tersebut ialah Discovery
Learning.

H. Kajian Teori
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Pemecahan masalah adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh
siswa oleh karena dengan pemecahan masalah siswa dapat menyelesaikan soal-
soal matematika. menurut NCTM (2000, hlm. 52) menyatakan bahwa, dengan
memecahkan masalah matematika siswa harus memperoleh cara berpikir,
kebiasaan ketekunan dan rasa keingintahuan, dan keyakinan pada diri sendiri
untuk mengutarakan ide-idenya. Polya (Paridjo, 2018: 820) menyatakan bahwa,
pemecahan masalah adalah usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk
mencapai tujuan yang tidak segera diperoleh. Sejalan dengan pendapat tersebut,
menurut Rinny dan Indri (Ansori, Yusup dan Herdiman, 2019: 12) menyatakan
bahwa, pemecahan masalah merupakan suatu proses untuk menyelesaiakan suatu
persoalan dengan menggunakan prosedur-prosedur untuk menuju penyelesaian
yang diharapkan.
Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah menurut Polya (dalam
Panjaitan, 2017, hlm. 5) diantaranya:
1) Memahami masalah, yaitu siswa mampu untuk membuat data dari apa yang
telah diketahuinya dan menanyakan apa yang belum ia ketahui.
2) Merencanakan solusi, yaitu merancang solusi yang sudah dilaksanakan
dengan kesamaan permasalahan yang akan dicari solusinya.
3) Menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana, menjalankan rangkaian yang
telah dibuat untuk mendapatkan penyelesaian.
4) Melakukan pengecekan kembali, yaitu mengkoreksi jawaban dari awal hingga
akhir baik hasil pernyataan yang diperoleh maupun sanggahannya, mencari
solusi dengan cara lain dengan jawaban akhir yang sama, memeriksa apakah
hasil dan cara tersebut bisa digunakan untuk memecahkan soal lainnya.
10
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah
merupakan kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan mencari solusi
penyelesaian dari suatu permasalahan yang dihadapi sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Permasalahan-permasalahn dalam bidang matematikan
maupun dalam kehidupan nyata. Dengan indikatornya yakni memahami masalah,
merencanakan solusi, menyelesaikan permasalahan dengan solusi yang telah
ditentukan, serta memeriksa kembali setiap langkah yang telah dikerjakan.
2. Model Problem-Based Learning
Model problem-based learning merupakan model pembelajaran berbasis
masalah yang mangaitkan pembelajaran kedalam kehidupan nyata. Menurut Duch
(Lestari dan Yudhanegara, 2017: hlm 42) mengemukakan bahwa Problem Based
Learning merupakan model pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar
bagimana belajar, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari
permasalahan dunia nyata. Senada dengan Duch mengenai pengertian Problem
Based Learning, Yuliasari (2017: hlm 1) mengemukakan bahwa Problem-Based
Learning (PBL) merupakan suatu model yang dimulai dengan menghadapkan
peserta didik pada masalah keseharian yang nyata atau masalah yang
disimulasikan sehingga peserta didik diharapkan menjadi terampil dalam
memecahkan masalah. Barrow (Sholikhah, dkk. 2019: hlm 34) menyatakan
bahwa, Problem-Based Learning (PBL) sebagai pembelajaran yang diperoleh
melalui proses menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Problem-Based Learning (PBL)
adalah model pembelajaran yang lebih berpusat terdahap peserta didik dan
mengarahkan mereka dalam suatu permasalahan keseharian yang nyata sehingga
peserta didik lebih terampil dalam memecahkan masalah.
Adapun tahapan model Problem Based menurut Trianto ( Isrok’atun, dkk.
2018: hlm 46) adalah sebagai berikut:

Fase Aktivitas Guru


Orientasi peserta didik Melakukan pengenalan kepada peserta didik
pada masalah mengenai masalah apa yang akan dipecahkan,
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk
11
mengungkapkan dan memahami masalah.
Mengorganisasikan Mengorganisasi peserta didik dalam suatu tugas
peserta didik dalam belajar, sesuai dengan masalah yang akan dipecahkan
belajar bersama dengan mengelompokan peserta didik
Membimbing Membimbing peserta didik melakukan penyelidikan
penyelidikan individu terkait masalah yang sedang dipecahkan sehingga
dan kelompok pendapat/ide dapat didiskusikan secara bersama baik
dengan kelompok maupun individu.
Mengembangkan dan Membantu peserta didik dalam menyajikan hasil
menyajikan hasil karya karya yang sesuai, sehingga peserta didik dapat
mengkomunikasikan hasil diskusinya.
Menganalisa dan Mengevaluasi tentang materi yang telah dipelajari
mengevaluasi proses atau meminta kelompok untuk mempresentasikan
pemecahan masalah hasil kerja

Barrow (Shoimin, 2017: hlm 130) menyatakan bahwa, karakteristik dari


Problem-Based Learning (PBL), yaitu:
1) Learning is student-center
Problem-Based Learning (PBL) menitik beratkan kepada peserta didik
sebagai orang belajar, dimana peserta didik didorong untuk dapat
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
2) Authentic problem from the organizingfocus for learning
Masalah outentik diberikan agar peserta didik mampu memahami masalah
dan menerapkannya dalam kehidupan.
3) New information is acquired throught self-directed learning
Peserta didik berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari
buku atau informasi lainnya.
4) Learning accurs in small grup
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha dalam
membangun pengetahuan secara kolaboratif, PBL dilakasanakan dalam kelompok
kecil.
12
5) Teachers act as facilitator
Guru hanya bertugas sebagai fasilitator, tapi guru juga harus selalu memantau
perkembangan aktivitas peserta didik dan mendorong mereka agar mencapai
target yang diinginkan.
Menurut Amir ( Isrok’atun dan Rosmala, 2018: 49) model Problem-Based
Learning (PBL) memiliki kelebihan dalam proses pembelajaran, yakni sebagai
berikut:
1) Fokus Kebermaknaan
Peserta didik dapat membangun sendiri konsep matematika dengan terlibat
langsung dalam kegiatan belajar dengan kelompok untuk dapat menyelesaiakan
masalah yang disajikan di awal pembelajaran.
2) Meningkatkan Kemampuan Peserta Didik untuk Berinisiatif
Dapat melatih peserta didik untuk memberikan pendapat atau ide dalam
pemecahan masalah
3) Mengembangkan Keterampilan dan Pengetahuan
Dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan peserta didik, karena
kegiatan disusun secara bertahap dan sistematis.
4) Pengembangan Keterampilan Interpersonal dan Dinamika Kelompok.
Dapat mengembangkan ketrampilan interpersonal untuk membantu peserta
didik dalam menyelesaikan permasalahan matematika, karena adanya interaksi
sosial dalam lingkungan belajar. Dengan kegiatan kelompok peserta didik mampu
mengatasi masalah yang terjadi di dalam kelompok (dinamika kelompok)
5) Pengembangan Sikap Self-Motivated
Dapat mengembangkan motivasi diri peserta didik dalam menemukan proses
pemecahan masalah yang dilakukan secara mandiri.
6) Timbulnya Hubungan Peserta Didik-Fasilitator
Dapat terjalinnya hubungan antara peserta didik yang berperan melakukan
kegiatan belajar dengan guru yang berperan sebagai fasilitator pembelajaran.
7) Jenjang Penyampaian Pembelajaran Dapat Ditingkatkan
Peserta didik mampu menyampaikan proses pemecahan masalah matematika
secara bertahap sehingga dapat dipahami dengan baik.
13
Menurut Amir ( Isrok’atun dan Rosmala, 2018: hlm 49) model Problem-
Based Learning (PBL) memiliki kekurangan dalam proses pembelajaran, yakni
sebagai berikut:
1) Pencapaian Akademik dari Individu
Peserta Didik Pencapaian akademik peserta didik akan berbeda-beda
berdasarkan bagaimana peserta didik memahami setiap proses pemecahan masalah
atau hanya menghafal konsep materi saja.
2) Waktu yang Diperlukan untuk Implementasi
Kegiatan peserta didik dalam membangun sendiri konsep meteri
membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
3) Perubahan Peran Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran
Peran peserta didik dalam model problem based learning adalah sebagai
subjek belajar, artinya peserta didik diharuskan aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Hal ini merupakan suatu perubahan yang tidak mudah dilakukan,
sehingga berakibat munculnya kebingungan peserta didik mengikuti langkah-
langkah pembelajaran.
4) Perubahan Peran Guru dalam Kegiatan Mengajar
Dalam pembelajaran model problem based learning guru berperan sebagai
fasilitator. Guru harus mempunyai kemampuan dalam merancang dan berkreasi
untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
5) Perumusan Masalah yang Baik
Model problem based learning menitikberatkan pada masalah sebagai fokus
pembelajaran. Akan tetapi, permasalahan umumnya guru masih kebingungan
dalam merumuskan masalah untuk melatih kemampuan berpikir tinggi.
3. Google Classroom
Menurut (Hakim, 2016) google classroom adalah “layanan berbasis Internet
yang disediakan oleh google sebagai sebuah sistem e-learning”m. Service ini
didesain untuk membantu pengajar membuat dan membagikan tugas kepada
pelajar secara paperless. Mengutip dari website resmi dari google, aplikasi google
classroom merupakan alat produktivitas gratis meliputi email, dokumen dan
penyimpanan. Classroom di desain untuk memudahkan guru (pengajar) dalam

14
menghemat waktu, mengelola kelas dan meningkatkan komunikasi dengan siswa-
siswanya. Dengan google classroom ini dapat memudahkan peserta didik dan
pengajar untuk saling terhubung dan mengakseknya kapan saja.
menurut Janzen M dan Mary (dalam Iftakhar, 2016) menyatakan bahwa,
kelebihan dari Google Classroom antara lain sebagai berikut:
a. Mudah digunakan
Desain dari google classroom sengaja menyederhanakan antarmuka
instruksional dan opsi yang digunakan untuk tugas pengiriman dan pelacakan;
komunikasi dengan keseluruhan khusus atau individu juga disederhanakan
melalui pemberitahuan pengumuman dan email.
b. Menghemat waktu
Google classroom dirancang untuk menghemat waktu. Hal ini dapat
mengintegrasikan dan mengotomatisasi penggunaan aplikasi Google lainnya,
termasuk dokumen, slide, dan spreadsheet, proses pemberian distribusi dokumen,
penilaian, penilaian formatif, dan umpan balik disederhanakan dan
disederhanakan
c. Berbasis cloud
Google classroom menghadirkan teknologi yang lebih profesional dan otentik
untuk digunakan dalam lingkungan belajar karena aplikasi google mewakili
sebagian besar alat komunikasi perusahaan berbasis cloud yang digunakan di
seluruh angkatan kerja profesional.
d. Fleksibel
Aplikasi ini mudah diakses dan dapat digunakan oleh instruktur (pendidik)
dan peserta didik di lingkungan belajar tatap muka dan lingkungan online
sepenuhnya. Hal ini memungkinkan para pendidik untuk mengeksplorasi dan
memengaruhi metode pembelajaran yang lebih mudah serta dapat otomatis
mengatur distribusi, pengumpulan tugas dan komunikasi dalam beberapa
instruksional.
e. Gratis
Google classroom sendiri sudah dapat digunakan oleh siapapun untuk
membuka kelas di google classroom dengan memiliki akun gmail dan bersifat
15
gratis. Selain itu dapat mengakses semua aplikasi lainnya, seperti drive,
documents, spreadsheets, slides, dll. Cukup dengan mendaftar ke akun google.
f. Ramah seluler
Google classroom dirancang agar responsif. Mudah digunakan pada
perangkat mobile manapun. Akses mobile ke materi pembelajaran yang menarik
dan mudah untuk berinteraksi sangat penting dalam lingkungan belajar terhubung
web saat ini.
4. Self-regulated Learning
menurut Suhendri (Bungsu, dkk. 2019, hlm. 383) menyatakan bahwa, Self-
Regulated Learning atau dikenal dengan kemandirian dalam belajar adalah elemen
penting dalam pembelajaran matematika. Kemandirian dapat diartikan sebagai
keinginan untuk menguasai dalam mengendalikan tindakan-tindakan sendiri dan
bebas akan pengendalian dari luar. Sejalan dengan yang diungkapkan Jumaisyaroh
(Amalia, dkk., 2018, hlm. 889) menyatakan bahwa, upaya dalam memecahkan
masalah yang berkaitan dengan penguasaaan materi dengan caranya dan motivasi
dari diri sendiri dikenal dengan kemandirian belajar. Sehingga dapat dikatakan
kemandirian belajar akan membuat siswa menjadi aktif baik sebelum maupun
sesudah proses pembelajaran. Oleh karena itu, siswa dengan kemandirian belajar
yang tinggi cenderung belajar dan dapat menyelesaikan masalah matematika
dengan lebih baik. Sedangkan menurut Nurhayati (2017, hlm. 21) dan Hargis &
Kerlin (Hadin, dkk., 2018, hlm. 659) siswa dengan kemandirian belajar tinggi
cenderung lebih unggul dalam mengatur waktu dan merencanakan strategi
belajarnya, kemudian mengimplementasikannya serta mengevaluasi.
menurut Asy’ari dan Rahimah (2018) Kemandirian belajar merupakan suatu
proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, tindakan dan emosi kita untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. selanjutnya Melisa (2016) didefinisikan
kemandirian belajar sebagai suatu proses dimana individu berinisiatif belajar
dengan atau tanpa bantuan orang lain, mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri,
merumuskan tujuan belajar; mengidentifikasi sumber belajar yang dapat
digunakannya; memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil
belajarnya.

16
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self-regulated Learning
(kemandirian belajar) adalah suatu proses belajar yang terjadi karena pengaruh
dari pikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri dengan atau tanpa bantuan
orang laiun untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Adapun indicator kemandirian belajar menurut Sumarmo (2004) diantaranya:
1) Berinisiatif dalam belajar
2) Merancang kebutuhan belajar
3) Menetapkan tujuan belajar
4) Memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar
5) Menganggap kesulitan sebagai tantangan
6) Memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan
7) Menetapkan strategi belajar
8) Mengevaluasi proses dan hasil belajar
9) Memiliki konsep diri
5. Model Discovery Learning
Menurut Hosnan (2016:282), pembelajaran discovery learning merupakan
model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan penemuan yang
menekankan kemampuan berpikir analitis dan mencoba memecahkan sendiri
masalah yang dihadapi.
Adapun sintaks model discovery learning menurut Syah (Hosnan, 2016:289),
yaitu:
1) stimulation atau pemberian rangsangan
2) problem statement atau identifikasi masalah
3) data collection atau pengumpulan data
4) data processing atau pengolahan data
5) verification atau pembuktian
6) generalization atau menarik kesimpulan.

6. Penelitian Relevan
a. Musliha dan Rena Revita (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem
Based Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Ditinjau dari Self- Regulated Learning Siswa.
17
b. Prima Riyani, dkk (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem-Based
Learning Berbantuan Google Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa SMKN 2 Bogor.

I. Kerangka Pemikiran
Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sangat sulit
sehingga siswa tidak memiliki ketertarikan untuk belajar matematika.
Pembelajaran matematika yang sering kita jumpai sampai saat ini salah satunya
adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan model ekspositori yang
cenderung hanya dilakukan satu arah, sehingga siswa menjadi pasif dalam
kegiatan belajar mengajar. Dampak dari pada hal tersebut mengakibatkan tidak
tercapainya ketuntasan belajar matematika yang dapat dilihat dari prestasi belajar
siswa dalam matematika masih tergolong rendah. Dalam pembelajaran
matematika, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengajar
suatu pokok bahasan adalah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan
materi yang diajarkan. Melihat kondisi siswa terdapat perbedaan karakteristik
antara satu dengan yang lainnya ketika menerima materi ajar yang disajikan oleh
guru dikelas dan sikap dalam belajar. Untuk dapat membentuk kemampuan
memecahkan persoalan-persoalan dalam pembelajaran pada peserta didik dan
adanya kemandirian belajar pada peserta didik, maka diperlukan suatu
pembelajaran yang membantu siswa untuk mencapai tujuan pebelajaran seperti
yang diharapkan.
Berdasarkan hal tersebut perlu diterapkan model pembelajaran yang dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self-regulated
Learning siswa. Salah satu model yang diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self-regulated Learning siswa
adalah model Proble-Based Learning Berbantuan Google Classroom.
Gambar Kerangka Pemikiran

Kondisi Awal Tindakan


Kondisi Akhir
Kemampuan Penggunaan model
pemecahan masalah Problem-Based Pengaruh yang
matematis Learning lebih baik terhadap
berbantuan Google kemampuan
18 pemecahan
Classroom
masalah matematis
ditinjau dari self-
regulated learning
Self-regulated learning

Penggunaan model Problem-Based Learning diharapkan dapat memberikan


pengaruh baik dari adanya perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
ditinjau dari self-regulated learning. Adapun hubungan model Problem-Based
Learning terhadap kemampuan pemecahan masalah ditinjau dari self-regulated
learning siswa sebagai berikut:
Gambar Keterkaitan antara model pembelajaran dengan Aspek kognitif dan
Afektif

Model Problem-
Based Learning Pemecahan masalah
d Learning berbantuan matematis
Gogle Classroom

Self-regulated Learning tinggi


Self-regulated
Learning Self-regulated Learning rendah

Self-regulated Learning sedang

J. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan kajian teori yang telah diuraikan, maka
hipotesis dalam penilitian ini adalah :
a. Terdapat perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
SMA yang diberikan model Problem-Based Learning berbantuan google
classroom dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA
yang diberikan pembelajaran biasa.
19
b. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA
yang memiliki Self-regulated Learning rendah, sedang dan tinggi.
c. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan Self-regulated Learning
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA.

K. Metode dan Desain Penelitian


1. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu
(quasi experiment). Ruseffendi (2010, hlm. 35) menyatakan “Penelitian
eksperimen atau percobaan (experimental research) adalah penelitian yang
benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat. Perlakuan yang kita
lakukan terhadap variabel bebas kita lihat hasilnya pada variabel terikat”.
Variabel bebas adalah variabel yang dibuat bebas, dalam penelitian ini
variabel bebas yang dipilih yaitu model Problem-Based Learning berbantua
Google Classroom. Variabel terikat adalah variabel yang muncul karena
adanya variabel bebas, variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kemampuan pemecahan masalah dan Self-regulated Learning.
2. Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan yaitu eksperimen kelompok kontrol
pretes dan posttest yang melibatkan dua kelompok. Penelitian ini dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok kelas eksperimen dan kelompok kelas
kontrol. Kelompok kelas eksperimen adalah kelompok yang mendapatkan
perlakuan dengan menggunakan model Problem-Based Learning Berbantuan
Google Classroom, sedangkan kelompok kelas kontrol adalah kelas yang
memperoleh model pembelajaran biasa. Sebelum mendapatkan perlakuan,
kedua kelompok diberikan tes awal (pretest) untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah matematis. Kemudian setelah kedua kelompok
mendapatkan perlakuan maka masing-masing kelompok dilakukan tes akhir
(posttest) untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah
matematis dan self-regulated Learning siswa pada dua kelompok tersebut.
Selanjutnya kelompok kita bagikan berdasarkan self-regulated Learning
tinggi, sedang dan rendah untuk dibandingkan ada tidaknya perbedaan dari
20
tingkatan tersebut terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Desain penelitian nonequivalent control grup design menurut Sugiyono
(2013, hlm. 116) sebagai berikut:
O X₁ O
-------------------
O X₂ O
Keterangan:
O : pretest=posttest
X 1 : pembelajaran dengan menggunakan model problem-based learning
X 2 : pembelajaran dengan mennguanakan model konvensional
--- : subjek tidak dikelompokkan secara acak

L. Subjek dan Objek Penelitian


1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa SMA Negri 18 Bandung. Pengambilan
subjek penelitian ini berdasarkan hasil purposive sampling. Alasan
pemilihan subjek di sekolah tersebut adalah karena SMA Negri 18 Bandung
telah menggunakan kurikulum dengan model pembelajaran yang digunakan
dalam kurikulum 2013, dan memiliki sarana dan prasaran yang baik
sehingga cocok untuk penelitian ini.
2. Objek Penelitian
Teknik pengambilan objek penelitian ini berdasarkan hasil simple
random sampling. Dalam penelitian ini objek yang akan digunakan adalah
dua kelas yang diambil secara acak. Dari kedua kelas yang terpilih tersebut,
satu kelas akan digunakan sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi
sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen adalah kelas yang mendapatkan
pembelajaran matematika dengan model Problem-Based Learning
Berbantuan Google Classroom dan kelas kontrol adalah kelas yang
mendapatkan model pembelajaran biasa.

M. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian


1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data beracuan kepada rumusan masalah dan tujuan
21
penelitian yang sudah ditetapkan. Teknik pengumpulan data juga erat
kaitannya dengan instrumen penelitian yang digunakan. Teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data bertujuan untuk memperoleh data yang
akurat dan data yang valid. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data
menggunakan beberapa instrumen diantaranya, tes kemampuan pemecahan
masalah matematis yang berupa soal uraian dan angket self-regulated
Learning siswa. Instrumen tes diberikan pada saat tes awal (pretest) dan tes
akhir (posttest) untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematis,
sedangkan angket kemandirian belajar matematis siswa hanya diberikan saat
tes akhir (posttest).

2. Instrumen Penelitian
a. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Tes kemampuan pemecahan masalah matematis ini dilaksanakan pada
saat tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Instrumen kemampuan
pemecahan masalah matematis ini berupa soal uraian dengan tujuan agar
peneliti dapat mengamati langkah kerja siswa dalam proses penyelesaian
suatu masalah. Akan tetapi sebelum instrumen tersebut digunakan sebagai
pretest dan posttest maka perlu beberapa pengujian agar instrumen yang
digunakan baik. Adapun beberapa pengujian terhadap instrumen tes
kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai beriku:
1. Validitas
Tes kemampuan pemecahan masalah matematis ini dilaksanakan pada
saat tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Instrumen kemampuan
pemecahan masalah matematis ini berupa soal uraian dengan tujuan agar
peneliti dapat mengamati langkah kerja siswa dalam proses penyelesaian
suatu masalah. Akan tetapi sebelum instrumen tersebut digunakan sebagai
pretest dan posttest maka perlu beberapa pengujian agar instrumen yang
digunakan baik. Adapun beberapa pengujian terhadap instrumen tes
kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai berikut:
n ∑ xy−∑ ( x )( y)
r xy
√¿ ¿ ¿
22
Keterangan:
r xy : koefisien korelasi tiap butir soal
n : banyaknya responden
∑x : jumlah skor tiap butir soal

∑y : jumlah skor total

∑ xy : jumlah hasil kali x dan y

∑ x2 : jumlah kuadrat skor tiap butir soal

∑ y2 : jumlah kuadrat skor total


Koefisien korelasi ini selanjutnya dikategorikan ke dalam klasifikasi
koefisien korelasi (koefisien validitas) menurut J.P. Guilford (Suherman,
2003, hlm. 113) sebagai berikut.

Tabel 1. Kriteria Validitas Instrumen

Koefisien Validitas Kategori


0,90 ≤ r xy ≤ 1,00 Sangat Tinggi
0,70 ≤ r xy <¿ 0,90 Tinggi
0,40 ≤ r xy <¿ 0,70 Sedang
0,20 ≤ r xy <¿ 0,40 Rendah
0,00 ≤ r xy <¿ 0,20 Sangat rendah
r xy <¿0,00 Tidak Valid

2. Reliabilitas
Suherman & Sukjaya (1990, hlm. 167) mengatakan bahwa “reliabilitas
merupakan suatu alat ukur atau alat evaluasi yang dimaksudkan sebagai suatu
alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten atau ajeg)”. Untuk
menghitung koefisien reliabilitas menggunakan rumus Cronbach Alpha dalam
Suherman (2003, hlm. 154) adalah sebagai berikut:

( )( ∑ si
)
2
n
r 11= 1− 2
n−1 st

23
Keterangan:
r 11 : koefisien reliabilitas
n : banyak butir soal
2
si : varians skor tiap butir soal
2
st : varians skor total
Seperti halnya koefisien validitas yang telah diutarakan, untuk koefisien
reliabilitas yang menyatakan derajat keterandalan alat evaluasi, dinyatakan
dengan r_11. Tolak ukur dapat digunakan merupakan tolak ukur yang dibuat
oleh J.P. Guilford (Suherman, 2003, hlm. 139) sebagai berikut:

Tabel 2. Kriteria Interpretasi Koefisien Reliabilitas

Koefisien Reliabilitas Interpretasi


r 11 ≤ 0,20 Sangat Rendah
0,20 ≤ r 11 <¿ 0,40 Rendah
0,40 ≤ r 11 <¿ 0,70 Sedang
0,70 ≤ r 11 <¿ 0,90 Tinggi
0,90 ≤ r 11 <¿ 1,00 Sangat Tinggi

3. Indeks Kesukaran
Suatu soal yang dikatakan memiliki tingkat kesukaran baik apabila soal
tersebut tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah, jika soal terlalu mudah
maka tidak akan merangsang siswa dalam berpikir sebaliknya jika soal terlalu
sulit siswa cenderung akan merasa putus asa, untuk itu perlu dihitung derajat
kesukaran dari setiap soal. Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan
dengan indeks kesukaran. Menghitung indeks kesukaran setiap butir soal
menurut Lestari & Yudhanegara (2017, hlm. 224) menggunakan rumus (soal
tipe uraian) sebagai berikut:
x
IK =
SMI

Keterangan:
24
IK : indeks kesukaran
x : nilai rata-rata siswa
SMI : Skor Maksimal Ideal (Bobot)
Klasifikasi indeks kesukaran tiap butir soal (Lestari & Yudhanegara,
2017, hlm. 224) adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Kriteria Indeks Kesukaran

Indeks Kesukaran ( IK ¿ Kategori


IK = 0,00 Terlalu sukar
0,00 ¿ IK ≤0,30 Sukar
0,30 ¿ IK ≤0,70 Sedang
Indeks Kesukaran (IK) Kategori
0,70 ¿ IK ≤1,00 Mudah
IK = 1,00 Terlalu Mudah

4. Daya Pembeda
Daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara responden yang
mengetahui jawaban soal tersebut dengan benar dengan responden yang tidak
dapat menjawab soal tersebut (Lestari & Yudhanegara, 2017, hlm. 217).
Rumus untuk menentukan daya pembeda soal tipe uraian adalah sebagai
berikut:
xA− X B
DP=
SMI
Keterangan:
DP : indeks daya pembeda butir soal
x A : rerata skor dari siswa kelompok atas
X B : rerata skor dari siswa kelompok bawah
SMI : Skor Maksimal Ideal (bobot)
Klasifikasi interpretasi yang digunakan untuk daya pembeda (Lestari &

25
Yudhanegara, 2017, hlm. 217) adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Kriteria Daya Pembeda

Daya Pembeda ( DP ¿ Kategori


0,70 ¿ DP ≤ 1,00 Sangat baik
0,40 ¿ DP ≤ 0,70 Baik
0,20 ¿ DP ≤ 0,40 Cukup
0,00 ¿ DP ≤ 0,20 Buruk
DP ≤ 0,00 Sangat buruk

N. Teknik Analisis Data


Setelah semua data terkumpul, maka dilanjutkan dengan menganalisis
data. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Analisis Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Rumus normal gain (n-gain) digunakan untuk mengetahui signifikansi
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Adapun rumus n-
gain sebagai berikut:

skor posttest−skor pretest


n−gain=
skor maksimum−skor pretest

Untuk melihat interpretasi Indeks Gain dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Kriteria Indeks Gain

Indeks Gain Kriteria

g>¿ 0,70 Tinggi

0,30 ¿ g ≤0,70 Sedang

g ≤0,30 Rendah

26
Setelah mendapatkan rerata indeks gain lalu kita bandingkan data indeks
gain kelas ekperimen dan kelas kontrol dengan bantuan program software
SPSS 23.0 for Windows. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Analisis Statistik Deskriptif Data Indeks Gain

Berdasarkan statistik deskriptif data indeks gain diperoleh skor


maksmimum, skor minimum, rata-rata, simpangan baku, dan varians kelas
eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan software SPSS 17.0 for
Windows.

b. Uji Normalitas Indeks Gain


Menguji normalitas skor tes kemampuan pemecahan masalah matematis
di kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan uji Shapiro-Wilk menggunakan
program software SPSS 17.0 for Windows. Perumusan hipotesis yang
digunakan adalah uji normalitas sebagai berikut:
HO : Data n-gain berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Ha : Data n-gain berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian hipotesis menurut Uyanto (2006, hlm. 36):
1) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ≥ 0,05 maka H 0 diterima
2) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ¿ 0,05 maka H 0 ditolak
c. Uji Homogenitas Varians Indeks Gain
Menguji homogenitas dua varians dengan ujia Levene dengan
menggunakan program software SPSS 17.0 for Windows. Perumusan
hipotesis yang digunakan untuk menguji homogenitas varians adalah sebagai
berikut:
Ho : Varians data untuk indeks gain homogen
Ha : Varians data untuk indeks gain tidak homogen
Kriteria pengujian hipotesis menurut Uyanto (2006, hlm. 170):
1) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ≥ 0,05 maka indeks gain
memiliki varians yang sama (homogen)
2) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya < 0,05 maka indeks gain

27
memiliki varians yang tidak sama (tidak homogen)
d. Uji Kesamaan Dua Rerata (Uji-t) Indeks Gain
Uji kesamaan dua rerata dilakukan berdasarkan kriteria kenormalan dan
kehomogenan data skor n-gain. Jika kedua kelas berdistribusi normal dan
bervariasi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t atau
Independent sample test. Apabila data berdistribusi normal dan memiliki
varians yang tidak homogen, pengujian dilakukan menggunakan uji-t.
Hipotesisnya dirumuskan dalam bentuk hipotesis statistik sebagai berikut
(Sugiyono, 2017, hlm. 121):
Ho : μ 1 ≤ μ 2
H a : μ 1 ¿ μ2
Dengan:
Ho : Tidak terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model
Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa
SMA yang diberikan model pembelajaran biasa
Ha : Terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model Problem-
Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa SMA
yang diberikan model pembelajaran biasa
Kriteria pengujian untuk dua rerata adalah :
1) Jika nilai sig > 0,05, maka H 0 diterima dan H a ditolak
2) Jika nilai sig < 0,05, maka H 0 ditolak dan H a diterima
e. Uji Non Parametis Indeks Gain
Jika data tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji statistik non
parametris yaitu uji Mann-Whitney. Uji non parametris dapat dilakukan
dengan uji Mann-Whitney dengan menggunakan program software SPSS 17.0
for Windows.
2. Analisis Pencapaian Self-regulated Learning
Data hasil isian mengenai Self-reulated Learning yang masih berskala
sikap diubah menjadi skala kuantitatif dengan menggunakan bobot skala
Likert. Kemudian data hasil angket dengan skala kuantitatif masih berupa
data ordinal maka data ordinal perlu diubah menjadi data interval
28
menggunakan metode MSI (Method of Successive Interval) dengan bantuan
aplikasi XLSTAT 2016 agar lebih mudah dalam mengkonversikan data yang
sudah didapat.
Setelah mendapatkan data hasil angket bandingkan data hasil angket
kelas ekperimen dan kelas kontrol dengan bantuan program software SPSS
17.0 for Windows. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Analisis Statistik Deskriptif
Berdasarkan statistik deskriptif data hasil angket diperoleh skor
maksmimum, skor minimum, rata-rata, simpangan baku, dan varians kelas
eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan software SPSS 17.0 for
Windows.
b. Uji Normalitas
Menguji normalitas skor angket self-regulated learning siswa di kelas
eksperimen dan kelas kontrol dengan uji Shapiro-Wilk menggunakan program
software SPSS 17.0 for Windows. Perumusan hipotesis yang digunakan adalah
uji normalitas sebagai berikut:
Ho : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Ha : Data berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian hipotesis menurut Uyanto (2006, hlm. 36):
1) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ≥ 0,05 maka Ho diterima
2) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya < 0,05 maka Ha ditolak
c. Uji Homogenitas Dua Varians
Menguji homogenitas dua varians dengan uji Levene dengan
menggunakan program software SPSS 17.0 for Windows. Perumusan hipotesis
yang digunakan untuk menguji homogenitas varians adalah sebagai berikut:
Ho : Varians data homogen
Ha : Varians data tidak homogen
Kriteria pengujian hipotesis menurut Uyanto (2006, hlm. 170):
1) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ≥ 0,05 maka data memiliki
varians yang sama (homogen)
2) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ¿ 0,05 maka data memiliki
29
varians yang tidak sama (tidak homogen)
d. Uji Kesamaan Dua Rerata (Uji-t)
Uji kesamaan dua rerata dilakukan berdasarkan kriteria kenormalan dan
kehomogenan data. Jika kedua kelas berdistribusi normal dan bervariasi
homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t atau Independent
sample test. Apabila data berdistribusi normal dan memiliki varians yang
tidak homogen, pengujian dilakukan menggunakan uji-t’. Hipotesisnya
dirumuskan dalam bentuk hipotesis statistik sebagai berikut (Sugiyono, 2017,
hlm. 121):
Ho : μ1 ≤ μ 2
Ha : μ1 ¿ μ2
Dengan:
Ho : Tidak terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model
Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa SMA
yang diberikan model pembelajaran biasa
Ha : Terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model Problem-
Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa SMA yang
diberikan model pembelajaran biasa
Kriteria pengujian untuk dua rerata adalah :
1) Jika nilai sig > 0,05, maka H 0 diterima dan H a ditolak.
2) Jika nilai sig < 0,05, maka H 0 ditolak dan H a diterima.
e. Uji Non Parametis Indeks Gain
Jika data tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji statistik non
parametris yaitu uji Mann-Whitney. Uji non parametris dapat dilakukan
dengan uji Mann-Whitney dengan menggunakan program software SPSS 17.0
for Windows.
3. Analisis korelasi antara Self-regulated Learning dngan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMA
Untuk dapat mengetahui apakah terdapat hubungan antara kemampuan
pemecahan masalah matematis dengan self-regulated learning siswa yang
menggunakan model Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom

30
maka perlu dilakukan analisis data terhadap data akhir kemampuan
pemecahan masalah matematis dan self-regulated learning siswa pada kelas
eksperimen menggunakan uji interaksi. Sebelum dilakukan uji interaksi
dilakukan beberapa kegiatan konversi data sikap seperti berikut:
a. Mengubah data skala sikap kedalam skala kuantitatif
Data hasil isian pada angket yang berupa skala sikap mengenai tanggapan
terhadap self-regulated learning dengan menggunakan model Problem-Based
Learning dan soal-soal pemecahan masalah matematis siswa di transfer dari
skala kualitatif kedalam skala kuantitatif dengan ketentuan berikut:
Tabel 7. Kategori Penilaian Sikap
Bobot Penilaian
Alternatif Jawaban
Positif
SS (Sangat Setuju) 4 1
S (Setuju) 3 2
TS (Tidak Setuju) 2 3
STS (Sangat Tidak Setuju) 1 4

b. Mengubah data ordinal menjadi interval


Angket diberikan pada akhir pembelajaran (post-test). Setelah data skala
sikap diubah menjadi data kuantitatif kemudian data hasil angket dengan
skala kuantitatif yang masih berupa data ordinal maka data ordinal perlu
diubah menjadi data interval dengan menggunakan metode MSI (Method of
Successive Interval) dengan bantuan aplikasi XLSTAT 2016 agar lebih
mudah dalam mengkonversikan data yang sudah didapat.
Setelah dilakukan konversi data sikap kemudian dilakukan uji korelasi.
Dalam pembuktian uji korelasi perlu dihitung koefisien korelasi antara
kemampuan pemecahan masalah matematis dengan self-regulated learning
siswa siswa dan uji signifikansinya. Uji korelasi yang dilakukan adalah uji
korelasi menggunakan Pearson. Sugiyono (2017, hlm. 89) menyatakan
hipotes korelasi dalam bentuk hipotesis statistik sebagai berikut:
H 0 : p=0
31
Ha : p≠ 0
Keterangan:
Ho : Tidak terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah dengan
self-regulated learning siswa SMA
Ha : Terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis
dengan self-regulated learning siswa SMA.
Kriteria pengujiannya adalah:
1) Jika nilai sig > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak
2) Jika nilai sig < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima
Sugiyono (2017, hlm. 228) menggunakan rumus korelasi product
moment yang digunakan untuk menghitung koefisien sebagai berikut,

r xy =
∑ xy
√ ∑ x2 y 2
Keterangan:
r xy : korelasi antara variabel x dan y
x : ( x i−x )
y : ( y i− y)
Koefisien korelasi yang telah diperoleh perlu ditafsirkan untuk
menentukan tingkat korelasi. Pedoman untuk memberikan interpretasi
terhadap koefisien korelasi (Sugiyono, 2017, hlm. 231) sebagai berikut,
Tabel 8. Kriteria Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat

O. Prosedur Penelitian
Penelitian ini secara garis besar dilakukan dalam tiga tahap diantaranya:

32
1. Tahap Perencanaan
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah sebagai
berikut:
a. Mengajukan judul penelitian
b. Menyusun proposal penelitian
c. Seminar proposal penelitian
d. Revisi proposal penelitian
e. Mengurus perizinan penelitian
f. Menyusun instrumen penelitian
g. Revisi instrumen penelitian
h. Melakukan uji coba instrument
i. Mengumpulkan data hasil uji coba instrument
j. Analisis hasil uji coba instrument.
2. Tahap Pelaksanaan
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan adalah
sebagai berikut:
a. Melaksanakan pretest kemampuan pemecahan masalah matematis pada
kelas kontrol dan kelas eksperimen.
b. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada kedua kelas, pada kelas
eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menerapkan model Problem-
Based Learning dan pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran
konvensional.
c. Melaksanakan postest kemampuan pemecahan masalah matematis pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol.
d. Memberikan angket self-confidence pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol setelah pembelajaran menggunakan model Problem-Based
Learning dan model pembelajaran konvensional.
3. Tahap Akhir
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap akhir adalah sebagai
berikut:
a. Pengumpulan data hasil pretest dan posttest.
33
b. Pengolahan data hasil pretest dan posttest.
c. Melakukan analisis data hasil penelitian.
d. Membuat kesimpulan data hasil penelitian.
e. Melakukan ujian sidang skripsi.
f. Melakukan perbaikan (revisi) skripsi.

P. Jadwal Penelitian
Waktu Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8
Kegiatan 2022
Pengajuan judul skripsi
Pembuatan proposal skripsi
Seminar Proposal skripsi
Perbaikan Proposal
Administrasi perizinan
penelitian
Pembuatan Perangkat
Pembelajaran dan Instrumen
Pengujian instrumen dan
revisi
Penelitian disekolah
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Pembahasan hasil penelitian
Penulisan dan penyusunan
skripsi

34
DAFTAR PUSTAKA

Annisa, D. (2017). Peningkatan kemampuan representasi matematis dan self


regulated learning siswa sma melalui model pembelajaran problem based
instruction (PBI). Prodi Pendidikan Matematika, FKIP UNPAS
Ansori, Y., & Herdiman, I. (2019). Pengaruh Kemandirian Belajar terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Journal of
Medives: Journal of Mathematics Education IKIP Veteran Semarang, 3(1),
11-19.
Bungsu K. T., Vilardi M., Akbar P., & Bernard M. (). Pengaruh Kemandirian
Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika di SMKN 1 Cihampelas.
Journal On Education. 1(2): halaman. 383
Fatimah, F. (2012). Kemampuan komunikasi matematis dan pemecahan masalah
melalui problem based-learning. Jurnal Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan, 16(1), 249-259.
Gorisson, D.R, (1997). Critical Thingking and Computer Conferencing : A Model
and Tool to Assec Cognitive Presence. Tersedia di:
http://communitiesofinquiry.com/documents/CogPresFinal.pdf (23 Januari
2022)
HD Putra, dkk. (2018). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self-
confidence Siswa SMP. SJME: Supremum Journal of Mathematics
Education. 2(2): halaman 60-61.
HD Putra, dkk. (2018). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP
pada Materi Bangun Ruang. JIPM: Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika.
6(2): halaman 82-90.
Hosnan, M. (2016). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran
Abad 21. Ghalla Indonesia.
Lestari, K.E., & Yudhanegara, M.R. (2017). Penelitian pendidikan matematika.
Bandung: Refika Aditama

35
Merika & Sujana. (2017). Kemampuan Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah
Matematis Siswa SMA. JPPM: Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan
Masyarakat. 10(2): halaman 12.
Musliha dan Rena Revita (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem-Based
Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau
dari Self- Regulated Learning Siswa. JRPM : Jurnal Review Pembelajaran
Ilmiah. 6(1): 68-82
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Tersedia
dalam:
https://drive.google.com/file/d/0B9YAuBsLtLV_WUdWaXhES1NnOFE/vi
ew
Panjaitan, M., & Rajagukguk, S. R. (2018). Upaya Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Problem Based Learning Di Kelas X SMA. Inspiratif: Jurnal
Pendidikan Matematika, 3(2). 1-17.
Panjaitan, dkk. (2017). Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Problem-
Based Learning di Kelas X SMA. (Jurnal Inspiratif). 3(2): hlm 5.
Paridjo, P. (2018, February). Kemampuan Berpikir Aljabar Mahasiswa Dalam
Materi Trigonometri Ditinjau Dari Latar Belakang Sekolah Malalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. In PRISMA, Prosiding Seminar Nasional
Matematika (Vol. 1, pp. 814-829).
Prima Riyani, dkk (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem-Based
Learning Berbantuan Google Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa SMKN 2 Bogor. JRPMS: Jurnal Riset
PembelajaranMatematika Sekolah. 5(2): 27-34
Savira, F & Suharsono, Y. (2013). Self-regulated learning (SLR) dengan
prokrastnasi akademik pada siswa akselerasi. Journal of Mathematics
Education, Science and Technology. 1(1): halaman 70.
Sugiyono. (2017). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta

36
Shoimin, Aris. 2017. 68 Model Pembelajran Inovatif dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suherman, E dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk praktis untuk melaksanakan
evaluasi pendidikan matematika. Bandung: Wijayakusumah
Suherman, E. (2003). Evaluasi pembelajaran matematika. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia
Sulaeman, Erwin., dkk, & Astriyani, Arlin. (2016). Upaya Meningkatkan
Kemanpuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Melalui Strategi
Problem Based Learning Pada Kelas VIII-C SMP Muhammadiyah 29
Saangan Depok. FIBONACCI: Jurnal Pendidikan Matematika &
Matematika, 2(1), 31-43.
Sumarmo, U. (2006). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa
SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai
Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun
Ketiga. UPI Bandung.
Uyanto, S. S. (2006). Pedoman analisis data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Yulanda,S. (2017). Perbandingan Peningkatan kemampuan Pemecahan masalah
Matematis dan Pencapaian Self regulated Learning antara Siswa yang
Mendapatkan Model Situation Based Learning dengan Pendekatan Saintifik.
Tesis Pendidikan Matematika UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Yuliasari, E. (2017). Eksperimentasi model PBL dan model GDL terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis ditinjau dari kemandirian belajar.
JIPM (Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika), 6(1), 1-10.
Zimmerman, B.J. (1989). A Sosial Cognitive View of Self-Regulated Academic
Learning. Journal of Educational Psychology. 81(3). 329-339

37
38

Anda mungkin juga menyukai