Proposal Skripsi
Oleh:
NPM 18505004
oleh
ZULHA AZHARI AZIS
NIM 185050045
Disetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
……………………………… …………………………
……. NIPY.
NIP.
Diketahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Matematika,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt karena dengan rahmat,
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi ini dengan judul
Pengaruh Model Problem-Based Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Ditinjau dari Self-regulated Learning siswa SMA. Salawat
dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarganya, sahabatnya serta
pengikutnya hingga akhir zaman, aamiin.
Penulis sangat menyadari akan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki,
meskipun demikian penulis berusaha dengan sekuat daya untuk menyusun
proposal skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Proposal skripsi ini tidak dapat
terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Beni Yusepa G. P.,
M.Pd. dan Ibu Dahlia Fisher M.Pd. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi
Pendidikan Matematika, para dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan
Matematika yang telah memberikan bimbingan dan nasehat sehingga proposal
skripsi ini dapat terselesaikan, juga kepada berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Meskipun demikian, penulis berharap proposal skripsi ini dapat berguna bagi
penulis pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
dan semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
v
A. Judul
Pengaruh Model Problem-Based Learning Berbantuan Google Classroom
Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau dari Self-
regulated Learning Siswa SMA
1
mata pelajaran yang wajib. Karena matematika menjadi mata pelajaran dasar yang
bisa diterapkan dalam mata pelajaran lainnya serta dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun tujuan dari pembelajaran matematika salah satunya adalah untuk
memberikan kemampuan pemecahan masalah pada siswa. Hal ini sejalan dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang menyatakan bahwa mata
pelajaran matematika memiliki suatu tujuan dalam pembelajaran, salah satu
tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah,
memiliki rasa ingin tahu, ketertarikan dalam mempelajari matematika, rajin,
mandiri dan yakin dalam menyelesaikan pemecahan masalah (Kemendikbud,
2006, hlm. 346). Begitu juga pandangan NCTM (National Council of Teachers of
Mathematics, 2000, hlm. 29) menyatakan bahwa pemecahan masalah menjadi
salah satu standar proses dalam pembelajaran matematika.
Kemampuan pemecahan masalah sebagai salah satu kemampuan yang perlu
dimiliki oleh setiap siswa, karena dengan adanya kemampuan pemecahan masalah
ini dapat melatih siswa dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada
pada soal matematika. Polya (Hendriana, Rohaeti dan Sumarmo, 2017, hlm. 44)
menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah usaha untuk mencari jalan keluar
dari permasalahan yang ada untuk mencapai suatu tujuan. Pemecahan masalah ini
merupakan kemampuan dasar dalam proses pembelajaran matematika yang dapat
membantu siswa untuk berpikir kreatif, kritis serta mengembangkan kemampuan-
kemampuan matematis lainnya. Kemampuan pemecahan masalah ini menjadi
jantung daring belajar matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Branca (HD
Putra, dkk. 2018) menyatakan bahwa, kemampuan pemecahan masalah
merupakan suatu kemampuan dasar dalam proses pembelajaran yang dianggap
sebagi jantung dari matematika dan menjadi inti dari kurikulum matematika.
Kemampuan pemecahan masalah matematis ini merupakan salah satu
kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa, karena kemampuan pemecahan
masalah berguna untuk siswa ketika mendalami matematika begitupun dalam
kehidupan sehari-hari. Bersadarkan hal tersebut diharapkan setiap siswa dapat
memecahkan suatu permasalahan-permasalahan yang ada dalam pembelajaran.
2
Namun, Pada kenyataan kemampuan pemecahan masalah matematis pada tingkat
SMAmasih tergolong rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Merika
& Sujana (2017, hlm: 12) pada SMA kelas XII, banyak siswa ada 133 orang. Dua
soal uraian yang diujikan kepada peserta didik. Berdasarkan data yang diperoleh
terdapat 66 siswa yang kemampuannya dibawah rata-rata atau kemampunnya
tergolong kurang dengan persentase 50%, terdapat 33 siswa yang kemampuannya
tergolong cukup dengan persentase 25%, dan juga terdapat 33 siswa yang
kemampuannya tergolong tinggi atau diatas rata-rata dengan persentase 25%. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan, dkk (2017, hlm.
5) pada SMA kelas X, banyak peserta didik ada 38 orang. Empat soal yang
diujikan kepada peserta didik, terdapat 4 peserta didik dengan kemampuan
tergolong cukup dengan persentase 10,05%, terdapat 34 peserta didik dengan
kemampuan tergolong kurang dengan persentase 89,47%.
Berdasarkan uraian diatas dan hasil penelitian terdahulu terkait rendahnya
kemampuan pemecahan masalah matematis guru dituntut untuk lebih kreatif lagi
dalam menentukan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah model
problem-based learning. Model problem-based learning merupakan model
pembelajaran berbasis masalah yang mangaitkan pembelajaran kedalam
kehidupan nyata. Yuliasari dan Evi (2017) menyatakan bahwa, Problem-Based
Learning (PBL) merupakan suatu model yang dimulai dengan menghadapkan
peserta didik pada masalah keseharian yang nyata atau masalah yang
disimulasikan sehingga peserta didik diharapkan menjadi terampil dalam
memecahkan masalah. Penelitian yang ditulis oleh Panjaitan dan Rajagukgug
(2017) menujukan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based
Learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika
peserta didik. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sulaiman dkk (2016) dalam
penelitiannya menunjukan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematika peserta didik melalui strategi Problem Based Learning.
Berdesarkan beberapa hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan model Problem Based Learning dapat dijadikan sebagai
3
salah satu alternatif pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan matematik peserta didik.
Adapun tahapan model Problem-Based Learning menurut Trianto
( Isrok’atun, dkk. 2018: hlm 46) adalah sebagai berikut:
1. Orientasi peserta didik pada masalah
2. Mengorganisasikan peserta didik dalam belajar
3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
5. Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Sebelumnya kondisi Indonesia yang menjadi salah satu Negara yang
terserang dengan adanya virus covid-19 yang mengakibatkan pebelajaran
disekolah harus dilakukan secara online atau daring. Namun, saat ini dengan
pemulihan kondisi tersebut akhirnya pembelajaran disekolah mulai normal
kembali walaupun masih ada juga beberapa sekolah yang masih membatasi
pembelajaran tatap muka disekolah. Hal ini tentunya memberikan dampak yang
kurang baik bagi siswa. Banyak siswa yang merasa kesulitan dalam memahami
materi pembelajaran karena kurangnya penyampain guru dalam menjelaskan
materi pembelajaran, sehingga tujuan dari pembelajaran tidak sepenuhnya
Selain model pembelajaran, masih banyak hal yang mempengaruhi
kemampuan pemecahan masalah, salah satunya adalah self-regulated learning
(kemandirian belajar). Sumarmo (2006) menyatakan bahwa, self-regulated
learning sebagai proses perancangan dan pemantauan yang seksama terhadap
proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik. Dalam hal
ini, self-regulated learning bukan merupakan kemampuan mental atau
keterampilan akademik tertentu, melainkan merupakan proses pengarahan diri
dalam mentransformasikan kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik
tertentu. Schunk dan Zimmerman (Hendriana,dkk. 2017: hlm228) menyatakan
bahwa, kemandirian belajar sebagai proses belajar yang terjadi karena pengaruh
dari pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri yang berorientasi pada
pencapaian tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurt Asy’ari dan
Rahimah (2018) Kemandirian belajar merupakan suatu proses mengaktifkan dan
4
mempertahankan pikiran, tindakan dan emosi kita untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. selanjutnya Melisa (2016) didefinisikan kemandirian belajar sebagai
suatu proses dimana individu berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang
lain, mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajar;
mengidentifikasi sumber belajar yang dapat digunakannya; memilih dan
menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya.
Self-regulated learning siswa merupakan hal yang turut menentukan
pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, hal ini cukup
beralasan karena pembelajaran yang menciptakan situasi pemecahan masalah
sangat memerlukan self-regulated learning siswa dalam pembelajaran. Siswa
yang memiliki self-regulated learning yang lebih tinggi, akan mampu mengatur
waktu dan mengontrol diri dalam berpikir, merencanakan strategi, kemudian
melaksanakannya serta mengevaluasi. Namun, pada kenyataannya kemandirian
belajar siswa masih tergolong rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Septiana (dalam Savira & Suharsono, 2013 hlm.70) bahwa 45,8% siswa memiliki
kemandirian belajar tinggi, sedangkan 54,2% siswa memiliki kemandirian belajar
rendah. Tingkat kemandirian belajar matematis siswa dikatakan masih tergolong
rendah juga dapat dilihat pada penelitian Widiyastuti (dalam Annisa, 2017 hlm. 6)
bahwa diperoleh 46,36% siswa dengan kemandirian belajar sedang dan 35,45%
siswa dengan kemandirian belajar sangat rendah, yang berarti bahwa hanya 18,1%
siswa dengan kemandirian belajar baik.
Adapun indicator kemandirian belajar menurut Sumarmo (2004) diantaranya:
1. Berinisiatif dalam belajar
2. Merancang kebutuhan belajar
3. Menetapkan tujuan belajar
4. Memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar
5. Menganggap kesulitan sebagai tantangan
6. Memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan
7. Menetapkan strategi belajar
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
9. Memiliki konsep diri
5
Nurhayati (Yuliasari, 2017) menyatakan bahwa kemandirian belajar
merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju
demi kebaikan dirinya, mampu menggambil keputusan, berinisiatif untuk
mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki percaya diri dalam mengerjakan
tugas-tugas, dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Menurut Knowless
(Rusman, 2016) menyatakan bahwa, kemandirian belajar berkaitan dengan belajar
mandiri namun bukanlah belajar sendiri, peserta didik boleh bertanya, berdiskusi
ataupun meminta penjelasan dari orang lain. Namun pada kenyataanya
menunjukan bahwa kemandirian belajar peserta didik masih belum maksimal. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik membuat proposal penelitian
dengan judul “Pengaruh Model Problem-Based Learning Berbantuan Google
Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau dari
Self-regulated Learning Siswa SMA ”
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang, didapatkan bahwa identifikasi dalam penelitian
ini adalah :
1. Kemampuan pemecahan masalah yang rendah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Merika & Sujana (2017, hlm: 12)
pada SMA kelas XII, banyak siswa ada 133 orang. Dua soal uraian yang diujikan
kepada peserta didik. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 66 siswa yang
kemampuannya dibawah rata-rata atau kemampunnya tergolong kurang dengan
persentase 50%, terdapat 33 siswa yang kemampuannya tergolong cukup dengan
persentase 25%, dan juga terdapat 33 siswa yang kemampuannya tergolong tinggi
atau diatas rata-rata dengan persentase 25%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan, dkk (2017, hlm. 5) pada SMA kelas X,
banyak peserta didik ada 38 orang. Empat soal yang diujikan kepada peserta
didik, terdapat 4 peserta didik dengan kemampuan tergolong cukup dengan
persentase 10,05%, terdapat 34 peserta didik dengan kemampuan tergolong
kurang dengan persentase 89,47%.
2. Self-regulated Learning siswa rendah
6
Masih banyak siswa yang bergantung pada informasi yang berasal dari guru
saja, siswa belum mempunyai inisiatif untuk belajar sendiri dengan memperoleh
dari buku cetak yang dimilikinya, serta sebagian siswa saat diberikan tugas saling
bergantung kepada temannya alih-alih bekerja sama untuk mengerjakan tugas
tersebut (Bungsu, 2018, hlm.383). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Septiana (dalam Savira & Suharsono, 2013 hlm.70) bahwa 45,8% siswa memiliki
kemandirian belajar tinggi, sedangkan 54,2% siswa memiliki kemandirian belajar
rendah. Tingkat kemandirian belajar matematis siswa dikatakan masih tergolong
rendah juga dapat dilihat pada penelitian Widiyastuti (dalam Annisa, 2017 hlm. 6)
bahwa diperoleh 46,36% siswa dengan kemandirian belajar sedang dan 35,45%
siswa dengan kemandirian belajar sangat rendah, yang berarti bahwa hanya 18,1%
siswa dengan kemandirian belajar baik.
D. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa SMA yang diberikan model Problem-Based Learning
berbantuan google classroom dengan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa SMA yang diberikan pembelajaran biasa ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
SMA yang memiliki Self-regulated Learning rendah, sedang dan tinggi ?
3. Apaah terdapat korelasi antara Self-regulated Learning dengan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMA ?
E. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah, yang menjadi tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan hal- hal sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
matematis siswa SMA yang belajar menggunakan model Problem-Based
Learning dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran biasa.
2. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
antara siswa SMA yang memiliki Self-regulated Learning tinggi, sedang dan
rendah.
7
3. Untuk mengetahui interaksi antara model Problem-Based Learning dengan
Self-regulated Learning terhadap kemampuan pemahaman pemecaan masalah
matematis siswa SMA.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut :
1. Mamfaat teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
peneliti lain dalam hal “Pengaruh Model Problem-Based Learning
Berbantuan Google Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis ditinjau Self-regulated Learning Siswa SMA”
2. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada beberapa pihak, diantaranya:
a. Bagi peneliti
Memberikan pengalaman langsung dalam menerapkan pembelajaran
dengan model Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis ditinjau dari Self-
regulated Learning dan bisa menjadi bekal sebagai mahasiswa dan calon guru
matematika dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas di
lapangan.
b. Bagi peserta didik
Dapat menjadi motivasi belajar matematika agar siswa merasa
pembelajaran matematika tidak membosankan dan kemampuan dalam belajar
sehingga hasil belajar matematika siswa memuaskan
c. Bagi guru
Dapat memberikan masukan dalam mengelola pembelajaran matematika
yang lebih kreatif dan inovatif salah satunya dengan menggunakan model
Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom
d. Bagi Sekolah
8
Dapat memberikan sumbangan ilmu dan informasi yang diharapkan bisa
dijadikan sebagai bahan kajian bersama agar dapat meningkatkan kualitas
sekolah.
G. Definisi Operasional
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak terjadi kesalah pahaman terhadap
istilah yang digunakan dalam penelitian ini, berikut ini diuraikan beberapa definisi
yang digunakan, diantaranya:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Pemecahan masalah merupakan kemampuan dalam menyelesaikan masalah
dengan mencari solusi penyelesaian dari suatu permasalahan yang dihadapi
sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Permasalahan-permasalahn
dalam bidang matematika maupun dalam kehidupan nyata.
2. Model Problem-Based Learning
Model Problem Based-Learning merupakan model pembelajaran yang lebih
berpusat terdahap peserta didik dan mengarahkan mereka dalam suatu
permasalahan keseharian yang nyata sehingga peserta didik lebih terampil
dalam memecahkan masalah.
3. Google Classroom
Google Classroom merupakan aplikasi berupa learning system management
yang disediakan google dan bisa dihubungkan dengan email, sehingga mudah
untuk diakses. Google Classroom ini didesain untuk membantu pengajar
membuat dan membagikan tugas kepada pelajar secara paperless.
4. Self-regulated Learning
self-regulated Learning (kemandirian belajar) adalah suatu proses belajar
yang terjadi karena pengaruh dari pikiran, perasaan, strategi, dan perilaku
sendiri dengan atau tanpa bantuan orang laiun untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
5. Model Pembelajaran Biasa
Model pembelajaran biasa yang dimaksdud dalam penelitian disini adalah
model pembelajaran yang biasa diterpkan leh guru disekolah dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar sehari-hari sesuai dengan kurikulum
9
yang berlaku di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil observasi peneliti dengan
guru matematika disekolah tempat penelitian, diperoleh informasi bahwa
sekolah telah menerapkan pembelajaran dengan kurikulum 2013 dan
pembelajaran biasa yang dilakukan disekolah tersebut ialah Discovery
Learning.
H. Kajian Teori
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Pemecahan masalah adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh
siswa oleh karena dengan pemecahan masalah siswa dapat menyelesaikan soal-
soal matematika. menurut NCTM (2000, hlm. 52) menyatakan bahwa, dengan
memecahkan masalah matematika siswa harus memperoleh cara berpikir,
kebiasaan ketekunan dan rasa keingintahuan, dan keyakinan pada diri sendiri
untuk mengutarakan ide-idenya. Polya (Paridjo, 2018: 820) menyatakan bahwa,
pemecahan masalah adalah usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk
mencapai tujuan yang tidak segera diperoleh. Sejalan dengan pendapat tersebut,
menurut Rinny dan Indri (Ansori, Yusup dan Herdiman, 2019: 12) menyatakan
bahwa, pemecahan masalah merupakan suatu proses untuk menyelesaiakan suatu
persoalan dengan menggunakan prosedur-prosedur untuk menuju penyelesaian
yang diharapkan.
Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah menurut Polya (dalam
Panjaitan, 2017, hlm. 5) diantaranya:
1) Memahami masalah, yaitu siswa mampu untuk membuat data dari apa yang
telah diketahuinya dan menanyakan apa yang belum ia ketahui.
2) Merencanakan solusi, yaitu merancang solusi yang sudah dilaksanakan
dengan kesamaan permasalahan yang akan dicari solusinya.
3) Menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana, menjalankan rangkaian yang
telah dibuat untuk mendapatkan penyelesaian.
4) Melakukan pengecekan kembali, yaitu mengkoreksi jawaban dari awal hingga
akhir baik hasil pernyataan yang diperoleh maupun sanggahannya, mencari
solusi dengan cara lain dengan jawaban akhir yang sama, memeriksa apakah
hasil dan cara tersebut bisa digunakan untuk memecahkan soal lainnya.
10
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah
merupakan kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan mencari solusi
penyelesaian dari suatu permasalahan yang dihadapi sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Permasalahan-permasalahn dalam bidang matematikan
maupun dalam kehidupan nyata. Dengan indikatornya yakni memahami masalah,
merencanakan solusi, menyelesaikan permasalahan dengan solusi yang telah
ditentukan, serta memeriksa kembali setiap langkah yang telah dikerjakan.
2. Model Problem-Based Learning
Model problem-based learning merupakan model pembelajaran berbasis
masalah yang mangaitkan pembelajaran kedalam kehidupan nyata. Menurut Duch
(Lestari dan Yudhanegara, 2017: hlm 42) mengemukakan bahwa Problem Based
Learning merupakan model pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar
bagimana belajar, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari
permasalahan dunia nyata. Senada dengan Duch mengenai pengertian Problem
Based Learning, Yuliasari (2017: hlm 1) mengemukakan bahwa Problem-Based
Learning (PBL) merupakan suatu model yang dimulai dengan menghadapkan
peserta didik pada masalah keseharian yang nyata atau masalah yang
disimulasikan sehingga peserta didik diharapkan menjadi terampil dalam
memecahkan masalah. Barrow (Sholikhah, dkk. 2019: hlm 34) menyatakan
bahwa, Problem-Based Learning (PBL) sebagai pembelajaran yang diperoleh
melalui proses menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Problem-Based Learning (PBL)
adalah model pembelajaran yang lebih berpusat terdahap peserta didik dan
mengarahkan mereka dalam suatu permasalahan keseharian yang nyata sehingga
peserta didik lebih terampil dalam memecahkan masalah.
Adapun tahapan model Problem Based menurut Trianto ( Isrok’atun, dkk.
2018: hlm 46) adalah sebagai berikut:
14
menghemat waktu, mengelola kelas dan meningkatkan komunikasi dengan siswa-
siswanya. Dengan google classroom ini dapat memudahkan peserta didik dan
pengajar untuk saling terhubung dan mengakseknya kapan saja.
menurut Janzen M dan Mary (dalam Iftakhar, 2016) menyatakan bahwa,
kelebihan dari Google Classroom antara lain sebagai berikut:
a. Mudah digunakan
Desain dari google classroom sengaja menyederhanakan antarmuka
instruksional dan opsi yang digunakan untuk tugas pengiriman dan pelacakan;
komunikasi dengan keseluruhan khusus atau individu juga disederhanakan
melalui pemberitahuan pengumuman dan email.
b. Menghemat waktu
Google classroom dirancang untuk menghemat waktu. Hal ini dapat
mengintegrasikan dan mengotomatisasi penggunaan aplikasi Google lainnya,
termasuk dokumen, slide, dan spreadsheet, proses pemberian distribusi dokumen,
penilaian, penilaian formatif, dan umpan balik disederhanakan dan
disederhanakan
c. Berbasis cloud
Google classroom menghadirkan teknologi yang lebih profesional dan otentik
untuk digunakan dalam lingkungan belajar karena aplikasi google mewakili
sebagian besar alat komunikasi perusahaan berbasis cloud yang digunakan di
seluruh angkatan kerja profesional.
d. Fleksibel
Aplikasi ini mudah diakses dan dapat digunakan oleh instruktur (pendidik)
dan peserta didik di lingkungan belajar tatap muka dan lingkungan online
sepenuhnya. Hal ini memungkinkan para pendidik untuk mengeksplorasi dan
memengaruhi metode pembelajaran yang lebih mudah serta dapat otomatis
mengatur distribusi, pengumpulan tugas dan komunikasi dalam beberapa
instruksional.
e. Gratis
Google classroom sendiri sudah dapat digunakan oleh siapapun untuk
membuka kelas di google classroom dengan memiliki akun gmail dan bersifat
15
gratis. Selain itu dapat mengakses semua aplikasi lainnya, seperti drive,
documents, spreadsheets, slides, dll. Cukup dengan mendaftar ke akun google.
f. Ramah seluler
Google classroom dirancang agar responsif. Mudah digunakan pada
perangkat mobile manapun. Akses mobile ke materi pembelajaran yang menarik
dan mudah untuk berinteraksi sangat penting dalam lingkungan belajar terhubung
web saat ini.
4. Self-regulated Learning
menurut Suhendri (Bungsu, dkk. 2019, hlm. 383) menyatakan bahwa, Self-
Regulated Learning atau dikenal dengan kemandirian dalam belajar adalah elemen
penting dalam pembelajaran matematika. Kemandirian dapat diartikan sebagai
keinginan untuk menguasai dalam mengendalikan tindakan-tindakan sendiri dan
bebas akan pengendalian dari luar. Sejalan dengan yang diungkapkan Jumaisyaroh
(Amalia, dkk., 2018, hlm. 889) menyatakan bahwa, upaya dalam memecahkan
masalah yang berkaitan dengan penguasaaan materi dengan caranya dan motivasi
dari diri sendiri dikenal dengan kemandirian belajar. Sehingga dapat dikatakan
kemandirian belajar akan membuat siswa menjadi aktif baik sebelum maupun
sesudah proses pembelajaran. Oleh karena itu, siswa dengan kemandirian belajar
yang tinggi cenderung belajar dan dapat menyelesaikan masalah matematika
dengan lebih baik. Sedangkan menurut Nurhayati (2017, hlm. 21) dan Hargis &
Kerlin (Hadin, dkk., 2018, hlm. 659) siswa dengan kemandirian belajar tinggi
cenderung lebih unggul dalam mengatur waktu dan merencanakan strategi
belajarnya, kemudian mengimplementasikannya serta mengevaluasi.
menurut Asy’ari dan Rahimah (2018) Kemandirian belajar merupakan suatu
proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, tindakan dan emosi kita untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. selanjutnya Melisa (2016) didefinisikan
kemandirian belajar sebagai suatu proses dimana individu berinisiatif belajar
dengan atau tanpa bantuan orang lain, mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri,
merumuskan tujuan belajar; mengidentifikasi sumber belajar yang dapat
digunakannya; memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil
belajarnya.
16
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self-regulated Learning
(kemandirian belajar) adalah suatu proses belajar yang terjadi karena pengaruh
dari pikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri dengan atau tanpa bantuan
orang laiun untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Adapun indicator kemandirian belajar menurut Sumarmo (2004) diantaranya:
1) Berinisiatif dalam belajar
2) Merancang kebutuhan belajar
3) Menetapkan tujuan belajar
4) Memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar
5) Menganggap kesulitan sebagai tantangan
6) Memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan
7) Menetapkan strategi belajar
8) Mengevaluasi proses dan hasil belajar
9) Memiliki konsep diri
5. Model Discovery Learning
Menurut Hosnan (2016:282), pembelajaran discovery learning merupakan
model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan penemuan yang
menekankan kemampuan berpikir analitis dan mencoba memecahkan sendiri
masalah yang dihadapi.
Adapun sintaks model discovery learning menurut Syah (Hosnan, 2016:289),
yaitu:
1) stimulation atau pemberian rangsangan
2) problem statement atau identifikasi masalah
3) data collection atau pengumpulan data
4) data processing atau pengolahan data
5) verification atau pembuktian
6) generalization atau menarik kesimpulan.
6. Penelitian Relevan
a. Musliha dan Rena Revita (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem
Based Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Ditinjau dari Self- Regulated Learning Siswa.
17
b. Prima Riyani, dkk (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem-Based
Learning Berbantuan Google Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa SMKN 2 Bogor.
I. Kerangka Pemikiran
Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sangat sulit
sehingga siswa tidak memiliki ketertarikan untuk belajar matematika.
Pembelajaran matematika yang sering kita jumpai sampai saat ini salah satunya
adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan model ekspositori yang
cenderung hanya dilakukan satu arah, sehingga siswa menjadi pasif dalam
kegiatan belajar mengajar. Dampak dari pada hal tersebut mengakibatkan tidak
tercapainya ketuntasan belajar matematika yang dapat dilihat dari prestasi belajar
siswa dalam matematika masih tergolong rendah. Dalam pembelajaran
matematika, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengajar
suatu pokok bahasan adalah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan
materi yang diajarkan. Melihat kondisi siswa terdapat perbedaan karakteristik
antara satu dengan yang lainnya ketika menerima materi ajar yang disajikan oleh
guru dikelas dan sikap dalam belajar. Untuk dapat membentuk kemampuan
memecahkan persoalan-persoalan dalam pembelajaran pada peserta didik dan
adanya kemandirian belajar pada peserta didik, maka diperlukan suatu
pembelajaran yang membantu siswa untuk mencapai tujuan pebelajaran seperti
yang diharapkan.
Berdasarkan hal tersebut perlu diterapkan model pembelajaran yang dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self-regulated
Learning siswa. Salah satu model yang diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self-regulated Learning siswa
adalah model Proble-Based Learning Berbantuan Google Classroom.
Gambar Kerangka Pemikiran
Model Problem-
Based Learning Pemecahan masalah
d Learning berbantuan matematis
Gogle Classroom
J. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan kajian teori yang telah diuraikan, maka
hipotesis dalam penilitian ini adalah :
a. Terdapat perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
SMA yang diberikan model Problem-Based Learning berbantuan google
classroom dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA
yang diberikan pembelajaran biasa.
19
b. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA
yang memiliki Self-regulated Learning rendah, sedang dan tinggi.
c. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan Self-regulated Learning
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA.
2. Instrumen Penelitian
a. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Tes kemampuan pemecahan masalah matematis ini dilaksanakan pada
saat tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Instrumen kemampuan
pemecahan masalah matematis ini berupa soal uraian dengan tujuan agar
peneliti dapat mengamati langkah kerja siswa dalam proses penyelesaian
suatu masalah. Akan tetapi sebelum instrumen tersebut digunakan sebagai
pretest dan posttest maka perlu beberapa pengujian agar instrumen yang
digunakan baik. Adapun beberapa pengujian terhadap instrumen tes
kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai beriku:
1. Validitas
Tes kemampuan pemecahan masalah matematis ini dilaksanakan pada
saat tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Instrumen kemampuan
pemecahan masalah matematis ini berupa soal uraian dengan tujuan agar
peneliti dapat mengamati langkah kerja siswa dalam proses penyelesaian
suatu masalah. Akan tetapi sebelum instrumen tersebut digunakan sebagai
pretest dan posttest maka perlu beberapa pengujian agar instrumen yang
digunakan baik. Adapun beberapa pengujian terhadap instrumen tes
kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai berikut:
n ∑ xy−∑ ( x )( y)
r xy
√¿ ¿ ¿
22
Keterangan:
r xy : koefisien korelasi tiap butir soal
n : banyaknya responden
∑x : jumlah skor tiap butir soal
2. Reliabilitas
Suherman & Sukjaya (1990, hlm. 167) mengatakan bahwa “reliabilitas
merupakan suatu alat ukur atau alat evaluasi yang dimaksudkan sebagai suatu
alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten atau ajeg)”. Untuk
menghitung koefisien reliabilitas menggunakan rumus Cronbach Alpha dalam
Suherman (2003, hlm. 154) adalah sebagai berikut:
( )( ∑ si
)
2
n
r 11= 1− 2
n−1 st
23
Keterangan:
r 11 : koefisien reliabilitas
n : banyak butir soal
2
si : varians skor tiap butir soal
2
st : varians skor total
Seperti halnya koefisien validitas yang telah diutarakan, untuk koefisien
reliabilitas yang menyatakan derajat keterandalan alat evaluasi, dinyatakan
dengan r_11. Tolak ukur dapat digunakan merupakan tolak ukur yang dibuat
oleh J.P. Guilford (Suherman, 2003, hlm. 139) sebagai berikut:
3. Indeks Kesukaran
Suatu soal yang dikatakan memiliki tingkat kesukaran baik apabila soal
tersebut tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah, jika soal terlalu mudah
maka tidak akan merangsang siswa dalam berpikir sebaliknya jika soal terlalu
sulit siswa cenderung akan merasa putus asa, untuk itu perlu dihitung derajat
kesukaran dari setiap soal. Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan
dengan indeks kesukaran. Menghitung indeks kesukaran setiap butir soal
menurut Lestari & Yudhanegara (2017, hlm. 224) menggunakan rumus (soal
tipe uraian) sebagai berikut:
x
IK =
SMI
Keterangan:
24
IK : indeks kesukaran
x : nilai rata-rata siswa
SMI : Skor Maksimal Ideal (Bobot)
Klasifikasi indeks kesukaran tiap butir soal (Lestari & Yudhanegara,
2017, hlm. 224) adalah sebagai berikut:
4. Daya Pembeda
Daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara responden yang
mengetahui jawaban soal tersebut dengan benar dengan responden yang tidak
dapat menjawab soal tersebut (Lestari & Yudhanegara, 2017, hlm. 217).
Rumus untuk menentukan daya pembeda soal tipe uraian adalah sebagai
berikut:
xA− X B
DP=
SMI
Keterangan:
DP : indeks daya pembeda butir soal
x A : rerata skor dari siswa kelompok atas
X B : rerata skor dari siswa kelompok bawah
SMI : Skor Maksimal Ideal (bobot)
Klasifikasi interpretasi yang digunakan untuk daya pembeda (Lestari &
25
Yudhanegara, 2017, hlm. 217) adalah sebagai berikut:
Untuk melihat interpretasi Indeks Gain dapat dilihat pada tabel berikut:
g ≤0,30 Rendah
26
Setelah mendapatkan rerata indeks gain lalu kita bandingkan data indeks
gain kelas ekperimen dan kelas kontrol dengan bantuan program software
SPSS 23.0 for Windows. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
27
memiliki varians yang tidak sama (tidak homogen)
d. Uji Kesamaan Dua Rerata (Uji-t) Indeks Gain
Uji kesamaan dua rerata dilakukan berdasarkan kriteria kenormalan dan
kehomogenan data skor n-gain. Jika kedua kelas berdistribusi normal dan
bervariasi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t atau
Independent sample test. Apabila data berdistribusi normal dan memiliki
varians yang tidak homogen, pengujian dilakukan menggunakan uji-t.
Hipotesisnya dirumuskan dalam bentuk hipotesis statistik sebagai berikut
(Sugiyono, 2017, hlm. 121):
Ho : μ 1 ≤ μ 2
H a : μ 1 ¿ μ2
Dengan:
Ho : Tidak terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model
Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa
SMA yang diberikan model pembelajaran biasa
Ha : Terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model Problem-
Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa SMA
yang diberikan model pembelajaran biasa
Kriteria pengujian untuk dua rerata adalah :
1) Jika nilai sig > 0,05, maka H 0 diterima dan H a ditolak
2) Jika nilai sig < 0,05, maka H 0 ditolak dan H a diterima
e. Uji Non Parametis Indeks Gain
Jika data tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji statistik non
parametris yaitu uji Mann-Whitney. Uji non parametris dapat dilakukan
dengan uji Mann-Whitney dengan menggunakan program software SPSS 17.0
for Windows.
2. Analisis Pencapaian Self-regulated Learning
Data hasil isian mengenai Self-reulated Learning yang masih berskala
sikap diubah menjadi skala kuantitatif dengan menggunakan bobot skala
Likert. Kemudian data hasil angket dengan skala kuantitatif masih berupa
data ordinal maka data ordinal perlu diubah menjadi data interval
28
menggunakan metode MSI (Method of Successive Interval) dengan bantuan
aplikasi XLSTAT 2016 agar lebih mudah dalam mengkonversikan data yang
sudah didapat.
Setelah mendapatkan data hasil angket bandingkan data hasil angket
kelas ekperimen dan kelas kontrol dengan bantuan program software SPSS
17.0 for Windows. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Analisis Statistik Deskriptif
Berdasarkan statistik deskriptif data hasil angket diperoleh skor
maksmimum, skor minimum, rata-rata, simpangan baku, dan varians kelas
eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan software SPSS 17.0 for
Windows.
b. Uji Normalitas
Menguji normalitas skor angket self-regulated learning siswa di kelas
eksperimen dan kelas kontrol dengan uji Shapiro-Wilk menggunakan program
software SPSS 17.0 for Windows. Perumusan hipotesis yang digunakan adalah
uji normalitas sebagai berikut:
Ho : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Ha : Data berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian hipotesis menurut Uyanto (2006, hlm. 36):
1) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ≥ 0,05 maka Ho diterima
2) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya < 0,05 maka Ha ditolak
c. Uji Homogenitas Dua Varians
Menguji homogenitas dua varians dengan uji Levene dengan
menggunakan program software SPSS 17.0 for Windows. Perumusan hipotesis
yang digunakan untuk menguji homogenitas varians adalah sebagai berikut:
Ho : Varians data homogen
Ha : Varians data tidak homogen
Kriteria pengujian hipotesis menurut Uyanto (2006, hlm. 170):
1) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ≥ 0,05 maka data memiliki
varians yang sama (homogen)
2) Jika nilai signifikansi (sig.) pengujiannya ¿ 0,05 maka data memiliki
29
varians yang tidak sama (tidak homogen)
d. Uji Kesamaan Dua Rerata (Uji-t)
Uji kesamaan dua rerata dilakukan berdasarkan kriteria kenormalan dan
kehomogenan data. Jika kedua kelas berdistribusi normal dan bervariasi
homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t atau Independent
sample test. Apabila data berdistribusi normal dan memiliki varians yang
tidak homogen, pengujian dilakukan menggunakan uji-t’. Hipotesisnya
dirumuskan dalam bentuk hipotesis statistik sebagai berikut (Sugiyono, 2017,
hlm. 121):
Ho : μ1 ≤ μ 2
Ha : μ1 ¿ μ2
Dengan:
Ho : Tidak terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model
Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa SMA
yang diberikan model pembelajaran biasa
Ha : Terdapat perbedaan antara siswa SMA yang diberikan model Problem-
Based Learning berbantuan Google Classroom dengan siswa SMA yang
diberikan model pembelajaran biasa
Kriteria pengujian untuk dua rerata adalah :
1) Jika nilai sig > 0,05, maka H 0 diterima dan H a ditolak.
2) Jika nilai sig < 0,05, maka H 0 ditolak dan H a diterima.
e. Uji Non Parametis Indeks Gain
Jika data tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji statistik non
parametris yaitu uji Mann-Whitney. Uji non parametris dapat dilakukan
dengan uji Mann-Whitney dengan menggunakan program software SPSS 17.0
for Windows.
3. Analisis korelasi antara Self-regulated Learning dngan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMA
Untuk dapat mengetahui apakah terdapat hubungan antara kemampuan
pemecahan masalah matematis dengan self-regulated learning siswa yang
menggunakan model Problem-Based Learning berbantuan Google Classroom
30
maka perlu dilakukan analisis data terhadap data akhir kemampuan
pemecahan masalah matematis dan self-regulated learning siswa pada kelas
eksperimen menggunakan uji interaksi. Sebelum dilakukan uji interaksi
dilakukan beberapa kegiatan konversi data sikap seperti berikut:
a. Mengubah data skala sikap kedalam skala kuantitatif
Data hasil isian pada angket yang berupa skala sikap mengenai tanggapan
terhadap self-regulated learning dengan menggunakan model Problem-Based
Learning dan soal-soal pemecahan masalah matematis siswa di transfer dari
skala kualitatif kedalam skala kuantitatif dengan ketentuan berikut:
Tabel 7. Kategori Penilaian Sikap
Bobot Penilaian
Alternatif Jawaban
Positif
SS (Sangat Setuju) 4 1
S (Setuju) 3 2
TS (Tidak Setuju) 2 3
STS (Sangat Tidak Setuju) 1 4
r xy =
∑ xy
√ ∑ x2 y 2
Keterangan:
r xy : korelasi antara variabel x dan y
x : ( x i−x )
y : ( y i− y)
Koefisien korelasi yang telah diperoleh perlu ditafsirkan untuk
menentukan tingkat korelasi. Pedoman untuk memberikan interpretasi
terhadap koefisien korelasi (Sugiyono, 2017, hlm. 231) sebagai berikut,
Tabel 8. Kriteria Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
O. Prosedur Penelitian
Penelitian ini secara garis besar dilakukan dalam tiga tahap diantaranya:
32
1. Tahap Perencanaan
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah sebagai
berikut:
a. Mengajukan judul penelitian
b. Menyusun proposal penelitian
c. Seminar proposal penelitian
d. Revisi proposal penelitian
e. Mengurus perizinan penelitian
f. Menyusun instrumen penelitian
g. Revisi instrumen penelitian
h. Melakukan uji coba instrument
i. Mengumpulkan data hasil uji coba instrument
j. Analisis hasil uji coba instrument.
2. Tahap Pelaksanaan
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan adalah
sebagai berikut:
a. Melaksanakan pretest kemampuan pemecahan masalah matematis pada
kelas kontrol dan kelas eksperimen.
b. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada kedua kelas, pada kelas
eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menerapkan model Problem-
Based Learning dan pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran
konvensional.
c. Melaksanakan postest kemampuan pemecahan masalah matematis pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol.
d. Memberikan angket self-confidence pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol setelah pembelajaran menggunakan model Problem-Based
Learning dan model pembelajaran konvensional.
3. Tahap Akhir
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap akhir adalah sebagai
berikut:
a. Pengumpulan data hasil pretest dan posttest.
33
b. Pengolahan data hasil pretest dan posttest.
c. Melakukan analisis data hasil penelitian.
d. Membuat kesimpulan data hasil penelitian.
e. Melakukan ujian sidang skripsi.
f. Melakukan perbaikan (revisi) skripsi.
P. Jadwal Penelitian
Waktu Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8
Kegiatan 2022
Pengajuan judul skripsi
Pembuatan proposal skripsi
Seminar Proposal skripsi
Perbaikan Proposal
Administrasi perizinan
penelitian
Pembuatan Perangkat
Pembelajaran dan Instrumen
Pengujian instrumen dan
revisi
Penelitian disekolah
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Pembahasan hasil penelitian
Penulisan dan penyusunan
skripsi
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Merika & Sujana. (2017). Kemampuan Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah
Matematis Siswa SMA. JPPM: Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan
Masyarakat. 10(2): halaman 12.
Musliha dan Rena Revita (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem-Based
Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau
dari Self- Regulated Learning Siswa. JRPM : Jurnal Review Pembelajaran
Ilmiah. 6(1): 68-82
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Tersedia
dalam:
https://drive.google.com/file/d/0B9YAuBsLtLV_WUdWaXhES1NnOFE/vi
ew
Panjaitan, M., & Rajagukguk, S. R. (2018). Upaya Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Problem Based Learning Di Kelas X SMA. Inspiratif: Jurnal
Pendidikan Matematika, 3(2). 1-17.
Panjaitan, dkk. (2017). Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Problem-
Based Learning di Kelas X SMA. (Jurnal Inspiratif). 3(2): hlm 5.
Paridjo, P. (2018, February). Kemampuan Berpikir Aljabar Mahasiswa Dalam
Materi Trigonometri Ditinjau Dari Latar Belakang Sekolah Malalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. In PRISMA, Prosiding Seminar Nasional
Matematika (Vol. 1, pp. 814-829).
Prima Riyani, dkk (2021) Pengaruh Model Pembelajaran Problem-Based
Learning Berbantuan Google Classroom Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa SMKN 2 Bogor. JRPMS: Jurnal Riset
PembelajaranMatematika Sekolah. 5(2): 27-34
Savira, F & Suharsono, Y. (2013). Self-regulated learning (SLR) dengan
prokrastnasi akademik pada siswa akselerasi. Journal of Mathematics
Education, Science and Technology. 1(1): halaman 70.
Sugiyono. (2017). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta
36
Shoimin, Aris. 2017. 68 Model Pembelajran Inovatif dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suherman, E dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk praktis untuk melaksanakan
evaluasi pendidikan matematika. Bandung: Wijayakusumah
Suherman, E. (2003). Evaluasi pembelajaran matematika. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia
Sulaeman, Erwin., dkk, & Astriyani, Arlin. (2016). Upaya Meningkatkan
Kemanpuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Melalui Strategi
Problem Based Learning Pada Kelas VIII-C SMP Muhammadiyah 29
Saangan Depok. FIBONACCI: Jurnal Pendidikan Matematika &
Matematika, 2(1), 31-43.
Sumarmo, U. (2006). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa
SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai
Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun
Ketiga. UPI Bandung.
Uyanto, S. S. (2006). Pedoman analisis data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Yulanda,S. (2017). Perbandingan Peningkatan kemampuan Pemecahan masalah
Matematis dan Pencapaian Self regulated Learning antara Siswa yang
Mendapatkan Model Situation Based Learning dengan Pendekatan Saintifik.
Tesis Pendidikan Matematika UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Yuliasari, E. (2017). Eksperimentasi model PBL dan model GDL terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis ditinjau dari kemandirian belajar.
JIPM (Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika), 6(1), 1-10.
Zimmerman, B.J. (1989). A Sosial Cognitive View of Self-Regulated Academic
Learning. Journal of Educational Psychology. 81(3). 329-339
37
38