Anda di halaman 1dari 28

Yth.

Para Peserta Tutorial online (Tuton)

Selamat berjumpa pada kegiatan tutorial online (tuton) mata kuliah PAJA3211-Dasar-Dasar


Perpajakan. Dalam kegiatan ini, Saudara diminta aktif mengikuti tuton, baik dalam
mempelajari materi inisiasi, mengikuti forum diskusi, dan mengerjakan tugas yang diberikan
(minggu ke 3, 5 dan 7) serta mengerjakan Tes Formatif dan tes sumatif pada minggu ke
8, untuk latihan. Perlu kami informasikan, bahwa nilai tuton akan berkontribusi terhadap
nilai akhir mata kuliah hanya jika skor UAS mencapai minimal 30% dari skor
maksimal. 

Matakuliah Dasar-Dasar Perpajakan adalah matakuliah yang bertujuan agar


mahasiswa dapat menerapkan konsep dan teori dalam perpajakan.  

Jika Saudara belum memiliki bahan ajar, silakan akses ruang baca virtual (RBV) pada
perpustakaan digital dengan alamat: http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/ dengan account yang
Saudara miliki

Selanjutnya, untuk lebih saling mengenal, silakan upload Photo profil Saudara. Bagi yang
telah mengupload diucapkan terima kasih

Selamat mengikuti kegiatan tutorial online, selamat belajar, sehat dan sukses selalu.

Sesi 1: Sejarah dan Definisi Pajak

1. Video Sapaan mingguan,


2. Rumusan Capaian Pembelajaran setelah mempelajari materi Sesi 1
3. BMP PAJA3211/Dasar-dasar Perpajakan
4. Pada Sesi I kita akan membahas tentang Sejarah Pemungutan Pajak, Definisi
Pajak, Hak Memungut Pajak, Rumus Pajak, Pungutan lainnya, dan Struktur
Pajak di Indonesia.

Terdapat dua pendekatan yang merupakan dasar bagi fiskus untuk memungut pajak
yaitu benefit principle dan ability to pay principle. Apakah saat ini kedua pendekatan tersebut
masih relevan? Jelaskan !
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Siang ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin.
Sebelumnya, terima kasih kepada ibu yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:
Keadilan merupakan kata kunci dalam upaya pemerintah untuk memungut dana dari
masyarakat. Terdapat dua pendekatan yang merupakan dasar bagi fiskus untuk memungut
pajak yaitu benefit principle dan ability to pay principle.
Apakah kedua pendekatan tersebut masih relevan?
Dikatakan pemungutan pajak itu adil menurut pendekatan benefit principle adalah dalam
suatu sistem perpajakan yang adil, maka setiap Wajib Pajak harus membayar pajak sejalan
dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah. Untuk memungkinkan
pembebanan pajak melalui pendekatan ini, perlu diketahui terlebih dahulu besarnya manfaat
yang dinikmati Wajib Pajak yang bersangkutan dari kegiatan pemerintah yang memerlukan
pengeluaran yang dibiayai dari penerimaan pajak tersebut. Indonesia jelas tidak mungkin
menganut pendekatan benefit principle ini, karena diyakini pemerintah akan kesulitan dalam
menentukan kontra prestasi yang harus diberikan kepada masing-masing pembayar pajak
yang harus proporsional dengan manfaat yang diterima pemerintah. Pungutan dalam bentuk
retribusi adalah dana yang dipungut dengan melalui pendekatan benefit principle ini.
Sebagai contoh, setiap pemerintah menyediakan fasilitas jalan bebas hambatan, untuk
penggunaan fasilitas ini, pemakai jalan bebas hambatan, diwajibkan untuk membayar biaya
dengan tarif tertentu tergantung klasifikasi kendaraan yang dipakai. Jelas bahwa pemakai
jalan bebas hambatan mengorbankan sejumlah pengeluaran untuk manfaat sepadan-
menggunakan jalan bebas hambatan yang langsung disediakan oleh pemerintah. Benefit
principle pada dasarnya hanya mungkin diterapkan atas kegiatan pemerintah di bidang
public utilities. Oleh karena itu diperlukan prinsip pendekatan keadilan yang lain dalam hal
pemungutan pajak. Prinsip pemungutan pajak yang lain adalah the ability-to-pay principle.
Prinsip ini terlihat lebih relevan untuk menjadi latar belakang sistem pemungutan pajak di
Indonesia, karena prinsip ini menyarankan agar pajak itu dibebankan pada para pembayar
pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar masing-masing. Penerapan ability to pay
principle masih relevan dengan sistem perpajakan dewasa ini. Di Indonesia, hal itu terwujud
dalam pemberian penghasilan tidak kena pajak atau PTKP yang merupakan besaran
penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam
negeri serta penerapan tarif pajak yang progresif dalam sistem pajak penghasilan di
mana tarif pajak ini persentasenya akan semakin besar seiring semakin banyaknya
penghasilan yang diterima sebagai dasar penghitungan pajak.
Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211 – Dasar-Dasar Perpajakan
Sesi_1 Sejarah dan Definisi Pajak
https://media.neliti.com/media/publications/74032-ID-pajak-penghasilan-dalam-sebuah-
kebijaksa.pdf

Jelaskan fungsi pajak dari Sigaret Kretek Mesin dengan tarif cukai per batang Rp590,00!
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Malam ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin.
Sebelumnya, terima kasih kepada ibu yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:
Fungsi Budgeter adalah suatu fungsi ketika pajak dipergunakan sebagai alat untuk
memasukan dana secara optimal ke kas negara bedasarkan Undang-undang Perpajakan
yang berlaku. Dalam literatur lain, fungsi budgeter disebut sebagai fungsi untuk memasukan
uang sebanyak-banyaknya ke dalam Kas Negara.
Fungsi Regulerend adalah fungsi kedua setelah fungsi budgeter, karena besifat mengatur
dan fungsi ini dipergunakan oleh permerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut pendapat saya, fungsi pajak dari Sigaret Kretek Mesin dengan tarif cukai per
batang Rp590,00 adalah termasuk ke dalam fungsi regulerend (mengatur) disamping fungsi
budgeter. Karena disamping bertujuan untuk memasukan uang ke kas negara, dengan
ditetapkannya tarif Sigaret Kretek Mesin tersebut merupakan kebijakan pemerintah karena
mempertimbangkan berbagai aspek antara lain: kesehatan, tenaga kerja, dan penerimaan
negara, namun dengan tetap memperhatikan kondisi perekonomian saat ini.

Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211 – Dasar-Dasar Perpajakan
Sesi_2 Fungsi Pajak – Dadar-dasar Perpajakan
https://www.kemenkeu.go.id/media/3564/djbc_1.pdf

Jelaskan alasan pengalihan PBB-P2 dan BPHTB menjadi pajak daerah!


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Pagi ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin.
Sebelumnya, terima kasih kepada ibu yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:

Pada tanggal 15 September 2009, telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010.
Latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 (UU 28/2009) antara lain:

1. untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam mengatur pajak daerah
dan retribusi daerah,
2. meningkatkan akuntabilitas dalam penyediaan layanan dan pemerintahan,
3. memperkuat otonomi daerah, serta
4. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha.
Hal yang paling fundamental dalam UU 28/2009 adalah dialihkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi
pajak daerah.

Pada awalnya PBB-P2 merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah
pusat sedangkan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Namun,
guna meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khususnya dari penerimaan PBB,
maka paling lambat tanggal 1 Januari 2014 seluruh proses pengelolaan PBB-P2 akan dilakukan oleh
pemda. Sedangkan, PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih tetap menjadi
pajak pusat.

Adapun dasar pemikiran dan alasan pokok dari pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain:
Pertama, berdasarkan teori, PBB-P2 lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak
berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang
menikmati hasil pajak tersebut (the benefit tax-link principle).

Kedua, pengalihan PBB-P2 diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
sekaligus memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas, dan transparansi
dalam pengelolaan PBB-P2.

Keempat, berdasarkan praktek di banyak negara, PBB-P2 atau Property Tax termasuk dalam jenis
local tax.

Berdasarkan Pasal 180 angka 5 UU 28/2009, masa transisi pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah
adalah sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2013. Selama masa transisi
tersebut, daerah yang telah siap dapat segera melakukan pemungutan PBB-P2 dengan terlebih
dahulu menetapkan Peraturan daerah (Perda) tentang PBB-P2 sebagai dasar hukum pemungutan.
Sebaliknya, apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 daerah belum juga menetapkan Perda
tentang PBB-P2, maka daerah tersebut tidak diperkenankan untuk melakukan pemungutan PBB-P2,
dan bagi seluruh masyarakat di daerah yang bersangkutan tidak dibebani kewajiban untuk
membayar PBB-P2.

Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211 – Dasar-Dasar Perpajakan
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/pedoman_umum_pengelolaan_pbb_p2.pdf

Tugas.1
No Tugas Tutorial
1 Diciptakan berbagai jenis pajak sehingga timbul istilah nothing is c
ertain but death and taxes. Apakah istilah tersebut berlaku di Indon
esia? Jelaskan!
2 Jelaskan beserta contoh apa yang dimaksud dengan tax evasion d
an tax avoidance!
Nama :
NIM :

Tugas 1 – Dasar-dasar Perpajakan

1. Diciptakan berbagai jenis pajak sehingga timbul istilah nothing is certain but deat
h and taxes. Apakah istilah tersebut berlaku di Indonesia? Jelaskan!
Benjamin Franklin pernah menyatakan “in this world, nothing can be said to be
certain except taxes and death” (tidak ada hal yang pasti di dunia ini kecuali pajak dan
kematian). Pernyataan itu nampaknya dapat menjadi pedukung terhadap sifat hakiki dari
pengenaan pajak. Pajak merupakan salah satu contoh penerimaan yang berasal dari
dalam negeri yang sangat penting sekali untuk membiayai pembangunan nasional dan
mempunyai peran yang sangat besar dalam mengisi kas negara. Peran pajak tersebut
akan semakin diperlukan untuk masa yang akan datang, karena dengan pajak,
setidaknya pemerintah dapat mengurangi hutang negara, maka dari itu sangat
diperlukan sistem pengelolaan yang semakin baik agar penerimaan pajak dapat semakin
optimal sesuai dengan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU RI No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, pajak diartikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, pajak merupakan salah satu pendapatan
utama negara yang didapat dari pembayaran atau penyetoran wajib pajak dan
digunakan negara untuk membiayai segala keperluan negara seperti membangun
infrastruktur atau biaya operasional negara lainnya.

2. Jelaskan beserta contoh apa yang dimaksud dengan tax evasion dan tax avoidanc


e!
Tax Avoidance
Tax Avoidance (penghindaran pajak) berciri fraus legis yaitu kawasan grey area yang
posisinya berada di antara tax compliance dan tax evasion. Beberapa pihak mencoba
mendefinisikan tax avoidance. Justice Reddy (dalam kasus McDowell & Co Versus CTO
di US) merumuskan tax avoidance sebagai seni menghindari pajak tanpa melanggar
hukum. Black’s Law Dictionary menjelaskan, tax avoidance adalah upaya meminimalkan
beban pajak dengan memanfaatkan peluang penghindaran pajak (loopholes) dengan
tidak melanggar hukum pajak. Lebih lanjut, OECD mendeskripsikan bahwa tax
avoidance adalah usaha wajib pajak mengurangi pajak terutang, meskipun upaya ini
bisa jadi tidak melanggar hukum (the letter of the law), namun sebenarnya bertentangan
dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan perpajakan (the spirit of the
law).
Ronen Palan (2008) menyebutkan suatu transaksi diindikasikan sebagai tax
avoidance apabila melakukan salah satu tindakan berikut :
(a) Wajib Pajak (WP) berusaha untuk membayar pajak lebih sedikit dari yang
seharusnya terutang dengan memanfaatkan kewajaran interpretasi hukum pajak.
(b) WP berusaha agar pajak dikenakan atas keuntungan yang di declare dan bukan atas
keuntungan yang sebenarnya diperoleh;
(c) WP mengusahakan penundaan pembayaran pajak.
Contohnya:
- pengusaha dengan sengaja membuat-buat transaksi bisnis untuk menghindari
tanggung jawab pajak. Secara praktis, transaksi ‘fiktif’ ini tidak memiliki signifikansi
pada proses bisnis yang dilakukan oleh pengusaha. Namun, dalam rangka
menghindari kewajiban pajak yang dimiliki transaksi ini sengaja dibuat dan
dicatatkan, serta dilaporkan untuk menghindari kewajiban pajak yang seharusnya
dimiliki.
- Tn. A memiliki usaha pribadi dengan peredaran bruto sebesar lima miliar rupiah dan
perusahaan CV. TXN yang dimiliki Tn. A dengan peredaran bruto sebesar satu miliar
rupiah. Tn. A memecah peredaran bruto usaha pribadinya sebesar dua miliar rupiah
ke CV. TXN yang dimiliki Tn.A.

Tax Evasion
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Tax Evasion?
Tax Evasion (Tax Fraud) atau penggelapan pajak adalah tindakan yang dilakukan oleh
wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak terutang atau sama sekali tidak
membayarkan pajaknya melalui cara-cara ilegal. Rohatgi (2007) menyatakan bahwa tax
evasion adalah niat untuk menghindari pembayaran pajak terutang, dengan cara
menyembunyikan data dan fakta secara sengaja dari otoritas pajak, dan ini merupakan
tindakan ilegal. Selain itu, Russo (2007) mendefinisikan tax evasion sebagai kondisi di
mana wajib pajak menghindar untuk membayar pajak terutang tanpa menghindar dari
kewajiban pajak sehingga hal ini melanggar ketentuan perpajakan.
Contoh umum penggelapan pajak misalnya:
- Wajib pajak tidak melaporkan sebagian atau seluruh penghasilannya dalam SPT
atau membebankan biaya-biaya yang tidak seharusnya dijadikan pengurang
penghasilan untuk tujuan meminimalkan beban pajak. Tindakan illegal ini
menyebabkan kerugian negara. Sebagian besar negara mengenakan sanksi
administrasi dan sanksi pidana terhadap wajib pajak yang melakukan penggelapan
pajak.
- Fakta mengejutkan muncul dari sidang kasus simulator SIM (18/06/2013), di mana
ada penjualan rumah mewah seharga Rp7,1 Miliar di Semarang, namun pada akta
notaris hanya tertulis Rp940 Juta atau ada selisih harga Rp6,1 Miliar. Atas transaksi
ini ada potensi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang seharusnya disetor sebesar 10
persen dari Rp6,1 Miliar atau Rp610 Juta. Selain itu, ada PPh (Pajak Penghasilan)
Final sebesar 5 persen dari Rp6,1 Miliar atau Rp300 Juta. Sehingga ada potensi total
kekurangan pajak senilai Rp910 Juta. Jika developer atau perusahaan ini telah
menjual ratusan unit rumah mewah, kerugian negara dapat mencapai puluhan Miliar
rupiah dari satu proyek perumahan. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk
menyembunyikan nilai omzet guna penghindaran atas pajak (tax evasion) properti.
Hal ini tergolong sebagai tindakan kriminal dan akan ditindak berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku.
Apakah Indonesia sudah memiliki ketentuan tentang penghindaran pajak?
Untuk menangkal praktik penghindaran pajak, negara-negara membuat aturan dan
kebijakan anti penghindaran pajak. Meski belum sempurna, Indonesia telah memiliki
beberapa ketentuan anti penghindaran pajak.
- Pertama. Ketentuan anti thin capitalization yaitu upaya wajib pajak mengurangi
beban pajak dengan cara memperbesar pinjaman – bukan justru menambah modal –
agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba. Hal ini diatur dalam
Pasal 18 ayat (1) UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang
dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan (Debt to
Equity Ratio).
- Kedua. Ketentuan mengenai Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules di Pasal
18 ayat (2) UU PPh, yang mengatur kewenangan Menteri Keuangan menetapkan
saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal
pada badan usaha di luar negeri paling rendah 50 persen, selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek.
- Ketiga. Ketentuan tentang transfer pricing dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh yang
mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa.
- Keempat. PER-43/PJ/2010 jo PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan
Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
- Kelima. Ketentuan anti-treaty shopping, yang diatur dalam PER-62/PJ/2009 jo PER-
25/PJ/2010 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda. 

Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211 – Dasar-Dasar Perpajakan
https://www.radarbandung.id/2019/05/06/love-death-and-taxes/
https://money.kompas.com/read/2016/04/14/083000826/
Apa.Perbedaan.Praktik.Penghindaran.Pajak.dan.Penggelapan.Pajak.?page=all
https://klikpajak.id/blog/berita-regulasi/tax-avoidance-sebagai-pelanggaran-hukum-
perpajakan/
https://pajak.go.id/id/artikel/praktik-penghindaran-pajak-di-indonesia
https://klikpajak.id/blog/berita-pajak/tax-evasion-dalam-pajak-perusahaan-properti/
#Contoh_Tax_Evasion

Jelaskan PPh Final UMKM 0,5% dari segi asas ease of administration : certainty, efficiency,
convenience of payment dan simplicity!
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Pagi ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin.
Sebelumnya, terima kasih kepada ibu yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:
PPh Final UMKM 0,5% dari segi asas ease of administration : certainty, efficiency,
convenience of payment dan simplicity
Ada beberapa indikator dalam prinsip ease of administration:
1. Certainty
Asas ini menyatakan bahwa harus ada kepastian dari Wajib Pajak maupun Fiskus mengenai
Subjek Pajak, Objek Pajak, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif serta bagaimana prosedur
perpajakannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 pada dasarnya mengatur pengenaan PPh
Final Pasal 4 Ayat (2) bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto (omset) sampai
dengan 4,8 Miliar Rupiah dalam satu Tahun Pajak. Pokok-pokok perubahannya diantaranya
adalah penurunan tarif PPh Final atas Penghasilan Bruto Tertentu dari semula 1% menjadi
0,5% dari omzet. PPh Final ini harus dibayarkan setiap bulan sebelum tanggal 15 bulan
berikutnya dan tergantung dari besar kecilnya omset wajib pajak setiap bulan. Berbeda
dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang tidak membatasi jangka waktu pengenaan tarif PPh
Final, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 sudah mengatur mengenai jangka
waktu pengenaan tarif PPh Final 0,5% baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Maupun
Badan.
a. Tarif PPh Final 0,5% Bersifat Opsional
Pemerintah telah memutuskan untuk meringankan tarif PPh Final menjadi 0,5%. Namun,
ketentuan ini bersifat opsional karena wajib pajak dapat memilih untuk mengikuti tarif
dengan skema final 0,5%, atau menggunakan skema normal yang mengacu pada pasal 17
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Sifat opsional ini memberi keuntungan bagi wajib pajak karena:
1. Bagi wajib pajak (WP) pribadi dan badan yang belum dapat menyelenggarakan
pembukuan dengan tertib, penerapan PPh Final 0,5% memberikan kemudahan bagi mereka
untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Sebab, perhitungan pajak menjadi sederhana
yakni 0,5% dari peredaran bruto/omzet. Namun, penerapan PPh Final memiliki konsekuensi
yakni WP tetap harus membayar pajak meski sedang dalam keadaan rugi.
2. Sementara, WP badan yang telah melakukan pembukuan dengan baik dapat memilih
untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif normal yang diatur pasal 17 UU No. 36
tentang Pajak Penghasilan. Konsekuensinya, perhitungan tarif PPh akan mengacu pada
lapisan penghasilan kena pajak. Selain itu, WP juga terbebas dari PPh bila mengalami
kerugian fiskal.
b. Pengenaan Tarif PPh Final 0,5% Punya Batas Waktu
Tidak seperti PP No. 46 Tahun 2013, kebijakan terbaru tentang PPh Final 0,5% punya grace
period alias batasan waktu. Batasan waktu yang diberikan pemerintah bagi WP yang ingin
memanfaatkan tarif PPh Final 0,5% adalah:
A. 7 tahun pajak untuk WP orang pribadi.
B. 4 tahun pajak untuk WP badan berbentuk koperasi, CV, atau firma.
C. 3 tahun pajak bagi WP badan berbentuk PT.
Setelah batas waktu tersebut berakhir, WP akan kembali menggunakan skema normal
seperti diatur oleh pasal 17 UU No.36. Hal ini ditujukan untuk mendorong wajib pajak
menyelenggarakan pembukuan dan pengembangan usaha.
c. WP yang Dikenai PPh Final Berpenghasilan di Bawah Rp 4,8 M
Ambang batas penghasilan wajib pajak yang dikenai PPh Final tidak berubah yakni senilai
Rp 4,8 miliar. Batasan nilai tersebut secara eksplisit menargetkan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) sebagai target pajak. Pemerintah memang ingin merangkul sebanyak
mungkin UMKM untuk masuk dalam sistem perpajakan.
d. Siapa yang Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%?
Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai PPh Final 0,5% adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi
2. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, CV, firma, atau PT yang menerima atau
memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto di bawah Rp 4,8 miliar.
e. Siapa yang Tidak Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%
1. Wajib Pajak orang pribadi dengan penghasilan yang diperoleh dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas. Ini termasuk persekutuan atau firma yang terdiri dari WP orang
pribadi berkeahlian sejenis seperti firma hukum, kantor akuntan dan lain sebagainya.

2. Wajib pajak dengan penghasilan yang diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayar di luar negeri.
3. Wajib pajak yang penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
4. Wajib pajak dengan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
f. Jika Ingin Mengikuti Tarif Skema Normal, Wajib Pajak Perlu Mengajukan Diri
Jika tidak ingin berstatus sebagai wajib pajak PPh 0,5%, wajib pajak harus lebih dulu
mengajukan permohonan pada Ditjen Pajak. Selanjutnya, wajib pajak akan mendapatkan
keterangan sebagai wajib pajak yang dikenai PPh yang mengacu pada pasal 17 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Namun, wajib pajak yang sudah
memilih untuk dikenai PPh dengan skema normal tidak dapat memilih untuk dikenai PPh
Final 0,5%.
2. Efficiency
Dari segi Fiskus: Biaya untuk melakukan pengawasan dan administrasi terhadap Wajib
Pajak relatif rendah. Dari segi Wajib Pajak: Biaya untuk melaksanakan kewajiban
perpajakan relatif rendah.
Perhitungan dan Peraturan atas PPh Final UMKM yang sederhana ini akan membuat fiskus
menjadi lebih mudah dalam pengawasan kepada wajib pajak, dari segi administrasi juga
dapat menghemat waktu sehingga biaya yang dikeluarkan akan menjadi relatif rendah. Dari
segi wajib pajak juga lebih menghemat pengeluaran karena tarif turun dari 1% menjadi 0,5%
sehingga modal dan sisa keuntungan dapat diputar kembali untuk menjalankan usaha, lebih
menghemat waktu dan tidak perlu repot dalam menghitung karena hanya tinggal
menghitung total penghasilan per bulan x 0,5% dan bisa menyetor PPh Final UMKM di
mana saja kapan saja, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak reltif rendah.
3. Convenience of Payment
Pajak dipungut pada saat yang tepat (Pay As You Earn). Penentuan jatuh tempo
pembayaran pajak. Prosedur pembayaran.
Batas Pembayaran PPh Final
Dasar pembayaran PPh Final yang digunakan untuk menghitung adalah jumlah peredaran
bruto/omzet setiap bulan dikalikan tarif PPh Final 0,5%. Perlu diingat bahwa pembayaran
PPh Final memiliki batas waktu. Tanggal jatuh tempo pembayaran PPh Final adalah:
a. Untuk yang dipotong, batas pembayaran adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir. Contohnya adalah PPh Final masa Januari 2020, wajib disetor paling
lambat tanggal 10 Februari 2020.
b. Batas pembayaran PPh Final yang setorannya dilakukan sendiri adalah tanggal 15 bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir. Contohnya, jika PPh Final masa Januari 2020,
wajib disetor paling lambat 15 Februari 2020.
4. Simplicity
Mudah dilaksanakan dan tidak berbelit- belit.
Dalam perhitungan jumlah PPh yang harus dibayarkan sebenarnya sudah sederhana.
Namun pada prinsipnya atas semua transaksi penjualan wajib pajak per bulan harus
dijumlahkan terlebih dahulu, kemudian dikalikan 0,5%.
Untuk dapat melakukan pembayaran PPh Final ini, wajib pajak harus memiliki kode billing
dari aplikasi e-billing yang tersedia di laman web resmi Direktorat Jenderal Pajak. Jika sudah
memiliki nomor kode pembayaran pajak umkm, wajib pajak dapat membayarnya melalui
bank atau kantor pos yang ditunjuk langsung oleh kementrian keuangan. Untuk alternatif lain
wajib pajak juga bisa membayar melalui ATM, Internet banking, dan Mobile Banking sesuai
dengan bank yang ditunjuk oleh Kementrian keuangan. Selain itu, ada cara mudah sekali
langkah untuk membuat kode billing sekaligus bayar PP 23/2018, yaitu dengan mesin ATM
sesuai dengan bank yang ditunjuk oleh Kementrian keuangan.
Jika sudah membayar dan menyetor pajak umkm, wajib pajak tidak perlu lagi melapor
melalui surat pemberitahuan masa. Tanggal validasi nomor transaksi penerimaan negara
yang termuat pada surat setoran pajak PPh final tersebut dianggap sebagai tanggal telah
lapor SPT masa oleh DJP.

Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211/MODUL4 Hal. 4.14 – Dasar-Dasar Perpajakan
Inisiasi 4 – Dasar-Dasar Perpajakan
https://www.online-pajak.com/tentang-pph-final/7-poin-penting-dalam-pp-232018-tentang-
pph-final-05
https://klikpajak.id/blog/berita-regulasi/kapan-batas-pembayaran-pph-final-umkm-cek-di-
sini/#:~:text=Perlu%20diingat%20bahwa%20pembayaran%20PPh%20Final%20memiliki
%20batas%20waktu.&text=Tanggal%20jatuh%20tempo%20pembayaran%20PPh,lambat
%20tanggal%2010%20Februari%202020.
https://www.harmony.co.id/blog/penjelasan-lengkap-pajak-umkm-dan-cara-pembayarannya
Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki NPWP sendiri. Lisa kemudian menikah
dengan Hengki yang telah memiliki NPWP juga. Saudara sebagai konsultan pajak akan
menyarankan Lisa untuk mempunyai NPWP sendiri atau ikut NPWP suami? Berikan
penjelasan untung ruginya istri memilih punya NPWP sendiri!

Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Selamat Siang ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin.
Sebelumnya, terima kasih kepada ibu yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:
Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki NPWP sendiri. Lisa kemudian menikah
dengan Hengki yang telah memiliki NPWP juga. Saudara sebagai konsultan pajak akan
menyarankan Lisa untuk mempunyai NPWP sendiri atau ikut NPWP suami? Berikan
penjelasan untung ruginya istri memilih punya NPWP sendiri!
Menurut pendapat saya terkait hal di atas bahwa jika saya sebagai konsultan pajak saya
akan menyarankan Lisa untuk ikut NPWP suami daripada mempunyai NPWP sendiri.
Kewajiban memberi nafkah pada kodratnya berada di pundak kepala keluarga, dalam hal ini
suami. Ketika seorang perempuan dewasa dan tidak dalam status perkawinan, maka yang
bersangkutan berdiri sebagai subjek pajak utuh sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-
Undang KUP maupun Undang-Undang PPh. Akan tetapi apabila sudah melakukan
perkawinan, maka kedudukan wanita tersebut menjadI istri dan melebur dalam satu
kesatuan keluarga dengan suami. Hal ini menyebabkan wanita kawin tidak diwajibkan untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri, melainkan melebur bersama dengan
kewajiban Suami. Konsep keluarga menjadi satu kesatuan ekonomis merupakan konsep
yang ideal, sederhana dan adil dalam pajak. Dalam konsep ini Penghasilan atau kerugian
seluruhnya digabung dan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh kepala keluarga.
Meskipun demikian, masih terdapat ruang apabila istri menghendaki mempunyai NPWP
sendiri sehingga dikenai pajak secara terpisah. Yang bersangkutan harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Hidup terpisah berdasakan keputusan hakim;
2. Melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis;atau
3. Memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya.
Apabila NPWP diperoleh wanita ketika belum kawin dan tidak memenuhi kriteria tersebut
diatas, yang bersangkutan dapat mengajukan penghapusan NPWP ke Kantor Pajak.
Ilustrasi:
Apabila NPWP Suami dan NPWP Istri terpisah, walaupun secara instansi sudah dilakukan
pemotongan pajak, pada SPT Tahunan penghasilan netto suami dan penghasilan netto istri
akan digabungkan dan dilakukan perhitungan ulang PPh 21.
Sedangkan apabila NPWP Suami satu dengan NPWP Istri, pada SPT Tahunan tidak perlu
dilakukan penggabungan penghasilan netto suami dan istri untuk dihitung ulang PPh 21.
Seringkali wanita kawin membuat NPWP karena diminta oleh kantor tempat dia bekerja,
atau diminta bank sebagai syarat pembuatan kartu kredit, atau untuk pengajuan kredit.
Padahal seharusnya, cukup dengan fotokopi NPWP suami dan fotokopi Kartu Keluarga
syarat kepemilikan NPWP telah terpenuhi. Perusahaan tidak perlu khawatir mengalami
masalah terkait pemotongan PPh Pasal 21, dan bank juga tidak perlu khawatir mengalami
masalah apabila terjadi kredit macet, maupun kewajiban pelaporan ke otoritas terkait.
Pemenuhan kewajiban perpajakan istri digabung dengan suami sebenarnya lebih sederhana
dibandingkan apabila memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri-sendiri. Beberapa
keuntungan NPWP istri digabung antara lain:
1 .Cukup hanya melaporkan 1 (satu) SPT Tahunan setiap tahunnya.
2. Tidak ada risiko dikenai sanksi administrasi yang melekat di NPWP Istri.
3. Pajak yang dibayarkan bisa jadi lebih kecil apabila istri adalah karyawan dari satu pemberi
kerja (pemberi kerja tersebut tidak ada keterkaitan dengan usaha/pekerjaan bebas suami
anggota keluarga lainnya).
4. Istri tidak direpotkan dengan surat dari Kantor Pajak maupun pemeriksaan pajak.
Mulai tahun 2020, Wajib Pajak dapat mengajukan pencetakan NPWP Keluarga. Dalam
Pasal 8 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-4/PJ./2020 diatur bahwa Istri atau anak
yang belum dewasa dapat mendapatkan kartu NPWP dengan nama yang bersangkutan dan
menggunakan nomor NPWP Suami. Nantinya pelaporan SPT Tahunan tetap dalam 1 (satu)
SPT. Semua penghasilan anggota keluarga digabung dengan kepala keluarga.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan istri yang
digabung dengan suami akan lebih sederhana dibandingkan apabila memenuhi kewajiban
perpajakannya sendiri-sendiri. Sehingga istri yang memilih untuk punya NPWP sendiri tidak
akan merasakan keuntungan-keuntungan di atas.

NPWP Dipisah akan menyebabkan PPh Kurang Bayar

Nilai pajak yang harus dibayarkan oleh suami dan istri lebih besar daripada nilai
pajak yang ditanggung apabila NPWP digabung. Dari sisi PTKP akan sama antara
NPWP Dipisah dan Digabung namun perbedaan pengenaan pajak terlihat dari tarif
pajak yang dikenakan. Pada NPWP Dipisah, tarif pajak yang lebih kecil tidak dapat
dipergunakan lebih dari 1 kali sedangkan pada NPWP Digabung tarif pajak yang
lebih kecil dapat dipergunakan baik untuk suami dan untuk istri. Sehingga apabila
melihat contoh di atas dan rujukan ketentuan bahwa  penghasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabung sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga (suami) maka tarif
pajak pada NPWP Dipisah sampai 25% sedangkan NPWP Digabung hanya sampai
pada tarif 15%. Dasar netto pengenaan pph dan tarif secara simultan lebih kecil
dikarenakan NPWP Digabung hanya menggunakan penghasilan netto suami
sebagai dasar pengenaan pajak sementara penghasilan netto istri dikenakan
pemotongan PPh 21 yang bersifat final. Hal ini berbeda dengan NPWP Dipisah yang
mengunakan penjumlahan penghasilan netto suami dan istri.

Dengan demikian, apabila melihat tolak ukur simulasi perhitungan di atas, akan jauh
lebih menguntungkan bagi wajib pajak apabila NPWP Suami Istri Digabung.

Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211– Dasar-Dasar Perpajakan
https://www.pajakku.com/read/5f6ad3122712877582239044/Istri-dan-Suami-Menyatukan-
NPWP-adalah-Pilihan
https://www.pajak.go.id/id/artikel/npwp-makmum-untuk-istri

Tugas.2
PT. XXX mendapat omzet lebih dari Rp4,8M sejak berdirinya perusahaan tersebut,
tapi tidak melaporkan diri sebagai PKP. Pada tahun 2017, PT. XXX mendapat omzet
peredaran bruto selama 1 tahun pajak sebesar Rp5M. PT. XXX dikenakan sanksi
apa saja dan berapa jumlahnya?
Nama :
NIM :

Tugas 2 – Dasar-dasar Perpajakan

PT. XXX mendapat omzet lebih dari Rp4,8M sejak berdirinya perusahaan tersebut, tapi tidak
melaporkan diri sebagai PKP. Pada tahun 2017, PT. XXX mendapat omzet peredaran bruto
selama 1 tahun pajak sebesar Rp5M. PT. XXX dikenakan sanksi apa saja dan berapa
jumlahnya?
Jawab :
KPP dapat menerbitkan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila
pengusaha tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Hal ini diatur dalam
pasal 2 ayat (4) UU KUP.
Berdasarkan UU KUP lama tahun 2000, sanksi untuk pengusaha yang dengan sengaja tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP maka akan dikenakan denda sebesar
2% dari Dasar Pengenaan Pajak.
Jika berdasarkan UU KUP lama
Omset atau DPP = 5 miliar
PPN yg harus diambil = 10% x 5 miliar
= 500 juta
Sanksi bunga = 2% x 24 x 500 juta
= 240 juta
Denda administrasi = 2% x 5 miliar
= 100 juta
Sanksi pajak yg terutang 1 thn = 500 juta + 240 juta + 100 juta
= 840 juta
Ketentuan di atas dihapuskan dalam UU KUP baru, dan diubah menjadi pidana penjara
paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak enam kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Terima kasih.
Sumber :
BMP PAJA3211/MODUL 5 Hal. 5.26 – Dasar-Dasar Perpajakan
https://ortax.org/
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Pagi ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin.
Sebelumnya, terima kasih kepada ibu yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:
PT. Y barusan saja mengalami kebakaran di kantor pusat Jakarta selatan. Pada saat yang
bersamaan PT. Y mempunyai pajak yang masih harus dibayar berupa Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang akan jatuh tempo minggu depan. Jelaskan langkah apa yang
dapat dilakukan PT. Y agar terhindar dari keterlambatan pembayaran hutang pajak!
Ketentuan tentang penundaan pembayaran pajak sebenarnya sama dengan ketentuan
tentang pengangsuran pembayaran pajak. Pengangsuran dan penundaan pembayaran
pajak selalu disebut bersamaan dalam peraturan yang sama yaitu Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008
tentang Tatacara Pemberian Angsuran Atau Penundaan Pembayaran Pajak.

Ya, memang secara esensi penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak adalah sama
yaitu memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang sedang mengalami kesulitan
likuiditas atau sedang dalam keadaan force majeur sehingga sulit melakukan pembayaran
pajak. Perbedaannya adalah bahwa jika mengangsur itu membayar pajak dengan beberapa
kali pembayaran, maka menunda adalah hanya mengundurkan tanggal jatuh tempo saja,
sementara jumlah pembayaran pajaknya tetap sekali saja.
Berikut ini adalah ketentuan tentang apa dan bagaimana tentang penundaan pembayaran
pajak.

Pajak Yang Bagaimana Yang Bisa Ditunda?


Seperti juga pengangsuran pajak, ada dua jenis pajak yang bisa dimohon untuk ditunda
pembayarannya.
Pertama adalah Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah. Jatuh tempo pembayan pajak seperti ini sebenarnya adalah 1
(Satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya produk hukum tersebut.
Dengan mengajukan permohonan untuk menunda pembayaran pajak atas produk hukum
pajak ini, maka Wajib Pajak mempunyai peluang menolong likuiditas arus kasnya.
Kedua, yang bisa diajukan permohonan penundaan pembayaran pajak adalah kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan atau biasa disebut PPh Pasal 29. Pembayaran PPh Pasal 29 (jatuh tempo
pembayaran) sendiri  harus dilunasi sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Pada
umumnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan adalah 30 April dan SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi adalah 31 Maret tahun berikutnya.
Pajak yang diajukan permohonan untuk ditunda pembayarannya di atas, selanjutnya akan
disebut sebagai utang pajak pada bagian berikutnya.

Pengajuan dan Persyaratan Permohonan


Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk menunda pembayaran utang pajak,
dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar
kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada
waktunya.
Permohonan Wajib Pajak tersebut harus diajukan secara tertulis paling lama 9 (sembilan)
hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang
mendukung permohonan, serta jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk ditunda dan
jangka waktu penundaannya. Permohonan untuk menunda pembayaran pajak harus
diajukan dengan menggunakan formulir  sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.
Jangka waktu 9 (sembilan) hari kerja tersebut dapat dilampaui dalam hal Wajib Pajak
mengalami  keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu
melunasi utang pajak tepat pada waktunya.

Jaminan
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penundaan pembayaran pajak harus
memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak, kecuali apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak menganggap tidak perlu.
Bentuk jaminan dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang
bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu yang melampaui jangka
waktu 9 (sembilan) hari kerja harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar
utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu penundaan.

Keputusan Atas Permohonan


Setelah mempertimbangkan alasan berikut bukti pendukung yang diajukan oleh Wajib
Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.
Bentuk keputusan yang dapat diberikan oleh Kepala KPP adalah :
1.    menyetujui lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
2.    menyetujui lamanya penundaan sesuai dengan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan
Pajak; atau
3.    menolak permohonan Wajib Pajak
Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan
permohonan Wajib Pajak, Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak
harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
tersebut berakhir.
Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan
Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak dengan menggunakan formulir
Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.
Apabila permohonan Wajib Pajak ditolak, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menerbitkan Surat Keputusan Penolakan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak dengan
menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan  Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.
Penetapan Penundaan dan Sanksi Bunga
Besarnya pelunasan atas penundaan utang pajak ditetapkan sejumlah utang pajak yang
ditunda pelunasannya dan penundaan atas utang pajak dapat diberikan untuk :
1. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan
Penundaan Pembayaran Pajak, untuk permohonan angsuran atas utang pajak 
berupa pajak yang masih haru dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah; atau
2. paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk
permohonan penundaan atas kekurangan utang pajak berupa pajak yang terutang
berdasarkan Surat  Pemberitahuan    Tahunan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 29).
Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk menunda  pembayaran pajak kecuali untuk utang
pajak berupa Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua Persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UU
KUP yang dihitung sejak jatuh tempo  pembayaran sampai dengan pembayaran/pelunasan,
dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Bunga tersebut dihitung berdasarkan saldo utang pajak dan ditagih dengan menerbitkan
Surat Tagihan Pajak pada tanggal jatuh tempo penundaan  atau pada tanggal pembayaran.
Berikut ini adalah contoh perhitungan bunga atas penundaan pembayaran pajak
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang KUP.
MIsalkan Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar
Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir
pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Kemudian Wajib Pajak diperbolehkan untuk menunda
pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar tersebut sebesar adalah 5 bulan x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa langkah yang dapat dilakukan PT. Y agar terhindar
dari keterlambatan pembayaran hutang pajak adalah dengan mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Kepala kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk
menunda pembayaran utang pajak, dikarenakan PT. Y mengalami kesulitan likuiditas atau
mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga PT. Y tidak akan mampu memenuhi
kewajiban pajak pada waktunya.

Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211/MODUL 6 Hal. 6.2 – Dasar-Dasar Perpajakan
https://www.pajak.go.id/id/artikel/menunda-pembayaran-pajak-mungkinkah

Jelaskan kenapa banyak proses keberatan ditolak!

Tugas.3
Untuk Tahun Pajak 2018, PT.A mendapat SKPKB dengan jumlah pajak yang masih
harus dibayar sebesar Rp.1.000.000.000. Dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, PT.A hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sejumlah
Rp.500 juta. Pada saat mengajukan Keberatan, PT.A telah melunasi pajak yang
masih harus dibayar sebesar Rp.500 juta tersebut, dan mengajukan Keberatan atas
sisanya. Keputusan Dirjen Pajak terhadap surat keberatan yang diajukan oleh PT.A
adalah berupa : mengabulkan sebagian, yakni dengan jumlah pajak yang masih
harus dibayar menjadi sebesar Rp.750 juta.

Selanjutnya PT.A mengajukan Permohonan Banding dan oleh Pengadilan Pajak


diputuskan bahwa besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp.450 juta.
Permohonan Banding dalam SKPKB yang telah dibayar menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak. Jelaskan hal ini!
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Pagi Ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin. Sebelumnya,
terima kasih kepada bapak yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:
RUANG LINGKUP KEBERATAN
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas
suatu:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB),
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN),
5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat
ketetapan pajak, yang meliputi:
a. jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
b. jumlah besarnya pajak, atau
c. terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat ketetapan
pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan
dalam penyelesaian keberatan.
SYARAT PENGAJUAN KEBERATAN
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-
alasan yang menjadi dasar penghitungan;
c. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu)
pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau
pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
e. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
 surat ketetapan pajak dikirim; atau
 pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga;
kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri
dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-
Undang KUP; dan
g. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
Undang-Undang KUP.
Ketentuan khusus:
 Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau
huruf f, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan
menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui.
 Tanggal penyampaian Surat Keberatan yang telah diperbaiki merupakan tanggal Surat
Keberatan diterima.
 Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak yang
masih harus dibayar yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan
atau pembahasan akhir hasil verifikasi sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan belum
dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
ALUR PENYELESAIAN KEBERATAN
a. Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
o meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam
bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang
disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan,
data dan informasi;
o meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang
disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan;
o meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada
pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak melalui penyampaian
surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga;
o meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;
o melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan
memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan;
 Surat panggilan dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal
pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
 Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan dan
klarifikasi sengketa perpajakan.
o melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk
mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar
dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
b. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat
permintaan keterangan dikirim.
c. Apabila sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat
permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim berakhir, Wajib
Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi
dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak
menyampaikan:
 surat permintaan peminjaman yang kedua; dan/atau
 surat permintaan keterangan yang kedua.
d. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua paling lama
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau permintaan yang
kedua dikirim.
JANGKA WAKTU PENYELESAIAN KEBERATAN
a. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang
diajukan.
 Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sampai
dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
b. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari
Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak
dipertimbangkan, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak tanggal
dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan
Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
c. Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi
keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap
dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai
dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.
KESIMPULAN
Kenapa banyak proses keberatan ditolak?
1. Keberatan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada pasal 25
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) Undang-Undang KUP sehingga surat
keberatan tidak dipertimbangkan.
Pasal 25
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu: 

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;


b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah
rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar
penghitungan.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak
wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat
keberatan disampaikan.

2. Salah satu persyaratan penting dalam pengajuan Keberatan adalah alasan-alasan yang
menjadi dasar penghitungan. Alasan yang benar, lengkap, jelas serta didukung dengan
bukti-bukti dokumen yang memadai dan valid akan menentukan pengambilan
keputusan. Apakah keberatan tersebut akan dikabulkan seluruhnya, dikabulkan
sebagian, atau ditolak. Sebaliknya tidak adanya alasan, alasan yang tidak jelas,
alasan tidak sesuai sengketa, maupun alasan tanpa didukung bukti, akan ditolak
karena tidak memenuhi persyaratan formal atau ditolak melalui surat keputusan.
Untuk dapat menyusun alasan kuat yang akan dipertimbangkan dalam proses
pengajuan Keberatan, Wajib Pajak dapat melakukan beberapa hal, antara lain:
a. Pertama, pada waktu proses pemeriksaan Wajib Pajak harus mematuhi prosedur
pemeriksaan. Memahami hak dan kewajiban pada saat pemeriksaan adalah
kuncinya. Termasuk alur dan proses pemeriksaan serta jangka waktunya.
Menghadiri undangan pembahasan akhir tentu saja sangat diperlukan. Pada saat
pembahasan akhir Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan dari
Pemeriksa atau Petugas Pemeriksa Pajak apa saja yang menjadi temuan
pemeriksaan.
Koreksi pemeriksa menjadi salah satu hal penting yang menentukan alasan yang
akan disampaikan Wajib Pajak saat mengajukan Keberatan. Sering dijumpai pada
saat Keberatan Wajib Pajak menyampaikan alasan yang tidak sesuai dengan koreksi
Pemeriksa. Hal ini disebabkan Wajib Pajak tidak mengetahui dan memahami dengan
benar apa saja yang menjadi koreksi Pemeriksa dan mengapa timbul koreksi.
Oleh karena itu kehadiran Wajib Pajak saat pembahasan akhir sangat berharga.
Disamping Wajib Pajak bisa menyanggah hasil temuan Pemeriksa, Wajib Pajak juga
bisa mengetahui secara detail apa yang menjadi koreksi Pemeriksa. Mengapa pos-
pos tertentu dikoreksi serta darimana Pemeriksa bisa menemukan koreksi tersebut.
Hal ini nantinya sangat menentukan alasan yang akan disampaikan Wajib Pajak saat
mengajukan Keberatan.
b. Hal kedua yang dapat dilakukan Wajib Pajak agar dapat menyampaikan alasan
yang kuat dan meyakinkan saat mengajukan keberatan adalah meminta keterangan
kepada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak, Kantor
Wilayah DJP, atau Kantor Pusat yang melakukan pemeriksaan pajak. Hak Wajib
Pajak ini dijamin oleh Pasal 25 ayat 6 UU KUP. “Apabila diminta oleh Wajib Pajak
untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,
penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.”
Penjelasan Pasal 25 ayat (6) UU KUP memberikan arahan yang cukup tegas. Agar
Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi
hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi,  atau pemotongan
atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal
Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
c. Hal ketiga dalam menyusun alasan keberatan yang kuat dan meyakinkan adalah
benar-benar fokus kepada koreksi pemeriksa. Cermati apakah koreksi tersebut
mengenai Peredaran Usaha, Harga Pokok Penjualan, Biaya-Biaya atau Objek PPh
atau PPN. Oleh karena itu diperlukan pemahaman Wajib Pajak mengenai hal apa
saja yang dikoreksi oleh Pemeriksa.
Jika Wajib Pajak Keberatan atas semua koreksi Pemeriksa maka setiap jenis koreksi
harus disebutkan dengan jelas dan disampaikan alasan keberatan atas setiap jenis
koreksi. Jika keberatan hanya atas sebagian koreksi saja maka Wajib Pajak cukup
memberikan alasan atas koreksi tersebut dan menyatakan tidak Keberatan atas
koreksi yang lain. Banyak ditemui Wajib Pajak Keberatan dengan seluruh koreksi
tetapi hanya memberikan alasan atas sebagian koreksi atau koreksi tertentu saja.
Tentu saja sulit bagi Penelaah Keberatan untuk meneliti Keberatan yang diajukan
jika Wajib Pajak tidak menyebutkan alasan Keberatan. Termasuk menyebutkan
alasan tetapi alasan tersebut tidak jelas atau kabur.
d. Hal keempat dan sering dijumpai dalam pengajuan Keberatan adalah jumlah koreksi
dan jumlah keberatan yang tidak jelas, tidak sama dan tidak sinkron. Lalu darimana
Wajib Pajak bisa mengetahui koreksi Pemeriksa termasuk jumlahnya? Wajib Pajak
dapat melihat jumlah koreksi pada saat menandatangani Berita Acara Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan. Lebih jelas lagi koreksi tersebut terlihat dalam Surat
Ketetapan Pajak/Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil
pemeriksaan. Khususnya di bagian lampiran Surat Ketetapan Pajak atau Surat
Tagihan Pajak. Perincian jumlah koreksi dan jumlah yang diajukan keberatan akan
sangat membantu para Penelaah Keberatan dalam menelaah Keberatan Wajib
Pajak. Apalagi jika Wajib Pajak bisa memerinci jumlah koreksi Pemeriksa yang
diajukan Keberatan maupun yang tidak diajukan Keberatan.
e. Hal terakhir dan cukup penting adalah dasar hukum. Dasar hukum ini berupa aturan
yang menjadi alasan bagi Wajib Pajak untuk mengajukan Keberatan. Banyak
sengketa perpajakan hanya mengenai dasar hukum. Fiskus menganggap suatu
transaksi atau perolehan penghasilan merupakan objek pajak. Sementara Wajib
Pajak menganggap hal tersebut bukan merupakan objek pajak atau tidak
seharusnya dikenakan pajak. Hal tersebut karena dasar hukum yang digunakan
fiskus berbeda dengan yang digunakan Wajib Pajak untuk memutuskan suatu
transaksi atau penghasilan termasuk objek pajak atau tidak.
Dalam beberapa kasus fiskus dan Wajib Pajak menggunakan dasar hukum yang
sama tetapi memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu pasal atau ketentuan. Oleh
karena itu penting bagi Wajib Pajak untuk mengetahui dasar hukum koreksi
Pemeriksa. Sehingga Wajib Pajak bisa mengkaji apakah penggunaan dasar hukum
yang digunakan dalam koreksi sudah tepat.

Terima kasih.

Sumber :
BMP PAJA3211 – Dasar-Dasar Perpajakan
Inisiasi 7 – Dasar-Dasar Perpajakan
https://www.pajak.go.id/index.php/id/keberatan
https://www.pajak.go.id/id/artikel/bagaimana-menyusun-alasan-keberatan-yang-kuat
https://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=12761
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Pagi Ibu, semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal'afiat, Aamiin.
Sebelumnya, terima kasih kepada ibu yang telah meluangkan waktu dalam diskusi ini.
Mohon izin menanggapi:
Definisi Kepatuhan Wajib Pajak menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:13
8) adalah:
“Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.”
Adapun menurut Machfud Sidik dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:19), mengemukakan bahwa:
“Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of complince) meru
pakan tulang punggung sistem self assessment, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab me
netapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu memb
ayar dan melaporkan pajaknya tersebut.”
Cara agar wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela (voluntary
of compliance), antara lain:
1. Modernisasi sistem administrasi perpajakan
E-filing dan e-form merupakan salah satu bentuk modernisasi sistem administrasi
perpajakan yang dilakukan oleh DJP sebagai upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib
pajak. Dengan penerapan sistem pelaporan SPT secara elektronik melalui e-filling maupun
e-form diharapkan wajib pajak tepat waktu dalam pelaporan maupun pembayaran pajak
yang menjadi kewajibannya.
2. Penegakan aturan untuk mendorong wajib pajak beralih dari sistem pelaporan
secara manual menjadi pelaporan pajak secara elektronik
Terbitnya PMK No. 9/PMK.03/2018 tentang perubahan atas PMK No.243/PMK.03/2014
tentang Surat Pemberitahuan (SPT) ikut berperan mendorong wajib pajak untuk
menyampaikan SPT Tahunan secara elektronik. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa
wajib pajak yang pernah melaporkan SPT (masa atau tahunan) secara elektronik maka
wajib melaporkan SPT Tahunan secara elektronik untuk SPT Tahunan PPh Tahun Pajak
2018 dan seterusnya. Sehingga wajib pajak yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) tentu harus melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 secara elektronik
karena setiap bulan mereka telah melaporkan SPT Masa PPN secara elektronik.
3. Sosialisasi mengenai informasi perpajakan, terutama terkait tata cara penyampaian
SPT
Tidak semua Wajib Pajak paham tentang perpajakan, khususnya terkait tata cara
penyampaian SPT yang baik dan benar, sehingga sosialisasi dilakukan supaya Wajib Pajak
mengetahui infromasi terkait perpajakan, terutama bagaimana cara menyampaikan SPT
yang baik dan benar.
4. Senantiasa melakukan inovasi dengan mengimplementasikan Teknologi dan
Informasi dalam sistem administrasi perpajakan
Modernisasi terhadap sistem administrasi dan proses bisnis, serta penegakan aturan dapat
mendorong kenaikan kepatuhan wajib pajak. Fasilitas seperti e-registration, e-filing, e-form,
e-SPT dan e-faktur, iKSWP diciptakan oleh DJP untuk memberikan kemudahan kepada
wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Terima kasih.

Sumber :
Inisiasi 8 – Dasar-Dasar Perpajakan
https://www.pajak.go.id/id/artikel/mendongkrak-tax-compliance-melalui-digitalisasi-sistem-
administrasi-perpajakan

Anda mungkin juga menyukai