Anda di halaman 1dari 3

Perayaan Ekaristi di Indonesia Gereja Katolik di Indonesia adalah Gereja Katolik Roma, yang menurut

tata liturginya mengikuti ritus Romawi. Maka, praktek Perayaan Ekaristi umat Katolik di Indonesia tentu
saja mengikuti tradisi dan ketentuan dari Gereja Katolik di bawah pimpinan Sri Paus di Roma. Meskipun
begitu, Gereja Katolik di Indonesia memiliki suatu sejarah TPE yang sangat menarik. Di sini akan
disampaikan poin-poin pokok sejarah perkembangan TPE Indonesia '.

3.1 Perayaan Ekaristi tahun 1960-an Gereja Katolik di Indonesia sebelum tahun 1960an meraya- kan
Ekaristi dalam bahasa Latin sesuai dengan buku Missale Romanum Pius V, seperti kerjasama di seluruh
dunia. Mulai tahun 1960an, sesuai dengan napas segar pembaruan liturgi dan ter- utama Konsili Vatikan
II, terjadi pula usaha pembaruan TPE yang berbahasa Indonesia. Sejak tahun 1960 hingga berakhirnya
sidang Konsili Vatikan II, Misa kudus tentu saja dirayakan dalam bahasa Latin. Hanya saja pada tahun
1960 Panitia Pastoral-Liturgi untuk Indonesia dengan persetujuan para Waligereja Indonesia
menerbitkan buku Misteri Ibadat yang menjadi salah satu buku yang dipakai dalam Misa. Buku tersebut
masih memuat rumusan Misa dua bahasa, yakni Latin dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Maksudnya, ramah imam sedang memimpin Misa dalam bahasa Latin, umat dapat menyimak atau
mengikuti artinya menurut bahasa Indonesia. Pada tahun 1964, sesuai dengan Konstitusi Liturgi SC, para
Waligereja Indonesia memohon izin secara resmi kepada Sri Paus agar Misa kudus boleh dirayakan
dalam bahasa Indonesia, kecuali kanon sesudah prefasi.

Dua tahun kemudian (1966). MAWI memohon izin kepada Vatikan agar DSA boleh dibacakan dalam
bahasa Indonesia

Pada pertengahan kedua dekade 1960an hingga awal tahun 1970an terjadi semacam euforia
pembaruan liturgi di seluruh Gereja Katolik di mana pun. Salah satu hal yang menonjol ialan adanya
berbagai studi dan usaha untuk menciptakan dan membuat DSA sendiri di berbagai tempat. Pada tahun
1967-1968 di Indonesia juga berlangsung usaha untuk membuat DSA yang baru. sesuai dengan situasi
dan konteks Indonesia. Sidang MAWI mengizinkan hal itu pada tahun 1968. Hasil usaha dan studi pem-
buatan DSA itu sempat disetujui sidang MAWI setelah diada- kannya revisi. Pada tahun 1972 terbit
kumpulan DSA yang ber- judul Doa-doa Syukur Agung, dengan imprimatur dari Mgr. Paul A. Sani SVD,
Ketua PWI-Liturgi. Namun, pada tanggal 27 April 1973 Kongregasi Ibadat surat mengeluarkan edaran,
Eucharistiae Participationem, kepada para Ketua Konferensi Waligereja yang isinya: hanya mengakui
empati DSA yang ada di dalam buku Missale Romanum 1970. Adapun rumus DSA lain yang ditemukan
tidak boleh digunakan, belum ada izin dari Takhta Apostolik.

3.2 Buku Aturan Upatjara Misa (1971) Seperti telah disebut dalam sejarah Perayaan Ekaristi ritus
Romawi, pada tahun 1970 diberlakukan buku Missale Romanum Paulus VI yang merupakan Ordo Missae
yang baru. Dalam Missale Romanum 1970 tersebut hanya terdapat 4 buah DSA. Penambahan 3 buah
DSA yang baru pada Ordo Missae yang baru itu untuk menjawab kebutuhan akan variasi DSA dalam
Perayaan Ekaristi di berbagai tempat. Ordo Missae menurut Missale Romanum 1970 ini dikembangkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh PWI Liturgi dan diterbitkan sebagai buku Misa dengan judul: Aturan
Upatjara Misa pada tahun 1971 setelah mendapat persetujuan / pengesahan dari Kongregasi Ibadat
pada tanggal 23 Juli 1971 dengan nomor: Prot. No. 1435/1971. Dalam buku Aturan Upatjara Misa ini
dimuat keempat DSA bersama- sama dengan prefasi-prefasinya (51 buah + 2 buah yang menjadi satu
dalam DSA II dan IV).

Pada tahun 1974 MAWI memohon izin Sri Paus agar Gereja di Indonesia tidak boleh membuat satu
rumus DSA yang khas Indonesia. Paus Paulus VI peringatan positif, namun beliau meminta agar
penyelidikan yang saksama. mengapa keempat DSA yang ada kurang memuaskan dan mengapa DSA
khas Indonesia dirasakan perlu untuk dibuat. Atas pertanyaan Bapa Suci itu, PWI Liturgi MAWI
mengadakan angket “Pemakaian Doa Syukur Agung” kepada para imam di seluruh Indonesia. Belum
sampai proses ini selesai, pada tahun 1974 terbit 2 DSA baru dalam rangka Tahun Suci 1975 dan 3 buah
DSA baru untuk anak-anak. Kelima DSA tersebut dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat. PWI Liturgi MAWI
menerjemahkan kelima DSA tersebut, dan terjemahan itu mendapat persetujuan / pengesahan iklan
eksperimenum selama 3 tahun dari Takhta Suci pada tanggal 17 Februari 1975 dengan nomor: Prot. No.
247/1975 dan tanggal 31 Mei 1975 dengan nomor: Prot. No. 247/1975.

3.3 Tata Perayaan Ekaristi 1979 Untuk menyusun suatu buku TPE yang baru dan menyeluruh, mulai
tahun 1975 diadakan konsultasi pada uskup MAWI me ngenai seluruh isi buku Aturan Upatjara Misa.
Pada tahun 1977 sidang MAWI mengajukan permohonan ke Roma agar terjemahkan 5 DSA baru, yaitu 2
DSA tobat / kerukunan dan 3 DSA untuk anak-anak disahkan Roma secara definitif. Sidang MAWI juga
mewarisi agar kelima DSA baru itu dicetak di dalam TPE bagian integral dari DSA alternatif dalam TPE
dan bukan terpisah sebagai lampiran. Pada tahun 1977 itu lebih leng- Suek pula sidang MAWI
penggunaan TPE kap secara ad eksperimen. Setelah TPE disetujui oleh MAWI dan berbagai catatan dan
masukan dari para uskup diolah dan dikerjakan, pada tahun 1978 MAWI menyetujui bahwa: Terjemahan
DSA dari SWIS yang merupakan DSA untuk persidangan dengan variasi keempat resminya (rumus
prefasi, epiklese komuni dengan doa permoho- nannya: A, B, C , dan D) disahkan sebagai "DSA untuk
Pelbagai Kepentingan" dan selanjutnya ditempatkan sebagai DSA VII dalam TPE yang sudah disiapkan.
DSA VII ini dilengkapi dengan dua variasi "nasional", yaitu rumus E dan F, yang dikutip dari DSA
"Indonesia Tercinta" Pada DSA VII itu ditambahkan aklamasi umat yang berbunyi: "Sebab Engkaulah
Tuhan Yang Mahaesa. Allah Pengasih dan Penyayang" (diambil dari DSA Indonesia Tercinta, hasil lomba
cipta DSA Pribumi, 1974). Pada tanggal 8 Nopember 1978 Presidium MAWI memberi- kan imprimatur
kepada publikasi buku TATA PERAYAAN EKARISTI. Tata Perayaan Ekaristi (TPE) yang diterbitkan dan
mulai digunakan oleh seluruh umat Katolik di Indonesia pada tahun 1979 itu merupakan: TPE yang
dikerjakan PWI-Liturgi berdasarkan Ordo Missae Cum Populo / Missale Romanum, editio typica, Typis
Polytlottis Vaticanis 1970. TPE yang juga merupakan revisi atas Aturan Upatjara Misa yang diterbitkan
oleh PWI-Liturgi 1971 dan 1972, yang disetujui / disahkan oleh Kongregasi Ibadat tanggal 23 Juli 1971,
prot. No. 1435/1971. TPE yang memuat 10 DSA yang disusun secara ber- urutan sebagai bagian integral
Tata Perayaan Ekaristi (bukannya ada yang dilampirkan). TPE ini juga ditambahi 16 prefasi baru yang
merupakan gubahan asli Indonesia Kekhasan buku TPE ini (betul-betul khas karena hanya terjadi di
Indonesia) kemungkinan umat untuk ikut serta dalam pengucapan beberapa bagian kalimat dari DSA.
Imam selebran tetap meng- ucapkan seluruh DSA secara utuh, dan hanya pada beberapa bagian yang
telah ditentukan, umat boleh ikut pilih vokal. Penyusunan TPE seperti ini, yakni yang terdiri atas 10 DSA,
tambahan 16 prefasi baru dan peran serta umat yang dapat ikut memberikan beberapa bagian kalimat
dari DSA merupakan izin yang diberikan oleh MAWI secara ad experimentum. Kesimpulannya: TPE 1979
yang entah bagaimana ternyata digunakan hingga tahun 2005 ini sebenarnya semula merupakan TPE ad
experimentum dan memang tidak pernah ada sebagai TPE Indonesia yang definitif. Pada tahun 1984
MAWI mengeluarkan Memorandum yang menghimbau para uskup dan imam, serta seluruh umat
beriman agar kebiasaan Gereja Universal dan kebijakan Gereja lokal yang didukung. MAWI umat umat
(ad experimentum) untuk "mengikuti" dalam pengucapan hanya pada beberapa bagian DSA dan bukan
pada seluruh DSA. 3.4 Menuju Misale Romawi Indonesia Sidang Dewan Komisi Nasional Liturgi KWI
pada tahun 1986 memutuskan untuk mengadakan revisi dan penyusunan suatu edisi definitif buku
Missale Romawi Indonesia, termasuk di dalamnya buku TPE. Keputusan ini disetujui oleh Sidang Para
Uskup KWI pada tahun 1986 dan 1987. Sidang KWI juga menugaskan Komisi Liturgi untuk memulai
penyusunan buku Missale Romawi Indonesia yang resmi berdasarkan Missale Romanum 1970.

rencana pembuatan buku Missale romawi indonesia selanjutnya diinformasikan kepada Kongregasi 1oa
Rencana pembuatan buku Missale Romawi Indonesia wi Indonesia ini, pada tahun 1988 Kongregasi
Ibadat menanggapinya dengan antara lain mempertanyakan Partisipasi umat dalam DSA seperti tertulis
dalam 1 PE 1979. dat. Terhadap rencana pembuatan buku Missale Roma- Komisi Liturgi KWI
mengedarkan "Angket Tata Pe- rayaan Ekaristi" pada bulan September 1988 untuk mendapatkan
masukan mengenai Tata Perayaan Ekaristi yang diharapkan oleh umat Katolik di Indonesia. Dari
masukan-masukan itu, telah disusunlah naskah Missale Romawi Indonesia. Setelah disusun dan dibayar
oleh tim uskup, para pakar teologi, liturgi dan bahasa Indonesia yang ditugaskan oleh KWI, Sidang Pleno
KWI pada bulan November 1991 memutuskan untuk menyempurnakan teks TPE baru hasil kerja sejak
tahun 1986 itu. Dalam teks TPE tersebut, umat diberi kesempatan (opsional) untuk menjawab beberapa
bagian dari DSA yang tidak esensial. Pada TPE tersebut juga disertakan DSA XI yang disusun sebagai DSA
yang khas Indonesia. Pada tahun 1992 KWI mengirimkan surat kepada Kongregasi Ibadat untuk
memohon pengakuan (penga- kuan) atas TPE 1992 tersebut. Pada tahun 1993 Kongregasi Ibadat
jawaban jawaban melalui surat pada tanggal 22 Mei 1993, yang isinya lain: DSA harus hanya diucapkan
oleh selebran (dan konselebran), tetapi tidak pernah oleh diakon maupun umat beriman; namun suatu
pemberian sisipan yang berupa aklamasi umat di beberapa frase DSA tetaplah mungkin, asalkan
aklamasi itu bukan bagian dari DSA itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai