Anda di halaman 1dari 8

Ketrampilan hubungan konseling awal

Konseling merupakan salah satu bentuk hubungan yang bersifat membantu. Shetzer dan Stone
(1980) mendefiniskan konseling sebagai proses interaksi yang difasilitasi dengan pemahaman diri dan
lingkungan untuk mencapai tujuan dan nilai-nilai pada perilaku di masa yang akan datang. Hubungan
tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari
konselor kepada klien, konselor menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk membantu klien
mengatasi masalah (ASCA dalam Neukrug, 2012).

Keefektifan konseling sebagian besar ditentukan oleh kualitas hubungan antara konselor dengan
klien (Nurihsan, 2010). Kebermaknaan sebuah hubungan dalam konseling berdasarkan sejauh mana
hubungan tersebutdapat membantu menyelesaikan permasalahan. Hubungan yang terbangun pada
awal sesi konseling akanmenentukan bagaimana konseling akan berlangsung. Membangun hubungan
dalam konseling menjadi modal awal konselor untuk membangun kepercayaan, keterbukaan dan
kenyamanan dengan konseli.Sehingga konseli dapat mengungkapkan permasalahan yang dialami dan
dapat memudahkan proses konseling selanjutnya.

Keterampilan melayani itu meliputi :

 Penyiapan klien,konteks, dan diri konselor sendiri.


 Memperhatikan klien secara pribadi.
 Mengobservasi dan mendengarkan.

Dari pendapat munro,dkk (1979) prosedur dan keterampilan yang diperlukan dalam
mengembangkan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal yang baik yaitu meliputi :

1. Menyiapkan konteks

Keterampilan menyiap kan konteks atau kondisi fisik ruang konseling yang memungkinkan klien
merasa aman, tantang, relaks, dan senang. Sanagat diperlukan bagi konselor yang profesional. Deangan
demikian penyiapan konteks ruanagn konseling meliputi pengaturan dekorasi ruangan, pengaturan
tempat duduk, dan pengaturan jarak tempat duduk konselor dan klien, letak tempat duduk klien, dan
ruang konseling.

a) Pengaturan dekorasi

Dekorasi ruangan konseling hendaknya memungkinkan klien dapat mengenalinya dan dipilih
dekorasi yang klien sudah familiar dengannya.dalam ruangan yang di dekor klien akan merasa
senang,kerasan,dan enak , sehingga klien akan terlibat (involve) secara penuh dalam proses konseling.

b) Pengaturan Tempat Duduk

Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan klien dapat berkomunikasi secara terbuka.
Untuk itu konselor dan klien hendaknya duduk di kursi, berhadap-hadapan satu sama lain tanpa meja
atau bangku yang menghalang-halangi klien dan konselor. Tempat duduk klien dan konselor yang
terhalang oleh meja dapat membawa ke suasana hubungan yang terlalu formal seperti yang umumnya
dikerjakan oleh seorang direktur cenderung aktif sedangkan stafnya cenderung pasif dan tidak banyak
kata lagi segera pergi melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Jauh dekatnya jarak tempat duduk
konselor dan klien dapat pula mempengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jika tempat duduk
konselor jauh dari tempat duduk klien akan cenderung menimbulkan suasana hubungan yang kurang
akrab dan klien menjadi kurang "involve" dan proses konseling. Sebaliknya jika jarak tempat duduk
konselor dan klien terlalu dekat dapat menimbulkan suasana hubungan yang kaku, terbatas dan
merisikan.

c) Letak Tempat Duduk Klien

Tempatkan kursi tempat duduk klien sedemikian rupa sehingga memungkinkan klien dapat
melemparkan pandangannya ke luar jendela. Sedapat mungkin hindari penempatan duduk klien yang
membelakangi jendela. Dengan tempat duduk yang demikian itu memungkinkan klien merasa bebas,
enak dan tidak tertekan. Sebaliknya jika klien membelakangi jendela maka pandangan klien akan hanya
terbatas pada konselor dan ruang sekitarnya . Keterbatasan itu dapat menimbulkan rasa enak, kikuk,
dan kurang bebas.

d) Ruangan Konseling

Usahakan pelakanaan konseling di ruang khusus untuk itu agar klien merasa aman dan bebas
mengemukakan masalahnya tanpa khawatir didengarkan oleh orang lain. Keberadaan konselor dan klien
berduaan dalam ruang konseling ini, terutama jika klien berlainan jenis kelaminnya, dinilai bertentangan
dengan ajaran Islam. Untuk itu ahli konseling dan ahli agama Islam menyarankan agar konseling
dilaksanakan oleh konselor pria jika kliennya pria, dan oleh konselor wanita jika kliennya wanita. Jika
terpaksa konselor pria yang menangani klien wanita disarankan untuk dibuka pintunya, atau pintu
ruangan konseling sebagian dibuat dari kaca yang tembus pandang sehingga orang lain dapat melihat
keberadaan konselor dan klien dalam ruangan itu dari luar.

2. Menyiapkan diri konselor sendiri

Pentingnya menyiap kan diri konselir sendiri sama pentingnya dengan meyiapkan klien dan konteks
atau kondisi fisik ruanagn konseling. Dari pendapat cakhuff dan munro, dkk, tersebut diatas dapat
dipertimbangkan jenis persiapan yang benar diperlukan oleh konselor untuk kelancaran pelaksanaan
konseling awal. Persiapan yang diperlukan konselor seperti yang dijelaskan dibawah ini

a. Perlunya diketahui apakah klien itu datang secara suka rela atau tidak

Jika klien datang ke konselor atas kemauan sendiri, maka konselor dapat memperkirakan bahwa
hubungan konseling akan lebih mudah dimulai, karena klien lebih dahulu telah mempunyai niat untuk
meminta bantuan. Hal ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa klien telah mengenal masalahnya dan
berhasrat untuk memperbaiki dirinya. Sehingga kemungkinan klien "involve" secara efektif dalam proses
konseling besar kemungkinan terwujud, keterbukaan akan mewarnai proses hubungan yang sifatnya
membantu itu. Di samping itu konselor juga perlu waspada sebab ada kemungkinan klien yang datang
kepadanya itu hanya sekedar ingin memanfaatkan konselor untuk kepentingan yang bukan-bukan.

b. Pengenalan data tentang diri klien

Tugas konselor dalam wawancara awal dan tahap-tahap konseling selanjutnya akan diperlancar jika
konselor mengetahui latar belakang kehidupan klien secara lebih dalam. Jika klien telah pernah
konsultasi maka diperlukan data latar belakang klien dari interaksi-interaksi yang pernah dilakukan itu.
Informasi, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, catatancatatan formal, dan kesan-kesan informal
yang ada, serta rekaman-rekaman lainnya tentang diri klien. Jika klien belum pernah mendapat
konseling maka informasi dan data yang diperlukan oleh konselor tergantung atas pertimbangan-
pertimbangan berikut ini:

 Selera konselor
 Kadar usaha pemberian bantuan
 Hakikat dan karas masalah
 Tujuan konseling
 Ketepatangunaan informasi
 Ketersediaan informasi.

c. Mengkaji tujuan Konseling

Kajian tentang tujuan konseling ini ditekankan pada tujuan yang ingin dicapai oelh tahap awal
dari interasksi yang sifatnya membantu itu. Tujuan konseling tahap awal ini adalah membuat klien aktif
dalam mengeksplorasi pengalaman-pengalaman sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Untuk
mencapai tujuan ini konselor harus menyiapkan klien dengan berbagai cara seperti memikat klien,
memberi informasi tentang hakikat layanan konseling, dan mendorong klien untuk memanfaatkan
bantuan konseling tersebut.

d. Membuat diri Konselor sendiri relaks

Konselor hendaknya dapat membuat dirinya sendiri merasa relaks, yaitu relaks pikirannya dan
badannya untuk mehgadapi konseling yang akan segera dilaksanakan. Untuk membuat relaks
pikirannya, konselor dapat mencapainya dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan dan
pengalaman-pengalaman yang serba mulus, lancar dan mengembirakan. Untuk membuat badan klien
relaks dapat dicapai dengan mengendorkan otot satu persatu.

3. Menyiapkan klien untuk konseling

Kesediaan klien "involve" dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor
menyiapkan kliennya. Menurut Carkhuff (1983) ada tiga cara atau prosedur untuk menyiapkan klien
yaitu:

 memikat klien,
 memberi informasi tentang etika konseling dan konselor yang dapat dipilih, dan
 mendorong klien untuk mengambil konseling dengan serius.

Tidak involvenya klien secara penuh dalam proses konsleing itu oleh Egan (1982) dinamakan
"reluctant". dan "resistant". "Reluctant" adalah keadaan atau sikap klien yang engan datang ke konseling
sebab kedatangnya itu bukan atas kemauannya sendiri. Klien yang "resistant" datang ke konseling
secara setengah hati. Semula klien "reluctant" dan sekarang sudah dapat mengatasi "reluctant"nya itu
tetapi belum berhasil sepenuhnya. Ia masih setengah hati. Menurut Egan (1982) sebab dari "reluctant"
dan "resistant" itu ada 18 macam, beberapa di antarannya adalah:

 klien tidak mengerti mengapa harus pergi ke konseling untuk pertama kalinya;
 klien yang dikirim olrh guru, orang tua, atau lembaga lain;
 klien yang takut karena belum tahu tentang hakikat konseling,;
 klien yang tidak tahu bagaimana berpartisipasi secara efektif dalam konseling, dan;
 klien yang tidak suka pada konselor .

Melihat sebab-sebab klien kurang "involve" seperti tersebut di atas maka konselor harus
menyiapkan klien dengan baik agar ia merasa aman, diterima dan dihargai sehingga terciptalah
hubungan baik ("repport").

4. Melayani (attending) secara pribadi

Carkhuff (1983) menyatakan bahwa melayani secara pribadi memungkinkan klien dapat merasa
dekat dengan konselor, sehingga konselor dapat mengkomunikasikan minat dan perhatiannya pada
klien. Mengkomunikasikan minat kepada klien akan memungkinkan konselor memperoleh respon minat
dari klien secara timbal balik. Menurut Carkhuff melayani secara pribadi adalah usaha konselor untuk
menempatkan diri sedemikian rupa sehingga dapat memberi perhatian secara penuh dan tak terbagi
pada klien. Karena itu melayani secara pribadi menekankan pentingnya konselor menghadapi klien
secara penuh dengan

 menghadap secara tepat pada klien,

Salah satu sikap konselor dalam menghadapi klien adalah menghadapinya secara penuh. Apakah
konselor berdiri atau duduk, konselor harus mengahadap pada klien secara tepat, yaitu bahu kiri
konselor lurus dengan bahu kanan klien, dan bahu kanan konselor lurus dengan bahu kiri klien. Jika
konselor menghadapi pasangan suami-istri atau kelompok kecil, konselor hendaknya menempatkan diri
pada titik sudut di mana jaraknya sama antara orang yang ada di sisi kiri dan sisi kanan

 condong ke depan yaitu pada klien

Cara konselor menghadapi klien secara pribadi yang ke dua adalah menyodorkan badan ke
depan. Misalnya jika konselor duduk,maka konselor harus menyodorkan badannya ke depan ke arah
klien yang sedang duduk atau yang sedang dihadapi oleh konselor. Seperti yang terlihat pada gambar 1
lengan konselor terletak di atas paha dan badannya condong ke depan. Jika berdiri, konselor
menghadapi klien secara penuh. Jika ia dekat dengan klien yang ia hadapi, ia meletakkan kaki satu di
depan sedemikian rupa serhingga badan konselor condong ke arah klien.

 mengadakan kontak mata dengan klien.

Konselor dapat berkomunikasi secara penuh perhatian jika ia memelihara "kontak mata" dengan klien
yang dihadapinya. Malalui usaha konselor melakukan "kontak mata" itu, klien akan sadar bahwa ia
sedang diperhatikan secara psikologi. Tentu saja tidak sepanjang proses konseling konselor harus
"menatap mata" klien, sebab cara memandang yang terus-menerus seperti itu dapat mendatangkan
pengaruh yang sebaliknya, yaitu bukan keakraban yang diperolah tetapi sebaliknya klien menjadi bosan,
jengkel ataupun penolakan."Tatapan mata" itu seperlunya saja, yaitu pada saat-saat penting, saat kita
ingin menyakinkan klien, sang konselor ingin mengetahui pendapatnya, dan sebagainya. Bahkan
memang ada saatnya klien di beri kesempatan untuk melemparkan pandangannya secara bebas ke luar
lewat jendela, atau ke gambar-gambar yang ada di dinding agar klien bebas berpikir dan bebas
melepaskan ketegangannya.

5. Mengobservasi

Keterampilan yang paling penting yang dihasilkan atau yang diperlakukan oleh "attending" secara
pribadi adalah keterampilan mengobservasi. Mengobservasi adalah keterampilan membantu yang
paling dasar. Observasi adalah sumber dari belajar konselor tentang klien. Konselor belajar sesuatu
tentang orang atau klien melalui observasi terhadapnya.

Carkhuff (1983) menyatakan bahwa yang hendaknya diobservasikan konselor adalah dimensi
fisik klien, dimensi emosional klien, dan dimensi intelektual klien.

 Mengobservasikan Dimensi Fisik Klien

Dengan mengobservasikan dimensi fisik klien,konselor dapat mempelajari level energi kliennya.
Level energi klien itu perlu atau penting diketahui karena level energi adalah jumlah usaha fisik yang
dikerahkan untuk mencapai tujuan. Orang yang memiliki level energi yang tinggi dapat mengalami
kesempurnaan hidup. Orang yang memiliki level energi yang rendah mempunyai kesulitan yang besar
dalam memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari, sekalipun tuntutan kehidupan itu sangat sederhana.

 Mengobervasikan Dimensi Emosional

Jika konselor ingin mengetahui perasaan klien, maka konselor harus mengobservasinya melalui
perasaannya. Level emosional akan menunjukkan perasaan klien. Level emosional yang tinggi berarti
klien mempunyai perasaan "up" (mampu, positif, sehat) untuk menangani secara efektif tugas-tugas
yang dihadapinya. Level emosional yang rendah berarti "perasaan turun" (negatif, sedih, susah) dan
unjuk kerja yang kurang terhadap tugas-tugas yang ada.

 Mengobservasikan Dimensi Intelek


Tingkat kesiapan intelek klien menunjukkan siapnya klien untuk memuaskan diri pada tugas-
tugas mereka. Level intelektual yang tinggi menunjukkan klien siap melakukan tugas, sedangkan
sebaliknya tidak.

Mendengarkan

Mendengarkan bukan hanya sekedar menerima stimulus melalui indera pendengaran. Terdapat
perbedaan mendasar antara mendengar dan mendengarkan. Mendengar merupakan salah satu dari
penginderaan manusia, itu merupakan proses fisiologis dan tidak membutuhkan pemahaman pada
stimulus yang masuk.Individu dapat pasif mendengar suara yang dihasilkan dari orang, hewan dan
objek, yang mana mungkin tidak menganggap itu masuk akal, atau individu dapat memilih suara mana
yang akan mendapat perhatian. Sedangkan mendengarkan membutuhkan kemampuan untuk fokus dan
perhatian penuh.Berdasarkan International Listening Assosiation (ILA) dalam Pastae (2017)
mengemukakan mendengar merujuk pada kejadian, tidak sengaja/tidak suka rela dan membutuhkan
usaha yang sedikit.Sedangkan mendengarkan merujuk pada fokus, suka rela dan disengaja.

Emmert (1996) menyebutkan bahwa mendengarkan merupakan proses aktif dalam memahami
makna dari pesan yang disampaikan oleh orang lain. Steil menambahkan mengenai interaksi antara
teman berbicara, yang mendefiniskan mendengarkan merupakan proses belajar yang kompleks pada
penginderaan, memaknai, mengevaluasi, menggabungkan dan merespon pesan yang disampaikan
secara verbal. Pengertian ini menggambarkan pentingnya peran pendengar dan kemampuan
menganalisis untuk keberhasilan interaksi yang dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
komunikasi non verbal. Sejalan dengan hal tersebut, Neukrug (2012), yang mengemukakan seorang
pendengar yang baik memiliki beberapa kriteria antara lain: 1) Tidak terlalu banyak berbicara, 2)
Konsentrasi pada apa yang konseli sampaikan, 3) Tidak memotong pembicaraan, 4) Tidak memberikan
nasihat/saran, 5) Memberikan perhatian tulus, 6) Mendengar dengan konten yang sedang disampaikan
oleh konseli, 7) Menangkap setiap pesan berupa perasaan yang dialami konseli, 8) Dapat memberikan
respon berupa anggukan untuk memastikan kepada konseli bahwa ia memahami, 9) Menanyakan
klarifikasi jika diperlukan , 10) Tidak menanyakan pertanyaan yang tidak berhubungan dengan konten
permasalahan.

Proses konseling yang merupakan sentral layanan konseling dilakukan sesuai dengan kaidah
profesi dan kode etik yang ditetapkan. Konselor merupakan sebuah profesi, Tuntutan secara profesi,
konselor harus memiliki kualitas pribadi yang memadai untuk menunjukkan profesionalisme perilaku
dan aktivitasnya. Konselor yang memiliki pribadi mantap, akan sangat menyadari profesinya, yang harus
ditunjang dengan kompetensi-kompetensi pribadi, akademik, sosial dan profesional. Efektivitas
konseling sangat ditentukan oleh kualitas pribadi konselor. Konseling yang efektif bergantung pada
kualitas hubungan antara klien dengan konselor. Pentingnya kualitas hubungan konselor dengan klien
ditunjukkan melalui kemampuan konselor dalam kongruensi (congruence), empati (empathy), perhatian
secara positif tanpa syarat (unconditional positive regard), dan menghargai (respect) kepada klien.
Kepribadian merupakan titik tumpu dari duajenis kemampuan yang lain (pengetahuan dan ketrampilan),
namun demikian ketiga aspek memiliki keterkaitan bersifat reciprocal atau dengan kata lain ketiganya
harus ada dan saling mempengaruhi.
Sumber :

https://jurnal.iicet.org/index.php/j-edu/article/view/203

Buku Teknik Dan Laboratorium Konseling

(https://opac.perpusnas.go.id/ResultListOpac.aspx?pDataItem=Soli
%20Abimanyu&pType=Author&pLembarkerja=-1&pPilihan=Author )
RESUME TEHNIK DAN
LABORATORIUM KONSELING
(pertemuan 3)

Dosen pengampu : Dra.Sri Saparahayuningsih,M.Pd.Kons

Adif Jawadi Saputra,M.Pd,Kons

Disusun oleh :

Nama : Fiha Ainun Salsabila

NPM : A1L021073

Kelas : B

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2022

Anda mungkin juga menyukai