BIMBINGAN KONSELING
LINTAS BUDAYA
Oleh:
Dr. Hadiwinarto, M. Psi.
Muhammad Nikman Naser, M.Pd.
Penerbit
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
FKIP – UNIB PRESS
2
Prakata
Puji syukur saya peruntukan kehadirat Allah SWT, karena berkat ridho-Nya jualah
Buku ini selesai disusun dan diterbitkan pertama kalinya. Penulisan buku ini didorong oleh
pengalaman sebagai pengajar, di mana mahasiswa membutuhkan referensi khusus yang
menurutnya mudah dipahami. Diketahui bahwa budaya Indonesia sangat beragam dan
ketersediaan buku berbahasa Indonesia dengan spesifikasi bimbingan konseling lintas budaya
juga sangat terbatas. Referensi buku-buku budaya Indonesia memang sangat beragam, tetapi
masih dibutuhkan wawasan mendalam dalam konteks bimbingan konseling lintas budaya.
Saya yakin semua calon konselor sekolah memerlukan pengetahuan dan pemahaman
mengenai referensi untuk memberikan layanan bimbingan konseling lintas budaya.
Bahwa bimbingan konseling lintas budaya adalah penyediaan informasi mengenai
karakteristik layanan dan program bimbingan konseling kepada siswa, orang tua murid,
sekolah, pemerintah dan masyarakat. Sesuai dengan judulnya: “Bimbingan Konseling Lintas
Budaya”, buku ini berisi uraian mengenai kajian berbagai persoalan mengenai berbagai
budaya yang sangat bermanfaat bagi guru Bimbingan Konseling yang menghadapi klien dari
berbagai budaya di Indonesia. Dalam banyak hal, karena keterbatasannya, buku ini memuat
pokok-pokok pikiran penulis. Untuk memperdalamnya, dipersilahkan membaca buku-buku
yang khusus membahas materi yang dimaksud yang memerlukan ketajaman analisis.
Buku ini kiranya cocok dan bermanfaat bagi para akademisi, praktisi bimbingan dan
konseling, tenaga kependidikan lainnya dan mahasiswa yang berkeinginan mendalami
persoalan bimbingan dan konseling. Dengan mempelajari buku ini, para pembaca akan
memperoleh pemahaman, pengetahuan dan dasar-dasar keterampilan merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi layanan dan program bimbingan konseling. Dengan
mempelajari berbagai budaya akan meningkatkan pemahaman mengenai makna transparansi
layanan. Dengan mempelajari berbagai budaya akan menambah alternatif yang akan dipilih
dalam merencanakan dan melaksanakan layanan. Persoalan instrumentasi juga merupakan
masalah utama dalam evaluasi, maka para pembaca akan memperoleh pemahaman dasar
bagaimana menentukan instrumen evaluasi layanan program bimbingan konseling.
Instrument evaluasi yang dimaksud terfokus pada evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi
hasil dan evaluasi dampak atau outcome.
Perbedaan budaya antara klien ataupun sekelompok klien dengan budaya konselor
merupakan salah satu hambatan proses konseling yang kemudian dapat berdampak pada
3
output konseling. Dengan pemahaman mengenai berbagai budaya diharapkan konselor dan
klien dapat menciptakan situasi konseling yang kondusif sehingga output dan outcome
konseling menjadi optimal.
Akhirnya semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya
bagi kalangan akademisi dan praktisi pendidikan, terkhusus bagi praktisi bimbingan
konseling.
PASAL 2
Undang-Undang ini berlaku terhadap:
a. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait warga negara, penduduk, dan badan hukum Indonesia;
b. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan
bukan badan hukum Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan Pengumuman di Indonesia;
c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dan pengguna Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait bukan
warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia dengan ketentuan:
1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan negara Republik Indonesia mengenai pelindungan
Hak Cipta dan Hak Terkait; atau
2. negaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral
yang sama mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait.
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
5
BIMBINGAN KONSELING
LINTAS BUDAYA
DAFTAR ISI
PRAKATA
DAFTAR ISI
TUJUAN INSTRUKSIONAL
BAB I
KONSEP DASAR KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Pendahuluan
B. Tinjauan tentang Budaya dan Kebudayaan
1. Definisi Budaya
2. Definisi Kebudayaan
3. Wujud Kebudayaan
C. Cakupan Budaya
D. Pengertian Konseling
E. Tujuan Konseling Lintas Budaya
BAB II
BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGAN
A. Pengertian budaya
B. Konsep Kebudayaan Indonesia
C. Karakteristik Budaya
D. Akulturasi Budaya di Indonesia
E. Sifat budaya
1. Sosialisasi budaya
2. Sistem Nilai
BAB III
KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Pengertian konseling multikultural
B. Problem masyarakat multikultural
C. Perlunya Konseling Multikrtural
D. Eksistensi Konseling di Indonesia
1. Ketrampilan khusus konselor
2. Karakteristik konselor lintas budaya
E. Proses Konseling Multikultural
F. Aplikasi konseling multikultural
BAB IV
KOMPETENSI KONSELOR LINTAS BUDAYA
A. Profesi Konselor dalam Perspektif Konseling Lintas Budaya
7
BAB V
KERANGKA KERJA KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Pendekatan Konseling Kemaslahatan
B. Pendekatan Konseling Kedamaian
C. Pendekatan Konseling Model KIPAS
D. Model Konseling Berbasis Budaya GUSJIGANG
Daftar Pustaka
8
BAB I
KONSEP DASAR KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa membutuhkan keberadaan individu lain dalam
rangka pemenuhan kebutuhannya, seperti kebutuhan social, kebutuhan ekonomi, kebutuhan
aktualisasi diri dan sebagainya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia
berinteraksi satu dengan yang lainnya baik yang berasal dari budaya yang sama bahkan
dengan budaya yang berbeda. Hal ini bisa dipahami karena dinamika manusia sebagai
makhluk individu dan social selalu berkembang secara dinamis.
Manusia senantiasa bertemu dan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam lingkup social
maupun dalam lingkup pendidikan seperti konseling. Oleh karena manusia itu memiliki latar
belakang budaya yang berbeda, maka diperlukan adanya pemahaman akan pentingnya
konseling lintas budaya, terutama dalam penerapannya pada pelayanan bimbingan dan
konseling.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap
adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok konseli yang satu
dengan kelompok konseli lainnya, dan antara konselor sendiri dengan konseli. Konselor
harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling.
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam
dekade 1960-an, hal ini mengingat bahwa individu memiliki keragaman budaya sehingga
penting untuk dikaji secara ilmiah.
9
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa konseling lintas budaya melibatkan
konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu
proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang
mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut
untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan
dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang
responsif secarakultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan
budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001).
Dikatakan Konseling lintas budaya jika konselor dan konseli memiliki latar belakang budaya
yang berbeda. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain
sebagainya.
1. Definisi Budaya
Istilah kebudayaan tidak bisa terlepas dari budaya karena kedua istilah ini memiliki
keterkaitan makna. Kata budaya berasal dari kata latin yakni Colere yang artinya mengolah
atau mengerjakan. Budaya dalam Bahasa Inggris disebut Culture, dalam Bahasa Indonesia
disebut Kultur yang memiliki arti sama dengan kebudayaan. Istilah budaya berasal dari
bahasa Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi”
atau “akal”. Jadi dapat dikatan bahwa budaya berkaitan dengan dengan budi dan akal
manusia.
Seorang antropolog asal Inggris bernama E.B. Taylor, mendefinisikan budaya sebagai
sesuatu kompleks yang mencakup pengetahuan kepercyaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan
Louise Damen, dalam bukunya Culture Learning: The Fifth Dimension in the Language
Classroom, menyatakan bahwa budaya mempelajari berbagi pola atau model manusia untuk
hidup seperti pola hidup sehari-hari. Pola dan model ini meliputi semua aspek interaksi sosial
manusia. Budaya adalah mekanisme adaptasi utama umat manusia. Dari pendapat Taylor dan
Damen, dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan hal hal yang berkaitan dengan akan dan
cxara hidup suatu masyarakat yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.
10
2. Definisi Kebudayaan
Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa budaya dan kebudayaan memiliki keterkaitan makna,
dimana kata kebudayaan itu sendiri bersumber dari kata dasar budaya. Kebudayaan
merupakan hasil dari budaya. Kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Seperti
yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan berarti keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia. Sementara itu, Kebudayaan menurut Kluckhohn dan Kelly, adalah segala
konsep hidup yang tercipta secara historis, baik yang implisit, irasional, dan rasional yang ada
di suatu waktu, sebagai acuan yang potensial untuk tingkah laku manusia. Selanjutnya,
pengertian kebudayaan juga dikemukakan oleh E.B.Taylor, yaitu suatu keseluruhan yang
kompleks meliputi kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesangupan dan
kebiasaan lainnya yang sering dipelajari oleh manusia sebagai bagian.
1. Tingkat kecerdasan akal setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu tempo sejarah
bangsa di puncak perkembangannya.
2. Hasil yang dicapai suatu bangsa dalam lapangan kesusastraan, falsafah, ilmu
pengetahuan dan kesenian.
3. Sebagai way of life bangsa, terutama hubungannya dengan adat istiadat, upacara
keagamaan, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat.
Pengertian kebudayaan juga dikemukakan oleh Francis Merill, bahwa budaya adalah semua
perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat
yang ditemukan melalui interaksi simbolis. Kebudayaan berarti pola-pola perilaku yang
dihasilkan oleh interaksi sosial.
Menurut Larson dan Smalley (1972), kebudayaan adalah “blue print” yang memandu
perilaku orang dalam suatu komunitas dan diinkubasi dalam kehidupan keluarga. Mengatur
perilaku kita dalam kelompok, membuat kita peka terhadap masalah status, dan membantu
kita mengetahui apa tanggung jawab kita adalah untuk grup.
Kebudayaan menurut Robert H Lowie, adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari
masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan,
11
keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan
masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.
Sebenarnya masih sangat banyak pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli,
namun dalam tulisan ini diambil beberapa pendapat ahli yang erat kaitannya dengan fokus
dalam tulisan ini. Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan hasil karya dari manusia yang diperoleh dari hasil berpikir dan dijadikan sebagai
acuan dalam bertingkah laku.
3. Wujud Kebudayaan
Setelah diuraikan pengertian budaya dan kebudayaan, maka berikut ini akan dijelaskan wujud
budaya. Honingmann membagi kebudayaan kedalam 3 wujud, yakni kebudayaan dalam
wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda. Berikut ini penjelasan dari ke-3
wujud budaya tersebut:
Wujud kebudayaan ini adalah gagasan atau wujud ideal yang bersifat abstrak. Sifatnya
tidak dapat diraba, direkam, atau dilihat melainkan ada dalam pikiran individu penganut
kebudayaan tersebut. Contohnya adalah norma, adat istiadat, agama, atau hukum-hukum
yang berlaku di suatu daerah.
Wujud kebudayaan ini bersifat konkret, dapat dilihat maupun direkam. Maksudnya adalah
aktivitas atau kegiatan sosial berpola individu dalam suatu masyarakat, yang saling
berinteraksi dan berhubungan secara berkelanjutan dengan sesamanya. Contohnya adalah
acara perkawinan, upacara adat, ritual keagamaan, proses pemilihan pemimpin, dan
sebagainya.
Wujud kebudayaan ini menurut J.J. Hoenigman adalah wujud kebudayaan fisik yang
berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa
benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan di dokumentasikan. Sifatnya
paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Contohnya adalah wayang golek, kain
songket, senjata tradisional, pakaian adat, dan sebagainya.
12
Pendapat yang sama terkait wujud budaya ini dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2000),
sebagai berikut:
1. Gagasan
Gagasan merupakan wujud ideal kebudayaan yang berbentuk dari kumpulan ide-ide, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba
atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran
warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk
tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil
karya para penulis warga masyarakat tersebut.
3. Artefak/ karya
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud
kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang
satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud
kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya
(artefak) manusia.
Menurut Cohen (dalam Glading, 2012), budaya membentuk perilaku, pemikiran, persepsi,
nilai, moral dan proses kognitif manusia. Hal itu terjadi secara disadari maupun tidak
disadari. Disadari atau tidak, budaya menjadi salah satu penentu peradaban kehidupan
manusia sehingga terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik. Perilaku terbentuk
sebagai aktualisasi persepsi, perasaan, dan emosi pemikiran sebagai proses kognitif yang
dilandasi oleh moral. Sebagai bentuk implementasi hasil pemikiran, perilaku dapat
menjadi berperilaku moral terwujud dalam bentuk etis berdasarkan norma-norma sosial
13
dan agama, dan dapat juga menjadi perilaku yang tidak sesuai norma agama, norma sosial
dan norma kenegaraan.
C. Cakupan Budaya
Selanjutnya akan diuraikan cakupan budaya. Menurut Pederson (1980), cakupan budaya
terdiri atas :
1. Etnografi
Secara harfiah, Etnografi dapat berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang
ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian
bulan atau sekian tahun. Agus Salim (2001) menjelaskan bahwa secara sederhana, etnografi
dapat dipahami sebagai gambaran sebuah kebudayaan yaitu gambaran kebudayaan sebuah
masyarakat yang merupakan hasil konstruksi peneliti dari berbagai informasi yang
diperolehnya selama melakukan penelitian di lapangan dan dengan fokus permasalahan
tertentu. Ciri khas dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang
menyeluruh dan terpadu (holistic-integratif), deskripsi yang kaya (thick description) dan
analisa kualitatif dalam rangka mendapatkan cara pandang pemilik kebudayaan.
Etnografi juga merupakan jenis metode penelitian yang diterapkan untuk mengungkap makna
sosio-kultural dengan cara mempelajari keseharian pola hidup dan interaksi sosio-kultural
(culture-sharing group) tertentu dalam ruang atau konteks yang spesifik. Etnografi ini
mencakup etnis/suku, agama dan bahasa. Etnis/etnis bertalian dengan kelompok sosial dalam
sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena
keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan.
2. Demografis
Lingkup budaya secara demografis mencakup umur, gender, dan tempat tinggal. Secara
etimologi, demografi berasal dari bahasa latin yaitu kata ”demograhie” yang terdiri dari
dua kata ”demos” dan ”graphien”. Demos berarti penduduk dan graphien berarti catatan
atau bahasan tentang sesuatu. Maka secara etimologi makna demografi adalah catatan atau
bahasan mengenai penduduk suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Pengertian
demografi secara umum adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari jumlah, persebaran
wilayah, dan komposisi penduduk.
3. Status
Lingkup budaya berdasarkan status mencakup: status sosial, status pendidikan, kondisi
ekonomi, dan keanggotaan suatu organisasi. Status sosial merupakan suatu kedudukan
sosial seseorang di masyarakat yang mampu didapat dengan sendirinya (secara otomatis)
melalui usaha ataupun karena pemberian. Interaksi osiap akan mendorong individu untuk
bisa mencapai status sosial yang lebih tinggi. Status sosial yang lebih tinggi akan
berpengaruh pada sikap dan rasa penghargaan yang tinggi dari masyarakat,
a. Matrilineal
Merupakan sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ibu. Dalam sistem
kekerabatan ini, anak menghubungkan dirinya dengan kerabat ibu berdasarkan garis
keturunan perempuan secara unilateral. Dalam sistem kekerabatan ini keturunan menurut
garis ibu dipandang sangat penting sehingga menimbulkan hubungan pergaulan
kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warga persekutuannya.
Sistem kekerabatan matrilineal menerapkan bentuk perkawinan semanda, dilakukan tanpa
pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah dilakukannya perkawinan
15
pria harus menetap dipihak kekerabatan istri. Sistem kekerabatan ini biasa dianut oleh
masyarakat adat Minangkabau.
b. Patrilineal
Merupakan sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan bapak. Dalam sistem ini
anak menghubungkan dirinya dengan kerabat bapaknya berdasarkan garis keturunan pria
secara unilateral. Keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan
lebih tinggi serta hak-haknya juga kan mendapatkan lebih banyak. Sistem kekerabatan ini
menggunakan bentuk perkawinan jujur, yang dilakukan dengan memberikan uang jujur
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Hal ini dimaksudkan sebagai lambang
diputuskannya kekeluargaan istri dengan orang tua dan kerabatnya. Setelah diterimanya
uang jujur, maka istri akan mengalihkan kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat
suami. Sistem kekerabatan ini biasanya berlaku pada masyarakat adat batak, nias dan bali.
c. Campuran (parental)
Merupakan sistem kekerabatan dimana anak menhubungkan diri dengan kedua orang
tuanya, anak juga menghubungkan dirinya dengan kerabat bapak dan ibunya secara
bilateral. Dalam sistem kekerabatan ini kedua orang tua maupun kerabat dari bapak dan
ibunya memberlakukan peraturan yang sama baiknya tentang perkawinan, hak dan
kewajiban serta pewarisan. Masyarakat adat parental menggunakan bentuk perkawinan
mentas, yang tidak mengutamakan kekerabatan salah satu pihak baik ibu maupun bapak.
Sistem kekerabatan ini diterapkan oleh masyarakat adat jawa.
5. Lingkup Budaya
Budaya terdiri atas berbagai ruang lingkup. Berikut ini disebutkan dan diuraikan bagian
dari lingkup budaya te rsebut:
a. Etnis
Etnis atau suku bangsa merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari
kesatuan yang berlainan berdasarkan identitas unsur kebudayaan yang mengakar kuat,
terutama dengan bahasa yang merupakan salah satu aspek penting dalam budaya. Etnis
adalah serangkaian persamaan asal usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat
mendorong ketertautan dalam satu ikatan. (Koentjaraningrat, 2007) menyatakan bahwa
etnis merupakan sekumpulan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kolektif
yang dipertegas dengan pemahaman akan kesatuan bangsa. Dalam hal ini keberadaan
16
etnis ditentukan oleh pentingnya kesadaran kelompok, pemahaman yang luas akan
kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal usul yang melekat erat. Jenis-jenis etnis
yang tersebar di berbagai penjuru dunia antara lain sebagai berikut: Suku Bangsa Maya,
Suku Bangsa Persia, Suku Bangsa Amazon, Suku Bangsa Aborigin, Suku Bangsa Han,
Suku Gypsy, Suku Bangsa Yunani.
b. Gender
Definisinya adalah keadaan dimana individu yang lahir secara biologis, laki-laki dan
perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan
perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung
oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan. Secara
singkat, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial atas seks, menjadi peran
dan perilaku sosial. Dapat pula dikatakan bahwa konsep gender merupakan suatu sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasiomal perkasa. Sedangkan
perempuan itu lembut, lebih berperasaan, dan keibuan. Gender terefleksikan ke dalam
peran-peran, status sosial, kekuasaan politik dan ekonomi antara laki-laki dan
perempuan. (Bruynde, jackson, Wijermans, Knought & Berkven, 1997).
c. Seks
Merupakan sifat atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
d. Religi
Religi berasal dari kata religi (latin) atau leregre, yang berarti membaca dan
mengumpulkan. Gazalba menyebutkan bahwa religi atau agama pada umumnya
memiliki-memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh pemeluknya. Semua hal itu mengikat sekelompok orang dalam
hubungannya antar makhluk dengan khalik (Tuhan) yang berwujud dalam ibadah yang
dilakukan dalam sikap keseharian (Ghufron Dan Risnawita, 2010). Religiusitas juga
dapat diartikan sebagai keyakinan atas adanya yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan alam semesta yang didalamnya
terdapat perasaan, tindakan dan pengalaman yang bersifat individual. Di dalam religi
dapat berbentuk simbol, keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang
17
terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan yang dianggap sebagai sesuatu
paling bermakna.
e. Tradisi
Tradisi berarti segala sesuatu yang dilakukan seseorang, seperti adat, kebiasaan, ajaran,
dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang. tradisi berasal dari kata
traditium, yaitu segala sesuatu yang di transmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa
sekarang. Pada dasarnya, tradisi adalah warisan masa lalu yang dilestarikan, dijalankan
dan percaya hingga saat ini. Tradisi atau adat tersebut dapat berupa nilai, norma sosial,
pola kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari sebagai aspek
kehidupan. Menurut Hasan Hanifi, Tradisi adalah segala warisan masa lampau (baca
tradisi) yang masuk pada kita dan masuk kedalam kebudayaan yang sekarang berlaku.
Dengan demikian, bagi Hanafi turats tidak hanya merupakan persoalan peninggalan
sejarah, tetapi sekaligus merupakan persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai
tingkatnya.
f. Usia
Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam satuan waktu
di pandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat
perkembangan anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998).
6. Pengaruh Budaya
Budaya yang begitu beragam dapat memberi pengaruh pada manusia di antaranya
terhadap: persepsi diri, emosi, dan komunikasi. Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.
a. Persepsi diri
Menurut Rahmat (2000), persepsi adalah suatu pengalaman tentang objek peristiwa
atau hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Sedangkan menurut Sarwono, persepsi adalah kemampuan untuk membeda-
bedakan, mengelompokkan, memfokuskan, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa
persepsi adalah suatu proses penyampaian informasi yang relevan yang tertangkap oleh
panca indra dari lingkungan yang kemudian mengorganisasikannya dalam pikirannya,
menafsirkan, mengalami, dan mengolah segala sesuatu yang terjadi di lingkungan
tersebut. Bagaimanapun, segala sesuatu tersebut mempengaruhi persepsi, karena
18
persepsi dapat dikatakan sebagai kejadian pertama dalam rangkaian proses menuju
perubahan stimulus menjadi tindakan atau sebagai sensasi yang berarti atau bermakna.
b. Emosi
Tiap budaya di suatu daerah memiliki pandangan yang berbeda mengenai emosi, emosi
di berbagai budaya dan negara memiliki sebutan dan ukuran yang berbeda, hal itu
dipandang dari kebiasaan ketika seseorang kecil dan belajar dari orang dewasa di
sekitarnya, bagaimana tampilan orang orang ketika sedang marah atau ketika sedang
emosi dan bagaimana pengungkapannya. Misalnya bisa kita lihat kebiasaan masyarakat
dari suatu budaya yang sangat menekankan penekanan ucapan pada saat berbicara.
c. Komunikasi
Budaya dan komunikasi diibaratkan seperti dua sisi mata uang logam. Budaya
mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya komunikasi mempengaruhi budaya. Martin
dan Nakayama (2003) menjelaskan bahwa melalui budaya dapat mempengaruhi proses
dimana seseorang mempersepsi suatu realitas. Semua komunitas dalam semua tempat
selalu memanifestasikan atau mewujudnyatakan apa yang menjadi pandangan mereka
terhadap realitas melalui budaya. Sebaliknya pula, komunikasi membantu kita dalam
mengkreasikan realitas budaya dari suatu komunitas seperti dalam pengaruh bahasa
tubuh dalam komunikasi. Porter dan Samovar (1993) menyatakan bahwa hubungan
reciprocal (timbal balik) antara budaya dan komunikasi penting untuk dipahami bila
ingin mempelajari komunikasi antarbudaya secara mendalam. Hal ini terjadi karena
melalui budayalah orang-orang dapat belajar berkomunikasi dalam komunikasi non
verval. Keberhasilan proses konseling tidak hanya ditentukan oleh kepakaran konselor
dalam penguasaan materi konseling, tetapi juga dipengaruhi oleh pemahaman konselor
terhadap latar belakang budaya klien. Seperti diketahui bahwa Isu-isu tentang antar atau
lintas budaya semakin berkembang dewasa ini. Pertemuan individu antar budaya
semakin tidak terhindarkan sehingga atas dasar ini muncul kesadaran akan pentingnya
pendekatan baru dalam menjawab tantangan kehidupan pada abad-21. Perbedaan
budaya sudah selayaknya menjadi perhatian sehingga bisa menghindari terjadinya
kegagalan komunikasi. Demikian halnya dalam kegiatan konseling, bahwa terdapat
pertemuan individu yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, sehingga
seorang konselor penting memahami masalah budaya klien sehingga tujuan konseling
tercapai. Dalam prakteknya, konseling antar budaya merupakan pertemuan dua orang
19
(konselor dan konseli), dimana sangat memungkinkan masing masing memiliki latar
budaya yang berbeda. Oleh karena itu, penting melakukan observasi atas konseli agar
diperoleh informasi yang bisa membantu penyelesaian masalah yang dihadapi konseli.
Seperti yang dikemukakan oleh Dedi Supriadi (2001) bahwa konseling lintas budaya
melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada
pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan
efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri
dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan
memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian,
maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara
konselor dan klien. Dalam proses konseling terjadi proses belajar, tranferensi dan
counter-transferensi, dan saling menilai. Pada keduanya, juga terjadi saling menarik
inferensi. Suasana konseling diwarnai oleh pertemuan dua budaya yang mungkin sangat
berbeda, bila konselor tidak memahami budaya klien maka akan terjadi benturan
budaya. Benturan budaya ini bisa disebabkan beberapa hal seperti stereotype,
prasangka, etnosentrisme, serta kesalahan atribusi.
Stereotype merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan secara mental yang mengatur
pengalaman seseorang dan mengarahkan sikapnya ketika berinteraksi dengan individu dari
suatu budaya. Abatte, Boca, dan Bocchiaro mendefinisikan stereotype sebagai berikut:
“susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan sipenerima
mengenai kelompok social manusia. Stereotype cenderung menggeneralisasikan ciri dari
suatu kelompok budaya. Stereotype dapat mempersempit persepsi individu akan orang lain
dari suatu budaya, sehingga dapat menghambat proses konseling lintas budaya karena
stereotype cenderung menyamaratakan sikap dan kebiasaan individu dari suatu budaya.
b. Stereotype sering kali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi dan
diseleksi tanpa alasan apapun. Artinya, kita bisa saja mengakui suatu ciri tertentu dan
mengabaikan ciri lainnya.
c. Stereotype merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang orang di dalam kelompok
tersebut.
Dari ke-3 hal di atas dapat disimpulkan bahwa stereotype adalah sebuah pendapat/pandangan
yang dibuat dengan menggeneralisasi suatu kelompok. Stereotif akan berdampak pada
munculnya prasangka. Prasangka sering dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai
seseorang dari suatu budaya tertentu. Menurut Richard W. Brislin (dalam Lubis, 2012),
mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyinggung atau tidak toleran terhadap
sekelompok orang. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrim adalah diskriminasi, yakni
pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata mata
karena keanggotaan mereka dalam suatu kelompok.
Prasangka sangat berbahaya dan akan sangat menghambat dalam konseling antarbudaya,
karena pesan pesan baik yang disampaikan oleh konselor akan diabaikan oleh konseli akibat
dari prasangka yang dimiliki. Selanjutnya, etnosentrisme juga berpengaruh dalam pertemuan
antar budaya antara konselor dengan konseli dimana masing masing saling mengangungkan
budaya daerahnya dan menganggap budaya lain sebagai inferior.
Bila hal tersebut bisa diminimalisisr oleh konselor, maka klien akan merasa nyaman dan akan
lebih terbuka bila konselor mengerti dan menghormati nilai-nilai atau keyakinan yang ada
pada diri klien. Nilai-nilai dan keyakinan tersebut tumbuh dan berkembang dari akar budaya
yang ada dilingkungan kehidupannya (klien). Oleh karena itu konselor seharusnya
memahami secara utuh tentang kliennya. Masalah akan timbul bilamana ada inkongruensi
antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi referensi kedua belah pihak. Sumber terjadinya
distorsi adalah ketidakpekaan konselor terhadap latar belakang budaya klien. Konselor
hendaknya mampu mengembangkan pendekatan/ budaya baru yang efektif untuk membantu
klien. Dalam hal ini diperlukan kompetensi seorang konselor.
Menurut Finch dan Crunkilton (dalam Mulyasa, 2004) bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap, dan apresiasi yang
diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa kompetensi
21
mencakup tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki konselor untuk dapat
melaksanakan tugas-tugas konseling.
Kompetensi seorang konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir
yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Standard Kompetensi
Konselor Indonesia yang disebut sebagai Standar Kompetensi Konselor (SKK), dalam naskah
akademik yang disusun oleh Tim ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia)
disajikan dalam Konvensi Nasional XV ABKIN di Palembang 1-3 Juli 2007 (Standar
Kompetensi Konselor ini selanjutnya disebut secara bergantian dengan SKK dan SKKI).
Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa sebagai pendidik profesional, seorang konselor
dituntut memiliki kompetensi akademik dan profesional (dua sisi yang berbeda namun tidak
bisa dipisahkan), serta kualitas dan disposisi kepribadian yang mendukung hubungan layanan
bantuan (helping relationship).
Lebih lanjut dikemukakan, kompetensi konselor mengandung lima rumpun kompetensi yaitu:
1. Sikap, nilai, dan disposisi kepribadian yang mendukung yang mencakup 13 indikator,
2. Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani yang mencakup 12 indikator,
Selanjutnya, seseorang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada
budayanya atau mungkin tidak lazim atau tidak dapat diterima di budaya lain. Oleh karena
22
itu, perlu untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari
kepercayaannya dan adat istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya (Vacc, dkk.,
2003). Selanjutnya Wunderle (2006) menyebutkan bahwa kesadaran budaya (cultural
awareness) sebagai suatu kemampuan mengakui dan memahami pengaruh budaya
terhadap nilai-nilai dan perilaku manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap
pemahaman kebutuhan untuk mempertimbangkan budaya, faktor-faktor penting dalam
menghadapi situasi tertentu. Pada tingkat yang dasar, kesadaran budaya merupakan
informasi, memberikan makna tentang kemanusiaan untuk mengetahui tentang budaya.
Prinsip dari tugas untuk mendapatkan pemahaman tentang kesadaran budaya adalah
mengumpulkan informasi tentang budaya dan mentransformasikannya melalui
penambahan dalam memberikan makna secara progresif sebagai suatu pemahaman
terhadap budaya
kelamin, warna kulit, dan lain sebagainya. Dalam proses konselingnya, konselor harus
memiliki toleransi yakni perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada
dengan sesama. Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain,
menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak
adi. Toleransi yang dimiliki oleh konselor berguna untuk membantu menyelesaikan
masalah konseli.
Untuk membangun kesesuaian (congruence) dengan konseli yang sangat mungkin memiliki
perbedaan budaya, konselor perlu memahami berbagai bahasa non verbal yang merupakan
salah satu ekspresi budaya dan nilai-nilai yang dianut klien. Pemahaman akan bahasa non
verbal dipandang penting karena antara verbal dan n onverbal bisa saling melengkapi dan
menguatkan. Kesalahan interpretasi terhadap ekspresi nonverbal sering terjadi dalam
komunikasi antar budaya. Hal ini disebabkan antara lain karena banyak ekspresi nonverbal
bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Dengan demikian, individu
yang terlibat dalam konseling lintas budaya perlu dengan cermat memahami isyarat isyarat
nonverbal antar budaya.
Dalam rangka mengurangi kesalahan dalam menafsirkan pesan nonverbal, maka seorang
konselor perlu melakukan penyesuaian psikologis, yakni konselor yang efektif harus mampu
menguasai dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang mungkin dapat
menimbulkan “culture shock”;
Spencer, Rodgers, dan McGovern mengemukakan bahwa komunikasi dengan budaya yang
berbeda sering diasosiasikan dengan respons emosi yang kurang baik yang mengarah pada
perasaan kikuk dan gugup”. Masalah yang sering muncul ketika memasuki budaya baru
adalah ketidaknyamanan psikologis dan fisik (kejutan budaya/culture shock).
Istilah “culture shock” pertama kali diperkenalkan oleh ahli Antropologi Kalvero Oberg pada
tahun 1960. Menurut Kalvero Oberg (1960), kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah
sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol (kata-kata, gerakan tubuh, ekspresi
wajah, kebiasaan atau norma) yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa, Culture shock adalah ketidaknyamanan psikologis yang
dialami oleh seseorang ketika masuk ke sebuah budaya baru yang sangat berbeda dengan
budayanya sendiri. Culture shock merupakan hal yang wajar namun penting untuk diatasi
agar seseorang yang masuk ke budaya baru mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya.
24
Pertemuan antar budaya dari individu dalam proses konseling lintas budaya, pun berpotensi
menimbulkan culture shock, oleh sebab itu diantara upaya yang bisa dilakukan dalam
mengurangi dan mengatasainya dengan memahami pesan verbal dan nonverbal. Dalam
konseling antar budaya juga berlangsung komunikasi antar budaya, yakni proses
penyampaian pesan yang terjadi antara komunikator dengan komunikan yang berbeda
budaya. Komunikasi antar budaya adalah sebuah situasi yang terjadi bila pengirim pesan
adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang
lain. Keadaan demikian membuat komunikan atau komunikator dihadapkan kepada
maasalah-masalah yang ada dalam suatu siatuasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu
budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. (Sikumbang dkk., 2018).
Menurut Liliweri (2011), gaya komunikasi ada di dalam setiap jenis atau bentuk komunikasi.
Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar
pribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatusituasi tertentu. Gaya yang dimaksud
sendiri dapat verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa tubuh,
penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak.
b. Menciptakan kesan. Komunikasi non verbal penting karena menciptakan kesan. Misalnya
dengan memperhatikan penampilan ketika hendak melakukan sesuatu, seperti mau
wawancara atau kencan penting. Pengalaman pribadi akan menunjukkan seberapa sering
kita menilai orang dari warna kulit, usia, gender, ekspresi wajah, cara berpakaian dan
aksen dan bahkan cara berjabat tangan.
25
c. Mengatur Interaksi. Tindakan non verbal disengaja atau tidak memberikan petunjuk
mengenai percakapan kita, tentang bagaimana memulai percakapan, dan mengakhiri
pembicaraan, giliran siapa yang berbicara dan bagaimana mendapat kesempatan berbicara.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa komunikasi verbal dan nonverbal tidak bisa
dipisahkan dalam proses komunikasi. Dalam kaitannya dengan pesan nonverbal, Mark
L.Knapp (dalam Rahmat, 2000) menjelaskan beberapa fungsi komunikasi nonverbal, sebagai
berikut:
3. Kontradiksi: menolak pesan verbal atau memberikan makna lain terhadap pesan verbal.
Komunikasi nonverbal tidak berlaku secara universal, masing masing budaya memiliki
bentuk pesan nonverbal dengan makna berdasarkan perspektif budaya masing masing. Para
ahli komunikasi pun belum memiliki kesepakatan terkait jenis pesan nonverbal tersebut.
Dale G. Leathers (dalam Rakhmat, 2000) membagi klasifikasi dari pesan nonverbal sebagai
berikut:
2. Pesan nonverbal auditif, hanya terdiri dari satu macam saja yakni pesan paralinguistic.
3. pesan nonverbal nonvisual nonauditif, yakni pesan yang tidak berupa kata kata, tidak
terlihat, dan tidak terdengar, meliputi sentuhan dan penciuman.
Selanjjutnya dijelaskan oleh Dale G.Leathers (dalam Rakhmad, 2000) bahwa klasifikasi
komunikasi non-verbal sebagai berikut:
1. Kinesik
Pesan Kinesik merupakan pesan non verbal yang ditunjukan seseorang dengan isyarat
tubuh atau gerakan badan. Kinesik adalah gerakan-gerakan tubuh atau badan berupa
gerakan dari sebagian atau seluruh tubuh maupun benda-benda yang digerakkan pelaku
komunikasi (Putri, 2018). Pesan kinesik mencakup pesan fasial, gestural, dan postural.
26
a. Pesan fasial adalah menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling
sedikit 10 kelompok makna, yakni: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, marah, sedih,
muak, pengecaman, minat, takjub, dan tekad.
b. pesan gestural, menunjukkan gerakan sebagain anggota badan seperti mata dan tangan
untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway (Rakhmat, 2000),
pesan gestural digunakan untuk mengungkapkan: mendorong/ membatasi,
menyesuaikan/mempertentangkan, responsive/tak responsive, perasaan positif/negative,
memperhatikan/tidak memperhatikan, melancarkan/ tidak reseptif, menyetujui/
menolak.
c. Pesan postural, yakni pesan yang berkenaan dengan seluruh anggota badan. Mehrabian
(Rakhmat, 20000), menyebutkan 3 makna yang dapat disampaikan oleh postur, yakni
immediacy, power, responsiveness. Immediacy, yakni ungkapan kesukaan atau
ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Power merupakan ungkapan status yang
tinggi pada diri komunikator. Responsiveness adalah reaksi secara emosional, baik
positif atau negative.
2. Proksemik, adalah pesan yang bisa disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang.
Jarak yang dibangun ketika berkomunikasi dengan seseorang dapat menginformasikan
tingkat keakraban/kedekatan. Pesan proksemik juga dapat menginfomasikan status social-
ekonomi.
3. Atifaktual
4. Kronemics
Kronemics adalah bagian dari komunikasi nonverbal mengenai budaya suatu bangsa
dalam penggunaan waktu. Ada negara yang sangat disiplin dalam penggunaan waktu,
contohnya Amerika Serikat, mereka punya semboyan “Time is money“ jadi kedisiplinan
adalah hal yang harus diterapkan bagi masyarakat Amerika. Sementara disisi lain, ada
negara yang cukup santai dengan penggunaan waktu/kedisiplinan rendah dalam
27
5. Paralanguage
Paralanguage yaitu elemen-elemen nonverbal dari suara yang meliputi pencirian vocal
(tertawa terbahak-bahak, sedih sedu sedan), tekanan dan intonasi, dan pemerian
(pemisahan) vocal. Paralanguage dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
paralinguistik, yaitu yang berkaitan dengan karakteristik komunikasi suara dan dengan
bagaimana orang menggunakan suara mereka. Bisa juga berupa suara ketika manusia
mengeluarkan suatu bunyi dari mulutnya yang mempunyai arti dan dianggap sebagai
sarana komunikasi antar manusia. Paralinguistik berada diantara komunikasi verbal dan
nonverbal karena dianggap melibatkan suara saja tanpa kata-kata.
Terdapat 3 klasifikasi dalam parabahasa, yakni kualitas vocal (volume, nada suara, tempo,
gema); karakteristik vocal (tertawa, menangis, merintih, merengek, menguap); pembeda
vocal (yakni suara suara yang dapat didengar, namun tidak dalam bentuk kata kata).
Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya
mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah
makna yang terkait dengan simbol tersebut. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata
merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut
latarbelakang sosial-budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai
kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut.
Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang
merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya
28
disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin
rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi
untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya
orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi melibatkan
orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan konsekuensinya proses
abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc.Daniel, 2010). Masing-masing
budaya memiliki ekspresi yang berbeda-beda. Hal ini terkait dengan aspek pantas, tidak
pantas, sopan tidak sopan menurut budaya masing-masing.
6. Haptics
Haptics, yaitu penggunaan usapan, elusan atau sentuhan dalam berkomunikasi.
Penggunaan sentuhan dalam berkomunikasi berbeda-beda antar budaya. Ilmu yang
mempelajari tentang sentuhan dalam komunikasi non verbal sering disebut Haptic.
Sebagai contoh: bersalaman, pukulan, mengelus-elus, sentuhan di punggung dan lain
sebagainya merupakan salah satu bentuk komunikasi yang menyampaikan suatu
maksud/tujuan tertentu dari orang yang menyentuhnya.
Tito Edy Priandono dalam Ferraro menyimpulkan bahwa komunikasi sentuhan sangat
bergantung dengan konteks budaya. Setiap kultur mendefinisikan siapa yang dapat
menyentuh siapa, bagian mana yang bisa disentuh dan dalam kondisi apa boleh
menyentuhnya (Asiyah, 2018).
Di beberapa negara, sentuhan, cara menyentuh dan makna sentuhan berbeda. Sebagai
contoh, di Negara Maroko, jabat tangan hanya dilakukan sesama jenis. Maka bersalaman
dengan berjabat tangan di Indonesia dapat dijadikan identitas budaya Indonesia yang
memiliki arti untuk menyapa dan menyambut dengan tujuan menghormati ketika bertemu
dengan seseorang maupun sedang berkunjung. Lalu dalam visual memperlihatkan anak
laki-laki sedang mencium tangan orang yang lebih tua. Mencium tangan di Jawa
disebutnya adalah salim. Salim dilakukan ketika kita bertemu orang yang lebih tua,
menjabat tangannya lalu meletakan punggung tangannya ke kening kita. Maknanya yaitu
untuk menghormati orang yang lebih tua. Salim merupakan adab sopan santun yang ada di
Indonesia.
Sementara di Thailand untuk menyapa yang lebih tua ucapan hormat dan sopan yang
dilakukan adalah menempatkatkan kedua tangan bersama-sama dan memberikan gerakan
membungkuk kecil. Berbeda halnya lagi mencium tangan di Arab dimana tangan akan
29
ditarik oleh orang yang akan disalimi sebelum tercium. Mencium tangan juga dimiliki oleh
Filipina, jika di Indoneseia disebut dengan salim, di Filipina disebutnya ‘Mano Po’.
Namun di Filipina mencium tangan tidak dengan bibir, melainkan meletakkan punggung
tangan orang yang dijabat tangannya di kening. Di Negeri barat juga terdapat cium tangan
tapi memiliki tujuan berbeda. Cium tangan yang di lakukan di negeri barat dilakukan oleh
seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai bentuk penghormatan kepada kaum
hawa ( Haryono dkk., 2017).
Menurut Samocvar; Porter; McDaniel (2010) dalam budaya dominan di Amerika Serikat, ada
lima kategori dasar perilaku menyentuh, yakni:
1. Sentuhan professional, dilakukan oleh orang orang seperti dokter, perawat dan penata
rambut.
2. Sentuhan kesopanan social, biasanya diasosiasikan dengan cara menyapa dan menyatakan
apresiasi.
Dari uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa makna sentuhan tidak sebatas pada budaya
seseorang tetapi juga pada konteks, latar belakang, maupun tujuan dari sentuhan. Sehingga
sentuhan dapat ditafsirkan dengan berbagai makna serta mengandung penilaian etis dan tidak
etis. Memahami komunikasi nonverbal haptics dapat mengurangi kesalahpahaman diantara
individu yang berinteraksi dan berkomunikasi, termasuk dalam konteks konseling.
Beberapa tingkah laku yang tidak etis yang paling sering terjadi dalam konseling (Herlihy &
Corey, 2006) yakni: pelanggaran kepercayaan; melampaui tingkat kompetensi profesional
seseorang; kelalaian dalam praktik; mengklaim keahlian yang tidak dimiliki; memaksakan
nilai-nilai konselor kepada klien; membuat klien bergantung; melakukan aktivitas seksual
dengan klien; persetujuan finansial yang kurang jelas, misal. ada biaya tambahan.
Terjadinya konflik kepentingan seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur
dengan hubungan lainnya baik hubungan pribadi maupun hubungan profesional (Moleski &
30
Kiselica., 2005). Konflik mengakibatkan perubahan peran pria dan wanita; inovasi mendia
dan teknologi; kemiskinan, tuna wisma; trauma; kesepian; dan penuaan (Wbber, Bass & Yep,
2005)
Kekerasan
Akhir akhir ini, fenomena kekerasan banyak sekali terjadi, bukan hanya dilingkungan social
namun juga dilingkungan sekolah bahkan rumah tangga. Fenomena kekerasan ini menjadi
satu mata rantai yang tidak terputus. Setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama
untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan
ini menjadi budaya kekerasan. Sebagai contoh, seorang anak yang sering mendapatkan
perlakukan yang tidak baik akan menumbuhkan rasa tertekan pada dirinya sehingga ada
kemungkinan anak akan mengadopsi perilaku yang diterimanya dan dia lakukan pada orang
lain. Dalam mengatasi hal ini, dibutuhkan penanganan yang segera melalui kegiatan
konseling.
Trauma
Trauma merupakan suatu kondisi emosional yang dialami oleh seseorang yang diakibatkan
suatu peristiwa seperti pemerkosaan, peperangan, bencana alam, serta peristiwa peristiwa
tertentu yang menimbulkan efek traumatis bagi individu. Konseling dalam hal ini bertujuan
untuk menurunkan gejala kecemasan pasca trauma. Selain itu, menghilangkan bayangan
peritiwa traumatis yang dialami seseorang, meningkatkan kemampuan berpikir secara lebih
rasional, membangkitkan minat terhadap realita kehidupan, memulihkan rasa percaya diri,
memulihkan kelekatan dan keterkaitan dengan orang lain yang dapat memberi dukungan.
1. Keadilan sosial
Konseling disini bertujuan untuk memberdayakan semua individu, terlepas dari latar
belakangnya sehingga individu dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
untuk mencapai potensi dirinya. Konselor dalam hal ini menyadari bahwa masalah
31
konseli dapat dikaitkan dengan struktur yang menindas. Dengan demikian, baik konselor
maupun konseli secara aktif terlibat dalam proses mengeksplorasi dan mendapatkan
pengetahuan tentang bagaimana struktur sosial mempengaruhi perkembangan konseli.
2. Kekerasan
Kekerasan baik yang terjadi di lingkungan sekolah maupun dilingkungan keluarga
sejatinya tidak terjadi. Faktanya, kekerasan ini termasuk yang sering terjadi. Terjadinya
kasus kekerasan terutama dalam keluarga dipicu berbagai factor, salah satunya factor
ekonomi. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kasus yang sering terjadi
di dalam rumah tangga. Kasus KDRT bisa saja dilakukan oleh suami, oleh isteri, bahkan
anak. Untuk itu, peran konselor sangat penting dalam memberikan bantuan kepada konseli
yang mengalami kasus KDRT tersebut.
D. Pengertian Konseling
Istilah konseling merupakan terjemahaman dari istilah penyuluhan. Akan tetapi ternyata
kegiatan penyuluhan sangat berbeda dengan kegiatan konseling. Ada beberapa literatur yang
menggunakan istilah bimbingan penyuluhan, ada juga yang menggunakan sebutan bimbingan
dan penyuluhan. Terkait dengan penerapannya dan agar tidak membuat rancu, maka dalam
pendidikan menggunakan istilah konseling. Sebab, istilah penyuluhan banyak diperuntukan
bidang non pendidikan, seperti: penyuluhan pertanian, penyuluhan keluarga berencana,
penyuluhan perikanan. Petugasnya disebut punyuluh, seperti: penyuluh pertanian, penyuluh
keluarga perencana, penyuluh sosial yang belakangan ini disebut pekerja sosial. Oleh sebab
itu, buku ini memilih menggunakan istilah konseling.
Lewis (1970) mengartikan konseling sebagai proses di mana seseorang yang mengalami
kesulitan (klien) dibantu untuk merasakan dan selanjutnya bertindak dengan cara yang lebih
memuaskan diri, melalui interaksi dengan orang yang tidak terlibat dalam konseling.
Sedangkan Jones (1970) menekankan konseling sebagai perencanaan yang lebih rasional,
pemecahan masalah, pembuatan keputusan internasional, pencegahan terhadap munculnya
masalahnya penyesuaian diri, dan memberi dukungan dalam menghadapi tekanan-tekanan
situasional dalam kehidupan sehari-hari bagi orang-orang normal.
Sebagai gambaran betapa kompleknya dan variasi klien yang dilayani, berikut ini disajikan
beberapa definisi konseling dari berbagai organisasi.
32
A.M. Schmuller & D.G. Mortenson mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses
hubungan seorang dengan seorang, di mana yang seorang dibantu oleh orang lainnya untuk
meningkatkan pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi masalahnya.
Blocher mendefinisikan bahwa konseling adalah membantu individu agar dapat menyadari
dirinya sendiri dan memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengrauh lingkungan yang
diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan beberapa makna pribadi
bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilai-
nilai untuk perilaku dimasa yang akan datang.
terhadap suatu masalah yang sedang mereka hadapi melalui pemecahan masalah dan
pemahaman karakter dan perilaku klien.
Gibson mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien
yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan.
Gladding mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan pribadi antara konselor dengan
klien atau konseli. Dalam hubungan pribadi tersebut, konselor membantu konseli untuk
memahami diri sendiri di setiap keadaan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Konseli dapat menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya untuk kesejahteraan pribadi
maupun masyarakat.
Hansen mendefinisikan bahwa konseling adalah proses bantuan kepada individu dalam
belajar tentang dirinya, lingkungannya, dan metode dalam menangani peran dan hubungan.
Hellen mendefinisikan bahwa konseling individual yaitu layanan bimbingan dan konseling
yang memungkinkan peserta didik atau konseli mendapatkan layanan langsung tatap muka
(secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan pengentasan
masalah pribadi yang diderita konseli.
H.M. Burks mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses yang berorientasikan
belajar, dilaksanakan dalam suatu lingkungan sosial, antara seorang dengan seorang yang
lain, di mana seorang konselor harus memiliki kemampuan profesional dalam bidang
keterampilan dan pengetahuan psikologi. Konselor berusaha membantu klien dengan metode
yang sesuai atau cocok dengan kebutuhan klien tersebut dalam hubungannya dengan
keseluruhan program, agar individu mempelajari secara lebih baik mengenai dirinya sendiri
dan belajar bagaimana memanfaatkan pemahaman mengenai dirinya untuk memperoleh
34
tujuan-tujuan hidup yang lebih realistis, sehingga klien dapat menjadi anggota dari
masyarakat yang berbahagia dan lebih produktif.
James F. Adam mendefinisikan bahwa konseling adalah Suatu pertalian timbal balik antara
2 orang individu dimana yang seorang (counselor) membantu yang lain (conselee) supaya ia
dapat memahami dirinya dalam hubungan denfgan masalah-masalah hidup yang dihadapinya
waktu itu dan waktu yang akan datang.
Jones mendefinisikan bahwa konseling adalah kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan
dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh
yang bersangkutan. Dimana ia diberi panduan pribadi dan langsung dalam pemecahan untuk
klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk
memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan.
Latipun Secara etimologi Istilah konseling berasal dari bahasa latin, yakni “consilium” yang
berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”.
Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasan dari kata “sellan” yang
berarti“menyerahkan” atau “menyampaikan”.
Lewis mendefinisikan bahwa konseling adalah proses mengenai seseorang individu yang
sedang mengalami masalah (klien) dibantu untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana
yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan seseorang yang bermasalah yang
menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan
tingkah laku yang memungkinkan kliennya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri
dan lingkungannya.
Palmer & McMahon mendefinisikan bahwa konseling bukan hanya proses pembelajaran
individu akan tetapi juga merupakan aktifitas sosial yang memiliki makna sosial. Orang
35
sering kali menggunakan jasa konseling ketika berada di titik transisi, seperti dari anak
menjadi orang dewasa, menikah ke perceraian, keinginan untuk berobat dan lain-lain.
Konseling juga merupakan persetujuan kultural dalam artian cara untuk menumbuhkan
kemampuan beradaptasi dengan institusi sosial.
Pepinsky & Pepinsky mendefinisikan bahwa konseling merupakan interaksi yang (a) terjadi
antara dua orang individu ,masing-masing disebut konselor dan klien ; (b) terjadi dalam
suasana yang profesional (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudah kan
perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.
Pietrofesa, Leonard & Hoose mendefinisikan bahwa konseling merupakan suatu proses
dengan adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional untuk membantu orang lain
dalam pemahaman diri pembuatan keputusan dan pemecahan masalah dari hati kehati antar
manusia dan hasilnya tergantung pada kualitas hubungan.
Pietrofesa mendefinisikan bahwa konseling merupakan tatap muka yang bersifat rahasia,
penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli.
Robinson mendefinisikan bahwa konseling ialah hubungan antara dua orang di mana yang
seorang klien merupakan klien, dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif
terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Suasana hubungan di dalam konseling ini
meliputi penggunaan wawancara untuk mendapatkan dan memberikan berbagai informasi,
mengajar dan juga melatih.
Samsul Munir Amin mendefinisikan bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan
kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara, atau dengan
cara-cara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan
hidup.
36
Schertzer & Stone mendefinisikan bahwa konseling adalah upaya membantu individu
melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu
memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan
berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya.
Smith mendefinisikan bahwa konseling merupakan proses dalam mana konselor membantu
konseli (klien) membuat interprestasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan,
rencana, atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya.
Soli Abimanyu & M. Tayeb Manrihu mendefinisikan bahwa konseling adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara dan teknik-teknik perubahan
tingkahlaku lainya oleh seorang ahli (disebut Konselor) kepada individu atau individu-
individu yang sedang mengalami masalah (disebut konseli) yang bermuara kepada teratasinya
masalah yang dihadapi oleh konseli.
Talbert mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara
tatap muka antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-
kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli
dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya
masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi
untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar
bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan
datang.
Tohari Musnawar mendefinisikan bahwa konseling dalam Islami adalah proses pemberian
bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah
yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai
37
Walgito mendefinisikan bahwa konseling menuntut adanya keaktifan dari dua arah, baik dari
konselor maupun dari konseli, bahkan dalam konseling keaktifan harus lebih banyak dari
konseli, di mana konselor hanya membantu konseli agar dapat menyelesaikan masalahnya
secara mandiri dengan pilihan-pilihan yang ada.
Willis mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan
seseorang dengan seseorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat
diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh latihan dan
pengalaman untuk membantu agar klien memecahkan kesulitanya.
Winkell mendefinisikan bahwa konseling merupakan serangkaian kegiatan paling pokok dari
bimbingan dalam usaha membantu konseli / klien secara tatap muka langsung dengan tujuan
agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap bebagai persoalan atau masalah
khusus maka masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi semuanya.
Wolberg mendefinisikan bahwa konseling adalah bentuk wawancara di mana klien ditolong
untuk mengerti lebih jelas dirinya sendiri, untuk memperbaiki kesulitan yang berkaitan
dengan lingkungan atau untuk dapat memperbaiki kesukaran penyesuaian.
Wren mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu relasi antara pribadi yang dinamis,
antara dua orang yang berusaha untuk memecahkan sebuah masalah dengan
mempertimbangkannya secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya orang yang lebih muda
atau orang yang mempunyai kesulitan yang lebih banyak diantara keduanya dibantu oleh
yang lain untuk memecahkan masalahnya berdasarkan penentu diri sendiri.
konseling sebaya. Demikian juga definisi yang dikemukakan oleh Tohari Musnawar hanya
dalam konseling islami.
Ada beberapa elmen penting dalam mendefinisikan koseling. Kesemamaan yang di maksud
yang di maksud adalah :
1. Konseling adalah hubungan pribadi, artinya pada dasarnya hubungan antara klien dan
konselor bersifat pribadi, meskipun kemudian bersifat kelompok
2. Konseling adalah suatu proses, artinya pertemuan antara klien dan konselor dapat saja
terjadi beberapa kali hingga masalah yang dihadapi klien terselesaikan.
BAB II
BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGAN
F. Pengertian budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan berusaha untuk menunjukkan siapa
sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu,
bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan beberapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi
diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya,
tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan
apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap,
penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini
ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan
perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali
hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana
individu itu berasal.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku,
suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai
nilai dan peraturan (1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan, 1995) mendefinisikan budaya
sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah laku
itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok
manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri
dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi
dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan
perbuatan perbuatan selanjutnya.
41
Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi bahwa budaya berarti buah budi manusia,
adalah hasil perjoangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman
(kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang
mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk
jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya
kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih
diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau
tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek,
positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang
dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu
mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam
wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu
dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar
budaya yang sama.
Herskovits & Malinowski, (1997) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang tertera
dalam lapisan masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Kebudayaan memiliki kedudukan dan kapasistas yang sentral dan mendasar sebagai
landasan utama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena suatu bangsa akan
menjadi besar jika nilai-nilai kebudayaan telah mengakar (deep-rooted) dalam sendi
kehidupan masyarakat (Karolina dan Randy, 2021). Indonesia sebagai negara kepulauan
adalah negara-bangsa yang memiliki substansi dan pluralitas budaya nusantara yang
merupakan daya tarik tersendiri di mata dunia. Masyarakat Indonesia sejatinya dapat hidup
42
berdampingan satu sama lain. Kemajemukan yang ada patut disyukuri karena dapat menjadi
kekuatan dan kebanggaan bagi Indonesia. Namun, keragaman ini juga dapat menjadi
ancaman, tantangan, dan gangguan bagi bangsa Indonesia (Lintang dan Najicha, 2022).
Konstruksi sosial budaya berperan penting dalam terciptanya relasi yang berkontribusi antara
laki-laki dan perempuan.
Indonesia memiliki beragam corak kebudayaan yang perlu dilestarikan dan dijaga
keberadaannya. Hal tersebut yang menjadikan masyarakat Indonesia kental akan budaya
(Rumpaka & Ayundasari, 2021). Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal
bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman budaya yang ada
membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, jika
mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia (Habsy, 2019).
Nilai-nilai budaya relevan dengan pancasila yang terintegrasi ke dalam adat istiadat dan
budaya Indonesia (Sati, et, al, 2021). Nilai kebudayaan yang jadi ciri bangsa Indonesia,
semacam gotong royong, silahturahmi, ramah tamah dalam warga jadi keistimewaan dasar
yang bisa menjadikan masing- masing orang warga Indonesia untuk mencintai serta
melestarikan kebudayaan bangsa sendiri (Dewi, 2021).
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat
merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu mengarahkan
manusia pendukung kebudayaan itu untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan pengetahuan
dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik,
kesenian dan sebagainya (Amiruddin, 2021). Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak
diperoleh manusia dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang
berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya.
C. Karakteristik Budaya
Sebagai negara terbesar keempat di dunia, dan dengan karakteristik sosial budaya
yang unik, pengalaman kesejahteraan Indonesia menjadi suatu referensi bagi pengembangan
masyarakat (Maulana, et.al., 2018). Suatu peneltian menunjukkan karakteristik budaya
Indonesia berpengaruh dalam negosiasi kolektif identitas terhadap permasalahan sosial
(Mahardika, et.al., 2018). Analisis tersebut mengungkapkan sejumlah tema kunci:
pemenuhan kebutuhan dasar; hubungan sosial dengan keluarga dan masyarakat; dan
pandangan dunia yang positif tentang penerimaan diri, rasa syukur, dan spiritualitas sebagai
aspek kunci dari kesejahteraan. Berbicara karakteristik budaya relevan dengan sesuatu yang
43
melekat dalam identitas kultural. Identitas kultural mencakup: etnik, sosial, gender, suku,
profesi, bahasa, ekonomi, pakaian, religiusitas, makanan, dan lain sebagainya (Trixie, 2020).
Indonesia dikenal luas sebagai masyarakat majemuk selain populer sebagai negara
multikultural. Tidak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam, tetapi juga memiliki
kekayaan sosial budaya yang paling hidup di dunia. Keanekaragaman budaya ini menjadi
kenyataan yang tak terelakkan. Dengan demikian melihat konsep masyarakat multikultural,
sama relevannya sebagai landasan epistemik bahwa masyarakat Indonesia dapat hidup
bersama, namun pada saat yang sama berpotensi untuk kemungkinan terjadinya konflik
(Nurhayati & Agustina, 2020); Widyanti (2020). Realitas masyarakat yang heterogen
sebenarnya melingkupi potensi konflik yang besar, tak terkecuali Indonesia yang memiliki
keanekaragaman kultural dan agama. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu
lahir dari rahim heterogenita bukan homogenitas. Dengan demikian, maka pemahaman,
penerimaan serta tindakan positif terhadap keberagaman terhadap budaya, agama, suku,
politik dan sebagainya menjadi kompetensi yang perlu dikuasai.
E. Sifat budaya
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal dan budaya yang khas atau unik.
Budaya yang bersifat universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang dimiliki oleh
44
semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia, secara
umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki kesamaan nilai-nilai tersebut. Contoh nilai
yang bersifat universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia
mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan. Sedangkan nilai budaya yang
khas atau unik adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu atau sekelompok
masyarakat tertentu. Nilai-nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku atau etnis
tertentu dimana keunikan ini berbeda dengan kelompok. Keunikan nilai ini dapat meniadi
barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu. Misalnya, nilai-nilai khas adat
budaya perkawinan Suku Batak, berbeda dengan nilai-nilai khas adat budaya perkawinan
dengan Suku Jawa.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak
kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu.
Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan
dalam menjalani hidup sehari hari. Nilai budaya yang diyakini kebenarannya tersebut dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa
nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri
untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee &
Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat
banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai
nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut
mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya
nasional. Budaya nasional diterapkan secara umum dan berlaku secara nasional, akan tetapi
budaya nasional diterampkan dalam hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu,
misalnya: upacara bendara di sekolah, di kantor-kantor.
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai
digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun
suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu
dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila;
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).
45
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak
bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara
terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau
nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus
memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab
tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan bahwa sifat kebudayaan yang tidak statis.
Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh
sebab itu ada beberaha hal penting yang perlu diingat, yakni:
a. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap
pergantian alam dan jaman;
b. Pengasingan atau kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, oleh karena itu
maka manusia harus selalu ada hubungan antara kebudayaan dan masyarakat;
d. Perlu kewaspadaan masukknya kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan
jamannya, yang dapat menjadikan "pergantian kebudayaan" yang menyalahi tuntutan
kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
e. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju
kearah kesatuan kebudayaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam
Iingkungan kemanusiaan sedunia.
1. Sosialisasi budaya
a. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter.
Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini
menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses
yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai
46
kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ
(Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang
paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah
keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang
pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi
muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara
benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir
dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung
terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu
kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak.
Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai
salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada
anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko
dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini,
orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya
saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak
mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan
digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini,
maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia
yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan
budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai
atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak).
Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai
berikut:
Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia.
Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu
budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan
47
menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.
Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai
tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada
anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.
b. Peran Masyarakat.
Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial
yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa
keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya
tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada
masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok
besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu
dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh
masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar
mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih
daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama
ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting.
Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang
sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah
lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat
mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang
yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata
tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah
olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan
timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam
Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota
masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah
disepakati bersama.
48
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau
budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias,
terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini
dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani
melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian
keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih sering
dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan
penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan
demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga
diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora
njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu)
dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola
perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya
akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam
Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau
kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh
generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum
muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari
pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara
langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar
meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses
belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:
“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata
khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah
menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai
gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu
ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara
49
agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi
kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih
menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik
perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk
diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah
gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan
upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu
mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut".
llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan
bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau
mencontoh. Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang
berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward
ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga
akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat
menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini
bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada
beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat,
1988). Berdasarkan apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu,
maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar
reward and punishment). Proses pelestarian budaya bisa berjalan dengan ketat dan
masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.
2. Sistem Nilai
Nilai memiliki dua gagasan yang saling bersebrangan, yakni nilai ekonomi yang didasarkan
pada nilai produk, kesejahteraan dan harga, dengan penghargaan tinggi bersifat material.
Pada sisi lain, nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak
terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak dan sulit untuk diukur itu meliputi keadilan,
kejujuran, kebebasan, kedamaian, dan persamaan (Mulyana, 2011). Dalam kehidupan
bermasyarakat nilai sebagai suatu sistem yang memiliki kaitan erat dengan sikap, dimana
keduanya menentukan pola-pola tingkah laku dari manusia (Suhardi, 2002).
Kebudayaan juga bisa diartikan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
50
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan dari kebudayaan adalah benda-benda
yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda
benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakatnya (Hermanto, 2011).
Menurut Parkin sebagaimana dikutip oleh Ibnu Ismail, bahwa tradisi merupakan suatu
kebiasaan dari aktifitas yang telah berakar dalam kondisi sosial budaya, sehingga terjadi
semacam rutinitas, contohnya meliputi grebegan, nyawalan, dan Hajatan (Isma’il, 2011).
Dalam tradisi, terkandung berbagai makna serta nilai-nilai penting diantaranya digunakan
sebagai acuan dalam bertingkah laku masyarakat dalam menjalani kehidupan, termasuk
menghadapi perbedaan-perbedaan ketika berinteraksi dengan orang lain yang berbeda budaya
maupun keyakinan (Haryanto, 2013).
Budaya Jawa juga mengenal istilah 3 M yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia,
yaitu Metu (Lahir), Manten (Menikah), dan Mati (Mati). Ketiga peristiwa tersebut merupakan
manifestasi budaya Jawa yang bersifat religius. Salah satu tradisi Jawa yang dilaksanakan
oleh masyarakatnya, yaitu di antaranya upacara perkawinan. Masyarakat Jawa mengenal
adanya tanggal, hari, dan bulan dalam kalender Jawa yang diperbolehkan atau di hindari agar
dapat melaksanakan sebuah upacara perkawinan. Selain itu, juga banyak tahapan yang harus
di lalui dalam sebuah upacara adat jawa (Budianto, 1988). Sumber lain mengatakan bahwa
kata budaya atau culture berasal dari colere, yang berarti mengerjakan atau mengolah. Hal ini
terutama berkaitan dengan kegiatan mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan istilah
tersebut, maka culture diartikan sebagai segala daya upaya atau tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan mengubah alam (Koentjaraningrat, 1984).
Budaya Lokal
Budaya Lokal adalah sebuah nilai-nilai lokal hasil dari budi daya masyarakat daerah tertentu
yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu.
Ciri-Ciri kebudayaan daerah atau lokal:
a. Terdapat peninggalan sejarah
b. Adanya unsur kepercayaan
c. Terdapat bahasa dan seni khas daerah
51
dari aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan
dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional. Contohnya terdapat pada
kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan
lain-lain.
Pandangan hidup
Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman,
arahan, petunjuk hidup di dunia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat
hidupnya. Pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu:
1. Pandangan hidup yang berasal dari agama, yaitu pandangan hidup yang mutlak
kebenarannya.
2. Pandangan hidup yang berupa Ideologi, yang disesuaikan dengan kebudayaan dan
norma yang terdapat pada negara tersebut.
3. Pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.
Pandangan hidup mempunyai 4 unsur-unsur, yaitu:
a. Cita-cita apa yang diinginkan yang mungkin dapat dicapai dengan usaha atau
perjuangan.
b. Kebajikan segala hal yang baik yang membuat manusia makmur, bahagia, damai
dan tenteram.
Cita-cita
Cita-cita adalah keinginan, harapan, tujuan, yang selalu ada dalam pikiran. Cita-cita
merupakan pandangan masa depan dan pandangan hidup dimasa yang akan datang. Pada
umumnya cita-cita merupakan semacam garis linier yang makin lama makin tinggi
tingkatannya. Apabila cita-cita belum tercapai maka cita-cita tersebut disebut angan-angan.
faktor yang menentukan seseorang dapat atau tidak mencapai cita-citanya, yaitu:
Faktor manusia yang ingin mencapai cita-citanya ditentukan oleh kualitas manusianya. Cara
keras dalam mencapai cita-cita merupakan suatu perjuangan hidup yang apabila berhasil akan
menimbulkan kepuasan. Faktor kondisi yang mempengaruhi tercapainya cita-cita, pada
umumnya dapat disebut yang menguntungkan dan yang menghambat. Faktor yang
menguntungkan merupakan kondisi yang memperlancar tercapainya suatu cita-cita
sedangkan faktor yang menghambat merupakan kondisi yang terintangi. Faktor tingginya
cita-cita merupakan faktor ketiga dalam mencapai cita-cita. Memang ada pepatah lama yang
mengatakan gantungkan cita-citamu setinggi langit namun harus memperhatikan situasi dan
kondisi yang ada.
Maka dari itu sebuah cita-cita harus dilakukan dengan penuh pertimbangan perhitungan
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta kondisi yang dilalui. Suatu cita-cita tidak
hanya dimiliki oleh individu tapi juga oleh masyarakat bangsa dan negara. Cita-cita suatu
bangsa merupakan keinginan atau tujuan suatu bangsa dan negara.
Kebajikan
Kebajikan atau kebaikan adalah suatu perbuatan yang mendatangkan kesenangan bagi diri
sendiri maupun orang lain. Kebaikan pada hakekatnya sama dengan perbuatan moral yang
sesuai dengan norma-norma agama dan etika.
Manusia berbuat baik karena pada hakekatnya manusia itu baik. Makhluk bermoral atas
dorongan suara hatinya manusia cenderung berbuat baik. Manusia adalah sebuah pribadi
yang utuh yang terdiri atas jiwa dan badan. Kedua unsur tersebut terpisah bila manusia
meninggal. Manusia mempunyai kepribadian oleh karena itu ia mempunyai pendapat
sendirian ia mencintai dirinya, perasaannya dan cita-citanya.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan
orang lain untuk dapat bertahan hidup. Untuk dapat melihat kebajikan kita harus melihat dari
tiga segi, yaitu manusia sebagai mahluk pribadi, manusia sebagai anggota masyarakat dan
manusia sebagai makhluk Tuhan.
Suara hati adalah semacam bisikan didalam hati yang mendesak seseorang untuk menimbang
dan menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Jadi suara hati dapat merupakan hakim
54
untuk diri sendiri. Sebab itu nilai suara hati amat besar dan penting dalam hidup manusia.
Kebajikan adalah perbuatan yang selaras dengan suara hati kita, suara hati masyarakat dan
Tuhan. Kebajikan berarti: berkata sopan, santun, berbahasa baik, bertingkah laku baik, ramah
tamah terhadap siapapun, berpakaian sopan agar tidak meransang bagi yang melihatnya
Usaha dan perjuangan adalah kerja keras untuk mewujudkan cita-cita. Sebagian hidup
manusia adalah usaha atau berusaha. Apabila manusia bercita-cita menjadi kaya, maka ia
harus bekerja keras. Kerja keras itu dapat dilakukan dengan otak atau ilmu maupun dengan
tenaga atau jasmani bahkan dengan keduanya. Kerja keras pada dasarnya menghargai dan
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sebaliknya pemalas membuat manusia iri,
miskin dan melarat bahkan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.
Untuk bekerja keras manusia dibatasi oleh kemampuan. Karena dibatasi oleh kemampuan
itulah timbul perbedaan tingkat kemakmuran antara manusia. Kemapuan itu terbatas pada
fisik dan keahlian atau keterampilan. Orang bekerja dengan fisik lemah, akan memperoleh
hasil sedikit. Manusia mempunyai rasa kebersamaan dan cinta kasih maka ketidakmampuan
atau keterbatasan yang menimbulkan perbedaan tingkat kemakmuran dapat diatasi secara
tolong menolong dalam wadah kekeluargaan.
b. Aliran Intelektualisme, besar aliran ini adalah logika atau akal. Apabila aliran ini
dihubungkan dengan pandangan hidup, maka keyakinan manusia itu bermula dari akal.
Jadi pandangan hidup ini dilandasi oleh keyakinan kebenaran yang diterima oleh akal.
55
c. Aliran gabungan, dasar aliran ini adalah perbuatan yang gaib dan akal. Kekuatan gaib
artinya kekuatan yang berasal dari Tuhan, sedangkan akal adalah dasar kebudayaan yang
menentukan benar tidaknya sesuatu. Apabila aliran ini dihubungkan dengan pandangan
hidup, maka akan timbul 2 kemungkinan pandangan hidup yaitu : pandangan hidup
sosialisme dan sosialisme religius. Pandangan hidup sosialisme mengutamakan logika
berfikir dari hati nurani, sedangkan sosialisme religius mengutamakan kedua-duanya.
Meyakini, merupakan suatu hal yang cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga
dapat mencapai tujuan hidupnya.
Mengabdi, merupakan suatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu
yang telah dibenarkan dan diterima baik oleh dirinya sendiri lebih dari orang lain.
Tanggungjawab
Dalam budaya Indonesia, setiap manusia dalam masing-masing suku mempunyai tanggung
jawab sesuai posisi, kedudukan dan perannya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia
akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung
jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Macam-macam tanggungjawab
Tanggungjawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memenuhi
kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi.
Dengan demikian bisa memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya
sendiri.
Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma
atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya
sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada
negara.
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggungjawab, melainkan untuk
mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggungjawab langsung terhadap Tuhan.
Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang
dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama.
Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk sosial. Sehingga dengan demikian manusia disini
merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggungjawab seperti anggota
masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut.
Pengabdian
Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai
perwujudan kesetiaan, cinta kasih , kasih sayang, hormat,atau satu ikatan dan semua itu
dilakukan dengan ikhlas. Pengabdian itu pada hakekatnya adalah rasa tanggungjawab.
Apabila orang bekerja keras sehari penuh untuk mencukupi kebutuhan. Hal itu berarti
mengabdi kepada keluarga.
57
Pengorbanan
Pengorbanan berasal dari kata korban atau qurban yang berarti persembahan, sehingga
pengorbanan berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian. Dengan demikian pengorbanan
yang bersifat kebaktian itu mengandung unsur keikhlasan yang tidak mengandung pamrih.
1. Hakekat hidup manusia: hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern.
Ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula dengan pola-pola kelakuan
tertentu
3. Hakekat waktu manusia: hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda, orientasi masa
lampau atau untuk masa kini.
Perubahan Kebudayaan
Terjadinya gerak perubahan kebudayaan ini disebabkan oleh :
Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri misalnya:
perubahan jumlah dan komposisi penduduk
Ada beberapa faktor yang menyebabkan diterima atau tidak diterimanya suatu unsur
kebudayaan baru, diantaranya:
Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan
orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut
Pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh
nilai-nilai agama
Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan
baru;
Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan
yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut;
Apabila unsur baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah
dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
Obyektivasi, proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan
yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia,
Kemesraan
Kemesraan ialah hubungan yang akrab baik antara pria dan wanita yang sedang dimabuk
asmara maupun yang sudah berumah tangga. Kemesraan merupakan perwujudan kasih
sayang yang mendalam. Cinta yang berlanjut menimbulkan pengertian kemesraan.
Kemesraan adalah perwujudan dari cinta. Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas
manusia. Dengan kemesraan orang dapat menciptakan berbagai bentuk seni sesuai dengan
kemampuan dan bakatnya.
2. Keindahan dalam arti estetis murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya
3. Keindahan dalam arti terbatas, lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda
yang diserapnya dengan penglihatan
Nilai Estetik
Nilai estetik adalah nilai suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau suatu
golongan.Nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secara
tegas dari kegunaan karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada benda itu sendiri.
Nilai digolongkan menjadi:
Nilai ekstrinsik : sifat baik suatu benda sebagai alat untuk sesuatu hal lainnya
Nilai intrinsik : sifat baik dari benda yang bersangkutan atau sebagai suatu tujuan
ataupun demi kepentingan benda itu sendiri
Keindahan dapat dinikmati menurut selera seni dan selera biasa. Keindahan yang
didasarkan pada selera seni didukung oleh faktor kontemplasi dan ekstansi. Kontemplasi
adalah: dasar dalam diri manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah.
Ekstansi adalah: dasar dalam diri manusia untuk menyatakan, merasakan dan menikmati
sesuatu yang indah.
Apabila kedua dasar tersebut dihubungkan dengan bentuk di luar diri manusia, maka akan
terjadi penilaian bahwa sesuatu itu indah.
Kemerosotan zaman
Penderitaan manusia
Keagungan Tuhan
Dalam buku An Essay on Man (1954), Erns Cassirer mengatakan bahwa arti keindahan
tidak bisa pernah selesai diperdebatkan. Meskipun kita menggunakan kata-kata penyair
romantik John Keats (1795- 1821) sebagai pegangan. Dalam Endymion dia berkata : A
thing of beauty is a joy forever its loveliness increases; it will never pass into nothingness
(bahwa sesuatu yang indah adalah keriangan selama-lamanya, kemolekannya bertambah,
dan tidak pernah berlalu ketiadaan).
Keadilan
2. Plato, adalah orang yang dapat mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh
akal.
4. Kong Hu Chu, keadilan terjadi apabila anak sebagai anak,ayah sebagai ayah, dan
raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakkan kewajibannya.
Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
Keadilan Sosial
Pancasila sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ini
mengandung pengertian tidak ada kemiskinan dalam Indonesia merdeka. Bung Hatta dalam
uraiannya mengenaai sila kelima Pancasila menulis bahwa keadilan sosial adalah langkah
yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur. Selanjutnya untuk
mewujudkan keadilan sosial itu diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk yaitu:
2. Keadilan distributive
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bila hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan yang tidak sama secara tidak sama (Justice is done when
equals are treated equally).
3. Keadilan komutatif.
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi
Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam
masyarakat. Semua tindakan yang menjadikan ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan
dan akan merusak bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan oleh seseorang sesuai dengan hati nuraninya
dan apa yang dikatakan sesuai dengan knyataan yang ada. Jujur juga berarti hati seseorang
63
bersih dari perbuatan yang dilarang oleh agama. Adapun kesadaran moral adalah kesadaran
tentang diri sendiri berhadapan dengan hal baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari jujur
atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan. Ketidakjujuran sangat
luas wawasannya sesuai dengan luasnya kehidupan dan kebutuhan manusia. Untuk
mempertahankan kejujuran, berbagai cara berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun
demi sopan santun dan pendidikan seseorang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai pada
batas-batas yang dapat dibenarkan.
Kecurangan
Kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nurani. Orang yang sudah
berbuat curang dengan maksud memperoleh keuntungan atau materi. Bagi orang yang
berbuat curang akan mendatangkan kesenangan bagi dirinya meskipun orang lain menderita.
Faktor yang mempengaruhi orang yang melakukan kecurangan diantaranya:
1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Kebudayaan
3. Faktor Peradaban
4. Faktor Teknik
2. Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi untuk mewujudkan dirinya
sendiri sebagai pelaku moral.
Bila nama baik seseorang tercemar maka orang tersebut akan melakukan apa saja untuk
memulihkan nama baiknya.Pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala
kesalahannya bahwa apa yang diperbuat tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak.
Tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia.
Ada 3 macam godaan yaitu derajat/pangkat, harta dan wanita.Bila orang tidak dapat
64
mengendalikan hawa nafsunya maka ia akan terjerumus kejurang kenistaan karena untuk
mendapatkan derajat/pangkat, harta dan wanita dipergunakan jalan yang tidak wajar.
Untuk memulihkan nama baik, manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf
tidak hanya dibibir saja melainkan harus bertingkah laku sopan, ramah dan berbuat darma
serta mempunyai sikap rela dan tawakal yang harus selalu dipupuk.
Pembalasan
Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain.Pembalasan disebabkan oleh adanya
pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebalik pergaulan
yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula.
1. Pandangan hidup yang berasal dari agama, yaitu pandangan hidup yang mutlak
kebenarannya.
2. Pandangan hidup yang berupa Ideologi, yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma
yang terdapat pada negara tersebut.
3. Pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.
Pandangan hidup mempunyai 4 unsur-unsur, yaitu:
a. Cita-cita apa yang diinginkan yang mungkin dapat dicapai dengan usaha atau
perjuangan.
b. Kebajikan segala hal yang baik yang membuat manusia makmur, bahagia, damai dan
tenteram.
tidak. Dasar aliran ini adalah kekuatan gaib dari nature dan itulah ciptaan Tuhan. Bagi
yang percaya adanyaTuhan, itulah kekuasaan tertinggi. Manusia adalah ciptaan Tuhan
karena itu manusia mengabdi kepada Tuhan berdasarkan ajaran ajaran Tuhan yaitu
agama. Ajaran agama ada 2 macam, yaitu:
1. Ajaran agama yang dogmatis,yang disampaikan Tuhan melalui ajaran para nabi.
2. Ajaran agama dari pemuka agama, yaitu sebagai hasil pemikiran manusia
(b) Aliran Intelektualisme, besar aliran ini adalah logika atau akal. Apabila aliran ini
dihubungkan dengan pandangan hidup, maka keyakinan manusia itu bermula dari akal.
Jadi pandangan hidup ini dilandasi oleh keyakinan kebenaran yang diterima oleh akal.
(c) Aliran gabungan, dasar aliran ini adalah perbuatan yang gaib dan akal. Kekuatan gaib
artinya kekuatan yang berasal dari Tuhan, sedangkan akal adalah dasar kebudayaan
yang menentukan benar tidaknya sesuatu. Apabila aliran ini dihubungkan dengan
pandangan hidup, maka akan timbul dua kemungkinan pandangan hidup yaitu:
pandangan hidup sosialisme dan sosialisme religius. Pandangan hidup sosialisme
mengutamakan logika berfikir dari hati nurani, sedangkan sosialisme religius
mengutamakan kedua-duanya.
Meyakini, merupakan suatu hal yang cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga
dapat mencapai tujuan hidupnya.
Mengabdi, merupakan suatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu
yang telah dibenarkan dan diterima baik oleh dirinya sendiri lebih dari orang lain.
BAB III
Pada bagian terdahulu sudah diuraikan mengenai wujud kebuadayaan dan cakupan budaya.
Lintas budaya dimaknakan sebagai gabungan berbagai budaya, baik secara vertikal maupun
secara horizontal serta secara crosscek. Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, misalnya
dalam kehidupan berkeluarga, suami dan isteri berasal dari etnis yang berbeda, berasal dari
agama yang berbeda, menggunakan bahasa sehari-hari yang berbeda, berasal dari kelas sosial
yang berbeda. Ketika mereka mempunyai masalah dan membutuhkan layanan konseling,
maka konselor menerapkan konseling lintas budaya.
Untuk merumuskan pengertian konseling lintas budaya, maka digunakan minimal dua rujukan
makna, yakni: konseling dan lintas budaya. Menggunakan pendapat American School Conselor
Association bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan
sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Konselor mempergunakan
pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu klien mengatasi masalah-masalahnya.
Selanjutnya menggunakan rujukan bahwa budaya mencakup: ide, jenis kelamin, suku, agama,
bahasa, kemudian dirumuskan pengertian konseling lintas budaya. Istilah konseling lintas budaya
merupakan panduan dari dua istilah yaitu konseling dalam lintas budaya. Secara singkat
konseling lintas budaya diartikan konseling yang dilakukan dalam budaya yang berbeda.
Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat dalam konseling
itu hidup dan di bentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga maupun masyarakat. Dalam
hal ini Ivey dkk. (1995) mengemukakan “ masalah –masalah individu dan keluarga seringkali
bersumber dari faktor lingkungan atau luar, seperti kemiskinan, ras, jenis kelamin, dan
sebagainya.
Menurut Yagie (dalam Supardi, 2003) konseling lintas budaya adalah konseling konseling
yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
atau secara curtural mengandung potensi-potensi untuk terjadinya bias dalam hubungan
konseling atau dalam konseling itu sendiri terdapat elemen-elemen yang bersumber dari
budaya yang berbeda. Ahli lain menyatakan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling
yang diberikan kepada mereka yang sama budayanya dengan konselor, tetapi mereka
memiliki peran yang berbeda, misal kaum homo seksual, penyandang cacat, para orang tua,
wanita dan sebagainya.
67
Dengan uraian diatas dapat di kemukakan definisi konseling lintas budaya yaitu suatu proses
konseling secara individu maupun secara kelompok yang melibatkan antara konselor dan
klien maupun beberapa klien yang berbeda budayanya, dan dilakukan dengan memperhatikan
budaya subyek yang terlibat dalam konseling.
a. Konflik data,yang terjadi karena orang kekurangan atau salah mendapatkan informasi
yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang bijak.
c. Konflik hubungan antara manusia, yaitu adanya emosi-emosi yang yang kuat, salah
peresepsi, streotipe, salah komunikasi dan sebagainya.
e. Konfik setruktural, adanya kepentingan untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap
sumber daya.
Tahap konflik dalam masyarakat multikultural dapat berlangsung dari bentuk yang paling
sederhana sampai yang paling tinggi tahapan tersebut adalah :
a. Konflik tersembunyi atau laten yaitu munculnya tekanan-tekanan yang samar dan tidak
sepenuhnya berkembang.
c. Konflik terbuka (manifes) yaitu pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam
perselisihan yang terjadi.
d. Konflik eskalasif yaitu konflik yang telah mencuat, baik dari segi kualitas ataupun
kuantitas.
a. Peresepsi pengotak-kotakan, baik segi budaya, ekonomi, politik, geografi dan sebagainya.
b. Streotip, yaitu memberikan label, cap, penilaian terhadap orang dari kelompok lain yang
umunya negatif, dalam rangka merendahkan diri.
d. Ancaman, yaitu baik secara lisan, fisik ekonomi dan kelompok lain.
e. Pemaksaan
f. Mobilitas sumberdaya manusia, yaitu menggalang massa dengan cepat dan solid.
g. Citra cermn, setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri dengan ukuran-
ukuran sendiri, tanpa melihat cara pandang orang lain.
h. Pengakuan citra sendiri, yaitu menegaskan bahwa dirinya atau kelompoknya adalah musuh
kelompok lain.
Menurut Albert Bandura yang di kutip oleh Abu Ahmadi (1991) mengemukakan cara-cara
pemecahan konflik, yaitu :
a. Eliminasi,yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
b. Subjugation atau domination yaitu oihak yang memiliki kekuatan besar dapat
memaksakan pihak lain untuk mengikuti.
c. Majority rule yaitu suara suara terbanyak yang ditentukan dengan voting.
d. Minority concent yaitu kelompok mayoritas menang, namun kelompok minoritas tidak
merasa dikalahkan dan menerima keputusan secara suka rela.
Adanya keragaman budaya dalam masyarakat merupakan realitas hidup yang tidak dapat di
hindari. Globalisasi atau sisi dapat melahirkan budaya universal (global), namun disisi lain
mendorong setiap kelompok budaya berjuang untuk meneguhkan identitas budaya (curtural
identity) sehingga keragaman budaya semakn berkembang.
Oleh Kuntajaraningrat (1991) mengandung tiga komponen penting yaitu: sistem nilai, sistem
sosial dan kebudayaan fisik Akan menentukan atau mewarnai perilaku individu atau
kelompok pendukung suatubudaya. Berry dkk (1999:356) menyatakan “budaya adalah
kepribadian atau suatu masyarakat” dengan demikian seluruh unsur budaya akan membentuk
unsur-unsur subyektifpada diri individu atau kelompok yang meliputi berbagai konsep dan
asosiasi, sikap keprcayaan, harapan , pendapat, persepasi dan sebagainya.
Dalam pelayanan konseling,ada komonen penting yaitu klien dan konselor dengan latar
belakang budayanya masing-masingklien dengan konselor tersebut akan mempengaruhi
konsep dasar, strategi,tehnik dan sebagainya dalam konseling. Di samping itu lingkungan di
mana konseling dilakukan, dan teori yang digunakn sangat diwarnai oleh kebudayaan. Suatu
pelayanan konseling tidak akan efektif jika tidak memperhatikan budaya klien. Menurut Sue
(1992) konseling telah dipakai sebagai alat menindas, meminggirkan kelompok budaya
tertentu, menemukan budaya individualistik, memperhatikan status quo.
dalam mencapai kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtera. Kehilangan salah satu atau
beberapa anggota keluarga akibat gempa bumi, dapat menjadikan seseorang stress
berkepanjangan. Suatu peristiwa yang mengakibatkan luka parah baik secara fisik maupun
emosi merupakan karakteristik peristiwa yang berpotensi menjadi peristiwa traumatik.
Peristiwa ini pada umumnya terjadi secara tiba-tiba, tidak diharapkan dan memerlukan waktu
untuk menyesuaikan atau mengatasinya (Smith, dkk, 2003). Hasil penelitian Koentjoro
(2005) menunjukkan bahwa dampak psikologis yang muncul pasca gempa di Yogyakarta
adalah kecemasan, stress dan trauma. Hasil penelitian Smith, dkk (2003) menunjukkan bahwa
gangguan depresi sering dijumpai pada penyintas bencana alam.
Dalam Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana disebutkan
bahwa penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi:
71
2. Kegiatan pencegahan.
Sedangkan dalam lampiran Peraturan Menteri Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Mitigasi
Bencana, menegaskan ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu:
1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana;
3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, mengetahui cara penyelamatan diri
jika bencana timbul, dan
4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.
Pengelolaan kebencanaan pada dasarnya rnerupakan suatu siklus terpadu yang terdiri atas
beberapa fase (Perry, 2006), yakni:
Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan dalam fase persiapan menghadapi bencana ini
mencakup antara lain:
2. Perencanaan tata ruang dan pengaturan tata guna lahan di daerah rawan bencana,
penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan database.
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu dalam mengatasi masalah.
Dalam proses konseling mencakup pemahaman individu dan hubungan individu guna
menggali kebutuhan-kebutuhan dan kondisi psikologis klien. Menurut Prayitno (1987),
proses konseling dilakukan melalui lima tahap, tahap pengantaran (introduction), tahap
penjajagan (insvestigation), tahap penafsiran (interpretation), tahap pembinaan
(intervention), dan tahap penilaian (inspection). Pengantaran, yakni mengantarkan klien
memasuki kegiatan konseling dengan segenap pengertian, tujuan, dan prinsip dasar yang
menyertainya. Proses pengantaran ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang
bersuasana hangat, permisif, tidak menyalahkan, penuh pemahaman, dan penstrukturan yang
jelas. Apabila proses awal ini efektif, klien akan termotivasi untuk menjalani proses
konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan. Penjajagan, yakni sebagai
73
membuka dan memasuki ruang sumpek atau hutan belantara yang berisi hal-hal yang
bersangkut paut dengan permasalahan dan perkembangan klien. Sasaran penjajagan adalah
hal-hal yang dikemukakan klien dan hal-hal lain perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh
sasaran penjajagan ini adalah berbagai hal yang selama ini terpendam, tersalahartikan
dan/atau terhambat perkembangannya pada diri klien. Penafsiran, yakni memberi arti
keterkaitannya dengan masalah klien. Hasil proses penafsiran ini pada umumnya adalah
aspek-aspek realita dan harapan klien dengan bebagai variasi dinamika psikhisnya. Dalam
rangka penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis, dapat memberikan manfaat yang
berarti. Pembinaan (intervensi), yakni pembinaan secara langsung mengacu kepada pengenta
san masalah dan pengembangan diri klien. Dalam tahap ini disepakati strategi dan intervensi
yang dapat memudahkan terjadinya perubahan. Sasaran dan strategi terutama ditentukan oleh
sifat masalah, gaya dan teori yang dianut konselor, serta keinginan klien. Pada tahap
penilaian, ada tiga jenis penilaian yang perlu dilakukan dalam konseling perorangan, yaitu
penilaian segera, penilaian jangka pendek, dan penilaian jangka panjang. Penilaian segera
dilaksanakan pada setiap akhir sesi layanan, sedang penilaian pasca layanan selama satu
minggu sampai satu bulan, dan penilaian jangka panjang dilaksanakan setelah beberapa
bulan. Penilaian pasca konseling, baik dalam jangka pendek (beberapa hari) maupun jangka
panjang mengacu kepada pemecahan masalah dan perkembangan klien secara menyeluruh.
Setiap penilaian, baik penilaian segera, jangka pendek, maupun jangka panjang, perlu diikuti
tindaklanjutnya demi keberhasilan klien lebih jauh. Tindak lanjut itu dapat berupa
pemeliharaan kondisi, konseling lanjutan, penerapan teknik lain, atau berupa alih tangan
kasus.
Untuk keperluan hidup bersama, masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda-benda, peraturan dan
nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka
masyarakat tersebut menciptakan suatu bentuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang
dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat
lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara
untuk mengenal masyarakat tertentu (Vontress, 2002). Makna mengenal adalah memahami
kondisi masyarakat yang mengalami masalah sebagai akibat, misalnya bencana dalam
maupun bencana sosial oleh salah satu budaya sehingga membutuhkan layanan konseling.
74
Persoalan antar budaya akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan pergeseran budaya.
Kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah belah
secara meningkat pula (Hansen, 1997). Fenomena itu mengisyaratkan diperlukannya
pendekatan-pendekatan baru untuk mengatasi bahaya rasialis, baik secara parsial maupun
secara holistik komprehensif. Akan tetapi mengingat struktur masyarakat semakin heterogen,
maka pendekatan yang holistik lebih tepat. Dengan kata lain, pencegaham dan pengetasan
masalah pada masyarakat yang heterogen akan lebih efektif jika menggunakan pendekatan
lintas budaya. Konseling lintas budaya harus melingkupi seluruh bidang dari kelompok-
kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu
dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia
(Trickett, Watts, dan Birman, 1994). Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk
mempelajari persoalan lintas budaya. Fukuyama (1990) berpandangan bahwa pendekatan
inklusif yang disebut juga konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik,
dikarenakan berangkat dari literatur yang menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai,
dan teknik-teknik untuk diterapkan pada populasi yang memiliki perbedaan dominasi budaya
tertentu.
Beberapa jenis ketrampilan yang harus dimiliki konselor dalam konseling lintas budaya dan
selalu diaktifkan dengan konteks budaya antara lain:
Berbagai keterampilan tersebut akan dikomunikasikan secara berbeda pada klien yang
berbeda budayanya.
Dalam hal pola hubungan antara klien dan konselor, dalam budaya tertentu menghendaki
pola hubungan seperti antara atasan dan bawahan, sementara budaya lain menghendaki pola
hubungan yang egaliter atau hubungan yang setara.
Secara umum pada tahap penting dalam konseling multikultural, yaitu awal dan tahap inti.
Pad tahap awal atau wawancara awal dalam konseling multikultural dianggap suatu tahap
yang penting, sehingga tahap konseling selanjutnya akan sangat bergantung pada suasana
konseling pemula. Tylor (1969) mengemukakan tiga tujuan dalam konseling dipermulaan
yaitu :
Sasaran pada tahap ini adalah terbangunya hubungan baik (good raport) antara klien dan
konselor. Tahap ini ditandai adanya perasaan saling mempercayai, saling menerima,
hubungan yang dekat dan hangat tetapi tetap terbatas (non posesive warmth), klien merasa
aman dan nyaman berada didekat konselor.
Pada tahap inti merupakan upaya untuk membangun kondisi dimana konselor memfasilitasi
terjadinya perubahan yang diharapkan.pada tahap ini antara lain : a) mengungkapkan masalah
klien, b) merumuskan tujuan konseling, c) menyusun setrategi untuk mencapai tujuan, d)
implementasi strategi, e) penilaian kemajuan konseling.
Brammer (1979) mengetengahkan tahap dalam layanan konseling, yaitu tahap penciptaan
hubungan dan tahap pengadaan fasilitas untuk memungkinkan dilakukan langkah yang
positif.
a. Entry atau memasuki fase konseling yaitu mempersiapkan klien dan membuka
hubungan.
b. Clarification yaitu pelajaran mengenai masalah dan yang ada kaitanya dengan masalah
itu serta sebab-sebab mencari bantuan.
2. Tahap II, pengadaan fasilitas untuk memungkinkan dilakukan langkah yang positif.
BAB IV
KOMPETENSI KONSELOR LINTAS BUDAYA
78
perbedaan budaya dalam kelompok; (5) terbuka atas pandangan klien; (6) menggunakan
konseling eklektik; (7) lebih mengutamakan keterampilan daripada kepentingan gaya hidup.
Ketiga kompetensi tersebut di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan
dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan dapat mempermudah konselor untuk bisa
berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya. Dalam pelaksanaan
konseling lintas budaya, konselor tidak saja dituntut untuk mempunyai ketiga kompetensi
tersebut di atas, akan tetapi juga harus mempunyai karakteristik sebagai konselor lintas
budaya.
Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa konselor lintas budaya harus memiliki
karakteristik:
1. kesadaran terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi asumsi terbaru
tentang perilaku manusia;
8. tidak boleh mendorong klien untuk dapat memahami budaya dan nilai-nilai yang dimiliki
konselor.
Konselor yang memberikan pelayanan konseling lintas budaya, harus memiliki kopetensi
profesional.
a. Sikap-sikap dan keyakinan. Sikap-sikap dan keyakinan, berupa respek terhadap agama;
respek terhadap praktek bantuan pada penduduk asli, dengan jaringan kerja bantuan pada
kelompok minoritas; dan memandang mereka yang berbahasa lainb sabagai aset, bukan
hambatan.
1) Peka terhadap budaya yang di bawa dan sadar akan pengaruh terhadap pemikiran,
perasaan dan perilakunya.
2) Mengenal berbagai keterbatasan tentang kecakapan,kemampuan yang dimiliki dengan
dirinya.
3) Menyukai orang yang berbeda ras, etnis budaya dan keyakinan dengan dirinya.
4) Menyadari akan reaksi emosional dan stereotype yang negatif dalam hubungan
dengan kelompok lain.
b. Memiliki pengetahuan yang mencakup
1) Menyadari betapa besar pengaruh latar belakang konsep ukuran/kriteria”normalitas”
setiap budaya dalam proses konseling.
2) Memahami konsep-konsep tentang rasisme, didskriminasi, stereotype.
3) Memahami bagaimana gaya yang dimiliki setiap klien dari berbagai latar belakang
budaya.
4) Memiliki pengetahuan yang khusus tentang pandngan hidup
5) Memahami betapa masalah-masalah budaya terkait dengan gaya personal seseorang
81
c. Setrategi intervensi
1) Mencari pengalaman melalui pendidikan/ latihan untuk pendidikan lanjutan, mencari
konsultasi dan refferal ketika di perlukan.
2) Berusaha untuk dapat memahami diri sendiri sebagai ras/budaya dan secara aktif
berusaha membangun masyarakat non rasial.
3) Dapat menyampaikan pesan verbal dan non verbal akurat dan tepat.
4) Dapat menentukan apakah problem klien sebagai hasil dari faktor luar, seperti rasisme
dan bias-bias lainya.
5) Menggunakan lembaga antuan untuk membantu klien.
6) Dapat bekerja dengan pihak pembantu tradisional (dukun dll) dan para tokoh
sepiritual.
7) Merujuk pada sumber/ konselor yang lebih tepat jika konselor tidak bisa memahami
bahasa klien dengan baik.
8) Mengadakan pelatihan/pendidikan untuk memberantas penindasan.
9) Mendidik klien untuk mengembangkan pribadi klien dan pendidik norma hukum yang
berlaku.
d. Tujuan konselor menyadari akan pandangan hidup klien
1) Mengusai akan hasil riset dan temuan teori mutakhir tentang budaya kelompok yang
berbeda dengan budaya sendiri.
2) Mencari pengalaman pendidikan yang relevan
82
3) Secara aktif terlibat dalam kgiatan kelompok minoritas, bersahabat, aktif secara sosial
politik, berlatih membantu kelopok minoritas.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang
mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari
benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang
berbeda latar belakang sosial budayanya. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor
lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya
yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena
konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian,
kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien,
akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya
ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan
dengan klien yang berbeda latar belakang budaya.
Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen
kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang
dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-
rambu yang seharusnya disadari oleh konselor.
Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentuk pernyataan sebagai konselor lintas budaya yang
efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang
efektif adalah konselor yang:
1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali
bahwa tiap manusia itu berbeda. Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor
harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikinya. Konselor harus sadar bahwa
dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai-nilai yang dibawa
dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas
perkembangannya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah
nilai-nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan
klien yang berbeda latar belakangnya.
85
2. Sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral. Menyadari
hal tersebut di atas maka konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya
juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa
seperangkat nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang
berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilangkan
begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien
pada saat berhadapan dengan konselor.
3. Memehami bahwa kekuatan sosio-politik akan mempengaruhi dan akan menajamkan
perbedaan budaya dalam kelompok. Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, pasti
mempunyai aturan-aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang
lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik
memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio-budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi
kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio-budaya untuk
kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di
Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup
berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi
kepentingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan
antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan
budaya yang dimilikinya. Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu
pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul
jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan
siapa dia akan berhadapan. Ada beberapa pertanyaan dalam diri konselor lintas budaya
ketika menghadapi klien. Pertama, siapakah klien saya?. Kedua, berasal dari etnis
manakah klien saya?. Ketiga, bagaimana budaya klien saya?. Keempat, bagaimana cara
saya melayaninya supaya obyektif.
4. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup. Konselor yang efektif
adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa
adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor. Konselor sebaiknya mampu
memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor
tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan
pandangan konselor. Klien datang ke ruang konseling seringkali dengan membawa
masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya.
86
Masalah ini seringkali memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor yang tidak
sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan
perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin
mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya. Intervensi nilai nilai konselor
akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa
bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada
kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya,
konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai
yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor. Jika perbedaan yang muncul antara
konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk
menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa
pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan
itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan
jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi
konseling.
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada
kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka. Jujur dalam
konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk
membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka. Dalam melaksanakan konseling satu
syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu
pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan
diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan
rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan
mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling. Hal demikian juga
mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat
eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan
dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan
pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar
mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya
dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu
mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan
asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar
87
belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar
benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang
dimaksud. Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali dengan
seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan
klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh konselor,
maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya.
88
BAB V
KERANGKA KERJA KONSELING LINTAS BUDAYA
waktu dengan sengaja dihukumi murtad oleh Islam, darahnya halal dialirkan. Apabila nyawa
seseorang lenyap maka lenyap pulalah semua hak yang semestinya dilindungi (akal, harta,
keturunan/kehormatan). Dalam rangka memelihara agama, seseorang tidak dibenarkan/haram
membuat aturan shalat sendiri; menyalahi aturan yang telah digariskan Islam. Misalnya shalat
dengan diterjemahkan, seperti yang dilakukan oleh Yusman Roy dan pengikutnya di Lawang
Jatim, atau menambah dan mengurangi bilangan raka‟atnya, misalnya.
olah memberikan beban besar kepada seseorang. Praktisi kejiwaan bertindak sebagai sistem
pendukung yang memungkinkan berbicara dengan cara apa pun dibutuhkan untuk
menemukan kesembuhan.
Remaja
Masa remaja adalah masa kritis untuk kesejahteraan dan perkembangan mental, sosial, dan
emosional. Selama masa ini, otak akan mengalami perubahan perkembangan yang signifikan,
91
menciptakan jalur saraf dan pola perilaku yang akan bertahan di kemudian hari. Karena otak
mereka masih berkembang, para remaja sangat terbuka terhadap pengaruh positif dari strategi
perkembangan remaja, pembelajaran sosial dan emosional, serta model perilaku. Tetapi otak
remaja yang sedang berkembang, bersama dengan terjadinya perubahan hormonal akan
membuat mereka lebih rentan terhadap depresi dan terkadang lebih cenderung terlibat dalam
perilaku berisiko dan mencari sensasi dibandingkan dengan anak-anak yang lebih kecil atau
orang dewasa. Faktor-faktor ini menggaris bawahi pentingnya memenuhi kebutuhan
kesehatan mental, sosial, dan emosional kelompok usia ini.
Dewasa
Konseling dapat membantu menyembuhkan dan mempelajari cara-cara yang lebih konstruktif
untuk menangani masalah dalam hidup. Ini juga bisa menjadi proses yang mendukung saat
melewati masa sulit atau saat mengalami tekanan yang meningkat, seperti memulai karier
baru atau sedang melalui perceraian. Umumnya, konseling direkomendasikan setiap kali
seseorang bergumul dengan kehidupan, hubungan, masalah pekerjaan/kesehatan mental
tertentu, serta masalah yang memicu individu menjadi sangat kesakitan atau kesal selama
lebih dari beberapa hari. Konseling paling berhasil jika individu menjalani dan memiliki
keinginan kuat untuk berubah.
Penting untuk disadari bahwa konseling dan perawatan kesehatan mental adalah
tindakan yang sehat bagi setiap orang. Konseling dapat membantu setiap orang untuk
meningkatkan kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, jangan pernah sungkan/takut
untuk melakukan konseling ya! Anda bisa melakukannya via aplikasi d’Fun Station yang
dapat di-download di Playstore. Konseling bersifat membantu menyelesaikan msalah klien
dengan membuka pikiran klien lebih luas lagi dan memberikan dorongan positif rasa percaya
diri pada klien untuk bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik. Konseling juga berusaha
membantu klien menemukan alternatiif- alternatif solusi dari berbagai sudut pandang dengan
keuntungan dan kerugiiannya, sehingga klien bisa lebih selektif dan mampu menimbang
mana yang lebih baik untuk dirinya dan masalahnya.
Masalah yang dihadapi tentu menimbulkan berbagai macam emosi. Emosi negatif
yang tidak tersalurkan dengan baik lama-kelamaan akan menumpuk, menyebabkan
masalah baru, dan bahkan memicu timbulnya masalah psikologis lain. Inilah manfaat
terpenting dari layanan konseling. Konseling adalah tempat untuk mengungkapkan emosi
dengan cara yang sehat. Klien bisa mengeluarkan semua kesedihan, rasa takut, dan amarah
yang dirasakan tanpa perlu waswas merasa terhakimi.
Mengungkapkan emosi juga membuat merasa lebih lega, sebab akhirnya dapat
melepaskan beban yang selama ini menumpuk di dada. Selain itu, juga bisa memahami dari
mana asalnya emosi tersebut dan cara menghadapinya. masalah yang muncul bertubi-tubi
terkadang membuat pikiran terasa buntu. Inilah yang membuat banyak orang memilih curhat
kepada orang lain. Konseling bisa memberikan sudut pandang lain, bahkan yang belum
pernah dipikirkan sebelumnya. Saat konseling, klien mendapat manfaat dari mengobrol
dengan terapis. Terapis juga membantu melihat masalah dari kejauhan, bukan sebagai yang
sedang mengalaminya. Dengan begitu, dapat melihat celah ataupun hal lain yang bisa
membantu menyelesaikan masalah.
Kemaslahatan Teori
Sebagai suatu layanan bantuan, seorang konselor harus berusaha untuk
mengkonseptualisasikan proses konseling yang dilakukannya berdasar atas teori-teori yang
telah dikembangkan, sehingga dapat lebih dipahami dan diimplementasikan secara tepat.
Bagi konselor yang sudah berpengalaman, teori-teori yang ada dapat digunakan untuk lebih
memahami tentang perilaku manusia berdasar atas peristiwa, gejala, fenomena yang terjadi
dalam proses konseling. Sedangkan bagi konselor pemula atau yang masih mengikuti
program pendidikan, disamping dapat dijadikan media untuk membantu memahami perilaku
yang muncul berdasar atas gejala, peristiwa, atau fenomennya, sekaligus dapat dijadikan
penuntun atau pembimbing terhadap apa yang harus dilakukan dalam proses konseling.
Pepper (Burk dan Stefflre, 1979) menyebutkan bahwa teori adalah kaidah-kaidah atau
konvensi manusia untuk menyimpan keteraturan data. Hal ini diperlukan karena ingatan
manusia dapat salah, sehinga teori tidak hanya sekedar baik sekali (convenient) tetapi
memang diperlukan. Melalui teori seseorang dapat memperoleh penjelasan terhadap sesuatu
permasalahan yang terjadi. Karena itu teori disamping harus berisi data yang lengkap juga
harus berisi struktur keterkaitannya, sehingga dapat diperoleh informasi yang jelas tentang
hubungan antara fakta atau kejadian yang satu dengan yang lain Menurut Burk dan Stefflre
93
(1979) teori secara umum mengandung dua elemen, yaitu realitas dan keyakinan. Realitas
adalah data atau perilaku yang kita amati dan mendorong kita untuk menjelaskan. Sedangkan
keyakinan adalah cara kita untuk mencoba memaknai data dengan menghubungkan apa yang
kita amati tersebut dengan penjelasan yang dapat memperkaya hal tersebut, sehingga dapat
diterima secara meyakinkan.
Konseling merupakan pekerjaan professional, karena itu dalam dalam melaksanakan
profesinya tidak boleh mengandung kesalahan konseptual (serius dan mendalam) sehingga
sulit untuk diperbaiki dan dapat berakibat fatal. Teori konseling dapat memberikan jalan bagi
terhindarnya pelaksanaan profesi konseling tersebut dari kesalahan konseptual. Dalam
merespon pernyataan klien seorang konselor harus melakukannya berdasar atas dugaan
tentang makna yang dikemukakan klien, apakah makna pernyataan tersebut dalam kehidupan
klien, apakah sesuai dengan tujuan konseling, apa fungsi konselor, apakah teknik-teknik yang
dapat berhasil untuk mengerakkan ke arah tujuannya.
Menurut Burk dan Stefflre, (1979) Secara umum teori yang baik memiliki 4 atribut
formal, yaitu : (1) jelas, dapat dengan mudah dipahami oleh pembacanya, serta tidak
bertentangan (2) komprehensif, memiliki skope dan account untuk banyak tingkah laku,
dapat menjelaskan apa yang terjadi pada banyak orang dalam banyak situasi, atau mampu
menjelaskan fenomena secara menyeluruh, (3) eksplisit, memiliki ketepatan, karena setiap
penjelaan didukung dengan data-data yang dapat diuji, (4) parsimonious, sederhana, tidak
menjelaskan fenomena secara berlebihan dan jelas, mampu merangsang peneliti untuk
mengembangkan teorinya.
Keberartian Konseling
Memurut Gibson (1981) Sejarah perkembangan konseling pada manusia terjadi ketika
nabi Adam mendapat konsekuensi akibat makan buah terlarang di Taman Firdaus. Menurut
Habsy (2016) konseling sudah ada sejak Ki Lurah Semar memberikan Konseling pada arjuna
yang sedang mengalami konflik batin. Bentuk konseling primitif pada masa lalu diparktikkan
oleh kepala suku, tabib, dukun, peramal yang dianggap mampu untuk menenangkan hati, atau
memberikan prediksi pada masa depan. Disiplin Ilmu Konseling adalah ilmu pengetahuan
yang menggunakan metode ilmiah dalam melahirkan berbagai teori dan praksis konseling.
Subjek kajian utamanya adalah hakekat, aktivitas, dan komuinikasi antar pribadi manusia
yang berdimensi nilai filosofis, psikologis, sosiologis, anthropologis, dan budaya yang
religious. Konseling merupakan suatu profesi yang komprehensif. Makna Konseling menurut
94
the American Counseling Association (ACA) (dalam Gladding, 2012 dalam Habsy, 2016),
konseling adalah penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental, perkembangan psikologis atau
manusia, melalui intervensi kognitif, afektif, perilaku, atau sistemik, dan strategi yang
mencanangkan kesejahteraan, pertumbuhan pribadi, atau perkembangan karir, dan juga
patologi. Definisi ini dikemukakan untuk mencoba dan memenuhi kebutuhan berbagai tipe
dan gaya konseling yang dipraktekkan oleh anggota ACA.
Unsur-unsur definisi tersebut sangat penting untuk dipaham. Menurut Feltham dan
Dryden (1993) konseling adalah sebuah profesi untuk penanganan masalah konseli yang
berada dalam tekanan atau dalam kebingungan, yang berhasrat berdiskusi dan memecahkan
semua itu dalam sebuah hubungan yang lebih terkontrol dan lebih pribadi dibandingkan
pertemanan, dan mungkin lebih simpatik/tidak memberikan cap tertentu dibandingkan
dengan hubungan pertolongan dalam praktik medis tradisional atau setting psikiatrik.
Konseling adalah sebuah profesi yang terfokus pada relasi dan interaksi antara individu dan
lingkungan dengan tujuan untuk membina perkembangan diri, dan mengurangi pengaruh
hambatan-hambatan lingkungan yang mengganggu keberhasilan hidup dan kehidupan
individu.
Konseling berkaitan dengan kesejahteraan, pertumbuhan pribadi, karir,dan masalah
patologis Falsafah saya tentang konseling secara ekslusif adalah upaya penyelesaian masalah
yang mengarah pada upaya pengembangan yang secara psikologis. Dalam Pelaksanaan
Konseling, para konseli belajar membuat keputusan dan merumuskan cara baru dalam
berbuat, berperasaan, dan berfikir, berkaitan dengan tujuan yang ditentukannya sendiri (dan
bukan tujuan yang ditentukan oleh konselor). Konselor mempunyai paradigma para konseli
dengan cukup berbeda karena para konseli merupakan pribadi yang unik dan memiliki
kompetensi-kompetensi dari pada memandang mereka secara pasif dan melabeli mereka
dengan cara patologis. Menurut Burks dan Steffler (dalam George dan Cristiani, 1981)
konseling sebagai suatu hubungan profesional antara konseli (orang yang menerima layanan
konseling) dengan konselor (professional yang memiliki kewenangan untuk memberikan
layanan konseling). Terdapat professional yang memiliki kewenangan untuk memberikan
konseling sepanjang ia memiliki latar belakang pendidikan yang dipersyaratkan seperti
psikolog dan psikoterapis
Konselor melaksanakan dan menerapkan model konseling kedamaian pada remaja untuk
95
D. Kualifikasi Konselor
Kualifikasi konselor dalam melaksanakan model konseling kedamaian berbasis kearifan
lokal untuk mereduksi perilaku agresi remaja menggunakan kerangka teori yang
dikembangkan oleh Rogers. Kerangka teori Rogers tersebut menjelaskan bahwa konselor
perlu setidaknya memiliki tiga atribut konselor yaitu kongruen, pemahaman empatik
yang akurat, dan penerimaan positif tak bersyarat (Corey, 2015; Sharf, 2015; Sommers-
Flanagan & Sommers-Flanagan, 2018). Berikut ini akan dijelaskan masing-masing
penjelasan tentang ketiga atribut tersebut.
1. Kongruen
Konsep yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata, utuh,
otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. Konselor tidak
96
diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan- perasaan secara impulsif
terhadap konseli. Unsur kongruen ini tentunya menjadi unsur mutlak yang perlu
dimiliki oleh konselor.
2. Pemahaman empatik yang akurat
Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar-benar dituntut
untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan
menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor adalah membantu kesadaran
konseli terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Rogers percaya bahwa apabila
konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia pribadi itu
diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah
dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
3. Penerimaan positif tak bersyarat
Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-
pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Semakin besar derajat
kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar pula
peluang untuk menunjung perubahan pada konseli.
Daftar pustaka
Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku bangsa di
Indonesia. Surabaya: Pelangi.
Anderson, D.J., Gingras, A.C. 1991. Sensitizing Counselor and Educators to Multicultural
Issues: an interactive approach. Journal of Counseling and Development. 70: 91-93.
Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. 1980. Preparing Culturally Effective Counselors. The
Presonnel and Guidance Journal.
Arredondo, P., Psalti, A., & Cella, K. 1993. “The Woman Factor in Multicultural
Counseling.” Counseling and Human Development , 25, (8).
97
Asiyah, Siti. 2018. Implementasi komunikasi verbal dan nonverbal dalam kegiatn public
speaking santri di pondok pesantren darul falah amtsilati bangsri jepara. Tesis.
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Barnadib. 1995. Meninjau Kebudayaan Nasional dan Sumbangan bagi Bimbingan dan
Konseling. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X IPBI
di Surabaya.
Baroroh, Atik 2008, Dampak gempa Bumi Tektonik Bagi Kehidupan Masyarakat Kepuh
Wetan Wirokerten Banguntapan Bantul, Skripsi. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Bilton, Tony., et al. 1981. Introductory Sosiology. London: The Macmillan Press Ltd.
Brammer, Lawrence., Shostrom, Everett. 1982. Therapeutic Psychology: fundamentals of
counseling and psychotherapy (4th ed). New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Brislin, Richard. 1981. Cross-Cultural Encounter. New York: Pergamon Press.
Carter, RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and implications for
counseling. Journal of Counseling & Development. 70.
Yurich, John. 1991. Multicultural Gender Issues. Journal of Counseling & Development. 70
(1): 64-71.
Dewantara, KH. 1977. Pendidikan. (cetakan kedua). Yogyakarta: Majalis Luhur Persatuan
Taman Siswa.
D”Andrea, Michael., Daniels, Judy, 1991. Exploring the Different Levels of Multicultural
Counseling Training in Counselor Educations. Journal of Counseling & Development.
70: 78-85.
Fetterman, David. 1984. Ethnography in Educational Evaluation (2nd ed). California: Sage
Publications.
Ford, Robert. 1987. Cultural Awareness and Cross-Cultural Counseling. International Journal
for the Advanced Counseling. 10: 71-78.
Fraenkel, Jack. 1977. How to Teach About Values: an analityc approach. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Fukuyama, M. A. 1990. “Taking a Universal Approach to Multicultural Counseling.”
Counselor Education and Supervision, 30.
Gerertz, Hildred. 1983. Keluara Jawa. Jakarta: Grafiti Pres.
Goldenweiser, Alexander. 1968. History, Psychology and Culture. Oregon: Gloucester, Mass.
Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga (terjemahan oleh Lailahanum Hasyim). Jakarta:
Bumi Aksara.
Graves, Desmond. 1986. Coorporate Culture – Diagnosis and Change. New York: The Free
Press.
Hadiono AF. 2016. Kajian tentang komunikasi antar budaya di pondok pesatren blok agung
banyuwangi. Jurnal Darussalam. Volume 8 tahun 2016
Hadiwinarto. Konseling Lintas Budaya Berbasis Sumber Daya Lokal dan Kebencanaan.
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan. Volume 02, Nomor 01. Tahun 2018.
Haryono SR, dkk. 2017. Identitas budaya Indonesia : dalam iklan aqua versi "Temukan
Indonesiamu". Jurnal Acta Diurna, Volume. 13 tahun 2017
98
Hansen, L. S. 1997. Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career Development and
Changing Life Patterns. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Hermanto, Winarto, 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Herr, Edmin (ed). 1999. Counseling in a Dynamic Society: opportunities and chalenges.
American Association for Counseling and Development.
HIVOS, 2006. Kerangka Acuan Pelatihan Orientasi Pengurangan dan Manajemen Risiko
Bencana di Magelang 6-8 Desember 2006.
Ihromi, TO. 1990. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Ibnu Isma’il. 2011. Islam Tradisi Studi Komparatif Budaya Jawa dengan Tradisi Islam,
Kediri: Tetes Publishing.
Keesing, Roger., Keesing, Felix. 1971. New Perspective ini Cultural Antrhopology. New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Irmayanti Meliono Budianto, Simbolisme Perkawinan Jawa.
Koentjoro. 2005. Refleksi Gempa Yogyakarta 27 Mei. Yogyakarta: LPM Universitas Gadjah
Mada.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lubis, Lusiana Andriani. 2012. Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya. Medan: USU
Press
Loekmono, Lobby. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya Wacana.
Marzali, Amri. 2006. Apakah Etnografi? dalam James P. Spradley, Pengantar Metode
Etnografi, Yogjakarta: Tiara Wacana.
Matsumoto, David & Juang, Linda. (2008). Culture & Psychology. 4th ed.
ThomsonWadsworth, Australia.
Mileh IN. 2020. Makna bahasa tubuh : suatu kajian lintas budaya. Jurnal bahasa dan
budaya. Volume 4 tahun 2020
Muhajir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Pendekatan Positivistik,
Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Metaphisik. Telaah Studi Teks dan
Penelitian Agama. Jakarta: Rake Sarasin
Mulyana, Deddy & Rakhmat Jalaluddin. 2003. Komunikasi Antarbudaya. Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja
Rosdakarya
McRae, Mary., Johnson, Samuel. (1991). Toward Training for Competence in Multicultural
Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70.
McEntire, David A. 2005. “Emergency Management Theory: Issues, Barriers and
Recommendations for Improvement.” Journal of Emergency Management 3 (3): 44-
54.
99
Minciardi, R., Sacile, R., and Trasforini, E.: Assessing the efficiency and the criticality of the
elements belonging to a complex territorial system subject to natural hazards, Nat.
Hazards Earth Syst. Sci., 6, 21-32, doi:10.5194/nhess-6-21-2006, 2008.
Morrissey, S.A., & Raser, J.P., 2003. Evaluating the effectiveness of psychological
preparedness advice in community cyclone preparedness materials. Australian
Journal of Emergency Management, 18. 44-59. 2009,
McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural
Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 131-135.
Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional
ABKIN di Bandung 2005.
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Nwachuku, Uchena., Ivey, Allene. 1991. Culture-Specific Counseling: an alternative training
model. Journal of Counseling and Development. 70: 106-111.
Persell, Caroline. 1990. Understanding Society (3rd ed). New York: Harper and Row
Publishers, Inc.
Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud.
Pedersen, P.B., Juris G. Draguns, Walter J. Lonner and Joseph E. Trimble. 1980. Counseling
Across Cultures, An East-West Culture Learning Institute. Published for the Easth-
West Center by The University of Hawai.
Patterson, H.C. “Do We Need Multiculutral Competencies?”. Journal of Mental Health
Counseling. Vo. 26, No 1 Januari 2004, p. 67-73.
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung : ALFABETA, 2011),
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Ritzer, George (et al). 1979. Sosiology: experiencing a changing society. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Rosjidan. 1994. Proses dan Teknik Konseling yang Memperhatikan Budaya Setempat.
Pendidik Konselor. 4 Juni, h. 17-22.
Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional:
Rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di
Surabaya.
Resolusi Nomor 63 tahun 1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional.
Ronald Perry & Quarantelli Eds .2006. “What Is A Disaster? New Answers to Old
Questions.” Xlibris.
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan
Penerapannya),Yogjakarta: Tiara Wacana
Samovar, Larry A. dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Communication Between Culture.
Jakarta: Salemba Humanika
Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamentals of Guidance (4th ed). Boston:
Houghton Mifflin Company.
100
Sikumbang, Ahmad Thamrin, dkk. 2018. Komunikasi antar budaya dalam proses pernikahan.
AL-BALAGH: Jurnal Komunikasi Islam. Vol.2 No.1
Simatupang, Oktolina, dkk. 2015. Gaya Berkomunikasi Adaptasi Budaya mahasiswa Batak di
Indonesia. Jurnal Komunikasi Aspikom. Volume 2. Tahun 2017
Soetarno. 1996. Tesis: Telaah nilai-nilai bimbingan yang terkandung di dalam serat
wedhatama dan implikasinya terhadap penyusunan bahan bimbingan pribadi dan
sosial kurikulum SMU 1994. Malang: Pasca Sarjana IKIP Malang (tidak
dipublikasikan).
Smith E,E., Hoeksema S.N, Fredrickson B., Loftus G.R, 2003. Introduction to Psychology.
Atkinson & Hilgard’s.
Speight, Suzette L; Myers, Linda J; et al. “A Redefinition of Multicultural Counseling”.
Journal of Counseling and Development : JCD; Sep 1991; 70, 1; Research Library
Core p. 29.
Spradley, James., McCurdy, David. 1979. Issues in Cultural Antrhopology. Boston: Little,
Brown and Company
Soehardi, “Nilai-nilai Tradisi Lisan Budaya Jawa”, Humaniora jurnal online, 3 (2002),
diambil dari (https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/763/6088,
diakses tanggal 20 Maret 2017), 2.
Sue, Derald Wing & Sue, David. (2003). Counseling the Culturally Diverse Theory and
Practie. 4th ed. John Wely& Sons, Inc. Canada.
Sujamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize.
Surya, Muhammad. 1994. Peranan Konselor di Mada Depan. Jurnal Pendidik Konselor. 4
Juni, h. 3-8.
Surya, Muhammad. 1995. Identifikasi Kebutuhan, Tantangan dan Masalah Bimbingan dan
Konseling dan Implikasinya bagi Pengembangan Profil Konselor Abad XXI. Makalah
disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X IPBI di Surabaya.
Suseno, Magnis, Franz. 1993. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Trickett, E.J., Watts, R.J., Birman, D. 1994. Human diversity: Perspectives on people in
context. San Francisco: Jossey-Bass.
Joko Tri Haryanto, “Kontribusi Ungkapan Tradisional dalam Membangun Kerukunan
Beragama”, Walisongo jurnal online, 2 (November, 2013), diambil dari
(http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/250/2311, diakses
tanggal 20 Maret 2017), 366
Uwe P. Gielen, Juris G. Draguns, Jefferson M. Fish (eds). (2008). Principles of Multicultural
Counseling and Therapy An Introduction. Taylor & Francis Group, LLC.
Vontress, Clemmont. 2002. Online Readings in Psychology and Culture (Unit 10, Chapter 1),
(http://www.wwu.edu/~culture). Diakses tanggal 20 Februari 2013.
Watts, M. 2007. School Planning & Management. Februari 2007. 46; 2: 20-25.
Wanda M.L. Lee. John A. Blando Nathalie D. Mizelle. Graciela L. Orozco. (2007).
Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals. Taylor & Francis
Group, LLC.
101