Anda di halaman 1dari 10

Nama : Syhinta Bela

NIM : 22006111
Departemen : Bimbingan dan Konseling
Dosen Pengampu : Dr. Yeni Karneli, M.Pd., Kons.
Azmatul Khairiah Sari, M.Pd.
Rahmi Dwi Febriani, M.Pd.
Frischa Meivilona, M.Pd. Kons.
Tugas Ke : Tugas 4
TEKNIK MENYAMBUT KLIEN, KONTAK MATA, JARAK DUDUK DAN
SIKAP DUDUK
A. Teknik Menyambut Klien
Menyambut klien berarti menerima klien apa adanya. Klien yang merasa
diterima sebagaimana adanya akan mau menjalankan proses dan hasil konseling
secara sukarela dan sungguh-sungguh. Hal ini membantu mempercepat
tercapainya tujuan konseling yang diharapkan. Kesediaan klien dalam proses
konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor dapat menerima klien
sebagaimana adanya secara positif. Dalam arti konselor tidak menuntut klien
tampil dengan kondisi, cara, sikap tertentu, dan tidak memberikan label-label
tertentu pada klien. Konselor meyakini dan tidak mempermasalahkan adanya
perbedaan dengan klien dalam beberapa hal, seperti perbedaan latar belakang,
status ekonomi, usia, profesi, pendidikan, norma dan nilai-nilai yang dimiliki, dan
sebagainya. Konselor yang dapat menerima klien secara positif, dengan sikap
ramah tamah, hangat dan penuh perhatian akan memberikan dampak positif
kepada klien. Klien akan merasa bahwa dia benar-benar diterima, dipahami,
diperhatikan, dan merasa bahwa konselor benar-benar siap membantunya.
Penggunaan teknik menerima klien secara tepat akan mempengaruhi hubungan
konseling selanjutnya. Klien yang merasa diterima sebagaimana adanya akan mau
menjalankan proses dan hasil konseling secara sukarela dan sungguh-sungguh. Hal
ini tentu akan membantu mempercepat tercapainya tujuan konseling yang
diharapkan. M. Surya (1988) penerimaan terhadap klien berkaitan dengan
pemahaman dan sangat mempengaruhi hubungan antar manusia yaitu hubungan
antara konselor dengan klien. Menerima klien berkaitan dengan rasa hormat
terhadap individu sebagai pribadi yang memiliki harga diri.
Penerimaan menggambarkan menerima individu sebagaimana adanya,
dengan menghormati individu sebagai manusia yang memiliki martabat, akan
membantu memperlancar hubungan konseling. Contoh: mengucapkan salam,
berjabat tangan, mempersilahkan klien duduk, menyebut nama klien (kalau sudah
kenal namanya) atau menanyakan nama klien (kalau belum kenal sebelumnya),
memperkenalkan nama konselor, membicarakan hal-hal yang menarik yang
sempat ditangkap dari pertemuan yang singkat itu dan sebagainya. Cara konselor
seperti ini akan menggambarkan penerimaan yang positif dari konselor, dan akan
menimbulkan rasa diterima secara penuh pada diri klien. Perhatikan contoh dialog
singkat dalam menerima/menyambut klien di bawah ini (Suwandi, 2021):
Klien : (mengetuk pintu, sambil mengucapkan salam)
Konselor : (Menjawab salam, mempersilakan kien masuk, dan duduk. Setelah
klien duduk, konselor memperkenalkan nama dan menanyakan nama
klien.) "Saya senang kita dapat bertemu hari ini, sehingga kita dapat
berbincang-bincang tentang segala sesuatu yang anda sedang rasakan,
pikirkan, alami, dan dirisaukan. Anda dapat mengemukakannya secara
terus terang, tanpa ragu-ragu, saya akan merahasiakan apa-apa yang kita
bicarakan, tidak akan menyampaikan kepada siapapun juga kecuali jika
diperlukan dalam rangka mencari solusi yang tepat dan ini tentu seizin
anda. Selain itu yang perlu disepakati adalah jika ada kegiatan yang
perlu anda lakukan setelah pertemuan kita ini anda harus
melaksanakannya, jika tidak pertemuan kita ini akan sia-sia,
bagaimana?
Klien : Ya Bu, saya paham.
Konselor : Apa yang bisa kita bicarakan sekarang?, dst...
Sejalan dengan hal itu Taylor (dalam Karneli, 1999: 46) mengidentifikasi ada
dua komponen penerimaan yaitu:
1. Kemampuan menerima kebenaran bahwa individu berbeda satu sama lain,
demikian juga cara-cara dan perilaku yang ditampilkan.
2. Perwujudan diri yang berlangsung dalam pengalaman, bahwa setiap orang
memiliki pola yang kompleks dalam berbuat, berfikir, dan merasa.
Hal-hal yang dapat dilakukan konselor dalam menyambut klien adalah:
1. Persiapan Menerima Klien
Penyiapan penerimaan klien tidak hanya menyiapkan sarana yang ada
di tempat konseling, namun juga meliputi usaha mengajak mereka untuk
memanfaatkan konseling, pemberian informasi kepada mereka tentang
kesediaan konselor membantu mereka dan mendorong mereka menggunakan
bantuan tersebut. Penyiapan konteks meliputi pengaturan meja, kursi,
dekorasi dan pengaturan ruangan tempat pertemuan konseling. Persiapan
konselor meliputi meninjau apa yang telah diketahui tentang klien, tujuan
bantuan, dan relaksasi.
2. Memperhatikan, Memahami, dan Merespon (3M)
Pada saat konselor berhadapan dengan klien, banyak yang mestinya
menjadi perhatian konselor. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah
berkenaan dengan keadaan dan penampilan fisik klien. Kondisi fisik klien
akan banyak memberi informasi berguna bagi pemberian bantuan. Hal kedua
adalah menyangkut dengan isi pembicaraan yang disampaikan oleh klien.
Konselor mestinya dapat menangkap dengan jelas isi pembicaraan yang
disampaikan oleh klien, semua pernyataan dan respon klien. Hal ketiga adalah
berkenaan dengan cara klien berbicara dan berekspresi. Optimalisasi
kemampuan konselor melihat dan mendengarkan pada saat ini amat
dibutuhkan. Khususnya dalam menangkap makna-makna dari bicara klien.
3. Penerimaan Klien
Kesediaan klien dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa
baik konselor dapat menerima klien sebagaimana adanya secara positif.
Dalam arti konselor tidak menuntut klien tampil dengan kondisi, cara, sikap
tertentu dan tidak memberikan label-label tertentu pada klien.
Konselor hendaklah menerima klien tanpa sebarang syarat atau diskriminasi
dan perlu mempunyai perasaan hormat-menghormati dan mempercayai antara satu
sama lain. Hal ini kerana, semu a manusia mahukan perhubungan yang bermakna,
diterima, disayangi dan dipercayai. Konselor hendaklah menerima klien dengan
hati yang terbuka, tidak menilai kebaikan dan keburukannya dan menghargai
perhubungannya dengan klien. Sebagai contoh, walaupun klien mempunyai
diskriminasi terhadap rakannya daripada Terengganu, namun konselor perlu
menerima dan hormat dengan pandangan klien sebelum membantu klien dengan
isunya (Aziz, et.al., 2021).
B. Sikap Duduk dan Jarak Duduk Konselor Saat Konseling
Menurut Taufik & Karneli (2017: 73-74) salah satu fakor yang mempengaruhi
suasana konseling adalah sikap duduk konselor selama menghadapi klien.
Konselor yang duduk dengan seenaknya saja akan memberikan kesan santai dan
ini akan ditangkap oleh klien. Konselor tidak serius dan kurang menerima klien.
Klien tidak serius diperhatikan dan merasa konselor tidak serius serta kurang siap
untuk memberikan bantuan kepada klien. Sikap duduk yang selalu tegap juga akan
memberikan kesan tertentu kepada klien, klien akan merasa bahwa dirinya sedang
berhadapan dengan orang yang mengadili atau menginterogasinya. Keadaan ini
akan membuat klien takut dan ragu- ragu untuk mengemukakan masalahnya.
Posisi duduk yang diharapkan adalah berhadapan dengan klien. Bila konselor
duduk disebuah kursi yang mempunyai sandaran maka konselor hendaknya tidak
duduk bersandar, rileks ataupun menghadapi klien dengan sedikit agak miring.
Konselor haruslah duduk dengan sikap yang menunjukkan penerimaan dan
keseriusannya dalam mengikuti dan membahas permasalahan klien, sehingga
proses konseling tidaklah dilakukan oleh konselor dengan suasana santai.
Melainkan benar-benar berusaha dengan penuh kesungguhan dan ketulusan untuk
membantu klien, sikap duduk konselor bisa berbentuk sedikit condong ke depan
tanpa memegang sesuatu apapun ditangannya.
Menurut Winkel (1991: 332) sikap duduk yang diharapkan dalam wawancara
konseling adalah dengan sedikit membungkuk ke depan, duduk tidak bersandar,
tangan diletakkan di atas paha dan kedua kaki lurus ke bawah. Sikap duduk yang
demikian akan memberikan kesan bahwa konselor memiliki perhatian yang besar
terhadap klien dan benar-benar siap untuk memberikan bantuan.
Walaupun sikap duduk yang diharapkan adalah seperti yang diuraikan
terdahulu, namun perlu disadari bahwa sikap duduk yang demikian tidaklah kaku.
Selama proses konseling berlangsung, konselor dapat saja menggerak-gerakkan
tangan untuk memberi respon terhadap isi pembicaraan klien, baik untuk tujuan
memberi penguatan maupun untuk mempertegas isi pembicaraan. Sikap duduk
yang baik memberikan kesan yang positif pada klien, di samping konselor juga
lebih bebas untuk memberikan respon yang bersifat nonverbal. Sejalan dengan
Mulawarman (2019: 177-178) ada beberapa sikap atau keterampilan nonverbal
konselor, yaitu sebagai berikut:
1. Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan ekspresi muka, di antara posisi badan
yang baik dalam attending mencakup)
a. Duduk dengan badan menghadap klien.
b. Tangan di atas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang
digunakan untuk menunjukkan gerak isyarat yang sedang
dikomunikasikan secara verbal.
c. Responsif dengan menggunakan bagian wajah, seperti senyum spontan
atau anggukan kepala sebagai pesertujuan atau pemahaman dan kerutan
dahi tanda tidak mengerti.
d. Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong ke arah klien untuk
menunjukkan kebersamaan dengan klien.
2. Posisi badan yang tidak baik, mencakup:
a. Duduk dengan badan dan kepala membungkuk menghadap klien.
b. Duduk dengan sangat kaku.
c. Gelisah atau tidak tenang (resah).
d. Mempergunakan tangan, kertas dan kuku tangan.
e. Sama sekali tanpa gerak isyarat pada tangan.
f. Selalu memukul-mukul dan menggerakkan tangan dan lengan.
g. Wajah tidak menunjukkan perasaan.
h. Terlalu banyak senyum, kerutan dahi atau anggukan kepala yang tidak
berarti.
Selain itu Komalasari (2011: 27) mengungkapkan pada umumnya konselor
tidak disarankan untuk duduk dibalik meja karena menjadi penghalang antara klien
dan konselor. Beberapa variasi dalam penataan tempat duduk konseling yaitu:
1. Terdapat meja diantara kursi dan konselor dan kursi klien.
2. Tidak terdapat penghalang apapun antara kursi konselor dengan kursi klien.
3. Menggunakan ujung meja untuk memberi kesempatan bagi klien bila ingin
berlindung dibalik meja dan dapat bergerak maju bila sudah merasa nyaman.
Pengaturan jarak dan sikap duduk dalam konseling sangat dibutuhkan untuk
mendorong proses konseling dapat berjalan dengan lancar. Dalam
penyelenggaraan konseling jarak duduk ideal antara konselor dengan klien yang
sebaiknya adalah antara 80-100 cm, dengan tidak memakai pembatas atau meja
dengan tujuan agar konselor dapat dengan mudah menangkap isyarat yang
ditampilkan klien baik gerakan atau isyarat nonverbal. Sikap duduk berhadapan
dengan klien dan memungkinkan klien dapat merasa senang/nyaman. Disamping
itu, posisi sikap badan yang sebaiknya adalah (Suwandi, 2021):
1. Duduk dengan posisi badan menghadap klien dan menun- jukkan sikap
responsif;
2. Posisi tangan di atas pangkuan dan melakukan gerakan-gera- kan tangan yang
seiring mengikutii gerakan verbal;
3. Duduk dengan kepala condong kepada klien untuk menun- jukkan bahwa
konselor "bersama" klien, dan;
4. Ekspresi wajah hendaknya tidak kaku, tidak dingin, dan tidak juga
"menyeramkan" atau mencemaskan klien melainkan menampilkan senyum
yang tulus dan bersahabat.
C. Kontak Mata dalam Konseling
Menurut Efendi (2019: 349) kontak mata yang baik berlangsung dengan
melihat klien pada waktu dia berbicara kepada konselor dan sebaliknya. Kontak
mata harus dipertahankan atau dipelihara dengan menggunakan pandangan
spontan yang mengekspresikan minat dan keinginan mendengarkan serta
merespon klien. Sehingga kontak mata menurut Taufik & Karneli (2017: 75- 76)
merupakan pusat pandangan konselor yang tertuju pada sasaran yang tepat pada
klien. Sasaran yang tepat adalah bila pandangan konselor ditujukan pada sesuatu
secara wajar, sehingga menimbulkan kesan bahwa konselor menaruh perhatian
penuh kepada klien.
Kontak mata mendorong tanggapan verbal atau menyatakan sikap dasar
konselor pada klien. Pusat pandangan konselor yang diharapkan selama
melakukan konseling adalah bersekitar daerah pas foto klien. Pandangan konselor
tidak menatap biji mata klien atau memandang bagian tertentu dari daerah pas foto
klien. Pandangan yang tertuju pada bagian tertentu pada diri klien atau pandangan
yang selalu berpindah-pindah dari suatu bagian ke bagian lain dari klien akan
mempengaruhi sikap klien. Biasanya klien akan canggung berbicara, tidak lancar
mengemukakan masalahnya, bersikap risih bahkan bisa menjadi salah tingkah.
Keadaan ini jelas akan mengganggu jalannya konseling.
Kontak mata harus dapat menghindarkan kesan bahwa konselor memaksa,
mengejar atau mempermalukan klien. Kontak mata yang memandang daerah pas
foto klien secara wajar akan memberi kesan bahwa konselor benar-benar
memberikan kesempatan kepada klien untuk mengutarakan masalah dan klien
merasa bahwa ia diterima apa adanya.
Dalam hubungan konseling, kontak mata perlu dilakukan oleh konselor.
Kontak mata yaitu seperti pas photo. Suwandi dkk (2014) menjelaskan bahwa
“kontak mata yang baik adalah dengan cara melihat kepada konseli ketika dia
sedang berbicara dan menggunakan pandangan mata yang menujukkan perhatian
dan penerimaan konselor terhadap konseli. Selanjutnya menurut Suwandi dkk
(2014) dalam kontak mata konselor hendaknya menghindari melihat konseli secara
tidak terarah, misalnya melihat keatas (loteng), keluar jendela, kerak buku, atau
kemana saja selain dari kearah konseli. Hal ini dapat mengakibatkan konseli
merasa bahwa konselor tidak memperlihatkan dirinya secara penuh. Kontak mata
merupakan cara yang penting untuk dilakukan oleh konselor. Melalui cara ini
konselor membangun kontak dan saling melibatkan diri dengan klien. Konselor
tidak hanya menggunakan kedua mata untuk menjalin kontak, melainkan juga
untuk menyampaikan pesan-pesan melalui cara menggunakan mata (Jumaila,
2021).
Kontak mata merupakan cara yang paling penting karena melalui ini manusia
membangun kontak dengan orang lain dan saling melibatkan diri. Kita tidak hanya
menggunakan kedua mata kita untuk menjalin kontak, tetapi juga untuk
menyampaikan pesan-pesan melalui cara kita menggunakan mata.
Menurut Sofyan S. Willis (2009) dalam melakukan kontak mata terhadap
kontak mata konselor harus tetap alami, artinya tidak menatap dengan tajam tanpa
berkedip, akan tetapi sesekali mata kita melihat ke lain objek. sebab jika menatap
tajam, hal ini akan menakutkan dan mencurigakan.
Kontak mata atau eye contact pula adalah penting untuk mengelakkan
dikatakan sombong, tidak yakin diri dan sebagainya. Sehubungan itu semasa sesi,
konselor menjaga kontak mata bersama klien. Menerusi kontak mata, banyak
perkara yang tersirat dapat diperhatikan dan diteliti oleh konselor. Namun, jika
konselor mendapati klien tersebut berasa tidak atau kurang selesa apabila
dipandang dan diperhati, maka konselor boleh melepaskan pandangannya dari
klien terbabit. Tambahan dari itu, relaks bermaksud tenang dan tidak menggelabah.
Konselor mestilah menunjukkan kepada kliennya bahawa dirinya relaks dan tidak
mengalami ketegangan. Relaks adalah sangat penting kerana dapat
menggambarkan ciri-ciri profesionalisme konselor kepada si klien tersebut. Ini
akan memudahkan konselor untuk menarik kepercayaan klien terhadapnya dengan
sikap relaks yang ditunjukkan (Aziz, et.al., 2021).
Daftar Pustaka
Aziz, A. R. A., Yusof, N., & Ab Razak, N. H. (2021). Putus cinta: Aplikasi terapi
rasional emotif tingkah laku mendepani isu konsep kendiri remaja. Journal of
Islamic Social Sciences and Humanities (Al-'Abqari).

Jumaila. (2021). Analisis pelaksanaan keterampilan dasar konseling di smpn 11


Tarakan. Universitas Borneo Tarakan.

Sofyan S Willis. (2009). Konseling Individual, Teori dan Praktik. Bandung: Alvabeta.

Suwandi, A., Folastri, S., Rangka, I. B., Dachmiati, S., Setyohutomo, G., Sofyan, A.,
& Utami, S. (2021). Teknik dan Praktik Laboratorium Konseling (Vol. 1).

Suwandi, Achmad dkk. (2015). Teknik Dan Praktik Laboratorium Konseling.


Bandung: Mujahid Press.

Anda mungkin juga menyukai